Di susun oleh:
Baiq Nuril merupakan mantan tenaga honorer di SMAN 7 Mataram. Ketika masih bertugas di
SMAN tersebut Baiq Nuril sering mendapatkan perlakuan pelecehan dari M yang merupakan
Kepala Sekolah SMA tersebut. BN ditelepon oleh M yang kemudian menceritakan
pengalamannya berhubungan seksual dengan wanita lain yang bukan istrinya. Merasa tidak
nyaman dengan hal tersebut dan untuk membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat hubungan gelap
seperti yang dibicarakan orang sekitarnya, BN merekam pembicaraannya. Bukan atas
kehendaknya, kemudian rekaman tersebut menyebar, sehingga M melaporkannya dengan
tuduhan pelanggaran Pasal 27 ayat (1) UU ITE.
Pada Putusan Pengadilan Negeri Mataram No 265/Pid.Sus/2017/ PN. Mtr, BN dinyatakan bebas
karena tidak terbukti memenuhi unsur “tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang bermuatan
pelanggaran kesusilaan.” Sebab, bukan BN yang melakukan penyebaran konten tersebut,
melainkan pihak lain. Atas putusan tersebut Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi.
Salah satu pertimbangan putusan MA atas kasus BN bahwa Penjatuhan pidana dalam perkara a
quo diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi Terdakwa pada khususnya maupun
masyarakat Indonesia pada umumnya agar dapat lebih berhati-hati dalam memanfaatkan dan
menggunakan media elektronik, terlebih lagi yang menyangkut data pribadi seseorang ataupun
pembicaraan antar personal, dimana pemanfaatan dan penggunaannya harus dilakukan atas
persetujuan orang yang bersangkutan. (Sumber : https://news.detik.com/berita/d-
4614866/membaca-lagi-pertimbangan-ma-memenjarakan-baiq-nuril-selama-6-bulan).
Pertanyaan :
Mengacu pada pertimbangan putusan MA yang disebutkan di atas, Berikan pendapat saudara
dikaitkan dengan fungsi hukum law as a tool of social engineering!
Menurut pendapat saya dalam kaitan dengan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as
a tool of social engineering) terkait dengan pertimbangan putusan Mahkamah Agung (MA) dalam
kasus Baiq Nuril (BN) adalah sebagai berikut:
Kasus 2
Sejumlah mahasiswa dan masyarakat adat Toraja membentangkan spanduk dan bendera saat
menggelar aksi di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Selasa, 28 Juli 2020. Mereka
mengenakan pakaian adat dan sebagian lainnya berkostum hitam tanda berkabung dan protes
keras atas putusan MA yang berimplikasi akan dirampasnya tanah adat Lapangan Gembira dan
SMA Negeri 2 Rantepao, Toraja Utara oleh pihak dari luar masyarakat adat Toraja.
Sumber : https://foto.tempo.co/read/82165/kasus-sengketa-tanah-adat-mahasiswa-dan-
masyarakat-toraja-geruduk-ma#foto-2
Meskipun Undang-undang Dasar 1945 telah menegaskan keberadaan masyarakat hukum adat.
Dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 sebagai hasil amandemen kedua menyatakan bahwa
negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Namun, masih terjadi
pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat oleh negara, terutama hak
ulayat, seperti contoh kasus di atas.
Pertanyaan :
a. Ketidakjelasan dan Tafsir yang Beragam: Pasal 18B ayat (2) memberikan pengakuan dan
penghormatan kepada masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya,
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Namun,
ketentuan ini terbilang sangat umum dan terbuka untuk tafsir yang beragam. Hal ini dapat
menghasilkan perbedaan dalam pemahaman dan implementasi di berbagai tingkatan
pemerintahan, pengadilan, dan lembaga lainnya.
b. Kekuatan Undang-Undang Lain yang Lebih Khusus: Ada undang-undang lain yang
mengatur hak-hak tanah dan sumber daya alam, yang sering kali lebih kuat dan spesifik
daripada Pasal 18B. Undang-undang tersebut dapat menghambat penerapan Pasal 18B
dan bahkan mengesampingkan hak-hak masyarakat hukum adat. Jika ada konflik antara
undang-undang ini dengan Pasal 18B, biasanya undang-undang yang lebih spesifik yang
diterapkan.
c. Lemahnya Penegakan Hukum: Kekuatan hukum hanya berguna jika ditegakkan secara
efektif. Dalam banyak kasus, lembaga penegak hukum cenderung kurang berdaya atau
kurang cakap dalam menegakkan hak-hak masyarakat hukum adat. Keterbatasan
sumber daya, kemampuan, dan keberanian untuk menindak pelanggaran oleh pihak yang
memiliki kepentingan politik atau ekonomi sering menjadi kendala.
d. Kurangnya Kesadaran dan Pendidikan Hukum: Masyarakat adat mungkin tidak
sepenuhnya menyadari hak-hak mereka sesuai dengan Pasal 18B, dan mereka mungkin
juga kurang akses kepada pendidikan hukum yang diperlukan untuk memahami dan
mempertahankan hak-hak mereka. Pendidikan hukum dan kesadaran hukum adalah
kunci untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat.
e. Politik dan Ekonomi: Keputusan yang berhubungan dengan tanah dan sumber daya alam
sering kali dipengaruhi oleh tekanan politik dan ekonomi. Pihak-pihak dengan
kepentingan ekonomi sering berusaha untuk mendapatkan kendali atas sumber daya
tersebut, bahkan jika itu berarti melanggar hak-hak masyarakat adat. Faktor politik dan
ekonomi ini dapat menghambat penegakan Pasal 18B.
Untuk mengatasi pelanggaran hak-hak masyarakat hukum adat, diperlukan reformasi hukum
yang lebih jelas dan kuat dalam mengatur hak ulayat. Penegakan hukum yang lebih efektif,
pendidikan hukum bagi masyarakat adat, serta upaya untuk mengurangi pengaruh negatif politik
hukum masa kolonial adalah langkah-langkah penting untuk melindungi hak-hak masyarakat
hukum adat yang dijamin oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
2. Kaitkan tanggapan anda bahwa pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat
oleh negara tidak terlepas dari pengaruh politik hukum masa kolonial yang dicantumkan
dalam Algemene Bepalingen, Reglemen Regering dan lndische Staatregeling.
Menurut saya memang benar bahwa pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat hukum
adat oleh negara tidak dapat dipisahkan dari pengaruh politik hukum masa kolonial yang
tertuang dalam peraturan-peraturan kolonial seperti Algemene Bepalingen, Reglemen
Regering, dan lndische Staatregeling. Inilah beberapa cara bagaimana pengaruh politik
hukum masa kolonial berdampak pada pelanggaran hak-hak masyarakat hukum adat di
Indonesia:
B. Kekuasaan Sentral dan Pemusatan Kekuasaan: Politik hukum masa kolonial sangat
sentralistik, yang berdampak pada pemusatan kekuasaan dalam mengatur sumber
daya alam dan tanah. Ketentuan hukum kolonial mengakui hak-hak adat secara
teoritis, tetapi sering kali memberikan lebih banyak kewenangan kepada pemerintah
kolonial untuk mengambil keputusan tentang tanah dan sumber daya alam. Pengaruh
ini masih terasa dalam hukum modern, di mana pemerintah pusat sering memiliki
kekuasaan yang besar dalam menentukan penggunaan tanah dan sumber daya alam.
Untuk mengatasi masalah pelanggaran hak-hak masyarakat hukum adat, penting untuk
merenungkan sejarah politik hukum masa kolonial dan mengidentifikasi ketidaksetaraan
serta diskriminasi dalam hukum tanah yang masih ada. Reformasi hukum yang lebih
inklusif dan berpihak kepada masyarakat hukum adat, pendidikan hukum yang lebih baik,
dan penegakan hukum yang efektif perlu menjadi prioritas dalam rangka memberikan
perlindungan yang lebih baik terhadap hak-hak masyarakat hukum adat di Indonesia.
Demikian jawaban tugas 1 dari saya semoga dapat diterima dengan baik dan dapat nilai
yang baik juga . sekian dari saya apabila ada jawaban yang kurang tepat saya siap
memperbaikinya.