Edit CBD Transplantasi Ginjal
Edit CBD Transplantasi Ginjal
Oleh :
Santi Iskandar
Pembimbing :
dr. R. Rochmanadji, Sp.A(K), MARS
PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronik (PGK) atau Chronic Kidney Desease (CKD) adalah keadaan
dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang cukup berat secara perlahan-lahan dalam jangka
waktu lama (menahun) disebabkan oleh berbagai penyakit ginjal. Peyakit ini bersifat progresif
dan umumnya tidak dapat pulih kembali (irreversibel). Gagal Ginjal Terminal adalah fase
terakhir dari PGK dengan fungsi ginjal sudah sangat buruk. Kedua hal tersebut bisa dibedakan
dengan tes klirens kreatinin.1
Fungsi ginjal menandakan kondisi ginjal dan fungsinya dalam fisiologi ginjal. Glomerular
Filtration Rate (GFR) menandakan jumlah cairan yang di filtrasi oleh ginjal. Creatinine
Cleareance Rate (CrCl) menandakan jumlah kreatinin darah yang disaring oleh ginjal. CrCl
merupakan parameter yang berguna untuk mengetahui GFR dari ginjal.2
Penyebab dari penyakit ginjal kronis dapat berupa diabetes melitus, tekanan darah tinggi
(Hipertensi), glomerulonephritis, penyakit ginjal polikistik (Polycystic Kidney Disease).
Faktor resiko dari penyakit ginjal kronis dapat berupa riwayat penyakit keluarga pasien.
Diagnosis dari penyakit ginjal kronis secara umum berupa tes darah yang berfungsi untuk
mengetahui Glomerulus Filtration Rate (GFR), dan tes urin untuk mengetahui apakah terdapat
albuminuria. Pemeriksaan lebih lanjut dapat berupa ultrasound dan biopsi ginjal untuk
mengetahui penyebab dari penyakit ginjal kronis. 3,4
Pada tahun 2016, Penyakit ginjal kronis terdapat pada sekitar 753 juta orang di seluruh
dunia yang meliputi 336 juta pada pasien laki-laki dan 417 juta pada pasien perempuan.
Penyebab tersering penyakit ginjal kronis adalah Hipertensi pada 550 ribu pasien, diabetes
melitus pada 418 ribu pasien, dan glomerulonephritis pada 238 ribu pasien.5
Melihat banyaknya prevalensi penyakit ginjal kronis dan jumlah mortalitas yang tinggi,
penulis dalam makalah ini tertarik untuk mengambil kasus mengenai seorang anak perempuan
usia 16 tahun 11 bulan dengan Penyakit Ginjal Kronik (PGK) on hemodialisis, edema paru,
hipertensi stage 2, anemia normositik normokromik, gizi kurang dan perawakan pendek.
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : An S C R
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 16 tahun 11 bulan
Tanggal lahir : 18 Oktober 2006
Agama : Islam
Alamat : Semarang
Ruang perawatan : Cendra Lantai 2 kamar 4.5
Nomor CM : C177xxx
Masuk rumah sakit : 21 September 2023
Tanggal pemeriksaan : 23 September 2023
Riwayat Pengobatan:
- Natrium bicarbonat 1 g/6 jam
- Kalsitriol 0.5 mcg/24 jam
- Kalsium laktat 500 mg/24 jam
- CaCO3 500 mg/8 jam
- Asam folat 1 mg/24 jam
- Kaptopril 25 mg/8 jam
- Valsartan 80 mg/24 jam
- Amlodipin 10 mg/24 jam
- Spironolakton 50 mg/24 jam
- N-asetil sistein 200mg/8 jam
- Furosemide 40 mg/24 jam
Riwayat Perinatal :
Anak lahir dari ibu G2P1A0, 23 tahun, usia kehamilan 38 minggu di Puskesmas.
Selama hamil ibu sehat, Ibu jarang mengkonsumsi asam folat saat lahir. Anak lahir
secara spontan. Lahir langsung menangis dengan BBL 2900 gram, PBL lupa cm.
Tidak ada riwayat kuning, sianosis, kejang, perawatan lama. Teraba benjolan kecil
pada punggung sejak lahir.
Riwayat Imunisasi
- Hepatitis B : 0 bulan
- BCG dan polio : usia 1 bulan
- DPT/HB/HIB 1 dan polio : usia 2 bulan
- DPT/HB/HIB 2 dan polio 3 : usia 3 bulan
- DPT/HB/HIB 3 dan polio 4 : usia 4 bulan
- IPV usia 6 bulan
- Campak usia 9 bulan
- Booster DPT/HB/HIB dan Campak usia 18 bulan
- BIAS kelas 1 SD
- BIAS kelas 5 SD belum
Kesan: imunisasi dasar lengkap, booster belum lengkap
Pohon Keluarga
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pemeriksaan fisik pada tanggal 23 September 2023 di Bangsal Cendrawasih
Lantai 2.
Anak laki-laki 16 tahun 11 bulan
BB: 34, TB 145 cm. BSA: 1.17 m2
WAZ: NA; HAZ: -2.67; BMI: -2.1
Keadaaan umum: sadar, tampak sesak, lebih nyaman jika posisi duduk
TD: 152/100 mmHg (P95+12)
HR: 98 x/menit
RR: 22 x/menit
T: 36,6 C
SpO2: 99% on NRM 8 lpm
N: Reguler, isi dan tegangan cukup
P50 102/61 // P90 114/75 // P95 130/80 //P95+12 140/90 // P krisis 180/120 mmHg
Kepala : Mesosefal
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (+/+)
Hidung : Nafas cuping (-)
Mulut : Sianosis (-) mukosa lembab (+)
Thorax : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (+) subcostal
Cor : BJ I-II Normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Suara dasar vesikuler (+/+), rhonkhi (+/+), wheezing (-/-)
Abdomen : Cembung, supel, bising usus (+) normal, hepar dan lien tak teraba
membesar, shifting dullnes (-)
Ekstremitas : Akral dingin (-/-) (-/-), CRT <2"/<2", sianosis (-/-) (-/-), edema (-/-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kimia Darah
SI ug/dL 50-175 - - 92
SI/TIBC - - 39.6%
Thorax 21/09/2023
Kesan:
Konfigurasi jantung relatif sama (Cardiomegaly LV,LA)
Gambaran edema pulmonum
Efusi pleura dupleks berkurang
DAFTAR MASALAH
No Masalah Aktif Masalah Pasif
1 Sesak Gizi kurang, perawakan pendek
2 Lemas
2 CKD on HD
3 Edema paru
4 Hipertensi stage 2 dan krisis
hipertensi
5 Anemia normositik normokromik
DIAGNOSIS
CKD stage V on HD (LFG 7.38 ml/min/1.73m2)
Edema paru
Hipertensi stage II dengan riwayat krisis hipertensi
Anemia normositik normokrom dd/ Penyakit kronis (Hb 5.1 g/dL)
Gizi kurang, perwakan pendek
TATALAKSANA
02 8 lpm dengan non rebreathing mask
Infus D5 1/2 NS 5 ml/jam
Injeksi furosemide 40 mg/12 jam
Injeksi omeprazole 20 mg/12 jam
PO:
Natrium bicarbonat 1 g/6 jam
Kalsitriol 0.5 mcg/24 jam
Kalsium laktat 500mg/24 jam
CaCO3 500 mg/8 jam
Asam folat 1 mg/24 jam
Kaptopril 25 mg/8 jam
Valsartan 80 mg/24 jam
Nifedipin 10 mg/8 jam
Spironolakton 50 mg/24 jam
N-asetil sistein 200mg/8 jam
Diet :
Nasi 3x1 rendah garam, Nefrisol 1x200ml
Program :
- Transfusi PRC 250 cc - 250 cc dalam 4 jam (1 kolf PRC masuk durante HD)
- Bila krisis hipertensi, berikan nifedipin sub lingual 5 mg--7.5 mg--10 mg
- Balans cairan dan diuresis tiap 12 jam
- HD rutin Senin dan Kamis
- Cek hematologi paket, ureum, kreatinin, elektrolit, kalsium, albumin, asam urat, fosfat
anorganik post HD 4 jam
HP 2 Sesak nafas berkurang. Anak sudah - CKD stage V on HD (LFG 7.38 - HD rutin Senin dan Kamis
23/09/23 weaning menjadi NK 3 lpm. Batuk ml/min/1.73m2) - Bila krisis hipertensi, berikan nifedipin sub
berdahak bercampur lendir berwarna - Edema Paru lingual 5 mg--7.5 mg--10 mg
merah muda dan berbuih. Bengkak pada - Hipertensi stage II dengan riwayat
kedua kelopak mata berkurang krisis hipertensi
- Anemia normositik normokromik
TD: 152/100 mmHg (P90) dd/ penyakit kronis (Hb 9.1 g/dL)
Sp02: 99% on NK 3 lpm - Gizi kurang, perawakan pendek
HP 3 Sesak nafas (-) hemoptoe (-) Bengkak (-) - CKD stage V on HD (LFG 7.38 - HD hari ini
25/09/23 BAK tidak keluar, anak menggunakan ml/min/1.73m2)
kateter. - Edema Paru Resep HD (Senin, 25 Sept 2023) (Dialiser 90)
- Hipertensi stage II dengan riwayat UFG min = (0,2 x 80 x 34) = 544 ml ~ 0,5 L
TD : 160/100 mmHg (p95+12) krisis hipertensi UFG max = 5% x 34 = 1,7 L
Sp02: 99% free air - Anemia normositik normokromik UFR max 2% x 34 = 0,68 L/jam
dd/ penyakit kronis (Hb 9.1 g/dL) UFG diambil = UFG minimal + NaCl 20% 200 cc
PF: Full blast (+) - Gizi kurang, perawakan pendek = 0.5 + 0.2 = 0.7 L ~ 1 L
Durasi 4 jam
B/24 jam: + 240 cc UFR 1.7 L/4 jam = 0.4 L/jam
D/24 jam: 0.24 cc/kg/jam Blood flow 3-8 x 34 = 102 - 272 ml/menit = 150
ml/menit
Injeksi Fenobarbital 100 mg pre dan post HD
Program:
a. Definisi
Klasifikasi dari gagal ginjal kronik dibedakan menjadi dua, yaitu berdasarkan
dasar derajat (stage) LFG dan berdasarkan diagnosis etiologi.
Lahir : 20.8±1.9
1 minggu : 46.6±5.2
b. Epidemiologi
c. Etiologi
d. Patofisiologi
Pada PGK, fungsi ginjal menurun secara drastis yang berasal dari nefron.
Insifisiensi dari ginjal tersebut sekitar 20% sampai 50% dalam hal GFR. Pada
penurunan fungsi rata-rata 50%, biasanya muncul tanda dan gejala azotemia
sedang, poliuri, nokturia, hipertensi dan sesekali terjadi anemia. Selain itu, selama
terjadi kegagalan fungsi ginjal maka keseimbangan cairan dan elektrolit pun
terganggu. Pada hakikatnya tanda dan gejala gagal ginjal kronis hampir sama
dengan gagal ginjal akut, namun awitan waktunya saja yang membedakan.
Perjalanan dari gagal ginjal kronis membawa dampak yang sistemik terhadap
seluruh sistem tubuh dan sering mengakibatkan komplikasi. 7
e. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronis dikarenakan gangguan
yang bersifat sistematik. Ginjal sebagai organ koordinasi dalam peran sirkulasi
memiliki fungsi yang banyak (organ multifunction), sehingga kerusakan kronis
secara fisiologis ginjal akan mengakibatkan gangguan keseimbangan sirkulasi dan
vasomotor. Berikut ini adalah tanda dan gejala gagal ginjal kronis:8
Penurunan berat badan pada penderita gagal ginjal kronik mulai terlihat
setelah 3 bulan menjalani hemodialisis dan 20 penurunan berat badan secara
signifikan setelah 1 tahun menjalani hemodialisis. Indikasi dialisis pada penyakit
ginjal kronik adalah bila LFG sudah <5 mL/menit. Dialisis di anggap baru perlu
di mulai bila di jumpai salah satu dari : keadaan umum buruk dan gejala klinis
nyata, K serum >6 mEq/L, ureum darah >200 mg/L, pH darah <7.1, anuria
berkepanjangan (>5 hari), dan fluid overload atau hipervolemia.9
EDEMA PARU
a. Definisi
Edema paru dapat didefinisikan secara luas sebagai akumulasi cairan yang
berlebihan di dalam sel, ruang antar sel dan rongga alveoli pada paru. Edema paru
secara klasik dikategorikan berdasarkan patofisiologinya, yaitu edema paru
hidrostatik dan edema paru permeabilitas. Edema paru hidrostatik (tekanan tinggi,
transudatif, atau kardiogenik) ditandai dengan peningkatan tekanan
mikrovaskular paru yang menyebabkan transudasi cairan melalui endotek ke
ruang antar sel paru dan kemudian ke ruang alveolar. Pada edema paru
permeabilitas (tekanan rendah, eksudatif atau non kardiogenik), trauma pada
endotel mikrovaskular memungkinkan cairan kaya protein memasuki ruang
ekstravaskular.11
b. Patogenesis
Edema paru terjadi bila volume plasma berlebihan memasuki ruang
intertisial dan alveoli. Edema paru merupakan suatu keadaan klinis akut yang
ditandai dengan gejala distress pernapasan dan takipnea yang sebanding dengan
penurunan Pa02 dan P(A-a)02. Gangguan fisiologis yang menyebabkan terjadinya
hipoksemia adalah ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (ventilation-perfusion
mismatch).11
Edema paru akan mempengaruhi kemampuan mekanik dan pertukaran gas
di paru dengan berbagai mekanisme. Produksi lapisan surfaktan terganggu karena
alveoli terendam cairan, serta adanya protein dan sel debris. Keadaan ini akan
menyebabkan peningkatan tegangan permukaan pada alveoli, sehingga
memudahkan terjadi kolaps (atelektasis). Adanya penumpukan cairan berlebihan
di ruang intertisial juga mengurangi kelenturan paru dan mempermudah kolaps
alveoli dan saluran respiratorik kecil.11
Uremia dapat menyebabkan edema paru akibat overhidrasi, bertambahknya
volume darah, peningkatan tekanan mikrovaskular paru disertai dengan anemia
dan penurunan tekanan koloid osmotirk. Permeabilitas kapiler paru juga dapat
berubah akibat meningkatnya produk metabolik uremia.11
d. Diagnosis
Secara klinis dapat timbul gejala sesak nafas, retraksi intercostal pada saat
inspirasi dan perubahan berat badan. Suara merintih dapat dijumpai, yang terjadi
akibat usaha untuk mencegah kolaps paru. Temuan-temuan spesifik edema paru
pada pemeriksaan fisik bervariasi menurut beratnya distress pernafasan dan
penyebab dasar dari edema. Sianosis dapat terlihat dan mungkin terdengan
hantaran pada auskultasi, Peningkatan P2 atau bahkan S3 dan “aliran” bising
mungkin terdengan bersamaan dengan distensi vena jugularis dan hepatomegaly.
Sputum yang sangat berbuih dan berwarna merah muda terlihat hamper pada
semua edema paru berat.11
Krepitasi tidak selalu ditemukan, kecuali bila sudah terjadi perpindahan
cairan dari alveoli ke bronkiolus terminal. Bila penumpukan cairan sudah sampai
ke saluran respiratorik besar, maka ronki dan mengi dapat didengar. Gejala-gejala
iskemia kiokardial yang berhubungan dengan tanda-tanda kegagalan ventrikel kiri
mengarah kepada diagnosis edema paru hidrostatik, sedangkan Riwayat aspirasi
cairan lambung dan respons kardiovaskular hiperdinamik mengarah kepada
diagnosis edema paru permeabilitas.11
e. Tatalaksana
Pada dasarnya, tatalaksana edema paru perlu dibedakan sesuai dengan
etiologinya, yaitu kardiogenik atau nonkardiogenik, karena mekanisme yang
mendasari pembentukkannya berbeda. Pada edema paru kardiogenik, mekanisme
utama akumulasi air ekstravaskular adalah kenaikan tekanan hidrostatik kapiler
paru, sekunder dari kegagalan ventrikel kiri. Oleh karena itu, terapi harus
diarahkan terutama untuk memperbaikan fungsi ventrikel kiri. Fungsi jantung
dapat diperbaiki dengan menurunkan preload dan afterload, juga dengan
stimulasi langsung kontraktilitas miokard.11
Jika edema paru disebabkan oleh gagal jantung dengan peningkatan tekanan
mikrovaskular pulmonal, maka dapat dilakukan terapi untuk perbaikan fungsi
jantung. Perbaikan fungsi jantung dapat dicapai dengan berbagai cara, oksigen
dan digitalis diberikan untuk meningkatkan volume semenit, pemberian morfin
dapat membantu mengurangi preload dan afterload karena mengurangi anxietas.
Penurunan afterload ventrikel kiri akan memungkinkan peningkatan fraksi ejeksi
tanpa meningkatkan kerja miokardial. Perbaikan kontraktilitas miokardium dapat
diberikan dengan obat-obat inotropik seperti dopamin, dobutamin atau isopretenol
dengan meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan pengisian ventrikel.
Preload juga dapat dikurang dengan posisi duduk, juga dengan pemberian
ventilasi tekanan positif.11
Diuretik diberikan dengan tujuan mengurangi volume plasma dan pengisian
atrium kiri, juga untuk meningkatkan tekanan koloid osmotik. Mekanisme kerja
diuretic dalam mengatasi edema paru adalah dengan meningkatkan kapasitas vena
dan meningkatkan eksresi garam dan air sehingga mengurangi pengeluaran cairan
dari mikrovaskular paru.11
Pada edema berat, furosemid dapat diberidkan secara intravena dengan
dosis 1-2 mg/kgBB. Jika terjdapat hipotensi, zat inotropik seperti dopamin
dobutamine juga mempunyai efek terhadap pembuluh darah paru. Jika terdapat
resistensi vaskular yang tinggi, maka dobutamin lebih efektif karena dapat
meningkatkan volume jantung semenit tanpa meningkatkan resistensi vascular
sistemik, bahkan menyebabkan vasodilatasi sistemik. Pemberian albumin
intravena bermanfaat jika edema paru disebabkan oleh penurunan tekanan koloid
osmotic.11
f. Prognosis
Pasien-pasien dengan edema paru permeabilitas memiliki prognosis
keseluruhan yang buruk. Montgomerry dkk menganalisis penyebab-penyebab
kematian pada 47 pasien dengan ARDS. Keseluruhan mortalitas adalah 68%
dibandingkan dengan 34% pada kelompok kontrol, sebanyak 160 pasien yang
berisiko mengalami ARDS. Hanya 16% kematian yang disebabkan oleh
kegagalan respirasi yang irrversibel. Sebagian besar kematian tersebut terjadi
pada tiga hari pertama karena penyakit atau trauma yang mendasarinya.11
HIPERTENSI
a. Definisi
Hipertensi pada anak dan remaja ditegakkan berdasarkan atas distribusi TD
normal pada anak sehat. Berikut adalah definisi menurut NHBPEP tahun
2004:12
• Tekanan darah normal adalah tekanan darah sistol (TDS) dan/atau
tekanan darah diastole (TDD) <presentil 90 menurut jenis kelamin, usia
dan tinggi badan
• Hipertensi adalah rata-rata TDS dan/atau TDD ≥presentil 95 menurut
jenis kelamin, usia dan tinggi badan pada setidaknya 3 kali pengukuran
pada waktu yang berbeda
• Prehipertensi pada anak adalah TDS atau TDD ≥presentil 90, tetapi
<presentil 95, atau jika TD≥120/80 mmHg
• Hipertensi derajat 1 adalah TD berada antara presentil 95 dan 5 mmHg
diatas presentil 99
• Hipertensi derajat 2 adalah TD>5 mmHg diatas presentil 99
b. Patogenesis
Beberapa faktor yang terlibat dalam patogenesis hipertensi pada anak adalah
penyakit renovaskuler dan parenkim ginjal melalui mekanisme hipervolemia,
gangguan sistem renin angiotensin dan aldosteron (SRAA) dan berkurangnya zat
vasodilator. Penelitian terbaru menunjukkan faktor inflamasi kronik, jumlah
nefron yang rendah, prematuritas/ berat badan lahir rendah, malnutrisi, obesitas,
hiperinsulinemia/resistensi insulin, peningkatan asam urat dan faktor diet.13
c. Etiologi
Penyebab hipertensi yang paling sering pada remaja (usia 13-18 tahun)
adalah hipertensi esensial dan penyakit parenkim ginjal. Beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa hipertensi esensial tercatat lebih dari 80% sebagai penyebab
hipertensi pada remaja diikuti oleh penyakit ginjal lainnya. Penyakit renovaskular
dapat dicurigai pada remaja yang menderita hipertensi berat. Penyebab hipertensi
yang jarang, seperti renin-secreting tumor, feokromositoma, obat-obatan (kokain,
kontrasepsi, dekongestan), dan sebagainya.13
Hipertensi esensial
Banyak bukti yang mendukung konsep hipertensi esensial berawal dari masa
kanak-kanak meskipun hipertensi esensial lebih sering terjadi pada remaja
dibanding pada anak. Remaja dengan hipertensi esensial kebanyakan tanpa gejala
(asimtomatik) dan sering terdeteksi hanya pada saat pemeriksaan rutin. Obesitas
sering dihubungkan dengan hipertensi esensial dan dijumpai pada hampir 50%
kasus. Riwayat keluarga yang menderita hipertensi sering dijumpai. Faktor
lingkungan juga berperan dalam hipertensi esensial seperti konsumsi garam yang
tinggi, konsumsi alkohol, merokok, stres psikogenik, sosial ekonomi, dan faktor
predisposisi lainnya seperti ras dan jenis kelamin.13
Hipertensi sekunder
- Penyakit ginjal
Pada remaja, setelah hipertensi esensial penyakit ginjal juga merupakan
penyebab hipertensi yang sering. Hipertensi yang disebabkan oleh penyakit
ginjal dapat berasal dari parenkim atau pembuluh darah ginjal. Hipertensi
yang berasal dari penyakit parenkim ginjal dapat ditemukan pada penyakit
glomerulonefritis akut pasca streptokokus, pielonefritis, lupus eritematosus
sistemik, gagal ginjal akut, anomaly kongenital seperti hipoplasia ginjal
segmental, dan ginjal polikistik. Selain penyakit parenkim ginjal, 12%
penyebab hipertensi kronik pada remaja juga berasal dari penyakit
pembuluh darah ginjal/arteri renalis.13
- Penyakit kardiovaskular
Koarktasio aorta merupakan penyakit kardiovaskular yang selalu
menyebabkan hipertensi, baik masa bayi maupun pada usia anak dan
remaja. Di dalam kepustakaan disebutkan sebanyak 2% koarktasio aorta
sebagai penyebab hipertensi sekunder.13
e. Tata Laksana
Tujuan tata laksana hipertensi pada remaja untuk menurunkan tekanan
darah di bawah persentil ke-95 dan mencegah komplikasi hipertensi, Tata laksana
ini meliputi non farmakologik dan farmakologik. Pengobatan hipertensi pada
remaja diberikan berdasarkan keadaan masing-masing remaja tersebut. Remaja
yang obese atau yang menderita hipertensi esensial, hal pertama yang dilakukan
adalah terapi non farmakologik seperti penurunan berat badan, peningkatan
aktifitas fisik dan mengurangi konsumsi garam, sebelum diberikan pengobatan
anti hipertensi. Pada remaja yang hipertensi namun tidak obese, aktifitas fisik
kurang efektif dan pengobatan dengan anti hipertensi dapat diberikan.13
a. Non farmakologik
Pengobatan hipertensi secara non farmakologik termasuk di antaranya
mencegah dan mengatasi obesitas, peningkatan aktivitas fisik dan olah
raga, modifikasi diet termasuk mengurangi konsumsi garam dan berhenti
merokok. Pada remaja yang obese terdapat penurunan tekanan darah
yang signifikan setelah program penurunan berat badan, terlebih lagi bila
digabung dengan peningkatan akifitas fisik/olahraga. Mengurangi garam
dalam makanan sehari-hari juga dapat membantu menurunkan tekanan
darah. Jumlah garam yang dianjurkan adalah 0.5-1 mEq/kgBB/hari atau
kira-kira 2 gram NaCl / hari untuk remaja dengan berat badan 20-40kg.
Berhenti merokok, minum alkohol dan obat golongan simpatomimetik,
juga dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah. Bila dengan cara ini,
setelah beberapa minggu tidak berhasil menurunkan tekanan darah atau
sebaliknya jadi meningkat, maka selanjutnya diperlukan pengobatan
farmakologik.13
b. Farmakologik
Pengobatan farmakologik harus diberikan kepada remaja yang menderita
hipertensi berat, atau yang tidak respon dengan pengobatan non
farmakologik. Tidak ada data yang menunjukkan kapan obat sebaiknya
diberi kepada penderita hipertensi ringan atau sedang. Sejak tahun 1990-
an, obat β-adrenergik, blocker, ACE inhibitor, dan calcium channel
antagonis telah dianjurkan sebagai awal monoterapi. Jika awal
monoterapi dalam dua minggu gagal menurunkan tekanan darah, dapat
ditambahkan diuretik. Jika responnya masih kurang memuaskan, langkah
ke-3 adalah mengganti diuretik dengan suatu vasodilator. Langkah
terakhir adalah menggunakan vasodilator minoxidil sebagai pengganti
vasodilator sebelumnya, dan menggantikan ACE inhibitor atau calcium-
channel antagonist dengan obat yang bereaksi secara sentral. Setelah
tekanan darah terkontrol maka dilakukan step-down therapy sebagai
berikut, apabila tekanan darah telah terkontrol dalam batas normal untuk
6 bulan – 1 tahun dan kontrol tekanan darah dengan interval 6 – 8
minggu, ubah menjadi monoterapi. Setelah terkontrol selama kira-kira 6
minggu, turunkan monoterapi setiap minggu dan bila memungkinkan
berangsur-angsur dihentikan.13
a. Definisi
Anemia merupakan kondisi konsentrasi hemoglobin (Hb) >2 standar
deviasi di bawah rata-rata untuk usia, ras, dan jenis kelamin. Panduan nilai normal
Hb berdasarkan World Health Organization (WHO).14
Tabel 3. Nilai batas hemoglobin WHO14
Usia (tahun) Hemoglobin (g/dL)
0.5 - 5 <11
5 - 12 <11.5
12 - 15 <12
Laki-laki > 15 <13
Perempuan > 15 <12
b. Patogenesis
Penyebab anemia pada CKD diduga multifaktorial. Penyebab utama
adalah menurunnya produksi hormon eritropoietin (Epo) oleh ginjal. Beberapa
faktor lain yang diduga berperan, antara lain: defisiensi mikronutrien (besi,
vitamin C, B12, asam folat, karnitin), malnutrisi, inflamasi/infeksi, kehilangan
darah (plebotomi, hemodialisis, perdarahan saluran cerna, menstruasi, perdarahan
karena defek fungsi platelet pada CKD), hemolisis, supresi sumsum tulang,
hiperparatiroid, toksisitas aluminum, obat-obatan (ACE-inhibitor, angiotensin
receptor blockers), penyakit sistemik (hemoglobinopati, hipotiroidisme, SLE,
keganasan).14
- Defisiensi Eritropoietin (Epo)
Hormon Epo merupakan hormon glikoprotein yang berfungsi sebagai
sinyal molekul untuk prekursor sel-sel darah merah atau factor
pertumbuhan hematopoietik sumsum tulang. Pada CKD, hipoksia jaringan
ginjal menyebabkan penurunan stabilitas hypoxia-inducible factor-1 (HIF-
1) dan aktivitas transkripsi, selanjutnya terjadi kerusakan sel-sel yang
memproduksi Epo. Derajat defisiensi Epo memburuk seiring dengan
penurunan glomerular filtration rate (GFR). Derajat GFR di bawah 43
mL/min/1,73 m2 berkaitan dengan penurunan kadar Hb pada anak dengan
CKD.2 Anemia umumnyaterjadi pada CKD stadium 3b (GFR 30–44
mL/menit/1,73 m2) dan sangat sering pada stadium 4 dan 5.14
- Defisiensi Mikronutrien (Besi, B12, Folat, Karnitin)
Anak dengan CKD dapat mengalami anemia defisiensi besi karena
beberapa factor seperti asupan zat besi kurang, gangguan penyerapan besi
di saluran cerna (akibat inflamasi, obat-obatan), kehilangan darah
(plebotomi, dialisis, menstruasi, Tindakan bedah), hemodialisis, deplesi
besi pada terapi erythropoiesis-stimulating agent (ESA). Selain besi,
defisiensi vitamin B12, folat, karnitin, vitamin C, dan tembaga juga dapat
menyebabkan anemia pada CKD. Defisiensi karnitin berkaitan dengan
penurunan kekuatan membran sel darah merah/lebih rapuh, sehingga usia
lebih pendek. Defisiensi karnitin dapat terjadi karena terbuangnya karnitin
selama terapi hemodialisis, juga dapat karena kurangnya diet dan
gangguan sintesis endogen. Kehilangan karnitin melalui ginjal banyak
terjadi pada anak dengan sindrom Fanconi.14
- Malnutrisi
Secara umum, pada kondisi malnutrisi terjadi defisiensi nutrisi seperti zat
besi dan zat-zat lain yang diperlukan untuk pembentukan sel-sel darah
merah. Selain itu, malnutrisi berkaitan dengan risiko inflamasi yang dapat
secara langsung menyebabkan resistensi terhadap terapi erythropoiesis-
stimulating agents (ESA).14
- Inflamasi/Infeksi
Proses inflamasi akut/kronik dapat menurunkan sintesis sel-sel darah
merah (eritropoiesis). Petanda/marker inflamasi umumnya meningkat
pada anak dengan CKD. Inflamasi pada CKD dapat terjadi karena
beberapa hal seperti kegagalan sistem imun pada uremia yang memicu
respons inflamasi non-spesifik, prosedur bedah (hemodialisis,
transplantasi ginjal), infeksi akut, penyakit imun (SLE, Wegener
granulomatosis). Prosedur hemodialisis dapat memicu inflamasi melalui
aktivasi sistem komplemen, aktivasi langsung sel inflamasi melalui
membran dialisis ataupun difusi endotoksin dari dialisat.14
c. Menifestasi Klinis
Dampak klinis anemia secara sistemik berupa lemas, menurunnya kualitas
hidup, kurang nafsu makan, gangguan tidur, depresi, gangguan fungsi kognitif,
dan lain-lain. Dampak lain meliputi hipertrofi ventrikel kiri, gangguan
pertumbuhan dan perkembangan. Anemia pada anak CKD berkaitan dengan
peningkatan risiko gangguan kardiovaskular, peningkatan morbiditas, angka
rawat inap di RS, mortalitas, dan penurunan kualitas hidup.14
d. Diagnosis
Diagnosis anemia adalah berdasarkan kadar Hb sesuai usia dan jenis
kelamin. Evaluasi awal anemia pada anak dengan CKD adalah pemeriksaan
complete blood count, retikulosit, profil besi (feritin, serum besi, total iron binding
capacity/TIBC, saturasi transferin), serum asam folat, dan vitamin B12.
Pengukuran kadar Epo tidak rutin dilakukan dan tidak direkomendasikan.14
e. Tatalaksana
Tata laksana anemia pada anak dengan CKD berdasarkan penyebab yang
mendasarinya. Pada anemia akibat defisiensi Epo, dapat diberikan terapi
erythropoiesis stimulating agents (ESA). Anemia karena defisiensi mikronutrien
dapat diberi suplementasi seperti zat besi, vitamin B12, atau asam folat. Transfusi
darah mungkin diperlukan pada anak dengan anemia yang memiliki manifestasi
klinis, anemia berat karena kehilangan darah, hemolitik, atau yang tidak respons
dengan terapi konservatif.14
- Terapi Besi
Anemia defisiensi besi banyak dijumpai pada pasien CKD. Terapi besi
oral (atau intravena pada pasien HD) pada anak CKD direkomendasikan
jika saturasi transferrin ≤20% dan serum feritin ≤100 ng/mL, atau pada
pasien yang mendapat terapi ESA untuk mempertahankan saturasi
transferin >20% dan serum feritin >100 ng/mL. Target terapi besi pada
CKD 5 HD adalah serum feritin >200 ng/mL dan saturasi transferin >20%;
sedangkan CKD 5 non-HD dan pre-dialisis adalah serum feritin >100
ng/mL dan saturasi transferin >20%. Terapi tidak diberikan jika ada
kelebihan besi, yang ditandai serum feritin >800 ng/mL atau saturasi
transferin >50%. Monitoring profil besi dilakukan setidaknya setiap 3
bulan selama terapi ESA, atau dapat lebih sering saat
inisiasi/meningkatkan dosis ESA atau terdapat kehilangan darah.14
- Transfusi Darah
Belum ada indikasi pasti transfusi darah untuk anemia kronik pada CKD.
KDIGO merekomendasikan agar menghindari transfusi sel darah merah
pada anemia kronik untuk mengurangi risiko transfusi (reaksi imunologis,
non-imunologis, penularan infeksi, dll). Transfusi hanya dipertimbangkan
jika manfaat lebih besar dibandingkan risiko; atau terapi ESA tidak efektif
(pada hemoglobinopati, kegagalan sumsum tulang, resistensi ESA), risiko
terapi ESA lebih besar daripada manfaatnya (keganasan, risiko stroke).
Pada kondisi tertentu seperti perdarahan akut atau rencana operasi cito
mungkin memerlukan transfusi darah segera. Transfusi sel darah merah
dapat dipertimbangkan jika Hb <7 g/dL, atau Hb <8 g/dL pada pasien
berisiko tinggi (penyakit kardiovaskular atau pernapasan), sedangkan pada
kadar Hb 7-10 g/dL indikasinya belum jelas.1
Vesicoureteral reflux
VUR adalah aliran urin retrograde dari kandung kemih ke ginjal. VUR dapat
menyebabkan ISK, pielonefritis dan kerusakan ginjal lebih lanjut. Insiden VUR
secara keseluruhan tidak diketahui, karena VCUG tidak rutin dilakukan pada anak
sehat. Namun, VUR telah terdeteksi pada sekitar 8-50% pada anak, 36-49% pada
bayi dan neonatus yang melakukan pemeriksaan VCUG setelah mengalami gejala
ISK. Mayoritas pasien dengan VUR didiagnosis setelah terjadi ISK. Selain itu,
VUR sering didiagnosis saat USG prenatal menunjukkan hidronefrosis atau
hidroureter, pada anak dengan multicystic dysplastic kidney (MCDK) unilateral,
atau anak yang menderita disfungsi kandung kemih yang signifikan. Ada beberapa
etiologi VUR, termasuk anomali anatomi, gangguan sinyal seluler, dan defek
genetik.15
Standar emas untuk diagnosis VUR adalah Voiding Cystourethrogram
(VCUG). VCUG adalah tes invasif yang memerlukan kateterisasi uretra dan
fluoroskopi atau pemberian radionuklida. VCUG merupakan modalitas yang
digunakan untuk mengidentifikasi grading refluks. Penilaian grading telah
dilakukan dan distandarisasi oleh International Reflux Study dan dikategorikan
sebagai grade I hingga grade V, dengan kelas V menjadi yang paling parah.
Meskipun USG tidak sensitif untuk mendeteksi VUR, ini adalah modalitas
pencitraan pertama yang digunakan untuk mencari kelainan ginjal atau urologi
lainnya, termasuk dilatasi pelvis renal atau ureter. Academy of Pediatrics
merekomendasikan pemeriksaan USG rutin untuk anak-anak di bawah 24 bulan
dengan ISK.15
VUR kemungkinan saja dapat terjadi resolusi spontan. Faktor-faktor yang
meningkatkan kemungkinan resolusi VUR adalah ras non-kulit putih, VUR
tingkat rendah, tidak adanya disfungsi berkemih dan tidak adanya jaringan parut
ginjal. Dilatasi ureter, usia yang lebih besar pada saat mengalami VUR, dan VUR
bilateral menurunkan kemungkinan resolusi.15
Tindak lanjut klinis terhadap VUR diperlukan karena VUR dapat
menyebabkan pielonefritis dan jaringan parut ginjal berikutnya. Berbagai faktor
mempengaruhi kemungkinan terjadinya jaringan parut pada anak-anak dengan
VUR dan ISK. Faktor yang mempengaruhi tersebut adalah keparahan refluks, usia
di mana pasien VUR mengalami ISK, keterlambatan pengobatan, virulensi
bakteri, genetika, dan disfungsi imun. Setelah terjadi pielonefritis akut, parut
ginjal terjadi sekitar 1-2 setelahnya. Kerusakan parenkim ginjal dapat
menyebabkan proteinuria, hipertensi, dan penyakit ginjal kronis.15
Penatalaksanaan VUR dibagi menjadi pengobatan medis dan bedah.
Penatalaksanaan medis didasarkan pada pengamatan bahwa VUR tingkat rendah
akan hilang secara spontan. Penatalaksanaan medis meliputi pengobatan disfungsi
kandung kemih, memperbaiki gangguan metabolisme yang berasal dari
insufisiensi ginjal, kontrol tekanan darah, penurunan proteinuria, dan melakukan
follow up radiologi. Manajemen bedah dapat dipertimbangkan bersamaan anomali
saluran kemih atas atau bawah atau ISK berulang.15
Meningokel
Meningokel sederhana terdiri dari meningen dan CSF yang menonjol ke
dalam jaringan subkutan pada defek spinal. Meningokel kompleks berhubungan
dengan anomali tulang belakang lainnya. Meningokel adalah anomali tulang
belakang yang biasanya tidak menunjukkan gejala dan tidak berhubungan dengan
kondisi neurologis akut. Defek tabung saraf merupakan jenis cacat bawaan kedua
yang paling umum terjadi setelah cacat jantung bawaan.16
Ada dua jenis tipe meningokel yaitu terbuka atau tertutup. Disrafisme spinal
terdiri dari spektrum anomali kongenital yang berasal dari lengkungan saraf yang
rusak, yang menyebabkan herniasi meningen atau elemen saraf, yang
menyebabkan berbagai manifestasi klinis. Disrafisme spinal termasuk aperta (lesi
yang terlihat) dan okulta (tanpa lesi eksternal yang terlihat). Meningokel,
mielomeningokel, lipomeningomielokel, rachischisis, dan myeloschisis adalah
nama-nama yang familiar berdasarkan temuan patologis. Myelomeningocele
adalah yang paling umum di antara kasus lainnya yang mencakup 90% kasus.
Etiologi pasti dari meningokel masih kurang dipahami. Sebagian besar
defek tabung saraf disebabkan oleh kekurangan asam folat, faktor risiko genetik
dan lingkungan. Defisiensi asam folat mungkin berhubungan dengan asupan oral
yang tidak memadai, penggunaan antagonis folat, atau faktor genetik yang
menyebabkan metabolisme folat abnormal. Mereka mungkin juga berhubungan
dengan kelainan kromosom atau kelainan gen tunggal.16
Patofisiologi
Meningokel terjadi akibat kegagalan perkembangan ujung ekor tabung saraf
sehingga timbul penonjolan yang berisi cairan serebrospinal, meningen, kulit di
atasnya, dan tidak terdapat sumsum tulang belakang sebagai isinya. Meningokel
anterior biasanya terletak di presacral. Meningokel intratoraks adalah kantung
berisi cairan dengan penonjolan dinding meningeal tulang belakang ke dalam
rongga dada melalui foramen intervertebralis yang membesar. Sindrom
meningokel lateral (LMS) adalah entitas klinis dengan meningokel tulang
belakang lateral multipel (tonjolan arachnoid dan dura melalui foramina tulang
belakang), ciri wajah yang khas, hipotonia, hiperekstensibilitas sendi, anomali
jantung, kerangka, dan urogenital.16
Manifestasi neurologis meningokel bergantung pada ukuran dan lokasinya,
termasuk nyeri punggung, neurogenic bladder, parestesia, dan paraparesis.
Temuan neurologis lainnya dapat mencakup syringomyelia, malformasi Chiari I,
dan hidrosefalus yang jarang terjadi.16
TRANSPLANTASI GINJAL
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal yang utama pada
anak gagal ginjal terminal (GGT) atau penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).
Keberhasilan transplantasi ginjal pada anak dan remaja tidak hanya mengubah
sindrom klinik uremia, tetapi juga memperbaiki keterlambatan pertumbuhan
tulang, maturasi seksual, perbaikan kognitif dan fungsi psikososial. Transplantasi
ginjal yang berhasil dapat memperbaiki kualitas hidup dan tumbuh kembang
optimal kurang lebih 25 – 30 tahun. Anak yang dapat mendapat transplantasi
ginjal bertahan hidup lebih lama dibanding dengan anak yang menjalani dialysis
dan atau masih menunggu transplantasi.12
Beberapa aspek klinis transplantasi ginjal pada anak hampir sama dengan
dewasa. Obat-obatan imunosupresif dan regimen yang digunakan sama, kreatinin
adalah serum biomarker utama, rejeksi akut ditentukan terutama dengan biopsi
menggunakan kriteria Banff untuk klasifikasi rejeksi dan mekanisme rejeksi dari
ginjal transplan secara umum adalah sama. Beberapa aspek yang berbeda antara
anak dan dewasa adalah faktor imunologi, penyakit primer yang mendasari gagal
ginjal, imunisasi yang diperlukan sebelum transplantasi, teknik operasi pada anak
kecil, serta aspek metabolism obat dan frekuensi infeksi virus pasca transplantasi
yang lebih tinggi pada anak daripada orang dewasa.12
Indikasi dan Kontraindikasi
a. Semua anak yang mengalami penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) permanen
b. Semua anak yang mengalami PTA, tetapi tidak menghendaki terapi dialisis
a. Anak dengan penyakit autoimun seperti nefritis lupus, GSFS sering mendapat
terapi kortikosteroid dan imunosupresif lain untuk jangka panjang. Perlu
mempertimbangkan menghentikan terapi tersebut jika sudah tidak ada harapan
lagi dalam terapi PGTA sehingga anak dipersiapkan kembali untuk
mendapatkan nutrisi dan stabilitas metabolik yang baik
b. Anak dengan kasus urologi tertentu seperti anak dengan SN kongenital tipe
Finlandia diperlukan nefrektomi dan GSFS diperlukan tatalaksana khusus
seperti nefrektomi bilateral, plasmaferesis dan pemberian rituximab. Anak
dengan malformasi urologi pada vesika urinaria atau tractus urinarius
membutuhkan operasi rekonstruksi ekstensif.
c. Identifikasi penyakit penyerta lainnnya yang dapat memperburuk luaran seperti
hipertensi, dislipidemia, uremia, ulkus peptikum, karies dentis, dan penyakit
jantung, Pembedahan yang mungkin dilakukan sebelum transplantasi ginjal
misalnya saluran kemih: batu saluran kemih, nefrektomi, eksisi leher kandung
kemih; jantung: dilakukan operasi pintas koroner; gastrointesitinal: penyakit
divertikel atau batu kandung empedu; gigi dan mulut: ekstraksi gigi
Faktor yang Berkaitan dengan Donor
Terdapat dua jenis ginjal donor, yaitu ginjal donor hidup yang sehat (living
donor) dan ginjal donor jenazah. Transplantasi dengan donor ginjal hidup
memberikan hasil yang lebih baik, tetapi donor jenazah juga memberi keuntungan
yaitu tidak terdapat risiko pada pendonor dan ginjal donor dapat diberikan kepada
resipien yang sesuai.12
ANALISA KASUS
Pada kasus ini anak laki-laki berusia 16 tahun 11 bulan datang dengan
keluhan sesak nafas. Sesak nafas bertambah ketika beraktivitas dan membaik jika
beristirahat dalam posisi duduk. Anak tampak bengkak pada kedua kelopak mata.
Pucat (+), krisis hipertensi (+). Anak mengalami krisis hipertensi pada saat masuk
ke IGD dengan tensi terukur: 160/120 mmHg (krisis) yang membaik dengan
diberikan nifedipine 5 mg dan 7.5 mg; HR: 123x/m; RR: 30x/m, saturasi oksigen
terukur 80% free air kemudian anak diberikan NRM 8 lpm, (saturasi terukur
menjadi 98%). Pada pemeriksaan fisik ditemukan: edema palpebra (+/+),
conjungtiva anemis (+/+), ronkhi pada kedua lapang paru. Pada laboratorium
menunjukan Hb 5.1 g/dL, pada pemeriksaan radiologis didapatkan adanya
gambaran edema paru dan kardiomegali.
Kemudian anak didiagnosa dengan CKD stage V on HD (LFG 7.38
ml/min/1.73m2), edema pulmo, hipertensi stage II dengan riwayat krisis
hipertensi, anemia normositik normokrom dd/ penyakit kronis (Hb 5.1 g/dL), gizi
kurang dan perawakan pendek. Di IGD, anak telah diberikan oksigen NRM 8 lpm,
infus D51/2 NS 5 tpm makro, injeksi furosemide 40 mg/12 jam, pemberian
nifedipine 5 mg – 7.5 mg dan 10 mg SL serta usaha PRC 250 cc – 250 cc. Pada
hari pertama perawatan, transfusi PRC 250 cc telah diberikan dan 1 kantong PRC
lagi rencana masuk durante HD pada keesokan hari nya.
Keesokan harinya pada tanggal 22 September 2023, anak menjalani HD
dengan transfuse PRC durante HD. Terdapat krisis hipertensi pasca HD dengan
tensi terukur 180/100 mmHg (krisis hipertensi) dan membaik ketika diberikan
nifedipine 5 mg SL. Pasca HD, sesak berkurang. Anak telah di weaning NRM 6
lpm dengan saturasi terukur 99%. Pasca transfuse 2 kantong, Hb naik menjadi 9.1
g/dL
Keesokan harinya pada tanggal 23 September 2023, sesak nafas masih
dirasakan namun sudah berkurang. Anak di weaning oksigen menggunakan NK 3
lpm dengan saturasi terukur 99%. Batuk berdahak bercampur lendir berwarna
merah muda dan berbuih (+). Bengkak pada mata dan wajah berkurang. Krisis
hipertensi (-). Balans per 24 jam: -202.5 ml dan diuresis per 24 jam : 0.87
cc/kg/jam. Target perawatan adalah weaning oksigen dan hemodialisis pada
tanggal 25 September 2023.
Pada tanggal 24 September 2023, Sesak nafas perbaikan, sudah dapat
diweaning NK 2 lpm. Batuk (+) dengan bercak darah merah segar sudah lebih
jarang. Sudah tidak mual. Bengkak (-). Balans per 24 jam: -130 ml dan diuresis
per 24 jam : 0.45 cc/kg/jam. Anak direncanakan HD kembali pada besok hari
Keesokan harinya, sesak nafas tidak ada, anak sudah lepas oksigen dan
saturasi terukur 98%. Bengkak pada kelopak mata (-), batuk bercampur lendir
berwarna pink dan berbusa sudah berkurang. Anak direncakan HD dengan durasi
4 jam dengan tarikan sebanyak 1 L. Anak saat ini menggunakan kateter namun
BAK tidak keluar. Teraba vesika urinaria penuh. Anak direncanakan setelah HD,
dilakukan spooling pada kateter. Jika setelah spooling, aliran urin keluar dan
lancer, anak direncanakan rawat jalan setelah pengambilan laboratorium 4 jam
pasca HD.
Pasien telah menjalani hemodialisa rutin di RSDK 2x/minggu setiap hari
Senin dan Kamis. Anak terdiagnosis CKD stage V sejak Juli 2023. Sebelumnya,
anak pernah dilakukan operasi meningokel pada saat usia 3 tahun, anak juga
mengalami riwayat ISK berulang sejak anak berusia 11 tahun. Di rumah, anak
BAK dengan rutin menggunakan Clean Intermitten Catheter sebanyak 4x/hari
dengan volume rata-rata urin sekitar 300-400 cc/hari.
Pada kasus ini masih mungkin untuk dilakukan transplantasi ginjal
mengingat usia anak sudah menginjak usia 16 tahun 11 bulan (usia remaja), BB
35 kg (>10 kg) dan pasien baru menjalani hemodialisis sejak 3 bulan terakhir.
Etiologi CKD pada pasien ini adalah kemungkinan adanya neurogenic bladder
dan VUR karena penyakit meningokel yang diderita pasien sejak lahir. Pasien
menjalani operasi meningokel saat usia 3 tahun.
Kelainan saluran kemih bagian bawah tidak menghalangi untuk pasien
dilakukan transplantasi ginjal. Koreksi anomali struktural dan optimalisasi fungsi
penyimpanan dan pengosongan kandung kemih dianjurkan sebelum transplantasi
seperti misalnya tindakan bladder augmentation dan augmentation
enterocystoplasty. Anak-anak dengan anomali urologi yang menerima
transplantasi ginjal memerlukan kontrol rutin untuk mendeteksi infeksi saluran
kemih dan USG rutin harus dilakukan setiap 3 bulan selama tahun pertama pasca
operasi.
Pada anak yang mengalami VUR, tingkat kelangsungan hidup adalah
92.8% pasca transplantasi. Tingkat kelangsungan hidup cangkok yang paling
buruk pada 1 tahun pertama adalah pada kelainan katup uretra posterior dimana
tingkat kelangsung hidup pada 1 tahun adalah 74%; dan pada 5 tahun adalah
62.9%.
DAFTAR PUSTAKA
.
LAMPIRAN