Anda di halaman 1dari 41

CBD MADYA STASE NEFROLOGI

September - Oktober 2023

Anak Perempuan Usia 16 Tahun 11 Bulan dengan


CKD Stage V on HD (LFG 7.38 ml/min/1.73m2), Edema pulmo,
Hipertensi stage II dengan Riwayat Krisis Hipertensi, Anemia
Normositik Normokrom (Hb 5.1 g/dL) dd/ penyakit kronis (Hb 5.1), Gizi
kurang, Perawakan Pendek

Oleh :
Santi Iskandar

Pembimbing :
dr. R. Rochmanadji, Sp.A(K), MARS

Dr. dr. M. Heru Muryawan, Sp.A(K)

Dr. dr. Omega Mellyana, Sp.A(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP Dr. KARIADI SEMARANG
2023
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit ginjal kronik (PGK) atau Chronic Kidney Desease (CKD) adalah keadaan
dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang cukup berat secara perlahan-lahan dalam jangka
waktu lama (menahun) disebabkan oleh berbagai penyakit ginjal. Peyakit ini bersifat progresif
dan umumnya tidak dapat pulih kembali (irreversibel). Gagal Ginjal Terminal adalah fase
terakhir dari PGK dengan fungsi ginjal sudah sangat buruk. Kedua hal tersebut bisa dibedakan
dengan tes klirens kreatinin.1
Fungsi ginjal menandakan kondisi ginjal dan fungsinya dalam fisiologi ginjal. Glomerular
Filtration Rate (GFR) menandakan jumlah cairan yang di filtrasi oleh ginjal. Creatinine
Cleareance Rate (CrCl) menandakan jumlah kreatinin darah yang disaring oleh ginjal. CrCl
merupakan parameter yang berguna untuk mengetahui GFR dari ginjal.2
Penyebab dari penyakit ginjal kronis dapat berupa diabetes melitus, tekanan darah tinggi
(Hipertensi), glomerulonephritis, penyakit ginjal polikistik (Polycystic Kidney Disease).
Faktor resiko dari penyakit ginjal kronis dapat berupa riwayat penyakit keluarga pasien.
Diagnosis dari penyakit ginjal kronis secara umum berupa tes darah yang berfungsi untuk
mengetahui Glomerulus Filtration Rate (GFR), dan tes urin untuk mengetahui apakah terdapat
albuminuria. Pemeriksaan lebih lanjut dapat berupa ultrasound dan biopsi ginjal untuk
mengetahui penyebab dari penyakit ginjal kronis. 3,4
Pada tahun 2016, Penyakit ginjal kronis terdapat pada sekitar 753 juta orang di seluruh
dunia yang meliputi 336 juta pada pasien laki-laki dan 417 juta pada pasien perempuan.
Penyebab tersering penyakit ginjal kronis adalah Hipertensi pada 550 ribu pasien, diabetes
melitus pada 418 ribu pasien, dan glomerulonephritis pada 238 ribu pasien.5
Melihat banyaknya prevalensi penyakit ginjal kronis dan jumlah mortalitas yang tinggi,
penulis dalam makalah ini tertarik untuk mengambil kasus mengenai seorang anak perempuan
usia 16 tahun 11 bulan dengan Penyakit Ginjal Kronik (PGK) on hemodialisis, edema paru,
hipertensi stage 2, anemia normositik normokromik, gizi kurang dan perawakan pendek.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : An S C R
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 16 tahun 11 bulan
Tanggal lahir : 18 Oktober 2006
Agama : Islam
Alamat : Semarang
Ruang perawatan : Cendra Lantai 2 kamar 4.5
Nomor CM : C177xxx
Masuk rumah sakit : 21 September 2023
Tanggal pemeriksaan : 23 September 2023

IDENTITAS ORANG TUA PASIEN


Nama Ayah : Tn. HR
Usia : 45 tahun
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Pegawai swasta
Nama Ibu : Ny. LM
Usia : 39 tahun
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

ANAMNESIS

(Dilakukan pada tanggal 23 September 2023, dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis


dengan ibu pasien)
Keluhan utama: Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang:
- 3 hari SMRS, anak mengeluh sesak nafas hilang timbul. Sesak nafas terutama ketika
beraktivitas dan diperingan jika anak tidur menggunakan 2 bantal. Sesak nafas disertai
batuk berdahak bercampur lendir berwarna merah muda dan berbuih. Anak disertai
lemas yang membaik ketika istirahat, tampak pucat pada area mata, bibir hingga telapak
tangan. Anak mengalami penurunan nafsu makan. Mual (-), muntah (-), demam (-)
nyeri sendi (-) rambut rontok (-), nyeri kepala (-), kejang (-), bengkak pada kaki (-).
BAB (+) 2-3 hari sekali, konsistensi normal dan warna kuning. BAK (+) dengan
menggunakan Clean Intermitten Catheter urine berwarna kuning jernih, tidak berbuih
dengan frekuensi 3-4x/ hari, sekitar 300-400 cc/hari. Anak pasca dilakukan HD rutin
rawat jalan 4 hari yang lalu, saat HD tidak ada keluhan
- 12 jam SMRS, keluhan sesak semakin memberat. Sesak dirasakan terus menerus,
Keluhan sesak nafas memberat dalam posisi tidur terlentang dan membaik bila pasien
mendapat suplementasi oksigen dan dalam posisi duduk. Di rumah, saturasi oksigen
terukur 80% tanpa oksigen. Tampak bengkak pada kedua kelopak mata. Batuk
berdahak bercampur lendir berwarna merah muda dan berbuih. Mual (-), muntah (-),
demam (-) nyeri sendi (-) rambut rontok (-), nyeri kepala (-), kejang (-), bengkak pada
kaki (-). Keluhan lemas semakin memberat disertai nafsu makan semakin menurun.
Karena kondisinya tidak kunjung membaik, anak dibawa ke IGD RSDK

Riwayat Penyakit Dahulu:


- Riwayat rawat inap dengan keluhan yang sama pada Agustus 2023
- CKD stage V on HD -- pertama kali HD 26 Juli 2023
- Riwayat hipertensi on terapi
- Riwayat operasi meningokel saat usia 3 tahun
- Riwayat ISK berulang sejak tahun 2017

Riwayat Pengobatan:
- Natrium bicarbonat 1 g/6 jam
- Kalsitriol 0.5 mcg/24 jam
- Kalsium laktat 500 mg/24 jam
- CaCO3 500 mg/8 jam
- Asam folat 1 mg/24 jam
- Kaptopril 25 mg/8 jam
- Valsartan 80 mg/24 jam
- Amlodipin 10 mg/24 jam
- Spironolakton 50 mg/24 jam
- N-asetil sistein 200mg/8 jam
- Furosemide 40 mg/24 jam
-
Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat keluarga mengalami keluhan serupa disangkal (-)
- Riwayat anggota keluarga dengan penyakit ginjal (-).
- Riwayat anggota keluarga autoimun (-), hipertensi (-), diabetes (-), sakit jantung (-).

Riwayat Sosial dan Ekonomi:


Ayah bekerja sebagai wiraswasta dan Ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pembiayaan
menggunakan BPJS non PBI
Kesan: Status sosial ekonomi cukup

Riwayat Perinatal :
Anak lahir dari ibu G2P1A0, 23 tahun, usia kehamilan 38 minggu di Puskesmas.
Selama hamil ibu sehat, Ibu jarang mengkonsumsi asam folat saat lahir. Anak lahir
secara spontan. Lahir langsung menangis dengan BBL 2900 gram, PBL lupa cm.
Tidak ada riwayat kuning, sianosis, kejang, perawatan lama. Teraba benjolan kecil
pada punggung sejak lahir.

Riwayat Imunisasi
- Hepatitis B : 0 bulan
- BCG dan polio : usia 1 bulan
- DPT/HB/HIB 1 dan polio : usia 2 bulan
- DPT/HB/HIB 2 dan polio 3 : usia 3 bulan
- DPT/HB/HIB 3 dan polio 4 : usia 4 bulan
- IPV usia 6 bulan
- Campak usia 9 bulan
- Booster DPT/HB/HIB dan Campak usia 18 bulan
- BIAS kelas 1 SD
- BIAS kelas 5 SD belum
Kesan: imunisasi dasar lengkap, booster belum lengkap

Pohon Keluarga

Kondisi saat di IGD:


Anak sesak nafas, sesak nafas diperingan jika anak dalam posisi duduk. Batuk berdahak
bercampur lendir berwarna merah muda dan berbuih. Tampak bengkak pada wajah dan
kedua kelopak mata. Mual (+), muntah (-). Nafsu makan menurun. Nyeri kepala (-) kejang
(-). Krisis HT (+) 1x, perbaikan dengan nifedipin 5 mg sub lingual

Kondisi saat di Bangsal: (23 September 2023)


Sesak nafas berkurang. Anak sudah weaning menjadi NK 3 lpm. Batuk berdahak
bercampur lendir berwarna merah muda dan berbuih. Bengkak pada mata dan wajah
berkurang

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pemeriksaan fisik pada tanggal 23 September 2023 di Bangsal Cendrawasih
Lantai 2.

Anak laki-laki 16 tahun 11 bulan


BB: 34, TB 145 cm. BSA: 1.17 m2
WAZ: NA; HAZ: -2.67; BMI: -2.1

Keadaaan umum: sadar, tampak sesak, lebih nyaman jika posisi duduk
TD: 152/100 mmHg (P95+12)
HR: 98 x/menit
RR: 22 x/menit
T: 36,6 C
SpO2: 99% on NRM 8 lpm
N: Reguler, isi dan tegangan cukup

P50 102/61 // P90 114/75 // P95 130/80 //P95+12 140/90 // P krisis 180/120 mmHg

Kepala : Mesosefal
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (+/+)
Hidung : Nafas cuping (-)
Mulut : Sianosis (-) mukosa lembab (+)
Thorax : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (+) subcostal
Cor : BJ I-II Normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Suara dasar vesikuler (+/+), rhonkhi (+/+), wheezing (-/-)
Abdomen : Cembung, supel, bising usus (+) normal, hepar dan lien tak teraba
membesar, shifting dullnes (-)
Ekstremitas : Akral dingin (-/-) (-/-), CRT <2"/<2", sianosis (-/-) (-/-), edema (-/-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Lengkap Satuan Nilai 21/9/23 22/9//23 25/9/23


Normal
Hemoglobin g/dL 11.7-15.5 5.1 9.1 8.6

Hematokrit % 32-62 17 27.1 25.6

Eritrosit 10^6 /μL 4.4-5.9 1.89 3.43 3.2

MCH pg 27-32 27 26.5 26.9

MCV fL 76-96 89.9 79 80

MCHC g/dL 29-36 30 33.6 33.6

Leukosit 10^3 /μL 3600- 7400 6900 7100


11000
Trombosit 10^3 /μL 150000- 156.000 158.000 151.000
400000
RDW % 11.6-14.8 13.7 14.7 14.3

MPV fL 4-11 10.1 9.2 9.6

Kimia Darah

Calcium mmol/L 2.12-2.52 2.2 2 -

Natrium mmol/L 136-145 138 134 -

Kalium mmol/L 3.5-5 4.3 3.8 -

Chloride mmol/L 95-105 100 104 -

Ureum mg/dL 15-39 125 71 52

Creatinin mg/dL 0.6-1.3 10.8 7 5.4

LFG ml/min/1,73m2 >90 7.38 11.39 14.7

SI ug/dL 50-175 - - 92

TIBC ug/dL 250-450 - - 232

SI/TIBC - - 39.6%

Thorax 21/09/2023

Kesan:
Konfigurasi jantung relatif sama (Cardiomegaly LV,LA)
Gambaran edema pulmonum
Efusi pleura dupleks berkurang
USG ginjal 29 Juli 2023

Kesan:
Peningkatan ekogenisitas korteks ginjal kanan kiri (sesuai Brenbridge I), mendukung proses
kronis kedua ginjal
Caliectasis ginjal kanan kiri
Penebalan disertai ireguleritas dinding vesika urinaria, cenderung sistitis
Flud collection minimal pada paravesika urinaria dan cavum douglass

DAFTAR MASALAH
No Masalah Aktif Masalah Pasif
1 Sesak Gizi kurang, perawakan pendek
2 Lemas
2 CKD on HD
3 Edema paru
4 Hipertensi stage 2 dan krisis
hipertensi
5 Anemia normositik normokromik
DIAGNOSIS
CKD stage V on HD (LFG 7.38 ml/min/1.73m2)
Edema paru
Hipertensi stage II dengan riwayat krisis hipertensi
Anemia normositik normokrom dd/ Penyakit kronis (Hb 5.1 g/dL)
Gizi kurang, perwakan pendek

TATALAKSANA
02 8 lpm dengan non rebreathing mask
Infus D5 1/2 NS 5 ml/jam
Injeksi furosemide 40 mg/12 jam
Injeksi omeprazole 20 mg/12 jam

PO:
Natrium bicarbonat 1 g/6 jam
Kalsitriol 0.5 mcg/24 jam
Kalsium laktat 500mg/24 jam
CaCO3 500 mg/8 jam
Asam folat 1 mg/24 jam
Kaptopril 25 mg/8 jam
Valsartan 80 mg/24 jam
Nifedipin 10 mg/8 jam
Spironolakton 50 mg/24 jam
N-asetil sistein 200mg/8 jam

Diet :
Nasi 3x1 rendah garam, Nefrisol 1x200ml

Program :
- Transfusi PRC 250 cc - 250 cc dalam 4 jam (1 kolf PRC masuk durante HD)
- Bila krisis hipertensi, berikan nifedipin sub lingual 5 mg--7.5 mg--10 mg
- Balans cairan dan diuresis tiap 12 jam
- HD rutin Senin dan Kamis
- Cek hematologi paket, ureum, kreatinin, elektrolit, kalsium, albumin, asam urat, fosfat
anorganik post HD 4 jam

Resep HD (Jumat, 22 Sept 2023) (Dialiser 90)


UFG min = (0,2 x 80 x 34) = 544 ml ~ 0,5 L
UFG max = 5% x 34 = 1,7 L
UFR max 2% x 34 = 0,68 L/jam
UFG diambil = UFG minimal + transfusi PRC 250 cc = 0.5 + 0.25 = 0.75 L ~ 1 L
Durasi 4 jam
UFR 1.7 L/4 jam = 0.4 L/jam
Blood flow 3-8 x 34 = 102 - 272 ml/menit = 150 ml/menit
Injeksi Fenobarbital 100 mg pre dan post HD

Asuhan Nutrisi Pediatri


RDA 24 jam Cairan Kalori Protein Lemak
1780 ml 1850 kkal 37 gr 37 gr
D5 ½ NS 5cc/jam 120 40,8 kkal - -

Nasi RG 3 x 1 300 1566 kkal 53.7 gr 32.4 gr

Nefrisol 3 x 200 ml 600 390 10.35 10,35

Total 1020 ml 1997 kkal 64.05 gr 42.75 gr


% RDA 57.3 % 107 % 173% 115%
FOLLOW UP SELAMA RAWAT INAP

Tanggal Klinis, Penunjang Assessment Terapi


HP 1 Sesak berkurang, anak saat ini weaning - CKD stage V on HD (LFG 7.38 - HD hari ini, dengan transfuse PRC durante HD
22/09/23 NRM 6 lpm. Masih tampak bengkak ml/min/1.73m2)
pada kedua kelopak mata. Anak kemarin - Edema Paru - Cek hematologi paket, ureum, kreatinin, elektrolit,
- Hipertensi stage II dengan riwayat kalsium, albumin, asam urat, fosfat
krisis HT 2x turun dengan pemberian
krisis hipertensi
nifedipin 10 mg 3 kali - Anemia normositik normokromik anorganik post HD 4 jam
dd/ penyakit kronis (Hb 9.1 g/dL)
Anak pasca transfusi PRC 250 cc - Bila krisis hipertensi, berikan nifedipin sub
- Gizi kurang, perawakan pendek
kemarin
lingual 5 mg--7.5 mg--10 mg
Batuk berdahak bercampur lendir
berwarna merah muda dan berbuih

Resep HD (Jumat, 22 Sept 2023) (Dialiser 90)


TD: 147/98 mmHg (P95+12)
UFG min = (0,2 x 80 x 34) = 544 ml ~ 0,5 L
Sp02: 99% on NRM 6 lpm
UFG max = 5% x 34 = 1,7 L
BC/24 jam : -630 ml
UFR max 2% x 34 = 0,68 L/jam
D/24 jam : 1.22ml/kgBB/jam
UFG diambil = UFG minimal + transfusi PRC 250
Lab 22/9/23: cc = 0.5 + 0.25 = 0.75 L ~ 1 L
Hb: 9.1 g/dL
Durasi 4 jam
UFR 1.7 L/4 jam = 0.4 L/jam

Blood flow 3-8 x 34 = 102 - 272 ml/menit = 150


ml/menit

Injeksi Fenobarbital 100 mg pre dan post HD

HP 2 Sesak nafas berkurang. Anak sudah - CKD stage V on HD (LFG 7.38 - HD rutin Senin dan Kamis
23/09/23 weaning menjadi NK 3 lpm. Batuk ml/min/1.73m2)
berdahak bercampur lendir berwarna - Edema Paru - Bila krisis hipertensi, berikan nifedipin sub
- Hipertensi stage II dengan riwayat
merah muda dan berbuih. Bengkak pada lingual 5 mg--7.5 mg--10 mg
krisis hipertensi
kedua kelopak mata berkurang - Anemia normositik normokromik
dd/ penyakit kronis (Hb 9.1 g/dL)
- Gizi kurang, perawakan pendek
TD: 152/100 mmHg (P90)
Sp02: 99% on NK 3 lpm

BC/24 jam : -202.5 ml


D/24 jam : 0.87
HP 2 Sesak nafas perbaikan, sudah dapat - CKD stage V on HD (LFG 7.38 - Injeksi omeprazole STOP
24/09/23 diweaning NK 2 lpm. Batuk (+) dengan ml/min/1.73m2)
bercak darah merah segar sudah lebih - Edema Paru
- Hipertensi stage II dengan riwayat - HD rutin Senin dan Kamis
jarang. Sudah tidak mual. Bengkak (-)
krisis hipertensi
- Anemia normositik normokromik - Bila krisis hipertensi, berikan nifedipin sub
dd/ penyakit kronis (Hb 9.1 g/dL) lingual 5 mg--7.5 mg--10 mg
TD : 140/90 mmHg (p95+12) - Gizi kurang, perawakan pendek

Sp02: 99% on NK 2 lpm

BC/24 jam : -130 ml

D/24 jam : 0.45 cc/kgBB/jam

HP 3 Sesak nafas (-) hemoptoe (-) Bengkak (-) - CKD stage V on HD (LFG 7.38 - HD hari ini
25/09/23 ml/min/1.73m2)
BAK tidak keluar, anak menggunakan - Edema Paru
kateter. - Hipertensi stage II dengan riwayat Resep HD (Senin, 25 Sept 2023) (Dialiser 90)
krisis hipertensi
UFG min = (0,2 x 80 x 34) = 544 ml ~ 0,5 L
TD : 160/100 mmHg (p95+12) - Anemia normositik normokromik UFG max = 5% x 34 = 1,7 L
dd/ penyakit kronis (Hb 9.1 g/dL)
Sp02: 99% free air - Gizi kurang, perawakan pendek UFR max 2% x 34 = 0,68 L/jam

UFG diambil = UFG minimal + NaCl 20% 200 cc


PF: Full blast (+) = 0.5 + 0.2 = 0.7 L ~ 1 L

Durasi 4 jam

B/24 jam: + 240 cc UFR 1.7 L/4 jam = 0.4 L/jam

D/24 jam: 0.24 cc/kg/jam Blood flow 3-8 x 34 = 102 - 272 ml/menit = 150
ml/menit

Injeksi Fenobarbital 100 mg pre dan post HD

Program:

- Cek darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit,


kalsium, albumin, asam urat, fosfat anorganik,
post HD 4 jam
- Pasang DC ulang untuk melihat apakah ada
sumbatan VU. Jika urin keluar setelah dipasang
DC ulang, anak rencana rawat jalan tanpa
menunggu hasil lab
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA & ANALISIS KASUS

PENYAKIT GINJAL KRONIS (PGK)

a. Definisi

Penyakit Ginjal Kronis (PGK) merupakan penyakit ginjal yang sudah


menahun, dimana terjadi kerusakan organ ginjal secara patofisiologis dengan
penyebab yang beragam sehingga menyebabkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, irreversibel, samar (insidius) dengan tanda yang ditimbulkan adalah
proteinuria, hipertensi, anemis, Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) <15 ml/menit, dan
keadaan umum penderita yang semakin menurun.6

Ginjal tidak mampu mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan,


dan elektrolit sehingga memicu terjadinya uremia pada pasien. Hampir semua
penyakit yang menyerang tubuh, dapat memicu timbulnya penyakit ini. Selain itu,
pada individu yang rentan, nefropati analgesik, dekstruksi papila ginjal yang
berkaitan dengan pemakaian harian obat-obatan analgesic selama bertahun-tahun
sangat berpotensi menyebabkan penyakit gagal ginjal kronik.

Klasifikasi dari gagal ginjal kronik dibedakan menjadi dua, yaitu berdasarkan
dasar derajat (stage) LFG dan berdasarkan diagnosis etiologi.

Tabel 1. Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik berdasarkan derajat LFG

14
Cara menghitung LFG berdasarkan rumus Schwartz:
Egfr (ml/min/1.73m2) = K x tinggi badan (cm) / serum cr (mg/dL)

Konstanta (K) pada anak:


Neonatus – 12 bulan : 0.45
12 bulan – 13 tahun : 0.55
P>13 tahun – 21 tahun : 0.55
L>13 tahun : 0.7

Nilai LFG normal pada anak:


Lahir : 20.8±1.9
1 minggu : 46.6±5.2
3-5 minggu : 60.1±4.6
6-9 minggu : 67.5±6.5
3-6 bulan : 73.8±7.2
6-12 bulan :93.7±14
1-2 tahun : 99.1±18.7
2-5 tahun : 126.5±24
5-15 tahun : 116.7±20.2

b. Epidemiologi
Di dunia, sebanyak 1 dari 10 orang dengan PGK. Daerah-daerah seperti
Afrika, Amerika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara merupakan daerah yang paling
sering ditemukannya PGK. PGK merupakan penyebab dari 956.000 kematian di
seluruh dunia pada tahun 2013. Pada tahun 2016, terdapat pada sekitar 753 juta
orang di seluruh dunia yang meliputi 336 juta pada pasien laki-laki dan 417 juta
pada pasien perempuan. Di seluruh dunia terdapat 1,2 juta kematian per tahun
akibat PGK, penyebab tersering penyakit ginjal kronis adalah hipertensi pada 550
ribu pasien, diabetes melitus pada 418 ribu pasien, dan glomerulonephritis pada 238
ribu pasien.1

15
c. Etiologi
Penyebab penyakit gagal ginjal kronik sangatlah bervariasi antara satu
negara dengan negara lainnya. Sedangkan, di Indonesia sendiri penyebab utama
dari timbulnya gagal ginjal kronik berdasaran surei yang dilakukan PERNEFRI
pada tahun 2015 adalah hipertensi dengan prosentasi 48%, diikuti pada urutan
kedua adalah diabetes mellitus yaitusebesar 25%, dan disusul dengan
glomerulonefritis sebesar 9%.2

Gambar 2. Etiologi gagal ginjal kronik

d. Patofisiologi
Patogenesis gagal ginjal kronik melibatkan penurunan dan kerusakan nefron
yang diikuti kehilangan fungsi ginjal yang progresif. Total LFG dan klirens
menurun, BUN dan kreatinin meningkat. Nefron yang masih tersisa mengalami
hipertrofi akibat usaha menyaring jumlah cairan yang lebih banyak. Akibatnya,
ginjal kehilangan kemampuan memekatkan urine. Tahapan untuk melanjutkan
ekskresi, sejumlah besar urine dikeluarkan, yang menyebabkan kekurangan cairan.
Tubulus secara bertahap kehilangan kemampuan menyerap elektrolit. Biasanya,
urine yang dibuang mengandung banyak sodium sehingga terjadi poliuri.7
Pada PGK, fungsi ginjal menurun secara drastis yang berasal dari nefron.
Insifisiensi dari ginjal tersebut sekitar 20% sampai 50% dalam hal GFR. Pada
penurunan fungsi rata-rata 50%, biasanya muncul tanda dan gejala azotemia
sedang, poliuri, nokturia, hipertensi dan sesekali terjadi anemia. Selain itu, selama

16
terjadi kegagalan fungsi ginjal maka keseimbangan cairan dan elektrolit pun
terganggu. Pada hakikatnya tanda dan gejala gagal ginjal kronis hampir sama
dengan gagal ginjal akut, namun awitan waktunya saja yang membedakan.
Perjalanan dari gagal ginjal kronis membawa dampak yang sistemik terhadap
seluruh sistem tubuh dan sering mengakibatkan komplikasi. 7

e. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronis dikarenakan gangguan yang
bersifat sistematik. Ginjal sebagai organ koordinasi dalam peran sirkulasi memiliki
fungsi yang banyak (organ multifunction), sehingga kerusakan kronis secara
fisiologis ginjal akan mengakibatkan gangguan keseimbangan sirkulasi dan
vasomotor. Berikut ini adalah tanda dan gejala gagal ginjal kronis:8
- Ginjal. Dampak dari peningkatan kalium adalah peningkatan iritabilitas
otot dan akhirnya otot mengalami kelemahan. Kelebihan cairan yang
tidak terkompensasi akan mengakibatkan asidosis metabolik. Tanda
paling khas adalah terjadinya penurunan urine output dengan
sedimentasi yang tinggi.8
- Kardiovaskuler. Biasanya terjadi hipertensi , aritmia, kardiomyopati,
uremic percarditis, effusi perikardial (kemungkinan bisa terjadi
tamponade jantung, gagal jantung, edema periorbital dan edema
perifer.8
- Sistem Respirasi. Biasanya terjadi edema pulmonal, nyeri pleura,
friction rub dan efusi pleura, crackles, sputum yang kental, uremic
pleuritis dan uremic lung, dan sesak napas.8
- Gastrointestinal. Biasanya menunjukkan adanya inflamasi dan ulserasi
pada mukosa gastrointestinal karena stomatitis, ulserasi dan pendarahan
gusi, dan kemungkinan juga disertai parotitis, esofagitis, gastritis,
ulseratif duodenal, lesi pada usus halus/usus besar, colitis, dan
pankreatitis. Kejadian sekunder biasanya mengikuti seperti anoreksia,
nausea dan vomiting.8
- Integumen. Kulit pucat, kekuning-kuningan, kecoklatan, kering dan ada
scalp. Selain itu, biasanya juga menunjukkan adanya purpura, ekimosis,
petechiae, dan timbunan urea pada kulit.8

17
- Neurologis. Biasanya ditunjukkan dengan adanya neuropathy perifer,
nyeri gatal pada lengan dan kaki. Selain itu, juga adanya kram pada otot
dan refleks kedutan, daya memori menurun, apatis, rasa kantuk
meningkat, iritabilitas, pusing, koma dan kejang. Dari hasil EEG
menunjukkan adanya perubahan metabolik ensefalopati.8
- Endokrin. Bisa terjadi infertilitas dan penurunan libido, amenorhea dan
gangguan siklus menstruasi pada wanita, impoten, penurunan sekresi
sperma, peningkatan sekresi aldosteron, dan kerusakan metabolisme
karbohidrat.8
- Hematopoietik. Terjadi anemia, penurunan waktu hidup sel darah
merah, trombositopenia (dampak dari dialisis), dan kerusakan platelet.
Biasanya masalah yang serius pada sistem hematologi ditunjukkan
dengan adanya perdarahan (purpura, ekimosis, dan petechiae).8
- Muskuloskeletal. Nyeri pada sendi dan tulang, demineralisasi tulang,
fraktur pathologis, dan kalsifikasi (otak, mata, gusi, sendi, miokard).8

f. Komplikasi
Komplikasi yang dapat dtimbulkan dari PGK adalah:9
1. Penyakit Tulang. Penurunan kadar kalsium (hipokalsemia) secara
langsung akan mengakibatkan dekasifilkasi matriks tulang, sehinggal
tulang akan menjadi rapuh (osteoporosis) dan jika berlangsung lama
makan menyebabkan phatologis.9
2. Penyakit Kardiovaskuler. Ginjal sebagai kontrol sirkulasi sistemik akan
berdampak secara sistemik berupa hipertensi, kelainan lipid, inteloransi
glukosa, dan kelainan himodinamik (sering terjadi hipertrofi ventrikel
kiri).9
3. Anemia. Selain berfungsi sebagai sirkulasi, ginjal juga berfungsi dalam
rangkaian hormonal (endokrin). Sekresi eritropoetin yang mengalami
defisiensi di ginjal akan mengakibatkan penurunan hemoglobin.9
4. Disfungsi Seksual. Dengan gangguan sirkulasi pada ginjal, maka libido
sering mengalami penurunan dan terjadi impotensi pada pria. Pada
wanita, dapat terjadi hiperprolaktinemia.9

18
HEMODIALISIS

Terapi pengganti ginjal terdiri dari hemodialisis, dialisa peritoneal dan


transplantasi ginjal. Terapi hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal yang
paling banyak dilakukan dan jumlahnya dari tahun ke tahun terus meningkat.
Dialisis atau hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk
mengeluarkan cairan dan produk-produk sisa metabolisme yang tidak terpakai dari
dalam tubuh ketika ginjal sudah tidak mampu lagi berfungsi dengan baik sesuai
fungsinya. 9

Hemodialisis adalah suatu tindakan pembuangan elemen tertentu dari darah


dengan memanfaatkan perbedaan kecepatan difusi melalui membran
semipermeabel. Hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu, setiap hemodialisis
dilakukan selama 5 jam. Kualitas setelah menjalani hemodialisis cukup baik.
Namun, hemodialisis berdampak pada status gizi pasien, oleh karena prosedur
dialisis mengakibatkan hilangnya nutrisi ke dalam dialisat dan meningkatkan
proses katabolisme. 9

Penurunan berat badan pada penderita gagal ginjal kronik mulai terlihat
setelah 3 bulan menjalani hemodialisis dan 20 penurunan berat badan secara
signifikan setelah 1 tahun menjalani hemodialisis. Indikasi dialisis pada penyakit
ginjal kronik adalah bila LFG sudah <5 mL/menit. Dialisis di anggap baru perlu di
mulai bila di jumpai salah satu dari : keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata,
K serum >6 mEq/L, ureum darah >200 mg/L, pH darah <7.1, anuria
berkepanjangan (>5 hari), dan fluid overload atau hipervolemia.9

Hemodialisis dilakukan untuk mengeluarkan zat- zat toksik, seperti ureum


dan kreatinin, serta mengeluarkan kelebihan cairan. Namun dalam proses
hemodialisis juga membuang zat- zat gizi yang masih diperlukan tubuh, diantaranya
protein, glukosa, dan vitamin larut air. Kehilangan zat – zat gizi ini apabila tidak
ditanggulangi dengan benar dapat menyebabkan gangguan status gizi. 9

Asupan makan pasien PGK biasanya rendah, hal ini dikarenakan menurunnya
nafsu makan, timbulnya rasa mual dan diikuti oleh muntah, yang dapat berpengaruh
terhadap penurunan berat badan penderita. The National Kidney Foundation Kidney

19
Disease Outcomes Quality Initiative (NKFK/DOQI) merekomendasikan pemberian
asupan tinggi protein untuk pasien dialisis. Namun, bahan makanan yang tinggi
protein merupakan sumber fosfor yang tinggi. Kadar serum fosfor yang melebihi
5,5 mg/dL dapat meningkatkan mortalitas kardiovaskuler. Pasien yang menjalani
dialisis memerlukan suplemen vitamin. Diet saja umumnya dapat memenuhi
kebituhan vitamin yang larut dalam air (A, D, E, dan K).9

Pemberian suplemen vitamin D tergantung kadar kalsium, fosfor dan hormon


paratiroid. Asupan vitamin larut dalam air (B dan C), biasanya kurang cukup, selain
karena restriksi bahan makanan yang banyak mengandung vitamin ini, juga hilang
21 selama terapi dialisis. Semua pasien dengan dialisis hendaknya diberikan
suplemen vitan B dan C. Pemantauan kadar besi perlu dilakukan setiap hari.
Suplemen besi diberikan untuk mencegah anemia defisiensi besi dan memulai
terapi hormon eritropoietin. Bila terjadi kekurangan besi, terapi besi dapat diberikan
secara intravena selama sesi dialisis. Pasien yang menjalani CAPD membutuhkan
protein dan kalium yang lebih tinggi lagi karena banyak protein maupun K hilang
melalui cairan peritoneal dialisis yang terbuang. 9,10

20
EDEMA PARU
a. Definisi
Edema paru dapat didefinisikan secara luas sebagai akumulasi cairan yang
berlebihan di dalam sel, ruang antar sel dan rongga alveoli pada paru. Edema paru
secara klasik dikategorikan berdasarkan patofisiologinya, yaitu edema paru
hidrostatik dan edema paru permeabilitas. Edema paru hidrostatik (tekanan tinggi,
transudatif, atau kardiogenik) ditandai dengan peningkatan tekanan mikrovaskular
paru yang menyebabkan transudasi cairan melalui endotek ke ruang antar sel paru
dan kemudian ke ruang alveolar. Pada edema paru permeabilitas (tekanan rendah,
eksudatif atau non kardiogenik), trauma pada endotel mikrovaskular
memungkinkan cairan kaya protein memasuki ruang ekstravaskular.11

b. Patogenesis
Edema paru terjadi bila volume plasma berlebihan memasuki ruang intertisial
dan alveoli. Edema paru merupakan suatu keadaan klinis akut yang ditandai dengan
gejala distress pernapasan dan takipnea yang sebanding dengan penurunan Pa02
dan P(A-a)02. Gangguan fisiologis yang menyebabkan terjadinya hipoksemia
adalah ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (ventilation-perfusion mismatch).11
Edema paru akan mempengaruhi kemampuan mekanik dan pertukaran gas di
paru dengan berbagai mekanisme. Produksi lapisan surfaktan terganggu karena
alveoli terendam cairan, serta adanya protein dan sel debris. Keadaan ini akan
menyebabkan peningkatan tegangan permukaan pada alveoli, sehingga
memudahkan terjadi kolaps (atelektasis). Adanya penumpukan cairan berlebihan di
ruang intertisial juga mengurangi kelenturan paru dan mempermudah kolaps alveoli
dan saluran respiratorik kecil.11
Uremia dapat menyebabkan edema paru akibat overhidrasi, bertambahknya
volume darah, peningkatan tekanan mikrovaskular paru disertai dengan anemia dan
penurunan tekanan koloid osmotirk. Permeabilitas kapiler paru juga dapat berubah
akibat meningkatnya produk metabolik uremia.11

21
c. Etiologi Edema Paru11
Kenaikan tekanan kapiler paru

• Kardiogenik: Kegagalan ventrikel kiri


• Non kardiogenik: Fibrosis vena paru, tumor mediastinum, oklusi vena
paru
Kenaikan permeabilitas kapiler

• Pneumonia bakteri dan virus


• Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
• Zat vasoaktif: histamin, leukotriene
• Sindrom kebocoran kapiler difus: sepsis
• Reaksi imunologik: reaksi transfuse
• Inhalasi asap
• Pneumonia aspirasi
• Tenggelam
• Pneumonia radiasi
• Uremia
Insufisiensi limfatik
Kongenital dan didapat

Penurunan tekanan onkotik


Hipoabuminemia: Status kehilangan protein pada malnutrisi

Kenaikan tekanan intertisial negatif


Lesi obstruktif jalan napas atas: croup dan epiglottitis re-ekspansi edema paru

Tipe campuran atau penyebab yang tidak diketahui


Edema paru neurogenic
Edema paru tempat/daerah tinggi
Eklampsia
Pankreatitis
Emboli paru
Heroin (narkotik)

22
d. Diagnosis
Secara klinis dapat timbul gejala sesak nafas, retraksi intercostal pada saat
inspirasi dan perubahan berat badan. Suara merintih dapat dijumpai, yang terjadi
akibat usaha untuk mencegah kolaps paru. Temuan-temuan spesifik edema paru
pada pemeriksaan fisik bervariasi menurut beratnya distress pernafasan dan
penyebab dasar dari edema. Sianosis dapat terlihat dan mungkin terdengan hantaran
pada auskultasi, Peningkatan P2 atau bahkan S3 dan “aliran” bising mungkin
terdengan bersamaan dengan distensi vena jugularis dan hepatomegaly. Sputum
yang sangat berbuih dan berwarna merah muda terlihat hamper pada semua edema
paru berat.11
Krepitasi tidak selalu ditemukan, kecuali bila sudah terjadi perpindahan
cairan dari alveoli ke bronkiolus terminal. Bila penumpukan cairan sudah sampai
ke saluran respiratorik besar, maka ronki dan mengi dapat didengar. Gejala-gejala
iskemia kiokardial yang berhubungan dengan tanda-tanda kegagalan ventrikel kiri
mengarah kepada diagnosis edema paru hidrostatik, sedangkan Riwayat aspirasi
cairan lambung dan respons kardiovaskular hiperdinamik mengarah kepada
diagnosis edema paru permeabilitas.11

e. Tatalaksana
Pada dasarnya, tatalaksana edema paru perlu dibedakan sesuai dengan
etiologinya, yaitu kardiogenik atau nonkardiogenik, karena mekanisme yang
mendasari pembentukkannya berbeda. Pada edema paru kardiogenik, mekanisme
utama akumulasi air ekstravaskular adalah kenaikan tekanan hidrostatik kapiler
paru, sekunder dari kegagalan ventrikel kiri. Oleh karena itu, terapi harus diarahkan
terutama untuk memperbaikan fungsi ventrikel kiri. Fungsi jantung dapat diperbaiki
dengan menurunkan preload dan afterload, juga dengan stimulasi langsung
kontraktilitas miokard.11
Jika edema paru disebabkan oleh gagal jantung dengan peningkatan tekanan
mikrovaskular pulmonal, maka dapat dilakukan terapi untuk perbaikan fungsi
jantung. Perbaikan fungsi jantung dapat dicapai dengan berbagai cara, oksigen dan
digitalis diberikan untuk meningkatkan volume semenit, pemberian morfin dapat
membantu mengurangi preload dan afterload karena mengurangi anxietas.

23
Penurunan afterload ventrikel kiri akan memungkinkan peningkatan fraksi ejeksi
tanpa meningkatkan kerja miokardial. Perbaikan kontraktilitas miokardium dapat
diberikan dengan obat-obat inotropik seperti dopamin, dobutamin atau isopretenol
dengan meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan pengisian ventrikel.
Preload juga dapat dikurang dengan posisi duduk, juga dengan pemberian ventilasi
tekanan positif.11
Diuretik diberikan dengan tujuan mengurangi volume plasma dan pengisian
atrium kiri, juga untuk meningkatkan tekanan koloid osmotik. Mekanisme kerja
diuretic dalam mengatasi edema paru adalah dengan meningkatkan kapasitas vena
dan meningkatkan eksresi garam dan air sehingga mengurangi pengeluaran cairan
dari mikrovaskular paru.11
Pada edema berat, furosemid dapat diberidkan secara intravena dengan dosis
1-2 mg/kgBB. Jika terjdapat hipotensi, zat inotropik seperti dopamin dobutamine
juga mempunyai efek terhadap pembuluh darah paru. Jika terdapat resistensi
vaskular yang tinggi, maka dobutamin lebih efektif karena dapat meningkatkan
volume jantung semenit tanpa meningkatkan resistensi vascular sistemik, bahkan
menyebabkan vasodilatasi sistemik. Pemberian albumin intravena bermanfaat jika
edema paru disebabkan oleh penurunan tekanan koloid osmotic.11

f. Prognosis
Pasien-pasien dengan edema paru permeabilitas memiliki prognosis
keseluruhan yang buruk. Montgomerry dkk menganalisis penyebab-penyebab
kematian pada 47 pasien dengan ARDS. Keseluruhan mortalitas adalah 68%
dibandingkan dengan 34% pada kelompok kontrol, sebanyak 160 pasien yang
berisiko mengalami ARDS. Hanya 16% kematian yang disebabkan oleh kegagalan
respirasi yang irrversibel. Sebagian besar kematian tersebut terjadi pada tiga hari
pertama karena penyakit atau trauma yang mendasarinya.11

24
HIPERTENSI

a. Definisi
Hipertensi pada anak dan remaja ditegakkan berdasarkan atas distribusi TD
normal pada anak sehat. Berikut adalah definisi menurut NHBPEP tahun
2004:12
• Tekanan darah normal adalah tekanan darah sistol (TDS) dan/atau
tekanan darah diastole (TDD) <presentil 90 menurut jenis kelamin, usia
dan tinggi badan
• Hipertensi adalah rata-rata TDS dan/atau TDD ≥presentil 95 menurut
jenis kelamin, usia dan tinggi badan pada setidaknya 3 kali pengukuran
pada waktu yang berbeda
• Prehipertensi pada anak adalah TDS atau TDD ≥presentil 90, tetapi
<presentil 95, atau jika TD≥120/80 mmHg
• Hipertensi derajat 1 adalah TD berada antara presentil 95 dan 5 mmHg
diatas presentil 99
• Hipertensi derajat 2 adalah TD>5 mmHg diatas presentil 99

Jika TD anak (TDS atau TDD) ≥presentil 95 maka anak mungkin mengalami
hipertensi dan pengukuran harus diulang setidaknya 2 (dua) kali untuk
mengkonfirmasi diagnosis dan menentukan klasifikasi derajat hipertensi serta
menentukan rencana evaluasi dan tata laksana yang diberikan. Pembagian derajat
hipertensi penting untuk diketahui sehubungan dengan sikap dalam menentukan
mana di antara penderita yang memerlukan pemeriksaan lengkap dan sistematis
untuk mencari penyebabnya. Keadaaan prehipertensi harus menjadi perhatian agar
tak berkembang menjadi hipertensi.12

b. Patogenesis
Beberapa faktor yang terlibat dalam patogenesis hipertensi pada anak adalah
penyakit renovaskuler dan parenkim ginjal melalui mekanisme hipervolemia,
gangguan sistem renin angiotensin dan aldosteron (SRAA) dan berkurangnya zat
vasodilator. Penelitian terbaru menunjukkan faktor inflamasi kronik, jumlah nefron

25
yang rendah, prematuritas/ berat badan lahir rendah, malnutrisi, obesitas,
hiperinsulinemia/resistensi insulin, peningkatan asam urat dan faktor diet.13

c. Etiologi
Penyebab hipertensi yang paling sering pada remaja (usia 13-18 tahun) adalah
hipertensi esensial dan penyakit parenkim ginjal. Beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa hipertensi esensial tercatat lebih dari 80% sebagai penyebab
hipertensi pada remaja diikuti oleh penyakit ginjal lainnya. Penyakit renovaskular
dapat dicurigai pada remaja yang menderita hipertensi berat. Penyebab hipertensi
yang jarang, seperti renin-secreting tumor, feokromositoma, obat-obatan (kokain,
kontrasepsi, dekongestan), dan sebagainya.13

Tabel 2. Penyebab Hipertensi menurut Kelompok Umur13


Kelompok umur Penyebab

Bayi Penyakit renovascular, kelainan kongenital ginjal,


koarktasio aorta, dysplasia bronkoplumoner

1-10 tahun Penyakit parenkim ginjal, koarktasio aorta, penyakit


renovaskular

10-20 tahun Penyakit parenkim ginjal, penyakit renovascular,


hipertensi esensial

Hipertensi esensial
Banyak bukti yang mendukung konsep hipertensi esensial berawal dari masa
kanak-kanak meskipun hipertensi esensial lebih sering terjadi pada remaja
dibanding pada anak. Remaja dengan hipertensi esensial kebanyakan tanpa gejala
(asimtomatik) dan sering terdeteksi hanya pada saat pemeriksaan rutin. Obesitas
sering dihubungkan dengan hipertensi esensial dan dijumpai pada hampir 50%
kasus. Riwayat keluarga yang menderita hipertensi sering dijumpai. Faktor
lingkungan juga berperan dalam hipertensi esensial seperti konsumsi garam yang

26
tinggi, konsumsi alkohol, merokok, stres psikogenik, sosial ekonomi, dan faktor
predisposisi lainnya seperti ras dan jenis kelamin.13

Hipertensi sekunder
- Penyakit ginjal
Pada remaja, setelah hipertensi esensial penyakit ginjal juga merupakan
penyebab hipertensi yang sering. Hipertensi yang disebabkan oleh penyakit
ginjal dapat berasal dari parenkim atau pembuluh darah ginjal. Hipertensi
yang berasal dari penyakit parenkim ginjal dapat ditemukan pada penyakit
glomerulonefritis akut pasca streptokokus, pielonefritis, lupus eritematosus
sistemik, gagal ginjal akut, anomaly kongenital seperti hipoplasia ginjal
segmental, dan ginjal polikistik. Selain penyakit parenkim ginjal, 12%
penyebab hipertensi kronik pada remaja juga berasal dari penyakit pembuluh
darah ginjal/arteri renalis.13

- Penyakit kardiovaskular
Koarktasio aorta merupakan penyakit kardiovaskular yang selalu
menyebabkan hipertensi, baik masa bayi maupun pada usia anak dan remaja.
Di dalam kepustakaan disebutkan sebanyak 2% koarktasio aorta sebagai
penyebab hipertensi sekunder.13

- Penyakit / gangguan endokrin


Feokromositoma merupakan neoplasma yang berasal dari sel kromafin yang
berlokasi di bagian medulla kelenjar adrenal. Sekitar 0,5 % dari penyebab
hipertensi sekunder pada anak berasal dari feokromositoma. Sel-sel kromafin
merupakan tempat untuk mensintesis, menyimpan dan mensekresikan
hormon katekolamin, yaitu suatu neurotransmiter alfa adrenergik yang
memegang peranan dalam patogenesis hipertensi. Gangguan endokrin lain
yang dapat menyebabkan hipertensi adalah sindrom Cushing, sindrom
adrenogenital, hiperaldosteronisme esensial, dan hiperplasia adrenal
kongenital.13

27
d. Evaluasi diagnostik hipertensi
Remaja dengan tekanan darah sistolik dan diastolik di atas persentil ke-90
menurut umur dan jenis kelamin, dan yang dengan hipertensi bermakna
memerlukan pemeriksaan berkala. Untuk setiap remaja evaluasi diagnostik yang
dikerjakan harus disesuaikan dengan gambaran klinis individu. Umur, jenis
kelamin, ras, berat badan, dan tinggi badan, nilai tekanan darah pada lengan dan
paha harus diukur dan dicatat. Anamnesis yang teliti dan terarah sangat diperlukan
untuk evaluasi etiologi hipertensi pada remaja. Sebaiknya ditanyakan tentang gejala
hipertensi, riwayat pertumbuhan, keluhan/gangguan ginjal dan urologi yang
sekarang dan sebelumnya, pemakaian obat-obatan serta Riwayat hipertensi pada
keluarga. Pemeriksaan fisik juga perlu dilakukan secara teliti dan sistematis oleh
karena ada beberapa kelainan yang dapat ditemukan dan merupakan tanda
penyebab hipertensi atau lamanya hipertensi berlangsung. Telah dicapai konsensus
bahwa untuk remaja dengan hipertensi ringan yang asimptomatik hanya
memerlukan pemeriksaan sederhana.13

e. Tata Laksana
Tujuan tata laksana hipertensi pada remaja untuk menurunkan tekanan darah
di bawah persentil ke-95 dan mencegah komplikasi hipertensi, Tata laksana ini
meliputi non farmakologik dan farmakologik. Pengobatan hipertensi pada remaja
diberikan berdasarkan keadaan masing-masing remaja tersebut. Remaja yang obese
atau yang menderita hipertensi esensial, hal pertama yang dilakukan adalah terapi
non farmakologik seperti penurunan berat badan, peningkatan aktifitas fisik dan
mengurangi konsumsi garam, sebelum diberikan pengobatan anti hipertensi. Pada
remaja yang hipertensi namun tidak obese, aktifitas fisik kurang efektif dan
pengobatan dengan anti hipertensi dapat diberikan.13

a. Non farmakologik
Pengobatan hipertensi secara non farmakologik termasuk di antaranya
mencegah dan mengatasi obesitas, peningkatan aktivitas fisik dan olah
raga, modifikasi diet termasuk mengurangi konsumsi garam dan berhenti
merokok. Pada remaja yang obese terdapat penurunan tekanan darah yang

28
signifikan setelah program penurunan berat badan, terlebih lagi bila
digabung dengan peningkatan akifitas fisik/olahraga. Mengurangi garam
dalam makanan sehari-hari juga dapat membantu menurunkan tekanan
darah. Jumlah garam yang dianjurkan adalah 0.5-1 mEq/kgBB/hari atau
kira-kira 2 gram NaCl / hari untuk remaja dengan berat badan 20-40kg.
Berhenti merokok, minum alkohol dan obat golongan simpatomimetik,
juga dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah. Bila dengan cara ini,
setelah beberapa minggu tidak berhasil menurunkan tekanan darah atau
sebaliknya jadi meningkat, maka selanjutnya diperlukan pengobatan
farmakologik.13

b. Farmakologik
Pengobatan farmakologik harus diberikan kepada remaja yang menderita
hipertensi berat, atau yang tidak respon dengan pengobatan non
farmakologik. Tidak ada data yang menunjukkan kapan obat sebaiknya
diberi kepada penderita hipertensi ringan atau sedang. Sejak tahun 1990-
an, obat β-adrenergik, blocker, ACE inhibitor, dan calcium channel
antagonis telah dianjurkan sebagai awal monoterapi. Jika awal monoterapi
dalam dua minggu gagal menurunkan tekanan darah, dapat ditambahkan
diuretik. Jika responnya masih kurang memuaskan, langkah ke-3 adalah
mengganti diuretik dengan suatu vasodilator. Langkah terakhir adalah
menggunakan vasodilator minoxidil sebagai pengganti vasodilator
sebelumnya, dan menggantikan ACE inhibitor atau calcium-channel
antagonist dengan obat yang bereaksi secara sentral. Setelah tekanan darah
terkontrol maka dilakukan step-down therapy sebagai berikut, apabila
tekanan darah telah terkontrol dalam batas normal untuk 6 bulan – 1 tahun
dan kontrol tekanan darah dengan interval 6 – 8 minggu, ubah menjadi
monoterapi. Setelah terkontrol selama kira-kira 6 minggu, turunkan
monoterapi setiap minggu dan bila memungkinkan berangsur-angsur
dihentikan.13

29
ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK

a. Definisi
Anemia merupakan kondisi konsentrasi hemoglobin (Hb) >2 standar deviasi
di bawah rata-rata untuk usia, ras, dan jenis kelamin. Panduan nilai normal Hb
berdasarkan World Health Organization (WHO).14

Tabel 3. Nilai batas hemoglobin WHO14


Usia (tahun) Hemoglobin (g/dL)

0.5 - 5 <11

5 - 12 <11.5

12 - 15 <12

Laki-laki > 15 <13

Perempuan > 15 <12

b. Patogenesis
Penyebab anemia pada CKD diduga multifaktorial. Penyebab utama adalah
menurunnya produksi hormon eritropoietin (Epo) oleh ginjal. Beberapa faktor lain
yang diduga berperan, antara lain: defisiensi mikronutrien (besi, vitamin C, B12,
asam folat, karnitin), malnutrisi, inflamasi/infeksi, kehilangan darah (plebotomi,
hemodialisis, perdarahan saluran cerna, menstruasi, perdarahan karena defek fungsi
platelet pada CKD), hemolisis, supresi sumsum tulang, hiperparatiroid, toksisitas
aluminum, obat-obatan (ACE-inhibitor, angiotensin receptor blockers), penyakit
sistemik (hemoglobinopati, hipotiroidisme, SLE, keganasan).14
- Defisiensi Eritropoietin (Epo)
Hormon Epo merupakan hormon glikoprotein yang berfungsi sebagai sinyal
molekul untuk prekursor sel-sel darah merah atau factor pertumbuhan
hematopoietik sumsum tulang. Pada CKD, hipoksia jaringan ginjal
menyebabkan penurunan stabilitas hypoxia-inducible factor-1 (HIF-1) dan

30
aktivitas transkripsi, selanjutnya terjadi kerusakan sel-sel yang
memproduksi Epo. Derajat defisiensi Epo memburuk seiring dengan
penurunan glomerular filtration rate (GFR). Derajat GFR di bawah 43
mL/min/1,73 m2 berkaitan dengan penurunan kadar Hb pada anak dengan
CKD.2 Anemia umumnyaterjadi pada CKD stadium 3b (GFR 30–44
mL/menit/1,73 m2) dan sangat sering pada stadium 4 dan 5.14

- Defisiensi Mikronutrien (Besi, B12, Folat, Karnitin)


Anak dengan CKD dapat mengalami anemia defisiensi besi karena
beberapa factor seperti asupan zat besi kurang, gangguan penyerapan besi
di saluran cerna (akibat inflamasi, obat-obatan), kehilangan darah
(plebotomi, dialisis, menstruasi, Tindakan bedah), hemodialisis, deplesi
besi pada terapi erythropoiesis-stimulating agent (ESA). Selain besi,
defisiensi vitamin B12, folat, karnitin, vitamin C, dan tembaga juga dapat
menyebabkan anemia pada CKD. Defisiensi karnitin berkaitan dengan
penurunan kekuatan membran sel darah merah/lebih rapuh, sehingga usia
lebih pendek. Defisiensi karnitin dapat terjadi karena terbuangnya karnitin
selama terapi hemodialisis, juga dapat karena kurangnya diet dan gangguan
sintesis endogen. Kehilangan karnitin melalui ginjal banyak terjadi pada
anak dengan sindrom Fanconi.14

- Malnutrisi
Secara umum, pada kondisi malnutrisi terjadi defisiensi nutrisi seperti zat
besi dan zat-zat lain yang diperlukan untuk pembentukan sel-sel darah
merah. Selain itu, malnutrisi berkaitan dengan risiko inflamasi yang dapat
secara langsung menyebabkan resistensi terhadap terapi erythropoiesis-
stimulating agents (ESA).14

- Inflamasi/Infeksi
Proses inflamasi akut/kronik dapat menurunkan sintesis sel-sel darah merah
(eritropoiesis). Petanda/marker inflamasi umumnya meningkat pada anak
dengan CKD. Inflamasi pada CKD dapat terjadi karena beberapa hal seperti

31
kegagalan sistem imun pada uremia yang memicu respons inflamasi non-
spesifik, prosedur bedah (hemodialisis, transplantasi ginjal), infeksi akut,
penyakit imun (SLE, Wegener granulomatosis). Prosedur hemodialisis
dapat memicu inflamasi melalui aktivasi sistem komplemen, aktivasi
langsung sel inflamasi melalui membran dialisis ataupun difusi endotoksin
dari dialisat.14

c. Menifestasi Klinis
Dampak klinis anemia secara sistemik berupa lemas, menurunnya kualitas
hidup, kurang nafsu makan, gangguan tidur, depresi, gangguan fungsi kognitif, dan
lain-lain. Dampak lain meliputi hipertrofi ventrikel kiri, gangguan pertumbuhan
dan perkembangan. Anemia pada anak CKD berkaitan dengan peningkatan risiko
gangguan kardiovaskular, peningkatan morbiditas, angka rawat inap di RS,
mortalitas, dan penurunan kualitas hidup.14

d. Diagnosis
Diagnosis anemia adalah berdasarkan kadar Hb sesuai usia dan jenis kelamin.
Evaluasi awal anemia pada anak dengan CKD adalah pemeriksaan complete blood
count, retikulosit, profil besi (feritin, serum besi, total iron binding capacity/TIBC,
saturasi transferin), serum asam folat, dan vitamin B12. Pengukuran kadar Epo
tidak rutin dilakukan dan tidak direkomendasikan.14

e. Tatalaksana
Tata laksana anemia pada anak dengan CKD berdasarkan penyebab yang
mendasarinya. Pada anemia akibat defisiensi Epo, dapat diberikan terapi
erythropoiesis stimulating agents (ESA). Anemia karena defisiensi mikronutrien
dapat diberi suplementasi seperti zat besi, vitamin B12, atau asam folat. Transfusi
darah mungkin diperlukan pada anak dengan anemia yang memiliki manifestasi
klinis, anemia berat karena kehilangan darah, hemolitik, atau yang tidak respons
dengan terapi konservatif.14

32
- Erythropoiesis Stimulating Agents (ESA)
Sediaan ESA terdiri dari rHEPO alfa, rHEPO beta, darbopoetin alfa,
methoxy polyethylene glycol-epoetin beta, dan peginesatide. Indikasi terapi
ESA adalah pada anemia defisiensi Epo yang ditandai (a) anemia
normositik, (b) profil besi normal (saturasi transferin >20%, feritin >100
ng/mL), dan (c) retikulosit rendah (<100.000 retikulosit/ mm3).
Kontraindikasi terapi ESA antara lain adanya hipertensi tidak terkontrol,
terdapat hipersensitivitas terhadap eritropoietin ataupun derivatnya. Terapi
ESA pada anak dapat diberikan jika kadar Hb kurang dari 10 g/dL. Sebelum
memulai terapi ESA, beberapa faktor yang perlu diperhatikan adalah nutrisi
adekuat, koreksi defisiensi besi, folat, vitamin B12, koreksi hiperparatiroid
berat, terapi jika ada inflamasi/infeksi kronik; dan hati-hati pada pasien
riwayat keganasan. Efek samping terapi ESA berupa efek local
penyuntikan, hipertensi (terkait peningkatan jumlah sel darah), defisiensi
besi (terkait peningkatan penggunaan besi untuk eritropoiesis), kejang,
hiperkalemia, trombosis arteriovenosa fistula/graft, penurunan dialyzer
clearance, trombositopenia, anemia hemolitik, hiperfosfatemia (terkait
penurunan nafsu makan dan penurunan clearance), antibody anti-EPO yang
dapat menetralkan Epo endogen, sehingga terjadi aplasia sel-sel darah
merah.14

- Recombinant Human Erythropoietin (rhEPO)


Terapi rHEPO terdiri dari (1) rHEPO alfa intravena (IV) yang
direkomendasikan pada pasien HD; dan (2) rHEPO beta subkutan (SC) yang
direkomendasikan pada pasien pre-HD dan peritoneal dialisis. Waktu paruh
rhEPO intravena 5,6–7,5 jam, sedangkan subkutan 14,2–25,2 jam. Dosis
dihitung sesuai berat badan anak. Beberapa faktor yang memengaruhi dosis
meliputi stadium CKD, mode dialisis, usia pasien, nilai awal Hb, rute,
frekuensi pemberian, dan adanya penyebab lain anemia (inflamasi,
defisiensi besi, hiperparatiroid) yang memerlukan dosis lebih tinggi. Dosis
awal rhEPO alfa IV 150 IU/kg/minggu dibagi 3 dosis, dan jika usia <5 tahun
200-300 IU/kg/minggu (maksimal 240 IU/kg/dosis), lalu evaluasi Hb tiap

33
1-2 minggu hingga target Hb tercapai; dosis maintenance 100-300 IU/kg/
minggu. Dosis awal rhEPO beta SC 75-150 IU/kg/minggu (maksimal 240
IU/kg/dosis), jika target Hb tercapai, dosis diturunkan 25%-50% untuk
mempertahankan kadar Hb pada level tersebut, serta jika stabil, dosis
regimen 1x/minggu subkutan dapat menjadi 1x per dua minggu. Jika
dilakukan perubahan dosis rhEPO dari IV ke SC maka dosis per minggu
diturunkan sebanyak 33%.14

- Terapi Besi
Anemia defisiensi besi banyak dijumpai pada pasien CKD. Terapi besi oral
(atau intravena pada pasien HD) pada anak CKD direkomendasikan jika
saturasi transferrin ≤20% dan serum feritin ≤100 ng/mL, atau pada pasien
yang mendapat terapi ESA untuk mempertahankan saturasi transferin >20%
dan serum feritin >100 ng/mL. Target terapi besi pada CKD 5 HD adalah
serum feritin >200 ng/mL dan saturasi transferin >20%; sedangkan CKD 5
non-HD dan pre-dialisis adalah serum feritin >100 ng/mL dan saturasi
transferin >20%. Terapi tidak diberikan jika ada kelebihan besi, yang
ditandai serum feritin >800 ng/mL atau saturasi transferin >50%.
Monitoring profil besi dilakukan setidaknya setiap 3 bulan selama terapi
ESA, atau dapat lebih sering saat inisiasi/meningkatkan dosis ESA atau
terdapat kehilangan darah.14

- Transfusi Darah
Belum ada indikasi pasti transfusi darah untuk anemia kronik pada CKD.
KDIGO merekomendasikan agar menghindari transfusi sel darah merah
pada anemia kronik untuk mengurangi risiko transfusi (reaksi imunologis,
non-imunologis, penularan infeksi, dll). Transfusi hanya dipertimbangkan
jika manfaat lebih besar dibandingkan risiko; atau terapi ESA tidak efektif
(pada hemoglobinopati, kegagalan sumsum tulang, resistensi ESA), risiko
terapi ESA lebih besar daripada manfaatnya (keganasan, risiko stroke).
Pada kondisi tertentu seperti perdarahan akut atau rencana operasi cito
mungkin memerlukan transfusi darah segera. Transfusi sel darah merah

34
dapat dipertimbangkan jika Hb <7 g/dL, atau Hb <8 g/dL pada pasien
berisiko tinggi (penyakit kardiovaskular atau pernapasan), sedangkan pada
kadar Hb 7-10 g/dL indikasinya belum jelas.14

ANALISA KASUS

Pada kasus ini anak laki-laki berusia 16 tahun 11 bulan datang dengan
keluhan sesak nafas. Sesak nafas bertambah ketika beraktivitas dan membaik jika
beristirahat dalam posisi duduk. Anak tampak bengkak pada kedua kelopak mata.
Pucat (+), krisis hipertensi (+). Anak mengalami krisis hipertensi pada saat masuk
ke IGD dengan tensi terukur: 160/120 mmHg (krisis) yang membaik dengan
diberikan nifedipine 5 mg dan 7.5 mg; HR: 123x/m; RR: 30x/m, saturasi oksigen
terukur 80% free air kemudian anak diberikan NRM 8 lpm, (saturasi terukur
menjadi 98%). Pada pemeriksaan fisik ditemukan: edema palpebra (+/+),
conjungtiva anemis (+/+), ronkhi pada kedua lapang paru. Pada laboratorium
menunjukan Hb 5.1 g/dL, pada pemeriksaan radiologis didapatkan adanya
gambaran edema paru dan kardiomegali.
Kemudian anak didiagnosa dengan CKD stage V on HD (LFG 7.38
ml/min/1.73m2), edema pulmo, hipertensi stage II dengan riwayat krisis hipertensi,
anemia normositik normokrom dd/ penyakit kronis (Hb 5.1 g/dL), gizi kurang dan
perawakan pendek. Di IGD, anak telah diberikan oksigen NRM 8 lpm, infus D51/2
NS 5 tpm makro, injeksi furosemide 40 mg/12 jam, pemberian nifedipine 5 mg –
7.5 mg dan 10 mg SL serta usaha PRC 250 cc – 250 cc. Pada hari pertama
perawatan, transfusi PRC 250 cc telah diberikan dan 1 kantong PRC lagi rencana
masuk durante HD pada keesokan hari nya.
Keesokan harinya pada tanggal 22 September 2023, anak menjalani HD
dengan transfuse PRC durante HD. Terdapat krisis hipertensi pasca HD dengan
tensi terukur 180/100 mmHg (krisis hipertensi) dan membaik ketika diberikan
nifedipine 5 mg SL. Pasca HD, sesak berkurang. Anak telah di weaning NRM 6
lpm dengan saturasi terukur 99%. Pasca transfuse 2 kantong, Hb naik menjadi 9.1
g/dL
Keesokan harinya pada tanggal 23 September 2023, sesak nafas masih
dirasakan namun sudah berkurang. Anak di weaning oksigen menggunakan NK 3

35
lpm dengan saturasi terukur 99%. Batuk berdahak bercampur lendir berwarna
merah muda dan berbuih (+). Bengkak pada mata dan wajah berkurang. Krisis
hipertensi (-). Balans per 24 jam: -202.5 ml dan diuresis per 24 jam : 0.87 cc/kg/jam.
Target perawatan adalah weaning oksigen dan hemodialisis pada tanggal 25
September 2023.
Pada tanggal 24 September 2023, Sesak nafas perbaikan, sudah dapat
diweaning NK 2 lpm. Batuk (+) dengan bercak darah merah segar sudah lebih
jarang. Sudah tidak mual. Bengkak (-). Balans per 24 jam: -130 ml dan diuresis per
24 jam : 0.45 cc/kg/jam. Anak direncanakan HD kembali pada besok hari
Keesokan harinya, sesak nafas tidak ada, anak sudah lepas oksigen dan
saturasi terukur 98%. Bengkak pada kelopak mata (-), batuk bercampur lendir
berwarna pink dan berbusa sudah berkurang. Anak direncakan HD dengan durasi 4
jam dengan tarikan sebanyak 1 L. Anak saat ini menggunakan kateter namun BAK
tidak keluar. Teraba vesika urinaria penuh. Anak direncanakan setelah HD,
dilakukan spooling pada kateter. Jika setelah spooling, aliran urin keluar dan lancer,
anak direncanakan rawat jalan setelah pengambilan laboratorium 4 jam pasca HD.
Pasien telah menjalani hemodialisa rutin di RSDK 2x/minggu setiap hari
Senin dan Kamis. Anak terdiagnosis CKD stage V sejak Juli 2023. Sebelumnya,
anak pernah dilakukan operasi meningokel pada saat usia 3 tahun, anak juga
mengalami riwayat ISK berulang sejak anak berusia 11 tahun. Di rumah, anak BAK
dengan rutin menggunakan Clean Intermitten Catheter sebanyak 4x/hari dengan
volume rata-rata urin sekitar 300-400 cc/hari.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian kesehatan Republik Indonesia. Situasi penyakit ginjal. Pusat


data dan informasi kementerian kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 2017.
2. Hill NR, Fatoba ST, Oke JL, Hirst JA, Callaghan CAO, Lasserson DS, Hobbs
FDR. Global Prevalence of Chronic Kidney Disease – A Systematic Review
and MetaAnalysis. PLoS One. 2016; 11(7): e0158765. doi:
10.1371/journal.pone.0158765.
3. American Society of Nefrology. Cronic kidney diseases for primary care
physicians and healthcare providers. 2011. Edisi 6. United State of America:
Henry Ford Health System.p.4-9. 7. Chapter 1: Definition and classification
of CKD. Kidney International Supplements 2013; 3(1) :19-62.
doi:10.1038/kisup.2012.64.
4. Suhardjono. Hemodialisis. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M,
Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 6.
Jakarta: Interna Publishing. 2016. p.2194-8.
5. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases.
Epidemiology of Kidney Disease in The Unite States. United States Renal
Data System. 2017.
6. Stauffer ME, Fan T. Prevalence of Anemia in Chronic Kidney Disease in the
United States. PLoS ONE. 2014. 9(1): e84943. doi:10.1371/ journal
pone.0084943
7. Hemii. KDIGO clinical practice guideline for anemia in chronic kidney
disease. Kidney International Supplements 2012; 2(4) : 279-335.
8. The Renal Association. Cronic kidney disease stages. 2017. Diunduh dari :
https://renal.org/information-resources/the-uk-eckd-guide/ckd-stages/.
9. Kidney Disease Improving Global Outcomes. Definition and classification of
cronic kidney disease. Kidney International Supplements (2013) 3, 19–62;
doi:10.1038/kisup.2012.64
10. Perhimpunan Neforologi Indonesia. 6th Annual Report of Indonesia Renal
Registry. 2016

37
11. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi
Pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2018
12. Rachmadi D, Sekarwana N, Hilmanto DHG. Buku Ajar Nefrologi Anak.
Edisi Ketiga. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2017
13. Saing J. Hipertensi pada Remaja. Sari Pediatr. 2016;6(4):159
14. Purnamasari L. Tata Laksana Anemia pada Anak dengan Penyakit Ginjal
Kronik. Cermin Dunia Kedokt. 2023;50(5):250–4

38
LAMPIRAN

39

Anda mungkin juga menyukai