Anda di halaman 1dari 16

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas tuntunan-Nya sehingga Bahan
Ajar Menalar Keberagamaan dapat diselesaikan tepat waktu. Bahan Ajar ini
diharapkan dapat memberikan arahan kepada peserta Pelatihan di Wilayah Kerja
khususnya pada mata diklat Penggerak Penguatan Moderasi beragama. Dengan
adanya bahan ajar ini diharapkan kedepannya Aparatur Sipil Negara (ASN) dapat
mengaplikasikan pengetahuan yang didapatkan selama kegiatan pelatihan.

Kami menyadari bahwa bahan ajar ini masih memerlukan banyak


penyempurnaan sehingga saran dan masukan sangat diperlukan. Kami berharap
bahan ajar ini dapat memberikan manfaat bagi peserta pelatihan dan sebagai salah
satu referensi dalam mengimplementasikan moderasi beragama di instansi masing-
masing.

TIM WIDYAISWARA

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. 1


DAFTAR ISI .............................................................................................................. 2
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 4
A. Latar Belakang ................................................................................................ 4
B. Deskripsi Singkat ............................................................................................ 4
C. Kompetensi Pelatihan ..................................................................................... 4
D. Indikator Keberhasilan..................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 6
A. Udar Asumsi Membangun Perspektif .............................................................. 6
B. Sketsa Kehidupan Beragama di Indonesia .................................................... 11
C. Scenario Thinking ......................................................................................... 12
D. Analisis Social dengan Perangkat Analisis Gunung Es (Ice Berg Model) ...... 12
BAB III PENUTUP................................................................................................... 14
A. Kesimpulan ................................................................................................... 14
B. Saran ............................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 15

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Ladder of Inference (Tangga Kesimpulan) ................................................ 7


Gambar 2 Iceberg ................................................................................................... 10
Gambar 3 Three Voicer, Three Openness .............................................................. 11
Gambar 4 Scenario Thinking................................................................................... 12
Gambar 5 Iceberg Model ........................................................................................ 13

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberagamaan adalah kegiatan yang berkaitan dengan agama dan juga
suatu unsur kesatuan yang komprehensif, yang menjadikan seseorang disebut
sebagai orang beragama dan bukan sekedar mengaku mempunyai agama. Hal
penting dalam beragama adalah memiliki keimanan. Keimanan sendiri memiliki
banyak unsur, unsur yang paling penting adalah komitmen untuk menjaga hati
agar selalu berada dalam kebenaran.

Manusia dalam hidupnya selalu merindukan kebahagiaan. Kebahagiaan


yang hakiki ternyata bukanlah berasal dari pola hidup bebas seperti burung,
melainkan justru diperoleh melalui pola hidup yang konsisten mentaati suatu
aturan tertentu, yaitu agama. Sebagai langkah awal dalam mencari
kebahagiaan, manusia harus menyadari makna keberadaannya di dunia ini.

Peranan agama adalah sebagai pendorong atau penggerak serta


mengontrol dari tindakan-tindakan para anggota masyarakat untuk tetap
berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran ajaran agamanya,
sehingga tercipta ketertiban sosial. Ajaran agama oleh penganutnya dianggap
sebagai norma dan sebagai sosial kontrol sehingga dalam hal ini agama dapat
berfungsi sebagai pengawas sosial secara individu ataupun kelompok.

B. Deskripsi Singkat
Mata pelatihan ini memfasilitasi pembentukan kompetensi dalam
menginternalisasi pemahaman moderasi beragaam khusunsnya dalam
menalar keberagamaan.

C. Kompetensi Pelatihan
Setelah mengikuti proses pembelajarann peserta diklat mempu:
memahami dan memiliki menyadari kekeliruan berpikir dan asumsi subyektif
atas keragaman dan perbedaan.

4
D. Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti pelatihan ini, peserta mampu:
1. Menjelaskan tangga penyimpulan
2. Mempraktikkan tangga penyimpulan dalam melihat perbedaan
3. Memetakan kehidupan beragama di Indonesia
4. Menganalisis sosial dengan perangkat Analisis Gunung Es

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Udar Asumsi Membangun Perspektif


1. Pengertian Asumsi
Asumsi berkaitan dengan dugaan seseorang terhadap suatu hal.
Seseorang membuat asumsi karena ingin mengetahui, menanyakan,
memprediksikan, atau menduga tentang sesuatu yang akan atau telah
terjadi.
Asumsi adalah suatu hal yang bukan kepastian. Jadi, membuat
asumsi bisa dilakukan oleh siapa saja dan tentang apa saja. Asumsi sangat
berkaitan dengan suatu dugaan dan suatu hal yang dianggap benar. Hal ini
tergambarkan dalam pengertiannya.
Asumsi adalah dugaan sementara yang dianggap sebagai
kebenaran oleh seseorang. Hal ini masih membutuhkan pembuktian agar
dugaan tersebut menjadi kebenaran yang mutlak. Asumsi perlu kamu
kenali dalam berbagai bidang ilmu.
2. Manfaat Udar Asumsi
a. Menyadari kekeliruan berpikir dan asumsi subjektif atas realitas,
keragaman, dan perbedaan.
b. Menyadari pentingnya pola pikir, sikap, dan perilaku inklusif.
c. Memiliki pemahaman yang meningkat tentang keberagaman sosial
keagamaan.
3. Langkah-langkah dalam Udar Asumsi
1. Peta Bukan Teritori (The Map is not The Territory)
Peta Bukanlah Teritori (map is not territory). Konsep Peta Bukan
Wilayah (The Map is Not The Territory) sebenarnya berasal dari
seorang antropolog yang bernama Gregory Bateson. Peta (map) yang
dimaksud adalah sebuah Realitas Internal (RI) yang mewakili “isi”
kepala manusia. Sedangkan wilayah (territory) wilayah adalah Realitas
Eksternal (RE) yang mewakili segala peristiwa atau kejadian di luar
kepala manusia dan bersifat faktual.

6
Peta adalah asumsi yang ada di kepala kita. Territory adalah
fakta. Diri kita terkadang lebih memilih menciptakan "peta"pikiran
sendiri dibandingkan berhubungan langsung dengan realitasnya. Peta
Indonesia bukanlah Indonesia itu sendiri, Indonesia bukanlah Indonesia
yang digambarkan oleh peta Indonesia. Perhatikan cara kita
memandang peta dan perhatikan bagaimana kita merespon peta
tersebut, amati dan sadari agar timbul kebijaksanaan dalam
menyikapinya. Ubah peta dalam pikiran kita untuk menyelaraskan diri
dengan realita yang sedang terjadi dengan menggunakan tangga
inferensi.

2. Tangga Kesimpulan (Ladder of Inference)


Ladder of inference (Tangga inferensi), yang dikembangkan oleh
mantan profesor Harvard Chris Argyris, adalah alat yang membantu
mengisi celah dalam pemikiran kita dan membuat keputusan
berdasarkan kenyataan, juga membantu menguji pemikiran orang lain
dan mencapai kesimpulan yang lebih baik secara bersama-sama.

Gambar 1 Ladder of Inference (Tangga Kesimpulan)

Ada 7 langkah pada tangga yang mewakili proses mental kita.


Inilah yang terlihat dari bawah ke atas:
1) Data yang tersedia, inilah kondisi nyata yang bisa kita amati karena
data dan informasi yang telah tersedia.

7
2) Data yang dipilih, dari sekumpulan data yang kita miliki, kita hfarus
memilih data apa saja yang akan kita gunakan berdasarkan
pengalaman sebelumnya dan kepercayaan yang kita miliki. Kita tidak
mungkin menggunakan semua data dalam proses ini, karena kita
memiliki keterbatasan dalam mengolah semua informasi. Selain itu,
kita harus jeli dalam memilih data karena harus mewakili pengambilan
keputusan yang akan dibuat.
3) Interpretasi, memahami arti dari kondisi fakta yang terjadi dengan
cara meneliti apa yang kita lihat atau dengar.
4) Asumsi, berdasarkan interpretasi, kita membuat asumsi pribadi
sendiri.
5) Kesimpulan, menarik kesimpulan dari asumsi.
6) Keyakinan, keyakinan kita kemudian dikembangkan dari kesimpulan
yang kita buat.
7) Tindakan, akhirnya, kita mengambil tindakan yang berakar pada apa
yang diyakini sebagai kebenaran.
Berdasarkan pemahaman terhadap Tangga Penyimpulan ini, kita
dapat lebih awas (mindful) terhadap langkah-langkah berpikir kita. Pada
setiap anak tangga, kita dapat melakukan deliberasi dengan reflective
learning dan reflexive loop. Dengan demikian kita tidak terjebak dalam
penyimpulan yang bias dan terbatas. Menerapkan tangga ini secara
sadar membuat orang untuk mundur selangkah dan melihat ke mana ia
akan melompat ke kesimpulan.

3. Bias Kognitif (Cognitive Bias)


Bias kognitif adalah kondisi yang terjadi karena adanya kesalahan
sistematis dalam berpikir, memproses, dan menafsirkan informasi,
sehingga hal tersebut kemudian memengaruhi cara mereka menilai
serta mengambil keputusan. Bias ini kerap muncul sebagai hasil dari
upaya otak dalam menyederhanakan informasi yang diterima.
Bias kognitif adalah bias sistematis dalam memandang dunia dan
kehidupan pada sistem berpikir kita. Ia akan mempengaruhi proses
pengambilan keputusan yang muncul dari cara orang memproses
informasi. Karena masalah atau kejadian tertentu lebih mudah dipahami

8
daripada yang lain, individu cenderung menggunakan kejadian ini
sebagai tolok ukur untuk pengambilan keputusan. Bias kognitif seringkali
terkait dengan memori.
Beberapa kondisi yang menjadi tanda terjadinya bias kognitif,
antara lain:
a. Hanya memerhatikan berita yang mengonfirmasi atau sejalan
dengan pendapat kita;
b. Menyalahkan faktor luar ketika segala sesuatunya tidak berjalan
sesuai rencana;
c. Menganggap kesuksesan orang lain sebagai keberuntungan dan
membanggakan capaiannya sendiri;
d. Berasumsi bahwa orang lain membagikan (mencuri) ide atau
pendapat kita;
e. Belajar sedikit tapi merasa sudah mengetahui banyak hal.

Enam (6) Bias Kognitif yang perlu diwaspadai


a. Egocentric Memory, kecenderungan melupakan bukti dan
informasi yg tdk mendukung pendapat kita.
b. Egocentric Myopia, kecenderungan berpikir secara absolutis
dalam sudut pandang yang sempit.
c. Egocentric Righteousness, kecenderungan merasa lebih baik
atau superior hingga selalu merasa lebih unggul dari yang lain.
d. Egocentric Hypocrisy, kecenderungan tidak menghiraukan
adanya inkonsistensi antara kata dan perbuatan.
e. Egocentric Oversimplification, kecenderungan mengabaikan
kompleksitas masalah dan lebih memilih pandangan yang simplistik
atau menyederhanakan masalah.
f. Egocentic Blindness, kecenderungan untuk tidak mau tahu fakta
dan bukti yang tidak mendukung pendapat kita atau berlawanan
dengan pendapat kita.

4. Tiga Suara Tiga Keterbukaan (Three Voices; Three Openness)


Teori U, untuk Utopian, mengatakan bahwa konflik di antara
manusia selalu berasal dari kesalahpahaman. Hilangkan asumsi palsu

9
dalam kepala mereka, kata teori, dan manusia-manusia didalam
komunitas akan kembali ke keadaan yang damai secara alami.
McGregor - seperti hampir semua teoris manajemen yang pernah Anda
dengar - adalah seorang U-man di hatinya.
Konsep Proses N dan Proses U diperkenalkan oleh profesor Otto
Scharmer dari Presencing Institute – Massachusetts Institute of
Technology, sebagai bagian dari U Theory dalam paradigma System
Thinking. Konsep Proses U menggambarkan mekanisme optimal dalam
mengelola pengalaman kehidupan kita, sedangkan Proses N
menggambarkan mekanisme destruktif yang mempengaruhi kehidupan
kita. Dalam sebuah sistem organisasi maupun sistem sosial politik yang
lebih kompleks, Proses U dan proses N berdampak pada pengambilan
keputusan dan tindakan dalam mengolah sebuah konteks persoalan,
yang berujung pada kondisi sosial politik yang dihidupi.

Gambar 2 Iceberg

Dengan bekal Teori U dapat diterapkan untuk melawan suara-


suara itu. Sebelum memberikan perlawanan, yang pertama harus
dilakukan adalah merefleksi atau mendeteksi suara-suara itu ke dalam
Three Voice. Voice of Judgment (suara menghakimi), Voice of Cyinicism
(suara sinis), Voice of Fear (suara ketakutan).

10
Gambar 3 Three Voicer, Three Openness

Identifikasi mempertemukan kita dengan suara yang selalu


menghantui, suara penghakiman menganggap diri sendiri bodoh, suara
sinis menimbulkan rasa tidak percaya diri dan tidak yakin terhadap diri
sendiri dan suara ketakutan membuat kitatidak bisa melakukakn apa-
apa karena takut memulai. Dengan sedikit memahami cara kerja Teori
U Scharmer, bahwa Voice Of Judgment harus dilawan dengan
membuka pikiran, Voice Of Cyinicism dilawan dengan membuka hati,
dan Voice of Fear dilawan dengan kemauan.

B. Sketsa Kehidupan Beragama di Indonesia


Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk atau plural
society. Indonesia memiliki luas daratan 1,919 juta km² dan jumlah penduduk
270,20 juta jiwa serta memiliki 6 macam agama yaitu Islam, Hindu, Buddha,
Katolik, Protestan dan Khonghucu (Badan Pusat Statistik, 2021).Kemajemukan
di negeri ini diwarnai juga oleh kaenekaragaman bahasa, suku, adat istiadat,
dan ras. Tingkat keberagamaan di Indonesia sangat terasa. Nilai ajaran
keagamaan tak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam
masyarakat majemuk kondisi kemajemukan merupakan tantangan untuk
terciptanya kerukunan hidup beragama.
Meneropong dari yang sudah dialami bangsa Insodnesia pada dasarnya
menyadari bahwa keragaman yang dianugerahkan Tuhan harus dioptimalkan
ketika memiliki cita cita yang sama. Keragaman adalah anugerah dan
kehendak Tuhan jika diteropong dari sudut pandang agama. Ajaran agama
senatiasa terkait dengan rasa cinta kasih sesama manusia.

11
Dalam era demokrasi, permasalahan perbedaan kepentingan dan
pandangan yang ada di antara masyarakat yang beragam dikelola sedemikian
rupa, sehingga aspirasi dapat dengan baik tersalurkan. Kementerian agama
saat ini menggiatkan moderasi beragama sebagai alternatif kebijakan
pemerintah dalam mengatasi golongan yang memiliki paham keagamaan
ekstrim.

C. Scenario Thinking
Scenario Thinking merupakan suatu metode analisis dalam proses
perencanaan strategis, yang kemudian disebut perencanaan skenario
(scenario planning). Metode ini diadaptasi dari model perencanaan klasik yang
umum digunakan oleh intelejen dalam kemiliteran (Mats Lindgren & Hands
Bandhold, 2003). Herman Kahn adalah salah seorang pemikir yang
mencanangkan model berpikir skenario dalam bentuk narasi masa depan
dalam perencanaan militer Amerika Serikat tahun 1950-an. Kahn mengadopsi
istilah ‘skenario’ sebagai narasi masa depan. Kemudian pada tahun 1961,
Kahn mendirikan Hudson Institute untuk mengembangkan skenario masa
depan dalam pelayanan publik.

Gambar 4 Scenario Thinking

Scenario Thinking berangkat dari kondisi yang ada saat ini, bila
dibiarkan tumbuh, apa yang akan terjadi di masa depan? Tuliskan secara
berurutan dari titik 1 ke titik 2 ke titik 3 dan seterusnya. Petakan dengan proses
netral dan alamiah, jangan membicarakan apa solusi dan intervensi yang
diperlukan.

D. Analisis Social dengan Perangkat Analisis Gunung Es (Ice Berg Model)


Model analisis ini dapat digunakan dalam fenomena yang bersifat
kompleks (dalam organisasi atau masyarakat), dikembangkan oleh Senge dan

12
Hamilton. Events adalah fenomena yang tampak terkait konteks yang
dianalisis. Fenomena dalam system thinking diyakini disokong oleh 3 lapisan
yang tidak tampak: pola/kecenderungan perilaku, struktur & sistem sosial, dan
model mental (paradigma/cara pandang) dengan sumber yang biasanya
bersifat sakral seperti ideologi, agama, tradisi.
✓ patterns of behavior adalah kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat
dan terkait langsung dengan fenomena tampak. Misalnya, fenomena
perilaku intoleran dalam masyarakat didukung oleh pola penanaman nilai-
nilai melalui pengajian dan dai2 yang intoleran.
✓ Systems Structure adalah struktur & sistem sosial yang memungkinkan
pola/kecenderungan masyarakat tersebut berkembang.
✓ Mental Models adalah cara pandang, perspektif, dan paradigma
pelaku/elemen sistem yang menyebabkan struktur dan sistem sosial
bertahan dalam kondisi/sistuasi sedemikian
Semakin dalam lapisan yang kita analisis dan kemudian kita intervensi,
semakin besar leverage (daya ungkit) terhadap perubahan struktural dan
sistemik, yang berujung pada perubahan fenomena yang berkelanjutan.

Gambar 5 Iceberg Model

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Menalar keberagamaan bertujuan untuk:
a. Membongkar kekeliruan berfikir dan asumsi subjektif atas keragaman
dan perbedaan
b. Membangun kesadaran akan pentingnya pola pikir, sikap, dan perilaku
yang inklusif
c. Meningkatkan pemahaman tentang keberagaman sosial-keagamaan
2. Teori yang digunakan untuk menalar kebragamaan antara lain:
a. Peta bukan Teoriti (Map is Not Teorrity)
b. Tangga Kesimpulan (Ladder of Ifference)
c. Tiga Suara, Tiga Keterbukaan (Three Voices, Three Opennes)
d. Sketsa Kehidupan Beragama di Indonesia
e. Analisis Sosial Gunung Es (Iceberg Analysis)

B. Saran

Dengan pemahaman mengenai materi menalar keberagamaan


diharapkan peserta pelatihan dapat meningkatkan pemahaman peserta
tentang keberagaman sosial-keagamaan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. “Politik Bhinneka Tunggal Ika dalam keragaman budaya


Indonesia,” Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol. 5, No. 2 (2003): 1-13.

Anwar, M. Syafi’i, “Islamku, Islam Anda, Islam Kita Membingkai Potret Pemikiran
Politik KH Abdurrahman Wahid,” dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita, xix-
xxii. Jakarta: Wahid Institute, 2006.

B. Singh, “The challenge of militant Islam and terrorism in Indonesia,” Australian


Journal of International Affairs, Vol. 58, No. 1 (2004): 47-68.

Scharmer, Otto. 2009. Theory U, Leading from the Future as it Emerges, San
Fransisco: Berret-Koehler Publisher, Inc.

Senge, Peter M. 1994. The Fifith Discipline: The Art and Practice of the Learning
Organization, New York: Doubleday.

15

Anda mungkin juga menyukai