Anda di halaman 1dari 3

1.

Baby Boomer

Baby Boomer Generasi baby boomer adalah generasi yang lahir pada tahun 1946 hingga tahun 1964.
Dinamakan baby boomer, karena angka kelahiran bayi yang sangat besar seperti boom setelah
berakhirnya Perang Dunia II. Dilansir dari History, di Amerika Serikat saja ada 76,4 juta kelahiran dan
membentuk hampir 40 persen dari populasi negara. Generasi baby boomer dinilai sebagai generasi
yang membangun era setelah PD II, berkomitmen, kompetitif, pemimpin yang baik, terstruktur, loyal,
pekerja keras, namun tidak suka dikritik.

2. Generasi X

Generasi X Generasi X adalah generasi yang lahir sekitar tahun 1965 hingga tahun 1980. Generasi X
sering disebut dengan baby bust dikarenakan penurunan angka kelahiran bayi yang signifikan
dibandingkan generasi baby boomer sebelumnya

Generasi X tumbuh di masa perkembangan teknologi yang sama sekali baru seperti handphone dan
laptop, juga kesulitan ekonomi pada tahun 1980-an. Generasi X dinilai sebagai generasi yang mandiri,
pekerja keras, berorientasi pada karier, fleksibel, mahir dalam teknologi, logis, banyak akal, dan
problem solver (pemecah masalah) yang baik.

3. Generasu Milenial atau Generasi Y

Generasi Milenial atau Generasi Y Generasi milenial atau generasi Y adalah generasi yang lahir sekitar
tahun 1980 hingga tahun 1995 pada saat teknologi telah maju. Mereka tumbuh di dunia yang telah
mahir menggunakan media sosial dan juga smartphone sehingga otomatis mereka sangat mahir
dalam teknologi. Generasi milenial sering dinilai sebagai generasi yang malas karena sering bermain
ponsel. Namun sebenarnya generasi milenial adalah generasi yang memiliki keingintahuan tinggi,
percaya diri, dan merupakan generasi yang paling banyak membaca buku. Namun generai milenial
sangat rentan terserang depresi serta gangguan kecemasan.

4. Generasi Z

Generasi Z Generasi Z adalah generasi yang lahir sekitar tahun 1997 hingga tahun 2000-an. Dilansir
dari BBC, generasi Z adalah generasi yang masih muda dan tidak pernah mengenal kehidupan tanpa
teknologi sehingga terkadang disebut sebagai i-gen. Generasi Z dinilai sebagai generasi yang
ambisius, mahir tentang hal digital, percaya diri, mempertanyakan otoritas, banyak menggunakan
bahasa gaul, lebih sering menghabiskan waktu sendiri, dan rasa ingin tahu yang sangat tinggi.
Generasi Z juga rentan terkena depresi juga anxiety.
FINLANDIA NEGARA PALING BAHAGIA TAPI ANGKA BUNUH DIRI PALING TINGGI

Menurut laporan berjudul In the Shadow of Happiness tahun 2018, yang disusun oleh Institut
Penelitian Kebahagiaan di Copenhagen, sekitar 16% penduduk perempuan Finlandia berusia 18-23
tahun dan 11% pemuda mengaku “kesulitan” atau “menderita” dalam hidup.

Angkanya semakin parah untuk kelompok usia di atas 80 tahun.

Penelitian nasional mendalam terkait depresi di Finlandia terakhir kali dilakukan tahun 2011, namun
organisasi nirlaba Mieli (Mental Health Finland) memperkirakan sekitar 20% penduduk berusia di
bawah 30 tahun telah mengalami gejala depresi hingga tahun lalu.

“Ini terjadi secara merata,” kata Juho Mertanen, psikolog di organisasi tersebut. “Dan ada pertanda
bahwa jumlahnya meningkat, meskipun peningkatannya tidak seekstrem laporan media-media
setempat.”

Laporan Pusat Kesejahteraan dan Isu Sosial Nordik tahun 2017 menyoroti kaitan erat
penyalahgunaan narkoba dengan buruknya kesehatan masyarakat.

Mereka mencatat, warga Finlandia mengonsumsi lebih banyak alkohol ketimbang warga negara-
negara Nordik yang lain. Kemudian juga terjadi peningkatan penggunaan obat-obatan terlarang pada
kelompok usia 25-34 tahun.

Meski angka pengangguran nasional rendah, jumlahnya paling banyak terdapat pada kelompok usia
muda. Sekitar 12,5% warga usia 15-19 tahun merupakan pengangguran hingga akhir tahun 2018.
Angka itu merupakan yang tertinggi di kalangan negara Nordik dan berada di atas angka rata-rata Uni
Eropa, yaitu 11,5%.

Mertanen yakin, ketersediaan pekerjaan di Finlandia berperan dalam masalah kesehatan mental
anak muda, karena “banyak ketidakpastian belakangan ini”. Meskipun menurut standar internasional
Finlandia tergolong negara dengan kondisi finansial yang stabil, menurutnya, angka kesenjangan
sosial meningkat.

Mertanen juga menggarisbawahi fakta bahwa Finlandia tengah menghadapi tren dunia dalam hal
digitalisasi dan gig economy – pasar pekerjaan dengan ciri khas kontrak jangka pendek atau
pekerjaan lepas. Dua tren itu mulai diperbincangkan dalam berbagai diskusi terkait kesehatan mental
anak-anak muda di dunia Barat.

“Dunia menjadi semakin kompleks… Perekonomian berubah, semakin sedikit jenis karir yang bersifat
stabil di mana Anda bisa masuk, lalu bekerja dan pensiun,” ujar Mertanen.

Menurutnya, media sosial mungkin juga berdampak pada kesehatan mental anak muda Finlandia
dan negara lainnya.

Meski dengan cepat mengklarifikasi bahwa penelitian jangka panjang berskala besar untuk
mempelajari dampak ‘likes’ pada Instagram dan Facebook masih sangat terbatas, ia menyebut orang
depresi cenderung suka memperbandingkan segala sesuatu.

Media sosial lantas dianggap memberi jalan pintas bagi sebagian orang untuk mulai membandingkan
momen-momen terburuk mereka dengan momen-momen terbaik kehidupan orang lain.
Mertanen berkata, sangat mungkin citra Finlandia sebagai tempat di mana orang-orang diperkirakan
merasa puas dengan hidup mereka justru memperburuk dampak negatif tren global itu terhadap
anak-anak muda Finlandia, yang tidak merasa pengalaman mereka sesuai dengan stereotip itu.

“Saya rasa penelitian soal tingkat kebahagiaan dan media sosial memperparah pandangan terhadap
dunia hitam-putih yang dilihat oleh orang depresi,” ungkapnya.

"Di Finlandia… Anda merasa bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja, meski kenyataannya tidak,"
ujar Jonne Juntura. Jonne adalah dokter berusia 27 tahun yang pernah depresi selama enam bulan
semasa kuliah.

Jonne berkata, meski kondisi pribadi dan sosial yang sulit seringkali dikaitkan dengan depresi,
misalnya patah hati atau mengalami kemunduran finansial, depresi merupakan penyakit yang dapat
menimpa siapa saja tanpa peduli standar kehidupan yang bersangkutan.

" Meskipun statistik menunjukkan bahwa kita adalah negara paling bahagia dunia, data itu tidak
menceritakan kondisi yang ada secara utuh. Karena depresi adalah sebuah penyakit dan
kemunculannya tidak selalu berhubungan dengan kondisi sekitar."

"Ketika saya sendiri jatuh sakit (depresi), semuanya baik-baik saja dalam hidup saya. Saya sedang
menikmati sekolah. Saya menyukai hobi-hobi saya. Saya sudah punya pacar. Tidak ada yang salah
dengan hidup saya. Tapi tetap saja, saya jatuh sakit," jelasnya.

Anda mungkin juga menyukai