Anda di halaman 1dari 8

Fenomena ”Great Resignation” dan ”Quiet Quitting”, Apakah Terjadi di

Indonesia?

Pandemi Covid-19 menghadirkan fenomena gelombang pekerja yang berhenti dari


pekerjaannya secara besar-besaran atau dikenal dengan istilah great resignation. Di sisi lain,
muncul pula fenomena quiet quitting dalam merespons great resignation, yang artinya pekerja
tidak berhenti sepenuhnya dari pekerjaan, tetapi bekerja dengan standar sangat minimal.
Apakah kedua fenomena ini terjadi di Indonesia pascapandemi?Pembatasan mobilitas dan
sosial selama pandemi telah mengubah budaya kerja, dari semula hadir di kantor dari pukul
09.00 pagi hingga pukul 17.00 sore menjadi bekerja fleksibel dari rumah (work from home).
Budaya kerja ini terjadi secara global, meski tidak berlaku untuk semua sektor ekonomi.
Walaupun tidak hadir di kantor, produktivitas kerja terjaga dan perusahaan tetap beroperasi.
Setelah pandemi berangsur teratasi, kebiasaan bekerja fleksibel dari rumah ini tetap berlanjut.
Sulit bagi banyak perusahaan untuk mengembalikan karyawannya bekerja penuh di
kantor.Risiko yang muncul adalah banyaknya pekerja yang kemudian berhenti dari
pekerjaannya karena mengutamakan kenyamanan hidup yang sudah dinikmati sejak pandemi.
Pekerja mulai melihat tujuan hidupnya secara berbeda dan menginginkan bekerja lebih
fleksibel. Model kerja yang hibrida, kombinasi bekerja secara online dan tatap muka,
dianggap sebagai alternatif bekerja yang terbaik pascapandemi (Forbes, 21/7/2021).

Biro Statistik Ketenagakerjaan Amerika Serikat menyebutkan, pada Juni 2022 terdapat lebih
dari 4 juta pekerja di AS yang berhenti bekerja. Fenomena great resignation atau great
attrition atau big quit di AS bahkan sudah dimulai sejak awal pandemi Covid-19 dan terus
berlangsung lebih dari dua tahun.Hasil poling McKinsey yang dipublikasikan oleh Forum
Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) pada 5 Agustus 2022 lalu menyebutkan,
pekerja di enam negara, yakni Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia, India, dan
Singapura, secara rata-rata 40 persen mengatakan berencana untuk berhenti bekerja dalam
waktu dekat.
Pekerja India bahkan sebanyak 66 persen yang menyatakan tidak bahagia dengan
pekerjaannya dan ingin berhenti kerja dalam 3-6 bulan ke depan. Di Singapura terdapat 49
persen yang juga ingin berhenti kerja. Di Inggris, yang diakui pekerjanya merupakan yang
paling bahagia di dunia, sebanyak sepertiganya juga ingin segera berhenti bekerja. Dari riset
McKinsey tersebut, faktor kurang memiliki prospek ke depan dalam pekerjaan menjadi
alasan utama untuk meninggalkan pekerjaan. Hal ini disampaikan oleh setidaknya 41 persen
responden. Alasan kedua terkait dengan upah/gaji yang tidak sesuai. Alasan selanjutnya
adalah atasan yang tidak menghargai anak buahnya (uncaring leaders), pekerjaan yang tidak
lagi bermakna (meaningless work), dan fleksibilitas lingkungan kerja yang buruk. Oleh sebab
itu, untuk menghentikan gelombang great resignation ini, McKinsey menyarankan
perusahaan memberikan perhatian pada masalah upah dan benefit yang diberikan kepada
karyawan. Selain itu, juga memastikan adanya pengembangan karier yang layak/tepat bagi
karyawan, serta memastikan para atasan/pemimpin bekerja menginspirasi anak buahnya.
Ketidakpuasan terhadap upah, atasan, dan lingkungan kerja tidak kemudian berakhir dengan
berhenti bekerja. Fenomena baru yang menjadi respons dari great resignation ini ada yang
disebut quiet quitting. Istilah ini bermakna tidak berhenti sepenuhnya dari pekerjaan. Jika
pekerja saat ini tidak puas dengan pekerjaan, namun berhenti bekerja bukanlah opsi yang
tepat dan tidak ada pilihan pekerjaan yang lain, mereka akan melakukan quiet quiting.
Sederhananya, mereka hanya akan bekerja seadanya dengan ekspektasi yang rendah. Orang
yang menjalankan quiet quitting ini bukan menghindari kewajiban dalam bekerja, tetapi
mereka mencari keseimbangan dan makna hidup yang lebih baik di luar pekerjaan. Langkah
sederhana yang mereka lakukan adalah tidak mau melakukan kerja lembur.

Tren quiet quitting ini digaungkan oleh pekerja-pekerja muda usia, kalangan milenial, dan
generasi Z. Pekerjapekerja muda ini mencari fleksibilitas dalam pekerjaan, juga
keseimbangan hidup. Banyak pekerja muda yang menolak gaya hidup yang hanya fokus pada
pekerjaan. Mereka tetap bekerja, tetapi tidak mau diatur oleh pekerjaan. Fenomena quiet
quitting ini pada akhirnya akan bermuara pada great resignation. Di Inggris, misalnya,
meskipun telah terjadi kenaikan tajam jumlah orang yang berhenti bekerja pada tahun 2021,
masih terdapat satu dari lima pekerja yang berencana mengundurkan diri dalam rentang
setahun ke depan untuk mencari kepuasan kerja dan kesejahteraan yang lebih baik. Dalam
periode menunggu sampai benar-benar berhenti inilah quiet quitting berlangsung. Melakukan
quiet quitting ini bukan sepenuhnya negatif. Hal itu oleh karena upaya-upaya untuk
mendapatkan keseimbangan hidup antara dunia kerja dan dunia sosial (termasuk keluarga)
berkaitan dengan kesehatan mental. Ketidakpuasan dalam bekerja, yang antara lain
disebabkan tidak adanya peningkatan karier yang bertemali dengan kesejahteraan atau tidak
mendapat pengakuan atas prestasi, akan diinternalisasi sebagai kegagalan personal.Hal ini
akan meningkatkan kecemasan, stres, hingga menurunkan harga diri. Akibatnya,
produktivitas akan menurun. Padahal, banyak penelitian yang menyebutkan pekerja yang
lebih bahagia akan lebih produktif. Quiet quitting menjadi semacam jalan tengah. Pekerja
menolak kerja yang berlebihan, dan memilih keseimbangan dan kebahagiaan.

Dari penjelasan mengenai great resignation dan quiet quitting yang terjadi pascapandemi ini,
apakah fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia?

Merujuk pada negara-negara tempat terjadinya great resignation, rasanya Indonesia belum
mengalami fenomena tersebut. Negara-negara yang terdapat banyak kasus pekerja
mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai pilihan hidup ini adalah negara-negara dengan
tingkat kesejahteraan dan pendapatan yang tinggi, seperti enam negara yang diriset oleh
McKinsey mengenai great resignation. Indonesia masih jauh dari kondisi tersebut. Dengan
kata lain, orang Indonesia masih butuh pekerjaan, baik formal maupun nonformal, dan
cenderung terus bekerja untuk mencapai kemapanan. Di Indonesia saat ini masih terdapat
sekitar 8,4 juta orang dengan status pengangguran terbuka (Sakernas BPS, Februari 2022). Di
masa pandemi, pekerja di Indonesia lebih mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK)
ketimbang mengundurkan diri karena menginginkan pekerjaan yang lebih fleksibel. Akibat
PHK, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia pada awal pandemi meningkat menjadi 9,77
juta orang (periode Agustus 2020). Jumlah tersebut naik 42 persen dibandingkan kondisi
enam bulan sebelumnya.

Namun, fenomena quiet quitting bisa jadi juga terjadi di Indonesia karena alasan
ketidakpuasan bekerja yang lebih universal. Dan, hal ini bisa terjadi baik sebelum maupun
sesudah pandemi, tidak berkaitan langsung dengan fenomena great resignation yang muncul
pascapandemi. (LITBANG KOMPAS)

https://www.kompas.id/baca/riset/2022/09/13/fenomena-great-resignation-and-quiet-
quittingapakah-terjadi-di-indonesia

Pertanyaan:

1. Jelaskan yang dimaksud dengan fenomena "the great resignation" dan "quiet quitting".
Hal apakah yang menyebabkan terjadinya kedua fenomena tersebut?
Jawab :
The great resignation adalah sebuah fenomena dimana para pekerja melakukan proses
pengunduran diri masal dari sebuah Perusahaan tempatnya bekerja. Dimana karyawan
dengan sukarela mengundurkan diri dari pekerjaan mereka secara massal. Fenomena ini
terjadi dan banyak dilakukan pada saat pandemic covid, di akibatkan karena adanya
krisis perekonomian pada saat itu, menyebabkan banyak karyawan mementingkan hal
yang perlu di prioritaskan, perubahan perilaku ini dipicu oleh kebutuhan yang tidak
terpenuhi, Ketika kebutuhan tidak terpenuhi, pekerja cenderung akan berpindah
pekerjaan.
Quiet quitting adalah sebuah fenomena dimana sifat atau tindakan seseorang, dalam
hal ini karyawan perusahaan, yang membatasi kontribusi dalam memenuhi kewajiban
kerja sesuai porsinya, dalam fenomena ini seorang pekerja tidak berenti sepenuhnya dari
pekerjaannua, yang dimaksud dalam fenomena ini adalah pekerja tidak ingin diatur dan
terikat, mereka lebih mementingkan sebuah pekerjaan yang fleksible, dan lebih
mementingkan keseimbangan kehidupan dan pekerjaan. Fenomena ini dapat terjadi
ketika Perusahaan kurang memberikan reward kepada karyawan, beban pekerjaan yang
berlebihan sehingga membuat karyawan terbebani, adanya kompensasi yang buruk pula
menjadi sebuah penyebab adanya quiet quitting ini, gaji / upah yang tidak sesuai dengan
pekerjaan akan menjadi penyebab utama terjadinya fenomena tersebut.
2. Saat ini di Indonesia belum mengalami fenomena the great resignation maupun quiet
quitting. Strategi apakah yang harus diterapkan oleh perusahaan agar terhindar dari
fenomena tersebut?
Jawab :
Selama masa pandemic banyak dari negara- negara lain mengalami pelonjakkan
fenomena the great resignation. Saat ini di Indonesia belum mengalami fenomena
tersebut, sehingga Perusahaan- Perusahaan harus merancang strategi agar terhindar dari
fenomena tersebut. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan cara memberikan
pelatihan kerja terutama dalam bersosialisasi, ini dilakukan agar karyawan tidak merasa
tertekan, memberdayakan pengembangan karir bagi karyawan, memperhatikan
Kesehatan dan keselamatan karyawan disaat bekerja, memberikan reward atau apresiasi
bagi karyawan sebagai bentuk Perusahaan menghargai kerja keras karyawan.
3. Bagaimana cara yang tepat untuk mengukur kinerja karyawan pada perusahaan yang
memberlakukan Work From Home, tolak ukur apa saja yang digunakan sebagai standar
pengukuran kinerja? Buatlah sebuah sistem penilaian kinerja untuk mengukur kinerja
karyawan saat pemberlakuan WFH.
Jawab :
Cara mengukur produktivitas karyawan saat pemberlakuan WFH
 Kenali Kontrak Kinerja
Kontrak kinerja merupakan hasil kesepakatan antara atasan langsung dengan
bawahan. Kita harus dapat memahami semua IKU yang ada dalam kontrak kinerja
baik dari perhitungan target, trajectory target.
 Buatlah Kertas Kerja Perhitungan Realisasi
Setelah memahami masing-masing IKU, buatlah kertas kerja perhitungan realisasi
dari masing-masing IKU tersebut. Semakin detail kertas kerja perhitungan akan
semakin bagus untuk mempermudah evaluasi kinerja kita.
 Buatlah Daftar Prioritas
Dengan membuat daftar prioritas, kita dapat lebih fokus dan dapat menyelesaikan
tugas dengan lebih efisien. Membuat daftar prioritas dapat dilakukan dengan
menggunakan struktur manajemen waktu 4D (Do, Delegate, Defer, Delete).
 Jalinlah Komunikasi dengan Atasan dan Rekan Kerja
Dengan tetap menjaga komunikasi tim, informasi-informasi terkait pekerjaan lebih
cepat tersampaikan. Kita perlu aktif mencari informasi terkini terkait pekerjaan agar
dapat dijadikan pertimbangan dalam memutuskan apakah daftar prioritas dan
strategi dalam mencapai target sudah sejalan dengan arah organisasi.
 Lakukan monitoring progres pekerjaan
Hasil monitoring dari kertas kerja, dapat kita sampaikan kepada atasan secara
berkala. Hal ini dapat digunakan sebagai Early Warning System pencapaian target
kinerja kita. Dengan mengetahui lebih cepat atas kendala yang mungkin akan
dihadapi, maka dapat mempermudah dalam mencari solusi.
Cara untuk tetap melakukan penilaian kinerja saat pemberlakuan WFH adalah
dengan mengganti metode penilaian.
 Pertama, hindari proses penilaian menggunakan rating atau peringkat.
 Kedua, lebih utamakan penilaian jejak pendapat atau naratif. Hal tersebut lebih
efektif terlebih tantangan ketahanan dan komunikasi dengan teman satu tim teruji di
masa krisis.
 Ketiga, biarkan karyawan berbicara. Maksudnya adalah gunakan pendekatan empati
dan emosional kepada karyawan. Terlebih situasi krisis biasanya akan memberi
tekanan besar pada karyawan tertentu.
 Keempat, kedepankan metode 360 degrees. Itu artinya biarkan karyawan menilai diri
mereka sendiri. Hal ini juga sebagai wadah perusahaan menerima masukan dari
karyawan selama masa krisis.
 adanya beberapa elemen feedback karyawan yang hilang misalnya saja bonus gaji.
Namun perusahaan tetap bisa mendorong kinerja karyawan yang lebih baik dengan
penghargaan lain. Pemberian penghargaan ini bukan masalah sepele, namun menjadi
salah satu bentuk feedback karyawan terhadap penilaian kinerja selama krisis
4. Dalam menghadapi potensi terjadinya fenomena the great resignation maupun quiet
quitting di Indonesia, menurut anda apa yang harus dilakukan perusahaan untuk
mempertahankan loyalitas dan menjaga produktifitas karyawannya?
Jawab :
Dalam mempertahankan loyalitas dan menjaga produktifitas karyawan dengan cara
 Dengan mempertahankan motivasi kerja karyawan-karyawan, dengan cara
menciptakan budaya kerja yang nyaman
 Memberi apresiasi atau reward, onus dapat dijadikan sebagai positive
reinforcement demi menjaga loyalitas karyawan. Yang dimaksud dengan positive
reinforcement adalah ketika Anda memberikan penghargaan kepada seseorang
dengan harapan seseorang tersebut mengulangi perilaku yang sama di waktu
mendatang.
 Ikut sertakan karyawan dalam strategi perusahaan, dengan keterlibatan seperti
demikian, karyawan akan merasa dihargai dan dibutuhkan oleh perusahaan karena
ide-idenya, sekecil apapun, didengar dan dipertimbangkan oleh para pemangku
kebijakan perusahaan.
 Ciptakan manajemen sdm yang baik untuk tumbuhkan loyalitas karyawan
 Memberikan Jenjang Karier yang Jelas
5. Menurut anda, bagaimana strategi kompensasi yang tepat diterapkan perusahaan pada era
pasca pandemi ini? Berilah usulan kompensasi yang ideal bagi karyawan di era ini.
Jawab :
strategi dasar dalam pemutusan pemberian kompensasi seperti halnya sebagai berikut.
 Melakukan perencanaan keuangan, bertujuan untuk menghitung berapa persen biaya
kompensasi yang dihabiskan oleh perusahaan, lalu sebagai acuan untuk menentukan
siapa prioritas pegawai yang lebih berhak dalam menerima kompensasi. Hal ini juga
dilakukan untuk menjaga kestabilan keuangan dan mencegah adanya pengeluaran
uang yang sia-sia.
 Mengetahui jumlah kompensasi perusahaan kompetitor, bisa dilakukan dengan cara
melakukan komparasi dengan perusahaan kompetitor yang memiliki bidang dan
jenis usaha yang sama. Hal ini ditujukan untuk memastikan kompensasi karyawan
kompetitif dengan perusahaan lain dan layak diberikan karyawan.
 Audit gaji karyawan, seiring berjalannya waktu jumlah besaran tunjangan akan
berubah. Audit diperlukan untuk mengetahui gaji sebelumnya sudah sesuai dengan
kinerja karyawan, apabila belum sesuai perusahaan tersebut dapat memberikan
kompensasi. Hal ini dapat berdampak positif bagi karyawan karena kinerjanya
dihargai oleh perusahaan.
 Strategi kompensasi total, ditujukan untuk melakukan optimasi anggaran, dimana
hal ini dilakukan dengan menggabungkan semua tunjangan, insentif dan lainnya
dalam satu kelompok yang nantinya semua fasilitas benefit dapat dikalkulasikan
secara total dan dibayarkan secara sekaligus. Dengan begitu perusahaan hanya akan
melakukan perencanaan finansial sekali.
Strategi kompensasi yang baik kepada karyawan akan memberikan dampak
positif dan manfaat bagi perusahaan karena mampu memicu karyawan untuk
berprestasi dan bekerja lebih giat. Hal ini juga bisa menjadi daya pikat bagi para
pencari kerja yang berkualitas karena mempertimbangkan kompensasi yang
didapatkan.
Referensi :
Formica, S., & Sfodera, F. (2022). The Great Resignation and Quiet Quitting paradigm
shifts: An overview of current situation and future research directions. Journal
of Hospitality Marketing & Management, 31(8), 899-907.
Jiskrova, G. K. (2022). Impact of COVID-19 pandemic on the workforce: from
psychological distress to the Great Resignation. J Epidemiol Community
Health, 76(6), 525-526.
Purusottama, A., Budihardjo, A., Elfriede, D. P., Ramadhanti, F., Honggo, H., Setiawati,
I. B., ... & Hartono, Y. (2022). Fenomena Bisnis Ekonomi Terkini: Capita
Selecta Seri 1 2021-2022 (Vol. 1). Prasetiya Mulya Publishing.
Sarmijan, S., Tiarapuspa, T., & Ikhwan, H. S. (2022). Peran Gender Sebagai Variabel
Moderasi Pengaruh Work From Home, Work Life Balance dan Kompensasi
Terhadap Kinerja Pegawai Pada Masa Pandemi COVID-19. JISIP (Jurnal Ilmu
Sosial dan Pendidikan), 6(3).
Wahyu, E. E., Nurbaya, S., Kurniawan, C. N., & Arjo, T. R. (2021, October). Pendekatan
performance management sebagai langkah antisipatif perusahaan mengukur
kinerja karyawan ketika Work for Home di masa pandemi. In SENABISMA:
Seminar Nasional Bisnis Dan Manajemen.
Wiediya, W., & Andy, A. (2022). Mempertahankan Produktivitas, Motivasi dan Loyalitas
Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja Ditengah Pandemi Covid-19 di PT.
Arlisco Elektrika Perkasa. EMaBi: Ekonomi dan Manajemen Bisnis, 1(1), 150-
163.
Zamroni, M. (2022). HAK DAN KEWAJIBAN PEKERJA PADA FENOMENA QUIET
QUITTING PERSPEKTIF HADITS. Al-Inṣāf-Journal Program Studi Ahwal Al
Syakhshiyyah, 2(2), 1-15.

Anda mungkin juga menyukai