Anda di halaman 1dari 118

PANDUAN PRAKTIKUM

LABORATORIUM
SEMESTER VII

PROGRAM STUDI ILMU


KEPERAWATAN & PROFESI
NERS STIKES MALUKU HUSADA

Panduan Praktikum Laboratorium Semester VII i


VISI MISI PRODI KEPERAWATAN
STIKes MALUKU HUSADA

Visi Program Studi Ilmu Keperawatan dan Profesi Ners, yaitu Menjadi
Program Studi Ilmu Keperawatan dan Profesi Ners yang profesional dan
unggul dibidang Keperawatan yang berbasis kepulauan di tingkat local dan
nasional di tahun 2034.

Misi Program Studi Ilmu Keperawatan dan Profesi Ners:


1. Mengembangkan Program Studi Ilmu Keperawatan dan Profesi Ners yang
berkualitas dan profesional dibidang keperawatan berbasis kepulauan.
2. Mengembangkan penelitian di bidang keperawatan berbasis kepulauan.
3. Menyelenggarakan program pengabdian masyarakat baik secara mandiri,
berkelompok dan masyarakat dibidang keperawatan berbasis kepulauan
4. Mengembangkan jejaring kerjasama dibidang keperawatan berbasis
kepulauan di tingkat local dan nasinal

Tujuan Program Studi Ilmu Keperawatan dan Profesi Ners:


1. Menghasilkan lulusan Ners yang berkompeten dan unggul di bidang
keperawatan yang berbasis kepulauan.
2. Menghasilkan penelitian yang bermutu di bidang keperawatan berbasis
kepuluan.
3. Melaksanakan kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat sebagai tindak
lanjut dari hasil penelitian di bidang keperawatan berbasis kepulauan.
4. Terjalinnya kerjasama yang baik dengan institusi di dalam maupun luar
negeri dalam upaya meningkatkan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester i


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan YME yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga buku panduan praktikum laboratorium ini dapat kami selesaikan.
Buku ini merupakan panduan bagi mahasiswa semester VII Program Studi Ilmu Keperawatan
Stikes Maluku Husada.
Diharapkan dengan adanya buku panduan ini dapat membantu mahasiswa untuk mengetahui
dan memahami keterampilan tindakan yang harus dikuasai. Buku ini tidak hanya sebagai pegangan
mahasiswa tetapi juga sebagai pegangan instruktur, diharapkan ada kesamaan persepsi antara
instruktur dan mahasiswa sehingga dapat tercapai tujuan pendidikan yang optimal.
Semoga buku panduan ini dapat bermanfaat bagi kita dalam mengembangkan sistem
pendidikan tinggi keperawatan. Tak lupa kami ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada
semua pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dan kami menyadari bahwa
buku panduan ini jauh dari kesempurnaan, segala bentuk masukan, kritik dan saran yang sifatnya
sebagai perbaikan sangatlah kami harapkan.

Kairatu, September 2023

Tim Penyusun

Panduan Praktikum Laboratorium Semester i


DAFTAR ISI

Halaman
COVER
VISI MISI PRODI KEPERAWATAN.................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................................................ iii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................... iv
RANCANGAN KEGIATAN PEMBELAJARAN .................................................................................. v
TATA TERTIB PRAKTIKUM LAB PRODI KEPERAWATAN ............................................................. vi

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH .............................................................................................. 1


SISTEM RESPIRASI....................................................................................................................... 1
SISTEM CARDIOVASKULER .......................................................................................................... 20
SISTEM GASTROINTESTINAL ....................................................................................................... 33
SISTEM PERKEMIHAN ................................................................................................................... 43
SISTEM INTEGUMEN ..................................................................................................................... 46
SISTEM NEUROLOGI ..................................................................................................................... 53
PEMERIKSAAN FISIK ..................................................................................................................... 68

KEPERAWATAN MATERNITAS..................................................................................................... 80
PEMERIKSAN LE0POLD................................................................................................................. 80
ASUHAN PERSALINAN NORMAL................................................................................................... 84
PEMERIKSAAN FISIK POSTPARTUM ............................................................................................ 96

KEPERAWATAN ANAK ................................................................................................................. 98


PEMERIKSAAN PERTUMBUHAN ANAK......................................................................................... 98
PEMERIKSAAN FISIK PADA BAYI .................................................................................................. 102
PERHITUNGAN OBAT PADA ANAK ............................................................................................... 104

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT ............................................................................................ 106


RESUSITASI JANTUNG PARU (RJP) ............................................................................................. 106
PEMBALUTAN DAN PEMBIDAIAN.................................................................................................. 109
TRIASE ........................................................................................................................................... 117

Panduan Praktikum Laboratorium Semester i


RANCANGAN KEGIATAN PEMBELAJARAN

a. Topik-Topik Praktikum

No TOPIK DURASI (Jam) PJ Kelas Kairtu


1. Sistem kardiovaskuler 170 Menit Ns. Yerry Soumokil, S.Kep.,M.Kes
EKG
2. Sistem pencernaan 170 Menit Ns. Hasna Tunny, S. Kep.,M.Kep
NGT, Sonde & Bilas Lambung
3. Sistem pencernaan Huknah 170 Menit Ns. Mirdat Hitiyaut, S.Kep.,M.Kep
& Colostomy Care
4. Sistem perkemihan 170 Menit Ns. Fany Sabban, S.Kep
Kateter
5. Sistem integumen 170 Menit Ns. Fathmy F. Soulisa, S. Kep.,M.Kep
Perawatan Luka
6. Sistem pernafasan 170 Menit Ns. Windarti Rumaolat, S. Kep.,M.Kep
O2, Nebulizer & Suction
7. Sistem neurologi 170 Menit Ns. Endah Fitriasari, S.Kep.,M.Kep
Pemeriksaan 12 syaraf Cranial
8. Pemeriksaan Fisik Per sistem 170 Menit Ns. Hasna Tunny, S. Kep.,M.Kep
9. Pemeriksaan Leopold 170 Menit Ns. Siti Rochmaedah, S. Kep.,M.Kep
10. Asuhan Persalinan Normal 170 Menit Tresna Ayu Sukardi, S. Kep.,M.KM
11. Pemeriksaan Fisik Ibu Post Partum 170 Menit Ns. Syahfitrah Umamity, S. Kep.,M.Kes
12. Pembidaian 170 Menit Ns. Maryati Mardjuki, S.Kep
13. RJP 170 Menit Ns. Idham Soamole, S. Kep.,M.Kep
14. Pemeriksaan Fisik pada bayi/anak 170 Menit Ns. Ona A.D. Tianotak, S. Kep.,M.Kes
15. Antopometri & perhitungan z-score 170 Menit Ns. Ernawati Hatuwe, S.Kep.,M.Kep
16. Perhitungan pemberian obat pada anak 170 Menit Ns. Nurfitriyana Tunny, S.Kep

No TOPIK DURASI (Jam) PJ Kelas Ambon


1. Sistem kardiovaskuler 170 Menit Ns. Dan Tandi, S.Kep.,M.Kep
EKG
2. Sistem pencernaan 170 Menit Ns. Ratnasari Rumakey,S.Kep.,M.Kep
NGT, Sonde & Bilas Lambung
3. Sistem pencernaan Huknah 170 Menit Ns. Ellen Lombonaung,S.Kep.,M.Kes
& Colostomy Care
4. Sistem perkemihan 170 Menit Ns. Ellen Lombonaung,S.Kep.,M.Kes
Kateter
5. Sistem integumen 170 Menit Ns. Fathmy F. Soulisa, S. Kep.,M.Kep
Perawatan Luka
6. Sistem pernafasan 170 Menit Ns. Ratnasari Rumakey,S.Kep.,M.Kep
O2, Nebulizer & Suction
7. Sistem neurologi 170 Menit Ns. Febby Aipassa, S.Kep.,M.Kep
Pemeriksaan 12 syaraf Cranial
8. Pemeriksaan Fisik Per sistem 170 Menit Ns. Syanti Tamher, S.Kep.,M.Kep
9. Pemeriksaan Leopold 170 Menit Ns. Siti Rochmaedah, S. Kep.,M.Kep
10. Asuhan Persalinan Normal 170 Menit Ns. Maryati Mardjuki, S.Kep
11. Pemeriksaan Fisik Ibu Post Partum 170 Menit Ns. Nurfitriyana Tunny, S. Kep
12. Pembidaian 170 Menit Ns. Windarti Rumaolat, S. Kep.,M.Kep
13. RJP 170 Menit Ns. Dan Tandi, S.Kep.,M.Kep
14. Pemeriksaan Fisik pada bayi/anak 170 Menit Ns. Fani Sabban, S. Kep
15. Antopometri & perhitungan z-score 170 Menit Ns. Syariefah H. Waliulu, S.Kep.,M.Kep
16. Perhitungan pemberian obat pada anak 170 Menit Ns. Syariefah H. Waliulu, S.Kep.,M.Kep

Panduan Praktikum Laboratorium Semester v


b. Ujian
Ujian Praktikum pada semester VII berupa ujian praktikum yang dilakukan pada akhir masa praktikum. Ujian ini
bertujuan untuk mengevaluasi kegiatan praktikum mahasiswa yang telah dijalankan.

c. Sistem Penilaian
Penilaian Praktikum meliputi :
1. Laporan Pendahuluan 10 %
2. Pretest, proses dan post test 30 %
3. Ujian OSCE 50%
4. Sikap, Perilaku dan berpakaian 10 %

Tata Tertib Praktikum Lab Prodi Keperawatan

1. Peserta praktikum terdaftar sebagai praktikan pada laboratorium yang terkait


2. Hadir 15 menit sebelum praktikum dimulai, peserta yang datang terlambat lebih dari 10 menit tidak
diperbolehkan mengikuti praktikum.
3. Ketidakhadiran praktikan yang bukan karena kegiatan prodi, dikenakan HER dengan denda
administrasi
4. Praktikum Wajib Menggunakan pakaian Praktikum (Putih –Putih)
5. HER dikenakan pada praktikum yang tidak hadir pada acara praktikum
6. Denda Administrasi atau biaya HER Rp. 50.000
7. Mahasiswa harus membawa buku praktikum, jika lupa atau tidak bawa maka tidak diperbolehkan mengikuti
praktikum pada hari itu.
8. Praktikum wajib melampirkan laporan pendahuluan sebelum mengikuti praktek. Dalam menyusun Laporan
Pendahuluan selain konsep materi yang akan dipraktikumkan, diwajibkan juga menyertakan gambar alat
dan bahan praktikum tersebut.
9. Nilai pretest minimal 70, apabila kurang dari 70 peserta tidak bisa mengikuti praktikum

Panduan Praktikum Laboratorium Semester v


KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

1
SISTEM RESPIRASI
NEBULISASI / TERAPI INHALASI
A. Definisi
Proses memencarkan obat cair menjadi partikel-partikel mikroskopik (aerosol). Dan
memasukanya kedalam paru-paru ketika pasien melakukan inspirasi.
B. Tujuan
1. Memberikan obat langsung keseluruh pernafasan untuk mengeluarkan sputum.
2. Mengurangi kesulitan mengeluarkan sekret pernafasan yang kental dan lengket.
3. Meningkatkan kapasitas vital.
4. Meringankan sesak nafas.
C. Alat dan Bahan
1. Komproser udara
2. Selang penghubung
3. Neboliser
4. Obat-obat dan larutan NaCL
5. Air stril
6. Bola-bola kapas
7. Sungkup muka
8. Pat sputum dengan desiinfekta
9. Tisue sekali pakai
10. Nampan ginjal
D. Prosedur Tindakan
1. Identifikasi pasien dan periksa instruksi dokter dan rencana asuhan keperawatan.
2. Pantau denyut jantung sebelum dan sesudah terapi pada pasien yang memakai obat-obat
bronkodilator.
3. Jelaskan prosedurnya pada pasien, terapi ini bergantung pada usaha pasien.
4. Posisikan pasien pada posisi duduk yang nyaman atau posisi semi fowler.
5. Cucilah tangan Anda
Mulailah dengan mencuci tangan selama 20 detik menggunakan sabun di bawah air yang
mengalir. Bilaslah tangan dan keringkan dengan handuk kertas. Matikan keran menggunaka
handuk kertas.

Gambar 1.1 Cuci Tangan


6. Masukkan obat-obatan ke dalam nebulizer
Lepaskan tutup cangkir nebulizer dan masukkan obat-obatan yang diresepkan oleh dokter
ke dalamnya. Banyak jenis obat-obatan pernapasan untuk terapi nebulizer tersedia dengan
dosis yang telah terukur sebelumnya. Jika Anda tidak mendapatkannya, ukurlah satu dosis
dengan jumlah sesuai dengan yang diresepkan. Tutuplah nebulizer dengan kencang agar
obat-obatan di dalamnya tidak tumpah. Jangan lupa mencolokkan kompresor udara ke
dalam stopkontak listrik jika nebulizer tidak dioperasikan oleh baterai.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 7


Gambar 1.2 Memasukkan Obat ke dalam Nebulizer
7. Pakailah penutup mulut.
Sambungkan penutup mulut ke cangkir nebulizer. Walaupun produsen yang berbeda dapat
memproduksi nebulizer jet yang sedikit berbeda, penutup mulut umumnya menempel
pada bagian atas cangkir nebulizer. Kebanyakan nebulizer memiliki penutup
mulut, alih-alih masker wajah, karena dapat menyebabkan facial deposit.

Gambar 1.3 Penyambungan penutup mulut ke cangkir nebulizer


8. Hubungkan pipa-pipa nebulizer.
Tempelkan salah satu ujung pipa oksigen ke cangkir nebulizer. Pada sebagian besar jenis
nebulizer, pipa akan terhubung ke bagian bawah cangkir. Hubungkan ujung pipa lainnya ke
kompresor udara yang digunakan untuk nebulizer.

Gambar 1.4 Menghubungkan pipa-pipa nebulizer


9. Nyalakan kompresor udara dan gunakan nebulizer.
Pasanglah penutup mulut pada mulut anda, di bagian atas lidah, dan jagalah posisi mulut
terkunci dengan kuat di sekelilingnya. Tarik napas secara perlahan ke dalam mulut sehingga
seluruh obat masuk ke dalam paru-paru. Embuskan napas melalui mulut atau hidung. Bagi
orang dewasa, menutup hidung dapat membantu memastikan obat-obatan terhirup melalui
mulut.

Gambar 1.5 Menyalakan kompresor udara dan gunakan nebulizer

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 8


10. Lanjutkan menghirup obat-obatan.
Amati pengembangan dada untuk memastikaan pasien menarik nafas dalam. Instruksikan
pasien untuk bernafas perlahan dan dalam. Duduklah dan terus menghirup obat-obatan
hingga kabutnya berhenti. Proses ini biasanya menghabiskan waktu sekitar 10-15 menit.
Setelah seluruh cairan habis, kabut akan berhenti keluar.
Cangkir nebulizer umumnya tampak kosong. Setelah selesai terapi, anjurkan pasien untuk
batuk setelah beberapa tarikan nafas dalam, Amati pasien apakah ada efek samping akibat
terapi tadi atau tidak. Alihkan perhatian Anda dengan menonton televisi atau mendengarkan
musik.

Gambar 1.6 Menghirup obat-obatan


11. Matikan nebulizer dan bersihkan.
Pastikan telah mencabut nebulizer dari stopkontak serta lepaskan cangkir obat- obatan dan
penutup mulut dari pipa. Cucilah cangkir obat dan penutup mulut dengan air sabun hangat,
kemudian bilaslah menggunakan air. Letakkan peralatan tersebut di atas handuk bersih
hingga kering sepenuhnya oleh udara. Pastikan untuk melakukan langkah-langkah tersebut
setelah setiap perawatan dan sehari- hari. Jangan mencuci pipa nebulizer. Gantilah pipa-
pipa tersebut jika terkena air. Selain itu, jangan membersihkan bagian nebulizer mana pun
di dalam mesin pencuci piring karena suhu panas dapat membengkokkan plastik.
Gambar 1.7 Matikan nebulizer dan bersihkan

12. Bersihkan nebulizer dengan disinfektan sekali dalam seminggu.


13. Untuk melakukannya, selalu ikuti panduan produsen. Rendamlah seluruh bagian
nebulizer, kecuali pipa, di dalam 1 bagian cuka putih suling pada 3 bagian air panas selama
satu jam. Buanglah larutan tersebut. Rendamlah bagian- bagian nebulizer, kecuali pipa,
pada air dingin dan keringkan di atas handuk bersih. Setelah semua bagian kering,
simpanlah nebulizer di dalam kotak bersih. Untuk kebersihan, jika lebih dari satu orang
yang membutuhkan nebulizer, jangan berbagi peralatan meskipun telah dicuci. Setiap orang
harus menggunakan nebulizer-nya masing-masing.

Gambar 1.8 Perendaman seluruh bagian nebulizer

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 9


14. Amati pengembangan dada untuk memastikaan pasien menarik nafas dalam. Instruksikan
pasien untuk bernafas perlahan dan dalam sampai obatnya habis dinebulisasi. Setelah selesai
terapi, anjurkan pasien untuk batuk setelah beberapa tarikan nafas dalam, Amati pasien
apakah ada efek samping akibat terapi tadi atau tidak.

Perhatian khusus
Bila diperlukan, berikan nebulisasi dengan menggunakan sumber oksigen.

Gambar 1.9 Nebulisasi dengan menggunakan sumber oksigen

BAHAN BACAAN

Harris, David. (2006). Nebulizer guidelines. United Bristol Health care. Directorate ofchildren’s
services.
Supriyatno, B., &Kaswandani, N. (2010). Terapiinhalasi pada Penyakit Respiratorik.
EdisiPertama. Jakarta: IDAI.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 1


SUCTIONING

A. Definisi
Penghisapan lendir (suctioning) adalah tindakan menghisap lendir melalui hidung dan atau
mulut. Penghisapan lendir (suctioning) merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan pada
pasien yang tidak mampu mengeluarkan sekret atau lendir secara mandiri dengan menggunakan
alat penghisap.
Suctioning merupakan tindakan pengisapan yang bertujuan untuk mempertahankan jalan
napas, sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang adekuat dengan cara
mengeluarkan secret dari jalan napas, pada pasien yang tidak mampu mengeluarkannya sendiri.
B. Tujuan
1. Membersihkan jalan napas.
2. Memenuhi kebutuhan oksigenasi.
3. Mengangkat sekresi yang menghambat (obtruksi) jalan napas.
4. Mempasilitas ventilasi pernapasan.
5. Mendapat sekresi untuk tujuan diagnostik.
6. Mencegah infeksi yang dapat terjadi akibat penumpukan sekresi.
C. Manfaat
Saluran pernapasan bebas dari sumbatan semua kotoran atau lendir sehingga pasien dapat
bernapas dengan normal.
D. Indikasi
1. Pasien batuk produktif dan dengan retensi sputum.
2. Pasien dengan respirator atau endotrakeal tube.
3. Pasien dengan trakeostomi.
4. Adanya secret yang menyumbat jalan napas, dengan ditandai terdengar suara pada jalan
napas, hasil auskultasi yaitu ditemukannya suara crakels atau ronchi, kelelahan pada pasien,
nadi dan laju pernapasan meningkat, ditemukannya mucus pada alat bantu napas.
5. Pasien yang kurang responsif atau koma yang memerlukan pembuangan secret.
E. Kontraindikasi
1. Pasien dengan TIK meningkat.
2. Pasien dengan odema paru.
F. Komplikasi
1. Hipoksia.
2. Trauma jaringan.
3. Meningkatkan risiko infeksi.
4. Stimulasi vagal dan bronkospasm
G. Jenis-Jenis Suction
1. Suction Orofaringeal
Dilakukan melalui mulut dan hidung pada pasien yang tidak mampu mengeluarkan secret
secara manual.

Gambar 1.13 Suction Orofaringeal

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 1


2. Suction ETT
Digunakan melalui selang endotrakeal pada pasien yang terpasang endotrakeal
tube.

Gambar 1.14 Suction ETT


3. Suction Tracheostomy
Dilakukan melalui lubang tracheostomy pada pasien yang dilakukan tindakan
tracheostomy.

Gambar 1.15 Suction Tracheostomy


H. Alat dan Bahan
1. Mesin suction
2. Selang section
a. Neonatus dan Bayi sampai 6 bulan: 6 – 8 Fr
b. 18 bulan: 8 – 10 Fr
c. 24 Bulan: 10 Fr
d. 2-4 Tahun: 10 – 12 Fr
e. 4 - 7 tahun: 12 Fr
f. 7 – 10 tahun: 12 Fr
g. 10 – 12 tahun: 14 Fr
h. Dewasa: 12 – 16 Fr
3. Bak instrumen berisi: pinset anatomi 2, kasa secukupnya
4. NaCl atau air matang
5. Perlak dan pengalas
6. Sarung tangan
7. Tisu
I. Prosedur Tindakan
1. Memberikan posisi yang nyaman pada pasien (semifowler dan kepala sedikit ekstensi untuk
suctioning orofaringeal dan supinasi untuk ETT dan tracheostomy suctioning).
2. Meminta pasien untuk menarik napas panjang beberapa kali atau memberikan oksigen 2-5
menit
3. Meletakkan pengalas di bawah dagu pasien
4. Memakai sarung tangan steril

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 1


5. Menghubungkan selang suction dengan kanul (tehnik: tangan non dominan memegang
selang yang berasal dari mesin, dan tangan dominan memegang kanul suction steril, dan
menyambungkannya)
6. Menghidupkan mesin, mengecek tekanan dan botol penampung
7. Mengecek vakum suction dengan cara memasukkan ke dalam NaCl atau air bersih
8. Suction orofaringeal
a. Memasukkan kanul suction dengan hati-hati (hidung ± 15 cm, mulut ± 10 cm) (tehnik:
ukur kanul dari mulut/hidung sampai ke telinga bagian bawah) untuk suction
orofaringeal.
b. Menghisap lender dengan menutup lubang kanul, menarik keluar perlahan (± 5 detik
untuk anak, ± 10 detik untuk dewasa) (jangan sambil memutar kanul karena berisiko
menimbulkan reflek fagal).
9. Suction ETT dan Tracheostomi
a. Melepaskan hubungan ventilator dengan ETT atau tracheostomi tube
b. Masukan selang kateter ke ETT atau ke tracheostomi tube
c. Menghisap lender dengan menutup lubang kanul, menarik keluar perlahan
10. Membilas kanul dengan NaCl, berikan kesempatan pasien bernapas atau berikan oksigen
11. Mengulangi penghisapan lender bila masih ada sisa lender sesuai dengan langkah- langkah
di atas.
12. Mengobservasi keadaan umum pasien dan status pernapasannya
13. Membersihkan mulut pasien dengan tisu, menghubungkan ventilator dengan ETT
(suction ETT dan tracheostomi)
14. Meminta pasien untuk menarik napas panjang beberapa kali atau memberikan oksigen
2-5 menit
15. Meletakkan pengalas di bawah dagu pasien
16. Memakai sarung tangan steril
17. Menghubungkan selang suction dengan kanul (tehnik: tangan non dominan memegang
selang yang berasal dari mesin, dan tangan dominan memegang kanul suction steril, dan
menyambungkannya)
18. Menghidupkan mesin, mengecek tekanan, dan botol penampung
19. Mengecek vakum suction dengan cara memasukkan ke dalam NaCl atau air bersih
20. Suction orofaringeal
a. Memasukkan kanul suction dengan hati-hati (hidung ± 15 cm, mulut ± 10 cm) (tehnik:
ukur kanul dari mulut/hidung sampai ke telinga bagian bawah) untuk suction
orofaringeal.
b. Menghisap lender dengan menutup lubang kanul, menarik keluar perlahan (± 5 detik
untuk anak, ± 10 detik untuk dewasa) (jangan sambil memutar kanul karena berisiko
menimbulkan reflek fagal).
21. Suction ETT dan Tracheostomi
a. Melepaskan hubungan ventilator dengan ETT atau tracheostomi tube
b. Masukan selang kateter ke ETT atau ke tracheostomi tube
c. Menghisap lender dengan menutup lubang kanul, menarik keluar perlahan
22. Membilas kanul dengan NaCl, berikan kesempatan pasien bernapas atau berikan oksigen
23. Mengulangi penghisapan lender bila masih ada sisa lender sesuai dengan langkah- langkah
di atas.
24. Mengobservasi keadaan umum pasien dan status pernapasannya
25. Membersihkan mulut pasien dengan tisu, menghubungkan ventilator dengan ETT
(suction ETT dan tracheostomi)

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 1


BAHAN BACAAN

Brunner and Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8, volume 3.
Jakarta: EGC.
Harvey, I. (2012). Evaluation of the effectiveness of manual chest physiotherapy techniques on
quality of life at six months post exacerbation of COPD (MATREX): a randomised controlled
equivalence trial. BMC pulmonary medicine, 12, 33. doi:10.1186/1471-2466-12-33.
Perry& Potter. (2006). Fundomental Of Nursing Edisi 4. Jakarta: EGC.
Warnock, L., &Gates, A. (2015). Chest physiotherapy compared to no chest physiotherapy for
cystic fibrosis.Cochrane Database Syst Rev, 21;(12):CD001401.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 1


TERAPI OKSIGEN

A. Definisi
Pemberian oksigen adalah suatu kegiatan memberikan oksigen ke dalam paru-paru
melaluisaluranpernapasan dengan menggunakan alat khusus sesuai kebutuhan. Terapi oksigen
(O2) merupakan suatu intervensi medis berupa upaya pengobatan dengan pemberian oksigen
untuk mencegah atau memperbaiki hipoksia jaringan dan mempertahankan oksigenasi jaringan
agar tetap adekuat dengan cara meningkatkan masukan oksigen ke dalam sistem respirasi,
meningkatkan daya angkut oksigen ke dalam sirkulasi dan meningkatkan pelepasan atau
ekstraksi oksigen ke jaringan.
B. Tujuan
1. Untuk mengatasi hipoksemia/hipoksia.
2. Sebagai tindakan pengobatan.
3. Untuk mempertahankan metabolisme.
C. Manfaat
Pemberian oksigen bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan oksigen pasien yang tidak dapat
dipenuhi secara mandiri.
D. Indikasi
1. Pasien dengan sesak napas atau kesulitan bernapas
2. Pasien-pasien dengan infark miokard, edema paru akut, sindrom gangguan pernapasan akut
(ARDS), fibrosis paru, keracunan sianida atau inhalasi gas karbon monoksida semuanya
memerlukan terapi oksigen.
3. Nilai tekanan parsial oksigen kurang dari 60 mmHg atau nilai saturasi oksigen < 90% yang
menyebabkan hipoksia jaringan saat pasien beristirahat dan bernapas dengan udara ruangan.
4. Terapi oksigen juga diberikan sebelum dilakukannya beberapa prosedur, seperti pengisapan
trachea atau bronkosopi dimana seringkali menyebabkan terjadinya desaturase arteri. Terapi
oksigen juga diberikan pada kondisi-kondisi yang menyebabkan peningkatan kebutuhan
jaringan terhadap oksigen, seperti luka bakar, trauma, infeksi berat, penyakit keganasan,
kejang demam, dan lainnya.
E. Kontraindikasi
1. Pasien dengan keterbatasan jalan napas yang berat dengan keluhan utama dispneu tetapi
dengan PaO2 lebih atau sama dengan 60 mmHg dan tidak mempunyai hipoksia kronis.
2. Pasien yang tetap merokok karena kemungkinan prognosis yang buruk dan dapat
meningkatkan risiko kebakaran.
F. Tehnik Pemberian
Pemilihan teknik dan alat yang akan digunakan sangat ditentukan oleh kondisi pasien yang akan
diberikan terapi oksigen. Teknik dan alat yang akan digunakan dalam pemberian terapi oksigen
hendaknya memenuhi kriteria yaitu mampu mengatur konsentrasi atau fraksi oksigen (FiO2)
udara inspirasi, tidak menyebabkan akumulasi karbon dioksida, tahanan terhadap pernapasan
minimal, irit dan efisien dalam penggunaan oksigen dan diterima serta nyaman digunakan oleh
pasien.
1. Sistem pemberian oksigen aliran rendah
Pada sistem aliran rendah, sebagian dari volume tidak berasal ruang udara. Alat yang
digunakan antara lain:
a. Nasal kanul dan nasal kateter
Nasal kanul merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan oksigen
kontinyu dengan aliran 1-6 liter/menit dengan konsentrasi oksigen 24%- 44%. Aliran
yang lebih tinggi tidak meningkatkan fraksi oksigen (FiO 2) secara bermakna di atas
44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran menjadi kering. Adapun keuntungan
dari nasal kanul yaitu pemberian oksigen

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 1


yang stabil serta pemasangannya mudah dan nyaman oleh karena pasien masih dapat
makan, minum, bergerak dan berbicara.

Gambar 1.16 Nasal Kanul Gambar 1.17 Nasal Kateter

Gambar 1.18 Cara Pemakaian

b. Sungkup tanpa kantong penampung


Merupakan alat terapi oksigen (O2) yang terbuat dari bahan plastik di mana
penggunaannya dilakukan dengan cara diikatkan pada wajah pasien dengan ikat kepala
elastis yang berfungsi untuk menutupi hidung dan mulut. Tubuh sungkup berfungsi
sebagai penampung untuk oksigen dan karbon dioksida hasil ekspirasi. Alat ini mampu
menyediakan fraksi oksigen (O2) (FiO2) sekitar 40-60% dengan aliran sekitar 5-10
liter/ menit.
Pada penggunaan alat ini, direkomendasikan agar aliran oksigen dapat tetap
dipertahankan sekitar 5 liter/menit atau lebih yang bertujuan untuk mencegah karbon
dioksida yang telah dikeluarkan dan tertahan pada sungkup untuk terhirup kembali.
Adapun keuntungan dari penggunaan sungkup muka tanpa kantong penampung adalah
alat ini mampu memberikan fraksi oksigen (FiO2) yang lebih tinggi daripada nasal
kanul ataupun nasal kateter.

Gambar 1.19 Sungkup Tanpa Kantong Penampung


c. Sungkup dengan kantong penampung
Terdapat dua jenis sungkup dengan kantong penampung yang seringkali digunakan
dalam pemberian terapi oksigen, yaitu sungkup muka partial rebreathing dan sungkup
muka non rebreathing. Sungkup partial rebreathing tidak memiliki katup satu arah
di antara sungkup dengan kantong penampung sehingga udara ekspirasi dapat terhirup
kembali saat fase inspirasi sedangkan pada sungkup non rebreathing, terdapat katup
satu arah antara sungkup dan kantong penampung sehingga pasien hanya dapat
menghirup udara yang terdapat pada kantong penampung dan menghembuskannya
melalui katup terpisah yang terletak pada sisi tubuh sungkup.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 1


Sungkup dengan kantong penampung dapat mengantarkan oksigen sebanyak 10-15
liter/menit dengan fraksi oksigen (FiO2) sebesar 80-85% pada sungkup partial
rebreathing bahkan hingga 100% pada sungkup nonrebreathing. Kedua jenis sungkup
muka ini sangat dianjurkan penggunaannya pada pasien- pasien yang membutuhkan
terapi oksigen oleh karena infark miokard dan keracunan karbon monoksida (CO).

Gambar 1.20 Sungkup Partial Rebreathing dan Nonrebreathing


d. Oksigen transtrakeal
Oksigen transtrakeal ialah pemberian oksigen langsung ke trakea dengan
menggunakan kateter trakeal. Oksigen transtrakeal dapat menghemat penggunaan
oksigen sekitar 30-60%, oksigen yang dapat diterima pasien mencapai 80-96%.
Pemberian terapi ini dilakukan bila ada indikasi sumbatan jalan napas pada nasal.
Komplikasi yang seringkali terjadi pada pemberian oksigen transtrakeal antara lain
emfisema subkutan, bronkospasme, batuk paroksismal dan infeksi insersi.

Gambar 1.21 Oksigen Transtrakheal


2. Sistem pemberian oksigen aliran tinggi
Terdapat dua indikasi klinis untuk penggunaan terapi oksigen dengan arus tinggi, di
antaranya adalah pasien dengan hipoksia yang memerlukan pengendalian fraksi oksigen
(FiO2) dan pasien hipoksia dengan ventilasi yang abnormal. Adapun alat terapi oksigen
arus tinggi yang seringkali digunakan, salah satunya yaitu sungkup venturi.
Sungkup venturi merupakan alat terapi oksigen dengan prinsip jet mixing yang dapat
memberikan fraksi oksigen (FiO2) sesuai dengan yang dikehendaki. Alat ini sangat
bermanfaat untuk dapat mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah sekitar 24-
35% dengan arus tinggi, terutama pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK) dan gagal napas tipe II di mana dapat mengurangi risiko terjadinya retensi karbon
dioksida sekaligus juga memerbaiki hipoksemia.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 1


Gambar 1.22 Sungkup Venturi

Tabel 1.1 Fraksi Oksigen (FiO2) pada Alat Terapi Oksigen Arus Rendah dan Arus
Tinggi
Aliran Oksigen/Alat Fraksi Oksigen %

G. Efek Samping Pemberian Terapi Oksigen


Pemberian terapi oksigen dapat menimbulkan efek samping, terutama terhadap sistem
pernapasan, susunan saraf pusat dan mata, terutama pada bayi prematur.
1. Efek samping pemberian terapi oksigen terhadap sistem pernapasan
Efek samping pemberian terapi oksigen terhadap sistem pernapasan di antaranya dapat
menyebabkan terjadinya depresi napas, keracunan oksigen dan nyeri substernal. Depresi
napas dapat terjadi pada pasien yang menderita penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
dengan hipoksia dan hiperkarbia kronis. Keracunan oksigen terjadi apabila pemberian
oksigen dengan konsentrasi tinggi (di atas 60%) dalam jangka waktu yang lama.
2. Efek samping pemberian terapi oksigen terhadap susunan saraf
Efek samping pemberian terapi oksigen terhadap susunan saraf pusat apabila diberikan
dengan konsentrasi yang tinggi maka akan dapat menimbulkan keluhan parestesia dan
nyeri pada sendi sedangkan efek samping pemberian terapi oksigen terhadap mata,
terutama pada bayi baru lahir yang tergolong prematur, keadaan hiperoksia dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan pada retina akibat proliferasi pembuluh darah yang
disertai dengan perdarahan dan fibrosis atau seringkali disebut sebagai retrolental
fibroplasia.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 1


H. Alat dan Bahan
Oksigen device yang dibutuhkan sesuai order dokter (tabung oksigen/port oksigen central,
kanul/mask/venture beserta selang oksigen, humidifier dan air steril, oksigen flow meter) dan
sarung tangan.
I. Prosedur Tindakan
1. Memposisikan pasien semifowler atau fowler.
2. Menghubungkan antara selang oksigen dengan kanul/mask/venture ke tabung oksigen
atau port oksigen central.
3. Cek fungsi dari flow meter dengan memutar pengatur konsetrasi oksigen &
mengamati adanya gelembung udara dalam humidifier.
4. Mengecek aliran udara pada kanul/mask/venturi dengan cara merakan ke
punggung tangan perawat.
5. Memasang kanul/mask/venture ke pasien dan atur pengikat dengan benar,
janganlah terlalu kencang & jangan sampai terlalu kendur.
6. Atur aliran oksigen sesuai dengan program yang telah ditentukan

BAHAN BACAAN

Butterworth, J. F., Mackey, D. C., Wasnick, J. D., Morgan & Mikhail’s. (2013). Clinical
Anesthesiology.Edisi V. New York: McGraw-Hill Companies.
Fishman, A. P., Elias, J. A., Fishman, J. A., Grippi, M. A., Senior, R. M., Pack, A. I. Fishman’s.
(2008). Pulmonary Diseases and Disorders. Edisi IV. New York: McGraw- Hill
Companies.
Guyton, A. C& Hall, J. E. (2006). Textbook of Medical Physiology. Edisi XI. Philadel- phia:
W. B. Saunders Company.
Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan, M. R. (2002). Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Edisi II. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Levitzky MG. (2007). Pulmonary Physiology. Edisi VII. New York. McGraw- HillCompanies.
Mangku, G &Senapathi, T. G. E. (2017). Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Edisi
II. Jakarta: Indeks.
Rilantono L. I. (2012). Penyakit Kardiovaskular (PKV) 5 Rahasia. Edisi I. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (2009). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Widiyanto, B & Yasmin, L. S. (2014). Terapi Oksigen terhadap Perubahan Saturasi Oksigenmelalui
Pemeriksaan Oksimetri pada Pasien Infark Miokard Akut (IM-A). Prosiding Konferensi
Nasional II PPNI Jawa Tengah. 1(1): 138-43.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 1


SISTEM KARDIOVASKULER

PEREKAMAN EKG

A. Definisi
Elektrokardiografi adalah ilmu yang mempelajari perubahan-perubahan potensial atau
perubahan voltase yang terdapat dalam jantung. Elektrocardiogram adalah rekaman grafik yang
dihasilkan oleh elektrokardiograf, suatu alat untuk merekam konduksi listrik yang melewati
jantung.
Perekaman EKG adalah suatu tindakan merekam aktivitas listrik jantung yang berawal dari
nodus sinoatrial, yang dikonduksikan melalui jaringan serat-serat (sistem konduksi) dalam
jantung yang menyebabkan jantung berkontraksi, yang dapat direkam melalui elektroda yang
dilekatkan pada kulit.
B. Tujuan
1. Mengidentifikasi adanya kelainan irama jantung (disrithmia) akibatadanya infark
miokard, angina tertentu, pembesaran jantung, dan penyakit inflamasi jantung.
2. Menilai efek obat-obatan dan mengidentifikasi ketidakseimbangan elektrolit,
terutama kalsium dan kalium.
C. Manfaat
1. Merupakan standar emas untuk diagnosis aritmia jantung.
2. Bermanfaat untuk menentukan kodisi jantung dari pasien.
3. Memandu tingkatan terapi dan risiko pada pasien jantung.
4. Membantu menemukan gangguan elektrolit (hiperkalemia dan hipokalemia) dll.
D. Indikasi
1. Semua pasien dengan nyeri pada dada.
2. Pasien dengan miocardium infark dan tipe penyakit Arteri coroner lainnya.
3. Pasien dengan disritmia jantung.
4. Pasien dengan pembesaran jantung (hypertropi jantung).
5. Pasien dengan gangguan elektrolit, terutama kalsium dan kalium.
6. Pasien dengan indikasi penyakit inflamasi pada jantung.
7. Pasien dengan riwayat penggunaan obat-obatan jantung.
E. Kontra Indikasi
Kontraindikasi mutlak tidak ada dalam perekaman EKG, namun pasien dengan riwayat
pemasangan pen pada fraktur dapat mengganggu hasil perekaman, memakai perhiasan atau
cincin yang berbahan logam.
F. Komponen EKG
1. Mesin EKG

Gambar 2.9 Mesin EKG


2. 4 (empat) buah sadapan ekstremitas, yaitu (Tangan kiri (LA); Tangan kanan (RA); Kaki
kiri (LL); Kaki kanan (RL))

Gambar 2.10 Sadapan Ekstremitas

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 2


3. 6 (enam) buah sedapan precordial (sadapan dada) V1, V2, V3, V4, V5, V6

Gambar 2.11 Sadapan Dada


4. 10 kabel elektroda (6 (enam) buah sadapan dada yaitu V1, V2, V3, V4, V5, V6, 4
(empat) buah untuk elektroda ekstremitas)

Gambar 2.12 Kabel Elektroda


5. Kertas grafik EKG
Merupakan segulungan kertas grafik panjang kontinu dengan garis-garis tebal dan tipis
vertikal dan horisontal. Garis tipis membatasi kotak-kotak kecil seluas 1 mm X 1mm;
garis tebal membatasi kotak-kotak besar seluas 5 mm X 5 mm.
Sumbu horisontal mengukur waktu. Jarak satu kotak kecil adalah 0,04 detik.
Jarak satu kotak besar adalah 5 kali lebih besar atau 0,2 detik.
Sumbu vertikal mengukur voltage. Jarak satu kotak kecil adalah sebesar 0,1 mV, dan
satu kotak besar adalah sebesar 0,5 mV.

Gambar 2.13 Kertas Grafik EKG


G. Lokasi Pemasangan

Gambar 2.14 Lokasi Pemasangan Elektroda Ekstremitas

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 2


Untuk elektroda ekstremitas, pemasangan dilakukan di pergelangan tangan/bahu dan
pergelangan kaki, kanan dan kiri.
Pada sadapan precordial (sadapan dada), terdiri atas enam sadapan yaitu V1, V2, V3, V4,
V5, dan V6, lokasi pemasangan sadapan precordial adalah sebagai berikut:
1. V1: Ruang interkostal IV garis sternal kanan
2. V2: Ruang interkostal IV garis sternal kiri
3. V3: Pertengahan garis lurus yang menghubungkan V2 dan V4
4. V4: Ruang interkostal V kiri di garis medioklavikuler
5. V5: Titik potong garis aksila anterior kiri dengan garis mendatar dari V4
6. V6: Titik potong garis aksila kiri tengah dengan garis mendatar dari V4 dan V5

Gambar 2.15 Lokasi Pemasangan Elektroda Dada


H. Macam-Macam Gelombang EKG
1. Sinyal
Sinyal EKG terdiri atas 4 jenis, yaitu :
a. Gelombang P: Rekaman depolarisasi di miokardium atrium sejak dari awal sampai
akhir.
b. Kompleks QRS: merupakan rekaman depolarisasi di ventrikel sejak dari awal sampai
akhir. Bagian-bagian kompleks QRS:
1) Kalau defleksi (letupan) pertama ke bawah, disebut gelombang Q.
2) Kalau defleksi pertama ke atas, disebut gelombang R.
3) Kalau ada defleksi ke atas kedua, disebut gelombang R’ (R-pelengkap = R- prime)
4) Defleksi ke bawah pertama setelah defleksi ke atas, disebut gelombang S.
c. Gelombang T: Rekaman repolarisasi ventrikel dari awal sampai akhir.
d. Gelombang U: Perpanjangan gelombang T yang menunjukkan repolarisasi ventrikel dari
awal sampai akhir. Gelombang ini kadang ada kadang tidak. Hanya muncul sewaktu
waktu dan tidak memberikan kelainan klinis, namun bisa terdapat pada keadaan
patologis.

Gambar 2.15 Sinyal EKG


2. Garis EKG
Ada 2 jenis penamaan: interval dan segmen. Interval: paling sedikit mencakup satu
gelombang ditambah garis lurus penghubungnya. Segmen: garis lurus yang
menghubungkan 2 gelombang.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 2


a. Interval PR/PQ = gelombang P + garis lurus yang menghubungkannya dengan kompleks
QRS. Fungsi: mengukur waktu dari permulaan depolarisasi atrium sampai pada
mulainya depolarisasi ventrikel.
b. Segmen PR/PQ = garis di antara gelombang P dengan kompleks QRS, menunjukkan
waktu akhir depolarisasi atrium sampai mulainya depolarisasi ventrikel (ventrikel aktif).
c. Segmen ST = garis lurus dari akhir kompleks QRS dg bagian awal glb.T. Fungsi:
mengukur waktu antara akhir depolarisasi ventrikel sampai pada mulainya repolarisasi
ventrikel.
d. Garis Isoelektrik = garis lurus yang sejajar dengan segmen PQ dengan segmen ST. Jika
Segmen ST di atas garis isoelektrik disebut ST elevasi, jika di bawah disebut ST depresi.
e. Interval QT = meliputi kompleks QRS, segmen ST dan gelombang T. Fungsi: mengukur
waktu dari permulaan depolarisasi ventrikel sampai akhir repolarisasi ventrikel.
f. Interval QU = meliputi kompleks QRS, segmen ST, gelombang T dan U. Fungsi:
mengukur waktu dari permulaan depolarisasi ventrikel sampai akhir repolarisasi
ventrikel (akhir gelombang U).

Gambar 2.16 Garis EKG

I. Berbagai Macam Gambaran EKG


1. Normal Sinus Rhythm

Gambar 2.17 Normal Sinus Rhythm


Karakteristik:
1. Irama teratur
2. Frekuensi Jantung (HR) antara 60 – 100 x permenit
3. Gelombang P normal, selalu diikuti oleh gelombang QRS dan T
4. Interval PR normal (0,12 – 0,20 detik)
5. Gelombang QRS normal (0,06 – 0,12 detik)
6. Semua gelombang sama
Irama yang tidak memiliki kriteria seperti di atas disebut Disritmia, bisa karena
gangguan pembentukan impulsatau penghantaran impuls.

2. Sinus Tachycardia

Gambar 2.18 Sinus Tachycardia

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 2


Karakteristik:
Semua aspek takikardia sinus sama dengan irama sinus normal kecuali
frekeunsinya, pola EKG takikardia sinus adalah sebagai berikut:
a. Frekuensi: 100 sampai 180 denyut permenit.
b. Gelombang P: Mendahului setiap kompleks QRS, dapat tenggelam. dalam
gelombang T yang mendahuluinya; interval PR normal.
c. Kompleks QRS: Biasanya mempunyai durasi normal.
d. Hantaran: Biasanya normal.
e. Irama: Reguler.
Penyebab:
Takikardia sinus (denyut jantung cepat) dapat disebabkan oleh demam, kehilangan darah
akut, anemia, syok, latihan, gagal jantung kongestif, nyeri, keadaan hipermetabolisme,
kecemasan, simpatomimetika atau pengobatan parasimpatolitik.

3. Sinus Bradicardia

Gambar 2.19 Sinus Bradicardia


Karakteristik:
a. Semua karakteristik bradikardi sinus sama dengan irama sinus normal, kecuali
frekuensinya:
b. Frekuensi: 40 sampai 60 denyut per menit.
c. Gelombang P: mendahului setiap kompleks QRS; interval PR normal.
d. Kompleks QRS: biasanya normal.
e. Hantaran: biasanya normal.
f. Irama: reguler.
Penyebab:
Bradikardi sinus bisa terjadi karena stimulasi vagal, intoksikasi digitalis, peningkatan
tekanan intrakanial, atau infark miokard (MI). Bradikardi sinus juga dijumpai pada
olahragawan berat, orang yang sangat kesakitan, atau orang yang mendapat pengobatan
(propanolol, reserpin, metildopa), pada keadaan hipoendokrin (miksedema, penyakit adison,
panhipopituitarisme), pada anoreksia nervosa, pada hipotermia, dan setelah kerusakan bedah
nodus SA.
4. Atrial Tachycardia

Gambar 2.20 Atrial Tachycardia


Adalah takikardia atrium yang ditandai dengan awitan mendadak dan penghentian mendadak.
Penyebab:
Dapat dicetuskan oleh emosi, tembakau, kafein, kelelahan, pengobatan simpatomimetik atau
alkohol. Takikardia atrium paroksimal biasanya tidak berhubungan dengan penyakit jantung
organik. Frekuensi yang sangat tinggi dapat menyebabkan angina akibat penurunan
pengisian arteri koroner. Curah jantung akan menurun dan dapat terjadi gagal jantung.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 2


Karakteristik:
a. Frekuensi: 150 sampai 250 denyut per menit.
b. Gelombang P: Ektopik dan mengalami distorsi dibanding gelombang P normal; dapat
ditemukan pada awal gelombang T; interval PR memendek (kurang dari 0, 12 detik).
c. Kompleks QR: Biasanya normal, tetapi dapat mengalami distorsi apabila terjadi
penyimpangan hantaran.
d. Hantaran: Biasanya normal
e. Irama: Reguler

5. Atrial Fibrilation

Gambar 2.21 Atrial Fibrilation


Fibrilasi atrium adalah kontraksi otot atrium yang tidak terorganisasi dan tidak terkoordinasi.
Penyebab:
Biasanya berhubungan dengan penyakit jantung aterosklerotik, penyakit katup jantung,
gagal jantung kongestif, tirotoksikosis, cor pulmonale, atau penyakit jantung congenital.
Karakteristik:
a. Frekuensi: frekuensi atrium antara 350 sampai 600 denyut permenit; respons ventrikuler
biasanya 120 sampai 200 denyut per menit.
b. Gelombang P: tidak terdapat gelombang P yang jelas; tampak indulasi yang irreguler,
dinamakan gelombang fibrilasi atau gelombang F, interval PR tidak dapat diukur.
c. Kompleks QRS: Biasanya normal.
d. Hantaran: Biasanya normal melalui ventrikel. Ditandai oleh respons ventrikuler ireguler,
karena nodus AV tidak berespon terhadap frekuensi atrium yang cepat, maka impuls
yang dihantarkan menyebabkan ventrikel berespon irreguler.
e. Irama: ireguler dan biasanya cepat, kecuali bila terkontrol. Ireguleritas irama diakibatkan
oleh perbedaan hantaran pada nodus AV.
6. Atrial Flutter

Gambar 2.22 Atrial Flutter


Terjadi bila ada titik fokus di atrium yang menangkap irama jantung dan membuat
impuls antara 250 sampai 400 kali permenit. Karakter penting pada disritmia ini adalah
terjadinya penyekat tetapi terhadap nodus AV, yang mencegah penghantaran beberapa
impuls. Penghantaran impuls melalui jantung sebenarnya masih normal, sehingga kompleks
QRS tak terpengaruh. Inilah tanda penting dari disritmia tipe ini, karena hantaran 1:1 impuls
atrium yang dilepaskan 250–400 kali permenit akan mengakibatkan fibrilasi ventrikel, suatu
disritmia yang mengancam nyawa. Gelombang P merupakan konfigurasi gigi gergaji
(sawtooth), biasanya menghilang dan terbalik di sadapan II, III, dan Avf.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 2


Penyebab:
Penyebabnya sama dengan bibrilasi atrium, berhubungan dengan penyakit jantung
aterosklerotik, penyakit katup jantung, gagal jantung kongestif, tirotoksikosis, cor
pulmonale, atau penyakit jantung congenital.
Karakteristik:
a. Frekuensi: frekuensi atrium antara 250 sampai 400 kali denyut per menit.
b. Irama: Reguler atau ireguler, tergantung jenis penyekatnya (misalnya 2:1, 3:1 atua
kombinasinya).
c. Gelombang P: Tidak ada, melainkan diganti oleh pola gigi gergaji yang dihasilkan oleh
fokus di atrium yang melepaskan impuls dengan cepat. Gelombang ini disebut sebagai
gelombang F.
d. Kompleks QRS: Konfigurasinya normal dan waktu hantarannya juga normal.
Gelombang T: Ada namun bisa tertutup oleh gelombang flutter.
7. Ventricular Tachycardia

Gambar 2.23 Ventricular Tachycardia


Disritmia yang disebabkan oleh peningkatan iritabilitas miokard, seperti PVC.
Takikardia ventrikel sangat berbahaya dan harus dianggap sebagai keadaan gawat darurat.
Pasien biasanya sadar akan adanya irama cepat ini dan sangat cemas.
Penyebab
Biasanya berhubungan dengan penyakit arteri koroner. Karakteristik:
a. Frekuensi: 150 sampai 200 denyut per menit.
b. Gelombang P: Biasanya tenggelam dalam kompleks QRS; bila terlihat, tidak slealu
mempunyai pola yang sesuai dengan QRS. Kontraksi ventrikel tidak berhubungan
dengan kontraksi atrium.
c. Kompleks QRS: Mempunyai konfigurasi yang sama dengan PVC- lebar dan aneh,
dengan gelombang T terbalik. Denyut ventrikel dapat bergabung dengan QRS normal,
menghasilkan denyut gabungan.
d. Hantaran: Berasal dari ventrikel, dengan kemungkinan hantaran retrograde ke jaringan
penyambung dan atrium.
e. Irama: Biasanya regular, tetapi dapat juga terjadi takiakrdia ventrikel ireguler.

8. Ventricular Fibrilation

Gambar 2.24 Ventricular Fibrilation


Fibrilasi ventrikel adalah denyutan ventrikel yang cepat dan tak efektif. Pada disritmia
ini denyut jatung tidak terdengar dan tidak teraba, dan tidak ada respirasi. Polanya sangat
ireguler dan dapat dibedakan dengan disritmia tipe lainnya. Karena tidak ada koordinasi
aktivitas jantung, maka dapat terjadi henti jantung dan kematian bila fibrilasi ventrikel tidak
segera dikoreksi.
Penyebab:
Berhubungan dengan penyakit arteri koroner.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 2


Karateristik:
a. Frekuensi: Cepat, tak terkoordinasi dan tak efektif.
b. Gelombang P: Tidak terlihat.
c. Kompleks QRS: Cepat, undulasi ireguler tanpa pola yang khas (multifokal).
d. Ventrikel hanya memiliki gerakan yang bergetar.
e. Hantaran: Banyak fokus di ventrikel yang melepaskan impuls pada saat yang sama
mengakibatkan hantaran tidak terjadi; tidak terjadi kontraksi ventrikel.
f. Irama: Sangat ireguler dan tidak terkordinasi, tanpa pola yang khusus.
g. Penanganan segera adalah melalui defibrilasi.
9. Premature Atrial Contraction

Gambar 2.25 Premature Atrial Contraction


Kontraksi atrium premature sering terlihat pada jantung normal. Pasien biasanya
mengatakan berdebar-debar. Berkurangnya denyut nadi (perbedaan antara frekuensi denyut
nadi dan denyut apeksi) bisa terjadi.
Penyebab:
a. Iritabilitas otot atrium karena kafein, alkohol, nikotin.
b. Miokardium teregang seperti pada gagal jantung kongestif.
c. Stress atau kecemasan.
d. Hipokalemia.
e. Cedera.
f. Infark.
g. Keadaaan hipermetabolik.
Karakteristik:
a. Frekuensi: 60 sampai 100 denyut per menit.
b. Gelombang P: Biasanya mempunyai konfigurasi yang berbeda dengan
gelombang P yang berasal dari nodus SA.
c. Kompleks QRS: Bisa normal, menyimpang atai tidak ada.
d. Hantaran: Biasanya normal.
e. Irama: Reguler, kecuali bila terjadi PAC. Gelombang P akan terjadi lebih awal dalam
siklus dan biasanya tidak akan mempunyai jeda kompensasi yang lengkap.
10. Premature Junctional Contraction

Gambar 2.26 Premature Junctional Contraction


Prematur junctional contraction atau bisa disebut Istilah bigemini mengacu pada kondisi
dimana setiap denyut adalah prematur.
Penyebab:
Biasanya diakibatkan oleh intoksikasi digitalis, penyakit artei koroner, MI akut, dan CHF.
Karakteristik:
a. Frekuensi: Dapat terjadi pada frekuensi jantung berapapun, tetapi biasanya kurang
dari 90 denyut per menit.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 2


b. Gelombang P: Seperti yang diterangkan pada PVC; dapat tersembunyi dalam kompleks
QRS.
c. Kompleks QRS: Setiap denyut adalah PVC dengan kompleks QRS yang lebar dan aneh
dan terdapat jeda kompensasi lengkap.
d. Hantaran: Denyut sinus dihantarkan dari nodus sinus secara normal, namun PVC yang
mulai berselang seling pada ventrikel akan mengakibatkan hantaran retrograde ke
jaringan penyambung dan atrium.
e. Irama: Ireguler
11. Premature Ventricular Contraction

Gambar 2.27 Premature Ventricular Contraction


Kontraksi ventrikel premature (PVC) terjadi akibat peningkatan otomatisasi sel otot
ventrikel. PVC jarang terjadi dan tidak serius. Biasanya pasien merasa berdebar- debar tetapi
tidak ada keluhan lain. Namun, demikian perhatian terletak pada kenyataan bahwa kontraksi
premature ini dapat menyebabkan disritmia ventrikel yang lebih serius.
Penyebab:
PVC bisa disebabkan oleh toksisitas digitalis, hipoksia, hipokalemia, demam, asidosis,
latihan, atau peningkatan sirkulasi katekolamin.
Karakteristik:
a. Frekuensi: 60 sampai 100 denyut per menit.
b. Gelombang P: Tidak akan muncul karena impuls berasal dari ventrikel.
c. Kompleks QRS: Biasanya lebar dan aneh, berdurasi lebih dari 0, 10 detik. Mungkin
berasal dari satu fokus yang sama dalam ventrikel; atau mungkin memiliki berbagai
bentuk konfigurasi bila terjadi dari multi fokus di ventrikel.
d. Hantaran: Terkadang retrograde melalui jaringan penyambung dan atrium.
e. Irama: Ireguler bila terjadi denyut prematur.
12. AV Block
AV blok adalah kelainan pada jantung yang disebabkan karena abnormalitas hantaran. AV
blok dibagi ke dalam beberapa jenis antara lain:
a. AV Block 1st Degree

Gambar 2.28 AV Block 1st Degree

Penyebab:
Penyekat AV derajat satu biasanya berhubungan dengan penyakit jantung organic atau
mungkin disebabkan oleh efek digitalis. Hal ini biasanya terlihat padapasien dengan
infark miokard dinding inferior jantung.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 2


Karakteristik:
1) Frekuensi: Bervariasi, biasanya 60 sampai 100 denyut per menit.
2) Gelombang P: Mendahului setiap kompleks QRS. Interval PR berdurasi lebih
besar dari 0, 20 detik.
3) Kompleks QRS: Mengikuti setiap gelombang P, biasanya normal.
4) Hantaran: Hantaran menjadi lambat, biasanya di setiap tempat antara jaringan
penyambung dan jaringan purkinje, menghasilkan interval PR yang panjang.
Hantaran ventrikel biasanya normal.
5) Irama: Biasanya regular.
b. AV Block 2nd Degree Type 1

Gambar 2.29 AV Block 2nd Degree Type 1


nd
c. AV Block 2 Degree Type 2

Gambar 2.30 AV Block 2nd Degree Type 2


Penyebab:
Penyekat AV derajat dua juga disebabkan oleh penyakit jantung organic, infark miokard
atau intoksikasi digitalis. Bentuk penyekat ini menghasilkan penurunan frekuensi
jantung dan biasanya penurunan curah jantung.
Karakteristik:
a. Frekuensi: 30 sampai 55 denyut per menit. Frekuensi atrium dapat lebih cepat
dua, tiga atau empat kali disbanding frekuensi ventrikel.
b. Gelombang P: Terdapat dua, tiga atau empat gelombang untuk setiap
kompleks QRS. Interval PR yang dihantarkan biasanya berdurasi normal.
c. Kompleks QRS: Biasanya normal.
d. Hantaran: Satu atau dua impuls tidak dihantarkan ke ventrikel.
e. Irama: Biasanya lambat dan regular.
d. AV Block 3rd Degree

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 2


Gambar 2.31 AV Block 3rd Degree
Penyebab:
Penyekat AV derajat tiga (penyekat jantung lengkap) juga berhubungan dengan penyakit
jantung organik, intoksikasi digitalis dan MI. Frekuensi jantung berkurang drastik,
mengakibatkan penurunan perfusi ke organ vital, seprti otak, jantung, ginjal, paru dan
kulit.
Karakteristik:
a. Asal: Impuls berasal dari nodus SA, tetapi tidak dihantarkan ke serat purkinje.
Mereka disekat secara lengkap. Maka setiap irama yang lolos dari daerah
penyambung atau ventrikel akan mengambil alih pacemaker.
b. Frekuensi: Frekuensi atrium 60 sampai 100 denyut per menit, frekuensi ventrikel 40
sampai 60 denyut per menit bila irama yang lolos berasal dari daerah penyambung,
20 sampai 40 denyut permenit bila irama yang lolos berasal dari ventrikel.
c. Gelombang P: Gelombang P yang berasal dari nodus SA terlihat regular sepanjang
irama, namun tidak ada hubungan dengan kompleks QRS.
d. Kompleks QRS: Apabila lolosnya irama berasal dari daerah penyambung, maka
kompleks QRS mempunyai konfigurasi supraventrikuler yang normal, tetapi tidak
berhubungan dengan gelombang P. Kompleks QRS terjadi secara regular. Apabila
irama yang lolos berasal dari ventrikel, kompleks QRS berdurasi 0, 10 detik lebih
lama dan baisanya lebar dan landai. Kompleks QRS tersebut mempunyai konfigurasi
seperti kompleks QRS pada PVC.
e. Hantaran: Nodus SA melepaskan impuls dan gelombang P dapat dilihat. Namun
mereka disekat dan tidak dihantarkan ke ventrikel. Irama yang lolos dari daerah
penyambung biasnaya dihantarkan secara normal ke ventrikel. Irama yang lolos dari
ventrikel bersifat ektopik dengan konfigurasi yang menyimpang.
f. Irama: Biasanya lambat tetapi regular.

13. Asystole

Gambar 2.32 Asystole


Pada asistole ventrikel tidak akan terjadi kompleks QRS. Tidak ada denyut jantung,
denyut nadi dan pernapasan. Tanpa penatalaksanaan segera, asistole ventrikel sangat fatal.

Karakteristik
a. Frekuensi: tidak ada
b. Gelombang P: Mungkin ada, tetapi tidak dapat dihantarkan ke nodus AV dan
ventrikel
c. Kompleks QRS: Tidak ada
d. Hantaran: Kemungkinan, hanya melalui atrium
e. Irama: Tidak ada

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 3


14. Myocard Infark

Gambar 2.33 Myocard Infark


Karakteristik:
a. Elevasi segmen ST 1 mm atau lebih.
1) Elevasi segmen ST pada semua sadapan, kecuali di aVR dan V1, dan sadapan aVL
pada posisi jantung vertikal. Kelainan ini dapat terjadi pada perikarditis.
2) Elevasi segmen ST di sadapan II, III, dan aVF. Kelainan ini terjadi pada infark
jantung inferior dan aneurisma ventrikel.
3) Elevasi segmen ST disadapan I, aVL dan V4-6. Kelainan ini dapat terjadi pada infark
jantung anterior, angina pektoris, dan aneurisma ventrikel.
b. Depresi segrnen ST
1) Depresi seginen ST oblik dan horisontal pada banyak sadapan, kecuali di sadapan
aVR dan aVL dengan posisi jantung vertikal. Kelainan ini dapat terjadi pada angina
(iskemia), infark subendokardial, obat- obatan seperti digitalis, dan tembakau.
2) Depresi segmen ST oblik dan horisontal pada sadapan V1, V2, dan V3. Kelainan ini
dapat terjadi pada iskemia, hipertrofi ventrikel kanan, danRBBB.
3) Depresi segmen ST oblik dan horisontal pada sadapan I, aVL, dan V4-6. Kelainan ini
dapat terjadi pada iskemia, hipertrofi ventrikel kiri, LBBB, elevasi ST resiprokal
dengan infark jantung inferior.
4) Depresi segmen ST oblik dan horisontal pada sadapan II, III, dan aVF. Kelainan ini
dapat terjadi pada iskemia dan elevasi ST resiprokal dengan infark anterior.
15. Bundle Brank Block

Gambar 3.34 Bundle Brank Block


a. Right Bundle Branch Block (RBBB)
Kriteria untuk RBBB:
1) Interval QRS = 0,12 detik atau lebih (RBBB lengkap); 0,1-0,12 detik
merupakan RBBB tidak lengkap.
2) Lebar, bersambung, dengan gelombang S di sadapan I, V5-6
3) Lebar, bertakik, atau bersambung, sering disertai gelombang R’
di sadapan V1-2 (kadang-kadang V3, RSR’).
4) Depresi ST dan gelombang T terbalik di V1 -2.
b. Left Bundle Branch Block (LBBB)
Kriteria untuk LBBB:
1) Interval QRS = 0,12 detik atau lebih (LBBB lengkap); 0,1-0,12 detik adalah
LBBB tidak lengkap.
2) Tidak ditemukan gelombang Q di sadapan I, V5-6.
3) Kompleks QRS lebar, bertakik, atau bersambung, terutama di V5-6.
4) QRS tegak (positif) di sadapan I, V5-6.
5) Depresi ST dan gelombang T terbalik di sadapan I, V5-6.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 3


J. Alat dan Bahan
1. Set mesin EKG
2. Kabel untuk sumber listrik
3. Kabel elektrode ekstremitas dan dada
4. Plat elektrode
5. Balon pengisal elektrode dada
6. Jelly
7. bengkok
8. Tisu
9. Kertas EKG

K. Prosedur Tindakan
1. Mempersiapkan pasien (memposisikan, membuka pakaian atas, melepas cincin atau bahan
logam yang melekat pada pasien).
2. Bersihkan pergelangan tangan, kaki dan dada dengan kapas alkohol.
3. Berikan jelli pada area pemasangan.
4. Pasang elektrode ekstremitas atas pada pergelangan tangan kanan (merah) dan kiri (kuning)
searah dengan telapak tangan dan pasang elektrode ekstremitas bawah pada pergelangan
kaki kanan (hitam)dan kiri (hijau) sebelah dalam.
5. Pasang elektrode pada daerah dada sebagai berikut:
a. V1 : sela iga (ICS) ke 4 pada garis sternal kanan
b. V2 : sela iga (ICS) ke 4 pada garis sternal kiri V3 : diantara V2 dan V4
c. V4 : sela iga (ICS) ke 5 pada midclavicula kiri
d. V5 : garis axila anterior (diantara V4 dan V6) V6 : mid axila sejajar dengan V4
6. Hidupkan mesin EKG
7. Periksa kembali standarisasi dari EKG meliputi kaliberasi dan kecepatan.
8. Lakukan pencatatan identitas pasien melalui mesin EKG atau pada kertas EKG setelah
perekaman.
9. Lakukan perekaman EKG.
10. Matikan mesin EKG dan membaca hasil.

BAHAN BACAAN

Dharma, S. (2010). Pedoman Praktis Interpretasi EKG. Jakarta : EGC.


DiMino, T. L., Ivanov, A., Burke, J. F., Kowey, P. R. (2005). Electrocardiography. Essential
Cardiology 2nd ed. Editor: Rosendorff C. Totowa, New Jersey: Humana Press.
Lesmana, H., Wijayanti, D., OseM. I., Putri Ayu Utami, P. A., Wahyuni, R. (2018). Pengaruh
Penggunaan Jelly dan Air LedengTerhadap potensial aksi elektrokardiogram. Jurnal
Medika Respati, 13(1):30-37
Luna, A.B. (2011). Anatomic and Electrophysiologic Basis. Clinical Arrhythmyology. West
Sussex. UK: Wiley-Blackwell.
Sperelakis, N., Sunagawa, M., &Nakamura, M. (2001). Electrogenesis of Resting
Potentials. Heart Physiology and Pathophysiology 4th ed. Elsevier.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 3


SISTEM GASTROINTESTINAL

PEMASANGAN NGT (NASOGASTRIC TUBE)


(Kusyati et al., 2019)

Pemasangan slang nasogastric dilakukan melalui rongga hidung ke lambung. Prosedur ini biasanya
dilakukan pada klien tidak sadar, klien yang mengalami masalah saluran cerna atas (stenosis
esophagus. Tumor mulut, faring, atau esophagus), klien yang mengalami kesulitan menelan, atau
klien pascapembedahan mulut, faring, atau esophagus.

Tujuan
1. Memasukkan makanan cair atau obat- obatan
2. Mengeluarkan cairan/isi lambung dan gas yang ada dalam lambung
3. Mengirigasi lambung karena perdarahan atau keracunan
4. Mencegah atau mengurangi mual dan muntah setelah pembedahan atau trauma
5. Mengambil specimen lambung untuk pemeriksaan laboratorium

Persiapan Alat
Nampan yang berisi :
1. NGT nomor 14 atau 16 (untuk anak lebih kecil)
2. Jeli
3. Spatel lidah
4. Sepasang sarung tangan
5. Senter
6. Spuit 50 hingga 100ml
7. Plester
8. Stetoskop
9. Kapas alcohol
10. Handuk
11. Kertas tisu
12. Bengkok

Prosedur Pelaksanaan
1. Letakkan peralatan dekat dengan klien
2. Jelaskan prosedur yang akan anda lakukan dan tujuannya
3. Cuci tangan
4. Bantu klien memperoleh posisi fowler tinggi
“meningkatkan kemampuan klien untuk menelan”.
5. Pasang handuk pada klien dan letakkan kertas tisu dalam jangkauan klien
“agar tidak mengotori pakaian klien. Pemasangan slang dapat menyebabkan klien
mengeluarkan air mata”
6. Kenakan sarung tangan
7. Untuk menentukan lokasi insersi NGT, minta klien menutup salah satu rongga hidung dan
bernapas secara normal dan relaks. Ulangi prosedur yang sama pada rongga hidung lainnya.
“memastikan slang nasogastric tidak mengalami hambatan ketika dimasukkan ke dalam
rongga hidung”.
8. Ukur panjang slang yang akan dimasukkan menggunakan:
a. Metode tradisional
Ukur jarak dari puncak lubang hidung ke daun telinga bawah dan dilanjutkan ke
prosesus xifoideus

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 3


b. Metoden Hanson
Mula- mula tandai slang pada panjang 50 cm, kemudian lakukan pengukuran dengan
metode tradisional. Panjang slang yang akan dimasukkan adalah pertengahan antara
tanda 50 cm dan tanda pengukuran tradisional
9. Tandai panjang slang yang sudah diukur menggunakan plester
10. Oleskan jeli pada NGT sepanjang 10-20 cm
“pelumasan mengurangi friksi antara membrane mukosa dan slang”
11. Beri tahu klien bahwa slang akan segera dimasukkan dan minta klien untuk
menengadahkan kepalanya. Masukkan slang melalui hidung yang telah ditentukan.
“memudahkan insersi slang melalui hidung dan mempertahankan jalan napas tetap terbuka”
12. Lanjutkan memasukkan slang di sepanjang rongga hidung hingga melewati
nasofaring. Jika anda meraskan tahanan, putar dan tarik slang.
“meminimalkan ketidaknyamanan akibat pemasangan NGT. Ujung slang akan mudah
dimasukkan ke dalam faring jika slang diputar dan sedikit ditarik”
13. Setelah slang NGT melewati nasofaring, anjurkan klien untuk menekuk leher dan
menelan
14. Dorong klien untuk menelan ddengan memberi sedikit air minum jika perlu.
Tekankan pentingnya bernapas melalui mulut
“ menelan memudahkan slang lewat melalui orofaring”
15. Hindari memaksa masuk slang. Jika anda meraskan tahanan atau klien tersedak atau pun
sianosis, hentikan mendorong slang. Periksa posisi slang di belangang tenggorok
menggunakan spatel lidah dan senter
“slang dapat terlipat, menggulung di orofaring atau masuk ke trakea”
16. Jika NGT telah dimasukkan hingga batas yang telah ditentukan anjurkan klien untuk relaks
dan bernapas normal
17. Pastikan slang masuk ke dalam lambung dengan cara:
a. Memasang spuit pada ujung NGT yang terbuka dan meletakkan diafragma stetoskop
pada kuadran kiri atas abdomen klien. Selanjutnya, suntikkan sekitar 10-20 cc udara
bersamaan dengan anda mengauskultasi abdomen klien
b. Mengaspirasi isi lambung secara perlahan
c. Memasukkan ujung slang NGT yang terbbuka ke dalam mangkuk berisi air.
Adanya gelembung udara menunjukkan slang masuk ke dalam paru dan tidak adanya
gelembung udara memastiskan slang masuk ke dalam lambung. “memastikan slang
NGT masuk ke dalam lambung sebelum makanan
dimasukkan”
18. Oleskan alcohol pada ujung hidung klien dan biarkan kering
“membantu melekatkan plester dengan lebih baik”
19. Fiksasi slang dengan plester dan hindari penekanan pada hidung
a. Potong plester sepanjang 10 cm dan gunting bagian tengah plester sepanjang 5 cm.
pasang ujung plester yang utuh pada batang hidung klien dan silangkan ujung plester
yang digunting pada slang yang keluar dari hidung
b. Fiksasi slang dengan memasang plester pada ujung slang kemudian melekatkannya ke
baju klien menggunakan peniti
20. Evaluasi keadaan klien setelah prosedur pemasangan NGT
21. Rapikan peralatan
22. Cuci tangan
23. Dokumentasikan hasil tindkan pada cataatn perawatan

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 3


BILAS LAMBUNG (GASTRIC LAVAGE)
(Kusyati et al., 2019)

Definisi
Membilas lambung dengan cairan menggunakan set bilas

Tujuan
1. Mengambil sampel isi lambung untuk pemeriksaan laboratorium
2. Meredakan mual dan muntah pada kasus dilatasi lambung akut, stenosis pylorus dan obstruksi
usus
3. Mengurangi perdarahan lambung
4. Mengeluarkan bahan beracun atau bahan iritan dari dalam lambung

Persiapan Alat
1. Selang ryle dengan ukuran sesuai (12-14Fr)
2. Mangkuk berisi air matang/ Nacl 0,9% atau larutan khusus sesuai instruksi
3. Pengukur volume cairan
4. Pelumas larut air/ vaselin
5. Corong untuk menyambung selang NG
6. Stetoskop
7. Bengkok
8. Duk
9. Perlak kecil
10. Sarung tangan bersih
11. Apron
12. Masker
13. Plester dan gunting
14. Ember/ wadah penampung cairan (Placeholder1){Bibliography}yang keluar dari
lambung
15. Spuit
16. Penahan mulut

Larutan yang digunakan


1. Air murni (air polos bermanfaat khususnya bila racunnya belum teridentifikasi)
2. Nacl 0,9%
3. Larutansodium bikarbonat atau asam borat konsentrasi rendah untuk keracunan korosif
4. Penawar racun khusus: bila racun yang ditelan sudah teridentifikasi

Prosedur Pelaksanaan
1. Identifikasi pasien dan periksa status pasien terkait instruksi dokter dan instruksi khusus
“ memastikan prosedur yang benar dilaksanakan pada pasien yang benar”
2. Jelaskan prosedurnya kepada pasien
“mendapatkan kerja sama pasien”
3. Cuci tangan dan pakai sarung tangan
“mengurangi resiko kontaminasi”
Lepas gigi palsu bila ada dan masukkan penahan mulut
“ gigi palsu dapat menimbulkan sumbatan, dan penahan mulut dimasukkan untuk
mencegah pasien menggigit selang”
4. Posisikan pasien miring kiri
“ mencegah aspirasi cairan ke dalam paru- paru

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 3


5. Masukkan selang nasogastric yang dilumasi secara perlahan unuk mencegah
terjadinya cedera pada jaringan
“melumasi selang memudahkan pemasukan dan mencegah gesekan”
6. Pastikan posisi selang yang benar
7. Fiksasi selang dengan plester
“mencegah bergesernya selang”
8. Sambungkan spuit pada selang dan aspirasi isi lambung secara total dan tampung untuk
pemeriksaan laboratorium
9. Cabut spuit dan sambungkan corong pad selang da nisi corong dengan cairan irigasi. Tinggikan
corong agar cairan dapat mengalir ke dalam lambung. Biarkan cairan sebanyak 2-3 corong
(150-200ml) mengalir ke dalam lambung
“air es dingin digunakan untuk irigasi bila ada perdarahan”

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 3


PEMBERIAN MAKANAN LEWAT SELANG NGT

Definisi
Pemberian makanan pada klien yang menggunakan selang melalui hidung menuju ke lambung.
Tujuan
Untuk mempertahankan status nutrisi dan pemberian obat.
Persiapan Alat
1. Sejumlah makanan cair yang akan diberikan, yang sudah dihangatkan. Jumlah
makanan dan air putih berkisar 300 – 500 cc..
2. Corong / spuit berukuran besar (50 cc).
3. Stetoskop.
4. Alat makan, serbet makan / tissue.
5. Obat sesuai instruksi.
6. Handscoen bersih
Prosedur Pelaksanaan
1. Mencuci tangan.
2. Memakai handscoen bersih (kalau perlu).
3. Mengatur posisi klien (semi fowler, fowler atau high fowler).
4. Mengauskultasi peristaltik usus dan mengkaji adanya ketidaknyamanan pada
abdomen (distensi abdomen).
5. Meletakkan alas dibawah NGT.
6. Mengkaji kepatenan letak NGT :
a. Masukkan 5 – 15 cc udara kedalam NGT dan auskultasi suara di regio epigastrik.
b. Aspirasi isi residu lambung, bila lebih dari 100 cc, tunda pemberian makanan ½ - 1 jam.
Mengkaji juga warna, konsistensi, dan bau dari cairan lambung.
7. Masukkan kembali isi residu lambung.
8. Membilas NGT dengan air putih.
9. Memberikan cairan nutrisi
10. Memasang corong dan jaga agar udara tidak masuk kedalam selang dengan menjepit selang
NGT.
11. Memasukkan sejumlah susu/makanan cair/air buah yang telah disediakan.
12. Mengatur ketinggian corong (30 cm diatas lambung). Pemberian tidak boleh terlalu cepat,
maupun terlalu lambat dan sesuaikan dengan karakteristik makanan / cairan.
13. Pemberian makanan tidak boleh dipaksa dengan dorongan.
14. Mengeluarkan udara yang ada didalam selang.
15. Membilas dengan air putih, memasukkan obat bila ada, lalu bilas kembali dengan air putih.
16. Melepaskan corong/kantung/formula makanan dan tutup selang NGT.
17. Mempertahankan klien tetap posisi semi fowler selama 30 menit.
18. Merapihkan klien dan peralatan.
19. Melepaskan handscoen dan mencuci tangan.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 3


ENEMA GLISERIN
(Kusyati et al., 2019)

Defenisi
Enema gliserin merupakan tindakan memasukkan cairan melalui anus ke dalam kolon sigmoid
menggunakan spuit gliserin.
Tujuan
1. Menyiapkan klien untuk menjalani prosedur pemeriksaan
2. Merangsang buang air besar
3. Melunakkan feses
Persiapan Alat
1. Selimut mandi
2. Perlak pengalas
3. Spuit gliserin
4. Bengkok
5. Gliserin dalam mangkuk yang direndam air panas
6. Sarung tangan dua buah
7. Mangkuk
8. Pispot
9. Sampiran
10. Kertas tisu
11. Waslap dua buah
12. Baskom dua buah berisi air hangat
13. Handuk
14. Sabun
Prosedur Pelaksanaan
1. Jelaskan tujuan pelaksanaan prosedur dan tindakan yang akan dilakukan
2. Letakkan peralatan dekan dengan klien
3. Tutup jendela atau sampiran unuk menjaga privasi
4. Cuci tangan dan kenakan sarung tangan
5. Ganti selimut tidur klien dengan selimut mandi
6. Bantu klien melepaskan pakaian bagian bawah
7. Bantu klien memperoleh posisi miring kiri dengan lutut kanan fleksi untuk klien dewasa dan
dorsal rekumben untuk anak- anak dan bayi
8. Pasang perlak pengalas di bawah bokong klien
9. Kaji suhu gliserin dengan menetekannya pada punggung tangan anda. Suhu gliserin
seharusnya sekitar 37o-38oC
10. Isi spuit gliserin sekitar 10-20 cc dan keluarkan udara dalam spuit
11. Setelah klien beradda dalam posisi miring atau posisi dorsal rekumben, buka bokong klien
menggunakan tangan non dominan dan masukkan spuit secara perlahan mengikuti arah rectum
sedalam 7-10 cm untuk klien dewasa, 5-7,5 cm untuk anak- anak, dan 2,5-3,75 cm untuk bayi
12. Masukkan gliserin secara perlahan sambil menganjurkan klien untuk menarik napas panjang
dan dalam
13. Tarik spuit setelah semua gliserin masuk ke dalam kolon dan letakkan dalam bengkok
14. Bantu klien BAB dengan membantunya ke toilet atau memasang pispot di bawah bokong
15. Bersihkan area perianal dengan kertas tisu
16. Bersihkan area perianal dengan waslap dan sabun, kemudian bilas dengan air bersih
17. Keringkan area perianal dengan handuk
18. Angkat perlak pengalas bokong
19. Lepaskan sarung tangan

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 3


20. Bantu klien mengenakan kembali pakaiannya
21. Ganti selimut mandi klien dengan selimut tidur
22. Ganti linen tempat tidur jika kotor
23. Bantu klien memperoleh posisi yang nyaman
24. Buka sampiran atau jendela
25. Kembali kenakan sarung tangan dan bersihkan pispot
26. Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan
27. Dokumentasikan warna, bau, konsistensi feses, dan adanya distensi abdomen

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 3


COLOCTOMY CARE
(Murwani, 2008; Saputra, 2013)

Defenisi
 Sebuah lubang yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada dinding abdomen untuk
mengeluarkan feces (M. Bouwhuizen, 1991).
 Lubang yang dibuat melalui lubang dinding abdomen ke dalam kolon iliaka untuk
mengeluarkan feces (Evelyn, 1991).
 Pembuatan lubang sementara atau permanent dari usus besar melalui dinding perut untuk
mengeluarkan feces (Randy, 1987).

Jenis- Jenis Kolostomi


Kolostomi dibuat berdasarkan indikasi dan tujuan tertentu, sehingga jenisnya ada beberapa macam
tergantung dari kebutuhan pasien.Kolostomi dapat dibuat secara permanen maupun sementara.
1. Kolostomi Permanent
Pembuatan kolostomi permanent biasanya dilakukan apabila pasien sudah tidak memungkinkan
untuk defekasi secara normal karena adanya keganasan, perlengketan, atau pengangkatan kolon
sigmoid atau rectum sehingga tidak memungkinkan feces melalui anus.Kolostomi permanent
biasanya berupa kolostomi single barrel (dengan satu ujung lubang).
2. Kolostomi Temporer/ Sementara
Pembuatan kolostomi biasanya untuk tujuan dekompresi kolon atau untuk mengalirkan feces
sementara dan kemudian kolon akan dikembalikan seperti semua dan abdomen ditutup kembali.
Kolostomi temporer ini mempunyai dua ujung lubang yang dikeluarkan melalui abdomen yang
disebut kolostomi double barrel.

Lubang kolostomi yang muncul di permukaan abdomen berupa mukosa kemerahan yang disebut
stoma. Pada minggu pertama post kolostomi biasanya masih terjadi pembengkakan sehingga
stoma tampak membesar.
Pasien dengan pemasangan kolostomi biasanya disertai dengan tindakan laparatomi (pembukaan
dinding abdomen).Luka laparatomi sangat beresiko mengalami infeksi karena letaknya
bersebelahan dengan lubang stoma yang kemungkinan banyak mengeluarkan feces yang dapat
mengkontaminasi luka laparatomi, perawat harus selalu memonitor kondisi luka dan segera
merawat luka dan mengganti balutan jika balutan terkontaminasi feces.
Perawat harus segera mengganti kantong kolostomi jika kantong kolostomi telah terisi feces atau
kantong kolostomi bocor dan feces cair mengotori abdomen.Perawat juga harus mempertahankan
kulit pasien sekitar stoma tetap kering, hal ini penting untuk menghindari terjadinya iritasi pada
kulit dan untuk kenyamanan pasien.
Kulit sekitar stoma yang mengalami iritasi harus segera diberi zink salep/ zink oil atau
konsultasikan pada dokter ahli jika pasien alergi terhadap perekat kantong kolostomi. Pada pasien
yang alergi tersebut mungkin perlu dipikirkan untuk memodifikasi kantong kolostomi agar kulit
pasien tidak teriritasi.
Komplikasi Kolostomi
1. Obstruksi/ penyumbatan
Penyumbatan dapat disebabkan oleh adanya perlengketan usus atau adanya pergeseran feces
yang sulit dikeluarkan.Untuk menghindari terjadinya sumbatan, pasien perlu dilakukan irigasi
kolostomi secara teratur.
Pada pasien dengan kolostomi permanent tindakan irigasi ini perlu diajarkan agar pasien dapat
melakukannya sendiri di kamar mandi.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 4


2. Infeksi
Kontaminasi feces merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab terjadinya infeksi
pada luka sekitar stoma.Oleh karena itu pemantauan yang terus menerus sangat diperlukan dan
tindakan segera mengganti balutan luka dan mengganti kantong kolostomi sangat bermakna
untuk mencegah infeksi.
3. Retraksi stoma/ mengkerut
Stoma mengalami pengikatan karena kantong kolostomi yang terlalu sempit dan juga karena
adanya jaringan scar yang berbentuk di sekitar stoma yang mengalami pengerutan.
4. Prolap pada stoma
Terjadi karena kelemahan otot abdomen atau fiksasi struktur penyokong stoma yang kurang
adekuat pada saat pembedahan.
5. Stenosis
6. Perdarahan stoma
Pendidikan Pada Pasien
Pasien dengan pemasangan kolostomi perlu berbagai penjelasan baik sebelum maupun setelah
operasi terutama tentang perawatan kolostomi bagi pasien yang harus menggunakan kolostomi
permanen.
Berbagai hal yang diajarkan pada pasien antara lain:
1. Teknik perawatan stoma dan kulit sekitar stoma
2. Teknik irigasi kolostomi dan manfaatnya bagi pasien
3. Teknik penggantian/ pemasangan kantong kolostomi yang baik dan benar
4. Jadwal makan/pola makan yang harus diperhatikan untuk menyesuaikan
5. Berbagai jenis makanan bergizi yang harus dikonsumsi
6. Makanan : tinggi serat
7. Waktu penggantian kantong kolostomi
8. Berbagai aktivitas yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh pasien
9. Pengeluaran feces agar tidak mengganggu aktivitas pasien
10. Berbagai hal/ keluhan yang harus dilaporkan segera pada dokter (jika pasien sudah dirawat
di rumah)
11. Berobat/ kontrol ke dokter secara teratur
Tujuan
1. Menjaga kebersihan pasien
2. Mencegah terjadinya infeksi
3. Mencegah irigasi kulit sekitar stoma
4. Mempertahankan kenyamanan pasien dan lingkungannya
Prosedur Kerja
A. Persiapan Alat
1. Kantong kolostomi
2. Satu set ganti balutan (Pinset anatomis, pinset shirurgis, kom kecil, dan gunting)
3. Kapas
4. Kassa steril
5. Larutan sublimate/ Nacl
6. Zink salep/ zink oil
7. Betadin sol (jika diperlukan)
8. Plester (jika diperlukan)
9. Sarung tangan
10. Bengkok
11. Perlak
12. Kantong plastik dan tempat sampah
13. Celemek

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 4


B. Tahap Prainteraksi
a. Lakukan verifikasi order yang ada untuk pemeriksaan
b. Mencuci tangan
c. Siapkan alat
d. Memasang sampiran
C. Tahap Orientasi
a. Memberikan salam, panggil klien dengan panggilan yang disenangi
b. Memperkenalkan nama perawat
c. Menjelaskan prosedur dan tujuan tindakan pada klien dan keluarganya
d. Menjelaskan tentang kerahasiaan
e. Memberikan kesempatan kepada klien untuk bertanya sebelum tindakan
f. Memulai kegiatan sesuai dengan prosedur
D. Tahap Kerja
a. Beri kesempatan pasien untuk bertanya
b. Menggunakan sarung tangan
c. Meletakkan perlak di bagian kanan/ kiri pasien sesuai letak stoma
d. Meletakkan bengkok diatas perlak dan didekatkan ke tubuh pasien
e. Mengobservasi produk stoma (warna, konsistensi, dll)
f. Membuka kantong kolostomi secara hati- hati dengan menggunakan pinset dan
menggunakan pinset dan tangan kiri menekan kulit pasien
g. Membersihkan stoma dengan sangat hati- hati menggunakan kapas Nacl 0,9% hindari
terjadinya perdarahan
h. Mengeringkan kulit sekitar stoma denagn kassa steril
i. Observasi stoma dan kulit sekitar stoma
j. Memberikan zink salep/ zink oil jika terjadinya iritasi pada kulit sekitar stoma
k. Mengukur kantong stoma dan membuat kantong kolostomi sesuai ukuran stoma
l. Membuka salah satu sisi (sebagian) perekat kantong kolostomi
m. Menggunakan pinset untuk mempermudah
n. Memasukkan stoma melalui lubang kantong kolostomi
o. Membuka sisi perekat, hindari masuknya udara dalam kantong kolostomi
p. Merapikan pasien dan alat- alat
q. Melepas sarung tangan
r. Mencuci tangan
E. Tahap Terminasi
a. Menanyakan perasaan klien setelah dilakukan kegiatan
b. Menyimpulkan hasil prosedur yang dilakukan
c. Melakukan kontrak untuk tindakan selanjutnya
d. Beri reinforcement sesuai dengan kemampuan klien. Mengakhiri kegiatan dengan salam
e. Mencuci tangan
F. Dokumentasi
Catat prosedur dan respon klien

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 4


SISTEM PERKEMIHAN

PEMASANGAN KATETER URINE

Definisi
Memasukkan kateter ke dalam kandung kemih lewat uretra dengan menggunakan teknik aseptic yang
bertujuan untuk mengosongkan kandung kemih

Berbagai Jenis
1. Kateterisasi intermiten
Tujuan:
a. Menghilangkan distensi kandung kemih
b. Untuk menilai sisa urine pasca pengosongan kandung kemih
c. Mendapatkan bahan pemeriksaan steril
d. Mengosongkan kandung kemih sebelum proses melahirkan atau operasi abdomen
2. Kateterisasi menetap
Tujuan:
a. Memudahkan pengeluaran urine pada pasien inkontinensia
b. Memudahkan drainase kandung kemih kontinyu pasca trauma / operasi pada saluran
kemih atau operasi besar lainnya
c. Untuk membidai uretra untuk mempercepat pemulihan pasca operasi urologi
d. Meredakan retensi urine akut atau kronis
e. Mencegah kontak urine dengan insisi pasca-operasi perineum

Persiapan Alat
Sebuah nampan berisi:
1. Senter / lampu gantung
2. Baskom berisi air hangat, sabun, waslap, pispot, handuk, dll
3. Sarung tangan sekali pakai
4. Nampan ginjal / piala ginjal
5. Larutan antiseptic
6. NaCl steril
7. Plester dan gunting (pada kateter retensi)
8. Wadah penampung bahan
9. Pelumas yang larut dalam air
Sebuah nampan berisi:
1. Sarung tangan steril
2. Kain steril / duk lubang
3. Mangkuk kecil
4. Kapas usap
5. Kateter (kateter dalam (indwelling) atau lurus dengan ukuran yang sesuai)
6. Nampan ginjal
7. Forsep arteri
8. Forsep pemisah
9. Spuit steril 20 ml dan air destilasi (pada kateter retensi)
Prosedur Pelaksanaan
1. Periksa instruksi dokter dan rencana asuhan keperawatan
2. Identifikasi pasien dan periksa waktu terakhir pasien berkemih, tingkat kesadaran, mobilitas,
keterbatasan fisik, dan kondisi patologis, missal: pembesaran prostat, distensi kandung kemih,
dll
3. Jelaskan prosedurnya pada pasien dengan penekanan apa yang harus dilakukan pasien untuk
dapat berkerjasama
4. Minta bantuan bila dibutuhkan untuk menjaga posisi pasien

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 4


5. Berikan privasi
6. Cuci tangan
7. Naikkan ranjang pada ketinggian yang sesuai untuk bekerja. Berdiri pada sisi kanan pasien dan
geser pasien ke dekat anda
8. Posisikan pasien:
a. Wanita: Telentang dengan lutut ditekuk dan paha dalam posisi rotasi eksternal
b. Pria: Posisi terlentang dengan paha sedikit abduksi
9. Cuci area perineum / alat kelamin dengan sabun dan air
10. Atur cahaya lampu / senter agar dapat melihat meatus uretra dengan jelas
11. Buka nampan steril, tuangkan larutan antiseptic ke dalam mangkuk, buka pembungkus luar
kateter dan letakkan di atas nampan bila masih dibungkus
12. Buka pelumas, pencet dan buang tetesan pertama dan tuangkan yang berikutnya di atas kasa
steril yang terletak di atas nampan
13. Pakai sarung tangan steril
14. Tutupi area perineum
15. Letakkan nampan steril di atas kain penutup di antara kedua paha pasien
16. Pada saat melakukan kateterisasi retensi, isi spuit dengan air steril bila belum diisi sebelumnya,
dan cek balon kateter dengan cara mengembangkannya. Kempeskan balon dan pinggirkan
kateter dengan spuit terhubung pada kateter
17. Buka botol steril penampung bahan dan penampung urine yang steril yang sudah siap
digunakan di atas nampan steril
18. Lumasi ujung kateter secara bebas dan letakkan dalam nampan steril untuk dapat digunakan
19. Bersihkan meatus uretra dengan larutan antiseptic jika direkomendasikan oleh institusi.
a. Wanita
1) Dengan tangan yang tidak dominan, lebarkan labia secara total dan perlahan dan
paparkan meatus uretra. Pertahankan posisi tangan selama prosedur Tindakan
2) Dengan tangan yang dominan, ambil kapas usap yang dicelup dalam larutan antiseptic
dan bersihkan area perineum perineum mulai dari klitoris menuju anus dengan sebagai
berikut – meatus, labia minor, lalu labia mayora. Gunakan satu usapan untuk setiap
usapan
3) Ulangi proses pembersihan dengan kapas usap yang dicelupkan ke dalam NaCl 0,9%
steril dengan urutan yang sama
b. Pria
1) Genggam penis dengan tegas di bawah glans dengan tangan yang tidak dominan. Tarik
kulit penis dan tahan sampai prosedur selesai dilakukan
2) Dengan tangan yang dominan, ambil kapas usap steril yang dicelup dalam larutan
antiseptic untuk memberishkan meatus yang dilanjutkan dengan Gerakan memutar ke
luar
3) Gunakan sekali usapan setiap kali mengusap
4) Ulangi proses pembersihan dengan menggunakan NaCl steril dengan urutan yang sama
20. Memasukkan kateter sepanjang 15-25 cm pada pasien pria dan 2,5-5 cm pada pasien wanita,
sampai urine mengalir ke luar. Jangan memaksa masuk kateter. Jika menemui hambatan, punter
kateter dan tunggu sementara waktu untuk spinkter berelaksasi. Instruksikan pasien untuk
menarik napas dalam Ketika kateter dimasukkan
21. Tampung semua urine di dalam nampan ginjal steril. Jika diperlukan, tampan
22. Lepas kateter jika kateterisasi intermiten sudah selesai dilakukan
23. Jika dilakukan kateterisasi retensi, suntikkan air destilasi steril untuk mengembangkan balon
24. Tarik kateter keluar secara perlahan untuk memastikan stabilitas

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 4


25. Hubungkan kateter dengan kantung urine yang diikat ke ranjang di bawah ketinggian
kandung kemih
26. Rekatkan selang ke paha dengan menggunakan plester. Pastikan panjang yang adekuat
untuk menghindari traksi
27. Bersihkan dan simpan kembali alat serta lepas sarung tangan
28. Cuci tangan
29. Catat prosedur dan hasil pemantauan pada rekam medis pasien

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 4


SISTEM INTEGUMEN

MODERN DRESSING

LATAR BELAKANG
Perawatan luka telah mengalami perkembangan sangat pesat terutama dalam dua dekade terakhir,
ditunjang dengan kemajuan teknologi kesehatan. Disamping itu,isu terkini manajemen perawatan
luka berkaitan dengan perubahan profil pasien yang makin sering disertai dengan kondisi penyakit
degeneratif dan kelainan metabolik. Kondisi tersebut biasanya memerlukan perawatan yang tepat
agar proses penyembuhan bisa optimal. Manajemen perawatan luka modern sangat
mengedepankan isu tersebut. Hal ini di tunjang dengan makin banyaknya inovasi terbaru produk-
produk perawatan luka. Pada dasarnya, pemilihan produk yang tepat harus berdasarkan
pertimbangan biaya (cost), kenyamanan (comfort), dan keamanan (safety).

MENGENAI LUKA
A. PENGERTIAN LUKA
Definisi luka adalah terputusnya kontinuitas jaringan karena cedera atau pembedahan. Luka
bisa diklasifikasikan berdasarkan struktur anatomis, sifat, proses penyembuhan, dan lama
penyembuhan.
1. Berdasarkan sifat, yaitu: abrasi, kontusio, insisi, laserasi, terbuka, penetrasi, puncture,
sepsis, danlain-lain.
2. Berdasarkan struktur lapisan kulit, meliputi: superfi sial, yang melibatkan lapisan
epidermis; partial thickness, yang melibatkan lapisan epidermis dan dermis; dan full
thickness yang melibatkan epidermis, dermis, lapisan lemak, fascia,dan bahkan sampai
ketulang.
3. Berdasarkan proses penyembuhan, dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu:
a) Penyembuhan primer (healing by primary intention) Tepi luka bisa menyatu kembali,
permukaan bersih,tidak ada jaringan yang hilang. Biasanya terjadi setelah suatu insisi.
Penyembuhan luka berlangsung dari internal ke eksternal.
b) Penyembuhan sekunder (healing by secondary intention). Sebagian jaringan hilang,
proses penyembuhan berlangsung mulai dari pembentukan jaringan granulasi di dasar
luka dan sekitarnya.
c) Delayed primary healing (tertiary healing) Penyembuhan luka berlangsung lambat,
sering disertai infeksi, diperlukan penutupan luka secaramanual.

4. Berdasarkan lama penyembuhan bisa dibedakan menjadi akut dan kronis. Luka dikatakan
akut jika penyembuhan terjadi dalam 2-3 minggu. Sedangkan luka kronis adalah segala
jenis luka yang tidak ada tanda-tanda sembuh dalam jangka lebih dari4-6 minggu. Luka
insisi bisa dikategorikan luka akut jika proses penyembuhan berlangsung sesuai dengan
proses penyembuhan normal, tetapi bisa juga dikatakan luka kronis jika penyembuhan
terlambat (delayed healing) atau jika menunjukkan tanda-tanda infeksi.

B. PROSES PENYEMBUHAN LUKA


Luka akan sembuh sesuai tahapan spesifik yang dapat terjadi tumpang tindih. Fase
penyembuhan luka dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
1. Faseinflamasi:
a) Hari ke-0 sampai5.
b) Respons segera setelah terjadi injuri berupa pembekuan darah untuk
mencegah kehilangan darah.
c) Karakteristik: tumor, rubor, dolor, color, functiolaesa.
d) Fase awal terjadi hemostasis.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 4


e) Fase akhir terjadi fagositosis.
f) Lama fase ini bisa singkat jika tidak terjadiinfeksi.
2. Fase proliferasi atau epitelisasi
a) Hari ke-3 sampai14.
b) Disebut juga fase granulasi karena ada nya pembentukan jaringan granulasi; luka
tampak merah segar,mengkilat.
c) Jaringan granulasi terdiri dari kombinasi: fibroblas, sel infl amasi, pembuluh darah
baru, fibronektin, dan asam hialuronat.
d) Epitelisasi terjadi pada 24 jam pertama ditandai dengan penebalan lapisan
epidermis pada tepianluka.
e) Epitelisasi terjadi pada 48 jam pertama pada lukainsisi.
3. Fase maturasi atau remodelling
a) Berlangsung dari beberapa minggu sampai 2 tahun.
b) Terbentuk kolagen baru yang mengubah bentuk luka serta peningkatan kekuatan jaringan
(tensilestrength).
c) Terbentuk jaringan parut (scar tissue) 50- 80% sama kuatnya dengan jaringan
sebelumnya.
d) Pengurangan bertahap aktivitas seluler and vaskulerisasi jaringan yang
mengalami perbaikan.

Gambar 1. Fase inflamasi penyembuhan luka dimulai segera setelah terjadi kerusakan
jaringan dan fase awal hemostasis (Sumber: Gurtner GC, Thorme CH. Wound healing:
Normal and abnormal.6thed.Chapter2,Grabb and Smith’splastic surgery; 2007)

Gambar 2. Fase proliferasi penyembuhan luka pada hari ke-4 sampai 21 setelah terjadi
kerusakan jaringan/luka. Selama fase ini, jaringan granulasi menutup permukaan luka
dan keratosit bermigrasi untuk membantu penutupan luka dengan jaringan epitel baru
(Sumber: Gurtner GC, Thorme CH. Wound healing: Normal and abnormal. 6th ed.
Chapter 2, Grabb and Smith’s plastic surgery; 2007).

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 4


Gambar 3. Fase remodeling penyembuhan luka pada hari ke-21 sampai 1 tahun setelah
terjadi kerusakan jaringan/ luka. Fase ini merupakan fase terlama penyembuhan luka, di
mana fibrolas dan jaringan kolagen akan memperkuat penyembuhan luka (Sumber:
Gurtner GC, Thorme CH. Wound healing: Normal and abnormal. 6th ed. Chapter 2,
Grabb and Smith’s plastic surgery; 2007).

C. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PENYEMBUHANLUKA


1. Status imunologi atau kekebalan tubuh: Penyembuhan luka adalah proses biologis yang
kompleks, terdiri dari serangkaian peristiwa berurutan bertujuan untuk memperbaiki
jaringan yang terluka. Peran sistem kekebalan tubuh dalam proses ini tidak hanya untuk
mengenali dan memerangi antigen baru dari luka, tetapi juga untuk proses regenerasi sel.
2. Kadar gula darah: Peningkatan gula darah akibat hambatan sekresi insulin, sepertip ada
penderita diebetes melitus, juga menyebabkan nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel,
akibatnya terjadi penurunan protein dan kalori tubuh.
3. Rehidrasi dan pencucian luka: Dengan dilakukan rehidarasi dan pencucian luka, jumlah
bakteri di dalam luka akan berkurang, sehingga jumlah eksudat yang dihasilkan bakteri
akan berkurang.
4. Nutrisi: Nutrisi memainkan peran tertentu dalam penyembuhan luka. Misalnya, vitamin C
sangat penting untuk sintesis kolagen, vitamin A meningkatkan epitelisasi, dan seng (zinc)
diperlukan untuk mitosis sel dan proliferasi sel. Semua nutrisi, termasuk protein,
karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral, baik melalui dukungan parenteral maupun
enteral, sangat dibutuhkan. Malnutrisi menyebabkan berbagai perubahan metabolik yang
mempengaruhi penyembuhanluka.
5. Kadar albumin darah: Albumin sangat berperan untuk mencegah edema, albumin berperan
besar dalam penentuan tekanan onkotik plasma darah. Target albumin dalam penyembuhan
luka adalah 3,5-5,5 g/dl.
6. Suplaioksigendanvaskulerisasi:Oksigenmerupakanprasyaratuntukprosesreparatif, seperti
proliferasi sel, pertahanan bakteri, angiogenesis, dan sintesis kolagen. Penyembuhan luka
akan terhambat bila terjadi hipoksiajaringan.
7. Nyeri: Rasa nyeri merupakan salah satu pencetus peningkatan hormon
glukokortikoid yang menghambat proses penyembuhanluka.
8. Kortikosteroid: Steroid memiliki efek antagonis terhadap faktor-faktor pertumbuhan dan
deposisi kolagen dalam penyembuhan luka. Steroid juga menekan sistem kekebalan
tubuh/sistem imun yang sangat dibutuhkan dalam penyembuhanluka.

D. CARA PERAWATAN LUKA DENGAN MODERN DRESSING


Metode perawatan luka yang berkembang saat ini adalah menggunakan prinsip moisture
balance, yang disebutkan lebih efektif dibandingkan metode konvensional. Perawatan luka
menggunakan prinsip moisture balance ini dikenal sebagai metode modern dressing.
Selama ini, ada anggapan bahwa suatu luka akan cepat sembuh jika luka tersebut telah
mengering. Namun faktanya, lingkungan luka yang kelembapannya

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 4


seimbang memfasilitasi pertumbuhan sel dan proliferasi kolagen dalam matriks nonseluler
yang sehat. Pada luka akut, moisture balance memfasilitasi aksi faktor pertumbuhan,
cytokines, dan chemokines yang mempromosi pertumbuhan sel dan menstabilkan matriks
jaringan luka. Jadi, luka harus dijaga kelembapannya. Lingkungan yang terlalu lembap dapat
menyebabkan maserasi tepi luka, sedangkan kondisi kurang lembap menyebabkan kematian
sel, tidak terjadi perpindahan epitel dan jaringan matriks.
Perawatan luka modern harus tetap memperhatikan tiga tahap, yakni mencuci
luka,membuang jaringan mati,dan memilih balutan. Mencuci luka bertujuan menurunkan
jumlah bakteri dan membersihkan sisa balutan lama, debridement jaringan nekrotik atau
membuang jaringan dan selmati dari permukaan luka. Perawatan luka konvensional harus
sering mengganti kain kasa pembalut luka, sedangkan perawatan luka modern memiliki
prinsip menjaga kelembapan luka dengan menggunakan bahan seperti hydrogel.
Hydrogel berfungsi menciptakan lingkungan luka tetap lembap,melunakkan serta
menghancurkan jaringan nekrotik tanpa merusak jaringan sehat, yang kemudian terserap ke
dalam struktur gel dan terbuang bersama pembalut (debridemen autolitik alami).
Balutan dapat diaplikasikan selama tiga sampai lima hari, sehingga tidak sering
menimbulkan trauma dan nyeri pada saat penggantian balutan. Jenis modern dressing lain,
yakni Ca Alginat, kandungan Ca-ya dapat membantu menghentikan perdarahan. Kemudian
ada hidro selulosa yang mampu menyerap cairan dua kali lebih banyak dibandingkan Ca
Alginat. Selanjutnya adalah hidrokoloid yang mampu melindungi dari kontaminasi air dan
bakteri, dapat digunakan untuk balutan primer dan sekunder. Penggunaan jenis modern
dressing disesuaikan dengan jenis luka. Untuk luka yang banyak eksudatnya seperti foam,
sedangkan pada luka yang sudah mulai tumbuh granulasi, diberi gel untuk membuat suasana
lembap yang akan membantu mempercepat penyembuhan luka.

Gambar 4. Luka dengan warna dasar merah tua atau terang dan selalu tampak lembap
merupakan luka bersih dengan banyak vaskulerisasi, karenanya luka mudah berdarah.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 4


Gambar 5. Luka dengan warna dasar kuning/kuning kecoklatan/kuning kehijauan/kuning
pucat adalah jaringan nekrosis merupakan kondisi luka yang terkontaminasi atau terinfeksi
dan avaskuler.

Gambar 6. Luka dengan warna dasar hitam adalah jaringan nekrosis, merupakan jaringan
vaskuler

E. PENGKAJIAN LUKA
1. Status nutrisi pasien: BMI (body mass index), kadaralbumin
2. Status vaskuler: Hb,TcO2
3. Status imunitas: terapi kortikosteroid atau obat-obatan imunosupresan yanglain
4. Penyakit yang mendasari: diabetes atau kelainan vaskulerisasilainnya7
5. Kondisi luka:
a) Warna dasar luka Dasar pengkajian berdasarkan warna: slough (yellow), necrotic tissue
(black), infected tissue (green), granulating tissue (red), epithelialising (pink).
b) Lokasi, ukuran, dan kedalamanluka
c) Eksudat danbau
d) Tanda-tanda infeksi
e) Keadaan kulit sekitar luka: warna dankelembapan
f) Hasil pemeriksaan laboratorium yang mendukung
6. Berdasarkan kondisi warna luka, metode yang sering dikenal adalah
RYB/RedYellow Black (Merah – Kuning –Hitam).
a) Luka dasar merah (Gambar 4): Tujuan perawatan luka dengan warna dasar merah
adalah mempertahankan lingkungan luka dalam keadaan lembap, mencegah
trauma/perdarahan serta mencegaheksudat.
b) Luka dasar kuning (Gambar 5): Tujuan perawatan adalah meningkatkan sistem autolisis
debridement agar luka berwarna merah, kontrol eksudat, menghilangkan bau tidak
sedap dan mengurangi/menghindari kejadianinfeksi.
c) Luka dasar hitam (Gambar 6): Tujuan perawatan sama dengan luka dasar warna
kuning, yaitu pembersihan jaringan mati dengan debridement, baik dengan autolysis
debridement maupun denganpembedahan.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 5


F. PENYEMBUHAN LUKA DENGAN MODERN WOUND DRESSING
1. Prinsip dan kaidah
Prinsip dan Kaidah Balutan luka (wound dressings) telah mengalami perkembangan sangat
pesat selama hampir dua dekade ini. Teori yang mendasari perawatan luka dengan suasana
lembap antara lain:
a) Mempercepat fibrinolisis.Fibrin yang terbentuk pada luka kronis dapat dihilangkan lebih
cepat oleh neutrofil dan sel endotel dalam suasana lembap.
b) Mempercepat angiogenesis. Keadaan hipoksia pada perawatan luka tertutup akan
merangsang pembentukan pembuluh darah lebihcepat.
c) Menurunkan risiko infeksi; kejadian infeksi ternyata relatif lebih rendah jika
dibandingkan dengan perawatan kering.
d) Mempercepat pembentukan growth factor. Growth factor berperan pada proses
penyembuhan luka untuk membentuk stratum korneum danangiogenesis.
e) Mempercepat pembentukan sel aktif. Pada keadaan lembap, invasi neutrofil yang diikuti
oleh makrofag, monosit, dan limfosit ke daerah luka berlangsung lebih dini.
2. Pemilihan BalutanLuka
Saat ini, lebih dari 500 jenis modern wound dressing dilaporkan tersedia untuk menangani
luka kronis. Bahan modern wound dressing dapat berupa hidrogel, film dressing,
hydrocolloid, calcium alginate, foam/absorbant dressing, antimicrobial dressing,
antimicrobial hydrophobic.
a) Hidrogel
1) Dapat membantu proses peluruhan jaringan nekrotik oleh tubuh sendiri. Berbahan
dasar gliserin/air yang dapat memberikan kelembapan; digunakan sebagai dressing
primer dan memerlukan balutan sekunder (pad/kasa dan transparent film). Topikal ini
tepat digunakan untuk luka nekrotik/berwarna hitam/kuning dengan eksudat minimal
atau tidakada.
2) Indikasi: luka dengan epitelisasi, low exudate, lukainsisi.

3) Kontraindikasi: luka terinfeksi, eksudat banyak.


b) Hydrocolloid
1) Balutan ini berfungsi mempertahankan luka dalam suasana lembap, melindungi luka
dari trauma dan menghindarkan luka dari risiko infeksi, mampu menyerap eksudat
tetapi minimal; sebagai dressing primer atau sekunder, support autolysis untuk
mengangkat jaringan nekrotik atau slough. Terbuat daripektin, gelatin,
carboxymethylcellulose, danelastomers.
2) Indikasi: luka berwarna kemerahan dengan epitelisasi, eksudatminimal.
3) Kontraindikasi: luka terinfeksi atau luka gradeIII-IV.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 5


c) Calcium Alginate
1) Digunakan untuk dressing primer dan masih memerlukan balutan sekunder.
Membentuk gel di atas permukaan luka; berfungsi menyerap cairan luka yang
berlebihan dan menstimulasi proses pembekuan darah.Terbuat dari rumput laut yang
berubah menjadi gel jika bercampur dengan cairan luka.
2) Indikasi: luka dengan eksudat sedang sampaiberat.
3) Kontraindikasi: luka dengan jaringan nekrotik dan kering. Tersedia dalam bentuk
lembaran dan pita, mudah diangkat dandibersihkan.
d) Foam/absorbantdressing
1) Balutan ini berfungsi untuk menyerap cairan luka yang jumlahnya sangat banyak
(absorbant dressing), sebagai dressing primer atau sekunder. Terbuat dari
polyurethane; non-adherent wound contact layer, highlyabsorptive.
2) Indikasi: eksudat sedang sampaiberat.
3) Kontraindikasi: luka dengan eksudat minimal, jaringan nekrotikhitam.

e) Dressing Anti mikrobial


Balutan mengandung silver 1,2% dan hydrofi ber dengan spektrum luas termasuk
bakteri MRSA (methicillin-resistant Staphylococcus aureus). Balutan ini digunakan
untuk luka kronis dan akut yang terinfeksi atau berisiko infeksi. Balutan antimikrobial
tidak disarankan digunakan dalam jangka waktu lama dan tidak direkomendasikan
bersama cairan NaCl0,9%.
Antimikrobial Hydrophobic Terbuat dari diakylcarbamoil chloride, nonabsorben, non-
adhesif. Digunakan untuk luka bereksudat sedang – banyak, luka terinfeksi, dan
memerlukan balutan sekunder.

f) Medical Collagen Sponge


Terbuat dari bahan collagen dan sponge. Digunakan untuk merangsang percepatan
pertumbuhan jaringan luka dengan eksudat minimal dan memerlukan balutan sekunder.

G. BAHAN BACAAN

Rippon M, White R, Davies P. Skin adhesives and their role in wound dressings.
Wounds UK 2007; 3(4):76-86.
Ropper R. Principles of wound assessment and management. Practice Nurse 2006;31: 4.
Sibbald RG, Keast DH. Best practice recommendations for preparing the wound bed: Update
2006, clinical practice, wound care. Canada; 2006:4(1).

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 5


SISTEM NEUROLOGI
PEMERIKSAAN 12 SARAF KRANIAL

A. LEARNING OUTCOME
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan saraf kranialis.

B. TINJAUAN TEORI
Saraf kranial dibagi menjadi 12 jenis, yakni :
1. Saraf I (N. Olfaktorius)
Pemeriksaan dapat secara subyektif dan obyektif. Subyektif hanya ditanyakan
apakah penderita masih dapat membaui bermacam-macam bau dengan betul.
Obyektif dengan beberapa bahan yang biasanya sudah dikenal oleh penderita dan biasanya
bersifat aromatik dan tidak merangsang seperti : golongan minyak wangi, sabun,
tembakau, kopi, vanili, dan sebagainya (3 atau 4 macam). Bahan yang merangsang mukosa
hidung (alkohol, amonia) tidak dipakai karena akan merangsang saraf V. Yang penting
adalah memeriksa kiri, kanan dan yang diperiksa dari yang normal. Ini untuk pegangan,
sebab tiap orang tidak sama. Kemudian abnormal dibandingkan dengan yang normal.
Tetapi dalam pembuatan status dilaporkan yang abnormal dahulu.

Cara Pemeriksaan :
 Kedua mata ditutup
 Lubang hidung ditutup
 Dilihat apakah tidak ada gangguan pengaliran udara
 Kemudian bahan satu persatu didekatkan pada lubang hidung yang terbuka dan penderita
diminta menarik nafas panjang, kemudian diminta mengidentifikasi bahan tersebut.

Yang harus diperhatikan pada pemeriksaan adalah :


 Penyakit pada mukosa hidung, baik yang obstruktif (rinitis) atau atropik (ozaena) akan
menimbulkan positif palsu.
 Pada orangtua fungsi pembauan bisa menurun (hiposmia).
 Yang penting adalah gangguan pembauan yang sesisi (unilateral) tanpa kelainan
intranasal dan kurang disadari penderita (kronik), perlu dipikirkan suatu glioma lobus
frontalis, meningioma pada crista sphenoidalis dan tumor parasellar. Fungsi pembauan
juga bisa hilang pada trauma kapitis (mengenai lamina cribosa yang tipis) dan meningitis
basalis (sifilis, tuberkulosa).
 Untuk membedakan hambatan pembauan karena penyebab psychic dengan organik,
pemeriksaan tidak hanya memakai zat yang merangsang N II, tapi juga yang merangsang
N V (seperti amoniak). Meskipun N I tidak dapat membau karena rusak, tetapi N V tetap
dapat menerima rangsangan amoniak. Bila dengan amoniak tetap tidak membau apa-apa
maka kemungkinan kelainan psycis.
Gambar 1 Pemeriksaan Nervus Olfaktorius

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 5


2. Saraf II (N. Opticus)
Pemeriksaan meliputi :
2.1. Penglihatan sentral
Untuk keperluan praktis, membedakan kelainan refraksi dengan retina digunakan PIN
HOLE (apabila penglihatan menjadi lebih jelasmaka berarti gangguan visus akibat
kelainan refraksi). Lebih tepat lagi dengan optotype Snellen. Yang lebih sederhana lagi
memakai jari-jari tangan dimana secara normal dapat dilihat pada jarak 60 m dan
gerakan tangan dimana secara normal dapat dilihat pada jarak 300 m.
Gambar 2 Pemeriksaan Penglihatan Sentral

2.2. Penglihatan
Perifer
Penglihan Perifer diperiksa dengan :
a. Tes Konfrontasi.
 Pasien diminta untuk menutup satu mata, kemudian menatap mata
pemeriksa sisi lain.
 Mata pemeriksa juga ditutup pada sisi yang lain, agar sesuai
denganlapang pandang pasien.
 Letakkan jari tangan pemeriksa atau benda kecil pada lapang pandang pasien
dari 8 arah.
 Pasien diminta untuk menyatakan bila melihat benda tersebut.
Bandingkan lapang pandang pasien dengan lapang pandang pemeriksa.
 Syarat pemeriksaan tentunya lapang pandang pemeriksa harus normal.

Gambar 3 Pemeriksaan Penglihatan Perifer


b. Perimetri/Kampimetri
Biasanya terdapat di bagian mata dan hasilnya lebih teliti daripada tes konfrontasi.
2.3. Melihat warna
Persepsi warna dengan gambar stilling Ishihara. Untuk mengetahui adanya
polineuropati pada N II.
2.4. Pemeriksaan Fundus Occuli
Pemeriksaan ini menggunakan alat oftalmoskop. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
melihat apakah pada papilla N II terdapat :
a. Stuwing papil atau protusio N II
Kalau ada stuwing papil yang dilihat adalah papilla tersebut mencembung atau
menonjol oleh karena adanya tekanan intra cranial yang meninggi dan disekitarnya
tampak pembuluh darah yang berkelok-kelok dan adanya bendungan.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 5


b. Neuritis N II
Pada neuritis N II stadium pertama akan tampak adanya edema tetapi papilla tidak
menyembung dan bial neuritis tidak acut lagi akan terlihat pucat.
Dengan oftalmoskop yang perlu diperhatikan adalah :
 Papilla N II, apakah mencembung batas-batasnya.
 Warnanya
 Pembuluh darah
 Keadaan Retina.

Gambar 4 Pemeriksaan Nervus II


Papilledema. Note swelling of the disc, hemorrhages, and exudates, with preservation of the
physiologic cup.

Optic Atrophy. Note the chalky white disc with discrete margins. Opticatrophy is a late finding
with increased intracranial pressure.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 5


Central Retinal Artery Occlusion. Note the diffusely pale retina and prominent central fovea
which is usually blended in with the normal, pink retina.

Central Retinal Vein Occlusion. The disc is massively swollen with diffuse
hemorrhages and cotton-wool spots.

Proliferative Diabetic Retinopathy. Note the multiple hemorrhages, exudates and


neovascularization throughout the retina. Chorioretinal striae extend
towards the area of fibrovascular proliferation in the lower portion of the
photograph.

c. Saraf III (N. Oculo-Motorius)


Pemeriksaan meliputi :
1. Retraksi kelopak mata atas Bisa didapatkan pada keadaan :
 Hidrosefalus (tanda matahari terbit)
 Dilatasi ventrikel III/aquaductus Sylvii
 Hipertiroidisme

Gambar 5 Pemeriksaan Nervus Oculo-Motorius

2. Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat kedepan, maka batas kelopak mata atas
akan memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Bila salah satu kelopak mata
atas memotong iris lebih rendah daripada mata yang lain, atau bila pasien
mendongakkan kepala ke belakang/ ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau
mengangkat alis mata secara kronik dapat dicurigai sebagai ptosis.
Penyebab Ptosis adalah:
 False Ptosis : enophtalmos (pthisis bulbi), pembengkakan kelopak mata (chalazion).

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 5


 Disfungsi simpatis (sindroma horner).
 Kelumpuhan N. III
 Pseudo-ptosis (Bell’s palsy, blepharospasm)
 Miopati (miastenia gravis).

Gambar 6 Kelumpuhan Nervus Oculo-Motorius


3. Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi :
 Bentuk dan ukuran pupil.
Bentuk yang normal adalah bulat, jika tidak maka ada kemungkinan bekas operasi
mata. Pada sifilis bentuknya menjadi tidak teratur atau lonjong
/segitiga. Ukuran pupil yang normal kira-kira 2-3 mm (garis tengah). Pupil yang
mengecil disebut Meiosis, yang biasanya terdapat pada Sindroma Horner, pupil Argyl
Robertson( sifilis, DM, multiple sclerosis). Sedangkan pupil yang melebar disebut
mydriasis, yang biasanya terdapat pada parese/ paralisa m. sphincter dan kelainan
psikis yaitu histeris
 Perbandingan pupil kanan dengan kiri
Perbedaan diameter pupil sebesar 1 mm masih dianggal normal. Bila antara pupil
kanan dengan kiri sama besarnya maka disebut isokor. Bila tidak sama besar disebut
anisokor. Pada penderita tidak sadar maka harus dibedakan apakah anisokor akibat lesi
non neurologis(kelainan iris, penurunan visus) ataukah neurologis (akibat lesi batang
otak, saraf perifer N. III, herniasi tentorium.

 Refleks pupil Terdiri atas :


- Reflek cahaya
Diperiksa mata kanan dan kiri sendiri-sendiri. Satu mata ditutup dan penderita
disuruh melihat jauh supaya tidak ada akomodasi dan supaya otot sphincter
relaksasi. Kemudian diberi cahaya dari samp ing mata. Pemeriksa tidak boleh
berada ditempat yang cahayanya langsung mengenai mata. Dalam keadaan normal
maka pupil akan kontriksi. Kalau tidak maka ada kerusakan pada arcus reflex
(mata---N. Opticus---pusat---N. Oculomotorius)

Gambar 7 Pemeriksaan Reflek Cahaya pada Pupil

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 5


- Reflek akomodasi
Penderita disuruh melihat benda yang dipegang pemeriksa dan disuruh mengikuti
gerak benda tersebut dimana benda tersebut digerakkan pemeriksa menuju bagian
tengah dari kedua mata penderita. Maka reflektoris pupil akan kontriksi.
Reflek cahaya dan akomodasi penting untuk melihat pupil Argyl Robetson dimana
reflek cahayanya negatif namun reflek akomodasi positif.

Gambar 8 Reflek Akomodasi


- Reflek konsensual
Adalah reflek cahaya disalah satu mata, dimana reaksi juga akan terjadi pada mata
yang lain. Mata tidak boleh langsung terkena cahaya, diantara kedua mata
diletakkan selembar kertas. Mata sebelah diberi cahaya, maka normal mata yang
lain akan kontriksi juga.

4. Gerakan bola mata (bersama-sama dengan N. IV dan VI)


Gerakan bola mata yang diperiksa adalah yang diinervasi oleh nervus III, IV dan VI.
Dimana N III menginervasi m. Obliq inferior (yang menarik bala mata keatas), m. rectus
superior, m. rectus media, m. rectus inferior. N IV menginervasi
m. Obliq Superior dan N VI menginervasi m. rectus lateralis.
N III selain menginervasi otot-otot mata luar diatas juga menginervasi otot sphincter
pupil. Pemeriksaan dimulai dari otot-otot luar yaitu penderita disuruh mengikuti suatu
benda kedelapan jurusan.
Yang harus diperhatikan ialah melihat apakah ada salah satu otot yang lumpuh. Bila
pada 1 atau 2 gerakan mata ke segala jurusan dari otot-otot yang disarafi N III berkurang
atau tidak bisa sama sekali, maka disebut opthalmoplegic externa. Kalau yang parese otot
bagian dalam (otot sphincter pupil) maka disebut opthalmoplegic interna.
Jika hanya ada salah satu gangguan maka disebut opthalmoplegic partialis, sedangkan
kalau ada gangguan kedua macam otot luar dan dalam disebut opthalmoplegic totalis

5. Sikap Bola Mata


Sikap bola mata yaitu kedudukan mata pada waktu istirahat. Kelainan
 Kelaian yang tampak diantaranya adalah :
- Exopthalmus, dimana mata terdorong kemuka karena proses mekanis
retroorbital

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 5


- Strabismus yang dapat divergen atau convergen.Secara subyektif ditanyakan apakah
ada diplopia. Pemeriksaan subyektif ini penting karena kadang-kadang strabismus
yang ringan tak kelihatan pada pemeriksaan obyektif.
- Nystagmus atau gerakan bola mata yang spontan. Dalam hal ini tidak hanya
memeriksa otot-otot yang menggerakkan bola mata sja, tetapi sekaligus melihat
adanya kelainan dalam keseimbangan atau N VIII.
- Deviasi conjugae, adalah sikap bola mata yang dalam keadaan istirahat menuju
kesatu jurusan tanpa dapat dipengaruhi oleh kesadaran, dengan sumbu kedua mata
tetap sejajar secara terus- menerus. Lesi penyebab bisa di lobus frontalis atau di
batang otak, bisa lesi destruktif (infark) atau irirtatif (jaringan sikatriks post trauma/
epilepsi fokal & perdarahan)

d. Saraf V (N.
Trigeminus)
Pemeriksaan meliputi :
1. Sensibilitas
Sensibilitas N V ini dapat dibagi 3 yaitu :
- bagian dahi, cabang keluar dari foramen supraorbitalis
- bagian pipi, keluar dari foramen infraorbitalis
- bagian dagu, keluar dari foramen mentale.
Pemeriksaan dilakukan pada tiap cabang dan dibandingkan kanan dengan kiri.

2. Motorik
Penderita disuruh menggigit yang keras dan kedua tangan pemeriksa ditruh kira- kira
didaerah otot maseter. Jika kedua otot masseter berkontraksi maka akan terasa pada tangan
pemeriksa. Kalau ada parese maka dirasakan salah satu otot lebih keras.
3. Reflek

Penderita diminta melirik kearah laterosuperior, kemudian dari arah lain tepi kornea
disentuhkan dengan kapas agak basah. Bila reflek kornea mata positif, maka mata akan
ditutupkan.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 5


e. Saraf VII (N. Facialis)
A. Dalam keadaan diam, perhatikan :
- asimetri muka (lipatan nasolabial)
- gerakan-gerakan abnormal (tic fasialis, grimacing, kejang tetanus/rhesus sardonicus,
tremor, dsb)
B. Atas perintah pemeriksa
1. Mengangkat alis, bandingkan kanan dengan kiri.
2. Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri), kemudian pemeriksa mencoba
membuka kedua mata tersebut (bandingkan kekuatan kanan dan kiri).
3. Memperlihatkan gigi (asimetri).
4. Bersiul dan mencucu (asimetri/deviasi ujung bibir).
5. Meniup sekuatnya (bandingkan kekuatan udara dari pipi masing- masing).
6. Menarik sudut mulut ke bawah (bandingkan konsistensi otot platisma kanan dan kiri).
Pada kelemahan ringan, kadang-kadang tes ini dapat untuk mendeteksi kelemahan
saraf fasialis pada stadium dini.

C. Sensorik khusus (pengecapan 2/3 depan lidah)


Melalui chorda tympani. Pemeriksaan ini membutuhkan zat-zat yang mempunyai rasa :
- manis, dipakai gula
- pahit, dipakai kinine
- asin, dipakai garam
- asam, dipakai cuka
Paling sedikit menggunakan 3 macam. Penderita tidak boleh menutup mulut dan
mengatakan perasaannya dengan menggunakan kode-kode yang telah disetujui bersama
antara pemeriksa dan penderita. Penderita diminta membuka mulut dan lidah dikeluarkan.
Zat-zat diletakkan di 2/3 bagian depan lidah. Kanan dan kiri diperiksa sendiri-sendiri,
mula-mula diperiksa yang normal.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 6


f. Saraf VIII (N. Acusticus)
Pemeriksaan pendengaran
1. Detik arloji
Arloji ditempelkan ditelinga, kemudian dijauhkan sedikit demi sedikit, sampai tak mendengar
lagi, dibandingkan kanan dan kiri.

2. Gesekan jari

3. Tes Weber
Garpu tala yang bergetar ditempelkan dipertengahan dahi. Dibandingkan mana yang lebih
keras, kanan/ kiri.

4. Tes Rinne
Garpu tala yang bergetar ditempelkan pada Processus mastoideus. Sesudah tak mendengar
lagi dipindahkan ke telinga maka terdengar lagi. Ini karena penghantaran udara lebih baik
daripada tulang.

Pemeriksaan dengan garpu tala penting dalam menentukan nervus eafness atau tranmission
deafness. Pemeriksaan pendengaran lebih baik kalau penderita ditutup matanya untuk
menghindari kebohongan.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 6


g. Saraf IX-X (N. Glossopharyngeus-N. Vagus)
Pemeriksaan saraf IX dan X terbatas pada sensasi bagian belakang rongga mulut atau 1/3
belakang lidah dan faring, otot-otot faring dan pita suara serta reflek muntah/menelan/batuk.
a. Gerakan Palatum Penderita diminta mengucapkan huruf a atau ah dengan panjang,
sementara itu pemeriksa melihat gerakan uvula dan arcus pharyngeus. Uvula akan berdeviasi
kearah yang normal (berlawanan dengan gerakan menjulurkan lidah pada waktu
pemeriksaan N XII).

b. Reflek Muntah dan pemeriksaan sensorik


Pemeriksa meraba dinding belakang pharynx dan bandingkan refleks muntah kanan
dengan kiri. Refleks ini mungkin menhilang oada pasien lanjut usia.

c. Kecepatan menelan dan kekuatan batuk

h. Saraf XI (N. Accesssorius) Hanya mempunyai komponen motorik. Pemeriksaan :


a. Kekuatan otot sternocleidomastoideus diperiksa dengan menahangerakan fleksi lateral
dari kepala/leher penderita atau sebaliknya (pemeriksa yang melawan/ mendorong
sedangkan penderita yangmenahan pada posisi lateral fleksi).

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 6


b. Kekuatan m. Trapezius bagian atas diperiksa dengan menekan kedua bahu penderita
kebawah, sementara itu penderita berusaha mempertahankan posisi kedua bahu
terangkat (sebaliknya posisi penderita duduk dan pemeriksa berada dibelakang
penderita)

i. Saraf XII (N. Hypoglossus)


Pada lesi LMN, maka akan tamapk adanya atrofi lidah dan fasikulasi (tanda dini berupa
perubahan pada pinggiran lidah dan hilangnya papil lidah) Pemeriksaan :
a. Menjulurkan lidah
Pada lesi unilateral, lidah akan berdeviasi kearah lesi. Pada Bell,s palsy
(kelumpuhan saraf VII) bisa menimbulkan positif palsu.
b. Menggerakkan lidah kelateral
Pada kelumpuhan bilateral dan berat, lidah tidak bisa digerkkan kearah samping kanan dan
kiri.
c. Tremor lidah
Diperhatikan apakah ada tremor lidah dan atropi. Pada lesi perifer maka tremor dan atropi
papil positip
d. Articulasi
Diperhatikan bicara dari penderita. Bila terdapat parese maka didapatkan dysarthria.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 6


PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS

A. Tujuan Pembelajaran
Pada akhir pembelajaran, mahasiswa mampu :
1. Mengetahui defenisi pemeriksaan reflek fisiologis
2. Indikasi pemeriksaan reflek fisiologis
3. Melakukan prosedur pemeriksaan reflek fisiologis
dengan baik dan benar
4. Menjelaskan parameter normal hasil pemeriksaan reflek
fisiologis
5. Melakukan interpretasi hasil pemeriksaan reflek
fisiologis

B. Tinjauan Teori
Reflek adalah jawaban terhadap suatu rangsang. Sedangkan
reflek fisiologis adalah mucle stretch reflexes sebagai jawaban
atas perangsangan tendo, periosteum, tulang, sendi, fasia,
aponeurosis, kulit, semua impuls perseptif termasuk panca indera
dimana respon tersebut muncul pada orang normal. Semua
gerakan yang bersifat reflektorik merupakan suatu usaha tubuh
untuk menyesuaikan diri bahkan membela diri. Gerakan
reflektorik dapat dilakukan oleh semua otot seran lintang.
Pemeriksaan reflek fisiologis merupakan satu kesatuan
dengan pemeriksaan neurologi lainnya, dan terutama dilakukan
pada kasus-kasus mudah lelah, sulit berjalan,
kelemahan/kelumpuhan, kesemutan, nyeri otot anggota gerak,
gangguan trofi otot anggota gerak, nyeri punggung/pinggang
gangguan fungsi otonom.
Interpretasi pemeriksaan reflek fisiologis tidak hanya
menentukan ada/tidaknya tapi juga tingkatannya. Adapun kriteria
penilaian hasil pemeriksaan reflek fisiologis adalah sebagai
berikut :

Panduan Praktikum Laboratorium Semester


VII
Tendon Reflex Grading Scale
Grade Description
0 Absent
1 + or + Hypoactive
2 + or ++ *Normal*
3 + or +++ Hyperactive without clonus
4 + or ++++ Hyperactive with clonus
Suatu reflek dikatakan meningkat bila daerah perangsangan meluas,
dan Respon gerak reflektorik meningkat dari keadaan normal.
Rangsangan yang diberikan harus cepat dan langsung, kerasnya
rangsangan tidak boleh melebihi batas sehingga justru melukai pasien.
Sifat reaksi setelah perangsangan tergantung tonus otot sehingga otot
yang diperiksa sebaiknya dalam keadaan sedikit kontraksi, dan bila
hendak dibandingkan dengan sisi kontralateralnya maka posisi
keduanya harus simetris.

C. Alat dan Bahan


Palu reflek terbuat dari karet
D. Prosedur Tindakan Pelaksanaan
- Penentuan lokasi pengetukan yaitu tendon, periosteum dan kulit
- Anggota gerak yang akan diketuk harus dalam keadaan santai
Bandingkan dengan sisi lainnya dalam posisi yang simetri.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester


VII
REFLEK FISIOLOGIS DI EKSTREMITAS ATAS :
1. Reflek bisep :
a. Pasien duduk santai
b. Lengan rileks, posisi antara fleksi dan ekstensi dan
sedikit pronasi,lengan diletakkan di atas lengan
pemeriksa
c. Ibu jari pemeriksa diletakkan diatas tendo bisep, lalu
pukullah ibu jaritadi dengan palu reflek
d. Respon : fleksi ringan di siku.
2. Reflek trisep
a. Pasien duduk rileks
b. lengan pasien diletakkan di atas lengan pemeriksa
c. Pukullah tendo trisep melalui fosa olekrani
d. Respon : ekstensi lengan bawah di siku.
3. Reflek brakhioradialis :
a. Posisi pasien sama dengan pemeriksaan reflek bisep
b. Pukullah tendo brakhioradialis pada radius distal
dengan palu reflek
c. Respon : muncul terakan menyentak pada lengan
4. Reflek periosteum radialis :
a. Lengan bawah sedikit di fleksikan pada sendi siku dan tangan
sedikit dipronasikan
b. Ketuk periosteum ujung distal os. Radialis
c. Respon : fleksi lengan bawah dan supinasi lengan
5. Reflek periosteum ulnaris :
a. Lengan bawah sedikit di fleksikan pada siku, sikap
tangan antarasupinasi dan pronasi
b. Ketukan pada periosteum os. Ulnaris.
c. Respon : pronasi tangan.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester


VII
REFLEK FISIOLOGIS EKSTRMITAS BAWAH :
1. Reflek patela :
a. Pasien duduk santai dengan tungkai menjuntai
b. Raba daerah kanan-kiri tendo untuk menentukan daerah yang tepat
c. Tangan pemeriksa memegang paha pasien
d. Ketuk tendo patela dengan palu reflek menggunakan tangan yang lain.
e. Respon : pemeriksa akan merasakan kontraksi otot kuadrisep, ekstensi tungkai bawah.
2. Reflek Kremaster :
a. Ujung tumpul palu reflek digoreskan pada paha bagian medial
b. Respon : elevasi testis ipsilateral
3. Reflek Plantar :
a. Telapak kaki pasien digores dengan ujung tumpul palu reflek.
b. Respon : plantar fleksi kaki dan fleksi semua jari kaki.
4. Reflek Gluteal :
a. Bokong pasien digores dengan ujung tumpul palu reflek
b. Respon : kontraksi otot gluteus ipsilateral.
5. Reflek anal eksterna :
a. Kulit perianal digores dengan ujung tumpul palu reflek
b. Respon : kontraksi otot sfingter ani eksterna.

PEMERIKSAAN REFLEK PATOLOGIS


Reflek Babinski
- Posisi penderita terlentang
- Gores dengan benda lancip tapi tumpul pada telapak kaki : dari bawah lateral, keatas menuju
ibu jari kaki.
- Amati gerakan jari-jari kaki
Hasil :
Normal : gerakan dorsofleksi ibu jari, jari yang lain meregang
Abnormal : terjadi gerakan mencekeram jari-jari kaki

PEMERIKSAAN REFLEK MENINGEAL


(Meningeal Sign)
1. Kaku Kuduk
 Pasien posisi berbaring
 Fleksi kepala, dengan mengangkat kepala agak cepat Hasil
: + terdapat tahanan kuat
2. Tanda kernig
 Posisi pasien berbaring
 Angkat kaki, dan luruskan kaki pada lututnya
Hasil :
Normal : kaki dapat lurus, atau tahanan dengan sudut minimal 120 derajat
Abnormal ( + ) : terjadi tahanan < 1 20 dan nyeri pada paha.
3. Buzinsky 1
 Posisi pasien berbaring
 Fleksi kepala, dengan mengangkat kepala agak cepat
 Perhatikan gerakan tungkai kaki
Hasil : + bila terjadi fleksi tungkai, bersamaan dengan fleksi kepala
4. Buzinsky 2
 Posisi pasien berbaring
 Lakukan fleksi pada lutut kaki
 Amati kaki sebelahnya
Hasil : + bila kaki sebelahnya mengikuti gerakan fleksi

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 6


PEMERIKSAAN FISIK

PEMERIKSAAN SISTEM INTEGUMEN


KULIT
Tujuan :
 Melakukan pemeriksaan kulit,kuku dan rambut
 Mengidentifikasi kelainan yang ditemukan pada pemeriksaanintegument Cara
Kerja
A. Inspeksi
1. Warna kulit
Normal : nampak lembab, Kemerahan
Abnormal : cyanosis / pucat
2. Tekstur kulit
Normal : tegang dan elastis ( dewasa ), lembek dan kurang elastis ( orang tua )
Abnormal : menurun  dehidrasi
nampak tegang  odema, peradangan
3. Kelainan / lesi kulit
Normal : tidak terdapat
Abnormal : Terdapat lesi kulit, tentukan :
1) Bentuk Lesi
1. Lesi Primer : bulla, macula, papula, plaque, nodula, pigmentasi, hypopigmentasi, pustula
2. Lesi Sekunder : Tumor, crusta, fissura, erosi, vesikel, eskoriasi, lichenifikasi, scar,
ulceratif.
2) Distribusi dan konfigurasinya.
General, Unilateral, Soliter, Bergerombol
B. Palpasi
1. Tekstur dan konsistensi
Normal : halus dan elastis
Abnormal : kasar, elastisitas menurun, elastisitas meningkat ( tegang )
2. Suhu
Normal : hangat
Abnormal : dingin ( kekurangan oksigen/sirkulasi ), suhu meningkat ( infeksi )
3. Turgor kulit
Normal : baik
Abnormal : menurun / jelek  orang tua, dehidrasi
4. Adanya hyponestesia/anestesia
Adanya nyeri

Pemeriksaan Khusus
AKRAL
1) Inspeksi dan palpasi jari-jari tangan, catat warna dan suhu .
Normal : tidak pucat, hangat
Abnormal : pucat, dingin  kekurangan oksigen

CR ( capilari Refiil )
2) Tekan Ujung jari berarapa detik, kemudian lepas, catat perubahan warna
Normal : warna berubah merah lagi < 3 detik
Abnormal : > 3 detik  gangguan sirkulasi.

ODEM
3) Tekan beberapa saat kulit tungkai, perut, dahi amati adanya lekukan ( pitting )
Normal : tidak ada pitting
Abnormal : terdapat pitting ( non pitting pada beri-beri )

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 6


KUKU
4) Observasi warna kuku, bentuk kuku, elastisitas kuku, lesi, tanda radang
Abnormal :
5) Jari tabuh ( clumbing Finger )  penykait jantung kronik
6) Putih tebal  jamur

RAMBUT TUBUH
Ispeksi distribusi, warna dan pertumbuhan rambut

PEMERIKSAAN SISTEM RESPIRASI

Tujuan :
 Mengidentifikasi kelaian bentuk dada
 Mengevaluasi fungsi paru

A. Inspeksi
Cara Kerja :
1. Posisi pasien dapat duduk dan atau berbaring
2. Dari arah atas tentukan kesimetrisan dada, Normalnya : simetris,
3. Dari arah samping dan belakang tentukan bentuk dada.
4. Dari arah depan, catat : gerakan napas dan tanda-tanda sesak napas
 Normalnya : Gerak napas simetris 16 – 24 x/menit, abdominal/ thorakoabdominal, tidak
ada penggunaan otot napas dan retraksi interkostae.
 Abnormal :
 Tarchipneu napas cepat ( > 24 x/menit ) , misal ; pada demam, gagal jantung
 Bradipneu napas lambat ( < 16 x/menit ), misal ;pada uremia, koma DM,
stroke
 Cheyne Stokes napas dalam, kemudian dangkal dan diserta apneu berulang- ulang.
Misal : pada Stroke, penyakit jantung, ginjal.
 Biot Dalam dan dangkal disertai apneu yang tidak teratur, misal : meningitis.
 Kusmoul  Pernapasan lambat dan dalam, misal ; koma DM, Acidosis
metabolic
 Hyperpneu  napas dalam, dengan kecepatan normal
 Apneustik ispirasi megap-megap, ekspirasi sangat pendek, misal pada lesi pusat
pernapasan.
 Dangkal emfisema, tumor paru, pleura Efusi.
 Asimetris pneumonie, TBC paru, efusi pericard/pleura, tumor paru.

5. Dari arah depan tentukan adanya pelebaran vena dada, normalnya : tidak ada.

B. Palpasi
Cara Kerja :
1. Atur posisi pasien duduk atau berbaring
2. lakukan palpasi daerah thorax, catat ; adanya nyeri, adanya benjolan (tentukan konsistensi, besar,
mobilitas)
3. Dengan posisi berbaring / semi fowler, letakkan kedua tangan ke dada, sehingga ke dua ibu jara
berada diatas Procecus Xypoideus, pasien diminta napas biasa, catat : gerak napas simetris atau
tidak dan tentukan daya kembang paru ( normalnya 3-5 cm ).
Atau
Dengan posisi duduk merunduk, letakkan ke dua tangan pada punggung di bawah scapula,
tentukan : kesimetrisan gerak dada, dan daya kembang paru
4. Letakkan kedua tangan seperti pada no 2/3, dengan posisi tangan agak ke atas, minta pasien untuk
bersuara ( 77 ), tentukan getaran suara dan bedakan kanan dan kiri.
Panduan Praktikum Laboratorium Semester 6
Menurun : konsolidasi paru, pneumonie, TBC, tumor paru, ada masa paru
Meningkat : Pleura efusi, emfisema, paru fibrotik, covenrne paru.
C. Perkusi
Cara Kerja :
1. Atur posisi pasien berbaring / setengah duduk
2. Gunakan tehnik perkusi, dan tentukan batas – batas paru
Batas paru normal :
 Atas : Fossa supraklavikularis kanan-kiri
 Bawah : iga 6 MCL, iga 8 MAL, iga 10 garis skapularis, paru kiri lebih tinggi
Abnormal :
 Meningkat  anak, fibrosis, konsolidasi, efusi, ascites
 Menurun  orang tua, emfisema, pneumothorax
3. lakuka perkusi secara merata pada daerah paru, catat adanya perubahan suara perkusi
:
Normalnya : sonor/resonan ( dug )
Abnormal :
 Hyperresonan  menggendang ( dang ) : thorax berisi udara, kavitas
 Kurang resonan  “deg” : fibrosis, infiltrate, pleura menebal
 Redup  “bleg” : fibrosis berat, edema paru
 Pekak  seperti bunyi pada paha : tumor paru, fibrosis
D. Auskultasi
Cara kerja :
1. Atur posisi pasien duduk / berbaring
2. Dengan stetoskop, auskultasi paru secara sistematis pada trachea, bronkus dan paru, catat :
suara napas dan adanya suara tambahan.
Suara napas
Normal :
 Trachea brobkhial suara di daerah trachea, seperti meniup besi, inpirasi lebih keras dan
pendek dari ekspirasi.
 Bronkhovesikuler  suara di daerah bronchus ( coste 3-4 di atas sternum ), inpirasi spt
vesikuler, ekspirasi seperti trac-bronkhial.
 Vesikuler suara di daerah paru, nada rendah inspirasi dan ekspirasi tidak terputus.
Abnormal :
 Suara trac-bronkhial terdengar di daerah bronchus dan paru ( missal ; pneumonie, fibrosis
)
 Suara bronkhovesikuler terdengar di daerah paru
 Suara vesikuler tidak terdengar. Missal : fibrosis, effuse pleura, emfisema
Suara tambahan
Normal : bersih, tidak ada suara tambahan
Abnormal :
 Ronkhi  suara tambahan pada bronchus akibat timbunan lender atau secret pada
bronchus.
 Krepitasi / rales  berasal daru bronchus, alveoli, kavitas paru yang berisi cairan ( seperti
gesekan rambut / meniup dalam air)
 Whezing  suara seperti bunyi peluid, karena penyempitan bronchus dan alveoli.

3. Kemudian, beritahu pasien untuk mengucapkan satu, dua, catat bunyi resonan Vokal :
 Bronkhofoni  meningkat, suara belum jelas ( misal : pnemonie lobaris, cavitas paru )
 Pectoriloguy  meningkat sekali, suara jelas
 Egovoni sengau dan mengeras ( pada efusi pleura + konsolidasi paru )
 Menurun / tidak terdengar Efusi pleura, emfisema, pneumothorax

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 7


PEMERIKSAAN SISTEM KARDIOVASKULER

Tujuan : Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui kondisi fisik jantung

A. Inspeksi
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
1. Bentuk perkordial
2. Denyut pada apeks kordis
3. Denyut nadi pada daerah lain
4. Denyut vena
Cara Kerja :
1. Buka pakaian dan atur posisi pasien terlentang, kepala ditinggikan 15-30
2. Pemeriksa berdiri sebelah kanan pasien setinggi bahu pasien
3. Motivasi pasien tenang dan bernapas biasa
4. Amati dan catat bentuk precordial jantung
Normal  datar dan simetris pada kedua sisi,
Abnormal Cekung, Cembung ( bulging precordial )
5. Amati dan catat pulsasi apeks cordis
Normal nampak pada ICS 5 MCL selebar 1-2 cm ( selebar ibu jari ).
Sulit dilihat payudara besar, dinding toraks yang tebal, emfisema, dan efusi perikard.
Abnormal --> bergeser kearah lateroinferior , lebar > 2 cm, nampak meningkat dan
bergetar ( Thrill ).
6. Amati dan catat pulsasi daerah aorta, pulmonal, trikuspidalis, dan ephygastrik
NormaL Hanya pada daerah ictus
7. Amati dan cata pulsasi denyut vena jugularis
Normal tidak ada denyut vena pada prekordial. Denyut vena hanya dapat dilihat pada vena
jugularis interna dan eksterna.

B. Auskultasi
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
1. Irama dan frekwensi jantung
Normal : reguler ( ritmis ) dengan frekwensi 60 – 100 X/mnt
2. Intensitas bunyi jantung
Normal :
 Di daerah mitral dan trikuspidalis intensitas BJ1 akan lebih tinggi dari BJ 2
 Di daerah pulmonal dan aorta intensitas BJ1 akan lebih rendah dari BJ 2
3. Sifat bunyi
jantung Normal :
- bersifat tunggal.
- Terbelah/terpisah dikondisikan ( Normal Splitting )
 Splitting BJ 1 fisiologik
 Normal Splitting BJ1 yang terdengar saat “ Ekspirasi maksimal, kemudian napas ditahan
sebentar” .
 Splitting BJ 2 fisiologik
 normal Spliting BJ2, terdengar “ sesaat setelah inspirasi dalam “
Abnormal :
 Splitting BJ 1 patologik  ganngguan sistem konduksi ( misal RBBB )
 Splitting BJ 2 Patologik : karena melambatnya penutupan katub pulmonal pada RBBB,
ASD, PS.
4. Fase Systolik dan Dyastolik
Normal : Fase systolik normal lebih pendek dari fase dyastolik ( 2 : 3 )
Abnormal : - Fase systolic memanjang / fase dyastolik memendek
- Tedengar bunyi “ fruction Rub”  gesekan perikard dg ephicard.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 7


5. Adanya Bising ( Murmur ) jantung
Normal : tidak terdapat
murmur
Abnormal : terdapat murmur  kelainan katub , shunt/pirau
6. Irama Gallop ( gallop ritme )
Normal : tidak terdapat gallop
ritme Abnormal:
 Gallop ventrikuler ( gallop S3 )
 Gallop atrium / gallop presystolik ( gallop S4 )
 Gallop dapat terjadi S3 dan S4 ( Horse gallop )
Cara Kerja :
1. Periksa stetoskop dan gosok sisi membran dengan tangan
2. Tempelkan stetoskop pada sisi membran pada daerah pulmonal, kemudian ke daerah aorta, simak
Bunyi jantung terutama BJ2, catat : sifat, kwalitas di banding dg BJ1, splitting BJ2, dan murmur
Bj2.
3. Tempelkan stetoskop pada sisi membran pada daerah Tricus, kemudian ke daerah mitral, simak
Bunyi jantung terutama BJ1, catat : sifat, kwalitas di banding dg BJ2, splitting BJ1, murmur Bj1,
frekwensi DJ, irama gallop.
4. Bila ada murmur ulangi lagi keempat daerah, catat mana yang paling jelas.
5. Geser ke daerah ephigastrik, catat adanya bising aorta.

C. Palpasi
Cara Kerja :
1. Dengan menggunakan 3 jari tangan dan dengan tekanan ringan, palpasi daerah aorta, pulmo
dan trikuspidalis. catat : adanya pulsasi.
Normal  tidak ada pulsasi
2. Geser pada daerah mitral, catat : pulsasi, tentukan letak, lebar, adanya thrill, lift/heave.
Normal terba di ICS V MCL selebar 1-2cm ( 1 jari )
Abnormal ictus bergeser kea rah latero-inferior, ada thriil / lift
3. Geser pada daerah ephigastrik, tentukan besar denyutan.
Normal : teraba, sulit diraba
Abnormal : mudah / meningkat

D. Perkusi
Cara Kerja :
1. Lakukan perkusi mulai intercota 2 kiri dari lateral ( Ant. axial line ) menuju medial, catat
perubahan perkusi redup
2. Geser jari ke ICS 3 kiri kemudian sampai ICS 6 , lakukan perkusi dan catat perubahan suara
perkusi redup.
3. Tentukan batas-batas jantung

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 7


PEMERIKSAAN SISTEM PENCERNAAN

Abdomen dibagi menjadi 9 regio :

1, 3 = hypokondrium ka/ki
2 =
ephigastrium 4, 6
= lumbal ka/ki
5 = umbilicus
7,9 =iliaka
ka/ki
8 = hypogastrium
 Hatiterdapat pada 1 dan 2
 Lambung di daerah 2
 Limfa di daerah 3
 Kandung empedu pada batas 6 dan 2
 Kandungkencing pada daerah 8
 Apendik pada 7 dan bawah 6,5.
 Bifurkasio aorta 2 cm bawah umbilicus
kekiri

Tujuan :
 Mendapatkan data lengkap untuk menegakan diagnosa keperawatan yang akurat
 Membantu individu mengatasi perubahan kehidupan sehari – hari secara efektif dan perawatan diri
baik potensial maupun actual yang disebabkan oleh adanya masalah kesehatan atau penyakit

A. Inspeksi
Cara Kerja
:
1. Kandung kencing dalam keadaan kosong
2. Posisi berbaring, bantal dikepala dan lutut sedikit fleksi
3. Kedua lengan, disamping atau didada
4. Mintalah penderita untuk menunjukkan daerah sakit untuk dilakukan pemeriksaan terakhir
5. Lakukan inspeksi, dan perhatikan Kedaan kulit dan permukaan perut
Normalnya : datar, tidak tegang, Strie livide/gravidarum, tidak ada lesi
Abnormal :
 Strie berwarna ungu  syndrome chusing
 Pelebaran vena abdomen  Chirrosis
 Dinding perut tebal  odema
 Berbintil atau ada lesi  neurofibroma
 Ada masa / benjolan abnormal  tumor
6. Perhatikan bentuk perut
Normal : simetris
Abnormal :
 Membesar dan melebar  ascites
 Membesar dan tegang  berisi udara ( ilius )
 Membesar dan tegang daerah suprapubik  retensi urine
 Membesar asimetris  tumor, pembesaran organ dalam perut
7. Perhatikan Gerakan dinding perut
Normal : mengempis saat ekspirasi dan menggembung saat inspirasi, gerakan peristaltic pada
orang kurus.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 7


AbnormaL:
 Terjadi sebaliknya  kelumpuhan otot diafragma
 Tegang tidak bergerak  peritonitis
 Gerakan setempat  peristaltic pada illius
 Perhatikan denyutan pada didnding perut
 Normal : dapat terlihat pada ephigastrika pada orang kurus
8. Perhatikan umbilicus, catat adanya tanda radang dan hernia

B. Auskultasi
Cara Kerja
:
1. Gunakan stetoskop sisi membrane dan hangatkan dulu
2. Lakukan auskultasi pada satu tempat saja ( kwadaran kanan bawah ), cata bising dan peristaltic
usus.
Normal : Bunyi “ Klikc Grugles “, 5-35X/mnt

Abnormal :
 Bising dan peristaltic menurun / hilang  illeus paralitik, post operasi
 Bising meningkat “ metalik sound “  illius obstruktif
 Peristaltik meningkat dan memanjang ( borboritmi ) diare, kelaparan
3. Dengan merubah posisi/menggerakkan abdomen, catat gerakan air (tanda ascites).
Normalnya : tidak ada
3. Letakkan stetoskop pada daerah ephigastrik, catat bising aorta,
Normal : tidak ada.

C. Perkusi
Cara Kerja :
1. Lakukan perkusi dari kwadran kanan atas memutar searah jarum jam, catat adanya
perubahan suara perkusi :
Normalnya : tynpani, redup bila ada organ dibawahnya ( misal hati )
Abnormal :
a. Hypertympani  terdapat udara
b. Pekak  terdapat Cairan
2. Lakukan perkusi di daerah hepar untuk menentukan batas dan tanda pembesaran hepar.
Cara :
a. Lakukan perkusi pada MCL kanan bawah umbilicus ke atas sampai terdengar bunyi redup,
untuk menentukan batas bawah hepar.
b. Lakukan perkusi daerah paru ke bawah, untuk menentukan batas atas
c. Lakukan perkusi di sekitar daerah 1 da 2 untuk menentukan batas-batas hepar yang lain.

D. Palpasi
Cara Kerja :
1. Beritahu pasien untuk bernapas dengan mulut, lutut sedikit fleksi.
2. Lakukan palpasi perlahan dengan tekanan ringan, pada seluruh daerah perut
3. Tentukan ketegangan, adanya nyeri tekan, dan adanya masa superficial atau masa feces yang
mengeras.
4. Lanjutkan dengan pemeriksaan organ
Hati
 Letakkan tangan kiri menyangga belakang penderita pada coste 11 dan 12
 Tempatkan ujung jari kanan ( atas - obliq ) di daerah tempat redup hepar bawah / di bawah
kostae.
 Mulailah dengan tekanan ringan untuk menentukan pembesaran hepar, tentukan besar,
konsistensi dan bentuk permukaan.
Panduan Praktikum Laboratorium Semester 7
 Minta pasien napas dalam, tekan segera dengan jari kanan secara perlahan, saat pasien melepas
napas, rasakan adanya masa hepar, pembesaran, konsistensi dan bentuk permukaannya.
Normal : tidak teraba / teraba kenyal, ujung tajam.
Abnormal :
 Teraba nyata ( membesar ), lunak dan ujung tumpul  hepatomegali
 Teraba nyata ( membesar ), keras tidak merata, ujung ireguler  hepatoma Lien
 Letakkan tangan kiri menyangga punggung kanan penderita pada coste 11 dan 12
 Tempatkan ujung jari kanan ( atas - obliq ) di bawah kostae kanan.
 Mulailah dengan tekanan ringan untuk menentukan pembesaran limfa
 Minta pasien napas dalam, tekan segera dengan jari kanan secara perlahan, saat pasien melepas
napas, rasakan adanya masa hepar, pembesaran, konsistensi dan bentuk permukaannya.
Normal : Sulit di raba, teraba bila ada pembesaran

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 7


PEMERIKSAAN SISTEM PERSYARAFAN

Tujuan :
Mengevaluasi keadaan fisik klien secara umum dan juga menilai apakah adaindikasi penyakit lainnya
selain kelainan neurologis

PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIK


1. Sensasi Taktil
 Siapkan alat kuas halus, kapas, ujung jari ( bila terpaksa )
 Penderita dapat berbaring atau duduk rileks, mata di pejamkan
 Lakukan sentuhan ringan ( jangan sampai menekan ), minta pasien “ya” bila merasakan dan “
tidak “ bila tidak merasakan
 Lakukan mulai dari ujung distal ke proksimal ( azas Ekstrem ), dan bandingkan kanan dan kiri
( azas Simetris ).
 Cari tempat yang tidak berbulu, beri sentuhan beberapa tempat, minta pasien untuk
membandingkan.
 Lakukan sentuhan, membentuk huruf, minta pasien menebak.
Kelainan :
 Anestesia, hipestesia, hiperestesia.
 Trikoanestesia  kehilangan senasi gerak rambut
 Gravanestesia  tidak mampu mengenal angka/huruf.
2. Sensasi Nyeri superficial
 Gunakan jarum salah satu runcing dan tumpul
 Mata pasien dipejamkan
 Coba dulu, untuk menentukan tekanan maksimal
 Beri rangsangan dengan jarum runcing, minta pasien merasakan nyeri atau tidak
 Lakukan azas ekstri, dan simetris.
 Lakukan rangsangan dengan ujung tumpul dan runcing, minta pasien untuk
menebaknya.
Kelainan :
Analgesia, Hypalgesia, hiperalgesia.

3. Pemeriksaan sensasi suhu


 Siapkan alat Panas ( 40-45 derajat ), dingin ( 5-10 )
 Posisi pasien berbaring dan memejamkan mata.
 Tempelkan alat, dan minta pasien menebak panas atau dingin

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 7


 Lakukan azas simetris dan ekstrim
Kelainan :
Termastesia,termhipestesia, termhiperestesia, isotermognosia
4. Sensasi Gerak dan posisi
 Pasien memejamkan mata
 Bagian tubuh ( jari-jari ) digerakkan pasif oleh pemeriksa
 Minta pasien menjelaskan posisi dan keadaan jari

PEMERIKSAAN FUNGSI MOTORIK


 Posisi Tubuh
 postur hemiplegia, decorticate, deserebrate.
 Gerakan involunter
 tremor, tiks, chorea ..
 Tonus otot
 Spastis, kekakuan, flasid

 Koordinasi
 Tunjuk hidung jari : perintahkan pasien menyentuk hidung dan jari bergantian dan berulang-
ulang, catat adanya kegagalan.

PEMERIKSAAN REFLEK FISIOLOGIS


( Muscle Stretch )
Penilaian :
0 = negative
+1 = lemah ( normal )
+2 = normal
+3 = meninggi, belum patologik
+4 = hyperaktif, sering disertai klonus
1. Reflek pada Lengan
 Reflek Bisep
i. Pasien duduk santai.
ii. Lengan lemas, sedikit fleksi dan pronasi.
iii. Siku penderita diletakkan pada tangan pemeriksa
iv. Ibu jari pemeriksa diletakkan pada tendo bisep, kemudian pukul ibu jari dengan perkusi
hamer.
v.Amati gerakan lengan pasien
Hasil :
Kontraksi otot bisep, fleksi dan sedikit supinasi lengan bawah
 Reflek Trisep
vi. Pasien duduk santai.
vii. Lengan lemas, sedikit fleksi dan pronasi.
viii. lengan penderita diletakkan pada tangan pemeriksa
ix.Pukul tendo pada fosa olekrani
Hasil :
Trisep akan kontraksi menyentak yang dirasakan oleh tangan pemeriksa
 Reflek Brachioradialis
x. Posisi penderita duduk santai
xi. Lengan relaks, pegang lengan pasien dan letakkan tangan pasien diatas tangan
pemeriksa dalam posisi fleksi dan pronasi.
xii. Pukul tendo Brachioradialis
Hasil :
Gerakan menyentak pada tangan
2. Reflek pada tungkai
Panduan Praktikum Laboratorium Semester 7
 Reflek patella ( kuadrisep )
xiii. Posisi pasien duduk, denga kedua kaki menjuntai
xiv. Tentukan daerah tendo kanan dan kiri
xv. Tangan kiri memegang bagian distal ( paha pasien ), yang satu melakukan perkusi pada
tendo patella
Hasil :
Ada kontraksi otot kuadisrep, gerakan menyentak akstensi kaki
 Reflek Achilles
xvi. Pasien dapat duduk menjuntai, atau berlutut dengan kaki menjulur di luar meja
xvii. Tendo Achilles diregangkan, dengan menekkan ujung tapak tangan
xviii. Lakukan perkusi pada tendo, rasakan gerakan.

Hasil :
Gerakan menyentak kaki

PEMERIKSAAN REFLEK PATOLOGIS


 Reflek Babinski
xix. Posisi penderita terlentang
xx. Gores dengan benda lancip tapi tumpul pada telapak kaki : dari bawah lateral, keatas menuju
ibu jari kaki.
xxi.Amati gerakan jari-jari kaki
Hasil :
Normal : gerakan dorsofleksi ibu jari, jari yang lain meregang
Abnormal : terjadi gerakan mencekeram jari-jari kaki

PEMERIKSAAN REFLEK MENINGEAL


(Meningeal Sign)
1. Kaku Kuduk
 Pasien posisi berbaring
 Fleksi kepala, dengan mengangkat kepala agak cepat Hasil
: + terdapat tahanan kuat
2. Tanda kernig
 Posisi pasien berbaring
 Angkat kaki, dan luruskan kaki pada lututnya
Hasil :
Normal : kaki dapat lurus, atau tahanan dengan sudut minimal 120 derajat
Abnormal ( + ) : terjadi tahanan < 1 20 dan nyeri pada paha.
3. Buzinsky 1
 Posisi pasien berbaring
 Fleksi kepala, dengan mengangkat kepala agak cepat
 Perhatikan gerakan tungkai kaki
Hasil : + bila terjadi fleksi tungkai, bersamaan dengan fleksi kepala
4. Buzinsky 2
 Posisi pasien berbaring
 Lakukan fleksi pada lutut kaki
 Amati kaki sebelahnya
Hasil : + bila kaki sebelahnya mengikuti gerakan fleksi

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 7


PEMERIKSAAN FISIK SISTEM PERKEMIHAN

Tujuan :
1. Mengetahui keadaan fungsi sistem perkemihan
2. Mengetahui ada tidaknya kelainan sistem perkemihan
3. Pasien dengan gangguan sistem perkemihan lain

Cara Kerja
1. Atur posisi pasien supinasi dan rileks
2. Tinggikan tempat tidur dan rileks
3. Boleh menggunakan bantal/tidak

A. Inpeksi
1) Pasien tidur terlentang, pemeriksa berada di sebelah kanan
2) Kaji daerah abdomen pada garis mid clavicula kiri dan kanan
3) Perhatikan simetris atau tidak, serta apakah tampak ada masa dan pulsasi

B. PalpasI
xxii. Palpasi Ginjal
1. Posisikan pasien terlentang, dan buka abdomendari prosesus sifoideus sampai ke simfisis
pubis.
2. Berdiri di sisi kanan pasien, letakkan tangan kirI dibawah punggung, ditengan antara
tepi kostal bawah dan puncak iliaka.
3. Kemudian, letakkan tangan kanan di atas abdomen pasien, tepat diatas posisi
tangan kiri.
4. Tekuk sedikit kearah tepi kostal
5. Untuk mempalpasi tepi kanan bawah ginjal kiri,tekan ujung-ujung jari kanan sekitar 4 cm
diatas puncak iliaka kanan pada garismidinguinal; tekankan ujung-ujung jari kiri keatas
dalam sudut kostavertebral.
6. Berikan instruksi kepada pasien untuk menariknapas dalam sehingga bagian bawah
ginjalkanan dapat bergerak ke bawah diantara keduatangan. Jika ginjal bergerak, perhatikan
bentukdan ukuran dari ginjal. Normalnya, ginjal terasalembut, padat keras dan tidak elastis.
7. Tanyakan kepada pasien apakah tindakan yangdilakukan menimbulkan rasa tidak nyaman.
8. Unuk mengkaji ginjal kiri, pindahlah ke sisi kiripasien dan posisijan tangan seperti
yangdigambarkan diatas, tetapi dengan perubahanberikut : letakkan tangan kanan 5cm
diatas puncak iliaka kiri.
9. Kemudian beri tekanan dengan kedua tanganpada saat pasien berinhalasi. Jika ginjal
kiridapat dipalpasi, bandingkan dengan ginjalkanan. Normalnya, ginjal tersebut
harusmemiliki ukuran yang sama.
xxiii. Palpasi Kandung Kemih
1. Cari tepi kandung kemih dengan menekan kedalam garis tengah sekitar 2,5 sampai 5
cmdiatas simfisis pubis. Setelah kandung kemihterpalpasi, catat ukuran, lokasinya, serta
periksaadanya benolan, massa, dan nyeri tekan.
2. Kandung kemih normalnya terasa keras danrelatif lembut. (Ingatlah bahwa kandung
kemihorang dewasa mungkin tidak dapat dipalpasi).Selama palpasi dalam, pasien dapat
melaporkanadanya urgensi untuk berkemih/ sebuah responyang normal
C. Perkusi
xxiv. Perkusi Ginjal

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 7


1. Posisikan pasien duduk tegak, perkusi setiapsudut kostavertebral (sudut di atas setiap
ginjalyang tepinya dibentuk oleh kurva lateral dankebawah dari iga terbawah
dankolumnaspinalis).
2. Untuk melakukan perkusi menengah, letakkantelapak tangan kiri diatas sudut
kostavertebral,dan dengan perlahan pukul telapak tangandengan kepalan tangan kanan.
3. Untuk melakukan perkusi tumpul, denganperlahan pukulkan kepalan tangan kanan
diatassetiap sudut kostavertebral. Selama perkusi,pasien normal akan merasakan sensasi
sepertidipukul atau ditekan, tetapi tiak ada nyeri tekan.
xxv. Perkusi Kandung Kemih
1) Kemudian, gunakan perkusi menengah, perkusiarea diatas kandung kemih, dimulai 5
cm diatassimfisis pubis.
2) Untuk mendeteksi perbedaan bunyi, perkusi kearah dasar kandung kemih.Perkusi
normalnya menghasilkan bunyi timpani.(Diatas kandung kemih berisi urin,
perkusimenghasilkan bunyi pekak).

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 8


2

KEPERAWATAN MATERNITAS
PEMERIKSAAN LEOPOLD

A. Definisi
Palpasi merupakan pemeriksaan dengan indera peraba, yaitu tangan untuk menentukan ketahanan,
kekenyalan, tekstur. Palpasi dilakukan untuk menentukan besarnya rahim dengan menentukan usia
kehamilan serta menentukan letak janin dalam rahim. Pemeriksaan secara palpasi dilakukan dengan
menggunakan metode leopold, yakni:
a. Leopold I
Leopold I digunakan untuk menentukan usia kehamilan (TFU) dan bagian apa yang ada dalam
fundus.

Teknik:
 Memposisikan ibu dengan lutut fleksi (kaki ditekuk 450 atau lutut bagian dalam diganjal bantal)
dan pemeriksa menghadap ke arah ibu
 Menengahkan uterus dengan menggunakan kedua tangan dari arah samping umbilical
 Kedua tangan meraba fundus kemudian menentukan TFU (Tinggi Fundus Uteri).
 Meraba bagian Fundus dengan menggunakan ujung kedua tangan, tentukan bagian janin.
Hasil:
 Apabila kepala janin teraba di bagian fundus, yang akan teraba adalah keras,bundar dan
melenting (seperti mudah digerakkan)
 Apabila bokong janin teraba di bagian fundus, yang akan terasa adalah lunak, kurang bundar,
dan kurang melenting
 Apabila posisi janin melintang pada rahim, maka pada Fundus teraba kosong.

b. Leopold II
Leopold II digunakan untuk menentukan letak punggung janin dan letak bagian terkecil pada
janin.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 8


Teknik:
 Posisi ibu masih dengan lutut fleksi (kaki ditekuk) dan pemeriksa menghadap ibu
 Meletakkan telapak tangan kiri pada dinding perut lateral kanan dan telapak tangan kanan pada
dinding perut lateral kiri ibu secara sejajar dan pada ketinggian yang sama
 Mulai dari bagian atas tekan secara bergantian atau bersamaan (simultan) telapak tangan tangan
kiri dan kanan kemudian geser ke arah bawah dan rasakan adanya bagian yang rata dan
memanjang (punggung) atau bagian-bagian kecil (ekstremitas).
Hasil:
 Bagian punggung: akan teraba jelas, rata, cembung, kaku/tidak dapat digerakkan
 Bagian-bagian kecil (tangan dan kaki): akan teraba kecil, bentuk/posisi tidak jelas dan menonjol,
kemungkinan teraba gerakan kaki janin secara aktif maupun pasif.

c. Leopold III
Leopold III digunakan untuk menentukan bagian apa yang terdapat dibagian bawah dan apakah
bagian bawah janin sudah atau belum terpegang pintu atas panggul.

Teknik:
 Posisi ibu masih dengan lutut fleksi (kaki ditekuk) dan pemeriksa menghadap ibu
 Meletakkan ujung telapak tangan kiri pada dinding lateral kiri bawah, telapak tangan kanan
bawah perut ibu
 Menekan secara lembut dan bersamaan/bergantian untuk mentukan bagian terbawah bayi
 Gunakan tangan kanan dengan ibu jari dan keempat jari lainnya kemudian goyang bagian
terbawah janin.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 8


Hasil:
 Bagian keras,bulat dan hampir homogen adalah kepala sedangkan tonjolan yang lunak dan
kurang simetris adalah bokong
 Apabila bagian terbawah janin sudah memasuki PAP, maka saat bagian bawah
digoyang, sudah tidak bias (seperti ada tahanan).

d. Leopold IV
Tentukan seberapa jauh janin sudah masuk

Teknik:
 Pemeriksa menghadap ke arah kaki ibu, dengan posisi kaki ibu lurus
 Meletakkan ujung telapak tangan kiri dan kanan pada lateral kiri dan kanan uterus bawah,
ujung-ujung jari tangan kiri dan kanan berada pada tepi atas simfisis
 Menemukan kedua ibu jari kiri dan kanan kemudian rapatkan semua jari-jari tangan yang
meraba dinding bawah uterus.
 Perhatikan sudut yang terbentuk oleh jari-jari: bertemu (konvergen) atau tidak bertemu
(divergen)
 Setelah itu memindahkan ibu jari dan telunjuk tangan kiri pada bagian terbawah bayi (bila
presentasi kepala upayakan memegang bagian kepala di dekat leher dan bila presentasi bokong
upayakan untuk memegang pinggang bayi)
 Memfiksasi bagian tersebut ke arah pintu atas panggul kemudian meletakkan jari-jari tangan
kanan diantara tangan kiri dan simfisis untuk menilai seberapa jauh bagian terbawah telah
memasuki pintu atas panggul.
Hasil:
 Apabila kedua jari-jari tangan pemeriksa bertemu (konvergen) berarti bagian terendah janin
belum memasuki pintu atas panggul, sedangkan apabila kedua tangan pemeriksa membentuk
jarak atau tidak bertemu (divergen) mka bagian terendah janin sudah memasuki Pintu Atas
Panggul (PAP)
 Penurunan kepala dinilai dengan: 5/5 (seluruh bagian jari masih meraba kepala, kepala belum
masuk PAP), 1/5 (teraba kepala 1 jari dari lima jari, bagian kepala yang sudah masuk 4 bagian),
dan seterusnya sampai 0/5 (seluruh kepala sudah masuk PAP)

Kasus:
1. Seorang perempuan usia 31 tahun G2P0A1 datang ke Poli Kandungan untuk memeriksakan
kehamilannya. Diketahui dari HPHT, pasien hamil 37 minggu, hasil TTV, TD: 130/70mmHg, N:
87x/menit, RR: 20x/meniit, S: 36.50C. Perawat ingin mengetahui kondisi janin dalam kandungan Ibu.
Apakah pemeriksaan yang harus dilakukan dan sebutkan hasil dari pemeriksaan tersebut!

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 8


2. Seorang perempuan usia 23 tahun G1P0A0 dibawa ke Puskesmas dengan keluhan perut mules-mules
secara teratur. Hasil TTV, TD: 120/70mmHg, N: 92x/menit, frekuensi napas: 20x/menit, T: 36.60C.
Sebelum melakukan pemeriksaan dalam, perawat ingin melakukan pemeriksaan guna mengetahui
kondisi janin dalam kandungan.
Apakah tindakan yang tepat dilakukan pada kasus tersebut?

3. Seorang perempuan berusia 22 tahun G1P0A0 usia gestasi 36 minggu. Hasil pemeriksaan TFU 31
cm, presentasi terbawah janin adalah kepala dan dirasakan sudah masuk PAP. Berapakah tafsiran
berat badan janin pada kasus tersebut?
A. 2900 gram
B. 3000 gram
C. 3100 gram
D. 3200 gram
E. 3500 gram

Rumus menghitung berat janin dalam uterus (rumus Lohnson).


• Taksiran berat janin (TBJ) :
• (TFU - 12) x 155 gram belum masuk PAP
• (TFU - 11) X 155 gram Sudah masuk PAP
• (31– 11) x 155
• 20 x 155 = 3100 gram

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 8


ASUHAN PERSALINAN NORMAL

A. Pengertian
Persalinan dimulai (inpartu) sejak uterus berkontraksi dan menyebakan perubahan pada serviks
(membuka dan menipis) dan berakhir dengan lahirnya plasenta secara lengkap.
a. Usia kehamilan cukup bulan (37-42 minggu)
b. Persalinan terjadi spontan
c. Presentasi belakang kepala
d. Berlangsung tidak lebih dari 18 jam
e. Tdak ada komplikasi pada ibu maupun janin

B. Macam-Macam Persalinan:
a. Persalinan spontan
b. Persalinan buatan
c. Persalinan anjuran

C. Komponen Persalinan:
a. Passage (Jalan Lahir)
b. Passangger (Janin)
c. Power (Kekuatan Kontraksi Rahim
d. Psyche (Kondisi Psikologi)

D. Macam-macam persalinan menurut umur kehamilan:


a. Partus immaturus adalah persalinan kurang dari 28 minggu lebih dari 20 minggu dengan berat
janin antara 1000-500 gram.
b. Partus prematurus adalah persalinan dari hasil konsepsi pada umur kehamilan 28-37 minggu,
janin dapat hidup tetapi belum cukup bulan, berat janin antara 1000-2500 gram.
c. Partus maturus adalah persalinan pada kehamilan 37-40 minggu, janin matur, berat badan
janin diatas 2500 gram.
d. Partus post matures adalah persalinan yang terjadi 2 minggu atau lebih dari perkiraan waktu,
jenis disebut post matur.
e. Partus presipitatus adalah persalinan yang berlangusng cepat, bisa terjadi dimana saja, seperti di
kamar mandi, diatas pesawat dsb.
f. Partus percobaan adalah suatu penilaian kemajuan untuk memperoleh bukti tentang ada atau tidak
adanya disproporsi sefalopelvik.
g. Persalinan (kelahiran) yang tidak dikehendaki.

E. Tahapan Persalinan
a. Kala I (Kala Pembukaan)
Kala I persalinan dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus yang teratur dan timbul his dimana
ibu telah mengeluarkan lendir yang bercampur darah (bloody show).Lendir tersebut yang berasal
dari kanalis servikalis meningkat (frekuensi dan kekuatannya) hingga serviks membuka lengkap
(10 cm).
Kala I dibagi menjadi 2 fase:
o Fase laten: pembukaan serviks 1 hingga 3 cm, sekitar 8 jam.
o Fase aktif: pembukaan serviks 4 hingga lengkap (10 cm), sekitar 6 jam

b. Kala II (kala pengeluaran)


Dimulai dari pembukaan lengkap (10 cm) sampai bayi lahir. Proses ini berlangsung 2 jam
pada primigravida dan 1 jam pada multigravida. Pada kala ini his menjadi kuat dan cepat, > 5x/10
menit. Dalam kondisi normal pada kala ini kepala janin sudah masuk dalam ruang panggul, maka
pada saat itu his dirasakan pada tekanan pada otot-otot dasar panggul, yang secara reflektoris
menimbulkan rasa ingin mengejan.Kemudian

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 8


perineum mulai menonjol dan menjadi lebar dengan membukanya anus.Labia mulai membuka dan
tidak lama lagi kepala janin tampak dalam vulva pada saat ada his.Dengan kekuatan his dan
mengejan maksimal kepala janin dilahirkan dengan suboksiput dibawah simfisis dan dahi, muka
dan dagu melewati perineum. Setelah his istirahat sebentar, maka his akan mulai lagi untuk
mengeluarkan anggota badan bayi.
Kala III (kala uri plasenta terlepas dari dinding uterus dan dilahirkan)
Dimulai segera setelah bayi baru lahir sampai lahirnya plasenta, yang berlangsung tidak lebih
dari 30 menit.Setelah bayi lahir uterus teraba keras dengan fundus uteri agak diatas
pusat.Beberapa menit kemudian uterus berkontraksi lagi untuk melepaskan plasenta dari
dindingnya.Plasenta lepas biasanya dalam waktu 6-15 menit setelah bayi lahir spontan dengan
tekanan pada fundus uteri dan keluar yang diserta darah.
Kala IV (segera setelah lahirnya plasenta hingga 2 jam post-partum)
Dimulai dari saat lahirnya plasenta sampai 2 jam pertama post-partum. Observasi yang harus
dilakukan pada kala ini adalah :
o Tingkat kesadaran ibu
o Pemeriksaan tanda-tanda vital
o Kontraksi uterus
o Jumlah perdarahan

F. Proses Persalinan
1. Kala I
Tatalaksana
o Beri dukungan dan dengarkan keluhan ibu
o Jika ibu tampak gelisah/kesakitan:
 Biarkan ia berganti posisi sesuai keinginan, tapi jika di tempat tidurvsarankan untuk miring
kiri.
 Biarkan ia berjalan atau beraktivitas ringan sesuai kesanggupannya
 Anjurkan suami atau keluarga memjiat punggung atau membasuh muka ibu
 Ajari teknik bernapas
o Jaga privasi ibu. Gunakan tirai penutup dan tidak menghadirkan orang lain tanpa seizin
ibu.
o Izinkan ibu untuk mandi atau membasuh kemaluannya setelah buang air kecil/besar
o Jaga kondisi ruangan sejuk. Untuk mencegah kehilangan panas pada bayi baru lahir, suhu
ruangan minimal 250C dan semua pintu serta jendela harus tertutup.
o Beri minum yang cukup untuk menghindari dehidrasi.
o Sarankan ibu berkemih sesering mungkin.
o Pantau parameter berikut secara rutin dengan menggunakan partograf.

o Pasang infus intravena untuk pasien dengan:


 Kehamilan lebih dari 5
 Hemoglobin ≤9 g/dl atau hematokrit ≤27%
 Riwayat gangguan perdarahan

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 8


 Sungsang
 Kehamilan ganda
 Hipertensi
 Persalinan lama
o Isi dan letakkan partograf di samping tempat tidur atau di dekat pasien
o Lakukan pemeriksaan kardiotokografi jika memungkinkan
o Persiapkan rujukan jika terjadi komplikasi

ASUHAN PERSALINAN NORMAL DAN


PERAWATAN NEONATAL ESENSIAL PADA SAAT LAHIR

Selain kondisi di atas, ada beberapa tindakan yang sering dilakukan namun sebenarnya tidak banyak
membawa manfaat bahkan justru merugikan, sehingga tidak dianjurkan melakukan hal- hal berikut:
 Kateterisasi kandung kemih rutin: dapat meningkatkan risiko infeksi saluran kemih.
Lakukan hanya jika ada indikasi.
 Posisi terlentang: dapat mengurangi detak jantung dan penurunan aliran darah uterus sehingga
kontraksi melemah
 Mendorong abdomen: menyakitkan bagi ibu, meningkatkan risiko rupture uteri
 Mengedan sebelum pembukaan serviks lengkap: dapat menyebabkan edema dan/atau laserasi
serviks
 Enema
 Pencukuran rambut pubis
 Membersihkan vagina dengan antiseptik selama persalinan

2. Kala II, III, dan IV


Tatalaksana
Tatalaksana pada kala II, III, dan IV tergabung dalam 58 langkah APN yaitu:

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 8


 Mengenali tanda dan gejala kala dua
1. Memeriksa tanda berikut:
 Ibu mempunyai keinginan untuk meneran.
 Ibu merasa tekanan yang semakin meningkat pada rektum dan/atau vaginanya.
 Perineum menonjol dan menipis.
 Vulva-vagina dan sfingter ani membuka.

 Menyiapkan Pertolongan Persalinan


2. Pastikan kelengkapan peralatan, bahan dan obat-obatan esensial.
 Klem, gunting, benang tali pusat, penghisap lendir steril/DTT siap dalam wadahnya
 Semua pakaian, handuk, selimut dan kain untuk bayi dalam kondisi bersih dan hangat
 Timbangan, pita ukur, stetoskop bayi, dan termometer dalam kondisi baik dan bersih
 Patahkan ampul oksitosin 10 unit dan tempatkan spuit steril sekali pakai di dalam partus
set/wadah DTT
 Untuk resusitasi: tempat datar, rata, bersih, kering dan hangat, 3 handuk atau kain bersih
dan kering, alat penghisap lendir, lampu sorot 60 watt dengan jarak 60 cm diatas tubuh
bayi.
 Persiapan bila terjadi kegawatdaruratan pada ibu: cairan kristaloid, set infus
3. Kenakan baju penutup atau celemek plastik yang bersih, sepatu tertutup kedap air,
tutup kepala, masker, dan kacamata.
4. Lepas semua perhiasan pada lengan dan tangan lalu cuci kedua tangan dengan sabun dan
air bersih kemudian keringkan dengan handuk atau tisu bersih.
5. Pakai sarung tangan steril/DTT untuk pemeriksaan dalam.
6. Ambil spuit dengan tangan yang bersarung tangan, isi dengan oksitosin 10 unit dan
letakkan kembali spuit tersebut di partus set/wadah DTT atau steril tanpa mengontaminasi
spuit.
 Memastikan Pembukaan Lengkap dan Keadaan Janin Baik
7. Bersihkan vulva dan perineum, dari depan ke belakang dengan kapas atau kasa yang
dibasahi air DTT.
8. Lakukan pemeriksaan dalam untuk memastikan bahwa pembukaan serviks sudah lengkap.
Lakukan amniotomi bila selaput ketuban belum pecah, dengan syarat: kepala sudah masuk
ke dalam panggul dan tali pusat tidak teraba.
9. Dekontaminasi sarung tangan dengan mencelupkan tangan yang masih memakai sarung
tangan ke dalam larutan klorin 0,5%, kemudian lepaskan sarung tangan dalam keadaan
terbalik dan rendam dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit. Cuci kedua tangan
setelahnya.
10. Periksa denyut jantung janin (DJJ) segera setelah kontraksi berakhir untuk memastikan
bahwa DJJ dalam batas normal (120 – 160 kali/ menit). Ambil tindakan yang sesuai jika
DJJ tidak normal.
 Menyiapkan Ibu dan Keluarga Untuk Membantu Proses Bimbingan Meneran
11. Beritahu ibu pembukaan sudah lengkap dan keadaan janin baik.
12. Minta bantuan keluarga untuk menyiapkan posisi ibu untuk meneran.
 Bantu ibu dalam posisi setengah duduk dan pastikan dia merasa nyaman.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 87


VII
 Anjurkan ibu untuk cukup minum.
13. Melakukan pimpinan meneran saat ibu mempunyai dorongan yang kuat untuk
meneran.
 Perbaiki cara meneran apabila caranya tidak sesuai.
 Nilai DJJ setiap kontraksi uterus selesai.
14. Anjurkan ibu untuk berjalan, berjongkok atau mengambil posisi yang nyaman, jika
ibu belum merasa ada dorongan untuk meneran dalam 60 menit.

 Mempersiapkan Pertolongan Kelahiran Bayi


15. Jika kepala bayi telah membuka vulva dengan diameter 5-6 cm, letakkan handuk bersih
di atas perut ibu untuk mengeringkan bayi.
16. Letakkan kain bersih yang dilipat 1/3 bagian di bawah bokong ibu.
17. Buka tutup partus set dan perhatikan kembali kelengkapan alat dan bahan.
18. Pakai sarung tangan DTT atau steril pada kedua tangan.

 Membantu Lahirnya Kepala


19. Setelah tampak kepala bayi dengan diameter 5-6 cm, lindungi perineum dengan satu
tangan yang dilapisi kain bersih dan kering, sementara tangan yang lain menahan kepala
bayi untuk menahan posisi defleksi dan membantu lahirnya kepala.
20. Anjurkan ibu meneran sambil bernapas cepat dan dangkal.
21. Periksa lilitan tali pusat dan lakukan tindakan yang sesuai jika hal itu terjadi.
 Jika lilitan tali pusat di leher bayi masih longgar, selipkan tali pusat lewat kepala bayi.

Memeriksa lilitan tali pusat


 Jika lilitan tali pusat terlalu ketat, klem tali pusat di dua titik lalu gunting di
antaranya. Jangan lupa untuk tetap lindungi leher bayi.

Menggunting tali pusat


22. Tunggu hingga kepala bayi melakukan putaran paksi luar secara spontan.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester VII 88


 Membantu Lahirnya Bahu
23. Setelah kepala melakukan putaran paksi luar, pegang secara biparental.
Anjurkan ibu untuk meneran saat kontraksi.
 Dengan lembut gerakkan kepala ke arah bawah dan distal hingga bahu depan muncul
di bawah arkus pubis seperti pada gambar berikut.

Melahirkan bahu depan

 Gerakkan arah atas dan distal untuk melahirkan bahu belakang seperti gambar berikut :
Melahirkan bahu belakang

 Membantu Lahirnya Badan dan Tungkai


24. Setelah kedua bahu lahir, geser tangan yang berada di bawah ke arahpe rineum ibu untuk
menyangga kepala, lengan dan siku sebelah bawah.
 Gunakan tangan yang berada di atas untuk menelusuri dan memegang lengan dan siku
sebelah atas.
25. Setelah tubuh dan lengan bayi lahir, lanjutkan penelusuran tangan yang berada di atas
ke punggung, bokong, tungkai dan kaki bayi.
 Pegang kedua mata kaki (masukkan telunjuk di antara kaki dan pegang
masing-masing mata kaki dengan ibu jari dan jari-jari lainnya).

 Penanganan Bayi Baru Lahir


26. Lakukan penilaian selintas dan jawablah tiga pertanyaan berikut untuk menilai apakah
ada asfiksia bayi:
 Apakah kehamilan cukup bulan?
 Apakah bayi menangis atau bernapas/tidak megap-megap?
 Apakah tonus otot bayi baik/bayi bergerak aktif?
Bila ada jawaban “TIDAK”, bayi mungkin mengalami
asfiksia. Segera lakukan resusitasi bayi baru lahir (lihat bab
3.3) sambil menghubungi dokter spesialis anak. Bila dokter
spesialis anak tidak ada, segera persiapkan rujukan.
Pengisapan lendir jalan napas pada bayi tidak dilakukan
Panduan Praktikum Laboratorium Semester 89
VIIsecara rutin
27. Bila tidak ada tanda asfiksia, lanjutkan manajemen bayi baru lahir normal.
Keringkan dan posisikan tubuh bayi di atas perut ibu

 Keringkan bayi mulai dari muka, kepala, dan bagian tubuh lainnya
 KECUALI BAGIAN TANGAN TANPA MEMBERSIHKAN VERNIKS.
 Ganti handuk basah dengan handuk yang kering
 Pastikan bayi dalam kondisi mantap di atas dada atau perut ibu
28. Periksa kembali perut ibu untuk memastikan tidak ada bayi lain dalam uterus (hamil
tunggal).

 Manajemen Aktif Kala III


29. Beritahukan kepada ibu bahwa penolong akan menyuntikkan oksitosin untuk membantu
uterus berkontraksi baik.
30. Dalam waktu 1 menit setelah bayi lahir, berikan suntikan oksitosin 10 unitIM di sepertiga
paha atas bagian distal lateral (lakukan aspirasi sebelum menyuntikkan oksitosin!).

Jika tidak ada oksitosin:


 Rangsang puting payudara ibu atau minta ibu menyusui
untuk menghasilkan oksitosin alamiah.
 Beri ergometrin 0,2 mg IM. Namun TIDAK BOLEH
diberikan pada pasien preeklampsia, eklampsia, dan
hipertensi karena dapat memicu terjadi penyakit
serebrovaskular.

31. Dengan menggunakan klem, 2 menit setelah bayi lahir, jepit tali pusat pada sekitar 3 cm
dari pusat (umbilikus) bayi (kecuali pada asfiksia neonatus, lakukan sesegera mungkin).
Dari sisi luar klem penjepit, dorong isi tali pusat ke arah distal (ibu) dan lakukan
penjepitan kedua pada 2 cm distal dari klem pertama.
32. Potong dan ikat tali pusat.
 Dengan satu tangan, angkat tali pusat yang telah dijepit kemudian gunting tali pusat di
antara 2 klem tersebut (sambil lindungi perut bayi).
 Ikat tali pusat dengan benang DTT/steril pada satu sisi kemudian lingkarkan kembali
benang ke sisi berlawanan dan lakukan ikatan kedua menggunakan simpul kunci.
 Lepaskan klem dan masukkan dalam larutan klorin 0,5%.
 Jangan membungkus puntung tali pusat atau mengoleskan cairan/ bahan apapun ke
puntung tali pusat
33. Tempatkan bayi untuk melakukan kontak kulit ibu ke kulit bayi. Letakkan bayi dengan
posisi tengkurap di dada ibu. Luruskan bahu bayi sehingga bayi menempel dengan baik
di dinding dada-perut ibu. Usahakan kepala bayi berada di antara payudara ibu dengan
posisi lebih rendah dari puting payudara ibu.
34. Selimuti ibu dan bayi dengan kain hangat dan kering dan pasang topi pada kepala bayi.
 Jangan segera menimbang atau memandikan bayi baru lahir
35. Pindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari vulva
36. Letakkan satu tangan di atas kain yang ada di perut ibu, tepat di tepi atas simfisis dan
tegangkan tali pusat dan klem dengan tangan yang lain.
37. Setelah uterus berkontraksi, tegangkan tali pusat ke arah bawah sambil tangan yang lain
mendorong uterus ke arah dorso-kranial secara hati-hati, seperti gambar berikut, untuk
mencegah terjadinya inversio uteri.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 90


Jika uterus tidak segera berkontraksi, minta ibu, suami atau
anggota keluarga untuk menstimulasi putting susu.

Melakukan peregangan

tali pusat terkendali


 Jika plasenta tidak lahir setelah 30-40 detik, hentikan penegangan tali pusat dan tunggu
hingga timbul kontraksi berikutnya dan ulangi prosedur di atas.
38. Lakukan penegangan dan dorongan dorso-kranial hingga plasenta terlepas, lalu minta ibu
meneran sambil menarik tali pusat dengan arah sejajar lantai dan kemudian ke arah atas,
mengikuti poros jalan lahir dengan tetap melakukan tekanan dorso-kranial, seperti
gambar di atas.
 Jika tali pusat bertambah panjang, pindahkan klem hingga berjarak sekitar 5-10 cm dari
vulva dan lahirkan plasenta
 Jika plasenta tidak lepas setelah 15 menit menegangkan tali pusat:
- Beri dosis ulangan oksitosin 10 unitIM
- Lakukan kateterisasi (aseptik) jika kandung kemih penuh
- Minta keluarga untuk menyiapkan rujukan
- Ulangi penegangan tali pusat 15 menit berikutnya
- Segera rujuk jika plasenta tidak lahir dalam 30 menit setelah bayi lahir
- Bila terjadi perdarahan, lakukan plasenta manual.
39. Saat plasenta terlihat di introitus vagina, lanjutkan kelahiran plasenta dengan
menggunakan kedua tangan.
 Jika selaput ketuban robek, pakai sarung tangan DTT atau steril untuk melakukan
eksplorasi sisa selaput kemudian gunakan jari-jari tangan atau klem DTT atau steril
untuk mengeluarkan bagian selaput yang tertinggal.
40. Segera setelah plasenta dan selaput ketuban lahir, lakukan masase uterus dengan
meletakkan telapak tangan di fundus dan lakukan masase dengan gerakan melingkar
secara lembut hingga uterus berkontraksi (fundus teraba keras).
 Lakukan tindakan yang diperlukan jika uterus tidak berkontraksi setelah 15 detik
melakukan rangsangan taktil/ masase.
 Menilai Perdarahan
41. Periksa kedua sisi plasenta baik yang menempel ke ibu maupun janin dan
pastikan bahwa selaputnya lengkap dan utuh.
42. Evaluasi adanya laserasi pada vagina dan perineum dan lakukan penjahitan bila laserasi
menyebabkan perdarahan aktif.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 91


 Melakukan Asuhan Pasca Persalinan (Kala IV)
43. Pastikan uterus berkontraksi dengan baik dan tidak terjadi perdarahan pervaginam
44. Mulai IMD dengan memberi cukup waktu untuk melakukan kontak kulit ibu-bayi (di
dada ibu minimal 1 jam).
 Biarkan bayi mencari dan menemukan puting dan mulai menyusu
 Sebagian besar bayi akan berhasil melakukan inisiasi menyusu dini dalam waktu 60-90
menit. Menyusu pertama biasanya berlangsung pada menit ke-45- 60, dan berlangsung
selama 10-20 menit. Bayi cukup menyusu dari satu payudara.
 Tunda semua asuhan bayi baru lahir normal lainnya dan biarkan bayi berada di dada ibu
selama 1 jam walaupun bayi sudah berhasil menyusu.
 Bila bayi harus dipindah dari kamar bersalin sebelum 1 jam atau sebelum bayi
menyusu, usahakan ibu dan bayi dipindah bersama dengan mempertahankan kontak
kulit ibu dan bayi.
 Jika bayi belum menemukan puting ibu - IMD dalam waktu 1 jam, posisikan bayi
lebih dekat dengan puting ibu dan biarkan kontak kulit dengan kulit selama 30-60 menit
berikutnya.
 Jika bayi masih belum melakukan IMD dalam waktu 2 jam, pindahkan ibu ke ruang
pemulihan dengan bayi tetap di dada ibu. Lanjutkan asuhan perawatan neonatal esensial
lainnya (menimbang, pemberian vitamin K1, salep mata) dan kemudian kembalikan
bayi kepada ibu untuk menyusu.
 Kenakan pakaian pada bayi atau tetap diselimuti untuk menjaga kehangatannya.
 Tetap tutupi kepala bayi dengan topi selama beberapa hari pertama. Bila suatu saat kaki
bayi terasa dingin saat disentuh, buka pakaiannya kemudian telungkupkan kembali di
dada ibu dan selimuti keduanya sampai bayi hangat kembali.
 Tempatkan ibu dan bayi di ruangan yang sama. Bayi harus selalu dalam jangkauan ibu
24 jam dalam sehari sehingga bayi bisa menyusu sesering keinginannya.

45. Setelah kontak kulit ibu-bayi dan IMD selesai:


 Timbang dan ukur bayi.
 Beri bayi salep atau tetes mata antibiotika profilaksis (tetrasiklin 1% atau
antibiotika lain).
 Suntikkan vitamin K1 1 mg (0,5 mL untuk sediaan 2 mg/mL) IM di paha kiri
anterolateral bayi.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 92


 Pastikan suhu tubuh bayi normal (36,5 – 37,5oC).
 Berikan gelang pengenal pada bayi yang berisi informasi nama ayah, ibu, waktu lahir,
jenis kelamin, dan tanda lahir jika ada.
 Lakukan pemeriksaan untuk melihat adanya cacat bawaan (bibir sumbing/langitan
sumbing, atresia ani, defek dinding perut) dan tanda-tanda bahaya pada bayi. Bila
menemukan tanda bahaya, hubungi dokter spesialis anak. Bila dokter spesialis anak
tidak ada, segera persiapkan rujukan
46. Satu jam setelah pemberian vitamin K1, berikan suntikan imunisasi hepatitis B di
paha kanan anterolateral bayi.
 Letakkan bayi di dalam jangkauan ibu agar sewaktu-waktu bisa disusukan.
 Letakkan kembali bayi pada dada ibu bila bayi belum berhasil menyusu di dalam satu
jam pertama dan biarkan sampai bayi berhasil menyusu.
47. Lanjutkan pemantauan kontraksi dan pecegahan perdarahan pervaginam:
 Setiap 2-3 kali dalam 15 menit pertama pascasalin.
 Setiap 15 menit pada 1 jam pertama pascasalin.
 Setiap 20-30 menit pada jam kedua pascasalin.
 Lakukan asuhan yang sesuai untuk menatalaksana atonia uteri jika uterus tidak
berkontraksi dengan baik.
48. Ajarkan ibu/keluarga cara melakukan masase uterus dan menilai kontraksi, mewaspadai
tanda bahaya pada ibu, serta kapan harus memanggil bantuan medis.
49. Evaluasi dan estimasi jumlah kehilangan darah.
50. Periksa tekanan darah, nadi, dan keadaan kandung kemih ibu setiap 15 menit selama 1
jam pertama pascasalin dan setiap 30 menit selama jam kedua pascasalin.
 Periksa temperatur ibu sekali setiap jam selama 2 jam pertama pascasalin.
 Lakukan tindakan yang sesuai untuk temuan yang tidak normal
51. Periksa kembali kondisi bayi untuk memastikan bahwa bayi bernafas dengan baik (40-60
kali/menit) serta suhu tubuh normal (36,5 – 37,50C).
 Tunda proses memandikan bayi yang baru saja lahir hingga minimal 24 jam setelah
suhu stabil.
52. Tempatkan semua peralatan bekas pakai dalam larutan klorin 0,5% untuk dekontaminasi
(10 menit). Cuci dan bilas peralatan setelah didekontaminasi.
53. Buang bahan-bahan yang terkontaminasi ke tempat sampah yang sesuai.
54. Bersihkan badan ibu menggunakan air DTT. Bersihkan sisa cairan ketuban, lendir dan
darah. Bantu ibu memakai pakaian yang bersih dan kering.
55. Pastikan ibu merasa nyaman.
 Bantu ibu memberikan ASI.
 Anjurkan keluarga untuk memberi ibu minuman dan makanan yang
diinginkannya.
56. Dekontaminasi tempat bersalin dengan larutan klorin 0,5%.
57. Celupkan sarung tangan kotor ke dalam larutan klorin 0,5%, balikkan bagian dalam
keluar dan rendam dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit.
58. Cuci kedua tangan dengan sabun dan air bersih mengalir kemudian keringkan dengan
tisu atau handuk yang kering dan bersih.
59. Lengkapi partograf (halaman depan dan belakang), periksa tanda vital dan asuhan
kala IV.
Catatan: Pastikan ibu sudah bisa buang air kecil setelah asuhan persalinan
selesai.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 93


Kasus:
1. Seorang perempuan usia 28 tahun G2P1A0 dibawa oleh keluarga ke UGD dengan keluhan perut
kencang-kencang. Hasil pemeriksaan dalam oleh perawat pada jam 13.30 diketahui pembukaan 8 cm.
Pasien tampak kesakitan, kontraksi 4/10menit, durasi 42 detik, kekuatan kuat, interval 2.5 menit. 2
Jam kemudian pembukaan lengkap.
Apakah tindakan yang harus anda lakukan?
2. Seorang perempuan berusia 29 tahun G1P0A0 hamil 41 minggu dirawat di ruang bersalin pada pukul
22.00 WIB dengan inpartu. Hasil pengkajian pukul 22.30 WIB pasien tampak gelisah, kontraksi
uterus 3 kali dalam 10 menit dengan durasi 30 detik, DJJ 150x/menit, pembukaan serviks 7 cm dan
kondisi ketuban masih utuh.
Kapankah perawat dapat melakukan pemeriksaan dalam selanjutnya?
A. 23.30 WIB
B. 01.30 WIB
C. 02.00 WIB
D. 02.30 WIB
E. 03.00 WIB

Jawaban:
1. Pimpin persalinan
2. D

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 94


DAFTAR PUSTAKA

Aspiani, R.Y. 2017. Asuhan Keperawatan Maternitas Aplikasi NANDA, NIC dan NOC. Jakarta
:Trans Info Media
Bobak.Lowdermilk. Jensen. 2013. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC. Kemenkes RI.
2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan
Rujukan
Padila. 2014. Keperawatan Maternitas. Nuha Medika : Yogyakarta

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 95


PEMERIKSAAN FISIK POSTPARTUM

a. Definisi
Pemeriksaan yang dilakukan pada ibu setelah masa melahirkan atau pada masa nifas yaitu masa
setelah placenta lahir sampai organ reproduksi kembali normal yang jangka waktunya 6 minggu

b. Tujuan
Sebagai acuan petugas dalam melakukan tindakan Untuk mengetahui keadaan fisik ibu setelah
melahirkan

c. Prosedur
Tahap pra interaksi
1. Lakukan verifikasi data sebelumnya bila ada
2. Cuci tangan
3. Siapkan dan meletakan alat dekat pasien
Tahap orientasi
1. Ucapkan salam
2. Identifikasi pasien
3. Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan
4. Tanyakan kesiapan/persetujuan pasien
Tahap kerja
1. Jaga privasi pasien
2. Lakukan pengkajian umum (pada 4 jam pertama sampai 3 hari post partum)
a) Aktivitas / istirahat. Insomnia mungkin terjadi, ksji penyebabnya misalnya nyeri epis, nyeri
hemoroid, cemas, diaphoresisi dan sebagainya (episode diaphoresis lebih sering terjadi pada
malam hari)
b) Nyeri/ ketidaknyamanan, nyeri tekan payudara/ pembesaran dapat terjadi diantara hari ke 3
sampai hari ke 5 pasca partum
c) Eliminasi. Diuresis diantara hari ke 2-3
d) Status gizi dan tingkatan energy. Kehilangan nafsu makan mungkin
e) dikeluhkan pada hari ketiga
f) Kemampuan perawatan bayi
g) Status psikologi dan emosional ibu
1) Ibu post partum lebih peka rangsang, takut, dan menangis
2) Fase maternal menurut Rubin : taking in, taking hold, letting go
3) Respon ibu dan keluarga terhadap kelahiran atau proses persalinan, dan terhadap
bayi.
h) Aspek pengetahuan ibu dan keluarga mengenai perawatan post partum.
1) Nutrisi
2) Seks
3) Perawatan payudara
4) Senam nifas
5) Perawatan bayi
6) ASI
7) Teknik menyusui
8) Imunisasi dasar bayi
9) Manajemen nyeri post partum
10)Peran keluarga
3. Lakukan pemeriksaan fisik head to toe
4. Lakukan pemeriksaan tanda vital

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 96


a) Tekanan darah. Kenaikan tekanan sistolik 30 mmhg (diastolic 16 mmhg) dan bila disertai
sakit kepala/gangguan pengelihatan maka harus dicurigai adanya preeklamsi post partum.
b) Nadi. Denyut nadi antara 60-70,berkeringat dan menggigil, mengeluarkan cairan yang
berlebihan dari sisa-sisa pembakaran melalui kulit kering terjadi terutama pada malam hari.
c) Suhu. Meningkat dalam 24 jam pertama sebagai akibat adanya dehidrasi, peregangan
muskuler dan perubahan hormonal. Jika setelah 24 jam didapatkan peningkatan suhu tubuh
diatas 38 C selama 2 hari berturut turut pada 10 hari persalinan maka perlu dipikirkan
kemungkinan adanya infeksi saluran kemih.
d) Pernafasan
5. Lakukan pemeriksaan payudara
a) Inspeksi bentuk dan kesimetrisan payudara
b) Inspeksi bentuk putting (menonjol,mendatar, atau tenggelam)
c) Inspeksi putting terhadap luka atau lecet
d) Kaji kebersihan putting
e) Inspeksi perubahan warna kulit atau areola menjadi lebih hitam dan melebar
f) Kaji apakah terjadi pembengkakan payudara atau tidak
g) Kaji peningkatan suhu
h) Periksa pengeluaran kolostrum, akan meningkat pada hari ke 2 atau hari ke 3
6. Lakukan pemeriksaan abdomen dan fundus uteri
a) Kaji intensitas kontraksi uterus
b) Palpasi : ukuran TFU , setelah placenta lahir sampai 12 jam pertama TFU 1-2jari diatas
pusat/1 cm diatas umbilical,24 jam pertama TFU setinggi pusat, pada hari keenam TFU di
pertengahan shympisi dan pusat, pada hari ke Sembilan sampai dua belas TFU sudah tidak
teraba
c) Lakukan pemeriksaan diastasis rektus abdominalis
d) Auskultasi bising usus di perlukan waktu 3-4 hari sebelum faal usus kembali normal
7. Lakukan pemeriksaan genital
a) Inspeksi adanya oedem pada traktus urinarius, dapat menimbulkan obstruksi dari uretra
sehingga terjadi retensio urine
b) Kaji BAK, proses persalina mengakibatkan kandung kemih kehilangan sensitivitas
8. Lakukan pemeriksaan perineum dan rectum
a) Kaji keutuhan perineum
b) Kaji adanya laserasi
1) Tingkat 1 : kulit dan strukturnya dari permukaan sampai otot
2) Tingkat 2 : meluas sampai otot perineal
3) Tingkat 3 : meluas sampai spinkter
4) Tingkat 4 : melibatkan dinding anterior rectal
c) Kaji luka episiotomy dan keadaan jahitan, kaji tanda REEDA (redress,edema,
echymosis, discharge, approximation)
d) Kaji adanya keluhan nyeri
e) Kaji adanya hemoroid
f) Periksa discharge (lochea) Yaitu kotoran yang keluar dari liang senggama dan terdiri
dari jaringan-jaringan dan lendir berasal dari rahim dan liang senggama
1) Monitor lochea tiap 4-8 jam
2) Kaji jumlah, (bias dilihat dengan frekuensi penggantian dusk/pembalut). Pada
persalinan normal darah keluar +400- 500 CC, masih dapat ditoleransi. Kehilangan
lebih dari 500 cc merupakan tanda awal perdarahan post partum
3) Kaji sifat pengeluaran lochea (menetes/merembes/memancar), warna, dan baunya.
Lochea dibagi dalam:
i. Lochea rubra : berwarna merah terdiri dari lender dan darah terdapat pada hari 1-3,
bentuk darah dan bekuan, bau anyir

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 97


ii. Lochea serosa: berwarna merah muda, agak coklat terdapat pada hari ke 4- 9, bau
agak anyir mengandung serum leukosit dan sisa jaringan.
iii. Lochea alba : berwarna kuning putih, terdapat pada hari ke10, berisi leukosit,
selepitel, mukoserviks dan bakteri/kuman.
4) Massage abdomen : jika keluar memancar dan segar curiga adanya perlukaan, jika
segar tapi menetes tidak berbahaya 10.
9. Lakukan pemeriksaan ekstrimitas
a) Kaji kekuatan otot
b) Adakah pembengkakan /oedem
c) Adakah nyeri atau rasa tak nyaman, tromboplebitis dan tromboemboli
d) Kaji tanda human sign positif yaitu: edema, redness, tegang, suhu kulit meningkat, cara
mengkaji kaki ditinggikan 30 derajat
10. Lakukan pemeriksaan diagnostik
a) Hb menurun pada hari ke 2-6
b) Leukosit segera setelah melahirkan meningkat sampai 25.000 mm3. Pada
peningkatan lebih dari 30% setelah interval 6 hari kemungkinan mengalami infeksi
c) Jumlah darah lengkap
d) Urinalisa
d. Tahap terminasi
1. Lakukan evaluasi tindakan yang dilakukan
2. Ajak pasien dan keluarga membaca hamdalah
3. Pamit dengan pasien dan mengucapkan salam
4. Bereskan dan mengembalikan alat ketempat semula Cuci
tangan 6. Catat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 98


3
KEPERAWATAN ANAK

PEMERIKSAAN PERTUMBUHAN ANAK

A. Defenisi
Pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui ukuran-ukuran fisik seorang bayi atau anak
meliputi BB, TB, LK, LLA, dan LD dengan menggunakan alat ukur tertentu, seperti timbangan
dan pita pengukur (meteran).
B. Tujuan
1) Mengetahui pertumbuhan fisik pada bayi/anak
2) Mengetahui ada/tidaknya gangguan pertumbuhan pada bayi/anak
C. Persiapan Alat
1) BB scale
2) Pita pengukur (meteran)
3) Papan pengukur PB (Infantometer)
4) Buku Catatan dan alat tulis
D. Prosedur Kerja
a. Fase Orientasi
1) Cuci tangan
2) Memberikan salam sebagai pendekatan therapeutik pada bayi dan ibunya
3) Menjelaskan tujuan dan prosedur
4) Memberikan kesempatan pada ibu untuk bertanya sebelum memulai tindakan
5) Menanyakan kesiapan keluarga sebelum kegiatan dilakukan
6) Mendekatkan alat-alat, bila bayi siap dilakukan tindakan
7) Berikan privacy pada bayi (pasang tirai/screen)

b. Fase Kerja
PENGUKURAN PANJANG BADAN BAYI DENGAN INFANTOMETER
1) Tutup kepala dan sepatu bayi dilepas
2) Letakkan alat pengukur/infantometer pada meja yang rata dan stabil/lantai yang
beralas papan yang rata
3) Bayi ditidurkan lurus di dalam alat pengukur
4) kepala diletakkan hati-hati sampai menyinggung bagian atas alas pengukur
5) Pandangan mata lurus ke langit-langit, gunakan kedua tangan untuk menahan kedua
sisi kepala bayi dekat telinganya
6) Luruskan posisi kaki bayi dengan menekan kedua lutut, yakinkan posisi bayi benar-
benar rata dan lurus pada alat pengukur.
7) Jika posisi sudah benar, baca dan sebutkan panjang badan bayi
8) Segera catat pada formulir / buku catatan
9) eriksa kembali hasil pengukuran yang sudah dicatat untuk menghindari
kesalahan

ATAU DENGAN CARA PENGUKURAN PANJANG BADAN DENGAN METERAN


1) Pertama ukur PB dari ubun-ubun besar ke simpisis dan catat
2) Kedua ukur dari simpisis ke tumit dan catat
3) Tambahkan hasil pengukuran pertama dan kedua
4) Catat hasilnya
5) Perhitungan status tinggi/panjang badan Z-Score

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 99


Rumus:
BB – median
Median-SD

PENGUKURAN BERAT BADAN


1) Pakaian seminimal mungkin : sepatu, baju, tutup kepala yang cukup tebal harus
dilepas
2) Siapkan timbangan dan pastikan pada posisi 0,00, untuk bayi < 2 tahun dibaringkan
dalam timbangan, sedangkan untuk anak > 2 tahun disuruh naik di atas timbangan
sampai angka pada timbangan tidak berubah lagi
3) Catat hasilnya
4) Perhitungan status gizi (Z-score)

Rumus:
BB – median
Median-SD

PENGUKURAN LINGKAR KEPALA BAYI


1) Pastikan bayi pada posisi nyaman (berbaring/dipangku)
2) Meteran/pita pengukur dilingkarkan antara tonjolan supra orbita s.d tonjolan
oksipital mayor di belakang kepala bayi
3) Lihat angka pada meteran dan catat dengan teliti
4) Catat hasilnya

PENGUKURAN LINGKAR DADA


1) Pita ukur dilingkarkan pada dada dengan memasukkan ujung pita di sela ketiak
melalui ujung terendah scapula
2) Lilitkan melingkar ke arah depan dan melewati kedua putting susu
3) Catat hasil pada buku catatan

PENGUKURAN LINGKAR ABDOMEN


1) Pita ukur dilingkarkan di abdomen tepat di bawah pusat
2) Catat hasilnya

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 10


PENGUKURAN LINGKAR LENGAN ATAS
1) Pastikan bayi pada posisi nyaman / dipangku
2) Lengan dalam posisi tidak tertutup kain/pakaian
3) Tetapkan bagian yang akan diukur, yaitu : pertengahan lengan atas sebelah kiri, dengan
cara diukur panjang lengan atas dari bahu ke siku kemudian dibagi 2.
4) Meteran dilingkarkan pada pertengahan lengan tersebut sampai terukur keliling
lingkaran lengan. Meteran tidak ditarik terlalu kuat, tapi juga tidak terlalu longgar.
5) Lihat angka pada meteran dan catat dengan teliti.

c. Fase Terminasi
1) Rapikan bayi dan beri posisi yang nyaman
2) Evaluasi kegiatan yang telah dilakukan sesuai dengan tujuan yang diharapkan
(subyektif dan obyektif)
3) Beri reinforcement positif pada bayi dan ibu
4) Kontrak pertemuan selanjutnya
5) Mengakhiri pertemuan dengan baik, bersama dengan ibu dan keluarga mendoakan agar
bayi senantiasa diberikan kesehatan dan menjadi anak yang soleh/solehah
6) Kumpulkan dan bersihkan alat-alat
7) Mencuci tangan

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 10


PEMERIKSAAN FISIK PADA BAYI

A. Defenisi
Pemeriksaan yang dilakukan pada bayi secara komperhensif

B. Tujuan

1. Untuk mendeteksi adanya penyimpangan dari normal atau abnormal


2. Untuk memastikan keadaan fisik bayi dalam keadaan normal atau abnormal

C. Persiapan Alat
 .Stetoskop
 Termometer
 Jam tangan
 Reflek hummer
 Bengkok
 Handscun
 Alat tulis

D. Prosedur
1. Petugas mencuci tangan
2. Pemeriksaan fisik bisa dilakukan dengan cara:
a. Inspeksi (melihat)
b. Palpasi (meraba)
c. Perkusi (mengetok)
d. Auskultasi (mendengar)
e. Anamnesa (Tanya jawab)
3. Keadaan Umum
4. Kepala
a. Bentuk (lonjong, bundar / tidak)
b. Besar (normal, mikrocepalus, hydrocephalus /tidak)
c. Ubun-ubun besar / kecil, sudah menutup / belum
d. Bila belum menutup teraba cekung, datar, cembung, tegang / tidak
e. Sutura-sutura teraba/tidak
5. Rambut
a. Warnanya (hitam, merah jagung, lainnya)
b. Kesuburan rambut (lebat, tipis / tidak)
c. Mudah rontok / tidak, botak / tidak
6. Muka
a. Pucat, kuning, merah, biru (sianosis)
b. Kulit wajah: halus, kasar / tidak
c. Hiperpigmentasi melantonik ada atau tidak
7. Mata
a. Simetris / tidak, julin, buta / tidak (kelopak mata / bulu mata lengkap / tidak)
b. Sclera (normal, kuning, pucat)
c. Penyakit mata akut / kronis, tumor / tidak
8. Hidung
a. Bersih / tidak
b. Pilek / tidak, polip / tumor ada / tidak
9. Mulut
a. Bibir pucat / tidak, stomatitis / tidak
b. Stomatitis
c. Labiopalatoskisis

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 10


10. Telinga
a. Bersih / tidak
b. Pernah keluar cairan / tidak
c. Tanda-tanda infeksi lainnya
11. Leher
a. Pembesaran / tidak
b. Hiperpigmentasi pada leher /tidak
12. Dada
a. Bentuk normal / tidak
b. Benjolan ada / tidak
c. Luka ada / tidak
d. Suara napas
e. Sesak / tidak
f. Bunyi napas
g. Pemeriksaan jantung (bunyi, PJB)
13. Eksetermitas
a. Simetris / tidak
b. Jari-jari lengkap / tidak
c. Kuku: pucat, clubbing finger, biru / normal
d. Reflek patella
e. Reflek bubinski
f. Oedem / tidak
14. Abdomen
a. Membesar / tidak
b. Ada bekas operasi / tidak
c. Bising usus
d. Obervasi tali pusat / umbilicus
15. Punggung
a. Tulang punggung simetris / tidak
b. Kifosis ada / tidak
c. Hiperlordosis / tidak
d. Spina bifida
16. Genetalia, anus
a. Hypospadia / epispadia , normal
b. Kebersihan
c. Atresia ani / tidak
17. Pemeriksaan neurologi
a. Reflek menghisap
b. Reflek menggenggam
c. Reflek morro
d. Reflek Babinski
e. Reflek inkurvasi

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 10


PERHITUNGAN OBAT PADA ANAK

A. Defenisi
Perhitungan dosis obat pada anak sesuai dengan rumus yang telah ditentukan

B. Tujuan
Tujuan prosedur ini yaitu ketepatan jumlah dosis obat yang akan diberikan pada anak
C. Persiapan Alat
1. Obat yang akan digunakan
2. Spuit sesuai rencana dosis obat
3. Handscun
4. Aquades
5. Bengkok
6. Instrument set
7. Kapas alkohol
D. Prosedur
a. Menghitung jumlah dosis obat yang akan diberikan m
Da =---------x Dd (mg)
150
Keterangann rumus fried:
Da : Dosis anak
m : Umur anak dalam bulan Dd
: Dosis dewasa
150: Ketetapan fried

Contoh : seorang bayi berumur 6 bulan. demam tinggi selama 1 hari, dan telah diresepkan oleh
dokter mendapatkan paracetamol dengan dosis dewasa 500mg, berapakah dosis yang harus
diberikan untuk bayi tersebut ?

Jawab :
m
Da =---------x Dd (mg)
150
=
6
Da =---------x 500 (mg) = 20 mg
150

b. Pengambilan dosis obat dengan perhitungan spuit yang tepat


c. Pemberian obat sesuai dengan prosedur pemberian obat yang telah dipelajari
sebelumnya

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 10


DAFTAR PUSTAKA
James & Ashwill. (2007). Nursing Care of Children; Principles & Practice (3rd ed.). St. Louis:
Saunders

Wong, Hockenberry & Wilson.(2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik.Edisi 6. EGC: Jakarta

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 10


4
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Resusitasi Jantung Paru (RJP)

A. Definisi
Bantuan hidup dasar (BHD) / Basic Life Suport (BLS) adalah fase khusus dari penanganan gawat
darurat jantung.
B. Tujuan
1. Mencegah hentian atau insufisiensi jantung atau nafas lewat pengenalan dan
intervensi dini
2. Menyongkong sirkulasi dada pentilasi korban henti jantung atau pernapasan dari luar
lewat resusitasi jantung–paru / Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR).
3. Mengalirkan oksigen ke otak, jantung dan organ–organ vital lainnya sampai terapi
medis defenitif yang sesuai (bantuan hidup lanjut) dapat mengembalikan fungsi
normal jantung danventilasi.
C. Indikasi
1. Henti nafas akibat tenggelam, stroke, benda asing, obstruksi jalan nafas, inhalasi
asapoverdosis obat, tersengat listrik, sesak napas, infark miokard, cedera akibat
tersambar petirdan koma karena sebab apapun yang menimbulkan obstruksi jalan
napas.
2. Henti jantung.
D. Alat dan Bahan
1. Spine Board/Papan penahan/papan punggung/permukaandatar
2. Alat AED (Automatical External Defribilator)
3. Ambu Bag / Bag Valve Mask
4. Mouthpiece
5. Disposible CPR

E. Prosedur Tindakan

Gambar 1. Langkah-langkah RJP


1. Penolong proteksi diri, gunakan APD (Alat PelindungDiri): Proteksi diri,
lingkungan dan pasien.
2. Cek respon korban dengan teknik AVPU (Alert, VerbalPain, dan Un Response).
a. Memanggil nama, jika tidak ada respon;
b. Menggoyangkan/menepuk bahu pasien, jika tidak adarespon;
c. Mencubit pasien, jika tidak ada respon;
d. Berikan rangsangan nyeri pada daerah sternum.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 10


3. Jika pasien tidak sadar / tidak ada respon, maka aktifkan EMS (Emergency
Medical System) atau call for help(minta pertolongan)
4. Buka jalan napas dengan head tilt - chin lift (untuk korban non trauma, chin lift – jaw
thrust (untuk korban trauma yang dicurigai fraktur servikal).

Gambar 2. Posisi head tilt - chin lift - jaw thrust


5. Menilai pernapasan dengan cara:
a. Look: Melihat pergerakan dada / perut
b. Listen: Mendengar suara keluar / masuk udara darihidung / mulut
c. Feel: Merasakan adanya hembusan nafas dari hidung /mulut

Gambar 3. Teknik look, listen, and feel


6. Jika pasien tidak bernafas, berikan nafas buatan dengan recucitator sebanyak 2 kali
secara perlahan
7. Periksa denyut jantung pasien dengan cara meraba nadi karotis, jika arteri carotis terba
cukup berikan nafas buatan setiap 5 detik sekali
8. Jika arteri carotis tidak teraba lakukan kombinasi nafas buatan dan kompresi jantung
luar dengan perbandingan 15:2 untuk dewasa baik 1 atau penolong.
9. Kompresi jantung dilakukan dengan cara:

Gambar 4. Posisi RJP


a. Penekanan menggunakan dua pangkal telapak tangandengan kejutan bahu.
b. Penekanan pada daerah sternum 2-5 jari di atasprosesxyphoideus
c. Kedalam tekanan 5-6 cm
d. Frekuensi penekanan 80-100 kali per menit
e. Setiap 4 siklus (4 kali kompresi dan 5 kali ventilasi)cek pernapasan
f. Jika nafas tetap belum ada lanjutkan teknik kombinasidimulai dengan kompresi
jantung luar.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 10


g. Jika nafas sudah ada hentikan RJP dan berikan
recovery position.
F. Hal-hal yang perlu diperhatikan
1. Evaluasi pernafasan pasien tiap 1 menit saat dilakukanRJP.
2. Lakukan RJP sampai:
a. Timbul nafas spontan
b. Diambil alih alat / petugas lain
c. Dinyatakan meninggal
d. Penolong tidak mampu atau sudah 30 menit tidak adarespon

Soal!
1. Seorang laki-laki berusia 26 tahun dibawa oleh ibunya tukang becak ke ruang unit gawat
darurat, tiba-tiba pasien mengalami henti napas dan henti jantung. Perawat memakai alat
pelindung diri, kemudian mengecek respon pasien dan mengaktifkan sistem emergency,
Manakah tindakan selanjutnya yang harus dilakukan?
a. Mengecek nadi karotis pasien
b. Memberikan bantuan nafas sebanyak 2 kali
c. Melakukan kompresi jantung sebanyak 30 kali
d. Membuka jalan napas dengan teknik head tilt chin lift
e. Mengkaji napas pasien dengan cara look, listen and feel
2. Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun mengalami henti napas dan henti jantung di ruang unit
gawat darurat. Dua orang perawat langsung melakukan tindakan resusitasi jantung paru (RJP).
Berapakah rasio kompresi dan ventilasi yang diberikan?
a. 3 kompresi dan 1 ventilasi
b. 15 kompresi dan 1 ventilasi
c. 15 kompresi dan 2 ventilasi
d. 30 kompresi dan 1 ventilasi
e. 30 kompresi dan 2 ventilasi
3. Seorang perempuan berusia 27 tahun jatuh dari motor dibawa ke ruang unit gawat darurat, hasil
pemeriksaan terdapat luka di bagian leher dan di dahi pasien, darah keluar dari hidung, telinga
dan mulut. Bagaimanakah cara membuka jalan napas pada pasien?
a. Chin lift
b. Jaw trust
c. Head tilt
d. Chest trust
e. Hiperektensi kepala
4. Seorang laki-laki berusia 35 tahun mengalami henti napas dan henti jantung di ruang unit gawat
darurat. Perawat langsung melakukan tindakan resusitasi jantung paru (RJP) selama 2 menit,
setelah itu perawat mengevaluasi keadaan pasien, ternyata denyut nadi korban ada dan nafas
tidak ada. Manakah tindakan selanjutnya yang harus dilakukan?
a. Melakukan kembali tindakan resusitasi jantung paru
b. Merujuk pasien ke sarana pelayanan kesehatan terdekat
c. Memberikan bantuan nafas sebanyak 10 kali selama duamenit
d. Memberikan bantuan nafas sebanyak 20 kali selama duamenit
e. Memposisikan klien ke dalam posisi miring mantap
(recovery position)
5. Seorang perempuan berusia 55 tahun mengalami henti napas dan henti jantung di ruang unit
gawat darurat. Perawat langsung melakukan tindakan resusitasi jantung paru (RJP) selama 2
menit, setelah itu perawat mengevaluasi keadaan pasien, ternyata denyut nadi dan napas
korban ada. Manakah tindakan selanjutnya yang harus dilakukan?

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 10


a. Memposisikan klien ke dalam posisi miring mantap
b. Merujuk pasien ke sarana pelayanan kesehatan terdekat
c. Memberikan bantuan nafas sebanyak 10 kali selama dua menit
d. Memberikan bantuan nafas sebanyak 20 kali selama duamenit
e. Melakukan kembali tindakan resusitasi jantung paruselama 5 siklus

DAFTAR PUSTAKA

AHA. (2020). Highlights of the 2020 American Heart Association Guidelines For CPR and
ECC. American Journal of Heart Association, 9, 32.
Al Rasid, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan Gawat Darurat.
Ciptaning Tyas, M. D. (2016). Keperawatan Kegawatdaruratan & Manajemen Bencana.
Kemenkes RI.
Hidayati, A. N., Alfian, M. I. A. A., & Rosyid, A. N. (2018). Gawat Darurat Medis dan Bedah. In
Rumah Sakit Universitas Airlangga (Vol. 8, Issue 1). adm@aup.unair.ac.id
Kurniati, A., Putri, A. F., Yanuar, E., Firdaus, M. I., Pemila, U., & Kurniawan, D. (2020).
Panduan Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat Pada Masa Covid-19.
HIPGABI. https://ppnipangandaran.org/download/pak-covid-hipgabi.pdf
Mardalena. (2021). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. In
Pustaka Baru Press (Vol. 1, Issue 69).
Yosep, I., & Sutini, T. (2016). Buku Ajar Keperawatan. In
Bandung: PT Refika Aditama (Issue 00).

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 10


Pembalutan dan Pembidaian

A. Definisi
Balut bidai adalah tindakan memfiksasi/ mengimobilisasi bagian tubuh yang mengalami
cidera dengan menggunakan benda yang bersifat kaku maupun fleksibel sebagai fiksator
/imobilisator.
B. Tujuan
1. Mencegah gerakan bagian yang stabil sehinggamengurangi nyeri dan
mencegah kerusakan lebih lanjut.
2. Mempertahankan posisi yang nyaman.
3. Mempermudah transportasi organ.
4. Mengistirahatkan bagian tubuh yang cidera.
5. Mempercepat penyembuhan
C. Indikasi
1. Adanya fraktur, baik terbuka /tertutup.
2. Adanya kecurigaan adanya fraktur.
3. Dislokasi persendian
D. Alat dan Bahan
1. Bidai dalam bentuk jadi/ bidai standart yang telah dipersiapkan
2. Bidai sederhana (panjang bidai harus melebihi panjang tulang dan sendi yang akan dibidai
) contoh: papan kayu,ranting pohon.
3. Bidai yang terbuat dari benda keras (kayu) sebaiknya dibalut dengan bahan yang lebih
lembut (kain, kassa, dsb)
4. Bahan yang digunakan sebagai pembalut pembidaian bisa berasal dari pakaian atau bahan
lainnya. Bahan yang digunakan harus bisa membalut dengan sempurna pada ekstremitas
yang dibidai namun tidak terlalu ketat karena dapat menghambat sirkulasi.
5. Plester biasanya dipergunakan untuk menutup luka yang telah diberi antiseptik. Juga
dapat dipakai merekatkan penutup luka dan fiksasi pada sendi yang terkilir.
6. Pembalut pita/gulung (elastis bandage) dapat dibuatdari kain katun, kain kasa,
flannel ataupun bahan elastik. Di pasaran, yang banyak dijual sebagai pembalut pita adalah
yang terbuat dari kain kasa.
Ada beberapa ukuran pembalut pita/gulung:
a. Pembalut pita ukuran 2,5 cm untuk jari-jari
b. Pembalut pita ukuran 5 cm untuk leher dan pergelangan tangan
c. Pembalut pita ukuran 7,5 cm untuk kepala, lenganatas, lengan bawah, betis dan
kaki.
d. Pembalut pita ukuran 10 cm untuk paha dan sendipanggul
e. Pembalut pita ukuran > 10 - 15 cm untuk dada,punggung dan perut
7. Mitela merupakan kain segitiga sama kaki dengan panjang kaki 90 cm, terbuat dari kain
mori. Pada penggunaannya seringkali dilipat lipat sehingga menyerupai dasi. Dalam hal ini
mitela dapat diganti dengan pembalut pita.
8. Gunting kassa
E. Prosedur Tindakan
1. Cara Membalut dengan Pita (gulung)
Pembalut pita dapat digunakan sebagai pengganti pembalut yang berbentuk segitiga.
Secara umum cara membalut dengan pita dapat mengikuti langkah langkah berikut:
a. Berdasar pada besar bagian tubuh yang akan dibalut, maka dipilih pembalut pita
dengan ukuran Iebar yang sesuai.
b. Pembalutan biasanya dibuat bebrapa lapis, dimulai dari salah satu ujung yang dibalutkan
mulai dari proksimal bergerak ke distal untuk menutup sepanjang

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 11


bagian tubuh yang akan dibalut, kemudian dari distal ke proksimal dibebatkan dengan
arah bebatan saling menyilang dan tumpang tindihantara bebatan yang satu dengan
bebatan berikutnya.
c. Kemudian ujung pembalut yang pertama diikat dengan ujung yang lain
secukupnya.
Beberapa teknik penggunaan pembalut pita antara lain:
a. Balutan sirkuler (spiral bandage)
Digunakan untuk membalut bagian tubuh yang berbentuk silinder

Gambar 5. Balutan Sirkuler


Caranya:
Pembalut mula-mula dikaitkan dengan 2-3 putaran, lalu pada saat membalut tepi atas
balutan harus menutupi tepi bawah balutan sebelumnya, demikian seterusnya.
b. Balutan pucuk rebung (spiral reverse bandage) Digunakan untuk membalut
bagian tubuh yang berbentuk kerucut.

Gambar 6. Balutan Pucuk Rebung


Caranya:
Setelah pembalut dikaitkan dengan 2-3 putaran, maka pembalut diarahkan ke atas
dengan menyudut 45°, lalu di tengah pembalut tadi dilipat mengarah ke bawah dengan
sudut 45° juga, demikian seterusnya.
c. Balutan angka delapan (figure of eight)
Teknik balutan yang dapat digunakan pada hampir semua bagian tubuh, terutama pada
daerah persendian. Pada kasus terkilir, ligamentum yang sering robek ialah yang terletak
di lateral, karena itu kaki diletakkan dalam posisi eversi/rotasi eksterna untuk
mengistirahatkan dan mendekatkan kedua ujung ligamentum tersebut baru kemudian
dibalut.
Caranya:
1) Pembalut mula-mula dililitkan di pergelangan beberapa kali, lalu diteruskan ke
punggung kaki (dalam hal membalut pergelangan kaki), melingkari telapak kaki,
naik lagi ke punggung dan pergelangan kaki, demikian seterusnya sehingga
membentuk angka delapan.
2) Untuk menghindari menghindari teregangnya balutan ini, dipergunakan plester
selebar 2-3 cm. Plester tersebut dilekatkan dari sisi medial pergelangan melingkari
telapak kaki ke sisi lateral, lalu dari sisi medial punggung kaki melingkari tumit ke
sisi lateral, demikian seterusnya dengan diselang-seling. Plester harus cukup
panjang hingga mencapai kulit yang tak terbalut. Balutan ini harus diganti setiap 4-6
hari.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 11


Gambar 7. Balutan angka delapan
d. Balutan rekurens (recurrent bandage)
Balutan ini dapat dilakukan pada kepala atau ujungjari, misalnya pada luka di puncak
kepala.

Gambar 8. Balutan rekurens


Caranya:
Pembalut dilingkarkan di kepala tepat di atas telinga 2-3 kali. Setelah pembalut
mencapai pertengahan dahi, dengan dipegang oleh seorang pembantu pembalut ditarik
ke oksiput dan disini dipegang oleh pembantu, lalu pembalut kembali ditarik ke
dahi. Setelah seluruh kepala tertutup, ujung-ujung bebas di dahi dan di oksiput
ditutup dengan balutan sirkuler lagi. Lalu diperkuat dengan plester selebar 2-3
cmmengelilingi dahi sampai oksipital.
2. Cara Membalut dengan Mitella
Dalam kasus pertolongan pertama, pembalut segitiga sangat banyak gunanya, sehingga
dalam perlengkapan medis pertolongan pertama pembalut jenis ini sebaiknya disediakan
lebih dari satu macam.
Mitella dipergunakan untuk membalut bagian tubuh yang berbentuk bulat. Dapat pula
untuk menggantung lengan yang cedera. Selain itu dapat dilipat sejajar dg alasnya, menjadi
pembalut bentuk dasi (cravat), dalam hal ini mitella dapat diganti dengan pembalut pita.
Secara umum cara membalut dengan pita dapat mengikuti langkah-langkah berikut:
a. Salah satu sisi mitella dilipat 3-4 cm sebanyak 1-3 kali.
b. Pertengahan sisi yang telah terlipat diletakkan di luar bagian yang akan dibalut, lalu
ditarik secukupnya dan kedua ujung sisi itu diikatkan.
c. Salah satu ujung lainnya yang bebas ditarik dan dapat diikatkan pada ikatan (b) diatas,
atau diikatkan pada tempat lain atau dapat dibiarkan bebas, hal ini tergantung tempat
dan kepentingannya.

a. Membalut Tubuh
1) Membalut dada
Puncak kain segitiga diletakkan di salah satu bahu penderita, sedang sisi alasnya
dirapatkan di perut dan kedua sudut alasnya ditarik ke punggung

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 11


kemudian disimpulkan. Puncak kain tadi dari atas bahu ditarik ke punggung dan
disimpulkan dengan salah satu sudut alas.

Gambar 8. Membalut Dada


2) Membalut punggung
Pemasangan pembalut dibalik, merujuk pada cara membalut dada diatas.
b. Membalut anggota tubuh dan persendian
1) Membalut sendi siku atau sendi lutut
Sendi siku (atau sendi lutut) dibalut pada posisi dengan nyeri yang minimum. Sebuah
k ain segitiga berbentuk dasi selebar 20 cm, bagian tengahnya diletakkan pada lekuk
siku (atau lekuk lutut) dan ujung-ujungnya dililitkan mengelilingi sendi – ujung atas
mengelilingi lengan atas (atau tungkai atas) dari proksimal ke lekuk sendi, sedang
ujung bawah mengelilingi lengan bawah (atau tungkai bawah) dari distal ke lekuk
sendi. Lalu kedua ujug itu disimpukan di sisi lateral sendi.

Gambar 9. Membalut sendi siku atau sendi lutut


2) Menggendong lengan
a. Pilihlah jenis dan ukuran pembalut mitella yang sesuai dengan keadaan luka dan
postur pasien
b. Letakkan kain segitiga di depan dada dan di bawah lipatan ketiak, dengan puncak
alas kain mengarah ke sisi lengan yang cedera dan salah satu sudut alas kain
ujungnya mencapai belakang leher dari sisi yang berlawanan denganlengan yang
cedera
c. Dalam posisi badan tegak, lekukkan siku dan letakkan lengan bawah yang patah di
atas kain dalam posisi datar
d. Untuk mengurangi perdarahan atau pembengkakan, letakkan jari tangan lebih
tinggidaripada siku
e. Lipatlah ke atas sudut alas lain dengan ujung mencapai belakang leher dari arah
sisi yang cedera sehingga membungkus lengan bawah seperti menggendong
f. Simpul kedua ujung alas kain di belakang leher, dengan posisi tidak boleh terletak
di tengah untuk menghindari simpul menekan kulit ke tulang belakang, dan juga
tidak boleh diletakkandiatas pleksus brakialis.
g. Tarik puncak kain di lateral siku ke arah ventral dan lekatkan dengan peniti.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 11


Gambar 10. Menggendong lengan
3) Membalut pergelangan tangan
Sebuah kain segitiga berbentuk dasi bagian tengahnya diletakkan di telapak tangan;
ujung- ujungnya disilang di punggung tangan, lalu mengitari pergelangan tangan dan
disimpulkan disitu.

Gambar 11. Membalut pergelangan tangan

4) Membalut tumit dan dan pergelangan kaki


Kain segitiga dilipat-lipat dari sisi alas sampai 2/3 tinggi kain, lalu letakkan alas
(yang telah dilipat tadi) di pangkal tumit. Kedua ujungnya dililitkan di pergelangan
kaki membentuk angka delapan; setelah diulang secukupnya, lalu disimpulkan disisi
dorsal pergelangan kaki.

Gambar 12. Membalut tumit dan dan pergelangankaki


3. Teknik Bidai
Pada setiap kecelakaan dengan benturan yang keras, kemungkinan patah tulang harus
dipikirkan. Bahkan bila ragu-ragu, korban tetap harus diperlakukan sebagai penderita patah
tulang. Salah satu cara yang dilakukan untuk menangani patah tulang adalah dengan teknik
bidai.
a. Bidai pada kasus Patah tulang Lengan Atas
Tulang lengan atas hanya ada sebuah dan berbentuk tulang panjang. Tanda- tanda patah
pada tulang panjang baik lengan maupun tungkai antara lain: nyeri tekan pada tempat
yang patah dan terdapat nyeri sumbu. Nyeri sumbu adalah rasa nyeri yang timbul
apabila tulang itu ditekan dari ujung ke ujung.
Gambar 13. Bidai pada Kasus Patah Tulang Lengan Atas
Tindakan pertolongan
1) Pasanglah bidai di sepanjang lengan atas dan berikan balutan untuk mengikatnya.
Kemudian dengan siku terlipat dan lengan bawah merapat ke dada, lengan
digantungkan ke leher.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 11


2) Apabila patah tulang terjadi di dekat sendi siku, biasanya siku tidak dapat

dilipat. Dalam hal ini dipasang juga bidai yang meliputi lengan bawah, dan biarkan
lengan dalam keadaan lurus tanpa perlu digantungkan ke leher.
b. Bidai pada Kasus Patah Tulang Lengan Bawah Lengan bawah memiliki dua
batang tulang panjang,satu di sisi yang searah dengan ibu jari dan yang satu lagi di
sisi yang searah dengan jari kelingking.Apabila salah satu ada yang patah maka
yang yanglain dapat bertindak sebagai bidai, sehingga tulangyang patah itu tidak
beranjak dari tempatnya. Meskidemikian tanda-tanda patah tulang panjang tetap ada.
Gambar 13. Bidai pada Kasus Patah Tulang Lengan Bawah

Tindakan pertolongan:
1) Pasanglah sepasang bidai di sepanjang lengan bawah. Bidai ini dapat dibuat dari dua
bilah papan, dengan sebilah papan di sisi luardan sebilah lagi di sisi
dalam lengan. Dapat pula dipergunakan bidai dengan setumpuk kertas koran
membungkus lengan.
2) Berikan alas perban antara lengan dan bidai untuk mengurangi rasa sakit.
3) Ikat bidai-bidai tersebut dengan pembalut
4) Periksa apakah ikatan longgar atau terlalu keras menjepit lengan sehingga pasien
merasa lengannyamenjadi lebih sakit.
5) Gantungkan lengan yang patah ke leher denganmemakai mitella.
c. Bidai pada Kasus Tulang Paha
Seperti pada tulang lengan atas maka paha hanya memiliki sebatang tulang panjang,
sehingga tanda- tanda patah tulang paha tidak jauh berbeda dengan pada lengan atas.

Tindakan pertolongan:
Sepasang bidai dipasang memanjang dari pinggul hingga ke kaki.
1) Apabila bagian yang patah berada di bagian atas paha maka bidai sisi luar harus
dipasang sampai pinggang.

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 11


Gambar 14. Pembidaian tulang paha apabila patah di bagian atas paha, bidai sisi luar
harus sampai pinggang
2) Apabila bagian yang patah berada di bagian bawah paha maka bidai cukup sampai
panggul.

Gambar 15. Pembidaian tulang paha apabila patah di bagian bawah paha, bidai
cukup sampai pinggul
Bidai sudah harus dipasang sebelum dipindahkan ke tempat lain.

d. Bidai pada Kasus Patah Tulang Betis


Seperti pada lengan bawah, betis memiliki dua buah tulang panjang, yakni tulang
kering dan tulang betis. Karena letaknya tidak begitu terlindungi maka tulang kering
lebih mudah patah. Apabila hanya salah satu yang patah maka tulang yang lain dapat
berfungsi bidai. Karena itu meskipun sepintas tampak utuh, kemungkinan patah tetap
harus dipikirkan.
Tanda-tanda patah tulang betis adalah nyeri tekan di tempat yang patah, nyeri sumbu,
dan rasa sakit bila kaki digerakkan. Nyeri tekan disini dapat pula diperiksa dengan
menekan betis dari arah depan dan belakang sekaligus.
Tindakan pertolongan:
1) Dengan dua bidai, betis dibidai dari mata kaki sampai beberapa jari di atas lutut.
Papan bidai dibungkus dengan kain atau selimut untuk tempat menempatkan betis. Di
bawah lutut dan mata kaki diberi bantalan.

Gambar 16. Pembidaian Tulang Betis


2) Selama menunggu pengangkutan kaki diletakkan lebih tinggi dari bagian tubuh
lainnya, untuk menghambat pembengkakan dan mengurangi rasa sakit.
3) Apabila tulang yang patah terdapat di atas pergelangan kaki, pembidaian berlapis
bantal dipasang dari lutut hingga menutupi telapak kaki

SOAL
1. Seorang tenaga medis melakukan pembalutan pada pasien yang mengalami cidera akibat
kecelakaan. Tujuan pembalutan tersebut, kecuali:
a. Mempertahankan bidai, kasa penutup, dan lain-lain
b. Imobilisasi
c. Membuat pasien tenang
d. Sebagai penekan untuk menghentikan perdarahan danmenahan
2. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pembalutan,kecuali:
a. Usia korban
b. Tempat dan letak yang akan dibalut
c. Jenis pembalut yang digunakan
d. Pemberian desinfektan pada luka terbuka

Panduan Praktikum Laboratorium Semester 11


3. Dalam melakukan pembidaian, hal yang perlu diperhatikan,kecuali:
a. Harus dapat mempertahankan kedudukan dua sendi tulangdi dekat tulang yang patah
b. Tidak boleh terlalu kencang atau terlalu kendur
c. Kurang panjang
d. Cukup kuat untuk menyokong
4. Mitela terbuat dari kain mori dengan panjang 50-100 cm danmemiliki bentuk:
a. Persegi panjang
b. Persegi
c. Persegi panjang dengan ujung lancip
d. Segitiga sama kaki

DAFTAR PUSTAKA

AHA. (2020). Highlights of the 2020 American Heart Association Guidelines For CPR and ECC.
American Journal of Heart Association, 9, 32.
Al Rasid, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan Gawat Darurat.
Ciptaning Tyas, M. D. (2016). Keperawatan Kegawatdaruratan & Manajemen Bencana.
Kemenkes RI.
Hidayati, A. N., Alfian, M. I. A. A., & Rosyid, A. N. (2018). Gawat Darurat Medis dan Bedah. In
Rumah Sakit Universitas Airlangga (Vol. 8, Issue 1). adm@aup.unair.ac.id
Kurniati, A., Putri, A. F., Yanuar, E., Firdaus, M. I., Pemila, U., & Kurniawan, D. (2020).
Panduan Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat Pada Masa Covid-19.
HIPGABI. https://ppnipangandaran.org/download/pak-covid-hipgabi.pdf
Mardalena. (2021). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. In
Pustaka Baru Press (Vol. 1, Issue 69).
Yosep, I., & Sutini, T. (2016). Buku Ajar Keperawatan. In
Bandung: PT Refika Aditama (Issue 00).

Anda mungkin juga menyukai