LABORATORIUM
SEMESTER VII
Visi Program Studi Ilmu Keperawatan dan Profesi Ners, yaitu Menjadi
Program Studi Ilmu Keperawatan dan Profesi Ners yang profesional dan
unggul dibidang Keperawatan yang berbasis kepulauan di tingkat local dan
nasional di tahun 2034.
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan YME yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga buku panduan praktikum laboratorium ini dapat kami selesaikan.
Buku ini merupakan panduan bagi mahasiswa semester VII Program Studi Ilmu Keperawatan
Stikes Maluku Husada.
Diharapkan dengan adanya buku panduan ini dapat membantu mahasiswa untuk mengetahui
dan memahami keterampilan tindakan yang harus dikuasai. Buku ini tidak hanya sebagai pegangan
mahasiswa tetapi juga sebagai pegangan instruktur, diharapkan ada kesamaan persepsi antara
instruktur dan mahasiswa sehingga dapat tercapai tujuan pendidikan yang optimal.
Semoga buku panduan ini dapat bermanfaat bagi kita dalam mengembangkan sistem
pendidikan tinggi keperawatan. Tak lupa kami ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada
semua pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dan kami menyadari bahwa
buku panduan ini jauh dari kesempurnaan, segala bentuk masukan, kritik dan saran yang sifatnya
sebagai perbaikan sangatlah kami harapkan.
Tim Penyusun
Halaman
COVER
VISI MISI PRODI KEPERAWATAN.................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................................................ iii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................... iv
RANCANGAN KEGIATAN PEMBELAJARAN .................................................................................. v
TATA TERTIB PRAKTIKUM LAB PRODI KEPERAWATAN ............................................................. vi
KEPERAWATAN MATERNITAS..................................................................................................... 80
PEMERIKSAN LE0POLD................................................................................................................. 80
ASUHAN PERSALINAN NORMAL................................................................................................... 84
PEMERIKSAAN FISIK POSTPARTUM ............................................................................................ 96
a. Topik-Topik Praktikum
c. Sistem Penilaian
Penilaian Praktikum meliputi :
1. Laporan Pendahuluan 10 %
2. Pretest, proses dan post test 30 %
3. Ujian OSCE 50%
4. Sikap, Perilaku dan berpakaian 10 %
1
SISTEM RESPIRASI
NEBULISASI / TERAPI INHALASI
A. Definisi
Proses memencarkan obat cair menjadi partikel-partikel mikroskopik (aerosol). Dan
memasukanya kedalam paru-paru ketika pasien melakukan inspirasi.
B. Tujuan
1. Memberikan obat langsung keseluruh pernafasan untuk mengeluarkan sputum.
2. Mengurangi kesulitan mengeluarkan sekret pernafasan yang kental dan lengket.
3. Meningkatkan kapasitas vital.
4. Meringankan sesak nafas.
C. Alat dan Bahan
1. Komproser udara
2. Selang penghubung
3. Neboliser
4. Obat-obat dan larutan NaCL
5. Air stril
6. Bola-bola kapas
7. Sungkup muka
8. Pat sputum dengan desiinfekta
9. Tisue sekali pakai
10. Nampan ginjal
D. Prosedur Tindakan
1. Identifikasi pasien dan periksa instruksi dokter dan rencana asuhan keperawatan.
2. Pantau denyut jantung sebelum dan sesudah terapi pada pasien yang memakai obat-obat
bronkodilator.
3. Jelaskan prosedurnya pada pasien, terapi ini bergantung pada usaha pasien.
4. Posisikan pasien pada posisi duduk yang nyaman atau posisi semi fowler.
5. Cucilah tangan Anda
Mulailah dengan mencuci tangan selama 20 detik menggunakan sabun di bawah air yang
mengalir. Bilaslah tangan dan keringkan dengan handuk kertas. Matikan keran menggunaka
handuk kertas.
Perhatian khusus
Bila diperlukan, berikan nebulisasi dengan menggunakan sumber oksigen.
BAHAN BACAAN
Harris, David. (2006). Nebulizer guidelines. United Bristol Health care. Directorate ofchildren’s
services.
Supriyatno, B., &Kaswandani, N. (2010). Terapiinhalasi pada Penyakit Respiratorik.
EdisiPertama. Jakarta: IDAI.
A. Definisi
Penghisapan lendir (suctioning) adalah tindakan menghisap lendir melalui hidung dan atau
mulut. Penghisapan lendir (suctioning) merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan pada
pasien yang tidak mampu mengeluarkan sekret atau lendir secara mandiri dengan menggunakan
alat penghisap.
Suctioning merupakan tindakan pengisapan yang bertujuan untuk mempertahankan jalan
napas, sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang adekuat dengan cara
mengeluarkan secret dari jalan napas, pada pasien yang tidak mampu mengeluarkannya sendiri.
B. Tujuan
1. Membersihkan jalan napas.
2. Memenuhi kebutuhan oksigenasi.
3. Mengangkat sekresi yang menghambat (obtruksi) jalan napas.
4. Mempasilitas ventilasi pernapasan.
5. Mendapat sekresi untuk tujuan diagnostik.
6. Mencegah infeksi yang dapat terjadi akibat penumpukan sekresi.
C. Manfaat
Saluran pernapasan bebas dari sumbatan semua kotoran atau lendir sehingga pasien dapat
bernapas dengan normal.
D. Indikasi
1. Pasien batuk produktif dan dengan retensi sputum.
2. Pasien dengan respirator atau endotrakeal tube.
3. Pasien dengan trakeostomi.
4. Adanya secret yang menyumbat jalan napas, dengan ditandai terdengar suara pada jalan
napas, hasil auskultasi yaitu ditemukannya suara crakels atau ronchi, kelelahan pada pasien,
nadi dan laju pernapasan meningkat, ditemukannya mucus pada alat bantu napas.
5. Pasien yang kurang responsif atau koma yang memerlukan pembuangan secret.
E. Kontraindikasi
1. Pasien dengan TIK meningkat.
2. Pasien dengan odema paru.
F. Komplikasi
1. Hipoksia.
2. Trauma jaringan.
3. Meningkatkan risiko infeksi.
4. Stimulasi vagal dan bronkospasm
G. Jenis-Jenis Suction
1. Suction Orofaringeal
Dilakukan melalui mulut dan hidung pada pasien yang tidak mampu mengeluarkan secret
secara manual.
Brunner and Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8, volume 3.
Jakarta: EGC.
Harvey, I. (2012). Evaluation of the effectiveness of manual chest physiotherapy techniques on
quality of life at six months post exacerbation of COPD (MATREX): a randomised controlled
equivalence trial. BMC pulmonary medicine, 12, 33. doi:10.1186/1471-2466-12-33.
Perry& Potter. (2006). Fundomental Of Nursing Edisi 4. Jakarta: EGC.
Warnock, L., &Gates, A. (2015). Chest physiotherapy compared to no chest physiotherapy for
cystic fibrosis.Cochrane Database Syst Rev, 21;(12):CD001401.
A. Definisi
Pemberian oksigen adalah suatu kegiatan memberikan oksigen ke dalam paru-paru
melaluisaluranpernapasan dengan menggunakan alat khusus sesuai kebutuhan. Terapi oksigen
(O2) merupakan suatu intervensi medis berupa upaya pengobatan dengan pemberian oksigen
untuk mencegah atau memperbaiki hipoksia jaringan dan mempertahankan oksigenasi jaringan
agar tetap adekuat dengan cara meningkatkan masukan oksigen ke dalam sistem respirasi,
meningkatkan daya angkut oksigen ke dalam sirkulasi dan meningkatkan pelepasan atau
ekstraksi oksigen ke jaringan.
B. Tujuan
1. Untuk mengatasi hipoksemia/hipoksia.
2. Sebagai tindakan pengobatan.
3. Untuk mempertahankan metabolisme.
C. Manfaat
Pemberian oksigen bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan oksigen pasien yang tidak dapat
dipenuhi secara mandiri.
D. Indikasi
1. Pasien dengan sesak napas atau kesulitan bernapas
2. Pasien-pasien dengan infark miokard, edema paru akut, sindrom gangguan pernapasan akut
(ARDS), fibrosis paru, keracunan sianida atau inhalasi gas karbon monoksida semuanya
memerlukan terapi oksigen.
3. Nilai tekanan parsial oksigen kurang dari 60 mmHg atau nilai saturasi oksigen < 90% yang
menyebabkan hipoksia jaringan saat pasien beristirahat dan bernapas dengan udara ruangan.
4. Terapi oksigen juga diberikan sebelum dilakukannya beberapa prosedur, seperti pengisapan
trachea atau bronkosopi dimana seringkali menyebabkan terjadinya desaturase arteri. Terapi
oksigen juga diberikan pada kondisi-kondisi yang menyebabkan peningkatan kebutuhan
jaringan terhadap oksigen, seperti luka bakar, trauma, infeksi berat, penyakit keganasan,
kejang demam, dan lainnya.
E. Kontraindikasi
1. Pasien dengan keterbatasan jalan napas yang berat dengan keluhan utama dispneu tetapi
dengan PaO2 lebih atau sama dengan 60 mmHg dan tidak mempunyai hipoksia kronis.
2. Pasien yang tetap merokok karena kemungkinan prognosis yang buruk dan dapat
meningkatkan risiko kebakaran.
F. Tehnik Pemberian
Pemilihan teknik dan alat yang akan digunakan sangat ditentukan oleh kondisi pasien yang akan
diberikan terapi oksigen. Teknik dan alat yang akan digunakan dalam pemberian terapi oksigen
hendaknya memenuhi kriteria yaitu mampu mengatur konsentrasi atau fraksi oksigen (FiO2)
udara inspirasi, tidak menyebabkan akumulasi karbon dioksida, tahanan terhadap pernapasan
minimal, irit dan efisien dalam penggunaan oksigen dan diterima serta nyaman digunakan oleh
pasien.
1. Sistem pemberian oksigen aliran rendah
Pada sistem aliran rendah, sebagian dari volume tidak berasal ruang udara. Alat yang
digunakan antara lain:
a. Nasal kanul dan nasal kateter
Nasal kanul merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan oksigen
kontinyu dengan aliran 1-6 liter/menit dengan konsentrasi oksigen 24%- 44%. Aliran
yang lebih tinggi tidak meningkatkan fraksi oksigen (FiO 2) secara bermakna di atas
44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran menjadi kering. Adapun keuntungan
dari nasal kanul yaitu pemberian oksigen
Tabel 1.1 Fraksi Oksigen (FiO2) pada Alat Terapi Oksigen Arus Rendah dan Arus
Tinggi
Aliran Oksigen/Alat Fraksi Oksigen %
BAHAN BACAAN
Butterworth, J. F., Mackey, D. C., Wasnick, J. D., Morgan & Mikhail’s. (2013). Clinical
Anesthesiology.Edisi V. New York: McGraw-Hill Companies.
Fishman, A. P., Elias, J. A., Fishman, J. A., Grippi, M. A., Senior, R. M., Pack, A. I. Fishman’s.
(2008). Pulmonary Diseases and Disorders. Edisi IV. New York: McGraw- Hill
Companies.
Guyton, A. C& Hall, J. E. (2006). Textbook of Medical Physiology. Edisi XI. Philadel- phia:
W. B. Saunders Company.
Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan, M. R. (2002). Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Edisi II. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Levitzky MG. (2007). Pulmonary Physiology. Edisi VII. New York. McGraw- HillCompanies.
Mangku, G &Senapathi, T. G. E. (2017). Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Edisi
II. Jakarta: Indeks.
Rilantono L. I. (2012). Penyakit Kardiovaskular (PKV) 5 Rahasia. Edisi I. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (2009). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Widiyanto, B & Yasmin, L. S. (2014). Terapi Oksigen terhadap Perubahan Saturasi Oksigenmelalui
Pemeriksaan Oksimetri pada Pasien Infark Miokard Akut (IM-A). Prosiding Konferensi
Nasional II PPNI Jawa Tengah. 1(1): 138-43.
PEREKAMAN EKG
A. Definisi
Elektrokardiografi adalah ilmu yang mempelajari perubahan-perubahan potensial atau
perubahan voltase yang terdapat dalam jantung. Elektrocardiogram adalah rekaman grafik yang
dihasilkan oleh elektrokardiograf, suatu alat untuk merekam konduksi listrik yang melewati
jantung.
Perekaman EKG adalah suatu tindakan merekam aktivitas listrik jantung yang berawal dari
nodus sinoatrial, yang dikonduksikan melalui jaringan serat-serat (sistem konduksi) dalam
jantung yang menyebabkan jantung berkontraksi, yang dapat direkam melalui elektroda yang
dilekatkan pada kulit.
B. Tujuan
1. Mengidentifikasi adanya kelainan irama jantung (disrithmia) akibatadanya infark
miokard, angina tertentu, pembesaran jantung, dan penyakit inflamasi jantung.
2. Menilai efek obat-obatan dan mengidentifikasi ketidakseimbangan elektrolit,
terutama kalsium dan kalium.
C. Manfaat
1. Merupakan standar emas untuk diagnosis aritmia jantung.
2. Bermanfaat untuk menentukan kodisi jantung dari pasien.
3. Memandu tingkatan terapi dan risiko pada pasien jantung.
4. Membantu menemukan gangguan elektrolit (hiperkalemia dan hipokalemia) dll.
D. Indikasi
1. Semua pasien dengan nyeri pada dada.
2. Pasien dengan miocardium infark dan tipe penyakit Arteri coroner lainnya.
3. Pasien dengan disritmia jantung.
4. Pasien dengan pembesaran jantung (hypertropi jantung).
5. Pasien dengan gangguan elektrolit, terutama kalsium dan kalium.
6. Pasien dengan indikasi penyakit inflamasi pada jantung.
7. Pasien dengan riwayat penggunaan obat-obatan jantung.
E. Kontra Indikasi
Kontraindikasi mutlak tidak ada dalam perekaman EKG, namun pasien dengan riwayat
pemasangan pen pada fraktur dapat mengganggu hasil perekaman, memakai perhiasan atau
cincin yang berbahan logam.
F. Komponen EKG
1. Mesin EKG
2. Sinus Tachycardia
3. Sinus Bradicardia
5. Atrial Fibrilation
8. Ventricular Fibrilation
Penyebab:
Penyekat AV derajat satu biasanya berhubungan dengan penyakit jantung organic atau
mungkin disebabkan oleh efek digitalis. Hal ini biasanya terlihat padapasien dengan
infark miokard dinding inferior jantung.
13. Asystole
Karakteristik
a. Frekuensi: tidak ada
b. Gelombang P: Mungkin ada, tetapi tidak dapat dihantarkan ke nodus AV dan
ventrikel
c. Kompleks QRS: Tidak ada
d. Hantaran: Kemungkinan, hanya melalui atrium
e. Irama: Tidak ada
K. Prosedur Tindakan
1. Mempersiapkan pasien (memposisikan, membuka pakaian atas, melepas cincin atau bahan
logam yang melekat pada pasien).
2. Bersihkan pergelangan tangan, kaki dan dada dengan kapas alkohol.
3. Berikan jelli pada area pemasangan.
4. Pasang elektrode ekstremitas atas pada pergelangan tangan kanan (merah) dan kiri (kuning)
searah dengan telapak tangan dan pasang elektrode ekstremitas bawah pada pergelangan
kaki kanan (hitam)dan kiri (hijau) sebelah dalam.
5. Pasang elektrode pada daerah dada sebagai berikut:
a. V1 : sela iga (ICS) ke 4 pada garis sternal kanan
b. V2 : sela iga (ICS) ke 4 pada garis sternal kiri V3 : diantara V2 dan V4
c. V4 : sela iga (ICS) ke 5 pada midclavicula kiri
d. V5 : garis axila anterior (diantara V4 dan V6) V6 : mid axila sejajar dengan V4
6. Hidupkan mesin EKG
7. Periksa kembali standarisasi dari EKG meliputi kaliberasi dan kecepatan.
8. Lakukan pencatatan identitas pasien melalui mesin EKG atau pada kertas EKG setelah
perekaman.
9. Lakukan perekaman EKG.
10. Matikan mesin EKG dan membaca hasil.
BAHAN BACAAN
Pemasangan slang nasogastric dilakukan melalui rongga hidung ke lambung. Prosedur ini biasanya
dilakukan pada klien tidak sadar, klien yang mengalami masalah saluran cerna atas (stenosis
esophagus. Tumor mulut, faring, atau esophagus), klien yang mengalami kesulitan menelan, atau
klien pascapembedahan mulut, faring, atau esophagus.
Tujuan
1. Memasukkan makanan cair atau obat- obatan
2. Mengeluarkan cairan/isi lambung dan gas yang ada dalam lambung
3. Mengirigasi lambung karena perdarahan atau keracunan
4. Mencegah atau mengurangi mual dan muntah setelah pembedahan atau trauma
5. Mengambil specimen lambung untuk pemeriksaan laboratorium
Persiapan Alat
Nampan yang berisi :
1. NGT nomor 14 atau 16 (untuk anak lebih kecil)
2. Jeli
3. Spatel lidah
4. Sepasang sarung tangan
5. Senter
6. Spuit 50 hingga 100ml
7. Plester
8. Stetoskop
9. Kapas alcohol
10. Handuk
11. Kertas tisu
12. Bengkok
Prosedur Pelaksanaan
1. Letakkan peralatan dekat dengan klien
2. Jelaskan prosedur yang akan anda lakukan dan tujuannya
3. Cuci tangan
4. Bantu klien memperoleh posisi fowler tinggi
“meningkatkan kemampuan klien untuk menelan”.
5. Pasang handuk pada klien dan letakkan kertas tisu dalam jangkauan klien
“agar tidak mengotori pakaian klien. Pemasangan slang dapat menyebabkan klien
mengeluarkan air mata”
6. Kenakan sarung tangan
7. Untuk menentukan lokasi insersi NGT, minta klien menutup salah satu rongga hidung dan
bernapas secara normal dan relaks. Ulangi prosedur yang sama pada rongga hidung lainnya.
“memastikan slang nasogastric tidak mengalami hambatan ketika dimasukkan ke dalam
rongga hidung”.
8. Ukur panjang slang yang akan dimasukkan menggunakan:
a. Metode tradisional
Ukur jarak dari puncak lubang hidung ke daun telinga bawah dan dilanjutkan ke
prosesus xifoideus
Definisi
Membilas lambung dengan cairan menggunakan set bilas
Tujuan
1. Mengambil sampel isi lambung untuk pemeriksaan laboratorium
2. Meredakan mual dan muntah pada kasus dilatasi lambung akut, stenosis pylorus dan obstruksi
usus
3. Mengurangi perdarahan lambung
4. Mengeluarkan bahan beracun atau bahan iritan dari dalam lambung
Persiapan Alat
1. Selang ryle dengan ukuran sesuai (12-14Fr)
2. Mangkuk berisi air matang/ Nacl 0,9% atau larutan khusus sesuai instruksi
3. Pengukur volume cairan
4. Pelumas larut air/ vaselin
5. Corong untuk menyambung selang NG
6. Stetoskop
7. Bengkok
8. Duk
9. Perlak kecil
10. Sarung tangan bersih
11. Apron
12. Masker
13. Plester dan gunting
14. Ember/ wadah penampung cairan (Placeholder1){Bibliography}yang keluar dari
lambung
15. Spuit
16. Penahan mulut
Prosedur Pelaksanaan
1. Identifikasi pasien dan periksa status pasien terkait instruksi dokter dan instruksi khusus
“ memastikan prosedur yang benar dilaksanakan pada pasien yang benar”
2. Jelaskan prosedurnya kepada pasien
“mendapatkan kerja sama pasien”
3. Cuci tangan dan pakai sarung tangan
“mengurangi resiko kontaminasi”
Lepas gigi palsu bila ada dan masukkan penahan mulut
“ gigi palsu dapat menimbulkan sumbatan, dan penahan mulut dimasukkan untuk
mencegah pasien menggigit selang”
4. Posisikan pasien miring kiri
“ mencegah aspirasi cairan ke dalam paru- paru
Definisi
Pemberian makanan pada klien yang menggunakan selang melalui hidung menuju ke lambung.
Tujuan
Untuk mempertahankan status nutrisi dan pemberian obat.
Persiapan Alat
1. Sejumlah makanan cair yang akan diberikan, yang sudah dihangatkan. Jumlah
makanan dan air putih berkisar 300 – 500 cc..
2. Corong / spuit berukuran besar (50 cc).
3. Stetoskop.
4. Alat makan, serbet makan / tissue.
5. Obat sesuai instruksi.
6. Handscoen bersih
Prosedur Pelaksanaan
1. Mencuci tangan.
2. Memakai handscoen bersih (kalau perlu).
3. Mengatur posisi klien (semi fowler, fowler atau high fowler).
4. Mengauskultasi peristaltik usus dan mengkaji adanya ketidaknyamanan pada
abdomen (distensi abdomen).
5. Meletakkan alas dibawah NGT.
6. Mengkaji kepatenan letak NGT :
a. Masukkan 5 – 15 cc udara kedalam NGT dan auskultasi suara di regio epigastrik.
b. Aspirasi isi residu lambung, bila lebih dari 100 cc, tunda pemberian makanan ½ - 1 jam.
Mengkaji juga warna, konsistensi, dan bau dari cairan lambung.
7. Masukkan kembali isi residu lambung.
8. Membilas NGT dengan air putih.
9. Memberikan cairan nutrisi
10. Memasang corong dan jaga agar udara tidak masuk kedalam selang dengan menjepit selang
NGT.
11. Memasukkan sejumlah susu/makanan cair/air buah yang telah disediakan.
12. Mengatur ketinggian corong (30 cm diatas lambung). Pemberian tidak boleh terlalu cepat,
maupun terlalu lambat dan sesuaikan dengan karakteristik makanan / cairan.
13. Pemberian makanan tidak boleh dipaksa dengan dorongan.
14. Mengeluarkan udara yang ada didalam selang.
15. Membilas dengan air putih, memasukkan obat bila ada, lalu bilas kembali dengan air putih.
16. Melepaskan corong/kantung/formula makanan dan tutup selang NGT.
17. Mempertahankan klien tetap posisi semi fowler selama 30 menit.
18. Merapihkan klien dan peralatan.
19. Melepaskan handscoen dan mencuci tangan.
Defenisi
Enema gliserin merupakan tindakan memasukkan cairan melalui anus ke dalam kolon sigmoid
menggunakan spuit gliserin.
Tujuan
1. Menyiapkan klien untuk menjalani prosedur pemeriksaan
2. Merangsang buang air besar
3. Melunakkan feses
Persiapan Alat
1. Selimut mandi
2. Perlak pengalas
3. Spuit gliserin
4. Bengkok
5. Gliserin dalam mangkuk yang direndam air panas
6. Sarung tangan dua buah
7. Mangkuk
8. Pispot
9. Sampiran
10. Kertas tisu
11. Waslap dua buah
12. Baskom dua buah berisi air hangat
13. Handuk
14. Sabun
Prosedur Pelaksanaan
1. Jelaskan tujuan pelaksanaan prosedur dan tindakan yang akan dilakukan
2. Letakkan peralatan dekan dengan klien
3. Tutup jendela atau sampiran unuk menjaga privasi
4. Cuci tangan dan kenakan sarung tangan
5. Ganti selimut tidur klien dengan selimut mandi
6. Bantu klien melepaskan pakaian bagian bawah
7. Bantu klien memperoleh posisi miring kiri dengan lutut kanan fleksi untuk klien dewasa dan
dorsal rekumben untuk anak- anak dan bayi
8. Pasang perlak pengalas di bawah bokong klien
9. Kaji suhu gliserin dengan menetekannya pada punggung tangan anda. Suhu gliserin
seharusnya sekitar 37o-38oC
10. Isi spuit gliserin sekitar 10-20 cc dan keluarkan udara dalam spuit
11. Setelah klien beradda dalam posisi miring atau posisi dorsal rekumben, buka bokong klien
menggunakan tangan non dominan dan masukkan spuit secara perlahan mengikuti arah rectum
sedalam 7-10 cm untuk klien dewasa, 5-7,5 cm untuk anak- anak, dan 2,5-3,75 cm untuk bayi
12. Masukkan gliserin secara perlahan sambil menganjurkan klien untuk menarik napas panjang
dan dalam
13. Tarik spuit setelah semua gliserin masuk ke dalam kolon dan letakkan dalam bengkok
14. Bantu klien BAB dengan membantunya ke toilet atau memasang pispot di bawah bokong
15. Bersihkan area perianal dengan kertas tisu
16. Bersihkan area perianal dengan waslap dan sabun, kemudian bilas dengan air bersih
17. Keringkan area perianal dengan handuk
18. Angkat perlak pengalas bokong
19. Lepaskan sarung tangan
Defenisi
Sebuah lubang yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada dinding abdomen untuk
mengeluarkan feces (M. Bouwhuizen, 1991).
Lubang yang dibuat melalui lubang dinding abdomen ke dalam kolon iliaka untuk
mengeluarkan feces (Evelyn, 1991).
Pembuatan lubang sementara atau permanent dari usus besar melalui dinding perut untuk
mengeluarkan feces (Randy, 1987).
Lubang kolostomi yang muncul di permukaan abdomen berupa mukosa kemerahan yang disebut
stoma. Pada minggu pertama post kolostomi biasanya masih terjadi pembengkakan sehingga
stoma tampak membesar.
Pasien dengan pemasangan kolostomi biasanya disertai dengan tindakan laparatomi (pembukaan
dinding abdomen).Luka laparatomi sangat beresiko mengalami infeksi karena letaknya
bersebelahan dengan lubang stoma yang kemungkinan banyak mengeluarkan feces yang dapat
mengkontaminasi luka laparatomi, perawat harus selalu memonitor kondisi luka dan segera
merawat luka dan mengganti balutan jika balutan terkontaminasi feces.
Perawat harus segera mengganti kantong kolostomi jika kantong kolostomi telah terisi feces atau
kantong kolostomi bocor dan feces cair mengotori abdomen.Perawat juga harus mempertahankan
kulit pasien sekitar stoma tetap kering, hal ini penting untuk menghindari terjadinya iritasi pada
kulit dan untuk kenyamanan pasien.
Kulit sekitar stoma yang mengalami iritasi harus segera diberi zink salep/ zink oil atau
konsultasikan pada dokter ahli jika pasien alergi terhadap perekat kantong kolostomi. Pada pasien
yang alergi tersebut mungkin perlu dipikirkan untuk memodifikasi kantong kolostomi agar kulit
pasien tidak teriritasi.
Komplikasi Kolostomi
1. Obstruksi/ penyumbatan
Penyumbatan dapat disebabkan oleh adanya perlengketan usus atau adanya pergeseran feces
yang sulit dikeluarkan.Untuk menghindari terjadinya sumbatan, pasien perlu dilakukan irigasi
kolostomi secara teratur.
Pada pasien dengan kolostomi permanent tindakan irigasi ini perlu diajarkan agar pasien dapat
melakukannya sendiri di kamar mandi.
Definisi
Memasukkan kateter ke dalam kandung kemih lewat uretra dengan menggunakan teknik aseptic yang
bertujuan untuk mengosongkan kandung kemih
Berbagai Jenis
1. Kateterisasi intermiten
Tujuan:
a. Menghilangkan distensi kandung kemih
b. Untuk menilai sisa urine pasca pengosongan kandung kemih
c. Mendapatkan bahan pemeriksaan steril
d. Mengosongkan kandung kemih sebelum proses melahirkan atau operasi abdomen
2. Kateterisasi menetap
Tujuan:
a. Memudahkan pengeluaran urine pada pasien inkontinensia
b. Memudahkan drainase kandung kemih kontinyu pasca trauma / operasi pada saluran
kemih atau operasi besar lainnya
c. Untuk membidai uretra untuk mempercepat pemulihan pasca operasi urologi
d. Meredakan retensi urine akut atau kronis
e. Mencegah kontak urine dengan insisi pasca-operasi perineum
Persiapan Alat
Sebuah nampan berisi:
1. Senter / lampu gantung
2. Baskom berisi air hangat, sabun, waslap, pispot, handuk, dll
3. Sarung tangan sekali pakai
4. Nampan ginjal / piala ginjal
5. Larutan antiseptic
6. NaCl steril
7. Plester dan gunting (pada kateter retensi)
8. Wadah penampung bahan
9. Pelumas yang larut dalam air
Sebuah nampan berisi:
1. Sarung tangan steril
2. Kain steril / duk lubang
3. Mangkuk kecil
4. Kapas usap
5. Kateter (kateter dalam (indwelling) atau lurus dengan ukuran yang sesuai)
6. Nampan ginjal
7. Forsep arteri
8. Forsep pemisah
9. Spuit steril 20 ml dan air destilasi (pada kateter retensi)
Prosedur Pelaksanaan
1. Periksa instruksi dokter dan rencana asuhan keperawatan
2. Identifikasi pasien dan periksa waktu terakhir pasien berkemih, tingkat kesadaran, mobilitas,
keterbatasan fisik, dan kondisi patologis, missal: pembesaran prostat, distensi kandung kemih,
dll
3. Jelaskan prosedurnya pada pasien dengan penekanan apa yang harus dilakukan pasien untuk
dapat berkerjasama
4. Minta bantuan bila dibutuhkan untuk menjaga posisi pasien
MODERN DRESSING
LATAR BELAKANG
Perawatan luka telah mengalami perkembangan sangat pesat terutama dalam dua dekade terakhir,
ditunjang dengan kemajuan teknologi kesehatan. Disamping itu,isu terkini manajemen perawatan
luka berkaitan dengan perubahan profil pasien yang makin sering disertai dengan kondisi penyakit
degeneratif dan kelainan metabolik. Kondisi tersebut biasanya memerlukan perawatan yang tepat
agar proses penyembuhan bisa optimal. Manajemen perawatan luka modern sangat
mengedepankan isu tersebut. Hal ini di tunjang dengan makin banyaknya inovasi terbaru produk-
produk perawatan luka. Pada dasarnya, pemilihan produk yang tepat harus berdasarkan
pertimbangan biaya (cost), kenyamanan (comfort), dan keamanan (safety).
MENGENAI LUKA
A. PENGERTIAN LUKA
Definisi luka adalah terputusnya kontinuitas jaringan karena cedera atau pembedahan. Luka
bisa diklasifikasikan berdasarkan struktur anatomis, sifat, proses penyembuhan, dan lama
penyembuhan.
1. Berdasarkan sifat, yaitu: abrasi, kontusio, insisi, laserasi, terbuka, penetrasi, puncture,
sepsis, danlain-lain.
2. Berdasarkan struktur lapisan kulit, meliputi: superfi sial, yang melibatkan lapisan
epidermis; partial thickness, yang melibatkan lapisan epidermis dan dermis; dan full
thickness yang melibatkan epidermis, dermis, lapisan lemak, fascia,dan bahkan sampai
ketulang.
3. Berdasarkan proses penyembuhan, dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu:
a) Penyembuhan primer (healing by primary intention) Tepi luka bisa menyatu kembali,
permukaan bersih,tidak ada jaringan yang hilang. Biasanya terjadi setelah suatu insisi.
Penyembuhan luka berlangsung dari internal ke eksternal.
b) Penyembuhan sekunder (healing by secondary intention). Sebagian jaringan hilang,
proses penyembuhan berlangsung mulai dari pembentukan jaringan granulasi di dasar
luka dan sekitarnya.
c) Delayed primary healing (tertiary healing) Penyembuhan luka berlangsung lambat,
sering disertai infeksi, diperlukan penutupan luka secaramanual.
4. Berdasarkan lama penyembuhan bisa dibedakan menjadi akut dan kronis. Luka dikatakan
akut jika penyembuhan terjadi dalam 2-3 minggu. Sedangkan luka kronis adalah segala
jenis luka yang tidak ada tanda-tanda sembuh dalam jangka lebih dari4-6 minggu. Luka
insisi bisa dikategorikan luka akut jika proses penyembuhan berlangsung sesuai dengan
proses penyembuhan normal, tetapi bisa juga dikatakan luka kronis jika penyembuhan
terlambat (delayed healing) atau jika menunjukkan tanda-tanda infeksi.
Gambar 1. Fase inflamasi penyembuhan luka dimulai segera setelah terjadi kerusakan
jaringan dan fase awal hemostasis (Sumber: Gurtner GC, Thorme CH. Wound healing:
Normal and abnormal.6thed.Chapter2,Grabb and Smith’splastic surgery; 2007)
Gambar 2. Fase proliferasi penyembuhan luka pada hari ke-4 sampai 21 setelah terjadi
kerusakan jaringan/luka. Selama fase ini, jaringan granulasi menutup permukaan luka
dan keratosit bermigrasi untuk membantu penutupan luka dengan jaringan epitel baru
(Sumber: Gurtner GC, Thorme CH. Wound healing: Normal and abnormal. 6th ed.
Chapter 2, Grabb and Smith’s plastic surgery; 2007).
Gambar 4. Luka dengan warna dasar merah tua atau terang dan selalu tampak lembap
merupakan luka bersih dengan banyak vaskulerisasi, karenanya luka mudah berdarah.
Gambar 6. Luka dengan warna dasar hitam adalah jaringan nekrosis, merupakan jaringan
vaskuler
E. PENGKAJIAN LUKA
1. Status nutrisi pasien: BMI (body mass index), kadaralbumin
2. Status vaskuler: Hb,TcO2
3. Status imunitas: terapi kortikosteroid atau obat-obatan imunosupresan yanglain
4. Penyakit yang mendasari: diabetes atau kelainan vaskulerisasilainnya7
5. Kondisi luka:
a) Warna dasar luka Dasar pengkajian berdasarkan warna: slough (yellow), necrotic tissue
(black), infected tissue (green), granulating tissue (red), epithelialising (pink).
b) Lokasi, ukuran, dan kedalamanluka
c) Eksudat danbau
d) Tanda-tanda infeksi
e) Keadaan kulit sekitar luka: warna dankelembapan
f) Hasil pemeriksaan laboratorium yang mendukung
6. Berdasarkan kondisi warna luka, metode yang sering dikenal adalah
RYB/RedYellow Black (Merah – Kuning –Hitam).
a) Luka dasar merah (Gambar 4): Tujuan perawatan luka dengan warna dasar merah
adalah mempertahankan lingkungan luka dalam keadaan lembap, mencegah
trauma/perdarahan serta mencegaheksudat.
b) Luka dasar kuning (Gambar 5): Tujuan perawatan adalah meningkatkan sistem autolisis
debridement agar luka berwarna merah, kontrol eksudat, menghilangkan bau tidak
sedap dan mengurangi/menghindari kejadianinfeksi.
c) Luka dasar hitam (Gambar 6): Tujuan perawatan sama dengan luka dasar warna
kuning, yaitu pembersihan jaringan mati dengan debridement, baik dengan autolysis
debridement maupun denganpembedahan.
G. BAHAN BACAAN
Rippon M, White R, Davies P. Skin adhesives and their role in wound dressings.
Wounds UK 2007; 3(4):76-86.
Ropper R. Principles of wound assessment and management. Practice Nurse 2006;31: 4.
Sibbald RG, Keast DH. Best practice recommendations for preparing the wound bed: Update
2006, clinical practice, wound care. Canada; 2006:4(1).
A. LEARNING OUTCOME
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan saraf kranialis.
B. TINJAUAN TEORI
Saraf kranial dibagi menjadi 12 jenis, yakni :
1. Saraf I (N. Olfaktorius)
Pemeriksaan dapat secara subyektif dan obyektif. Subyektif hanya ditanyakan
apakah penderita masih dapat membaui bermacam-macam bau dengan betul.
Obyektif dengan beberapa bahan yang biasanya sudah dikenal oleh penderita dan biasanya
bersifat aromatik dan tidak merangsang seperti : golongan minyak wangi, sabun,
tembakau, kopi, vanili, dan sebagainya (3 atau 4 macam). Bahan yang merangsang mukosa
hidung (alkohol, amonia) tidak dipakai karena akan merangsang saraf V. Yang penting
adalah memeriksa kiri, kanan dan yang diperiksa dari yang normal. Ini untuk pegangan,
sebab tiap orang tidak sama. Kemudian abnormal dibandingkan dengan yang normal.
Tetapi dalam pembuatan status dilaporkan yang abnormal dahulu.
Cara Pemeriksaan :
Kedua mata ditutup
Lubang hidung ditutup
Dilihat apakah tidak ada gangguan pengaliran udara
Kemudian bahan satu persatu didekatkan pada lubang hidung yang terbuka dan penderita
diminta menarik nafas panjang, kemudian diminta mengidentifikasi bahan tersebut.
2.2. Penglihatan
Perifer
Penglihan Perifer diperiksa dengan :
a. Tes Konfrontasi.
Pasien diminta untuk menutup satu mata, kemudian menatap mata
pemeriksa sisi lain.
Mata pemeriksa juga ditutup pada sisi yang lain, agar sesuai
denganlapang pandang pasien.
Letakkan jari tangan pemeriksa atau benda kecil pada lapang pandang pasien
dari 8 arah.
Pasien diminta untuk menyatakan bila melihat benda tersebut.
Bandingkan lapang pandang pasien dengan lapang pandang pemeriksa.
Syarat pemeriksaan tentunya lapang pandang pemeriksa harus normal.
Optic Atrophy. Note the chalky white disc with discrete margins. Opticatrophy is a late finding
with increased intracranial pressure.
Central Retinal Vein Occlusion. The disc is massively swollen with diffuse
hemorrhages and cotton-wool spots.
2. Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat kedepan, maka batas kelopak mata atas
akan memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Bila salah satu kelopak mata
atas memotong iris lebih rendah daripada mata yang lain, atau bila pasien
mendongakkan kepala ke belakang/ ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau
mengangkat alis mata secara kronik dapat dicurigai sebagai ptosis.
Penyebab Ptosis adalah:
False Ptosis : enophtalmos (pthisis bulbi), pembengkakan kelopak mata (chalazion).
d. Saraf V (N.
Trigeminus)
Pemeriksaan meliputi :
1. Sensibilitas
Sensibilitas N V ini dapat dibagi 3 yaitu :
- bagian dahi, cabang keluar dari foramen supraorbitalis
- bagian pipi, keluar dari foramen infraorbitalis
- bagian dagu, keluar dari foramen mentale.
Pemeriksaan dilakukan pada tiap cabang dan dibandingkan kanan dengan kiri.
2. Motorik
Penderita disuruh menggigit yang keras dan kedua tangan pemeriksa ditruh kira- kira
didaerah otot maseter. Jika kedua otot masseter berkontraksi maka akan terasa pada tangan
pemeriksa. Kalau ada parese maka dirasakan salah satu otot lebih keras.
3. Reflek
Penderita diminta melirik kearah laterosuperior, kemudian dari arah lain tepi kornea
disentuhkan dengan kapas agak basah. Bila reflek kornea mata positif, maka mata akan
ditutupkan.
2. Gesekan jari
3. Tes Weber
Garpu tala yang bergetar ditempelkan dipertengahan dahi. Dibandingkan mana yang lebih
keras, kanan/ kiri.
4. Tes Rinne
Garpu tala yang bergetar ditempelkan pada Processus mastoideus. Sesudah tak mendengar
lagi dipindahkan ke telinga maka terdengar lagi. Ini karena penghantaran udara lebih baik
daripada tulang.
Pemeriksaan dengan garpu tala penting dalam menentukan nervus eafness atau tranmission
deafness. Pemeriksaan pendengaran lebih baik kalau penderita ditutup matanya untuk
menghindari kebohongan.
A. Tujuan Pembelajaran
Pada akhir pembelajaran, mahasiswa mampu :
1. Mengetahui defenisi pemeriksaan reflek fisiologis
2. Indikasi pemeriksaan reflek fisiologis
3. Melakukan prosedur pemeriksaan reflek fisiologis
dengan baik dan benar
4. Menjelaskan parameter normal hasil pemeriksaan reflek
fisiologis
5. Melakukan interpretasi hasil pemeriksaan reflek
fisiologis
B. Tinjauan Teori
Reflek adalah jawaban terhadap suatu rangsang. Sedangkan
reflek fisiologis adalah mucle stretch reflexes sebagai jawaban
atas perangsangan tendo, periosteum, tulang, sendi, fasia,
aponeurosis, kulit, semua impuls perseptif termasuk panca indera
dimana respon tersebut muncul pada orang normal. Semua
gerakan yang bersifat reflektorik merupakan suatu usaha tubuh
untuk menyesuaikan diri bahkan membela diri. Gerakan
reflektorik dapat dilakukan oleh semua otot seran lintang.
Pemeriksaan reflek fisiologis merupakan satu kesatuan
dengan pemeriksaan neurologi lainnya, dan terutama dilakukan
pada kasus-kasus mudah lelah, sulit berjalan,
kelemahan/kelumpuhan, kesemutan, nyeri otot anggota gerak,
gangguan trofi otot anggota gerak, nyeri punggung/pinggang
gangguan fungsi otonom.
Interpretasi pemeriksaan reflek fisiologis tidak hanya
menentukan ada/tidaknya tapi juga tingkatannya. Adapun kriteria
penilaian hasil pemeriksaan reflek fisiologis adalah sebagai
berikut :
Pemeriksaan Khusus
AKRAL
1) Inspeksi dan palpasi jari-jari tangan, catat warna dan suhu .
Normal : tidak pucat, hangat
Abnormal : pucat, dingin kekurangan oksigen
CR ( capilari Refiil )
2) Tekan Ujung jari berarapa detik, kemudian lepas, catat perubahan warna
Normal : warna berubah merah lagi < 3 detik
Abnormal : > 3 detik gangguan sirkulasi.
ODEM
3) Tekan beberapa saat kulit tungkai, perut, dahi amati adanya lekukan ( pitting )
Normal : tidak ada pitting
Abnormal : terdapat pitting ( non pitting pada beri-beri )
RAMBUT TUBUH
Ispeksi distribusi, warna dan pertumbuhan rambut
Tujuan :
Mengidentifikasi kelaian bentuk dada
Mengevaluasi fungsi paru
A. Inspeksi
Cara Kerja :
1. Posisi pasien dapat duduk dan atau berbaring
2. Dari arah atas tentukan kesimetrisan dada, Normalnya : simetris,
3. Dari arah samping dan belakang tentukan bentuk dada.
4. Dari arah depan, catat : gerakan napas dan tanda-tanda sesak napas
Normalnya : Gerak napas simetris 16 – 24 x/menit, abdominal/ thorakoabdominal, tidak
ada penggunaan otot napas dan retraksi interkostae.
Abnormal :
Tarchipneu napas cepat ( > 24 x/menit ) , misal ; pada demam, gagal jantung
Bradipneu napas lambat ( < 16 x/menit ), misal ;pada uremia, koma DM,
stroke
Cheyne Stokes napas dalam, kemudian dangkal dan diserta apneu berulang- ulang.
Misal : pada Stroke, penyakit jantung, ginjal.
Biot Dalam dan dangkal disertai apneu yang tidak teratur, misal : meningitis.
Kusmoul Pernapasan lambat dan dalam, misal ; koma DM, Acidosis
metabolic
Hyperpneu napas dalam, dengan kecepatan normal
Apneustik ispirasi megap-megap, ekspirasi sangat pendek, misal pada lesi pusat
pernapasan.
Dangkal emfisema, tumor paru, pleura Efusi.
Asimetris pneumonie, TBC paru, efusi pericard/pleura, tumor paru.
5. Dari arah depan tentukan adanya pelebaran vena dada, normalnya : tidak ada.
B. Palpasi
Cara Kerja :
1. Atur posisi pasien duduk atau berbaring
2. lakukan palpasi daerah thorax, catat ; adanya nyeri, adanya benjolan (tentukan konsistensi, besar,
mobilitas)
3. Dengan posisi berbaring / semi fowler, letakkan kedua tangan ke dada, sehingga ke dua ibu jara
berada diatas Procecus Xypoideus, pasien diminta napas biasa, catat : gerak napas simetris atau
tidak dan tentukan daya kembang paru ( normalnya 3-5 cm ).
Atau
Dengan posisi duduk merunduk, letakkan ke dua tangan pada punggung di bawah scapula,
tentukan : kesimetrisan gerak dada, dan daya kembang paru
4. Letakkan kedua tangan seperti pada no 2/3, dengan posisi tangan agak ke atas, minta pasien untuk
bersuara ( 77 ), tentukan getaran suara dan bedakan kanan dan kiri.
Panduan Praktikum Laboratorium Semester 6
Menurun : konsolidasi paru, pneumonie, TBC, tumor paru, ada masa paru
Meningkat : Pleura efusi, emfisema, paru fibrotik, covenrne paru.
C. Perkusi
Cara Kerja :
1. Atur posisi pasien berbaring / setengah duduk
2. Gunakan tehnik perkusi, dan tentukan batas – batas paru
Batas paru normal :
Atas : Fossa supraklavikularis kanan-kiri
Bawah : iga 6 MCL, iga 8 MAL, iga 10 garis skapularis, paru kiri lebih tinggi
Abnormal :
Meningkat anak, fibrosis, konsolidasi, efusi, ascites
Menurun orang tua, emfisema, pneumothorax
3. lakuka perkusi secara merata pada daerah paru, catat adanya perubahan suara perkusi
:
Normalnya : sonor/resonan ( dug )
Abnormal :
Hyperresonan menggendang ( dang ) : thorax berisi udara, kavitas
Kurang resonan “deg” : fibrosis, infiltrate, pleura menebal
Redup “bleg” : fibrosis berat, edema paru
Pekak seperti bunyi pada paha : tumor paru, fibrosis
D. Auskultasi
Cara kerja :
1. Atur posisi pasien duduk / berbaring
2. Dengan stetoskop, auskultasi paru secara sistematis pada trachea, bronkus dan paru, catat :
suara napas dan adanya suara tambahan.
Suara napas
Normal :
Trachea brobkhial suara di daerah trachea, seperti meniup besi, inpirasi lebih keras dan
pendek dari ekspirasi.
Bronkhovesikuler suara di daerah bronchus ( coste 3-4 di atas sternum ), inpirasi spt
vesikuler, ekspirasi seperti trac-bronkhial.
Vesikuler suara di daerah paru, nada rendah inspirasi dan ekspirasi tidak terputus.
Abnormal :
Suara trac-bronkhial terdengar di daerah bronchus dan paru ( missal ; pneumonie, fibrosis
)
Suara bronkhovesikuler terdengar di daerah paru
Suara vesikuler tidak terdengar. Missal : fibrosis, effuse pleura, emfisema
Suara tambahan
Normal : bersih, tidak ada suara tambahan
Abnormal :
Ronkhi suara tambahan pada bronchus akibat timbunan lender atau secret pada
bronchus.
Krepitasi / rales berasal daru bronchus, alveoli, kavitas paru yang berisi cairan ( seperti
gesekan rambut / meniup dalam air)
Whezing suara seperti bunyi peluid, karena penyempitan bronchus dan alveoli.
3. Kemudian, beritahu pasien untuk mengucapkan satu, dua, catat bunyi resonan Vokal :
Bronkhofoni meningkat, suara belum jelas ( misal : pnemonie lobaris, cavitas paru )
Pectoriloguy meningkat sekali, suara jelas
Egovoni sengau dan mengeras ( pada efusi pleura + konsolidasi paru )
Menurun / tidak terdengar Efusi pleura, emfisema, pneumothorax
A. Inspeksi
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
1. Bentuk perkordial
2. Denyut pada apeks kordis
3. Denyut nadi pada daerah lain
4. Denyut vena
Cara Kerja :
1. Buka pakaian dan atur posisi pasien terlentang, kepala ditinggikan 15-30
2. Pemeriksa berdiri sebelah kanan pasien setinggi bahu pasien
3. Motivasi pasien tenang dan bernapas biasa
4. Amati dan catat bentuk precordial jantung
Normal datar dan simetris pada kedua sisi,
Abnormal Cekung, Cembung ( bulging precordial )
5. Amati dan catat pulsasi apeks cordis
Normal nampak pada ICS 5 MCL selebar 1-2 cm ( selebar ibu jari ).
Sulit dilihat payudara besar, dinding toraks yang tebal, emfisema, dan efusi perikard.
Abnormal --> bergeser kearah lateroinferior , lebar > 2 cm, nampak meningkat dan
bergetar ( Thrill ).
6. Amati dan catat pulsasi daerah aorta, pulmonal, trikuspidalis, dan ephygastrik
NormaL Hanya pada daerah ictus
7. Amati dan cata pulsasi denyut vena jugularis
Normal tidak ada denyut vena pada prekordial. Denyut vena hanya dapat dilihat pada vena
jugularis interna dan eksterna.
B. Auskultasi
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
1. Irama dan frekwensi jantung
Normal : reguler ( ritmis ) dengan frekwensi 60 – 100 X/mnt
2. Intensitas bunyi jantung
Normal :
Di daerah mitral dan trikuspidalis intensitas BJ1 akan lebih tinggi dari BJ 2
Di daerah pulmonal dan aorta intensitas BJ1 akan lebih rendah dari BJ 2
3. Sifat bunyi
jantung Normal :
- bersifat tunggal.
- Terbelah/terpisah dikondisikan ( Normal Splitting )
Splitting BJ 1 fisiologik
Normal Splitting BJ1 yang terdengar saat “ Ekspirasi maksimal, kemudian napas ditahan
sebentar” .
Splitting BJ 2 fisiologik
normal Spliting BJ2, terdengar “ sesaat setelah inspirasi dalam “
Abnormal :
Splitting BJ 1 patologik ganngguan sistem konduksi ( misal RBBB )
Splitting BJ 2 Patologik : karena melambatnya penutupan katub pulmonal pada RBBB,
ASD, PS.
4. Fase Systolik dan Dyastolik
Normal : Fase systolik normal lebih pendek dari fase dyastolik ( 2 : 3 )
Abnormal : - Fase systolic memanjang / fase dyastolik memendek
- Tedengar bunyi “ fruction Rub” gesekan perikard dg ephicard.
C. Palpasi
Cara Kerja :
1. Dengan menggunakan 3 jari tangan dan dengan tekanan ringan, palpasi daerah aorta, pulmo
dan trikuspidalis. catat : adanya pulsasi.
Normal tidak ada pulsasi
2. Geser pada daerah mitral, catat : pulsasi, tentukan letak, lebar, adanya thrill, lift/heave.
Normal terba di ICS V MCL selebar 1-2cm ( 1 jari )
Abnormal ictus bergeser kea rah latero-inferior, ada thriil / lift
3. Geser pada daerah ephigastrik, tentukan besar denyutan.
Normal : teraba, sulit diraba
Abnormal : mudah / meningkat
D. Perkusi
Cara Kerja :
1. Lakukan perkusi mulai intercota 2 kiri dari lateral ( Ant. axial line ) menuju medial, catat
perubahan perkusi redup
2. Geser jari ke ICS 3 kiri kemudian sampai ICS 6 , lakukan perkusi dan catat perubahan suara
perkusi redup.
3. Tentukan batas-batas jantung
1, 3 = hypokondrium ka/ki
2 =
ephigastrium 4, 6
= lumbal ka/ki
5 = umbilicus
7,9 =iliaka
ka/ki
8 = hypogastrium
Hatiterdapat pada 1 dan 2
Lambung di daerah 2
Limfa di daerah 3
Kandung empedu pada batas 6 dan 2
Kandungkencing pada daerah 8
Apendik pada 7 dan bawah 6,5.
Bifurkasio aorta 2 cm bawah umbilicus
kekiri
Tujuan :
Mendapatkan data lengkap untuk menegakan diagnosa keperawatan yang akurat
Membantu individu mengatasi perubahan kehidupan sehari – hari secara efektif dan perawatan diri
baik potensial maupun actual yang disebabkan oleh adanya masalah kesehatan atau penyakit
A. Inspeksi
Cara Kerja
:
1. Kandung kencing dalam keadaan kosong
2. Posisi berbaring, bantal dikepala dan lutut sedikit fleksi
3. Kedua lengan, disamping atau didada
4. Mintalah penderita untuk menunjukkan daerah sakit untuk dilakukan pemeriksaan terakhir
5. Lakukan inspeksi, dan perhatikan Kedaan kulit dan permukaan perut
Normalnya : datar, tidak tegang, Strie livide/gravidarum, tidak ada lesi
Abnormal :
Strie berwarna ungu syndrome chusing
Pelebaran vena abdomen Chirrosis
Dinding perut tebal odema
Berbintil atau ada lesi neurofibroma
Ada masa / benjolan abnormal tumor
6. Perhatikan bentuk perut
Normal : simetris
Abnormal :
Membesar dan melebar ascites
Membesar dan tegang berisi udara ( ilius )
Membesar dan tegang daerah suprapubik retensi urine
Membesar asimetris tumor, pembesaran organ dalam perut
7. Perhatikan Gerakan dinding perut
Normal : mengempis saat ekspirasi dan menggembung saat inspirasi, gerakan peristaltic pada
orang kurus.
B. Auskultasi
Cara Kerja
:
1. Gunakan stetoskop sisi membrane dan hangatkan dulu
2. Lakukan auskultasi pada satu tempat saja ( kwadaran kanan bawah ), cata bising dan peristaltic
usus.
Normal : Bunyi “ Klikc Grugles “, 5-35X/mnt
Abnormal :
Bising dan peristaltic menurun / hilang illeus paralitik, post operasi
Bising meningkat “ metalik sound “ illius obstruktif
Peristaltik meningkat dan memanjang ( borboritmi ) diare, kelaparan
3. Dengan merubah posisi/menggerakkan abdomen, catat gerakan air (tanda ascites).
Normalnya : tidak ada
3. Letakkan stetoskop pada daerah ephigastrik, catat bising aorta,
Normal : tidak ada.
C. Perkusi
Cara Kerja :
1. Lakukan perkusi dari kwadran kanan atas memutar searah jarum jam, catat adanya
perubahan suara perkusi :
Normalnya : tynpani, redup bila ada organ dibawahnya ( misal hati )
Abnormal :
a. Hypertympani terdapat udara
b. Pekak terdapat Cairan
2. Lakukan perkusi di daerah hepar untuk menentukan batas dan tanda pembesaran hepar.
Cara :
a. Lakukan perkusi pada MCL kanan bawah umbilicus ke atas sampai terdengar bunyi redup,
untuk menentukan batas bawah hepar.
b. Lakukan perkusi daerah paru ke bawah, untuk menentukan batas atas
c. Lakukan perkusi di sekitar daerah 1 da 2 untuk menentukan batas-batas hepar yang lain.
D. Palpasi
Cara Kerja :
1. Beritahu pasien untuk bernapas dengan mulut, lutut sedikit fleksi.
2. Lakukan palpasi perlahan dengan tekanan ringan, pada seluruh daerah perut
3. Tentukan ketegangan, adanya nyeri tekan, dan adanya masa superficial atau masa feces yang
mengeras.
4. Lanjutkan dengan pemeriksaan organ
Hati
Letakkan tangan kiri menyangga belakang penderita pada coste 11 dan 12
Tempatkan ujung jari kanan ( atas - obliq ) di daerah tempat redup hepar bawah / di bawah
kostae.
Mulailah dengan tekanan ringan untuk menentukan pembesaran hepar, tentukan besar,
konsistensi dan bentuk permukaan.
Panduan Praktikum Laboratorium Semester 7
Minta pasien napas dalam, tekan segera dengan jari kanan secara perlahan, saat pasien melepas
napas, rasakan adanya masa hepar, pembesaran, konsistensi dan bentuk permukaannya.
Normal : tidak teraba / teraba kenyal, ujung tajam.
Abnormal :
Teraba nyata ( membesar ), lunak dan ujung tumpul hepatomegali
Teraba nyata ( membesar ), keras tidak merata, ujung ireguler hepatoma Lien
Letakkan tangan kiri menyangga punggung kanan penderita pada coste 11 dan 12
Tempatkan ujung jari kanan ( atas - obliq ) di bawah kostae kanan.
Mulailah dengan tekanan ringan untuk menentukan pembesaran limfa
Minta pasien napas dalam, tekan segera dengan jari kanan secara perlahan, saat pasien melepas
napas, rasakan adanya masa hepar, pembesaran, konsistensi dan bentuk permukaannya.
Normal : Sulit di raba, teraba bila ada pembesaran
Tujuan :
Mengevaluasi keadaan fisik klien secara umum dan juga menilai apakah adaindikasi penyakit lainnya
selain kelainan neurologis
Koordinasi
Tunjuk hidung jari : perintahkan pasien menyentuk hidung dan jari bergantian dan berulang-
ulang, catat adanya kegagalan.
Hasil :
Gerakan menyentak kaki
Tujuan :
1. Mengetahui keadaan fungsi sistem perkemihan
2. Mengetahui ada tidaknya kelainan sistem perkemihan
3. Pasien dengan gangguan sistem perkemihan lain
Cara Kerja
1. Atur posisi pasien supinasi dan rileks
2. Tinggikan tempat tidur dan rileks
3. Boleh menggunakan bantal/tidak
A. Inpeksi
1) Pasien tidur terlentang, pemeriksa berada di sebelah kanan
2) Kaji daerah abdomen pada garis mid clavicula kiri dan kanan
3) Perhatikan simetris atau tidak, serta apakah tampak ada masa dan pulsasi
B. PalpasI
xxii. Palpasi Ginjal
1. Posisikan pasien terlentang, dan buka abdomendari prosesus sifoideus sampai ke simfisis
pubis.
2. Berdiri di sisi kanan pasien, letakkan tangan kirI dibawah punggung, ditengan antara
tepi kostal bawah dan puncak iliaka.
3. Kemudian, letakkan tangan kanan di atas abdomen pasien, tepat diatas posisi
tangan kiri.
4. Tekuk sedikit kearah tepi kostal
5. Untuk mempalpasi tepi kanan bawah ginjal kiri,tekan ujung-ujung jari kanan sekitar 4 cm
diatas puncak iliaka kanan pada garismidinguinal; tekankan ujung-ujung jari kiri keatas
dalam sudut kostavertebral.
6. Berikan instruksi kepada pasien untuk menariknapas dalam sehingga bagian bawah
ginjalkanan dapat bergerak ke bawah diantara keduatangan. Jika ginjal bergerak, perhatikan
bentukdan ukuran dari ginjal. Normalnya, ginjal terasalembut, padat keras dan tidak elastis.
7. Tanyakan kepada pasien apakah tindakan yangdilakukan menimbulkan rasa tidak nyaman.
8. Unuk mengkaji ginjal kiri, pindahlah ke sisi kiripasien dan posisijan tangan seperti
yangdigambarkan diatas, tetapi dengan perubahanberikut : letakkan tangan kanan 5cm
diatas puncak iliaka kiri.
9. Kemudian beri tekanan dengan kedua tanganpada saat pasien berinhalasi. Jika ginjal
kiridapat dipalpasi, bandingkan dengan ginjalkanan. Normalnya, ginjal tersebut
harusmemiliki ukuran yang sama.
xxiii. Palpasi Kandung Kemih
1. Cari tepi kandung kemih dengan menekan kedalam garis tengah sekitar 2,5 sampai 5
cmdiatas simfisis pubis. Setelah kandung kemihterpalpasi, catat ukuran, lokasinya, serta
periksaadanya benolan, massa, dan nyeri tekan.
2. Kandung kemih normalnya terasa keras danrelatif lembut. (Ingatlah bahwa kandung
kemihorang dewasa mungkin tidak dapat dipalpasi).Selama palpasi dalam, pasien dapat
melaporkanadanya urgensi untuk berkemih/ sebuah responyang normal
C. Perkusi
xxiv. Perkusi Ginjal
KEPERAWATAN MATERNITAS
PEMERIKSAAN LEOPOLD
A. Definisi
Palpasi merupakan pemeriksaan dengan indera peraba, yaitu tangan untuk menentukan ketahanan,
kekenyalan, tekstur. Palpasi dilakukan untuk menentukan besarnya rahim dengan menentukan usia
kehamilan serta menentukan letak janin dalam rahim. Pemeriksaan secara palpasi dilakukan dengan
menggunakan metode leopold, yakni:
a. Leopold I
Leopold I digunakan untuk menentukan usia kehamilan (TFU) dan bagian apa yang ada dalam
fundus.
Teknik:
Memposisikan ibu dengan lutut fleksi (kaki ditekuk 450 atau lutut bagian dalam diganjal bantal)
dan pemeriksa menghadap ke arah ibu
Menengahkan uterus dengan menggunakan kedua tangan dari arah samping umbilical
Kedua tangan meraba fundus kemudian menentukan TFU (Tinggi Fundus Uteri).
Meraba bagian Fundus dengan menggunakan ujung kedua tangan, tentukan bagian janin.
Hasil:
Apabila kepala janin teraba di bagian fundus, yang akan teraba adalah keras,bundar dan
melenting (seperti mudah digerakkan)
Apabila bokong janin teraba di bagian fundus, yang akan terasa adalah lunak, kurang bundar,
dan kurang melenting
Apabila posisi janin melintang pada rahim, maka pada Fundus teraba kosong.
b. Leopold II
Leopold II digunakan untuk menentukan letak punggung janin dan letak bagian terkecil pada
janin.
c. Leopold III
Leopold III digunakan untuk menentukan bagian apa yang terdapat dibagian bawah dan apakah
bagian bawah janin sudah atau belum terpegang pintu atas panggul.
Teknik:
Posisi ibu masih dengan lutut fleksi (kaki ditekuk) dan pemeriksa menghadap ibu
Meletakkan ujung telapak tangan kiri pada dinding lateral kiri bawah, telapak tangan kanan
bawah perut ibu
Menekan secara lembut dan bersamaan/bergantian untuk mentukan bagian terbawah bayi
Gunakan tangan kanan dengan ibu jari dan keempat jari lainnya kemudian goyang bagian
terbawah janin.
d. Leopold IV
Tentukan seberapa jauh janin sudah masuk
Teknik:
Pemeriksa menghadap ke arah kaki ibu, dengan posisi kaki ibu lurus
Meletakkan ujung telapak tangan kiri dan kanan pada lateral kiri dan kanan uterus bawah,
ujung-ujung jari tangan kiri dan kanan berada pada tepi atas simfisis
Menemukan kedua ibu jari kiri dan kanan kemudian rapatkan semua jari-jari tangan yang
meraba dinding bawah uterus.
Perhatikan sudut yang terbentuk oleh jari-jari: bertemu (konvergen) atau tidak bertemu
(divergen)
Setelah itu memindahkan ibu jari dan telunjuk tangan kiri pada bagian terbawah bayi (bila
presentasi kepala upayakan memegang bagian kepala di dekat leher dan bila presentasi bokong
upayakan untuk memegang pinggang bayi)
Memfiksasi bagian tersebut ke arah pintu atas panggul kemudian meletakkan jari-jari tangan
kanan diantara tangan kiri dan simfisis untuk menilai seberapa jauh bagian terbawah telah
memasuki pintu atas panggul.
Hasil:
Apabila kedua jari-jari tangan pemeriksa bertemu (konvergen) berarti bagian terendah janin
belum memasuki pintu atas panggul, sedangkan apabila kedua tangan pemeriksa membentuk
jarak atau tidak bertemu (divergen) mka bagian terendah janin sudah memasuki Pintu Atas
Panggul (PAP)
Penurunan kepala dinilai dengan: 5/5 (seluruh bagian jari masih meraba kepala, kepala belum
masuk PAP), 1/5 (teraba kepala 1 jari dari lima jari, bagian kepala yang sudah masuk 4 bagian),
dan seterusnya sampai 0/5 (seluruh kepala sudah masuk PAP)
Kasus:
1. Seorang perempuan usia 31 tahun G2P0A1 datang ke Poli Kandungan untuk memeriksakan
kehamilannya. Diketahui dari HPHT, pasien hamil 37 minggu, hasil TTV, TD: 130/70mmHg, N:
87x/menit, RR: 20x/meniit, S: 36.50C. Perawat ingin mengetahui kondisi janin dalam kandungan Ibu.
Apakah pemeriksaan yang harus dilakukan dan sebutkan hasil dari pemeriksaan tersebut!
3. Seorang perempuan berusia 22 tahun G1P0A0 usia gestasi 36 minggu. Hasil pemeriksaan TFU 31
cm, presentasi terbawah janin adalah kepala dan dirasakan sudah masuk PAP. Berapakah tafsiran
berat badan janin pada kasus tersebut?
A. 2900 gram
B. 3000 gram
C. 3100 gram
D. 3200 gram
E. 3500 gram
A. Pengertian
Persalinan dimulai (inpartu) sejak uterus berkontraksi dan menyebakan perubahan pada serviks
(membuka dan menipis) dan berakhir dengan lahirnya plasenta secara lengkap.
a. Usia kehamilan cukup bulan (37-42 minggu)
b. Persalinan terjadi spontan
c. Presentasi belakang kepala
d. Berlangsung tidak lebih dari 18 jam
e. Tdak ada komplikasi pada ibu maupun janin
B. Macam-Macam Persalinan:
a. Persalinan spontan
b. Persalinan buatan
c. Persalinan anjuran
C. Komponen Persalinan:
a. Passage (Jalan Lahir)
b. Passangger (Janin)
c. Power (Kekuatan Kontraksi Rahim
d. Psyche (Kondisi Psikologi)
E. Tahapan Persalinan
a. Kala I (Kala Pembukaan)
Kala I persalinan dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus yang teratur dan timbul his dimana
ibu telah mengeluarkan lendir yang bercampur darah (bloody show).Lendir tersebut yang berasal
dari kanalis servikalis meningkat (frekuensi dan kekuatannya) hingga serviks membuka lengkap
(10 cm).
Kala I dibagi menjadi 2 fase:
o Fase laten: pembukaan serviks 1 hingga 3 cm, sekitar 8 jam.
o Fase aktif: pembukaan serviks 4 hingga lengkap (10 cm), sekitar 6 jam
F. Proses Persalinan
1. Kala I
Tatalaksana
o Beri dukungan dan dengarkan keluhan ibu
o Jika ibu tampak gelisah/kesakitan:
Biarkan ia berganti posisi sesuai keinginan, tapi jika di tempat tidurvsarankan untuk miring
kiri.
Biarkan ia berjalan atau beraktivitas ringan sesuai kesanggupannya
Anjurkan suami atau keluarga memjiat punggung atau membasuh muka ibu
Ajari teknik bernapas
o Jaga privasi ibu. Gunakan tirai penutup dan tidak menghadirkan orang lain tanpa seizin
ibu.
o Izinkan ibu untuk mandi atau membasuh kemaluannya setelah buang air kecil/besar
o Jaga kondisi ruangan sejuk. Untuk mencegah kehilangan panas pada bayi baru lahir, suhu
ruangan minimal 250C dan semua pintu serta jendela harus tertutup.
o Beri minum yang cukup untuk menghindari dehidrasi.
o Sarankan ibu berkemih sesering mungkin.
o Pantau parameter berikut secara rutin dengan menggunakan partograf.
Selain kondisi di atas, ada beberapa tindakan yang sering dilakukan namun sebenarnya tidak banyak
membawa manfaat bahkan justru merugikan, sehingga tidak dianjurkan melakukan hal- hal berikut:
Kateterisasi kandung kemih rutin: dapat meningkatkan risiko infeksi saluran kemih.
Lakukan hanya jika ada indikasi.
Posisi terlentang: dapat mengurangi detak jantung dan penurunan aliran darah uterus sehingga
kontraksi melemah
Mendorong abdomen: menyakitkan bagi ibu, meningkatkan risiko rupture uteri
Mengedan sebelum pembukaan serviks lengkap: dapat menyebabkan edema dan/atau laserasi
serviks
Enema
Pencukuran rambut pubis
Membersihkan vagina dengan antiseptik selama persalinan
Gerakkan arah atas dan distal untuk melahirkan bahu belakang seperti gambar berikut :
Melahirkan bahu belakang
Keringkan bayi mulai dari muka, kepala, dan bagian tubuh lainnya
KECUALI BAGIAN TANGAN TANPA MEMBERSIHKAN VERNIKS.
Ganti handuk basah dengan handuk yang kering
Pastikan bayi dalam kondisi mantap di atas dada atau perut ibu
28. Periksa kembali perut ibu untuk memastikan tidak ada bayi lain dalam uterus (hamil
tunggal).
31. Dengan menggunakan klem, 2 menit setelah bayi lahir, jepit tali pusat pada sekitar 3 cm
dari pusat (umbilikus) bayi (kecuali pada asfiksia neonatus, lakukan sesegera mungkin).
Dari sisi luar klem penjepit, dorong isi tali pusat ke arah distal (ibu) dan lakukan
penjepitan kedua pada 2 cm distal dari klem pertama.
32. Potong dan ikat tali pusat.
Dengan satu tangan, angkat tali pusat yang telah dijepit kemudian gunting tali pusat di
antara 2 klem tersebut (sambil lindungi perut bayi).
Ikat tali pusat dengan benang DTT/steril pada satu sisi kemudian lingkarkan kembali
benang ke sisi berlawanan dan lakukan ikatan kedua menggunakan simpul kunci.
Lepaskan klem dan masukkan dalam larutan klorin 0,5%.
Jangan membungkus puntung tali pusat atau mengoleskan cairan/ bahan apapun ke
puntung tali pusat
33. Tempatkan bayi untuk melakukan kontak kulit ibu ke kulit bayi. Letakkan bayi dengan
posisi tengkurap di dada ibu. Luruskan bahu bayi sehingga bayi menempel dengan baik
di dinding dada-perut ibu. Usahakan kepala bayi berada di antara payudara ibu dengan
posisi lebih rendah dari puting payudara ibu.
34. Selimuti ibu dan bayi dengan kain hangat dan kering dan pasang topi pada kepala bayi.
Jangan segera menimbang atau memandikan bayi baru lahir
35. Pindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari vulva
36. Letakkan satu tangan di atas kain yang ada di perut ibu, tepat di tepi atas simfisis dan
tegangkan tali pusat dan klem dengan tangan yang lain.
37. Setelah uterus berkontraksi, tegangkan tali pusat ke arah bawah sambil tangan yang lain
mendorong uterus ke arah dorso-kranial secara hati-hati, seperti gambar berikut, untuk
mencegah terjadinya inversio uteri.
Melakukan peregangan
Jawaban:
1. Pimpin persalinan
2. D
Aspiani, R.Y. 2017. Asuhan Keperawatan Maternitas Aplikasi NANDA, NIC dan NOC. Jakarta
:Trans Info Media
Bobak.Lowdermilk. Jensen. 2013. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC. Kemenkes RI.
2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan
Rujukan
Padila. 2014. Keperawatan Maternitas. Nuha Medika : Yogyakarta
a. Definisi
Pemeriksaan yang dilakukan pada ibu setelah masa melahirkan atau pada masa nifas yaitu masa
setelah placenta lahir sampai organ reproduksi kembali normal yang jangka waktunya 6 minggu
b. Tujuan
Sebagai acuan petugas dalam melakukan tindakan Untuk mengetahui keadaan fisik ibu setelah
melahirkan
c. Prosedur
Tahap pra interaksi
1. Lakukan verifikasi data sebelumnya bila ada
2. Cuci tangan
3. Siapkan dan meletakan alat dekat pasien
Tahap orientasi
1. Ucapkan salam
2. Identifikasi pasien
3. Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan
4. Tanyakan kesiapan/persetujuan pasien
Tahap kerja
1. Jaga privasi pasien
2. Lakukan pengkajian umum (pada 4 jam pertama sampai 3 hari post partum)
a) Aktivitas / istirahat. Insomnia mungkin terjadi, ksji penyebabnya misalnya nyeri epis, nyeri
hemoroid, cemas, diaphoresisi dan sebagainya (episode diaphoresis lebih sering terjadi pada
malam hari)
b) Nyeri/ ketidaknyamanan, nyeri tekan payudara/ pembesaran dapat terjadi diantara hari ke 3
sampai hari ke 5 pasca partum
c) Eliminasi. Diuresis diantara hari ke 2-3
d) Status gizi dan tingkatan energy. Kehilangan nafsu makan mungkin
e) dikeluhkan pada hari ketiga
f) Kemampuan perawatan bayi
g) Status psikologi dan emosional ibu
1) Ibu post partum lebih peka rangsang, takut, dan menangis
2) Fase maternal menurut Rubin : taking in, taking hold, letting go
3) Respon ibu dan keluarga terhadap kelahiran atau proses persalinan, dan terhadap
bayi.
h) Aspek pengetahuan ibu dan keluarga mengenai perawatan post partum.
1) Nutrisi
2) Seks
3) Perawatan payudara
4) Senam nifas
5) Perawatan bayi
6) ASI
7) Teknik menyusui
8) Imunisasi dasar bayi
9) Manajemen nyeri post partum
10)Peran keluarga
3. Lakukan pemeriksaan fisik head to toe
4. Lakukan pemeriksaan tanda vital
A. Defenisi
Pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui ukuran-ukuran fisik seorang bayi atau anak
meliputi BB, TB, LK, LLA, dan LD dengan menggunakan alat ukur tertentu, seperti timbangan
dan pita pengukur (meteran).
B. Tujuan
1) Mengetahui pertumbuhan fisik pada bayi/anak
2) Mengetahui ada/tidaknya gangguan pertumbuhan pada bayi/anak
C. Persiapan Alat
1) BB scale
2) Pita pengukur (meteran)
3) Papan pengukur PB (Infantometer)
4) Buku Catatan dan alat tulis
D. Prosedur Kerja
a. Fase Orientasi
1) Cuci tangan
2) Memberikan salam sebagai pendekatan therapeutik pada bayi dan ibunya
3) Menjelaskan tujuan dan prosedur
4) Memberikan kesempatan pada ibu untuk bertanya sebelum memulai tindakan
5) Menanyakan kesiapan keluarga sebelum kegiatan dilakukan
6) Mendekatkan alat-alat, bila bayi siap dilakukan tindakan
7) Berikan privacy pada bayi (pasang tirai/screen)
b. Fase Kerja
PENGUKURAN PANJANG BADAN BAYI DENGAN INFANTOMETER
1) Tutup kepala dan sepatu bayi dilepas
2) Letakkan alat pengukur/infantometer pada meja yang rata dan stabil/lantai yang
beralas papan yang rata
3) Bayi ditidurkan lurus di dalam alat pengukur
4) kepala diletakkan hati-hati sampai menyinggung bagian atas alas pengukur
5) Pandangan mata lurus ke langit-langit, gunakan kedua tangan untuk menahan kedua
sisi kepala bayi dekat telinganya
6) Luruskan posisi kaki bayi dengan menekan kedua lutut, yakinkan posisi bayi benar-
benar rata dan lurus pada alat pengukur.
7) Jika posisi sudah benar, baca dan sebutkan panjang badan bayi
8) Segera catat pada formulir / buku catatan
9) eriksa kembali hasil pengukuran yang sudah dicatat untuk menghindari
kesalahan
Rumus:
BB – median
Median-SD
c. Fase Terminasi
1) Rapikan bayi dan beri posisi yang nyaman
2) Evaluasi kegiatan yang telah dilakukan sesuai dengan tujuan yang diharapkan
(subyektif dan obyektif)
3) Beri reinforcement positif pada bayi dan ibu
4) Kontrak pertemuan selanjutnya
5) Mengakhiri pertemuan dengan baik, bersama dengan ibu dan keluarga mendoakan agar
bayi senantiasa diberikan kesehatan dan menjadi anak yang soleh/solehah
6) Kumpulkan dan bersihkan alat-alat
7) Mencuci tangan
A. Defenisi
Pemeriksaan yang dilakukan pada bayi secara komperhensif
B. Tujuan
C. Persiapan Alat
.Stetoskop
Termometer
Jam tangan
Reflek hummer
Bengkok
Handscun
Alat tulis
D. Prosedur
1. Petugas mencuci tangan
2. Pemeriksaan fisik bisa dilakukan dengan cara:
a. Inspeksi (melihat)
b. Palpasi (meraba)
c. Perkusi (mengetok)
d. Auskultasi (mendengar)
e. Anamnesa (Tanya jawab)
3. Keadaan Umum
4. Kepala
a. Bentuk (lonjong, bundar / tidak)
b. Besar (normal, mikrocepalus, hydrocephalus /tidak)
c. Ubun-ubun besar / kecil, sudah menutup / belum
d. Bila belum menutup teraba cekung, datar, cembung, tegang / tidak
e. Sutura-sutura teraba/tidak
5. Rambut
a. Warnanya (hitam, merah jagung, lainnya)
b. Kesuburan rambut (lebat, tipis / tidak)
c. Mudah rontok / tidak, botak / tidak
6. Muka
a. Pucat, kuning, merah, biru (sianosis)
b. Kulit wajah: halus, kasar / tidak
c. Hiperpigmentasi melantonik ada atau tidak
7. Mata
a. Simetris / tidak, julin, buta / tidak (kelopak mata / bulu mata lengkap / tidak)
b. Sclera (normal, kuning, pucat)
c. Penyakit mata akut / kronis, tumor / tidak
8. Hidung
a. Bersih / tidak
b. Pilek / tidak, polip / tumor ada / tidak
9. Mulut
a. Bibir pucat / tidak, stomatitis / tidak
b. Stomatitis
c. Labiopalatoskisis
A. Defenisi
Perhitungan dosis obat pada anak sesuai dengan rumus yang telah ditentukan
B. Tujuan
Tujuan prosedur ini yaitu ketepatan jumlah dosis obat yang akan diberikan pada anak
C. Persiapan Alat
1. Obat yang akan digunakan
2. Spuit sesuai rencana dosis obat
3. Handscun
4. Aquades
5. Bengkok
6. Instrument set
7. Kapas alkohol
D. Prosedur
a. Menghitung jumlah dosis obat yang akan diberikan m
Da =---------x Dd (mg)
150
Keterangann rumus fried:
Da : Dosis anak
m : Umur anak dalam bulan Dd
: Dosis dewasa
150: Ketetapan fried
Contoh : seorang bayi berumur 6 bulan. demam tinggi selama 1 hari, dan telah diresepkan oleh
dokter mendapatkan paracetamol dengan dosis dewasa 500mg, berapakah dosis yang harus
diberikan untuk bayi tersebut ?
Jawab :
m
Da =---------x Dd (mg)
150
=
6
Da =---------x 500 (mg) = 20 mg
150
Wong, Hockenberry & Wilson.(2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik.Edisi 6. EGC: Jakarta
A. Definisi
Bantuan hidup dasar (BHD) / Basic Life Suport (BLS) adalah fase khusus dari penanganan gawat
darurat jantung.
B. Tujuan
1. Mencegah hentian atau insufisiensi jantung atau nafas lewat pengenalan dan
intervensi dini
2. Menyongkong sirkulasi dada pentilasi korban henti jantung atau pernapasan dari luar
lewat resusitasi jantung–paru / Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR).
3. Mengalirkan oksigen ke otak, jantung dan organ–organ vital lainnya sampai terapi
medis defenitif yang sesuai (bantuan hidup lanjut) dapat mengembalikan fungsi
normal jantung danventilasi.
C. Indikasi
1. Henti nafas akibat tenggelam, stroke, benda asing, obstruksi jalan nafas, inhalasi
asapoverdosis obat, tersengat listrik, sesak napas, infark miokard, cedera akibat
tersambar petirdan koma karena sebab apapun yang menimbulkan obstruksi jalan
napas.
2. Henti jantung.
D. Alat dan Bahan
1. Spine Board/Papan penahan/papan punggung/permukaandatar
2. Alat AED (Automatical External Defribilator)
3. Ambu Bag / Bag Valve Mask
4. Mouthpiece
5. Disposible CPR
E. Prosedur Tindakan
Soal!
1. Seorang laki-laki berusia 26 tahun dibawa oleh ibunya tukang becak ke ruang unit gawat
darurat, tiba-tiba pasien mengalami henti napas dan henti jantung. Perawat memakai alat
pelindung diri, kemudian mengecek respon pasien dan mengaktifkan sistem emergency,
Manakah tindakan selanjutnya yang harus dilakukan?
a. Mengecek nadi karotis pasien
b. Memberikan bantuan nafas sebanyak 2 kali
c. Melakukan kompresi jantung sebanyak 30 kali
d. Membuka jalan napas dengan teknik head tilt chin lift
e. Mengkaji napas pasien dengan cara look, listen and feel
2. Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun mengalami henti napas dan henti jantung di ruang unit
gawat darurat. Dua orang perawat langsung melakukan tindakan resusitasi jantung paru (RJP).
Berapakah rasio kompresi dan ventilasi yang diberikan?
a. 3 kompresi dan 1 ventilasi
b. 15 kompresi dan 1 ventilasi
c. 15 kompresi dan 2 ventilasi
d. 30 kompresi dan 1 ventilasi
e. 30 kompresi dan 2 ventilasi
3. Seorang perempuan berusia 27 tahun jatuh dari motor dibawa ke ruang unit gawat darurat, hasil
pemeriksaan terdapat luka di bagian leher dan di dahi pasien, darah keluar dari hidung, telinga
dan mulut. Bagaimanakah cara membuka jalan napas pada pasien?
a. Chin lift
b. Jaw trust
c. Head tilt
d. Chest trust
e. Hiperektensi kepala
4. Seorang laki-laki berusia 35 tahun mengalami henti napas dan henti jantung di ruang unit gawat
darurat. Perawat langsung melakukan tindakan resusitasi jantung paru (RJP) selama 2 menit,
setelah itu perawat mengevaluasi keadaan pasien, ternyata denyut nadi korban ada dan nafas
tidak ada. Manakah tindakan selanjutnya yang harus dilakukan?
a. Melakukan kembali tindakan resusitasi jantung paru
b. Merujuk pasien ke sarana pelayanan kesehatan terdekat
c. Memberikan bantuan nafas sebanyak 10 kali selama duamenit
d. Memberikan bantuan nafas sebanyak 20 kali selama duamenit
e. Memposisikan klien ke dalam posisi miring mantap
(recovery position)
5. Seorang perempuan berusia 55 tahun mengalami henti napas dan henti jantung di ruang unit
gawat darurat. Perawat langsung melakukan tindakan resusitasi jantung paru (RJP) selama 2
menit, setelah itu perawat mengevaluasi keadaan pasien, ternyata denyut nadi dan napas
korban ada. Manakah tindakan selanjutnya yang harus dilakukan?
DAFTAR PUSTAKA
AHA. (2020). Highlights of the 2020 American Heart Association Guidelines For CPR and
ECC. American Journal of Heart Association, 9, 32.
Al Rasid, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan Gawat Darurat.
Ciptaning Tyas, M. D. (2016). Keperawatan Kegawatdaruratan & Manajemen Bencana.
Kemenkes RI.
Hidayati, A. N., Alfian, M. I. A. A., & Rosyid, A. N. (2018). Gawat Darurat Medis dan Bedah. In
Rumah Sakit Universitas Airlangga (Vol. 8, Issue 1). adm@aup.unair.ac.id
Kurniati, A., Putri, A. F., Yanuar, E., Firdaus, M. I., Pemila, U., & Kurniawan, D. (2020).
Panduan Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat Pada Masa Covid-19.
HIPGABI. https://ppnipangandaran.org/download/pak-covid-hipgabi.pdf
Mardalena. (2021). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. In
Pustaka Baru Press (Vol. 1, Issue 69).
Yosep, I., & Sutini, T. (2016). Buku Ajar Keperawatan. In
Bandung: PT Refika Aditama (Issue 00).
A. Definisi
Balut bidai adalah tindakan memfiksasi/ mengimobilisasi bagian tubuh yang mengalami
cidera dengan menggunakan benda yang bersifat kaku maupun fleksibel sebagai fiksator
/imobilisator.
B. Tujuan
1. Mencegah gerakan bagian yang stabil sehinggamengurangi nyeri dan
mencegah kerusakan lebih lanjut.
2. Mempertahankan posisi yang nyaman.
3. Mempermudah transportasi organ.
4. Mengistirahatkan bagian tubuh yang cidera.
5. Mempercepat penyembuhan
C. Indikasi
1. Adanya fraktur, baik terbuka /tertutup.
2. Adanya kecurigaan adanya fraktur.
3. Dislokasi persendian
D. Alat dan Bahan
1. Bidai dalam bentuk jadi/ bidai standart yang telah dipersiapkan
2. Bidai sederhana (panjang bidai harus melebihi panjang tulang dan sendi yang akan dibidai
) contoh: papan kayu,ranting pohon.
3. Bidai yang terbuat dari benda keras (kayu) sebaiknya dibalut dengan bahan yang lebih
lembut (kain, kassa, dsb)
4. Bahan yang digunakan sebagai pembalut pembidaian bisa berasal dari pakaian atau bahan
lainnya. Bahan yang digunakan harus bisa membalut dengan sempurna pada ekstremitas
yang dibidai namun tidak terlalu ketat karena dapat menghambat sirkulasi.
5. Plester biasanya dipergunakan untuk menutup luka yang telah diberi antiseptik. Juga
dapat dipakai merekatkan penutup luka dan fiksasi pada sendi yang terkilir.
6. Pembalut pita/gulung (elastis bandage) dapat dibuatdari kain katun, kain kasa,
flannel ataupun bahan elastik. Di pasaran, yang banyak dijual sebagai pembalut pita adalah
yang terbuat dari kain kasa.
Ada beberapa ukuran pembalut pita/gulung:
a. Pembalut pita ukuran 2,5 cm untuk jari-jari
b. Pembalut pita ukuran 5 cm untuk leher dan pergelangan tangan
c. Pembalut pita ukuran 7,5 cm untuk kepala, lenganatas, lengan bawah, betis dan
kaki.
d. Pembalut pita ukuran 10 cm untuk paha dan sendipanggul
e. Pembalut pita ukuran > 10 - 15 cm untuk dada,punggung dan perut
7. Mitela merupakan kain segitiga sama kaki dengan panjang kaki 90 cm, terbuat dari kain
mori. Pada penggunaannya seringkali dilipat lipat sehingga menyerupai dasi. Dalam hal ini
mitela dapat diganti dengan pembalut pita.
8. Gunting kassa
E. Prosedur Tindakan
1. Cara Membalut dengan Pita (gulung)
Pembalut pita dapat digunakan sebagai pengganti pembalut yang berbentuk segitiga.
Secara umum cara membalut dengan pita dapat mengikuti langkah langkah berikut:
a. Berdasar pada besar bagian tubuh yang akan dibalut, maka dipilih pembalut pita
dengan ukuran Iebar yang sesuai.
b. Pembalutan biasanya dibuat bebrapa lapis, dimulai dari salah satu ujung yang dibalutkan
mulai dari proksimal bergerak ke distal untuk menutup sepanjang
a. Membalut Tubuh
1) Membalut dada
Puncak kain segitiga diletakkan di salah satu bahu penderita, sedang sisi alasnya
dirapatkan di perut dan kedua sudut alasnya ditarik ke punggung
dilipat. Dalam hal ini dipasang juga bidai yang meliputi lengan bawah, dan biarkan
lengan dalam keadaan lurus tanpa perlu digantungkan ke leher.
b. Bidai pada Kasus Patah Tulang Lengan Bawah Lengan bawah memiliki dua
batang tulang panjang,satu di sisi yang searah dengan ibu jari dan yang satu lagi di
sisi yang searah dengan jari kelingking.Apabila salah satu ada yang patah maka
yang yanglain dapat bertindak sebagai bidai, sehingga tulangyang patah itu tidak
beranjak dari tempatnya. Meskidemikian tanda-tanda patah tulang panjang tetap ada.
Gambar 13. Bidai pada Kasus Patah Tulang Lengan Bawah
Tindakan pertolongan:
1) Pasanglah sepasang bidai di sepanjang lengan bawah. Bidai ini dapat dibuat dari dua
bilah papan, dengan sebilah papan di sisi luardan sebilah lagi di sisi
dalam lengan. Dapat pula dipergunakan bidai dengan setumpuk kertas koran
membungkus lengan.
2) Berikan alas perban antara lengan dan bidai untuk mengurangi rasa sakit.
3) Ikat bidai-bidai tersebut dengan pembalut
4) Periksa apakah ikatan longgar atau terlalu keras menjepit lengan sehingga pasien
merasa lengannyamenjadi lebih sakit.
5) Gantungkan lengan yang patah ke leher denganmemakai mitella.
c. Bidai pada Kasus Tulang Paha
Seperti pada tulang lengan atas maka paha hanya memiliki sebatang tulang panjang,
sehingga tanda- tanda patah tulang paha tidak jauh berbeda dengan pada lengan atas.
Tindakan pertolongan:
Sepasang bidai dipasang memanjang dari pinggul hingga ke kaki.
1) Apabila bagian yang patah berada di bagian atas paha maka bidai sisi luar harus
dipasang sampai pinggang.
Gambar 15. Pembidaian tulang paha apabila patah di bagian bawah paha, bidai
cukup sampai pinggul
Bidai sudah harus dipasang sebelum dipindahkan ke tempat lain.
SOAL
1. Seorang tenaga medis melakukan pembalutan pada pasien yang mengalami cidera akibat
kecelakaan. Tujuan pembalutan tersebut, kecuali:
a. Mempertahankan bidai, kasa penutup, dan lain-lain
b. Imobilisasi
c. Membuat pasien tenang
d. Sebagai penekan untuk menghentikan perdarahan danmenahan
2. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pembalutan,kecuali:
a. Usia korban
b. Tempat dan letak yang akan dibalut
c. Jenis pembalut yang digunakan
d. Pemberian desinfektan pada luka terbuka
DAFTAR PUSTAKA
AHA. (2020). Highlights of the 2020 American Heart Association Guidelines For CPR and ECC.
American Journal of Heart Association, 9, 32.
Al Rasid, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan Gawat Darurat.
Ciptaning Tyas, M. D. (2016). Keperawatan Kegawatdaruratan & Manajemen Bencana.
Kemenkes RI.
Hidayati, A. N., Alfian, M. I. A. A., & Rosyid, A. N. (2018). Gawat Darurat Medis dan Bedah. In
Rumah Sakit Universitas Airlangga (Vol. 8, Issue 1). adm@aup.unair.ac.id
Kurniati, A., Putri, A. F., Yanuar, E., Firdaus, M. I., Pemila, U., & Kurniawan, D. (2020).
Panduan Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat Pada Masa Covid-19.
HIPGABI. https://ppnipangandaran.org/download/pak-covid-hipgabi.pdf
Mardalena. (2021). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. In
Pustaka Baru Press (Vol. 1, Issue 69).
Yosep, I., & Sutini, T. (2016). Buku Ajar Keperawatan. In
Bandung: PT Refika Aditama (Issue 00).