Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH ILMU KEDOKTERAN JIWA

GANGGUAN DEPRESI

Penguji :
dr. Santi Yuliani, M.Sc., Sp.KJ

Disusun oleh :
Evita Zevanya 42220621

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA


SOEROJO HOSPITAL MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2022
I. SEJARAH DEPRESI
Hippocrates (460 – 370 SM) mendeskripsikan depresi sebagai melankolia.
Dalam bukunya yang berjudul Aphorism mendefinisikan melankolia sebagai
ketakutan atau kesedihan yang berlangsung dalam waktu lama. Hippocrates juga
menambahkan keengganan terhadap makanan, putus asa, sulit tidur, mudah marah,
dan gelisah sebagai gejala melankolia. Kondisi melankolia dianggap berkaitan
dengan ketakutan (ansietas) dan delusi. Menurut Galenus (129 – 199 SM),
Hippocrates secara tidak langsung mengklasifikasikan melankolia menjadi
ketakutan (ansietas) dan putus asa. Ilmuan Yunani saat itu memandang gangguan
jiwa terjadi akibat ketidakseimbangan humor (darah, dahak, empedu kuning, dan
empedu hitam) yang disebabkan pola makan, gaya hidup, kondisi tempat tinggal,
dan elemen atmosfir (Horwitz et al, 2016).
Burton dalam bukunya The Anatomy of Melancholy pada tahun 1621
menjelaskan bahwa melankolia memiliki tiga komponen gejala. Tiga komponen
tersebut ialah mood, kognisi, dan fisik. Burton juga mendeskripsikan melankolia
sebagai kesedihan yang tidak diketahui penyebabnya (Horwitz et al, 2016).
Pada abad ke-17 hingga 18, didapati “nervous disorder” yang ditandai
dengan kecemasan, kelelahan, gejala somatik, dan obsesi. Nervous disorder tidak
dianggap sebagai gangguan jiwa pada saat itu. Pada awal abad ke-19, Wilhelm
Griesinger meyakini bahwa terdapat perubahan di otak yang berhubungan dengan
gangguan mental. Selanjutnya kriteria diagnosis depresi terus berkembang dan
dijelaskan pada DSM (Diagnosis and Statistical Manual) I (1952), II (1968), III
(1980), III-R (1987), IV (1994), dan V (2013) yang disusun oleh American
Psychiatric Association (Horwitz et al, 2016; Maramis W & Maramis A, 2009).

II. DEFINISI DEPRESI

Depresi merupakan gangguan suasana perasaan atau gangguan mood atau


gangguan afektif dengan manifestasi berupa rasa sedih, kosong, atau iritabel yang
disertai perubahan somatik, kognitif, dan mempengaruhi fungsi. Menurut KBBI,
depresi adalah gangguan jiwa pada seseorang yang ditandai dengan perasaan yang
merosot (seperti muram, sedih, perasaan tertekan) (KBBI Daring, 2016; American
Psychiatric Association, 2013).

III. EPIDEMIOLOGI DEPRESI


Depresi merupakan gangguan mental yang paling sering terjadi.
Diperkirakan sekitar 5% penduduk global usia dewasa dan 280 juta penduduk
menderita depresi. Depresi lebih sering dialami individu berjenis kelamin
perempuan dibandingkan laki-laki (WHO, 2021).
Gangguan depresi dapat memicu bunuh diri. Sebanyak 55% penderita
depresi memiliki ide bunuh diri. Menurut WHO pada tahun 2019, sekitar 800 ribu
individu meninggal akibat bunuh diri per tahunnya. Indonesia menempati posisi ke-
4 angka bunuh diri tertinggi di Asia Tenggara setelah Thailand, Singapura,
Vietnam, dan Malaysia (Kemenkes RI, 2022).

IV. FAKTOR RISIKO DEPRESI


Faktor risiko gangguan depresi secara umum meliputi :
(a) riwayat depresi sebelumnya (kemungkinan kekambuhan depresi tinggi);
(b) riwayat keluarga dengan gangguan depresi;
(c) memiliki penyakit kronik (seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, dan
gangguan sistem saraf);
(d) berjenis kelamin perempuan (perubahan hormon selama pre-menstruasi, post-
partum, dan post-menopause);
(e) kepribadian premorbid (tertutup, mudah cemas, iritabel, dan dependen),
mekanisme pertahanan imatur, dan strategi koping fokus pada masalah;
(f) stres psikososial - ekonomi (pola asuh orang tua pada masa kanak awal, terpisah
dari ibu pada usia kanak awal), riwayat kekerasan, kejadian traumatik, kematian
pasangan, kehilangan pekerjaan, kemiskinan);
(g) pola diet yang tidak sehat dan defisiensi mikronutrien; dan
(h) penyalahgunaan zat

(Kemenkes RI, 2022; Parikh S et al, 2016; Oh et al, 2019; Lang et al, 2015).
V. ETIOPATOFISIOLOGI DEPRESI

(a) Perubahan Epigenetik


Epigenetik merupakan ilmu yang mempelajari perubahan eksternal DNA
tanpa perubahan sekuens nukleotida DNA yang mempengaruhi fungsi gen. Faktor
yang memicu perubahan epigenetik berupa pola menyusui, kesehatan ibu ketika
hamil, paparan polutan, merokok, konsumsi obat-obatan tertentu, dan menderita
penyakit tertentu terutama pada masa awal kanak (Alshaya D, 2022).
Trauma atau stress psikologis akan berinteraksi dengan aspek genetik dan
memicu banyak perubahan epigenetik. Mekanisme perubahan epigenetik yang
paling sering terjadi ialah perubahan komposisi kromatin, metilasi DNA, modifikasi
histon, dan non-mediated regulation of RNA (ncRNA). Perubahan ini akan
memodulasi ekspresi gen (yang mengkode serotonin dan dopamin) yang berperan
dalam neuroplastisitas, reaksi (perilaku) terhadap stress, perilaku depresif, dan
respons terhadap antidepresan (Alshaya D, 2022).

(b) Faktor Genetik


Faktor genetik berperan penting pada terjadinya gangguan depresi. Seorang
individu memiliki keluarga tingkat pertama (first-relative) dengan depresi memiliki
risiko 2 - 4 kali lipat menderita depresi dibandingkan individu tanpa riwayat tersebut.
Lokus 3-25-26 ditemukan pada saudara kandung dari penderita depresi (Lohoff F,
2011; Breen et al, 2011).

(c) Teori Monoamin


Teori ini pertama kali diajukan oleh Joseph Schildkraut pada tahun 1960
berdasarkan keberhasilan terapi depresi dengan iproniazid (monoamine oxidase
inhibitor) dan imipramine (reuptake inhibitor of monoamine neuromediator). Teori
ini menduga bahwa depresi terjadi karena kurangnya neuromediator monoamine
seperti serotonin, norepinefrin, dan dopamine pada sistem saraf pusat. Selanjutnya
dilakukan penelitian gen SLC6A4 (solute carrier family 6 member 4) yang
mengkode transporter serotonin dan berperan dalam reuptake serotonin dari celah
sinaps ke pre-sinaps. Gen tersebut memainkan perat penting dalam menentukan
kadar serotonin. SLC6A4 terletak di kromosom 17q11.1 – 17q12. Teori ini
digunakan untuk pengembangan antidepresan (Shadrina M et al, 2018).
Terdapat banyak kandidat gen yang diduga mengalami mutasi dan memicu
terjadinya depresi. Kandidat gen yang dimaksud ialah yang mengatur mekanisme
reseptor dopamin (DRD3, DRD4), reseptor serotonin (HTR1A, HTR2A, HTR1B,
HTR2C), noradrenalin (SLC6A2), dopamin (SLC6A3). Enzim monoamine oksidase
A, tirosin hirdroksilase (TH), triptopan hidroksilase 1 (TH1), catechol-o-methyl
transferase (COMT), dan the piccolo presynaptic cytomatrix protein (PCLO)
(Shadrina M et al, 2018).

Gambar 1. Teori monoamine depresi, (a) Pada otak normal, molekul monoamine di
lepaskan dan berikatan dengan reseptor di neuron post-sinaps, (b) Pada penderita
depresi, level monoamine sedikit dan menyebabkan gangguan suasana perasaan, (c)
Pemberian terapi SSRI akan menginhibisi reuptake monoamine sehingga jumlah
molekul dicelah sinaps meningkat dan memperbaiki gejala (Sunber : OpenLearn,
t.t).
Gambar 2. Hubungan antara neurotransmitter noradrenalin, serotonin, dan
dopamine dengan perilaku (Sumber : Lanni et al, 2009)

(d) Stress-Induced Depression Theory


Stres psikologis kronik merupakan prediktor gangguan depresi. Aksis
hipotalamus – pituitary – adrenal berperan dalam adaptasi perubahan lingkongan dan
paparan stress. Ketika tubuh merespons stress psikologis, neuron pada nuclei
paraventricular hipotalamus mensekresikan CRH (corticotropin-releasing hormone)
yang diikuti pelepasan ACTH (adrenocorticotrophic hormone) ke sirkulasi. ACTH
akan menstimulasi pelepasan kortikosteroid (kortisol) okeh korteks adrenal. Kortisol
akan berikatan dengan reseptor mineralokortikoid tipe 1 dan reseptor glukokortikoid
tipe 2 membentuk kompleks hormone-reseptor. Kompleks ini selanjutnya akan
ditransportasikan ke dalam nucleus sel dan akan berinteraksi dengan DNA, elemen
respons glukokortikoid, dan mengaktivasi ekspresi gen-dependen-hormon
((Shadrina M et al, 2018).
Teori stress psikologis menginduksi depresi menduga terjadi hiperaktivitas
aksis HPA. Penderita depresi menunjukkan peningkatan level kortisol pada plasma
urin, dan cairan serebrospinal serta peningkatan level ACTH pada plasma.
Peningkatan ukuran hipofisis, glandula suparenal, dan penurunan fungsi reseptor
kortikosteroid ditemukan pada penderita depresi. Hiperaktivitas aksis HPA dijumpai
pada 50% penderita depresi dan antidepresan akan menurunkan hiperaktivitas
tersebut. Belum ditemukan hubungan antara polimorfisme gen yang meregulasi
aksis HPA dengan gangguan depresi (Shadrina M et al, 2018).
Gambar 3. Aksis hipotalamus – pituitary – adrenal yang diduga berperan dalam
terjadinya depresi akibat induksi stress psikologis kronik (Sumber : Shadrina M et
al, 2018).

(e) Teori Sitokin


Pada tahun 1990an, dijelaskan hipotesis komunikasi bidireksional antara
sistem imun dan sistem saraf pusat. Berdasarkan hipotesis ini, sistem imun dapat
berinteraksi dengan sistem saraf pusat dan mengakibatkan proses neuropatologis
(Shadrina M et al, 2018).
Maes (1999) mengajukan model depresi inflammatory response system
(IRS). Model ini menjelaskan bahwa terjadinya depresi bergantung pada aktivasi
IRS. Depresi dianggap sebagai penyakit psikoneuroimunologi karena aktivasi sistem
imun perifer melalui pelepasan sitokin anti-inflamasi. Proses ini diduga
mengakibatkan perubahan perilaku, neuroendokrin, dan neurokimia. Peningkatan
sitokin pro-inflamasi dapat terjadi sebagai efek peningkatan kortisol (Shadrina M et
al, 2018).
Stresor psikologis dapat meningkatkan ekspresi sitokin proinflamasi seperti
IL-1beta, TNF-alfa, dan IL-6 di darah dan otak. Beberapa pasien depresi juga
menunjukkan peningkatan jumlah granulosit dan makrofag di darah tepi. Rata-rata
level sitokin palsma penderita depresi lebih tinggi dibandingka individu yang tidak
mengalami depresi. Peningkatan level sitokin tidak setinggi pada penderita penyakit
autoimun dan infeksi, sehingga depresi tidak dipertimbangkan sebagai penyakit
autoimun tipikal. Berbagai marker inflamasi ditemukan berhubungan dengan gejala
depresi. Peningkatan IL-6 ditemukan pada pasien depresi dengan gangguan tidur.
Pasien depresi kronik menunjukkan peningkatan IFN-alfa (Shadrina M et al, 2018).
Sitokin proinflamasi di otak kemungkinan mempengaruhi sistem
neurotransmiter monoamin, glutamate, dan BDNF (brain-derived neurotrophic
factor). Peningkatan sitokin pro-inflamasi perifer dapat mencapai sistem saraf pusat.
Produksi mediator inflamasi lokal diotak seperti, cyclooxegenase-2 (COX-2),
prostaglandin E2 (PGE2), nitric oxide (NO), sitokin, kemokin sel endotelial,
makrofag perivaskular, dan microglia akan ikut meningkat. Proses ini menyebabkan
stress oksidatif melalui peningkatan ROS (Reactive Oxygen Species) dan RNS
(Reactive Nitrogen Species). Peningkatan ROS dan RNS berkontribusi pada
oksidasi tertrahidrobiopterin (BH4) yang merupakan kofaktor sintesis monoamine.
Sitokin inflamasi dan signal transduksinya seperti p38 mitogen-activated protein
kinases (MAPK) diduga menurunkan ekspresi dan fungsi transporter vesicular
monoamine. Sitokin juga dapat menurunkan BDNF dan mengganggu signaling
reseptor TrkB sehingga mempengaruhi proses neurogenesis dan neuroplastisitas
(Falger J & Lotrich F, 2013).

(f) Teori ritme sirkadian


Gangguan tidur dialami oleh 80 – 90% pasien depresi dan dianggap menjadi
salah satu faktor risiko depresi. Mutasi gen PER2, CKie, PER3, dan CLOCK yang
mengkode protein sistem sirkadian ditemukan pada individu dengan gangguan tidur.
Individu dengan mutasi gen tersebut sering mengalami depresi (Shadrina M et al,
2018).
VI. KLASIFIKASI DAN KRITERIA DEPRESI
Berdasarkan DSM V, gangguan depresi diklasifikasikan menjadi : gangguan
disregulasi mood disruptif, gangguan depresi mayor, gangguan depresi persisten
(distimia), gangguan dismorfia pre-menstrual, gangguan depresi yang diinduksi
zat/obat, gangguan depresi karena kondisi medis lain, gangguan depresi lain yang
spesifik, dan gangguan depresi tidak spesifik (American Psychiatric Association,
2013).

1. Gangguan disregulasi mood disruptif (F34.8)


Gangguan disregulasi mood disruptif lebih sering dijumpai pada anak laki-
laki berusia > 6 tahun dan < 10 tahun dibandingkan pada anak perempuan dan
remaja. Anak yang menderita gangguan ini sering memenuhi kriteria diagnosis
ADHD dan gangguan depresi mayor. Kriteria diagnosis gangguan disregulasi
mood disruptif :
A. Ledakan amarah berulang yang parah dan dimanifestasikan secara verbal
(amukan verbal) dan/atau perilaku (serangan fisik pada orang atau properti)
yang benar-benar keluar pada intensitas atau durasi terhadap suatu situasi atau
provokasi.
B. Ledakan emosi yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan.
C. Ledakan emosi yang terjadi rata-rata tiga kali atau lebih dalam seminggu.
D. Suasana perasaan di antara ledakan amarah ialah secara terus-menerus mudah
tersinggung atau kemarahan hampir sepanjang hari, setiap hari, dan dapat
diamati oleh orang lain (seperti orang tua, guru, dan teman sebaya).
E. Kriteria A – D sudah ada selama 12 bulan atau lebih. Selama waktu ini,
individu tidak memiliki periode setidaknya 3 bulan berturut-turut atau lebih
tanpa gejala kriteria A – D.
F. Kriteria A dan D setidaknya terjadi pada 2 dari 3 tempat (yaitu, di rumah, di
sekolah dengan teman sebaya) dan parah pada setidaknya salah satu tempat
ini.
G. Diagnosis tidak boleh dibuat pertama kali sebelum usia 6 tahun atau setelah
usia 18 tahun.
H. Berdasarkan anamnesis atau observasi, usia saat onset kriteria A-E adalah
sebelum 10 tahun.
I. Tidak pernah ada periode khusus yang berlangsung lebih dari 1 hari selama
semua kriteria gejala terpenuhi, kecuali durasi, untuk episode manik atau
hipomania telah terpenuhi.
Catatan: Peningkatan suasana hati yang meningkat sesuai perkembangan,
seperti yang terjadi dalam konteks peristiwa yang sangat positif atau
antisipasinya, tidak boleh dianggap sebagai gejala mania atau hipomania.
J. Perilaku tidak muncul secara eksklusif selama episode gangguan depresi
mayor dan tidak dijelaskan secara baik oleh gangguan mental lain (misalnya,
gangguan spektrum autisme, gangguan stres pasca trauma, gangguan
kecemasan perpisahan, gangguan depresi perpisahan [dysthymia]).
Catatan: Diagnosis ini tidak dapat berdampingan dengan gangguan
pemberontak oposisi, gangguan eksplosif intermiten, atau gangguan bipolar,
meskipun dapat hidup berdampingan dengan yang lain, termasuk gangguan
mayor. gangguan depresif, gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas,
gangguan perilaku, dan gangguan penggunaan zat. Individu yang gejalanya
memenuhi kriteria gangguan disregulasi mood disruptif dan gangguan
pemberontak oposisi hanya boleh diberikan diagnosis gangguan disregulasi
mood yang mengganggu. Jika seseorang pernah mengalami episode manik
atau hipomania, diagnosisnya adalah disregulasi mood yang mengganggu
tidak diberikan.
K. Gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat atau kondisi medis atau
neurologis lainnya (American Psychiatric Association, 2013)

2. Gangguan Depresi Mayor


Kriteria diagnosis gangguan depresi mayor :
A. Lima (atau lebih) dari gejala berikut muncul selama 2 minggu yang sama
periode dan mewakili perubahan dari fungsi sebelumnya: setidaknya salah satu
gejala adalah (1) suasana hati tertekan atau (2) kehilangan minat atau
kesenangan.
Catatan: Jangan sertakan gejala yang secara jelas disebabkan oleh kondisi
medis lain.
1) Suasana hati depresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti
yang ditunjukkan oleh gejala subyektif (misalnya, merasa sedih, kosong,
putus asa) atau observasi oleh orang lain (misalnya, tampak menangis).
(Catatan: Pada anak-anak dan remaja, bisa berupa mood mudah
tersinggung).
2) Minat atau kesenangan yang sangat berkurang pada semua atau hampir
semua hal, sebagian besar aktivitas sehari-hari, hampir setiap hari (seperti
yang ditunjukkan oleh laporan subjektif atau observasi).
3) Penurunan berat badan yang signifikan saat tidak berdiet atau
penambahan berat badan (misalnya, perubahan lebih dari 5% dari berat
badan sebelumnya dalam sebulan), atau penurunan atau peningkatan
nafsu makan hampir setiap hari (Catatan: Pada anak-anak, pertimbangkan
kegagalan penambahan berat badan yang diharapkan.)
4) Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
5) Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati oleh
orang lain, tidak hanya perasaan subjektif dari kegelisahan atau
melambat).
6) Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.
7) Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan atau tidak
pantas (yang mungkin berupa delusi) hampir setiap hari (bukan hanya
mencela diri sendiri atau rasa bersalah karena sakit).
8) Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau ragu-
ragu, hampir setiap hari (baik secara subyektif atau seperti yang diamati
oleh orang lain).
9) Pikiran berulang tentang kematian (bukan hanya takut mati), keinginan
bunuh diri berulang tanpa rencana khusus, atau percobaan bunuh diri atau
rencana khusus untuk bunuh diri.
B. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
C. Episode tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat atau kondisi medis.
Catatan: Kriteria A - C mewakili episode depresi mayor.
Catatan: Tanggapan terhadap kehilangan yang signifikan (misalnya,
berkabung, masalah finansial, kerugian akibat bencana alam, penyakit medis
yang serius atau kecacatan) dapat mencakup perasaan sedih yang intens,
perenungan tentang kehilangan, insomnia, nafsu makan yang buruk, dan
penurunan berat badan. dalam kriteria A, yang mungkin menyerupai episode
depresi. Meskipun gejala tersebut dapat dimengerti atau dianggap sesuai
dengan kehilangan, adanya episode depresi berat selain respon normal
terhadap kerugian yang signifikan juga harus dipertimbangkan dengan hati-
hati. Keputusan ini membutuhkan pelaksanaan penilaian klinis berdasarkan
riwayat individu dan norma budaya untuk ekspresi kesusahan dalam konteks
kehilangan.
D. Terjadinya episode depresi mayor tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan
skizoafektif, skizofrenia, gangguan skizofreniform, gangguan delusi, atau
spektrum skizofrenia spesifik dan tidak spesifik lainnya dan gangguan psikotik
lainnya.
E. Tidak pernah ada episode manik atau episode hipomania.
Catatan: Pengecualian ini tidak berlaku jika semua episode mirip manik atau
mirip hipomanik diinduksi zat atau disebabkan oleh efek fisiologis dari kondisi
medis lain (American Psychiatric Association, 2013).

Severitas depresi dibagi menjadi ringan, sedang, berat, dalam masa remisi
parsial, dalam dan masa remisi sempurna. Selain itu gangguan depresi juga
diklasifikasikan menjadi episode pertama dan episode berulang (lebih dari 1 kali).
Serta, dengan atau tanpa gejala somatik.
(1) Ringan : intensitas gejala menimbulkan stress, namun masih dapat dikelola dan
mengakibatkan sedikit gangguan dalam fungsi sosial atau pekerjaan.
(2) Sedang : jumlah dan intensitas gejala, serta gangguan fungsi berada diantara
ringan dan berat.
(3) Berat : gejala menyulitkan, tidak dapat dikelola, dan sangat mengganggu fungsi
sosial maupun pekerjaan.
(4) Remisi parsial : gejala masih ada namun tidak memenuhi kriteria atau dalam
periode 2 bulan terakhir tidak didapati gejala signifikan episode depresi mayor.
(5) Remisi sempurna : selama 2 bulan terakhir tidak didapati tanda atau gejala yang
mengganggu (American Psychiatric Association, 2013).

Gangguan depresi mayor didiagnosis lebih rinci dengan kondisi penentu


berikut :
(1) Gangguan depresi dengan distress ansietas, dimana didapati setidaknya dua
gejala berikut selama episode mayor depresi :
a. Merasa tegang atau tegang.
b. Merasa gelisah luar biasa.
c. Sulit berkonsentrasi karena khawatir.
d. Ketakutan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
e. Merasa bahwa individu mungkin kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Severitas ditentukan berdasarkan banyaknya gejala : ringan (2 gejala), sedang (3


gejala), sedang – berat (4 gejala), dan berat (4 atau 5 gejala dan dengan agitasi
motorik).

(2) Gangguan depresi dengan manifestasi campuran, dengan kriteria diagnosis :


A. Setidaknya tiga dari gejala manik/hipomanik berikut muncul hampir setiap
hari selama sebagian besar hari episode depresi mayor:
1. Mood yang meningkat dan ekspansif.
2. Harga diri melambung atau grandiositas.
3. Lebih banyak bicara dari biasanya atau tekanan untuk terus berbicara.
4. Flight of idea atau pengalaman subyektif yang membuat pikiran berpacu.
5. Peningkatan energi atau aktivitas yang diarahkan pada tujuan (baik secara
sosial, di tempat kerja atau sekolah, atau seksual).
6. Keterlibatan yang meningkat atau berlebihan dalam kegiatan yang
berpotensi tinggi menimbulkan konsekuensi negatif (misalnya, terlibat
dalam pembelian yang tidak terkendali, kecerobohan seksual, investasi
bisnis tidak masuk akal).
7. Kebutuhan tidur berkurang (merasa cukup istirahat meskipun tidur kurang
dari biasanya; menjadi dibandingkan dengan insomnia).

B. Gejala campuran dapat diamati oleh orang lain dan menunjukkan perubahan
dari perilaku.

C. Untuk individu yang gejalanya memenuhi kriteria lengkap untuk mania atau
hipomania, diagnosisnya harus gangguan bipolar I atau bipolar II.
D. Gejala campuran tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya,
penyalahgunaan obat, pengobatan atau perawatan lainnya).

(3) Gangguan depresi melankolia, dengan kriteria diagnosis :


A. Salah satu dari gejala berikut ini ditemukan selama periode paling parah dari
episode saat ini:
1. Kehilangan kesenangan dalam semua, atau hampir semua aktivitas.
2. Kurangnya reaktivitas terhadap rangsangan yang biasanya menyenangkan
(bahkan tidak terasa jauh lebih baik, ketika sesuatu yang baik terjadi).
B. Tiga (atau lebih) dari berikut ini;
1. Kualitas berbeda dari mood depresi yang ditandai dengan keputusasaan
yang mendalam, keputusasaan, dan/atau murung atau dengan apa yang
disebut suasana hati kosong.
2. Depresi yang sering memburuk di pagi hari.
3. Bangun pagi-pagi (yaitu, setidaknya 2 jam sebelum bangun biasanya).
4. Agitasi atau retardasi psikomotorik yang nyata.
5. Anoreksia atau penurunan berat badan yang signifikan.
6. Rasa bersalah yang berlebihan atau tidak pantas.

(4) Gangguan depresi gejala atipikal, dengan kriteria diagnosis :


A. Reaktivitas suasana hati (mood membaiksebagai respons terhadap peristiwa
aktual positif).
B. Dua (atau lebih) dari berikut ini:
1. Kenaikan berat badan yang signifikan atau peningkatan nafsu makan.
2. Hipersomnia.
3. Leaden paralysis (perasaan berat di lengan atau kaki).
4. Sensitivitas terhadap penolakan interpersonal yang berlangsung lama
(tidak terbatas pada episode gangguan mood) yang mengakibatkan
gangguan sosial atau pekerjaan yang signifikan.
C. Kriteria tidak terpenuhi untuk depresi melankolis atau katatonia selama
episode yang sama.

(5) Gangguan depresi dengan gejala psikotik, terdapat halusinasi dan/atau delusi.
- Dengan gejala psikotik yang sesuai dengan mood → delusi dan halusinasi
dengan tema depresi tipikal tentang ketidakmampuan pribadi, rasa bersalah,
penyakit, kematian, nihilisme, atau hukuman yang pantas.
- Dengan gejala psikotik yang tidak sesuai dengan mood → delusi atau
halusinasi tidak melibatkan tema-tema depresif tipikal.
(6) Gangguan depresi dengan katatonia, yang mana gejala katatonia ditemukan
pada sebagian besar episode.

(7) Gangguan depresi dengan onset peripartum, sering terjadi selama kehamilan
atau post-partum. Gangguan depresi mayor post-partum dengan gejala psikotik
ditemukan pada 1 dari 500 hingga 1 dari 100 kelahiran dan paling sering dialami
ibu primipara. Risiko episode dengan psikotik meningkat pada ibu dengan
riwayat gangguan depresi post-partum dan dengan riwayat gangguan depresi atau
bipolar atau riwayat keluarga dengan gangguan afektif bipolar. Risiko
kekambuhan pada kasus dengan gejala psikotik mencapai 30 – 50%.

(8) Gangguan depresi seasonal, dengan kriteria diagnosis :


A. Ada hubungan waktu yang teratur antara onset episode depresi mayor pada
gangguan depresi mayor dengan waktu tertentu dalam setahun (misalnya,
pada musim gugur atau musim dingin).
Catatan: Jangan sertakan kasus di mana terdapat pengaruh stresor psikososial
musim (mis., menganggur secara teratur setiap musim dingin).
B. Remisi penuh (atau perubahan dari depresi berat menjadi mania atau
hipomania) terjadi pada waktu yang khas dalam setahun (misalnya, depresi
menghilang pada musim semi).
C. Dalam 2 tahun terakhir, dua episode depresi mayor menunjukkan hubungan
musiman temporal dan tidak ada episode depresi mayor non-musiman yang
terjadi selama periode yang sama.
D. Episode depresi mayor musiman (seperti dijelaskan di atas) jauh lebih
banyak daripada episode depresi mayor non-musiman yang mungkin terjadi
selama seumur hidup individu (American Psychiatric Association, 2013).
3. Gangguan depresi persisten (distimia)

Kriteria diagnosis distimia ialah sebagai berikut :

Gangguan ini merupakan gabungan dari gangguan depresi mayor kronis yang
didefinisikan oleh DSM-lV dan gangguan distimia.

A. Suasana hati tertekan (depresif) hampir sepanjang hari, lebih banyak daripada tidak
merasa depresif, seperti yang ditunjukkan oleh keduanya laporan subjektif atau
pengamatan oleh orang lain, setidaknya selama 2 tahun.
Catatan: Pada anak-anak dan remaja, mood bisa mudah tersinggung dan durasinya
harus minimal 1 tahun.
B. Didapati dua (atau lebih) gejala berikut disertai mood depresi:
1) Nafsu makan berkurang atau makan berlebihan.
2) Insomnia atau hipersomnia.
3) Kekurangan energi atau kelelahan.
4) Harga diri rendah.
5) Kurang konsentrasi atau kesulitan mengambil keputusan.
6) Perasaan putus asa.
C. Selama periode 2 tahun (1 tahun untuk anak-anak atau remaja) dari gangguan tersebut,
individu tersebut tidak pernah bebas dari gejala pada kriteria A dan B selama lebih dari
2 bulan dalam 1 waktu.
D. Kriteria gangguan depresi mayor dapat terus ada selama 2 tahun.
E. Tidak pernah ada episode manik atau episode hipomania, dan kriterianya tidak pernah
memenuhi untuk gangguan siklotimik.
F. Gangguan tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan skizoafektif persisten, skizofrenia,
gangguan delusi, atau skizofrenia spesifik atau tidak spesifik lainnya spektrum dan
gangguan psikotik lainnya.
G. Gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya, penyalahgunaan obat,
pengobatan) atau kondisi medis lain (misalnya hipotiroidisme).
H. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
bidang sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya (American Psychiatric
Association, 2013).
Diagnosis distimia dapat dispesifikkan menjadi :
- Gejala spesifik → dengan distress ansietas, manifestasi campuran, manifestasi
melankolia, atipikal, ciri psikotik yang sesuai dengan suasana perasaan, dan
psikotik yang tidak sesuai dengan suasana perasaan.
- Remisi → parsial atau sempurna.
- Onset → early (<21 tahun) atau late (>21 tahun).
- Severitas → ringan, sedang, dan berat.
- Dengan sindrom distimia murni → tidak memenuhi kriteria episode depresi mayor
selama 2 tahun.
- Dengan episode depresi mayor persisten → memenuhi kriteria episode depresi
mayor selama 2 tahun.
- Dengan episode depresi mayor intermiten, episode saat ini → memenuhi kriteria
episode depresi mayor selama 2 tahun (saat ini), tetapi terdapat periode setidaknya
8 minggu dalam 2 tahun dengan gejala lebih ringan dibandingkan episode depresi
mayor.
- Dengan episode depresi mayor intermiten, tanpa episode saat ini → tidak
memenuhi kriteria episode depresi mayor selama 2 tahun (saat ini), pernah melalui
satu atau lebih episode depresi mayor (American Psychiatric Association, 2013).

4. Gangguan disforia premenstruasi


Prevalensi gangguan disforia premenstruasi ialah 1,8% yang memenuhi
kriteria diagnusis tanpa gangguan fungsional dan 1,3% dengan gangguan fungsional.
Puncak gejala biasanya terjadi sekitar onset menstruasi. Gejala umumnya tidak
menetap hingga beberapa hari setelah mestruasi (American Psychiatric Association,
2013).

Kriteria diagnosis :

A. Pada mayoritas waktu siklus menstruasi, setidaknya 5 gejala harus ada di akhir
minggu sebelum onset menstruasi, mulai membaik dalam beberapa hari setelah onset
menstruasi, dan menjadi minimal atau tidak ada pada minggu setelah menstruasi.
B. Satu (atau lebih) gejala berikut harus ada:
(1) Labilitas afektif (misalnya, perubahan suasana hati: tiba-tiba merasa sedih atau
menangis, atau kepekaan yang meningkat terhadap penolakan).
(2) Mudah tersinggung atau marah atau konflik interpersonal meningkat.
(3) Suasana hati tertekan (depresif), perasaan putus asa, atau pikiran mencela diri
sendiri.
(4) Kecemasan, ketegangan, dan/atau perasaan tertekan atau gelisah yang nyata.
C. Satu (atau lebih) gejala berikut juga harus ada, untuk mencapai total dari lima gejala
bila dikombinasikan dengan gejala dari kriteria B.
(9) Berkurangnya minat pada aktivitas (misalnya, pekerjaan, sekolah, teman, hobi).
(10) Kesulitan dalam konsentrasi.
(11) Kelesuan, mudah lelah, atau tidak energi.
(12) Perubahan nafsu makan yang nyata; makan berlebihan; atau mengidam
makanan tertentu.
(13) Hipersomnia atau insomnia.
(14) Perasaan kewalahan atau di luar kendali.
(15) Gejala fisik seperti payudara nyeri atau bengkak, nyeri sendi atau otot, sensasi
"kembung", atau penambahan berat badan.

Catatan: Gejala pada Kriteria A - C harus sudah terpenuhi untuk sebagian besar
siklus haid itu terjadi pada tahun sebelumnya.

D. Gejala berhubungan dengan penderitaan atau gangguan yang bermakna secara klinis,
pekerjaan, sekolah, aktivitas sosial biasa, atau hubungan dengan orang lain (misalnya,
menghindari aktivitas sosial; penurunan produktivitas dan efisiensi di tempat kerja,
sekolah, atau rumah).
E. Gangguan tersebut tidak semata-mata merupakan eksaserbasi dari gejala gangguan
lain, seperti gangguan depresi mayor, gangguan panik, gangguan depresi persisten
(dysthymia), atau gangguan kepribadian (walaupun bisa terjadi bersamaan dengan
salah satu gangguan ini).
F. Kriteria A harus dikonfirmasi dengan penilaian harian prospektif selama setidaknya
dua siklus gejala.
(Catatan: Diagnosis dapat dibuat sementara sebelum konfirmasi ini).
G. Gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya, penyalahgunaan
obat, pengobatan, pengobatan lain) atau kondisi medis lain (misalnya,
hipertiroidisme) (American Psychiatric Association, 2013).
Gangguan disforia pre-menstruasi berbeda dengan sindrom pre-menstruasi
dan dismenore. Gejala sindrom pre-menstruasi tidak seberat gangguan ini dan tidak
mencakup gejala afektif. Dismenore adalah syndrome nyeri selama menstruasi.
Dismenore dibedakan dengan gangguan disforia pre-menstruasi, yaitu tidak
mencakup gejala afektif dan gejalanya mulai ketika menstruasi. Gejala gangguan
disforia pre-menstruasi ialah sebelum onset menstruasi (American Psychiatric
Association, 2013).

5. Gangguan Depresi yang Diinduksi Zat/Obat


Kriteria diagnosis :
A. Gangguan mood yang menonjol dan persisten, mendominasi gambaran klinis,
ditandai dengan mood depresi atau penurunan minat atau kesenangan yang nyata pada
semua, atau hampir semua aktivitas.
B. Ada bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium keduanya (1)
dan (2):
1) Gejala dalam Kriteria A berkembang selama atau segera setelah keracunan zat
atau withdrawal atau setelah terpapar obat.
2) Zat/obat yang terlibat mampu menimbulkan gejala pada kriteria A.
C. Gangguan tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan depresif yang bukan substansi /
diinduksi obat. Bukti gangguan depresi independen seperti itu dapat mencakup hal-
hal berikut:
Gejala mendahului timbulnya penggunaan zat/obat; gejalanya bertahan untuk jangka
waktu yang substansial (misalnya, sekitar 1 bulan) setelah withdrawal atau
intoksikasi; atau ada bukti lain yang menunjukkan keberadaannya gangguan depresi
non-substansi/obat-obatan independen yang diinduksi (misalnya, riwayat episode
terkait non-zat/pengobatan yang berulang).
D. Gangguan tidak terjadi semata-mata selama perjalanan delirium.
E. Gangguan tersebut menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
Catatan: Diagnosis ini harus dibuat sebagai pengganti diagnosis intoksikasi atau
withdrawal hanya ketika gejala dalam kriteria A mendominasi gambaran klinisn dan
ketika cukup parah untuk mendapat perhatian klinis (American Psychiatric
Association, 2013).
Diagnosis gangguan depresi yang diinduksi zat/obat dispesifikkan dengan
onset selama intoksikasi atau withdrawal. Diagnosis juga secara spesifik berdasarkan
zat yang digunakan. Obat-obatan seperti stimulant, steroid, L-dopa, antibiotic, obat
SSP, agen dermatologis, obat kemoterapi, dan agen imunologis dapat menginduksi
gangguan mood depresi (American Psychiatric Association, 2013).

Gambar 4. Kode ICD-10 spesifik untuk diagnosis gangguan depresi yang diinduksi
zat/obat (American Psychiatric Association, 2013).

6. Gangguan Depresi Karena Kondisi Medis Lain


Telah ditemukan hubungan yang jelas antara depresi dengan gangguan pada
sistem saraf, sepertin stroke, penyakit Huntington, penyakit Parkinson, dan traumatic
brain injury. Gangguan neuroendokrin seperti penyakit Cushing dan hipotiroid juga
dikaitkan dengan depresi. Penderita penyakit autoimun multipel sklerosis sering
mengalami depresi (American Psychiatric Association, 2013).
Gangguan depresi karena kondisi emdis lain secara spesifik diklasifikasikan
menjadi :
- Dengan gambaran depresi → tidak memenuhi kriteria episode depresi mayor.
- Dengan episode seperti depresi mayor → memenuhi kriteria episode depresi
mayor.
- Dengan gambaran campuran → didapati gejala mania atau hipomania namun
tidak mendominasi (American Psychiatric Association, 2013).

Kriteria diagnosis :

A. Periode suasana hati tertekan (depresi) yang menonjol dan persisten atau minat yang
sangat berkurang atau kesenangan dalam semua, atau hampir semua, aktivitas yang
menonjol dalam gambaran klinis.
B. Terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium bahwa
gangguan adalah konsekuensi patofisiologis langsung dari kondisi medis lain.
C. Gangguan tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain (misalnya, gangguan
penyesuaian, dengan mood depresi, yang mana stressor adalah kondisi medis yang
serius).
D. Gangguan tidak terjadi semata-mata selama perjalanan delirium.
E. Gangguan tersebut menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya (American
Psychiatric Association, 2013).

7. Gangguan Depresi Lain yang Spesifik


Diagnosis gangguan depresi lain yang spesifik diberikan jika gejala
menyebabkan penderitaan bermakna secara klinis atau terganggunya fungsi sosial,
pekerjaan, atau fungsi penting lainnya, namun tidak memenuhi kriteria diagnostik
gangguan depresi yang telah dijelaskan (American Psychiatric Association, 2013).
Gangguan depresi lain yang spesifik, misalnya :
a) Depresi singkat berulang → afek depresi dengan 4 gejala depresi lainnya
yang terjadi 2 – 13 hari setidaknya 1 kali dalam sebulan (tidak terkait siklus
menstruasi) selama 12 bulan berturut-turut pada individu yang tidak pernah
memenuhi kriteria gangguan depresi atau bipolar lainnya, serta saat ini tidak
memiliki gejala psikotik.
b) Episode depresi durasi pendek (4 – 13 hari) → afek depresi dengan 4 gejala
depresi mayor lainnya yang berkaitan dengan distress signifikan atau
penderitaan menetap lebih dari 4 hari namun kurang dari 14 hari, tidak
memenuhi kriteria gangguan depresi lain, gangguan afektif bpolar, gangguan
depresi singkat berulang, dan tidak mengalami gejala psikotik.
c) Gangguan depresi dengan gejala tidak memadai → afek depresi dengan
setidaknya 1 gejala depresi mayor yang berkaitan dengan distress signifikan
atau penderitaan menetap setidaknya 2 minggu, tidak memenuhi kriteria
gangguan depresi lain, gangguan afektif bpolar, gangguan depresi singkat
berulang, dan tidak mengalami gejala psikotik (American Psychiatric
Association, 2013).

8. Gangguan Depresi Tidak Spesifik


Diagnosis ini menunjukkan gejala yang khas dari gangguan depresi dan
menyebabkan penderitaan yang signifikan secara klinis atau gangguan dalam bidang
sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya mendominasi tetapi tidak memenuhi
kriteria lengkap untuk salah satu gangguan depresi lainnya. Diagnosis ini dapat
digunakan oleh dokter dalam kondisi informasi tidak cukup untuk membuat diagnosis
spesifik, misalnya di ruang gawat darurat (American Psychiatric Association, 2013).

V. ALAT SKRINING DEPRESI

a. Hamilton Depression Rating Scale (HDRS) (Hamilton,1960)

1. Keadaan perasaan sedih (sedih, putus asa, tak berdaya, tak berguna)

0 = Tidak ada

1 = Perasaan ini ada bila ditanya

2 = Perasaan ini dinyatakan spontan secara verbal dan non-verbal

2. Perasaan bersalah

0 = Tidak ada

1 = Menyalahkan diri sendiri, merasa telah mengecewakan orang lain


2 = Ide-ide bersalah atau renungan tentang perbuatan salah atau berdosa pada masa lalu

3 = Sakit ini merupakan suatu hukuman, paham bersalah

4 = Mendengar suara-suara tuduhan atau kutukan dan mengalami halusinasi

3. Bunuh diri

0 = Tidak ada

1 = Merasa tidak berharga

2 = Mengharapkan kematian atau segala tentang kemungkinan tersebut

3 = Ide-ide atau gerak-gerak tentang bunuh diri

4 = percobaan bunuh diri (segala percobaan yang serius)

4. Insomnia (early)

0 = Tidak ada kesulitan jatuh tidur

1 = Kadang-kadang mengeluh sulit tidur (lebih dari 15 menit)

2 = Mengeluh sulit jatuh tidur tiap malam

5. Insomnia (middle)

0 = Tidak ada kesulitan mempertahankan tidur

1 = Mengeluh gelisah dan terganggu tiap malam

2 = Terjaga sepanjang malam

6. Insomnia (late)

0 = Tidak ada kesulitan

1 = Bangun terlalu pagi tetapi tidur kembali


2 = Bila telah bangun/bangkit, tidak dapat tidur kembali

7. Kerja dan kegiatan

0 = Tidak ada kesulitan

1 = Pikiran dan perasaan tentang ketidakmampuan, keletihan atau kelemahan sehubungan


dengan kegiatan atau kerja

2 = Hilangnya minat dalam melakukan kegiatan tau pekerjaan dilaporkan oleh pasien atau
secara tidak langsung melalui kelesuan/tidak bergairah, keraguan dan bimbang

3= Berkurangnya waktu aktual yang dihabiskan dalam melakukan kegiatan dan


menurunnya produktifitas. Di rumah sakit diberi nilai 3 bila tidak menghabiskan wakti
3 jam sehai dalam melakukan kegiatan

4 = Berhenti bekerja karna sakitnya sekarang. Di rumah sakit beri nilai 4 jika pasien tidak
melakukan kegiatan apapun.

8. Retardasi (lambat dalam berpikir dan berbicara, kemampuan konsentrasi,


menurun aktivitas motorik)

0 = Normal dalam berbicara dan berpikir

1 = Sedikit lamban dalam wawancara

2 = Jelas lamban dalam wawancara

3 = Sulit di wawancara

4 = Stupor lengkap

9. Agitasi

0 = Tidak ada

1 = Memainkan tangan, rambut dan lain-lain

2 = Meremas tangan, menggigit kuku, menarik kuku, menggigit bibir


10. Anxietas psikis

0 = Tidak ada kesulitan

1 = Ketegangan dan mudah tersinggung dan bersifat obyektif

2 = Menguatkan hal-hal kecil

3 = Sikap khawatir yang tercermin di wajah atau berbicara

4 = Ketakutan di ekspresi tanpa ditanya

11. Anxietas somatic

Keadaan fisiologis yang mengiringi anxietas seperti:

a) Gastrointestinal : mulut, sulit mencerna, diare, kram, sendawa

b) Kardiovaskuler : palpitasi, nyeri kepala

c) Pernapasan : hiperventilasi, menghela napas panjang

d) Sering buang air kecil

e) Berkeringat

0 = Tidak ada

1 = Ringan

2 = Sedang

3 = Berat

4 = Inkapasitas

12. Gejala somatic (Gastrointestinal)

0 = Tidak ada
1 = Tidak ada nafsu makan tanpa dorongan orang lain

2 = Sulit makan tanpa dorongan orang lain, meminta atau membutuhkan pencahar atau
obat-obatan untuk buang air besar atau obat simptom gastrointestinal

13. Gejala somatik (umum)

0 = Tidak ada

1 = Anggota gerak punggung dan kepala berat, nyeri punggung, nyeri kepala, nyeri otot.,
hilang tenaga dan kelelahan

2 = Segala gejala di atas di beri nilai 2

14. Gejala Genital (misalnya, hilangnya libido, gangguan menstruasi)

0 = Tidak ada

1 = Ringan

2 = Berat

15. Hipokondriasis

0 = Tidak ada

1 = Dihayati sendiri

2 = Preokupasi tentang kesehatan diri

3 = Sering mengeluh, meminta pertolongan dan lain-laim

4 = Waham hipokondrialisis

16. Kehilangan berat badan (pilih antara A atau B)

A. Bila dinilai berdasarkan riwayat

0 = Tidak ada kehilangan berat badan


1 = Kemungkinan berat badan berkurang sehubungan dengan sakit sekarang

2 = Berat badan jelas berkurang

B. Bila diukur perubahan berat badan aktual, dinilai setiap minggu oleh psikiater

0 = Kehilangan berat badan kurang dari 0.5 kg seminggu

1 = Kehilangan berat badan lebih dari 0.5 kg seminggu

2 = Kehilangan berat badan lebih dari 1 kg seminggu

17. Tilikan

0 = Mengetahui dirinya depresi dan sakit

1 = Mengetahui dirinya sakit tetapi disebabkan oleh makanan yang buruk, iklim, kerja
berlebihan, virus, perlu istirahat dan lain-lain

2 = Menyangkal sepenuhnya bahwa dirinya sakit

18. Variasi diurnal

Pagi (AM) Sore (PM) Kategori


0 0 Tidak ada
1 1 Ringan
2 2 Berat

19. Depersonalisasi dan derealisasi (misalnya: merasa tidak nyata, ide nihilistik)

0 = Tidak ada

1 = Ringan

2 = Sedang

3 = Berat

4 = Inkapasitas
20. Gejala Paranoid

0 = Tidak ada

1 = Kecurigaan ringan

2 = Kecurigaan sedang

3 = Ide referensi

4 = Waham

21. Gejala Obsesif dan Kompulsif

0 = Tidak ada

1 = Ringan

2 = Berat

22. Ketidakberdayaan

0 = Tidak ada

1 = Perasaan subyektif yang diperoleh hanya tanya

2 = Perasaan tidak berdaya dinyatakan langsung oleh pasien

3 = Memerlukan dorongan, bimbingan dan penentraman hati untuk menyelesaikan tugas


bangsal dan hygiene diri

4 = Memerlukan bantuan fisik untuk berpakaian, makan, bedside task, atau hygiene diri

23. Keputusasaan

0 = Tidak ada

1 = Sering merasa ragu bahwa “keadaan akan membaik” tetapi masih dapat ditentramkan

2 = Merasa putus asa secara konsisten tetapi masih menerima penentraman


3 = Mengekspresikan perasaan putus asa, hilang harapan, pesimis tentang masa depan,
yang tidak dapat dihilangkan

4 = Keteguhan spontan dan tidak sesuai bahwa “saya tidak akan pernah sembuh” atau
padanannya

24. Perasaan tidak berharga (terentang dari hilangnya harga diri, perasaan rendah
diri, mencela diri yang ringan sampai waham tentang ketidakberhargaan)

0 = Tidak ada

1 = Menunjukkan perasaan tidak berharga (kehilangan harga diri) hanya bil ditanya

2 = Menunjukkan perasaan tidak berharga (kehilangan harga diri) secara spontan

3 = Berbeda dengan nilai 2 di atas berdasarkan derajat. Pasien secara sukarela menyatakan
bahwa dia “tidak baik” rendah

4 = Waham tentang ketidakberhargaan, misalnya “saya adalah tumpukan sampah” atau


padanannya

Interpretasi Hamilton Depression Rating Scale (HDRS)

Total Nilai (0 – 50) Interpretasi


≤ 7 Normal
8 – 13 Depresi Ringan
14 – 18 Depresi Sedang
19 – 22 Depresi Berat
≥ 23 Depresi Sangat Berat
b. Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9) (Kroenke et al, 2001)

Dalam 2 minggu terakhir, seberapa sering Anda terganggu oleh masalah-masalah


berikut?

Tidak Beberapa Lebih Hampir


pernah hari dari setiap
No Gejala
separuh hari
waktu
1 Kurang berminat atau bergairah 0 1 2 3
dalam melakukan apapun
2 Merasa murung, sedih, atau putus asa 0 1 2 3
3 Sulit tidur/mudah terbangun, atau 0 1 2 3
terlalu banyak tidur
4 Merasa lelah atau kurang bertenaga 0 1 2 3
5 Kurang nafsu makan atau terlalu 0 1 2 3
banyak makan
6 Kurang percaya diri — atau merasa 0 1 2 3
bahwa Anda adalah orang yang gagal
atau telah mengecewakan diri sendiri
atau keluarga
7 Sulit berkonsentrasi pada sesuatu, 0 1 2 3
misalnya membaca koran atau
menonton televisi
8 Bergerak atau berbicara sangat 0 1 2 3
lambat sehingga orang lain
memperhatikannya. Atau sebaliknya;
merasa resah atau gelisah sehingga
Anda lebih sering bergerak dari
biasanya
9 Merasa lebih baik mati atau ingin 0 1 2 3
melukai diri sendiri dengan cara
apapun
Interpretasi Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9) :

Total Nilai Interpretasi


0-5 Tidak ada gejala depresi
5-9 Gejala depresi ringan
10 – 14 Depresi ringan
15 – 19 Depresi sedang
≥ 20 Depresi berat
DAFTAR PUSTAKA

Alshaya D, 2022, Genetic and Epigenetic Factors Associated with Depression: An Updated
Overview, Saudi Journal of Biological Sciences, vol. 29, issue 8.

American Psychiatric Association 2013, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder
Edition (DSM-V), American Psychiatric Publishing, Washington.

Breen G, Webb Bm Butler A, et al 2011, A genome-wide significant linkage for severe


depression on chromosome 3: the depression network study, Am J Psychiatry, vol. 168,
no. 8, page 840-7.

Felger J & Lotrich F 2013, Inflammatory Cytokines in Depression: Neurobiological


Mechanisms and Therapeutic Implications, Neuroscience, no. 246, page 199–229.

Hamilton M 1960, A Rating Scale for Depression, J Neurol Neurosurg Psychiatry no.23, page
56–62.

Horwitz A, Wakefield J, & Lorenzo-Luaces L 2016, History of Depression, Oxford Handbooks


Online.

Lanni C, Govoni S, Lucchelli A, Boselli C 2009, Depression and Antidepressants: Molecular


and Cellular Aspects, Cellular and Molecular Life Sciences, vol. 66, no. 18, page 2985-
3008.

KBBI Daring 2016, Depresi, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, diakses pada 4
Januari 2023, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/depresi

Kemenkes RI, 2022, Depresi dan Bunuh Diri, Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, diakses pada 4 Januari 2023,
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1450/depresi-dan-bunuh-diri

Kroenke K, Spitzer RL, et al 2001, The PHQ-9: Validity of a Brief Depression Severity
Measure, Journal of General Internal Medicine, vol. 16, no. 9, page 606-13.

Lang U, Beglinger C, Schweinfurth N, et al, 2015, Nutritional Aspects of Depression, Cell


Physiol Biochem, vol. 37, page 1029-1043
Lohoff F, 2010, Overview of the Genetics of Major Depressive Disorder, Curr Psychiatry Rep,
vol. 12, no.6, page 539–546.

Maramis, W & Maramis, A 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi II, Airlangga University
Press, Surabaya.

Oh M, Kim JW, Yoon NH, Lee SA, et al, 2019, Differences in Personality, Defense Styles, and
Coping Strategies in Individuals with Depressive Disorder According to Age Groups
Across the Lifespan, Psychiatry Investig, vol. 16, no.12, page 911–918.

OpenLearn t.t, Understanding Depression and Anxiety, diakses pada 4 Januari 2023,
https://www.open.edu/openlearn/health-sports-psychology/health/understanding-
depression-and-anxiety/content-section-4.1

Parikh S, Quilty L, Ravitz P, et al 2016, Canadian Network for Mood and Anxiety Treatments
(CANMAT) 2016 Clinical Guidelines for the Management of Adults with Major
Depressive Disorder: Section 2, Psychological Treatments, Canadian journal of
psychiatry. Revue canadienne de psychiatrie, vol 6, no 9.

Shadrina M, Bondarenko E, & Slomisky P 2018, Genetics Factors in Major Depression


Disease, Front Psychiatry, vol.9, page 334.

WHO, 2021, Depression, World Health Organization, diakses pada 4 Januari 2023,
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/depression

Anda mungkin juga menyukai