Anda di halaman 1dari 10

FUNGSI KEMORESEPTOR PADA UDANG

Nama : Halimah Sa’diah Kusnanto


NIM : B0A021032
Rombongan : II
Kelompok :7
Asisten : Nur Rosyid Dewantoro

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI ORGANISME AKUATIK

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2022
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap organisme memiliki alat indera pada tubuhnya. Indera adalah bagian
dari tubuh yang mampu menerima rangsangan tertentu. Fungsi alat-alat indera adalah
menerima berbagai rangsangan dari lingkungan di sekitarnya. Kepekaan masing-
masing indera tergantung dari masing-masing organisme. Indera memiliki sel-sel
reseptor khusus untuk mengenali perubahan lingkungan luar, sehingga sering disebut
eksoreseptor.
Tubuh udang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kepala dan
bagian badan. Bagian kepala menyatu dengan bagian dada disebut cephalothorax yang
terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas di bagian kepala dan 8 ruas di bagian dada. Bagian
badan dan abdomen terdiri dari 6 ruas, tiap-tiap ruas (segmen) mempunyai sepasang
anggota badan (kaki renang) yang beruas-ruas pula. Pada ujung ruas keenam terdapat
ekor kipas 4 lembar dan satu telson yang berbentuk runcing (Ghufran, Kordi K, 2009).
Bagian kepala dilindungi oleh cangkang kepala atau carapace. Bagian depan
meruncing dan melengkung membentuk huruf S yang disebut cucuk kepala atau
rostrum. Pada bagian atas rostrum terdapat 7 gerigi dan bagian bawahnya 3 gerigi
untuk P. monodon.
Ciri-ciri morfologi udang menurut Fast dan Laster (1992), mempunyai tubuh
yang bilateral simetris terdiri atas sejumlah ruas yang dibungkus oleh kintin sebagai
eksoskleton. Tiga pasang maksilliped yang terdapat dibagian dada digunakan untuk
makan dan mempunyai lima pasang kaki jalan sehingga disebut hewan berkaki
sepuluh (Decapoda). Tubuh biasanya beruas dan sistem syarafnya berupa tangga tali.
Sistem indera pada udang dibagi menjadi dua yaitu, perasa sentuhan dan perasa kimia
(pembau dan peraba). Perasa sentuhan dan kimia (pembau dan peraba) pada hewan ini
sangat kuat, dan organ-organnya terdapat pada alat-alat tambahan anterior. Ada 2 buah
mata majemuk yang tersusun dari banyak unit optik disebut ommatidium. Tiap mata
majemuk itu terdapat pada sebuah tangkai. Organ keseimbangan, statokis, terdapat
pada dasar antenul-antenul.

B. Tujuan

Mengetahui fungsi kemoreseptor pada udang (Macrobrachium sp.)


II. MATERI DAN CARA KERJA

A. Materi

Bahan yang digunakan pada praktikum fungsi kemoreseptor pada udang


yaitu 4 buah akuarium, gunting, senter, stopwatch.
Alat yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu 4 ekor udang, pakan
pelet, pakan Tubifex sp., air bersih.

B. Cara Kerja

1. Akuarium diisi dengan air bersih, lalu 1 ekor udang dimasukkan ke dalam
masing-masing akuarium.
2. Ablasi atenulla dilakukan pada udang di akuarium I
3. Ablasi mata dilakukan pada udang di akuarium II
4. Ablasi total dilakukan pada udang di akuarium III, sementara udang di
akuarium IV menjadi control
5. Pakan dimasukkan ke dalam akuarium, bersamaan dengan itu tekan tombol
stopwatch
6. Gerakan antenulla diamati dan catat waktu yang diperlukan bagi udang I, II,
III, dan IV sejak pakan disajikan sampai pakan tersebut dimakan
7. Pengamatan dilakukan selama 2x10 menit dengan 1x pembersihan pakan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 3.1. Hasil Pengamatan Fungsi Kemoreseptor pada Udang Air Tawar
yang Diberi Pakan Pelet
Perlakuan Waktu Flicking Withdraw Wipping Rotation Feeding

- 56” 01’16” 02’02” 1’43”


10’ (I)
- 36x 6x 6x 4x
Ablasi
antenula
02’11” 10” 16” 9’12” 1’06”
10’ (II)
7x 49x 8x 1x 2x

- 1’6” 19” - -
10’ (I)
- 22x 9x - -
Ablasi
mata
9’55” 39” 5’55” 33” -
10’ (II)
1x 5x 2x 3x -

8” 4” 20” 28” 3’
10’ (I)
3x 5x 9x 4x 4x
Ablasi
total
7’44” 14” 2” 9’5” 5”
10’ (II)
2x 9x 2x 1x 3x

9’57” 5’47” 1’26” 3’45” 7’26”


10’ (I)
1x 30x 4x 1x 1x
Kontrol
9’47” 18” 27” 1’1” 4’04”
10’ (II)
2x 35x 26x 1x 3x
Tabel 3.2. Hasil Pengamatan Fungsi Kemoreseptor pada Udang Air Tawar
yang Diberi Makan Tubifex sp.
Perlakuan Waktu Flicking Withdraw Wipping Rotation Feeding

- 27” 14” 2’14” 5’14”


10’ (I)
- 7x 23x 10x 2x
Ablasi
antenula
25” 13” 2’33” 35” 1’58”
10’ (II)
4x 19x 6x 3x 3x

4’35” 3’27” 1’18” - 1’27”


10’ (I)
4x 4x 2x - 4x
Ablasi
mata
40” 4’50” 8’ 5’10” -
10’ (II)
5x 4x 1x 1x -

- - 28” - -
10’ (I)
- - 2x - -
Ablasi
total
- - 30” - -
10’ (II)
- - 15x - -

4’54” 26” 1’28” 4’20” 12’


10’ (I)
2x 4x 5x 2x 9x
Kontrol
9’ 20’ 4’14” 48” 2’43”
10’ (II)
7x 6x 4x 3x 2x

B. Pembahasan

Sebagai organisme hidup, hewan harus memiliki kemampuan menanggapi


rangsang. Rangsang yang datang dari lingkungan di luar tubuh hewan dapat berupa
salinitas (kadar garam), suhu udara, kelembapan, dan cahaya, sedangkan rangsang dari
lingkungan di dalam tubuh antara lain suhu tubuh, keasaman (pH) darah/cairan tubuh,
kadar gula darah, dan kadar kalsium dalam darah. Alat penerima rangsang pada hewan
disebut reseptor, sedangkan alat penghasil tanggapan dinamakan efektor. Umumnya,
reseptor bekerja secara khusus, artinya reseptor tertentu hanya akan menerima
rangsang jenis tertentu. Satu individu hewan dapat ditemukan berbagai macam
reseptor (Isnaeni, 2006).

Berdasarkan jenis energy yang dideteksi (yang ditransduksikan), reseptor


sensoris dibagi menjadi lima kategori: mekanoreseptor, reseptor rasa sakit,
termoreseptor, kemoreseptor, dan reseptor elektromagnetik (Campbell et al.,2004).
Kemoreseptor adalah indera yang distimulasi oleh berbagai ion atau molekul kimia
baik dalam bentuk gas maupun cairan. Kemoresptor meliputi indera penciuman,
perasa dan juga reseptor yang memantau konsentrasi oksigen dan karbodiksida.
Kemoreseptor terdapat pada vertebrata maupun invertebrata (Isnaeni, 2006). Menurut
Jayanto et al. (2015) kemoreseptor merupakan organ berupa bulubulu yang terletak di
permukaan antenna utama (antennulus), bagian mulut, dan kaki jalannya.

Adapun menurut Solari et al. (2015) rangsangan yang berbeda dimediasi oleh
kemoreseptor perifer yang dikelompokan dalam rambut sensoris yang disebut sensilla
dan biasanya terletak pada kutikula pelengkap cephalothoracic, termasuk antenna,
maxilipeds (bagian mulut) terutama antennules dan pereiopoda (cakar utama dan kaki
berjalan). Neuron kemoreseptor crustacean yang bersifat karnivora sangat sensitif
terhadap senyawa kecil yang mengandung nitrogen, seperti asam amino, amina,
nukleotida dan peptide, yang menjadi indikator makanan berkualitas baik karena
banyak terkandung di dalam tubuh mangsa mereka, sementara mereka relatif tidak
sensitif untuk karbohidrat dan gula. Fungsi lain untuk menunjukan tingkah laku
matang kelamin. Adapun menurut Tartila et al. (2018) bahwa kemoreseptor pada
udang digunakan untuk mendeteksi makanan.

Gerakan-gerakan antenna menurut Richard & Gordon (1989) antara lain


flicking, withdraw, wipping, dan rotation. Flicking yaitu gerakan pelecutan ke depan,
gerakan ini terjadi jika ada pakan di depan. Respon ini dilakukan untuk menangkap
ion-ion. Withdraw yaitu gerakan pelecutan antenula ke belakang. Gerakan ini terjadi
jika pakan di belakang dan untuk menghindari musuh. Wipping yaitu gerakan
pembersihan antenula. Pembersihan antenula biasanya terjadi bila ada rangsangan
mekanik dari aestheric. Rotation yaitu gerakan memutar antenula. Gerakan ini sering
terjadi jika ada pakan di atas. Gerakan ini berfungsi untuk mengacaukan ion-ion dalam
pakan sehingga pakan dapat dengan mudah dan cepat berdifusi ke dalam selsel
kemoreseptor. Adapun menurut Kurniawan et al. (2018) feeding adalah ikan-ikan yang
mempunyai maksud mencari makan

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan melalui data pada tabel 1


yaitu pemberian pakan pelet terlihat bahwa udang yang mendapatkan perlakuan ablasi
antenulla pada 10 menit pertama dapat melakukan withdraw, wipping, rotation,
feeding, namun tanpa flicking, sedangkan pada 10 menit kedua dapat melakukan
kelima gerakan tersebut. Udang yang mendapatkan perlakuan ablasi mata pada 10
menit pertama hanya dapat melakukan withdraw dan wipping, sedangkan pada 10
menit kedua dapat melakukan flicking, withdraw, wipping, dan rotation, tetapi tidak
melakukan feeding. Udang yang mendapatkan perlakuan ablasi total pada 10 menit
pertama dapat melakukan kelima gerakan tersebut tetapi hanya dengan frekuensi
gerakan dan waktu yang sangat cepat. Serta udang dalam keadaan kontrol dapat
melakukan kelima gerakan yaitu flicking, withdraw, wipping, rotation, dan feeding.

Sedangkan berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan melalui data pada


tabel 2 yaitu pemberian pakan Tubifex sp., terlihat bahwa udang yang mendapatkan
perlakuan ablasi antenulla pada 10 menit pertama dapat melakukan withdraw,
wipping, rotation, feeding, namun tanpa flicking, sedangkan pada 10 menit kedua
dapat melakukan kelima gerakan tersebut. Udang yang mendapatkan perlakuan ablasi
mata pada 10 menit pertama dapat melakukan flicking, withdraw, wipping, dan
feeding, sedangkan pada 10 menit kedua dapat melakukan flicking, withdraw, wipping,
dan rotation, tetapi tidak melakukan feeding. Udang yang mendapatkan perlakuan
ablasi total pada 10 menit pertama maupun pada 10 menit kedua hanya dapat
melakukan gerakan wipping dengan frekuensi gerakan dan waktu yang semakin lama
semakin cepat. Serta udang dalam keadaan kontrol dapat melakukan kelima gerakan
yaitu flicking, withdraw, wipping, rotation, dan feeding. Berbeda dengan pemberian
pakan pelet, pada pemberian pakan Tubifex sp. udang dapat melakukan gerakan
withdraw dan wipping lebih sedikit dibandingkan dengan saat diberi pakan pelet.
Frekuensi feeding pada pemberian pakan pelet lebih banyak pada 10 menit kedua,
tetapi pada pemberian pakan Tubifex sp. frekuensi feeding lebih banyak pada saat 10
menit pertama.

Rata-rata udang yang mendapat perlakuan kontrol dapat melakukan feeding


daripada udang yang telah mendapatkan perlakuan ablasi. Selain itu, udang yang telah
mendapatkan perlakuan ablasi memiliki respon yang sangat lambat khususnya pada
udang yang diberikan pakan pelet. Udang cepat merespon sampai melakukan gerakan
feeding ketika diberi pakan berupa Tubifex sp. daripada udang yang diberi pakan
pellet. Hal ini sesuai dengan Idawati et al. (2018) bahwa respon ikan terhadap pakan
dipengaruhi oleh aroma pakan.
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil percobaan dan pembahasan, maka dapat diperoleh


kesimpulan yaitu:

1. Udang pada percobaan 1 yaitu diberi pakan pelet memiliki respon yang lebih
lambat setelah dilakukan ablasi daripada udang yang diberikan pakan Tubifex sp.
2. Rata-rata udang dapat melakukan feeding pada saat keadaan kontrol atau dengan
kata lain, udang dapat melakukan feeding karena terdapat organ indera atau
reseptor yang bekerja.
3. Frekuensi feeding pada pemberian pakan pelet lebih banyak pada 10 menit kedua,
tetapi pada pemberian pakan Tubifex sp., frekuensi feeding lebih banyak pada saat
10 menit pertama.
DAFTAR PUSTAKA

Campbell, N. A., Jane B. R., & Lawrence G. M., 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid III.
Jakarta: Erlangga.
Ghufran ,Kordi K,. 2009. Budi Daya Perairan. Buku Kedua, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.
Idawati, I., Defira, C. N., & Mellisa, S., 2018. Pengaruh Pemberian Pakan Alami yang
Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Patin
(Pangasius sp.). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan Perikanan Unsyiah, 3(1),
pp:14- 22. Isnaeni, W., 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius.
Jayanto, B. B., Rosyid, A., Boesono, H., & Kurohman, F., 2015. Pengaruh Pemberian
Warna Pada Bingkai Dan Badan Jaring Krendet Terhadap Hasil Tangkapan
Lobster Di Perairan Wonogiri (Effect of Krendet webbing and frame colouring
towards fishing captured for Spiny Lobster in Wonogiri seawaters). SAINTEK
PERIKANAN: Indonesian Journal of Fisheries Science and Technology, 10(2),
pp:68-73.
Kurniawan, K., Adi, W., Utami, E., & Anggara, A., 2018. Analisis Penangkapan Ikan
Menggunakan Lacuda Dengan Lampu Led Sebagai Alat Bantu Penangkapan
Ikan Pada Alat Tangkap Bagan Tancap Di Kabupaten Bangka Tengah.
Akuatik: Jurnal Sumberdaya Perairan, 12(1), pp:26-34.
Richard, W. H., & Gordon, 1989. Animal Phsysiology. New York: Harper-Collins
Publisher.
Solari, P., Melis, M., Sollai, G., Masala, C., Palmas, F., Sabatini, A., & Crnjar, R.,
2015. Sensing with the legs: contribution of pereiopods in the detection of
food-related compounds in the red swamp crayfish Procambarus clarkii.
Journal of Crustacean Biology, 35(1), pp:81-87.
Tartila, S. S. Q., Iswara, A., Nisa, F. C., Herlambang, N. I., Alamsjah, M. A., &
Agustono, A. 2018. Moina sp. Powder Supplementation as Artemia sp.
Substitute Through Growth, Lysine, Histidine, Methionine, and Leucine
Amino Acid Contents in Tiger Grouper x Camouflage Grouper Hybrid Larvae
(Epinephelus fuscoguttatus x Epinephelus microdon). Omni-Akuatika, 14(3),
pp:66-74.

Anda mungkin juga menyukai