Anda di halaman 1dari 10

FUNGSI CHEMORESEPTOR PADA UDANG

Oleh :
Nama : Fadhila Meilasari
NIM : B1A015051
Kelompok : 3
Rombongan : VIII
Asisten : Risa Umami

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN II

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Organ indera memungkinkan hewan menerima informasi untuk mendapatkan


makanan, menemukan dan menarik lawan jenisnya dan menghindar dari musuhnya,
indera sangat penting dalam pertahanan hidup suatu organisme. Reseptor dapat
bermacam-macam baik itu reseptor peraba dalam kulit, fotoreseptor dalam retina mata
dan mekanoreseptor atau kemoreseptor yang berdasarkan perubahan energi. Banyak
hewan menggunakan inderanya untuk menemukan pasangan kawin, mengenali teritori
yang ditandai dengan zat-zat kimia, dan membantu penjelajahan selama migrasi.
Respon kimiawi sangat penting khususnya pada hewan, seperti semut dan lebah, yang
hidup dalam kelompok sosial yang besar. Hewan yang melakukan pengecapan (gustasi)
dan penciuman (olfaksi) sangat penting dalam perilaku pencarian dan pengambilan
makanan. Sebagai contoh, seekor hydra memulai gerakan menelan ketika kemoreseptor
mendeteksi senyawa glutathione, yang dikeluarkan oleh mangsa yang ditangkap oleh
tentakel hydra tersebut (Campbell, 2000).
Indera pengecap dan penciuman pada mamalia merupakan suatu sistem
kemoreseptor yang khsusus dan sangat peka. Manusia terutama, tergantung pada tanda
visual dan auditori. Perbandingan dengan hewan lain kita kurang memanfaatkan indera
kimiawi dan cenderung untuk meremehkan artinya. Persepsi pengecapan dan
penciuman bergantung pada kemoreseptor yang mendeteksi zat kimia spesifik di
lingkungan. Pengecapan pada hewan terestrial adalah pendeteksian zat kimia tertentu
yang terdapat dalam suatu larutan, dan penciuman adalah pendeteksian zat kimia yang
ada di udara. Kedua indera kimiawi ini umumnya saling berhubungan erat dan
sebenarnya tidak ada perbedaan antara keduanya dalam lingkungan akuatik (Saputra,
2009).
Indera pengecap merupakan struktur berupa tunas yang pada mamalia terdapat
lidah dan langit-langit lunak, tetapi pada vertebrata tingkat rendah terdapat sejumlah
bagian mulut dan faring bahkan di beberapa jaringan kulit kepala. Tiap sel pengecap,
yang merupakan sel epitel dan suatu reseptor, pada permukaannya mempunyai
mikrovilus, yang sebagian menjulur ke dalam suatu pori kecil yang berhubungan
dengan cairan yang membasahi permukaan lidah. Hubungan-hubungan dengan sel saraf
adalah kompleks, karena tiap sel pengecap dilayani oleh lebih dari satu neuron.
Beberapa neuron dapat berhubungan dengan suatu sel dan yang lain dengan sejumlah
sel (Ville et al., 1988).
Reseptor pengecapan pada serangga terletak pada rambut sensoris di kaki dan
mulut yang disebut sensila. Hewan menggunakan indera pengecapannya untuk
menyeleksi makanan. Sel-sel reseptor untuk pengecapan adalah sel-sel epithelium yang
telah termodifikasi yang diorganisasikan menjadi kuncup pengecapan (taste bud) yang
tersebar di sejumlah bagian permukaan mulut dan lidah (Ville et al., 1988).
Indera olfaktoris mamalia mendeteksi zat kimia tertentu yang ada diudara. Sel
reseptor olfaktoris adalah neuron yang melapisi bagian atas rongga hidung dan
mengirimkan impuls disepanjang aksonnya secara langsung ke bola olfaktoris otak.
Ujung sel-sel reseptif mengandung silia yang memanjang ke dalam lapisan mucus yang
melapisi rongga hidung (Campbell, 2000).
Chemoreseptor adalah alat indera yang bereaksi terhadap zat-zat kimia, dalam
hal ini adalah pakannya (Radiopoetro, 1977). Chemoreseptor dikenal ada dua macam,
yaitu untuk mengenal stimulus yang berasal dari sumber yang jauh dari tubuh, berupa
rambut-rambut pada antennula dengan nilai ambang yang sangat rendah. Stimulus
cukup berupa gas dengan konsentrasi rendah dan untuk mengenal stimulus yang datang
dari sumber yang dekat dengan tubuh terdapat pada palpus maxillaris dan sering pada
torsi dengan nilai ambang tinggi (Ville et al., 1988). Menurut Gordon (1982)
chemoreseptor berfungsi untuk mendeteksi dan mengetahui adanya makanan, dan
tempat hidupnya, dan juga dipakai untuk mengenal satu sama lain dengan menunjukkan
tingkah laku masak kelamin (malting), dan mendeteksi adanya musuh.

1.2 Tujuan

Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui fungsi-fungsi chemoreseptor


pada lobster air tawar (Cherax quadricarinatus).
II. MATERI DAN CARA KERJA

2.1 Materi

Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah akuarium kaca, stopwatch,
gunting, dan senter, seser.
Bahan yang digunakan adalah Lobster (Cherax quadricarinatus.) dan pakan
Lobster berupa pelet dan cacing Tubifex sp.

2.2 Cara Kerja

Cara kerja yang digunakan dalam praktikum Fungsi Chemoreseptor pada Udang
adalah sebagai berikut :
1. Akuarium diisi dengan air tawar bersih, lalu lobster dimasukkan sebanyak dua ekor.
2. Dilakukan ablasi antennula, ablasi mata, ablasi total, dan normal.
3. Pakan disajikan di tengah akuarium dan bersamaan dengan lobster tersebut
menyentuh pakan, tombol pada stopwatch yang telah disiapkan ditekan.
4. Gerakan-gerakan lobster dalam akuarium diamati dan dicatat waktu yang
diperlukan bagi lobster sejak pakan disajikan sampai pakan tersebut dimakan.
5. Pengamatan dilakukan selama 10 menit.
6. Lobster diambil dan akuarium dibersihkan.
7. Diulangi langkah ke 3-5.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Hasil

Tabel 3.1 Pengamatan Gerakan Antennula Lobster (Cherax quadricarinatus)


sebagai Respon Terhadap Pakan Tubifex sp.
Mendekati
Perlakuan waktu Flicking Withdraw Wiping Rotasi Feeding
pakan

Ablasi 10 (I) - - - - - -
Antenula 10 (II) - - - - - 825(1)

217(2
10 (I) 135(5) 150 (11) 759(1) 445(3) 506 (5)
Normal )

10 (II) 402(9) 040 (20) 220(11) 306 234(5) 245(2)


(2)
Ablasi 10 (I) 2(13) 2(10) 3(9) 2(21) - 3(10)
Mata 10 (II) 5(6) 5(4) 1(27) - - 1(52)

Ablasi 10 (I) - - - - -
Total 10 (II) - - - - -

Tabel 3.2 Pengamatan Gerakan Antennula Lobster (Cherax quadricarinatus)


sebagai Respon Terhadap Pakan Berupa Pellet.

Mendekati
Perlakuan waktu Flicking Withdraw Wiping Rotasi Fiding
pakan

Ablasi 10 (I) 016(3) 08(2) 07(8) 7 (1) - 04(1)


Antenula 10 (II) 07(3) 09(2) 12(1) 09(3) - 010(1)

10 (I) 004(11) 437 (7) 809(1) - 140(2) -


Normal
10 (II) 011(27) 039 (19) 258(11) - 156(3) -

10 (I) 045(6) 1 (1) 036(16) 119(11) - -


Ablasi
1339(5
Mata 10 (II) 10 (15) 1035(3) - 047(12) -
)

Ablasi 10 (I) - - - - - 250(3)


Total 10 (II) - - - - - 550(3)

Keterangan :
Flicking : gerakan antennula ke depan

Withdraw : gerakan antennula ke belakang

Wipping : gerakan antennula membersihkan makanan di mulut

Rotation : gerakan antennula berputar

MP : mendekati pakan

3.2 Pembahasan

Berdasarkan tabel hasil praktikum dapat diketahui bahwa lobster menunjukkan


gerakan antennula diantaranya adalah flicking, wipping, withdraw, rotation dan
mendekati pakan (feeding). Pengamatan dilakukan dalam waktu 2 x 10 menit dengan
perlakuan berbeda yaitu ablasi mata, ablasi antennula, ablasi total dan normal sebagai
kontrol. Hasil perlakuan ablasi mata menunjukkan gerakan antennula yang paling
banyak dibandingkan perlakuan kontrol, ablasi antennula dan ablasi total. Pakan pelet
lebih merangsang pergerakan antennula daripada pakan Tubifex sp. Menurut
Radiopoetro (1977), apabila dilakukan ablasi atau pemotongan baik pada mata, total,
dan antennula lobster yang merupakan alat penerima rangsang maka indera yang
lainnya akan mengalami gangguan sehingga tidak akan sempurna dalam bekerja. Tanpa
adanya antennula maka rangsangan kimia dari pakan akan lebih lambat ditangkap oleh
lobster. Hal ini disebabkan karena pada antennula terdapat segmen-segmen yang terdiri
atas sel-sel sensori yang peka terhadap rangsangan kimia yang berasal dari pakan.
Pernyataan tersebut tidak sesuai dengan dengan hasil pengamatan, yang dalam
pengamatannya masih bisa melakukan gerakan flicking, withdraw dan mendekati pakan.
Hal ini terjadi mungkin karena dalam melakukan pengablasian atau pengerusakan
kurang sempurna sehingga organ chemoreseptor-nya masih berfungsi.
Lobster memanfaatkan antena panjangnya untuk mendeteksi bahan pakan
terlebih dahulu. Lobster akan lebih merespon pakan berupa pelet dari pada pakan
tubifex. Hal ini dikarenakan bau pelet lebih menyengat sehingga chemoreseptor lobster
lebih mudah menangkapnya. Jika bahan pakan tersebut sesuai dengan keinginannya,
lobster akan menangkapnya menggunakan capit, selanjutnya memegangnya dengan
kaki jalan pertama sebagai tangan pemegang pakan yang akan dikonsumsi. Lobster air
tawar memiliki gigi halus yang terletak di permukaan mulut, sehingga cara memakan
pakannya sedikit demi sedikit ( Wulangi, 1994).
Menurut Roger (1978), reseptor dapat dibagi menjadi beberapa bagian stimulus
yang dideteksi:
a. Mekanoreseptor, sensitif terhadap stimulus mekanik seperti sentuhan.
b. Termoreseptor, mendeteksi perubahan temperatur.
c. Nosiseptor, merespon stimulus nyeri dari kerusakan fisik maupun kimiawi pada
jaringan tubuh, kadar oksigen yang rendah, ditemukan pada otak.
d. Fotoreseptor, mendeteksi cahaya mengenai retina mata.
e. Kemoreseptor, mendeteksi energi kimia dan mengubah menjadi energi listrik.
f. Osmoreseptor, mendeteksi tekanan osmosis cairan tubuh.
g. Glukoreseptor, mendeteksi level gula darah.
Menurut Horner et al. (2004), kemampuan untuk mendeteksi dan mengetahui
lokasi sumber makanan dengan rangsangan kimia dari jarak jauh, merupakan proses
yang penting untuk kehidupan bentik seperti lobster. Antennula dibutuhkan untuk
mencari lokasi atau tempat sumber makanan. Setiap antennula tersusun dari 4 segmen
dan terbagi pada bagian distal yang bercabang menjadi flagellum lateral dan flagellum
medial. Setiap flagellum tersusun dari antennula yang menghubungkan antara
chemosensory dan mechanosensory.
Menurut Devine et al. (1982), lobster mempunyai 3 organ chemoreseptor utama,
yaitu antenulla bagian medial, antennula bagian lateral dan segmen dactylus probandial
dari kaki jalan yang secara fisiologis hampir sama. Organ tersebut dapat berfungsi untuk
membau dan merasai. Dua pasang kaki jalan pertama dan reseptor bagian antennula
lateral tidak dilengkapi bulu aesthetase yang mempunyai fungsi dalam orientasi secara
kimia. Lobster dapat membedakan bau-bauan. Bau yang paling merangsang lobster
adalah kombinasi dari beberapa zat kimia (asam amino). Kemoreseptor pada lobster
merupakan organ berupa bulu-bulu yang terletak di permukaan antenna utama,
(antennulus), bagian mulut, dan kaki jalannya (Cobb & Phillips, 1990). Lobster
menggunakan strategi chemotactic dan mendapatkan informasi langsung dari bulu-bulu
bau. Lobster dapat mengarahkan bau menuju perbandingan perbedaan spasial dan
temporal.Secara umum, mekanisme orientasi ini dapat diklasifikasikan berdasarkan
sumber informasi yang memandu arah gerakan (informasi spasial) dan sumber
informasi yang mengontrol waktu gerakan (informasi temporal) (Kraus-Epley et al.,
2015).
Antennula pada lobster melakukan beberapa gerakan yaitu flicking, wipping,
withdraw, rotation, dan mendekati makanan. Flicking adalah gerakan atau pelecutan
antenulla ke depan yang berfungsi sebagai persiapan lokomosi atau pergerakan maju.
Ketika hewan crustacea melakukan flicking antennula, terjadi perubahan gradien
konsentrasi dari filamen plume. Karakteristik larutan dan kimia diproses oleh organisme
dan dideteksi oleh satae dan kecepatan flagellum saat flicking (Gunawan, 2002).
Withdraw adalah pelecutan antennula ke belakang yang berfungsi menghindar dari
serangan musuh yang akan menyerang atau melindungi diri dari gangguan dari luar.
Wipping adalah pelecutan antennula yang lain atau gerakan antennula dengan mulut,
gerakan ini berfungsi untuk membersihkan antennula dan pembersihan mulut. Rotation
adalah gerakan antenulla ke arah samping atau gerakan berputar, gerakan ini berfungsi
untuk mengacaukan ion-ion dari pakan agar lobster lain tidak mampu mendeteksi
adanya pakan. Gerakan mendekati pakan adalah gerakan antennula untuk mendekati
makanan dan sumber makanan dikarenakan lobster mendapat sensor dari pakan
(Prosser, 1991). Berdasarkan lima gerakan tersebut, tahapan yang akan dilakukan
lobster bermula dari flicking, dilanjutkan dengan withdraw, kemudian lobster akan
mendekati pakan dan melakukan rotasi untuk mendeteksi makanannya serta wipping
dilakukan setelah selesai memakan pakan. Frekuensi flicking dipengaruhi oleh keadaan
fisiologis lobster seperti parameter sensori berupa kimia, cahaya, osmotik, dan
rangsangan mekanik (Gordon et al., 1982).
Mekanisme chemoreseptor pada lobster yaitu stimulus dimulai dari pakan yang
diberikan atau dimasukan ke akuarium kemudian berdifusi ke dalam air dalam bentuk
ion-ion yang akan diterima oleh sel khusus chemoreseptor yang terdapat dalam
antennula. Impulls dari antennula akan ditransfer menuju otak melalui neuron afferent.
Impuls itu diproses oleh otak menjadi tangkapan dan diteruskan ke organ reseptor
melalui neuron afferent. Organ reseptor kemudian melakukan gerakan sesuai informasi
yang diterima otak dan terjadilah gerakan yang mendekati dan memakan pakan yang
disediakan dalam akuarium tersebut (Yuwono, 2001).

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya dapat kita simpulkan bahwa:


1. Kemoreseptor pada udang memiliki fungsi sebagai indera pembau, berperan dalam
mencari dan menemukan makanan. Untuk mengetahui posisi tubuh dan sebagai
media komunikasi antar hewan yaitu menangkap stimulus kimia berupa feromon dari
hewan lawan jenis. Antennula pada lobster melakukan beberapa gerakan yaitu
flicking, wipping, withdraw, rotation dan mendekati makanan.
DAFTAR REFERENSI

Campbell. 2000. Biologi jilid 3. Jakarta: Erlangga.

Cobb, J.F. & B.F. Philips. 1990. The Biology and Management of Lobster. Academic
Press. University of California. 1 :463.
Devine, D.V. & A. Jelle. 1982. Function of Chemoreceptor Organs in Spartial
Orientation of Lobster. Boston: Boston University Marine Program.

Gordon, M. S., G. A. Bartholomeno, A. D., Grinele, C. Barker, and Fred, N.W., 1982.
Animal Physiology. New York: Mac Millan Publishing Co Ltd.

Gunawan, A. 2002. Mekanisme Penghantaran Dalam Neuron (Neurotransmitter).


Integral, 7(2) : 38-41.

Horner, A.J., M.J. Weissburg & C.D. Derby. 2004. Dual antennular Chemosensory
Pathway Can Mediate Orientation by Caribbean Spiny Lobsters in Naturalistic
Flow Conditions. The Journal Experimental Biology. 207 : 3785-3796.

Jayanto. B.B., Abdul Rosyid., Herry Boesono & Faik Kurohma. 2015. Pengaruh
Pemberian Warna Pada Bingkai dan Badan Jaring Krendet Terhadap Hasil
Tangkapan Lobster di Perairan Wonogiri. Jurnal saintek perikanan. 10(2) : 68-73.
Kraus-Epley. K. E., Sara E. Lahman., & Paul A. Moore . 2015. Behaviorally-Selective
Chemoreceptor Lesions Reveal Two Different Chemically Mediated Orientation
Strategies in the Rusty Crayfish, Orconectes rusticus. Journal of crustacean
biology. 35(6) : 753-762.
Prosser, C. L. 1991. Environment and Metabolit Animal Physiology 4th Edition. New
York: John Wiley an Sons Inc.

Radiopoetro. 1977. Zoologi. Jakarta: Erlangga.

Roger. 1978. Physiological of Animal. New Jersey: Prentice Hall inc.

Saputra. S.W. 2009. Status Pemanfaatan Lobster (Panulirus sp) di Perairan Kebumen.
Jurnal Saintek Perikanan, (4)2 : 10-15.

Ville, C.A., Walker, W. F. dan Barners, R. D. 1988. Zoologi Umum. Jakarta: Erlangga.

Wulangi, K.S. 1994. Prinsip-Prinsip Fisiologi Hewan. Jakarta: Depdikbud.

Yuwono, E. 2001. Fisiologi Hewan Air. Jakarta: CV Agung Seta

Anda mungkin juga menyukai