Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“SUBYEK PENDIDIKAN”
Q.S AL-NAHL (16) : 43-44
Q.S AL-KAHF (18) : 66

KELOMPOK 1 :
1. FADHILATUL JANNAH (221160024)
2. FAUZY (221160026)
3. ROSADA WATEH (2211600 )
4. BANGUN ERVANSYAH (221160039)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI DATOKARAMA PALU


PRODI TADRIS BAHASA INGGRIS
TAHUN 2022/ 2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga Makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan
salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya,
dan kepada kita selaku umatnya.
Makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas mata kuliah Kami ucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Makalah ini. Dan kami juga
menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam
memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan
sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah ini
sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan
kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semuanya.

Palu, 19 Juni 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR………………………………………………………ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………...iii
BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang ………………………………….…………….…………….1


1.2 Rumusan makalah…………………………………………………………….2

BAB II : PEMBAHASAN

2.1 Lafal dan Terjemah QS. An-Nahl/16 : 43-44 …...…..…………….....3

2.2 Mufradat…………...............................................................................4

2.3 Tafsir surat An-Nahl ayat 43 dan 44………..…………………...…..5


a) Ayat 43
b) Ayat 44
B. Tafsir Qur’an Surat Al-Kahfi ayat 66
1. Tafsir Al-Maraghi
2. Tafsir Al-Azhar
3. Tafsir Al-Mishbah

BAB III : PENUTUP


3.1 kesimpulan……………………………………………………..........................12

3.3 Daftar Pustaka………………………………………………………………….13

1.

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kita sebagai umat beragama Islam,tentunya mempunyai pedoman hidup sesuai


perintah Allah SWT yaitu Al-Qur’an. Al quran mengandung beberapa aspek yang terkait
dengan pandangan hidup yang dapat membawa manusia ke jalan yang benar dan menuju
kepada kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Dari beberapa aspek tersebut, secara global
terkandung materi tentang kegiatan belajar-mengajar atau pendidikan yang tentunya
membutuhkan komponen-komponen pendidikan diantaranya yaitu pendidik dan peserta
didik.
Pendidik dalam proses pendidikan adalah salah satu faktor yang sangat penting untuk
mencapai tujuan pendidikan. Selain pendidik, peserta didik juga mempunyai peran penting
dalam proses pendidikan, tanpa adanya peserta didik maka pendidik tidak akan bisa
menyalurkan pengetahuan yang dimilikinya sehingga proses pembelajaran tidak akan
terjadi dan menghambat tercapainya tujuan pendidikan anatara pendidik dan peserta didik
harus sejalan agar tujuan pendidikan dapat tercapau dalam pedoman tersebut terdapat
aturan-aturan yang harus kita laksanakan dan larangan-larangan yang harus kita
tinggalkan. Al-quran adalah sumber hukum islam yang pertana bagi umat muslim.

1.2 Rumusan Makalah

1. Bagaimana tafsir surah An-Nahl ayat 43 dan 44?

2. Bagaimana hubungannya dengan pendidikan?

3. Apakah yang dimaksud dengan Ahl-Dzikr?

4. Siapa Ahl-Dzikr?

5. Apa itu Tafsir Al-Maraghi

6. Apa itu Tafsir Al-Azhar

7. Apa itu Tafsir Al-Mishbah

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Lafal dan Terjemah QS. An-Nahl/16 : 43-44


٤٣ - ‫َو َما َأ ْر َسْل َنا ِم ن َقْبِلَك ِإَّال ِرَج اًال ُّن وِح ي ِإَلْيِهْم َفاْس َأُل وْا َأ ْه َل الِّذ ْك ِر ِإن ُك نُتْم َال َتْع َلُموَن‬
٤٤- ‫ِباْلَب ِّي َن اِت َو الُّز ُبِر َو َأنَز ْلَن ا ِإَلْي َك الِّذ ْك َر ِلُتَب ِّي َن ِللَّن اِس َم ا ُنِّز َل ِإَلْي ِه ْم َو َلَع َّلُهْم َي َتَفَّك ُروَن‬

43. Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri
wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui.
44. Dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka[2] dan supaya mereka memikirkan.
2.2 Mufradat
‫ِرَج اٌل‬ : orang-orang lelaki.

‫َأْهُل الِّذْك ِر‬ : para pemuka agama Yahudi dan Nasrani.


‫ِإْن‬ : jika
‫َالُّز ُبُر‬ : tulisan/kitab-kitab yang ditulis, seperti Taurat, Injil, Zabur, dan Shuhuf Ibrahim As.
‫َالِّذْك ُر‬ : salah satu nama Alquran. Dari segi bahasa adalah antonim kata lupa.

A. Tafsir surat An-Nahl ayat 43 dan 44:


a) Ayat 43
Diriwayatkan oleh Adh-Dhahhak bahwa Ibnu Abbas bercerita tentang ayat ini, bahwa
tatkala Allah mengutus Muhammad sebagai Rasul, banyak di antara orang-orang Arab yang
tidak mau menerima kenyataan itu, maka turunlah ayat:
‫َأَك اَن ِللَّناِس َعَج بًا َأْن َأْو َح ْيَنا ِإَلى َر ُج ٍل ِّم ْنُهْم َأْن َأنِذ ِر الَّناَس‬

Katakanlah wahai Muhammad: "Maha suci Tuhanku, Bukankah aku ini hanya
seorang manusia yang diutus menjadi rasul?"(QS. Al-Isra : 93).

2
Dan dalam ayat yang lain:
١- ‫ُقْل ِإَّنَم ا َأَنا َبَشٌر ِّم ْثُلُك ْم ُيوَح ى ِإَلَّي‬

Katakanlah wahai Muhammad : “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu,
yang kepadaku diberikan wahyu”.(QS. Al-Kahfi : 110).

Para ulama menjadikan kata ( ‫ )رجال‬rijal sebagai alasan untuk menyatakan bahwa
semua manusia yang diangkat oleh Allah sebagai rasul adalah pria, dan tidak satu pun yang
wanita dan dari segi bahasa kata rijal yang merupakan bentuk jamak dari kata ( ‫ )رجل‬rajul
sering kali dipahami dalam arti lelaki.
Kata ( ‫ )َأْهل الِّذْك ِر‬ini difahami oleh banyak ulama dalam arti para pemuka agama Yahudi
dan Nasrani yang telah menerima kitab-kitab dan ajaran Nabi-nabi yang dahulu itu. Kalau
mereka orang-orang yang jujur, niscaya akan mereka beri tahukan hal yang sebenarnya itu.
Mereka adalah orang-orang yang dapat memberi informasi tentang kemanusiaan para rasul
yang diutus Allah. Mereka wajar ditanyai karena mereka tidak dapat dituduh berpihak pada
informasi Alquran sebab mereka juga termasuk yang tidak mempercayainya, kendati
demikian persoalan kemanusiaan para rasul, mereka akui.
Ahl-dzikr ditafsirkan dengan orang yang mempunyai ilmu pengetahuan tentang nabi
dan kitab-kitab. Penulis tidak membatasi kepada pengetahuan tentang nabi-nabi dan kitab,
melainkan meliputi detail-detail Alquran dan Islam secara keseluruhannya. Orang yang
memiliki pengetahuan tersebut adalah Rasulullah dan para ulama dari berbagai kurun.
Penafsiran ini tampaknya relevan dengan tafsir al-dzikr pada ayat berikutnya, bahwa yang
dimaksudkannya adalah Alquran itu sendiri. Itu pula sebabnya, Alquran dinamai Al-Dzikr.
Walaupun panggalan ayat ini turun dalam konteks tertentu, yakni objek
pertanyaan, serta siapa yang ditanya tertentu pula, namun karena redaksinya yang bersifat
umum, maka ia dapat difahami pula sebagai perintah bertanya apa saja yang tidak diketahui
atau diragukan kebenarannya kepada siapa pun yang tahu dan tidak tertuduh objektivitasnya.
Pengertian yang lain tentang ‫“فاسألوا أهل الذكر‬Bertanyalah kalian kepada ahli Alquran”
secara eksplisit menjelaskan bahwa yang menjadi subyek pendidikan bukan hanya pendidik
atau guru, melainkan juga anak didik. Karena itu ayat ini dapat menjadi dasar bagi
pengembangan teori belajar siswa aktif dan metode tanya jawab dalam proses belajar
mengajar. Pada saat guru tengah memberikan bimbingan dan pendidikan kepada siswa, posisi
siswa adalah obyek, tetapi pada saat yang sama, ia juga berperan sebagai subyek. Sebab, tugas
guru tidak hanya menyampaikan bahan-bahan ajar kepada siswa, tetapi ia juga bertanggung
jawab untuk sedapat mungkin membangkitkan minat dan motivasi belajar siswa agar mereka
dapat melakukan pembelajaran sendiri.

3
b) Ayat 44
Para rasul yang Kami utus sebelummu itu semua membawa keterangan-keterangan,
yakni mukjizat-mukjizat nyata yang membuktikan kebenaran mereka sebagai rasul dan
sebagian membawa pula zubur, yakni kitab-kitab yang mengandung ketetapan-ketetapan
hukum dan nasihat-nasihat yang seharusnya menyentuh hati dan Kami turunkan kepadamu
adz-Dzikr,yakni Alquran, agar engkau menerangkan kepada seluruh manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka,yakni Alquran itu, mudah-mudahan dengan penjelasanmu mereka
mengetahui dan sadar dan supaya mereka senantiasa berfikir lalu menarik pelajaran untuk
kemaslahatan hidup duniawi dan ukhrawi mereka.
Kata ‫ الُّز ُبر‬adalah jamak dari kata ‫ َز ُب ور‬yakni tulisan. Yang dimaksud di sini adalah
kitab-kitab yang ditulis, seperti Taurat, Injil, Zabur dan Shuhuf Ibrahim as. Para ulama
berpendapat bahwa zubur adalah kitab-kitab singkat yang tidak mengandung syari’at, tetapi
sekedar nasihat-nasihat.
Salah satu nama Alquran adalah ‫ الِّذْك ُر‬dari segi bahasa adalah antonim kata lupa.
Pengulangan kata turun dua kali, yakni ‫ أنزلنا إليك‬Kami turunkan kepadamu dan ‫ما ُنِّز َل إليهم‬
apa yang telah diturunkan kepada mereka mengisyaratkan perbedaan penurunan yang
dimaksud. Yang pertama adalah penurunan Alquran kepada Nabi yang bersifat langusung dari
Allah, sedangkan yang kedua adalah yang ditujukan kepada manusia seluruhnya yang
mengandung makna turun berangsur-angsur. Hal ini agaknya untuk mengisyaratkan bahwa
manusia secara umum mempelajari dan melaksanakan tuntunan Alquran secara bertahap
sedikit demi sedikit dan dari saat ke saat. Adapun Nabi Muhammad Saw., maka kata
diturunkan yang dimaksud di sini bukan melihat pada turunnya ayat-ayat itu sedikit demi
sedikit, tetapi melihat kepada pribadi Nabi Saw. yang menghafal dan memahaminya secara
langsung, karena diajar langsung oleh Allah Swt., melalui malaikat Jibril As. Dan juga
melaksanakannya secara langsung begitu ayat turun, berbeda dengan manusia yang lain.
Pada akhir ayat di atas dijelaskan tentang fungsi Rasulullah Saw., sebagai penjelas
(mubayyin) kepada manusia tentang hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran. Hal ini
dimaksudkan agar manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan dapat berfikir. Ini
mengisyaratkan bahwa siswa perlu memikirkan, menganalisis dan bahkan mengkritisi materi
pendidikan yang disampaikan guru. Di lain pihak, dengan ini juga menunjukkan bahwa
Alquran selalu mengajak berfikir kepada manusia agar dalam menunaikan kewaiban-
kewajiban agama dilaksanakan dengan hati yang mantap karena didukung ilmu yang cukup.

4
B. Tafsir Qur’an Surat Al-Kahfi ayat 66

‫َقاَل َلٗه ُم ۡو ٰس ى َهۡل َاَّتِبُعَك َع ٰٓلى َاۡن ُتَع ِّلَمِن ِمَّم ا ُع ِّلۡم َت ُر ۡش ًدا‬

Musa berkata kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan


kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?"
Tafsir
Nabi Musa berkata kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu, yakni menjadi pengikut
dan muridmu yang senantiasa bersamamu ke mana pun engkau pergi, agar engkau
mengajarkan kepadaku sebagian dari ilmu yang telah diajarkan Allah kepadamu untuk
menjadi petunjuk bagiku?"
Dalam ayat ini, Allah menyatakan maksud Nabi Musa a.s. datang menemui Khidir,
yaitu untuk berguru kepadanya. Nabi Musa memberi salam kepada Khidir dan berkata
kepadanya, "Saya adalah Musa." Khidir bertanya, "Musa dari Bani Israil?" Musa
menjawab, "Ya, benar!" Maka Khidir memberi hormat kepadanya seraya berkata, "Apa
keperluanmu datang kemari?" Nabi Musa menjawab bahwa beliau datang kepadanya
supaya diperkenankan mengikutinya dengan maksud agar Khidir mau mengajarkan
kepadanya sebagian ilmu yang telah diajarkan Allah kepadanya, yaitu ilmu yang
bermanfaat dan amal yang saleh.

Dalam ayat ini, Allah menggambarkan secara jelas sikap Nabi Musa sebagai calon
murid kepada calon gurunya dengan mengajukan permintaan berupa bentuk pertanyaan.
Itu berarti bahwa Nabi Musa sangat menjaga kesopanan dan merendahkan hati. Beliau
menempatkan dirinya sebagai orang yang bodoh dan mohon diperkenankan
mengikutinya, supaya Khidir sudi mengajarkan sebagian ilmu yang telah diberikan
kepadanya. Menurut al-Qadhi, sikap demikian memang seharusnya dimiliki oleh setiap
pelajar dalam mengajukan pertanyaan kepada gurunya.

1. Tafsir Al-Maraghi

Al-Khadir (dengan harakat fathah dan kasrah pada huruf kha’, sedang dad
memakai kasrah atau sukun). (Jadi bisa dibaca Al-Khadir atau Al-Khadr atau Al-
Khidir atau Al-Khidur) adalah julukan guru Nabi Musa yang bernama Balya bin
Malkan. Kebanyakan ulama perpendapat bahwa Balya adalah seorang nabi. Dan
untuk itu, mereka mempunyai beberapa dalil. Yaitu:
a. Firman Allah Ta’ala:
QS. Al-Kahfi, 18:65, yang artinya:
“Yang telah Kami berikan kapadanya rahmat dari sisi Kami.”
Rahmat di sini, yang dimaksud ialah kenabian, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
5
QS. Az-Zukhruf, 43:32, yang artinya:
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat (Nubuwwah) Tuhanmu.”
b. Firman Allah Ta’ala:
“Dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”
Dengan pertanyaan ini, berarti Allah telah mengajarkan kepada Al-Khidir
tanpa perantara seorang guru dan tanpa bimbingan dari seorang pembimbing.
Padahal, siapa pun yang seperti itu halnya, maka dialah seorang nabi.

c. Bahwa Musa berkata kepadanya:


QS. Al-Kahfi, 18:66, yang artinya:
“Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu.”
Sedangkan seorang nabi takkan belajar kecuali dari seorang nabi pula.

2. Tafsir Al-Azhar
Apabila jiwa seseorang telah dipersucikan (tazkiyah) dari pada pengaruh
hawa-nafsu dan keinginan yang jahat, sampai bersih murni laksana kaca, maka
timbullah nur dalam dirinya dan menerima dia akan nur dari luar; itulah yang
disebut Nurun ‘ala nurin! Maka bertambah dekatlah jaraknya dengan Allah dan
jadilah dia orang yang muqarrabin. Kalau telah sampai pada maqam yang demikian,
mudahlah dia menerima langsung ilmu dari Ilahy. Baik berupa wahyu serupa yang
diterima Nabi dan Rasul, atau berupa ilham yang tertinggi martabatnya, yang
diterima oleh orang yang shalih.
Dan orang yang telah mencapai martabat yang demikian itu dapat segera
dikenal oleh orang yang telah sama berpengalaman dengan dia, walaupun baru
sekali bertemu. Sebab sinar dari Nur sama sumber asal tempat datangnya.

Oleh sebab itu baru saja melihat orang itu yang pertama kali, Musa telah tahu bahwa
itulah orang yang disuruh Tuhan dia mencarinya. Tidaklah kita heran jika langsung sekali
Musa menegornya dengan penuh hormat: ,,Berkata Musa kepadanya: ,,Bolehkah aku
mengikuti engkau?” Dengan (syarat) engkau ajarkan kepadaku, dari yang telah diajarkan
kepada engkau, sampai aku mengerti?”
Suatu pertanyaan yang disusun demikian rupa sehingga menunjukkan bahwa Musa
setelah menyediakan diri menjadi murid dan mengakui dihadapan guru bahwa banyak hal
yang dia belum mengerti. Kelebihan ilmu guru itu haraplah diterangkan kepadanya, sampai
dia mengerti sebagai seorang murid yang setia.

3. Tafsir Al-Mishbah

6
Dalam pertemuan kedua tokoh itu Musa berkata kepadanya, yakni kepada
hamba Allah yang memperoleh ilmu khusus itu, “Bolehkah aku mengikutimu secara
bersungguh-sungguh supaya engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari apa,
yakni ilmu-ilmu yang telah diajarkan Allah kepadamu untuk menjadi petunjuk
bagiku menuju kebenaran?”
Kata ( ‫ )أّتبعك‬attabi’uka asalnya adalah ( ‫ )أتبعك‬atba’uka dari kata (‫ )تبع‬tabi’a,
yakni mengukuti. Penambahan huruf (‫ )ت‬ta’ pada kata attabi’uka mengandung
makna kesungguhan dalam upaya mengkuti itu. Memang demikianlah seharusnya
seorang pelajar, harus bertekad untuk bersungguh-sungguh mencurahkan perhatian,
bahkan tenaganya, terhadap apa yang akan dipelajarinya.
Ucapan Nabi Musa as. ini sungguh sangat halus. Beliau tidak menuntut untuk
diajar tetapi permintaannya diajukan dalam bentuk petanyaan, “Bolehkah aku
mengikutmu?” Selanjutnya beliau menamai pengajaran yang diharapkan itu sebagai
ikutan, yakni beliau menjadikan diri beliau sebagai pengikut dan pelajar. Beliau
juga menggaris bawahi kegunaan pengajaran itu untuk dirinya secara pribadi, yakni
untuk menjadi petunjuk baginya. Di sisi lain, beliau mengisyaratkan keluasan ilmu
hampa yang saleh itu sehingga Nabi Musa as. hanya mengharap kiranya dia
mengajarkan sebagian dari apa yang telah diajarkan kepadanya. Dalam konteks itu,
Nabi Musa as. tidak menyatakan “apa yang engkau ketahui wahai hamba Allah",
karena beliau sepenuhnya sadar bahwa ilmu pastilah bersumber dari satu sumber,
yakni dari Allah Yang Maha Mengetahui. Memang Nabi Musa as. dalam ucapannya
itu tidak menyebut nama Allah sebagai sumber pengajaran, karena hal tersebut telah
merupakan aksioma bagi manusia beriman. Di sisi lain, di sini kita menemukan
hamba yang saleh itu juga penuh dengan tata krama.

B. Aplikasi dalam Kehidupan Sehari-hari


seorang pendidik harus menyadari betul keagungan profesinya. Ia harus menghiasi
dirinya dengan akhlak yang mulia dan menjauhi semua akhlak yang tercela. Ia tidak boleh
kikir dalam menyampaikan pengetahuannya dan menganggap remeh semua masalah yang
merintangi, sehingga mampu mencapai target dan misinya dalam melakukan sistem
pendidikan. Sikap seperti ini akan mampu mendorong seorang pendidik untuk melakukan hal-
hal besar dalam menjalani profesinya demi mendapatkan hasil yang maksimal baik anak
didiknya.

C. Aspek Tarbawi

 Pendidik berperan utama dalam pembentukan akhlak peserta didik.


 Pendidik harus mengetahui minat dan bakat yang dimiliki Peserta Didik.

7
 Dalam mencari ilmu kita harus menyediakan bekal, agar kita bisa bersungguh-sungguh
dalam mencari ilmu tersebut.
 Kita harus bersabar dan berjuang dalam menuntut ilmu sebagaimana yang telah
dicontohkan oleh Nabi Musa as.
 Sebagai murid harus memiliki sikap sopan santun terhadap guru dan berendah diri
kepadanya.

8
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Nilai pendidikan yang dapat kita ambil dari surat An-Nahl ayat : 43 dan 44 antara lain:
1. Menganjurkan kita untuk bertanya apabila kita tidak tahu.
2. Apabila kita mempunyai ilmu sebaiknya ajarkan kepada yang belum tahu.
3. Dalam mendidik sebaiknya menyesuaikan dengan tingkat kecerdasan dan
pemahaman peserta didik.
4. Pendidik sebaiknya menggunakan bahasa yang jelas dan mudah dipahani.
5. Pendidikan dilakukan secara bertahab.
6. Pendidik atau guru sebaiknya menguasai bahan ajar.

Dari uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan Pendidik
adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak
didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu
melaksanakan tugasnya sebagai makhuk Allah, khalifah di permukaan bumi, sebagai makhluk
sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri. Guru mengolah bagian yang mulia
dari antara anggota-anggota manusia, yaitu akal dan jiwa dalam rangka menyempurnakan,
memurnikan dan membawanya mendekati Allah semata.
Adapun dalam melaksanakan tugasnya seorang guru hendaknya menguasai mata
pelajaran terlebih dahulu yang nantinya akan diajarkan kepada peserta didik tersebut, dalam
menyampaikan materi diusahakan dilengkapi dengan praktik, kemudian diambilah hikmah
atau nilai-nilai yang bisa diterapkan dalam kehidupan. Mampu menghiasi wajahnya dengan
senyum setiap saat. Menggunakan kata-kata yang baik dan bijak. Memiliki sifat zuhud,
pemaaf, ikhlas, dan mampu memahami karakteristik dan mengenal nama dari masing-masing
peserta didik, di luarnya mampu berpenampilan sopan serta di dalamnya bersih dari yang
namanya penyakit hati.

9
DAFTAR PUSTAKA

Bahreisy, Salim dan Said Bahreisy. 1988. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier. Surabaya: PT
Bina Ilmu.
Departemen Agama RI. 1984. Tafsir dan Terjemahnya. Jakarta : Depag RI.
Gojali, Nanang., 2004. Manusia, Pendidikan dan Sains Tafsir Hermeneutik. Jakarta: PT
Reneka Cipta.
Hamka.1988. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas.
Shihab, M. Quraish., 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.

Hamka. 1982. Tafsir Al-Azhar. Surabaya: Yayasan Latimojong.


Mahmud. 2011. Pemikiran pendidikan islam. Bandung: CV Pustaka.
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa. 1993. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Salim, Moh. Haitami dan Syamsul Kuriawan. 2012. Studi Ilmu Pendidikan Islam. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media.
Shihab, M. Quraish . 2002. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.
Uhbiyati, Nur. 1998. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Set

10

Anda mungkin juga menyukai