Anda di halaman 1dari 8

A.

PROLOG
Sebagai seorang muslim, kita dituntut untuk merealisasikan tauhid dalam
kehidupan kita sehari-hari, karena tauhid merupakan ajaran dasar Islam yang di
atasnya dibangun syariat-syariat agama. Menurut bahasa, tauhid adalah Bahasa Arab
yang berarti mengesakan atau menganggap sesuatu itu esa atau tunggal. Dalam ajaran
Islam, yang dimaksud dengan tauhid adalah keyakinan akan keesaan Allah swt.
Sebagai Tuhan yang telah menciptakan, memelihara, dan menentukan segala sesuatu
yang ada di alam ini. Keyakinan seperti ini dalam ajaran tauhid disebut
dengan Rubūbiyyah. Sebagai konsekuensi dari keyakinan ini, kita dituntut untuk
melaksanakan ibadah hanya tertuju kepada Allah swt. Dengan kata lain hanya Allah
yang berhak disembah dan diibadati. Keyakinan ini disebut dengan Ulūhiyyah. Kedua
jenis ajaran tauhid ini (yakni Rubūbiyyah dan Ulūhiyyah) harus kita jadikan bagian
dari hidup dan kehidupan kita, dalam menghadapi berbagai keadaan, baik dalam
menghadapi hal-hal yang menyenangkan karena memperoleh nikmat atau dalam
menghadapi hal-hal yang menyedihkan, karena ditimpa oleh musibah.
Kedua jenis tauhidi ini harus sama-sama kita sinkronkan dalam hidup Dalam
ajaran tauhid, paling tidak ada tiga hal mendasar yang dibicarakan. Pertama, Ilāhiyyāt,
yaitu hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan, baik sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-
Nya dan hubungan antara Tuhan dan hamba-hamba-Nya. Kedua, Nubuwwāt, yaitu
hal-hal yang berkaitan dengan para nabi yang diutus oleh Allah swt. kepada seluruh
umat manusia, untuk menyampaikan syariat-syariat-Nya kepada mereka.
Ketiga, Sam’iyyāt, yaitu informasi-informasi yang dibawa oleh para nabi tersebut
berupa wahyu yang mereka terima dari Allah swt. untuk disampaikan kepada umat
mereka masing-masing. Dalam ketiga ajaran dasar ini, termuat ajaran tentang
malaikat, kitab dan takdir. Dan dari ajaran dasar inilah ditegakkan rukun-rukun Islam,
berupa syahadat, salat, puasa, zakat dan haji serta ibadah-ibadah lainnya. Sebagai
pelengkap, sekaligus penyempurna, disyariatkan pula ihsān yang harus menyertai
berbagai ibadah yang kita lakukan.
Dan buah dari ketiga ajaran Islam ini (yakni Iman, Islam dan Ihsān) adalah
baiknya prilaku atau akhlak seorang hamba Allah swt. baik dalam rangka
berhubungan dengan Allah swt. dengan sesama manusia, ataupun dengan alam
lingkungannya. Semua hal ini, telah direalisasikan oleh Nabi Besar Muhammad saw.
dalam kehidupan beliau sehari-hari. Dan kita sebagai umat beliau diminta untuk
meneladani seluruh aspek kehidupan beliau semampu kita oleh karena memang
Baginada Rasulullah SAW merupakan figus teladan yang dapat kita jadikan panutan
pada semua asepk kehidupan kita.
B. PEMBAHASAN
1. Apakah bersyahadat mencukupkan seseorang dianggap masuk islam atau ada
indikator lain ?
Setiap orang yang lahir di muka bumi ini pada dasarnya adalah muslim,
sehingga tidak perlu melakukan syahadat ulang. Dalam aqidah Islam, tidak ada
orang yang lahir dalam keadaan kafir. Sebab jauh sebelum bayi itu lahir, Allah
SWT telah meminta mereka untuk berikrar tentang masalah tauhid, yaitu
mengakui bahwa Allah SWT adalah tuhannya. Di dalam Al-Quran Al-Kariem,
hal ini ditegaskan sehingga tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa bayi lahir
itu dalam keadaan kafir. Dan, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-
anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka, "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab, "Betul, kami menjadi
saksi." agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini. " (QS Al-A'raf: 172 ). Selain itu,
Rasulullah SAW juga telah bersabda bahwa setiap manusia itu lahir dalam
keadaan fitrah. Dan makna fitrah itu adalah suci, lawan dari kufur dan ingkar
kepada Allah SWT.

Barulah nanti kedua orang tuanya yang akan mewarnai anak itu dan
menjadikannya beragama selain Islam. Misalnya menjadi Nasrani, Yahudi atau
Majusi. Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah, kecuali orang tuanya yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani atau Majusi." (HR Bukhari 1296). Maka anak-anak yang
beragama non Islam itu pada dasarnya adalah anak korban pemurtadan dari orang
tuanya. Sebab pada dasranya anak itu muslim sejak dari perut ibunya. Dan lahir
dalam keadaan fitrah yang berarti muslim. Sedangkan bila orang tuanya muslim,
maka tidak ada proses pengkafiran. Dan karena itu tidak ada kewajiban untuk
masuk Islam dengan berikrar mengucapkan dua kalimat syahadat. Seorang yang
lahir dalam keadaan bukan muslim, ketika sadar dan ingin masuk Islam, maka
cukuplah baginya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada dirinya sendiri.

Di dalam hatinya itu dia mengingkarkan bahwa dirinya menyatakan tidak


ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah SWT. Juga mengikrarkan bahwa
Nabi Muhammad SAW adalah rasul-Nya. Adapun syahadat itu harus disaksikan
oleh orang lain, sama sekali bukan merupakan syarat sahnya syahadat itu sendiri.
Meski banyak para shahabat Nabi SAW ketika masuk Islam yang datang
menemui beliau, bukan berarti syarat masuk Islam itu harus berikrar di muka
orang lain. Tindakan mereka sekedar menegaskan secara formal bahwa dirinya
sudah masuk Islam, serta menyatakan ikrar untuk membela dan memperjuangkan
agama Allah SWT. Banyak di antara shahabat yang ketika masuk Islam pertama
kali tidak di hadapan beliau SAW. Ikrar atas syahadat maknanya adalah
mengumumkan kepada khalayak bahwa dirinya kini telah berganti agama dari
non muslim menjadi muslim.

Ikrar ini berfungsi untuk merubah pandangan umum sehingga mereka bisa
memperlakukannya sebagai muslim. Namun dalam kondisi tertentu,
pengumuman atas ke-Islaman diri itu tidak mutlak harus dilakukan. Misalnya
seperti yang dahulu dialami oleh Rasulullah SAW dan para shahabat di masa
awal dakwah, banyak di antara mereka yang merahasiakan ke-Islamannya.
Namun syahadat mereka tetap syah dan mereka resmi dianggap sebagai muslim.
Di hari ini pun bila ada seserorang yang karena pertimbangan tertentu ingin
merahasiakan ke-Islamannya, maka dia sudah syah menjadi muslim dengan
bersyahadat tanpa disaksikan siapapun. Dan sejak itu dia terhitung mulai menjadi
muslim yang punya kewajiban shalat, puasa, zakat dan lain-lain. Syahadatain itu
tidak mensyaratkan harus dilakukan di depan imam, tokoh, kiayi atau ulama.
Tanpa adanya kesaksian mereka pun syahadat itu sudah syah dan dia sudah
menjadi muslim dengan sendirinya. Untuk menjadi hamba Allah SWT dan
beriman kepada Rasulullah SAW, tidak perlu minta izin kepada makhluq Allah.
Sebab beriman itu adalah hak sekaligus kewajiban seorang makhluq. Syahadat itu
tidaklah harus disaksikan sebagaimana sebuah akad nikah yang menjadi tidak
syah apabila tidak ada saksinya (nikah sirri).

Bila seorang telah meyakini Islam sebagai agamanya dan mengucapkan


dua kalimat syahadat, secara otomatis dia adalah seorang muslim. Dan di atas
pundaknya telah berlaku beban sebagaimana seorang muslim lainnya. Tidak perlu
baginya untuk mencari orang lain atau mengadakan sebuah seremoni masuk
Islam dengan menghadirkan para saksi melihat dia mengucapkan dua kalimat
syahahat. Keseimpulannya, syahadat itu merupakan pintu gerbang keimanan
seorang muslim, sebuah ikrar yang jangan hanya berakhir sebagai ucapan saja
melainkan secara konsisten dipahat secara permanen dalam hati dan pikiran.

2. Bagaimana mengkorelasikan tema tauhid rububiyah dengan hadist tentang


Usamah diatas ?
Tauhid menurut istilah ilmu akidah adalah mengEsakan Allah SWT,
meyakini keEsaan Allah SWT dalam rububiyah-Nya, ikhlas beribadah kepada-
Nya, serta menetapkan bagi-Nya nama-nama dan sifat-sifat kesempurnaan-Nya.1
Tauhid adalah keyakinan seorang hamba bahwa Allah itu Esa dan tidak ada
sekutu bagi-Nya, baik dalam Rububiyyah, Uluhiyyah, Asma’ (nama-nama) dan
sifatNya. Seorang hamba hendaknya meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah
sajalah Tuhan pemilik atas segala sesuatu. Dalam ajaran tauhid, paling tidak ada
tiga hal mendasar yang dibicarakan. Pertama, Ilāhiyyāt, yaitu hal-hal yang
berkaitan dengan Tuhan, baik sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan
hubungan antara Tuhan dan hamba-hamba-Nya. Kedua, Nubuwwāt, yaitu hal-hal
yang berkaitan dengan para nabi yang diutus oleh Allah swt. kepada seluruh umat
manusia, untuk menyampaikan syariat-syariat-Nya kepada mereka.
Ketiga, Sam’iyyāt, yaitu informasi-informasi yang dibawa oleh para nabi
tersebut berupa wahyu yang mereka terima dari Allah swt. untuk disampaikan
kepada umat mereka masing-masing. Untuk menyempurnakan agama, seseorang
haraus memiliki dua jenis tauhid yaitu Rubūbiyyah dan Ulūhiyyah. Tauhid
Rububiyyah ialah mengesakan Allah dalam perbuatannya, maksudnya adalah
meyakini hanya kepada Allah lah yang bisa perbuatan-perbuatan yang menjadi
kekhususan-Nya. Sedangkan Tauhid Uluhiyyah ialah mengesakan Allah tidak
boleh mempersembahkan peribadatan kepada selain-Nya dalam bentuk ibadah
lahiriyah maupun yang batiniyah, ucapan maupun perbuatan. Salah satu contoh
tauhid rububiyah adalah percaya bahwa hanya Allah yang mampu menciptakan
segala sesuatunya bukan mahluk atau zat lainnya. Tidak ada zat lain yang mampu
menciptakan alam semesta, bahkan sebuah biji yang paling kecil pun adalah
ciptaan Allah.
Tidak ada mahluk lain yang memiliki kemampuan menciptakan seperti
Allah. Terkait dengan Hadis tentang Usamah diatas dan kaitannya dengan tauhid
rububiyah adalah, orang yang dibunuh Usamah tersebut oleh Usamah itu sendiri
dianggap tidak Kaffah dalam bersyahadat dan beriman kepada Allah karena dia
melakukan itu hanya karena dia dalam keadaan terdesak. Namun kita juga jangan
main hakim sendiri dengan langsung mengambil nyawa seseorang dengan alasan
apapun karena dalamnya ilmu kita untuk memahami pengampunan serta kasih-
sayang Allah SWT sangatlah dangkal sehingga alangkah baiknya kita menghargai
setiap nyaa yang Allah SWT biarkan lahir dimuka bumi ini, kedepankan akal
sehat dan logika murni dalam mengambil keputusan.
3. Apakah faidah dan hukum yang bisa diambil dari hadis diatas tadi ?
Budaya main hakim sendiri, Pada zaman sekarang ini yang seharusnya
pola pemikiran masyarakat sudah terbuka dalam menyikapi suatu masalah,
namun kita masih dapat menemukan beberapa kasus main hakim sendiri di
Indonesia. Memang pada zaman dulu kita sudah mengenal budaya seperti ini
namun seharusnya kita sekarang bisa untuk memperbaiki budaya buruk tersebut.
Eigenrechting atau tindakan main hakim sendiri dapat dilakukan oleh siapapun
termaksud perseorangan ataupun kelompok. Tidak memandang jabatan, aparat
negara, ataupun ia seorang penegak hukum sekaligus apabila ia mengambil
tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur hukum maka dapat dapat dikatakan
tindakan main hakim sendiri. Dalam riwayat di atas, Usamah dipanggil oleh Nabi
Muhammad kemudian ditanya kenapa membunuh orang yang sudah bersyahadat?
Usamah menjawab bahwa tindakan musuh tersebut hanya sebuah taktik belaka. Ia
membawa senjata yang sewaktu-waktu bisa mencelakakan pasukan Muslim. Ia
dibunuh karena diduga syahadatnya palsu.
Mendengar secara seksama alasan Usamah membunuh musuh yang sudah
bersyahadat, maka Nabi Muhammad mengeluarkan sabda: nahnu nahkum bi al-
dhawahir, wa Allah yatawalla al-sarair (kita hanya menghukum apa yang tampak
dan Allah SWT yang menghukum apa yang tersimpan di hati orang). Jawaban ini
menunjukkan betapa tidak bolehnya memvonis keyakinan dan kepercayaan orang
lain apalagi dengan mengafirkannya. Saling mengafirkan inilah yang menjadi
fenomena umat Islam di zaman kini. Bahkan fenomena yang dilakukan oleh
kelompok tertentu itu tidak hanya ditujukan kepada umat lain, tetapi juga
ditujukan kepada sesama Muslim hanya karena perbedaan pandangan, dan lain-
lain. Jika seseorang secara formal telah mempersaksikan syahadatnya dengan
terbuka, maka umat Islam tidak boleh lagi mengusiknya. Hal ini bukan berarti
ketika dia masih kafir lalu umat Islam boleh mengusiknya. Umat Islam tetap
harus menghargai dan menghormati keyakinan dan kepercayaan orang lain
dengan terus berperilaku dan berdakwah dengan cara sebaik-baiknya. Soal ada
pelanggaran lain, biarkan hukum formal yang akan menyelesaikannya. Atas
langkah yang diambilnya itu, Usamah pun langsung memohon maaf kepada
Rasulullah dan berjanji akan berhati-hati jika menemui peristiwa serupa di
kemudian hari. Karena jika seseorang dieksekusi dengan tuduhan tertentu, maka
yang turut menjadi korban adalah keluarga dekat orang tersebut.
4. Bagaimana semustinya mendakwahkan tauhid dan syariat islam ditengah
masyarakat ?
Dalam fase dakwah Islam di Makkah, Rasulullah SAW dan umatnya tidak
luput dari ancaman pembunuhan oleh kafir Quraisy. Bahkan tidak sedikit yang
mendapat siksa dan meregang nyawa demi mempertahankan akidah Islam dengan
menjadi umat Nabi Muhammad. Melihat kondisi tersebut, Rasulullah bersama
para sahabat kepercayaannya diikuti umat Islam Makkah melakukan eksodus
besar-besaran (hijrah) ke Kota Yatsrib (Madinah). Berbagai properti, harta benda
warisan istri beliau, Khadijah radhiyallahu ‘anha seperti rumah dan tanah
ditinggalkan begitu saja di Makkah demi menyelamatkan umat Islam dan misi
ajaran besar yang diembannya. Selama di Madinah, Nabi membangun kekuatan
umat di samping melakukan gerakan syiar Islam ke kabilah-kabilah atau suku
bangsa secara luas hingga ke negeri-negeri lainnya. Langkah strategis ini
dilakukan Nabi sambil mengatur cara untuk mengambil kembali Kota Makkah.
Akhirnya, terjadilah sejarah Fathu Makkah atau pembebasan Kota Makkah yang
dipimpin langsung oleh Rasulullah bersama kaum Muslimin. Pasukan Rasulullah
penuh dengan kekuatan dalam sejarah Fathu Makkah. Hal ini dipahami betul oleh
kafir Quraisy di Makkah yang saat itu di bawah komando Abu Sufyan. Namun,
kasih sayang Nabi yang begitu tinggi membuat peristiwa Fathu Makkah terjadi
tanpa setetes pun darah yang tertumpah. Revolusi besar tersebut bukan hanya
membebaskan Kota Makkah, tetapi juga membebaskan seluruh kaum kafir untuk
masuk ke dalam lindungan Nabi sehingga mereka serta merta masuk Islam.
Mentalitas anak muda sekarang terutama tidak lagi mempan jika kita mensesaki
logika mereka dengan dogma dan doktrin, kecendrungan mereka untuk malas
berfikit serta berlogika mensyaratkan kita untuk bisa meramu fomula yang lebih
ringan dan tidak menggurui jika kita memang berniat tanpa pamrih untuk mau
mengembalikan keimanan serta fitrah mereka yang seperti kain putih tanpa dosa
saat dia beru dilahirkan ibu mereka masing-masing kedunia ini.
5. Judul yang tepat dari pembahasan ini adalah ?
ISLAM ITU CINTA, PAKAI NALAR JANGAN MAIN HAKIM SENDIRI
C. KESIMPULAN
Keseimpulan yang dapat kita tarik dari tulisan tenntang hadis mengenai Usamah ini
adalah sebagai berikut:
1. Pondasi paling dasar dalam beragama terutama Islam itu sendiri adalah Tauhid,
kondisi dimana kita ajib menyakini dulu eksistensi serta keesaan serta
kemahakuasaan dari Allah SWT tanpa syarat dan total disemua aspek bukan
hanya melalui lisan saja tapi juga tindakan.
2. Kita dalam berperikehidupan sehari-hari harus mampu mengelaborasi semua
tindak tanduk kita menyerupai suri tauladan tanpa cacat kita yaitu Baginda
Rasulullah SAW. Beliau dalam berkehidupan selalu mengedepankan akal yang
dikombinasikan semurna dengan empati sehingga dalam setiap eksekusi tindakan
yang dia lakukan peluangnya untuk merugikan sesama sangat kecil.
3. Islam adalah RAHMATAN LIL ALAMIN, kita memiliki kewajiban
memproklamirkan ini ke semesta dan dunia karena memang begitulah adanya.
Oleh karena itu pemahaman yang mendalam tentang konsep hukum yang Baginda
Rasulullah SAW telah tunjukan seharusnya bisa menjadi referensi mutlak kita
sehingga peluang untuk melakukan main hakim sendiri menjadi kecil.

D. REFERENSI
1. Abu Fatiah Al-Adnani, Buku Pintar Aqidah, Sukoharjo, Setia Kawan, 2000
2. Abdullah, Syaikh, Syarah Kitab Tauhid Jakarta: Januari 2010.
3. Ad-Dahabi Muhamad Umar Husain, At-Tafsir Wal-Mufasirun, Dar Al-Fakr,
Beirut juz 1.
4. Afrizal, Lalu Heri, “Rububiyah dan Uluhiyyah sebagai Konsep Tauhid”
(Tinjauan Tafsir, Hadits dan Bahasa), Jurnal Pemikiran Islam Tasfiyah, Vol. 2,
No.1, Institut Agama Islam Nurul Hakim Lombok Barat, Desember 2022.
5. As-Salman, Abd Al-Aziz Al-Muhamad, Tanya Jawab Masalah Akidah, Jakarta:
Bina Menteng Raya Perdana, 2000.
6. As-Shiddiqie, M. Hasbi, Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Jakarta: Bulan
Bintang, tahun 1989
7. Azhari Muhammad, “Konsep Pendidikan Menurut al-Rāzī (Telaah Terhadap
Tafsir Mafātīḥ al-Ghaib )”, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Jurnal Ilmiah Islam
Futura, Vol. 13. No. 1,Desember 2022
8. Hasbi ash-Shiddieqy Teungku Muhammad, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid
atau Ilmu Kalam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
9. Imam Ar-Razi, Ruh dan Jiwa Tinjauan Filosofis dalam Persepektif Islam,
Surabaya: Risalah Gusti, tahun 2000.
10. Siradj, Said Aqiel, “Tauhid Dalam Perspektif Tassawuf”, Journal Islamica, Vol.
5, No. 1, Desember 2022
11. Umar, Syekh DR, Tauhid Urgensi Dan Manfaatnya (Jakarta: Al-Maktab
atTa’awuni, Juni 2005.

Anda mungkin juga menyukai