Anda di halaman 1dari 30

PPDH : KELOMPOK 3 GELOMBANG X

LAPORAN KASUS
ROTASI PATOLOGI ANATOMI VETERINER

Kasus Cutaneous Fibroma, Pneumonia dan Glomerulonefritis


pada Ayam Petelur PA.03

Disusun Oleh:

Dita Wahyuning Tyas, S. KH


NIM. 210130100111037

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan segala
rahmat dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Laporan
Kegiatan PPDH Rotasi Patologi Anatomi. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih dengan penuh rasa hormat dan ketulusan hati terutama kepada:
1. drh. Dyah Ayu Oktavianie A.P, M. Biotech selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Hewan dan sebagai dosen penguji atas kritik dan saran dalam penulisan laporan ini.
2. drh. Nofan Rickyawan, M.Sc, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Profesi
Dokter Hewan Universitas Brawijaya Malang.
3. Dr. drh. Handayu Untari selaku Koordinator Rotasi Patologi Anatomi dan selaku
pembimbing atas bimbingan, kritik, dan saran dalam penulisan laporan ini.
4. Suami Chandra Takashi Ara, anak Alvaro Amaditya Shiloh Ara dan keluarga besar
penulis yang selalu mendukung dalam pelaksanaan seluruh rangkaian kegiatan
koasistensi PPDH UB.
5. Kolega PPDH gelombang X, khususnya kelompok 3 atas dukungannya dalam
penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, penulis berharap kritik dan saran dari pembaca. Semoga tulisan ini dapat memberikan
manfaat dan menambah ilmu pengetahuan bukan hanya untuk penulis namun untuk
pembaca yang lain.

Malang, 27 September 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ ii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iii
DAFTAR ISI................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1 Riwayat Kasus ....................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 2
1.3 Tujuan..................................................................................... 2
1.4 Batasan Masalah .................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 3


2.1 Ayam Petelur .......................................................................... 3
2.2 Neoplasia ................................................................................ 4
2.3 Pneumonia .............................................................................. 5
2.4 Glomerulonefritis ................................................................... 5

BAB III METODOLOGI ............................................................................ 6


3.1 Metode Diagnosa.................................................................... 6
3.2 Koleksi Spesimen................................................................... 6
3.3 Pembuatan Preparat Histopatologi......................................... 6
3.4 Pengamatan dan Analisis........................................................ 7

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN..... ................................................ . 8


4.1 Deskripsi Morfologi Lesi........................................................ 8
4.2 Deskripsi Histopatologi.......................................................... 10
4.3 Deduksi Patogenesis............................................................... 13

BAB V PENUTUP........................................................................................ 17
3.1 Kesimpulan............................................................................. 17
3.2 Saran....................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 18


KASUS TANGGUNGAN ............................................................................ 21

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Demarkasi yang jelas tonjolan massa pada jaringan kulit................. 8
Gambar 4.2 Perdarahan pada pulmo...................................................................... 9
Gambar 4.3 Pembesaran pada ginjal...................................................................... 9
Gambar 4.4 Hasil pemeriksaan mikroskopis jaringan tumor Ayam PA.03........... 11
Gambar 4.5 Histopatologi pulmo........................................................................... 12
Gambar 4.6 Histopatologi Ginjal............................................................................ 13

v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Riwayat Kasus


1.1.1 Anamnesa dan Gejala Klinis
Seekor ayam petelur berumur ± 1 th dengan dengan warna coklat
kemerahan ditemukan di peternakan ayam petelur milik Sdr. Enggar.
Berdasarkan anamnesa dengan pemilik, hewan memiliki tonjolan massa pada
kulit tubuhnya dan pial serta kakinya membengkak. Hewan berhenti
berproduksi 1 minggu terakhir dan nafsu baik. Hewan telah mendapatkan
vaksinasi ND, IB, AI, IBD. Ayam dinekropsi pada tanggal 11 September 2022
dengan euthanasia menggunakan teknik emboli melalui foramen magnum.
1.1.2 Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, ayam memiliki
bobot badan 1,8 kg dan ditemukan benjolan, utamanya pada bagian leher di
bawah kulit. Pial dan kaki mengalami pembengkakan dan bulu terlihat kusam
sedangkan kloaka terlihat bersih dan tidak ada lesi.
1.1.3 Temuan Klinis
Temuan klinis pada ayam petelur PA.03 adalah adanya tonjolan massa
padat di bawah kulit dan kebengkakan pada pial dan kaki.
1.1.4 Diagnosis Banding
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan temuan klinis, diagnosa
banding kasus ini adalah tumor jinak atau tumor ganas pada jaringan kulit.
1.1.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu melalui pembuatan preparat
histopatologi dengan pewarnaan hematoxylin-eosin (HE). Pemeriksaan
histopatologi dilakukan melalui pemeriksaan terhadap perubahan abnormal
pada tingkat jaringan.
1.1.6 Diagnosis
Berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan, ayam didiagnosa mengalami cutaneous fibroma, pneumonia dan
nekrosis pada ginjal.
1.1.7 Prognosa
Prognosa dari penyakit ini adalah dubius-infausta.
1
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada studi kasus ini antara lain:
1. Apa diagnosis morfologi pada kasus diduga cutaneous fibroma, pneumonia dan
nekrosis ginjal pada ayam petelur PA.03?
2. Apa diagnosis histopatologi pada kasus diduga cutaneous fibroma, pneumonia dan
nekrosis ginjal pada ayam petelur PA.03?
3. Bagaimana patogenesis lesi pada kasus diduga cutaneous fibroma, pneumonia dan
nekrosis ginjal pada ayam petelur PA.03?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan studi kasus ini antara lain:
1. Mengetahui diagnosis morfologi pada kasus diduga cutaneous fibroma,
pneumonia dan nekrosis ginjal pada ayam petelur PA.03.
2. Mengetahui diagnosis histopatologi pada kasus diduga cutaneous fibroma,
pneumonia dan nekrosis ginjal pada ayam petelur PA.03.
3. Mengetahui patogenesis lesi pada kasus diduga cutaneous fibroma, pneumonia
dan nekrosis ginjal pada ayam petelur PA.03
1.4 Batasan Masalah
Batasan masalah dalam studi kasus ini adalah:
1. Kasus diperiksa berdasarkan pemeriksaan berbasis patologi anatomi veteriner.
2. Kasus berasal dari ayam petelur PA.03 dengan spesimen berupa jaringan.
3. Prosedur histoteknik dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya, Puncak Dieng Eksklusif,
Kalisongo, Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur, 65151.
4. Data dan informasi sekunder didapatkan dalam kurun waktu September 2022
hingga Oktober 2022.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ayam Petelur


Ayam ras petelur adalah jenis ayam unggul yang induk atau nenek moyangnya
merupakan ayam impor yang telah mengalami perbaikan genetik melalui proses persilangan
dan seleksi dengan tujuan produksi sebagai penghasil telur. Ayam petelur dibudidayakan
khusus untuk menghasilkan telur secara komersial (Putri et al., 2017). Menurut
Achmanu dan Muharlien (2011), klasifikasi ilmiah ayam petelur adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Galiformes
Famili : Phasianidae
Genus : Gallus
Spesies : Gallus domesticus
Saat ini terdapat 2 kelompok ayam petelur yaitu tipe ayam medium dan tipe
ringan. Tipe ayam petelur ringan mempunyai badan yang ramping dan kecil, bulu berwarna
putih bersih, dan berjengger merah, berasal dari galur murni white leghorn, dan mampu
bertelur lebih dari 260 telur per tahun produksi hen house. Tipe medium memiliki bobot
tubuh yang cukup berat, tidak terlalu gemuk, kerabang telur berwarna coklat dan memiliki
kemampuan bertelur yang yang berkualitas dengan jumlah yang banyak (Setiawati et al.,
2016). Menurut Putri et al., (2017), periode pertumbuhan ayam petelur dibagi
menjadi 3 fase, yaitu:
a. Periode Starter
Periode starter adalah adalah periode pemeliharaan dari DOC (Day Old Chick)
sampai umur enam minggu. Tingkat pertumbuhan ayam pada fase ini relatif cepat
dan merupakan masa yang menentukan bagi kehidupan selanjutnya. Pertumbuhan
periode starter dipengaruhi seleksi ketat yang meliputi keaktifan gerak, nafsu
makan, bobot badan seragam, tingkat kematian rendah, kaki kuat dan mata cerah.
b. Periode Grower
Fase grower pada ayam petelur, terbagi kedalam fase awal grower (umur 6 -10
minggu), dan fase developer (umur 10 - 18 minggu). Pada fase awal grower terjadi
pertumbuhan anatomi dan sistem hormonal, pada fase developer perkembangan
ditandai dengan dominansi pertumbuhan anatomi kerangka ayam dan otot
3
(daging). Periode grower secara fisik tidak mengalami perubahan yang berarti,
perubahan hanya dari ukuran tubuhnya yang semakin bertambah dan bulu yang
semakin lengkap serta kelamin sekunder yang mulai nampak. Selama periode ini
terjadi perkembangan ukuran dan terbentuknya rangka, perkembangan organ
tubuh, perkembangan hormonal, dan perkembangan organ reproduksi.
c. Periode Layer
Fase layer pada ayam ras petelur dimulai sejak umur 18 minggu sampai afkir dan
merupakan periode ayam menghasilkan telur.
2.2 Neoplasia
Neoplasia atau sering disebut tumor merupakan sekelompok sel-sel abnormal
yang merupakan hasil pembelahan sel yang berlebihan dan tak terkoordinasi, atau
dikenal dengan istilah neoplasia. Neo berarti baru, plasia berarti pertumbuhan atau
pembelahan, jadi neoplasia mengacu pada pertumbuhan sel yang baru, yang berbeda
dari pertumbuhan sel-sel di sekitarnya yang normal (Saleh, 2016). Tumor
diklasifikasikan menjadi benign tumor (tumor jinak) dan malignant tumor (tumor
ganas). Benign tumor tumbuh secara lokal menjadi besar tanpa menyerang jaringan
disekitarnya dan tidak membentuk metastase. Benign tumor tidak muncul lagi setelah
dilakukan operasi pengangkatan tumor dan hanya dapat menimbulkan kematian
secara langsung terkait dengan lokasi tumbuhnya yang membahayakan misalnya
tumor di leher yang dapat menekan saluran napas. Sedangkan malignant tumor
memiliki sel yang tumbuh tidak terkendali dan menyebar secara lokal dan/atau ke
tempat yang jauh melalui aliran darah atau sistem limfatik yang disebut metastasis.
Metastasis dapat terjadi di mana saja di tubuh dan paling sering ditemukan di hati,
paru-paru, otak, dan tulang (Patel, 2020).
Tumor disebabkan oleh mutasi dalam DNA sel. Sel memiliki mekanisme untuk
memperbaiki DNA dan mekanisme lainnya yang menyebabkan sel untuk
menghancurkan dirinya melalui apoptosis bila DNA rusak terlalu parah. Apoptosis
adalah proses aktif kematian sel yang ditandai dengan pembelahan DNA kromosom,
kondensasi kromatin, serta fragmentasi nukleus dan sel itu sendiri. Mutasi yang
mengaktifkan onkogen dan yang menekan gen untuk mekanisme tersebut biasanya
dapat memicu terjadinya kanker. Sebuah mutasi dalam satu onkogen atau satu gen
penahan tumor biasanya tidak cukup menyebabkan terjadinya tumor, dibutuhkan
sebuah kombinasi dari sejumlah mutasi (Saleh, 2016).
Cutaneous fibroma adalah benign tumor yang timbul dari fibroblas dermal atau
4
subkutan, dan terdiri dari sel-sel gelendong dengan serat kolagen bergelombang.
Cutaneous fibroma sering terjadi pada anjing, sedangkan pada hewan lain jarang
terjadi. Fiibroma dapat bersifat soliter maupun multipel. Pada pemeriksaan
histopatologi, fibroblas menghasilkan kolagen matur yang ditandai dengan pola
kolagen yang bergelombang dan tidak teratur. Diagnosis banding fibroma kulit
termasuk melanoma dan sarkoma yang juga melibatkan sel tipe gelendong (Jang et
al., 2008). Menurut Poore et al. (2018), fibroma digambarkan sebagai massa yang
tumbuh lambat, berbatas tegas, progresif, bulat hingga oval, bisa intradermal atau
subkutan. Biasanya keras, putih hingga cokelat pada permukaan potongan dan
berbatas tegas tetapi tidak terbungkus.
2.3 Pneumonia
Pneumonia merupakan penyakit yang menyerang sistem pernafasan terutama
paruparu mengakibatkan peradangan dan penimbunan cairan. Pneumonia pada
unggas dapat disebabkan oleh agen virus, bakteri atau jamur. Agen patogen terhadap
paru-paru mempunyai jalan masuk secara aerogen. Berkembang biak di jalan udara,
sel epitel dan alveoli mengakibatkan inflamasi paru-paru pada jalan udara dan
bronkointerstitial pneumonia (Adi, 2014). Penyakit virus seperti Avian influenza
(AI), Newcastle disease (ND), Infectious Bronchitis (IB), Infectious laryngotracheitis
(ILT) dan Avian metapneumovirus; penyakit bakteri seperti Mycoplasmosis,
Ornithobacterium rhinotracheale, Fowl cholera dan Infectious coryza; dan penyakit
jamur seperti Aspergillosis bertanggung jawab sebagai penyebab penyakit
pernapasan pada unggas (Ali, 2020).
2.4 Glomerulonefritis
Penyakit ginjal meliputi penyakit glomerulus, penyakit tubulus dan interstitium,
penyakit pelvis ginjal, dan kelainan perkembangan. Glomerulonefritis adalah
degenerasi atau peradangan glomerulus ginjal yang ditandai dengan perubahan
proliferasi pada membran basal glomerulus dan degenerasi hialin (Yhee et al., 2020).
Temuan kelainan histopatologi ginjal pada ayam yang terinfeksi Kolibasilosis
menunjukkan nekrosis sel tubulus, akumulasi eritrosit di korteks ginjal, dan infiltrasi
sel inflamasi pada glomerulus. Hal ini dibenarkan oleh Berata et al. (2015), yang
mengungkapkan bahwa pada ginjal akan ditemukan infiltrasi sel heterofil, dan
nekrosis. Infiltrat sel inflamasi yang dominan adalah sel polimorfonuklear heterofilik
yang menunjukkan adanya infeksi akut dan munculnya inflamasi yang disebabkan
oleh agen bakteri (Indra et al., 2022).
5
BAB 3
METODOLOGI

3.1 Metode Diagnosa


Metode diagnosa yang digunakan dalam studi kasus ini adalah pemeriksaan
histopatologi dengan pewarnaan hematoxylin-eosin (HE). Prosedur histoteknik
dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya, Puncak Dieng Eksklusif, Kalisongo, Dau, Kabupaten Malang,
Jawa Timur, 65151. Pemeriksaan histopatologi dilakukan melalui pemeriksaan
terhadap perubahan abnormal pada tingkat jaringan.
3.2 Koleksi Spesimen
Spesimen diambil melalui proses nekropsi yang dilakukan pada tanggal 11
September 2022 di dekat Peternakan Ayam Layer milik Sdr. Enggar yang berlokasi
di Kecamatan Nglegok, Kab. Blitar. Sampel selanjutnya disimpan dalam pot organ
berisi formalin 10% dan dibawa ke Laboratorium Patologi Anatomi Universitas
Brawijaya untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan dengan histoteknik pada tanggal
19 September 2022.
3.3 Pembuatan Preparat Histopatologi
Pembuatan preparat histopatologi meliputi beberapa tahap: trimming,
dehidrasi, clearing, parafinasi, embedding, sectioning, dan pewarnaan hematoxylin-
eosin (HE). Trimming dilakukan pada laboratorium basah setelah spesimen terfiksasi,
minimal selama 24 jam dalam formalin 10%. Pemotongan dilakukan menggunakan
blade tajam pada bagian yang mengalami lesi dengan dimensi 1 x 1 x 0.5 cm
menyesuaikan dengan ketebalan kaset dan ukuran jaringan. Area yang terdapat lesi
diposisikan menghadap ke bawah pada kaset. Kaset berisi organ kemuadian dibawa
ke laboratoium kering untuk dilanjutkan proses dehidrasi.
Dehidrasi dilakukan dengan memasukkan kaset berisi spesimen ke dalam
alkohol bertingkat secara berturu-turut alkohol 70%, 80%, 85%, 90%, 95%, ethanol
absolut 1, 2, dan 3 masing-masing selama satu jam. Clearing dilakukan dengan
merendam kaset ke dalam larutan xylol 1, 2, dan 3 berturut-turut masing-masing
selama 20 menit. Infiltrasi parafin dilakukan dengan memasukkan kaset ke dalam
paraffin cair 1, 2, dan 3 selama masing-masing satu jam pada suhu 56oC. Setelah
tissue processing selesai, spesimen dipindahkan dari kaset ke dalam cetakan logam
(mold) dan diposisikan area lesi menghadap ke bawah. Parafin cair lalu dituangkan

6
ke dalam cetakan untuk proses embedding. Setelah paraffin mengeras, mold
dimasukkan ke dalam freezer selama 10 menit untuk memudahkan melepas blok
paraffin dari mold. Blok paraffin kemudian diekspos dengan mikrotom ketebalan 20
µm hingga mencapai permukaan jaringan. Blok paraffin kembali dimasukkan ke
dalam freezer selama 1 jam agar permukaaannya mengeras saat dilakukan sectioning.
Setelah itu, dilakukan tahapan sectioning dengan memotong blok paraffin
menggunakaan mikrotom pada ketebalan 0.5 µm. Potongan tipis blok paraffin
kemudian dipindahkan ke dalam waterbath lalu ditempelkan pada kaca objek yang
telah diolesi dengan putih telur (ewit).
Proses pewarnaan hematoxylin-eosin (HE) dilakukan dengan memasukan
preparat ke dalam reagen-reagen dengan urutan sebagi berikut: xylol 1, 2, 3 selama
masing-masing 20 menit (deparafinasi), ethanol absolut 1, 2, 3, alkohol 95%, 90%,
85%, 80%, 70% selama masing-masing 5 menit (rehidrasi), hematoxylin selama 15
menit, alkohol asam selama 4 detik, air mengalir selama 20 menit, eosin selama 15
menit, alkohol 70%, 80%, 85%, 90%, 95%, ethanol absolut 1, 2, dan 3 masing-
masing selama 5 detik (dehidrasi), dan xylol 1, 2, 3 selama masing-masing 20 menit
(clearing). Dibiarkan preparat hingga mengering untuk selanjutnya dilakukan
mounting. Mounting dilakukan dengan menempelkan coverslip ke atas preparat yang
sudah diwarnai menggunakan Entelan.
3.4 Pengamatan dan Analisis
Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop Olympus-OptiLab Advance
Plus pada perbesaran 40 kali, 100 kali dan 400 kali. Diagnosis dan pembahasan kasus
dilakukan berdasar data-data temuan dan membandingkan dengan referensi yang ada.

7
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Morfologi Lesi

Pada ayam petelur PA.03 ditemukan kelainan berupa adanya


tonjolan/massa/tumor pada jaringan kulit. Tonjolan berupa massa kenyal dan
ditemukaan pada daerah cervicalis. Nekropsi dilakukan pada tanggal 11 Maret 2022
dan dikoleksi massa padat pada jaringan kulit. Spesimen memiliki batas yang jelas
antara jaringan abnormal dengan muskulus di sekitarnya (Gambar 4.1), sehingga
neoplasia ini termasuk dalam kategori encapsulated tumour. Neoplasia yang
memiliki batas yang jelas biasanya dikategorikan menjadi tumor jinak (benign)
(Hahn, 2002). Benign tumor tumbuh perlahan dan memiliki batas yang jelas, tidak
menyerang jaringan di sekitarnya, tidak menyerang bagian tubuh lain, sedangkan
malignant tumor dapat tumbuh dengan cepat dan memiliki batas yang tidak
beraturan, sering menginvasi jaringan sekitar, dapat menyebar ke bagian tubuh lain
melalui proses yang disebut metastasis (Patel, 2020).

Gambar 4.1 Terlihat demarkasi yang jelas tonjolan massa pada


jaringan kulit (garis merah) (Dokumentasi Pribadi,
2022)

Selain tumor jinak yang ditemukan pada kulit, pada ayam petelur PA.03 juga
ditemukan abnormalitas pada organ pulmo yang mengalami perubahan warna. Pada
pemeriksaan secara makroskopis, ditemukan adanya akumulasi darah yang diduga
adalah oedema pada pulmo (Gambar 4.2). Edema pulmonum merupakan
pengumpulan cairan di dalarn alveoli, bronkus dan jaringan interlobuler paru-paru.
Cairan ini menghambat udara yang masuk ke dalam alveoli. Karena di dalam bronkus
8
cairan itu bercampur dengan udara maka akan terbentuk busa. Ada dua bentuk edema
pulmonum, yaitu edema yang bersifat bukan radang dan edema radang. Warna dari
cairan ederma dan busa tergantung pada ada tidaknya perdarahan. Jika tidak ada
perdarahan maka cairan edema agak kekuningan dan busanya berwarna putih.
Sedangkan edema yang disertai perdarahan biasanya disebabkan akibat trauma,
infark, kerusakan pembuluh darah oleh nekrosis, pernanahan pada TBC, maleus dan
gangren paru-paru (Adi, 2014).

Gambar 4.2 Hemoraghi pada pulmo disertai edema (panah merah)


(Dokumentasi Pribadi, 2022).

Organ ginjal juga mengalami abnormalitas berupa pembengkakan dan


berwarna pucat (Gambar 4.3). Huang et al. (2017), menjelaskan bahwa ginjal
bengkak dan berwarna pucat merupakan gejala klinis dari nefritis atau radang pada
ginjal. Schmidt (2006), menyebutkan bahwa pembesaran pada ginjal dapat
disebabkan oleh faktor infeksi bakteri maupun virus. Infeksi bakteri yang masuk ke
ginjal melalui ureter atau dari aliran pembuluh darah dapat menyebabkan pembesaran
ginjal dengan derajat nekrosis yang bervariasi. Sedangkan infeksi virus dapat
menyebabkan pembesaran ginjal yang tidak spesifik dan berwarna pucat. Pembesaran
ginjal dapat juga disebabkan oleh faktor non infeksius seperti amiloidosis ginjal yang
menyebabkan ginjal mengalami pembesaran, pucat dan agak rapuh.

9
Gambar 4.3 Pembesaran pada ginjal Ayam PA.03 (panah oranye)
(Dokumentasi Pribadi, 2022)

Preparat histopatologis dibuat dengan menyayat jaringan kemudian dilakukan


fiksasi. Fiksasi sampel bertujuan untuk mengawetkan komponen seluler, mencegah
autolisis dan perpindahan konstituen sel, menstabilkan bahan seluler terhadap efek
merusak dari prosedur selanjutnya, serta memfasilitasi pewarnaan konvensional
maupun immunostaining. Ada berbagai jenis cairan fiksatif yang biasa digunakan,
antara lain formalin, cairan Bouin’s, isopentana dingin, cairan Zenker’s, dan
glutaraldehid. Untuk histopatologi rutin, formalin buffer 10% merupakan larutan
fiksatif yang paling sering digunakan karena memiliki penetrasi yang baik, tidak
melarutkan lipid, dan memungkinkan berbagai pemeriksaan pasca-fiksasi, formalin
juga merupakan pilihan yang baik untuk fiksasi berbagai jaringan spesimen. Proses
fiksasi dilakukan dengan formalin buffer 10% dengan perbandingan jaringan dengan
larutan formalin yang ideal yaitu 1:10. Waktu penetrasi formalin bervariasi
tergantung dari jenis jaringannya, namun optimalnya spesimen akan terfiksasi dalam
24–48 jam (Kudnig and Séguin, 2012; Meuten, 2017; Rosenthal, 2001).
4.2 Dekripsi Histopatologi
Pengamatan preparat histopatologis dilakukan pada jaringan tumor ayam
petelur PA.03, jaringan pulmo dan jaringan ginjal. Pada pengamatan preparat
jaringan tumor (Gambar 4.4), diketahui adanya hiperplasia seluler dari jaringan ikat
fibroblast yang ada pada lapisan dermis. Hiperplasia fibroblast menyebabkan
terjadinya penonjolan pada daerah dermal hingga sub cutan dan lebih dikenal sebagai
cutaneous fibroma. Gambaran histopatologis fibroma menunjukkan adanya fibroblast
yang menghasilkan kolagen matang dengan karakteristik bergelombang, iregular dan

10
memiliki inti non kromatik berbentuk oval (Jang et al., 2008; Movassaghi et al.,
2009). Pada pengamatan histopatologis dengan perbesaran 1000x, fibroblast terlihat
seperti sel spindel yang memiliki batas seluler yang berbeda-beda dengan sedikit
sitoplasma. Sel-sel spindel tersebar secara tinggal atu kadang-kadang nampak
menyatu membentuk gelombang halus. Nukleus memanjang hingga bulat dengan
kromatin berbintik halus dengan 1-2 nukleolus. Terdapat infiltrasi limfosit ringan
yang menunjukkan terjadinya keradangan (Sutter et al., 2009).

Gambar 4.4 Hasil pemeriksaan mikroskopis jaringan tumor ayam petelur PA.03: (A)
Perbesaran 400x: a. Str. Corneum, b. Str. Germinativum, pembuluh darah
(panah kuning), fibrosit (panah merah) dan fibroblast (panah biru) dan (B)
Perbesaran 1000x: fibroblast (panah biru) dan sel radang (panah hijau)
(Dokumentasi Pribadi, 2022).

Infeksi saluran pernafasan merupakan penyakit serius yang terjadi pada unggas
karena dapat dapat menyebabkan kerugian tinggi akibat kematian maupun turunnya
angka produksi. Beberapa bentuk lesi histopatologis yang dapat ditemukan pada
penyakit pernafasan unggas antara lain: pneumonia interstisial akut (insidensi
15,60%) yang ditandai dengan penebalan septa interalveolar dengan fibrin, infiltrasi
heterofil, limfosit dan makrofag, edema dan penebalan dinding alveolar. Pneumonia
interstisial kronis (insidensi 13,48%) dengan penebalan dinding alveolus, edema dan
infiltrasi limfosit, makrofag dan sel epiteloid. Bronkopneumonia kronis
dimanifestasikan pada 18 burung dengan kejadian 12,78% yang ditandai dengan
denudasi epitel bronkus, proliferasi fibroblastik ringan di submukosa, infiltrasi
fagosit mononuklear, sel epiteloid bersama dengan hipertrofi dan hiperplasia epitel
bronkus (Lakshman, 2006).

11
Hasil pegamatan histopatologis pada pulmo (Gambar 4.5) menunjukkan
adanya kongesti pada pembuluh vena, hemoragi parabronki, infiltrasi sel radang dan
adanya jaringan ikat pada bronkus. Secara mikroskopis kongesti paru ditandai dengan
pembengkakan kapiler darah di parabronkus, di septa jaringan ikat dan dinding
mesobronkus. Berdasarkan pengamatan histopatologis yang telah dilakukan, ayam
didiagnosa mengalami pneumonia interstitial yang ditandai dengan adanya kongesti,
penebalan dinding parabronkial dan infiltrasi leukosit yang menandakan terjadinya
peradangan (Itoo et al., 2014).

Gambar 4.5 Histopatologi pulmo. (A) Perbesaran 100x Edema (panah kuning),
(B)Perbesaran 400x. Edema (panah kuning), (C) Perbesaran 400x.
Emfisema (panah biru), (D) Penebalan septum parabronkial (panah merah)
dan infiltrasi sel radang (panah hijau) (Dokumentasi Pribadi, 2022).

Pada pengamatan histopatologi organ ginjal, nampak abnormalitas berupa


oedema dan kongesti pada pembuluh darah vena, ditemukan juga nekrosis pada
tubulus dan degenerasi pada glomerulus, serta infiltrasi sel radang (Gambar 4.6).
Degenerasi adalah hilangnya struktur sel normal sebelum kematian sel karena adanya
zat toksik. Degenerasi hidropik terjadi karena penimbunan cairan ekstraseluler akibat
gangguan mekanisme pompa natrium yang dapat disebabkan oleh iskemia
(berkurangnya aliran darah ke jaringan akibat penyumbatan atau penyempitan
12
pembuluh darah), metabolisme yang tidak normal, dan bahan kimia.

Gambar 4.6 Histopatologi ginjal. (A) Perbesaran 100x. Edema (panah kuning) dan
degenerasi (panah biru). (B) Perbesaran 400x. Kongesti (panah kuning),
degenerasi glomerulus (panah hitam) dan tubular necrosis (panah biru), (C)
Perbesaran 400x. Infiltrasi sel radang (panah merah) (Dokumentasi Pribadi,
2022).

Nekrosis adalah kematian sel jaringan akibat luka pada saat individu masih
hidup. Secara mikroskopis terjadi perubahan nukleus yaitu hilangnya kromatin,
menjadi keriput, tidak lagi vaskular, tampak lebih pekat dan gelap (piknosis),
terpecah menjadi fragmen (karioreksis), atau hilangnya nukleus (kariolisis). Nekrosis
dapat disebabkan oleh berbagai agen dan dapat menyebabkan kematian. Agen
penyebab nekrosis adalah racun kuat (arsenik dan jamur fosfor beracun lainnya) dan
gangguan metabolisme (biasanya dalam metabolisme protein). Infeksi virus dan
bakteri dapat menyebabkan kematian sel. Kongesti adalah keadaan yang
menunjukkan kelebihan volume darah pada suatu bagian pembuluh darah akibat
terlalu banyak darah yang masuk ke dalam arteri. Inflamasi sel adalah reaksi vaskular
yang mengakibatkan pengiriman cairan, zat terlarut dan sel dari sirkulasi darah ke
jaringan interstisial di daerah cedera atau nekrosis. Inflamasi atau reaksi inflamasi

13
merupakan mekanisme penting yang dibutuhkan tubuh untuk mempertahankan diri
dari berbagai bahaya yang mengganggu keseimbangan, juga memperbaiki struktur
dan gangguan fungsi jaringan yang timbul dari bahaya tersebut (Andayani et al.,
2018).
4.3 Deduksi Patogenesis
Cutaneous fibroma merupakan tumor jinak (benign) yang jarang ditemukan
pada jaringan dermal dan jarang terjadi pada hewan. Fibroma pada beberapa spesies
dapat disebabkan oleh papilloma virus. Dunn (2022), menjelaskan bahwa neoplasia
pada unggas dapat terjadi akibat infeksi virus atau idiopatik (tidak diketahui
penyebabnya). Beberapa virus yang dapat menyebabkan neoplasia pada unggas
diantaranya herpesvirus penyebab penyakit Marek’s, retrovirus penyebab Avian
Leukosis/Sarcoma dan papilloma virus. Penyakit Marek’s dan Avian Leukosis dapat
menyebabkan tumor ganas (malignant) atau kanker. Papilloma virus (virus fibroma
rusa dan virus papiloma sapi) menghasilkan tumor jaringan ikat fibrosa (Movassaghi
et al., 2009). Papilloma virus yang masuk ke dalam tubuh hospes akan menginfeksi
sel epitel, ekspresi gen papilloma virus akan memperngaruhi proliferasi sel epitel
yang terinfeksi, khususnya protein E6 dan E7 akan memicu proliferasi sel epitel
hospes. Proliferasi ini mutlak diperlukan saaat virus melakukaan replikasi. Pada
kasus cutaneous fibroma, predileksi virus pada jaringan ikat di bagian dermis
sehingga proliferasi terjadi pada fibrosit (Doorslaer et al., 2009). Fibromatosis
merupakan tumor yang tidak bermetastasis tetapi agresif secara lokal. Kejadian
fibromatosis dianggap berhubungan dengan sindrom Gardner, di mana mereka
mengandung mutasi pada gen adenomatous polyposis coli (APC) dan aktivasi hilir
berikutnya dari -catenin; Fibromatosis sporadis menunjukkan mutasi pada gen -
catenin, dengan akumulasi protein –catenin (Folpe, 2009).
Lesi non-inflamasi seperti kongesti, perdarahan, dan edema terjadi sebagai
respons terhadap iritasi yang bekerja secara langsung dan stres lingkungan, sehingga
menyebabkan hipoksia dan implikasi kardiovaskular. Aengwanich dan Simaraks
(2004), melaporkan bahwa lesi histopatologis utama pada paru-paru ayam broiler di
bawah tekanan panas terkait dengan kongesti masif vena dan arteriol, yang
menyebabkan perdarahan masif di parabronchus dan kapiler udara. Respon utama
terhadap kondisi hipoksia adalah peningkatan laju pernapasan yang disebabkan oleh
stimulasi nukleus parabrakial yang terkait dengan peningkatan denyut jantung dan
peningkatan aliran darah ke otot, otak, dan jantung. Hal ini mengakibatkan
14
peningkatan aliran darah ke paru-paru dan akhirnya terjadi kongesti, oedema dan
perdarahan (Itoo et al., 2014).
Oedema yang terjadi pada pulmo unggas dapat disebabkan karena infiltrasi sel
radang yang kemudian akan mengatifkan mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas mikrovaskuler.
Peningkatan permeabilitas yang segera diinduksi oleh mediator seperti histamin,
bradikinin, leukotrien, dan substansi P, akan menyebabkan kontraksi sel endotel dan
pelebaran celah interendotel. Pelepasan sitokin berikutnya seperti interleukin-1 (IL-
1), tumor necrosis factor (TNF), dan -interferon menginduksi penataan ulang
sitoskeletal dalam sel endotel yang mengakibatkan retraksi sel endotel dan pelebaran
celah interendotel yang lebih persisten. Pergerakan cairan intravaskular melalui celah
ini ke dalam interstitium menghasilkan edema lokal (Zachary et al., 2012).
Peradangan merupakan mekanisme pertahanan utama melawan patogen yang
menyerang. Sistem pernapasan yang sering terkena kontaminan aerosol, maka
peradangan adalah temuan umum. Pada unggas tidak terkecuali. Peradangan pada
dasarnya merupakan interaksi kompleks dari sistem imun bawaan dan adaptif.
Respon langsung melalui sistem imun bawaan yang mencirikan peradangan akut
sering diperkuat melalui inisiasi respon imun. Sifat respon inflamasi termasuk jenis
sel dan luasnya ditentukan oleh penyebab awal. Sel-sel polimorfonuklear yang terdiri
dari garis pertahanan pertama mencirikan peradangan akut. Mediator biokimia yang
dilepaskan di tempat inflamasi termasuk oksigen reaktif dan intermediet nitrogen,
selain menghancurkan patogen menyebabkan kerusakan jaringan yang mengarah
pada pembentukan eksudat. Sifat eksudat dengan demikian bervariasi dengan tingkat
keparahan peradangan yang, pada gilirannya, ditentukan oleh sifat agen penyebab.
Ketidakmampuan respon inflamasi akut untuk melawan agen penyakit menyebabkan
peradangan kronis yang ditandai dengan adanya makrofag dan limfosit, sel plasma
selain fibroplasia, dan terjadi hiperplasia epitel dan hipertrofi otot polos (Itoo et al.,
2014).
Glomerulonefritis adalah penyebab utama gangguan ginjal. Mekanisme
patogenetik glomerulonefritis sangat banyak dan kompleks, melibatkan respon imun
humoral dan seluler. Sifat respon imun yang mengarah pada glomerulonefritis sangat
dipengaruhi oleh fenotipe imunogenik. Glomerulonefritis dimulai dari terjadinya
infeksi oleh agen bakteri maupun virus. Selama proses penempelan agen, sistem
kekebalan sel aktif dan mencoba untuk menghilangkan agen, tetapi jika agen
15
penyakit memiliki kemampuan pertahanan yang kuat, seperti pertumbuhan yang
sangat cepat adanya gen resisten, mekanisme eliminasi sistem kekebalan tidak
berpengaruh signifikan. Setelah sel imun inang lemah, agen penyakit bermigrasi
kembali ke ginjal melalui aliran darah dan menempel pada sel epitel ginjal, menjajah
dan merusak jaringan ginjal melalui produksi racun dan enzim (Andayani et al.,
2018; Kazi et al., 2022).

16
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan temuan makroskopis, Ayam Petelur PA.03 didiagnosa mengalami
Cutaneous Fibroma, Pneumonia dan Glomerulonefritis.
2. Diagnosa Cutaneous Fibroma berdasarkan temuan histopatologi yaitu hiperplasia
sel fibroblast dan sifat sel yang tidak mengalami metastasis. Diagnosa Pneumonia
berdasarkan temuan histopatologi adanya kongesti, hemoragi parabronki dan
infiltrasi sel radang. Diagnosa glomerulonefritis berdasarkan temuan histopatologi
yaitu adanya oedema dan kongesti pada pembuluh darah vena, nekrosis pada
tubulus dan degenerasi pada glomerulus, serta infiltrasi sel radang.
3. Kejadian Cutaneous fibroma, pneumonia dan glomerulonefritis pada ayam
dilaporkan banyak terjadi akibat infeksi dan berkaitan dengan sistem imun bawaan
maupun adaptif.
5.2 Saran
Pemeriksaan histopatologi lanjutan dengan menggunakan imunohistokimia
sebaiknya dapat dilakukan untuk mendapatkan diagnosis definitif yang lebih
maksimal.

17
DAFTAR PUSTAKA

Achmanu dan Muharlien, 2011. Ilmu Ternak Unggas. Malang: UB Press.

Adnyana, N. K. P. S., I. Setyawati dan M. Joni. 2018. Kidney Histopathology of Gallus


gallus domesticus Infected by E. coli in Denpasar, Bali. Advances in Tropical
Biodiversity and Environmental Sciences, Vol. 2 (1): 14-17.

Adi, A. A. A. M. 2014. Buku Ajar Patologi Veteriner Sistemik: Sistem Pernafasan. Bali:
Swasta Nulus.

Ali, M. Z. 2020. Common Respiratory Diseases Of Poultry In Bangladesh: A Review.


SAARC J. Agric., Vol. 18(1): 1-13.

Berata, IK., Winaya, IBO., Adi, AAAM., and Adyana, IBM. 2015. Patologi Veteriner
Umum. Denpasar: Swasta Nulus.

Doorslaer, K. V., A. O. M. O. Sidi, K. Zanier, V. Rybin, F. Derycke`re, A. Rector, Ro. D.


Burk, E. K. Lienau, M. V. Ranst dan G. Trave. 2009. Identification of Unusual
E6 and E7 Proteins within Avian Papillomaviruses: Cellular Localization,
Biophysical Characterization, and Phylogenetic Analysis. Journal Of Virology,
Vol. 83 (17:) 8759–8770.

Folpe, A. L. 2009. Soft Tissue Tumors of the Head and Neck. Diagnostic Surgical
Pathology of The Head and Neck (2nd Ed): 647-727.

Hahn WC, Weinberg RA.. Modelling the molecular circuitry of cancer. Nat Rev Cancer,
Vol. 2: 331-341

Huang, Q., X. Gao, P. Liu, H. Lin, W. Liu, G. Liu, J. Zhang, G. Deng, C. Zhang, H. Cao,
X. Guo dan Guoliang Hu. 2017. The Relationship Between Liver-Kidney
Impairment And Viral Load After Nephropathogenic Infectious Bronchitis Virus
Infection In Embryonic Chickens. Poultry Science, Vol. 96 (6): 1589-1597.

Indra, R., , I. M. Kardena dan I. G. K. Suarjana. 2022. Identification and Pathological


Finding of Colisepticemia in Broiler. Jurnal Riset Veteriner Indonesia, Vol. 6
(1): 23-36.

Itoo, F. A., S.A. Kamil, H.M. Khan and M.M. Darzi. 2014. Histopathological Profiling of
Respiratory Tract Lesions in Chickens. SKUAST J. Res, Vol. 16 (2): 93-104.

Jang, J. S., J. H. Kim, T. K. Shin, G. J. Cho dan O. D. Kwon. 2008. A Case of Cutaneous
Fibroma in a Korean Indigenous Cattle. J Vet Clin, Vol. 25 (3): 200-201.

Kazi, A. M dan M. F. Hashmi. 2022. Glomerulonephritis. National Library of Medicine.

Kudnig, S.T., Séguin, B. 2012. Veterinary Surgical Oncology, 1st ed. Wiley Blackwell.

Lakshman, M., M. Shashikumar dan N. Rajendranath. 2006. Pathology Of Lung


Affections In Poultry- A Field Study. Indian Journal of Veterinary Pathology,
Vol. 30(1): 42-45.

Meuten, D.J. 2017. Tumors in Domestic Animals, 5th ed. Wiley Blackwell.
18
Patel, A. 2020. Benign VS Malignant Tumors. JAMA Oncology, Vol. 6 (9): 1488.

Poore, L. A., N. Duncan dan J. Williams. 2018. Unilateral subcutaneous fibroma in the
distal femoral region of a 5-year-old Nooitgedacht mare. Journal of the South
African Veterinary Association 89 (0), a1636. https://doi.org/10.4102/
jsava.v89i0.1636.

Putri, B. R. T., I. W. Sukanata dan I. B. G. Partama. 2017. Kelayaakan Usaha Peternakan


Ayam Telur Ras. Fakultas Peternaan, Universitas Udayana, Denpasar.

Rosenthal, R.C. 2001. Veterinary Oncology Secrets, 1st ed. Hanley & Belfus, Inc.

Saleh, E. 2016. Neoplasma. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas


Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta.

Schmidt, R. E. 2006. Types of Renal Disease in Avian Species. Vet Clin Exot Anim 9:
97–106.

Setiawati, T., R. Afnan dan N. Ulupi. 2016. Performa Produksi dan Kualitas Telur Ayam
Petelur pada Sistem Litter dan Cage dengan Suhu Kandang Berbeda. Jurnal Ilmu
Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan Vol. 4 (1): 197-203.

Yhee, J. Y., C. H. Yu, J. H. Kim, K. S. Im, S. K. Chon dan J. H. Sur. 2010.


Histopathological retrospective study of canine renal disease in Korea,
2003∼2008. J. Vet. Sci., Vol. 11(4): 277-283.

Zachary, J. F. dan M. D. McGavin. 2012. Pathologic Basis of Veterinary Disease 5th Ed.
ELSEVIER, Mosby.

19
20
KASUS TANGGUNGAN PATOLOGI ANATOMI
Rabu, 7 September 2022
KASUS 1
Jenis Hewan: Tikus putih
Jenis kelamin: Betina
Waktu kematian: 10.30 WIB
Waktu nekropsi: 10.30 WIB
Signalement: Tikus berwarna putih diterima dari Pak Riyanto, Singosari jenis kelamin
betina dengan preservasi menggunakan box.
BCS: 3/5
Riwayat dan Anamnesa: Tikus ditemukan mengalaami gejala klinis berupa sesak nafas
Teknik Euthanasia: Eter

Hemoragi pada pulmo Akumulasi gas pada Hemoragi pada trakea


lambung, duodenum,
jejunum dan ileum

KASUS 2
Kamis, 8 September 2022
Jenis Hewan: Ikan Mas
Jenis kelamin: Betina
Waktu kematian: 16.00 WIB
Waktu nekropsi: 16.00 WIB
Signalement: Ikan Mas berwarna hitam diperoleh dari Pasar Ikan Batu dengan berat ± 350
gram.
BCS: 3/5
Riwayat dan Anamnesa: Saat ditemukan hewan masih hidup dan mati saat dalam
perjalanan menuju Laboratorium Patologi Anatomi FKH UB. Terdapat discolorisasi pada
sisik yang diduga adalah jamur.

21
Discolorisasi operculum Lesi pada sisik diduga jamur

Discolorisasi insang Kongesti hepar

Penebalan pada jantung Nampak hifa jamur pada sisik

22
KASUS 3

Seinin, 12 September 2022


Jenis Hewan: Ayam Petelur
Jenis Kelamin: Betina
Waktu Kematian: 03.00 WIB
Waktu Nekropsi: 10.00 WIB
Signalement: Ayam ditemukan di Peternakan Ayam Petelur milik Sdr. Enggar di
Kecamatan Nglegok, Kab. Blitar.
Riwayat dan Anamnesa: Pada hari Minggu, 11 September 2022 pagi ayam masih aktif
dan makan seperti biasa. Namun sore harinya, pukul 15.00 ayam nampak lesu dan bagian
jengger sudah berwarna biru. Ayam ditemukan mati pada tanggal 12 September 2022
pukul 03.00 WIB.

Ayam sebelum dinekropsi Hemoragi pada trakea

Nodul pada air sac Diskolorisasi hepar

23
KASUS 4

KUCING
Selasa, 13 September 2022
Jenis Hewan: Kucing, Clowy
Jenis kelamin: Betina
Waktu kematian: 11 September 2022 pukul 21.00 WIB
Tanggal penerimaan: 12 September 2022
Waktu nekropsi: 13 September 2022 pukul 15.00 WIB
Preservasi: freezer
Signalement: Kucing betina hidung pesek berumur ± 1 tahun dengan berat badan ± 3 kg.
Riwayat dan Anamnesa: 2 minggu sebelum dibawa ke klinik, kucing diikawinkan di
tempat pacek. Sepulangnya, Clowy terinfeksi pinjal dan tanggal 8 September dibawa ke
Klinik Satwa Sehat Karlos. Infestasi pinjal sudah parah. Kucing dicukur dan diberikan
obat spray. 2 hari setelah perawatan, ditemukan adanya penumpukan caoraan di rongga
peritoneum.

Sebelum dinekropsi Infestasi pinjal pada kaki

Aspirasi cairan peritoneum Hidrotoraks

24
Bloat Hemoragi pada hepar

Hidronefosis Efusi pleura dan vaskulitis

Hemoragi pada paru-paru Vaskulitis pada otak

25

Anda mungkin juga menyukai