LAPORAN KASUS
ROTASI PATOLOGI ANATOMI VETERINER
Disusun Oleh:
Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan segala
rahmat dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Laporan
Kegiatan PPDH Rotasi Patologi Anatomi. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih dengan penuh rasa hormat dan ketulusan hati terutama kepada:
1. drh. Dyah Ayu Oktavianie A.P, M. Biotech selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Hewan dan sebagai dosen penguji atas kritik dan saran dalam penulisan laporan ini.
2. drh. Nofan Rickyawan, M.Sc, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Profesi
Dokter Hewan Universitas Brawijaya Malang.
3. Dr. drh. Handayu Untari selaku Koordinator Rotasi Patologi Anatomi dan selaku
pembimbing atas bimbingan, kritik, dan saran dalam penulisan laporan ini.
4. Suami Chandra Takashi Ara, anak Alvaro Amaditya Shiloh Ara dan keluarga besar
penulis yang selalu mendukung dalam pelaksanaan seluruh rangkaian kegiatan
koasistensi PPDH UB.
5. Kolega PPDH gelombang X, khususnya kelompok 3 atas dukungannya dalam
penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, penulis berharap kritik dan saran dari pembaca. Semoga tulisan ini dapat memberikan
manfaat dan menambah ilmu pengetahuan bukan hanya untuk penulis namun untuk
pembaca yang lain.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ ii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iii
DAFTAR ISI................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1 Riwayat Kasus ....................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 2
1.3 Tujuan..................................................................................... 2
1.4 Batasan Masalah .................................................................... 2
BAB V PENUTUP........................................................................................ 17
3.1 Kesimpulan............................................................................. 17
3.2 Saran....................................................................................... 17
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Demarkasi yang jelas tonjolan massa pada jaringan kulit................. 8
Gambar 4.2 Perdarahan pada pulmo...................................................................... 9
Gambar 4.3 Pembesaran pada ginjal...................................................................... 9
Gambar 4.4 Hasil pemeriksaan mikroskopis jaringan tumor Ayam PA.03........... 11
Gambar 4.5 Histopatologi pulmo........................................................................... 12
Gambar 4.6 Histopatologi Ginjal............................................................................ 13
v
BAB 1
PENDAHULUAN
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
6
ke dalam cetakan untuk proses embedding. Setelah paraffin mengeras, mold
dimasukkan ke dalam freezer selama 10 menit untuk memudahkan melepas blok
paraffin dari mold. Blok paraffin kemudian diekspos dengan mikrotom ketebalan 20
µm hingga mencapai permukaan jaringan. Blok paraffin kembali dimasukkan ke
dalam freezer selama 1 jam agar permukaaannya mengeras saat dilakukan sectioning.
Setelah itu, dilakukan tahapan sectioning dengan memotong blok paraffin
menggunakaan mikrotom pada ketebalan 0.5 µm. Potongan tipis blok paraffin
kemudian dipindahkan ke dalam waterbath lalu ditempelkan pada kaca objek yang
telah diolesi dengan putih telur (ewit).
Proses pewarnaan hematoxylin-eosin (HE) dilakukan dengan memasukan
preparat ke dalam reagen-reagen dengan urutan sebagi berikut: xylol 1, 2, 3 selama
masing-masing 20 menit (deparafinasi), ethanol absolut 1, 2, 3, alkohol 95%, 90%,
85%, 80%, 70% selama masing-masing 5 menit (rehidrasi), hematoxylin selama 15
menit, alkohol asam selama 4 detik, air mengalir selama 20 menit, eosin selama 15
menit, alkohol 70%, 80%, 85%, 90%, 95%, ethanol absolut 1, 2, dan 3 masing-
masing selama 5 detik (dehidrasi), dan xylol 1, 2, 3 selama masing-masing 20 menit
(clearing). Dibiarkan preparat hingga mengering untuk selanjutnya dilakukan
mounting. Mounting dilakukan dengan menempelkan coverslip ke atas preparat yang
sudah diwarnai menggunakan Entelan.
3.4 Pengamatan dan Analisis
Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop Olympus-OptiLab Advance
Plus pada perbesaran 40 kali, 100 kali dan 400 kali. Diagnosis dan pembahasan kasus
dilakukan berdasar data-data temuan dan membandingkan dengan referensi yang ada.
7
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Selain tumor jinak yang ditemukan pada kulit, pada ayam petelur PA.03 juga
ditemukan abnormalitas pada organ pulmo yang mengalami perubahan warna. Pada
pemeriksaan secara makroskopis, ditemukan adanya akumulasi darah yang diduga
adalah oedema pada pulmo (Gambar 4.2). Edema pulmonum merupakan
pengumpulan cairan di dalarn alveoli, bronkus dan jaringan interlobuler paru-paru.
Cairan ini menghambat udara yang masuk ke dalam alveoli. Karena di dalam bronkus
8
cairan itu bercampur dengan udara maka akan terbentuk busa. Ada dua bentuk edema
pulmonum, yaitu edema yang bersifat bukan radang dan edema radang. Warna dari
cairan ederma dan busa tergantung pada ada tidaknya perdarahan. Jika tidak ada
perdarahan maka cairan edema agak kekuningan dan busanya berwarna putih.
Sedangkan edema yang disertai perdarahan biasanya disebabkan akibat trauma,
infark, kerusakan pembuluh darah oleh nekrosis, pernanahan pada TBC, maleus dan
gangren paru-paru (Adi, 2014).
9
Gambar 4.3 Pembesaran pada ginjal Ayam PA.03 (panah oranye)
(Dokumentasi Pribadi, 2022)
10
memiliki inti non kromatik berbentuk oval (Jang et al., 2008; Movassaghi et al.,
2009). Pada pengamatan histopatologis dengan perbesaran 1000x, fibroblast terlihat
seperti sel spindel yang memiliki batas seluler yang berbeda-beda dengan sedikit
sitoplasma. Sel-sel spindel tersebar secara tinggal atu kadang-kadang nampak
menyatu membentuk gelombang halus. Nukleus memanjang hingga bulat dengan
kromatin berbintik halus dengan 1-2 nukleolus. Terdapat infiltrasi limfosit ringan
yang menunjukkan terjadinya keradangan (Sutter et al., 2009).
Gambar 4.4 Hasil pemeriksaan mikroskopis jaringan tumor ayam petelur PA.03: (A)
Perbesaran 400x: a. Str. Corneum, b. Str. Germinativum, pembuluh darah
(panah kuning), fibrosit (panah merah) dan fibroblast (panah biru) dan (B)
Perbesaran 1000x: fibroblast (panah biru) dan sel radang (panah hijau)
(Dokumentasi Pribadi, 2022).
Infeksi saluran pernafasan merupakan penyakit serius yang terjadi pada unggas
karena dapat dapat menyebabkan kerugian tinggi akibat kematian maupun turunnya
angka produksi. Beberapa bentuk lesi histopatologis yang dapat ditemukan pada
penyakit pernafasan unggas antara lain: pneumonia interstisial akut (insidensi
15,60%) yang ditandai dengan penebalan septa interalveolar dengan fibrin, infiltrasi
heterofil, limfosit dan makrofag, edema dan penebalan dinding alveolar. Pneumonia
interstisial kronis (insidensi 13,48%) dengan penebalan dinding alveolus, edema dan
infiltrasi limfosit, makrofag dan sel epiteloid. Bronkopneumonia kronis
dimanifestasikan pada 18 burung dengan kejadian 12,78% yang ditandai dengan
denudasi epitel bronkus, proliferasi fibroblastik ringan di submukosa, infiltrasi
fagosit mononuklear, sel epiteloid bersama dengan hipertrofi dan hiperplasia epitel
bronkus (Lakshman, 2006).
11
Hasil pegamatan histopatologis pada pulmo (Gambar 4.5) menunjukkan
adanya kongesti pada pembuluh vena, hemoragi parabronki, infiltrasi sel radang dan
adanya jaringan ikat pada bronkus. Secara mikroskopis kongesti paru ditandai dengan
pembengkakan kapiler darah di parabronkus, di septa jaringan ikat dan dinding
mesobronkus. Berdasarkan pengamatan histopatologis yang telah dilakukan, ayam
didiagnosa mengalami pneumonia interstitial yang ditandai dengan adanya kongesti,
penebalan dinding parabronkial dan infiltrasi leukosit yang menandakan terjadinya
peradangan (Itoo et al., 2014).
Gambar 4.5 Histopatologi pulmo. (A) Perbesaran 100x Edema (panah kuning),
(B)Perbesaran 400x. Edema (panah kuning), (C) Perbesaran 400x.
Emfisema (panah biru), (D) Penebalan septum parabronkial (panah merah)
dan infiltrasi sel radang (panah hijau) (Dokumentasi Pribadi, 2022).
Gambar 4.6 Histopatologi ginjal. (A) Perbesaran 100x. Edema (panah kuning) dan
degenerasi (panah biru). (B) Perbesaran 400x. Kongesti (panah kuning),
degenerasi glomerulus (panah hitam) dan tubular necrosis (panah biru), (C)
Perbesaran 400x. Infiltrasi sel radang (panah merah) (Dokumentasi Pribadi,
2022).
Nekrosis adalah kematian sel jaringan akibat luka pada saat individu masih
hidup. Secara mikroskopis terjadi perubahan nukleus yaitu hilangnya kromatin,
menjadi keriput, tidak lagi vaskular, tampak lebih pekat dan gelap (piknosis),
terpecah menjadi fragmen (karioreksis), atau hilangnya nukleus (kariolisis). Nekrosis
dapat disebabkan oleh berbagai agen dan dapat menyebabkan kematian. Agen
penyebab nekrosis adalah racun kuat (arsenik dan jamur fosfor beracun lainnya) dan
gangguan metabolisme (biasanya dalam metabolisme protein). Infeksi virus dan
bakteri dapat menyebabkan kematian sel. Kongesti adalah keadaan yang
menunjukkan kelebihan volume darah pada suatu bagian pembuluh darah akibat
terlalu banyak darah yang masuk ke dalam arteri. Inflamasi sel adalah reaksi vaskular
yang mengakibatkan pengiriman cairan, zat terlarut dan sel dari sirkulasi darah ke
jaringan interstisial di daerah cedera atau nekrosis. Inflamasi atau reaksi inflamasi
13
merupakan mekanisme penting yang dibutuhkan tubuh untuk mempertahankan diri
dari berbagai bahaya yang mengganggu keseimbangan, juga memperbaiki struktur
dan gangguan fungsi jaringan yang timbul dari bahaya tersebut (Andayani et al.,
2018).
4.3 Deduksi Patogenesis
Cutaneous fibroma merupakan tumor jinak (benign) yang jarang ditemukan
pada jaringan dermal dan jarang terjadi pada hewan. Fibroma pada beberapa spesies
dapat disebabkan oleh papilloma virus. Dunn (2022), menjelaskan bahwa neoplasia
pada unggas dapat terjadi akibat infeksi virus atau idiopatik (tidak diketahui
penyebabnya). Beberapa virus yang dapat menyebabkan neoplasia pada unggas
diantaranya herpesvirus penyebab penyakit Marek’s, retrovirus penyebab Avian
Leukosis/Sarcoma dan papilloma virus. Penyakit Marek’s dan Avian Leukosis dapat
menyebabkan tumor ganas (malignant) atau kanker. Papilloma virus (virus fibroma
rusa dan virus papiloma sapi) menghasilkan tumor jaringan ikat fibrosa (Movassaghi
et al., 2009). Papilloma virus yang masuk ke dalam tubuh hospes akan menginfeksi
sel epitel, ekspresi gen papilloma virus akan memperngaruhi proliferasi sel epitel
yang terinfeksi, khususnya protein E6 dan E7 akan memicu proliferasi sel epitel
hospes. Proliferasi ini mutlak diperlukan saaat virus melakukaan replikasi. Pada
kasus cutaneous fibroma, predileksi virus pada jaringan ikat di bagian dermis
sehingga proliferasi terjadi pada fibrosit (Doorslaer et al., 2009). Fibromatosis
merupakan tumor yang tidak bermetastasis tetapi agresif secara lokal. Kejadian
fibromatosis dianggap berhubungan dengan sindrom Gardner, di mana mereka
mengandung mutasi pada gen adenomatous polyposis coli (APC) dan aktivasi hilir
berikutnya dari -catenin; Fibromatosis sporadis menunjukkan mutasi pada gen -
catenin, dengan akumulasi protein –catenin (Folpe, 2009).
Lesi non-inflamasi seperti kongesti, perdarahan, dan edema terjadi sebagai
respons terhadap iritasi yang bekerja secara langsung dan stres lingkungan, sehingga
menyebabkan hipoksia dan implikasi kardiovaskular. Aengwanich dan Simaraks
(2004), melaporkan bahwa lesi histopatologis utama pada paru-paru ayam broiler di
bawah tekanan panas terkait dengan kongesti masif vena dan arteriol, yang
menyebabkan perdarahan masif di parabronchus dan kapiler udara. Respon utama
terhadap kondisi hipoksia adalah peningkatan laju pernapasan yang disebabkan oleh
stimulasi nukleus parabrakial yang terkait dengan peningkatan denyut jantung dan
peningkatan aliran darah ke otot, otak, dan jantung. Hal ini mengakibatkan
14
peningkatan aliran darah ke paru-paru dan akhirnya terjadi kongesti, oedema dan
perdarahan (Itoo et al., 2014).
Oedema yang terjadi pada pulmo unggas dapat disebabkan karena infiltrasi sel
radang yang kemudian akan mengatifkan mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas mikrovaskuler.
Peningkatan permeabilitas yang segera diinduksi oleh mediator seperti histamin,
bradikinin, leukotrien, dan substansi P, akan menyebabkan kontraksi sel endotel dan
pelebaran celah interendotel. Pelepasan sitokin berikutnya seperti interleukin-1 (IL-
1), tumor necrosis factor (TNF), dan -interferon menginduksi penataan ulang
sitoskeletal dalam sel endotel yang mengakibatkan retraksi sel endotel dan pelebaran
celah interendotel yang lebih persisten. Pergerakan cairan intravaskular melalui celah
ini ke dalam interstitium menghasilkan edema lokal (Zachary et al., 2012).
Peradangan merupakan mekanisme pertahanan utama melawan patogen yang
menyerang. Sistem pernapasan yang sering terkena kontaminan aerosol, maka
peradangan adalah temuan umum. Pada unggas tidak terkecuali. Peradangan pada
dasarnya merupakan interaksi kompleks dari sistem imun bawaan dan adaptif.
Respon langsung melalui sistem imun bawaan yang mencirikan peradangan akut
sering diperkuat melalui inisiasi respon imun. Sifat respon inflamasi termasuk jenis
sel dan luasnya ditentukan oleh penyebab awal. Sel-sel polimorfonuklear yang terdiri
dari garis pertahanan pertama mencirikan peradangan akut. Mediator biokimia yang
dilepaskan di tempat inflamasi termasuk oksigen reaktif dan intermediet nitrogen,
selain menghancurkan patogen menyebabkan kerusakan jaringan yang mengarah
pada pembentukan eksudat. Sifat eksudat dengan demikian bervariasi dengan tingkat
keparahan peradangan yang, pada gilirannya, ditentukan oleh sifat agen penyebab.
Ketidakmampuan respon inflamasi akut untuk melawan agen penyakit menyebabkan
peradangan kronis yang ditandai dengan adanya makrofag dan limfosit, sel plasma
selain fibroplasia, dan terjadi hiperplasia epitel dan hipertrofi otot polos (Itoo et al.,
2014).
Glomerulonefritis adalah penyebab utama gangguan ginjal. Mekanisme
patogenetik glomerulonefritis sangat banyak dan kompleks, melibatkan respon imun
humoral dan seluler. Sifat respon imun yang mengarah pada glomerulonefritis sangat
dipengaruhi oleh fenotipe imunogenik. Glomerulonefritis dimulai dari terjadinya
infeksi oleh agen bakteri maupun virus. Selama proses penempelan agen, sistem
kekebalan sel aktif dan mencoba untuk menghilangkan agen, tetapi jika agen
15
penyakit memiliki kemampuan pertahanan yang kuat, seperti pertumbuhan yang
sangat cepat adanya gen resisten, mekanisme eliminasi sistem kekebalan tidak
berpengaruh signifikan. Setelah sel imun inang lemah, agen penyakit bermigrasi
kembali ke ginjal melalui aliran darah dan menempel pada sel epitel ginjal, menjajah
dan merusak jaringan ginjal melalui produksi racun dan enzim (Andayani et al.,
2018; Kazi et al., 2022).
16
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan temuan makroskopis, Ayam Petelur PA.03 didiagnosa mengalami
Cutaneous Fibroma, Pneumonia dan Glomerulonefritis.
2. Diagnosa Cutaneous Fibroma berdasarkan temuan histopatologi yaitu hiperplasia
sel fibroblast dan sifat sel yang tidak mengalami metastasis. Diagnosa Pneumonia
berdasarkan temuan histopatologi adanya kongesti, hemoragi parabronki dan
infiltrasi sel radang. Diagnosa glomerulonefritis berdasarkan temuan histopatologi
yaitu adanya oedema dan kongesti pada pembuluh darah vena, nekrosis pada
tubulus dan degenerasi pada glomerulus, serta infiltrasi sel radang.
3. Kejadian Cutaneous fibroma, pneumonia dan glomerulonefritis pada ayam
dilaporkan banyak terjadi akibat infeksi dan berkaitan dengan sistem imun bawaan
maupun adaptif.
5.2 Saran
Pemeriksaan histopatologi lanjutan dengan menggunakan imunohistokimia
sebaiknya dapat dilakukan untuk mendapatkan diagnosis definitif yang lebih
maksimal.
17
DAFTAR PUSTAKA
Adi, A. A. A. M. 2014. Buku Ajar Patologi Veteriner Sistemik: Sistem Pernafasan. Bali:
Swasta Nulus.
Berata, IK., Winaya, IBO., Adi, AAAM., and Adyana, IBM. 2015. Patologi Veteriner
Umum. Denpasar: Swasta Nulus.
Folpe, A. L. 2009. Soft Tissue Tumors of the Head and Neck. Diagnostic Surgical
Pathology of The Head and Neck (2nd Ed): 647-727.
Hahn WC, Weinberg RA.. Modelling the molecular circuitry of cancer. Nat Rev Cancer,
Vol. 2: 331-341
Huang, Q., X. Gao, P. Liu, H. Lin, W. Liu, G. Liu, J. Zhang, G. Deng, C. Zhang, H. Cao,
X. Guo dan Guoliang Hu. 2017. The Relationship Between Liver-Kidney
Impairment And Viral Load After Nephropathogenic Infectious Bronchitis Virus
Infection In Embryonic Chickens. Poultry Science, Vol. 96 (6): 1589-1597.
Itoo, F. A., S.A. Kamil, H.M. Khan and M.M. Darzi. 2014. Histopathological Profiling of
Respiratory Tract Lesions in Chickens. SKUAST J. Res, Vol. 16 (2): 93-104.
Jang, J. S., J. H. Kim, T. K. Shin, G. J. Cho dan O. D. Kwon. 2008. A Case of Cutaneous
Fibroma in a Korean Indigenous Cattle. J Vet Clin, Vol. 25 (3): 200-201.
Kudnig, S.T., Séguin, B. 2012. Veterinary Surgical Oncology, 1st ed. Wiley Blackwell.
Meuten, D.J. 2017. Tumors in Domestic Animals, 5th ed. Wiley Blackwell.
18
Patel, A. 2020. Benign VS Malignant Tumors. JAMA Oncology, Vol. 6 (9): 1488.
Poore, L. A., N. Duncan dan J. Williams. 2018. Unilateral subcutaneous fibroma in the
distal femoral region of a 5-year-old Nooitgedacht mare. Journal of the South
African Veterinary Association 89 (0), a1636. https://doi.org/10.4102/
jsava.v89i0.1636.
Rosenthal, R.C. 2001. Veterinary Oncology Secrets, 1st ed. Hanley & Belfus, Inc.
Schmidt, R. E. 2006. Types of Renal Disease in Avian Species. Vet Clin Exot Anim 9:
97–106.
Setiawati, T., R. Afnan dan N. Ulupi. 2016. Performa Produksi dan Kualitas Telur Ayam
Petelur pada Sistem Litter dan Cage dengan Suhu Kandang Berbeda. Jurnal Ilmu
Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan Vol. 4 (1): 197-203.
Zachary, J. F. dan M. D. McGavin. 2012. Pathologic Basis of Veterinary Disease 5th Ed.
ELSEVIER, Mosby.
19
20
KASUS TANGGUNGAN PATOLOGI ANATOMI
Rabu, 7 September 2022
KASUS 1
Jenis Hewan: Tikus putih
Jenis kelamin: Betina
Waktu kematian: 10.30 WIB
Waktu nekropsi: 10.30 WIB
Signalement: Tikus berwarna putih diterima dari Pak Riyanto, Singosari jenis kelamin
betina dengan preservasi menggunakan box.
BCS: 3/5
Riwayat dan Anamnesa: Tikus ditemukan mengalaami gejala klinis berupa sesak nafas
Teknik Euthanasia: Eter
KASUS 2
Kamis, 8 September 2022
Jenis Hewan: Ikan Mas
Jenis kelamin: Betina
Waktu kematian: 16.00 WIB
Waktu nekropsi: 16.00 WIB
Signalement: Ikan Mas berwarna hitam diperoleh dari Pasar Ikan Batu dengan berat ± 350
gram.
BCS: 3/5
Riwayat dan Anamnesa: Saat ditemukan hewan masih hidup dan mati saat dalam
perjalanan menuju Laboratorium Patologi Anatomi FKH UB. Terdapat discolorisasi pada
sisik yang diduga adalah jamur.
21
Discolorisasi operculum Lesi pada sisik diduga jamur
22
KASUS 3
23
KASUS 4
KUCING
Selasa, 13 September 2022
Jenis Hewan: Kucing, Clowy
Jenis kelamin: Betina
Waktu kematian: 11 September 2022 pukul 21.00 WIB
Tanggal penerimaan: 12 September 2022
Waktu nekropsi: 13 September 2022 pukul 15.00 WIB
Preservasi: freezer
Signalement: Kucing betina hidung pesek berumur ± 1 tahun dengan berat badan ± 3 kg.
Riwayat dan Anamnesa: 2 minggu sebelum dibawa ke klinik, kucing diikawinkan di
tempat pacek. Sepulangnya, Clowy terinfeksi pinjal dan tanggal 8 September dibawa ke
Klinik Satwa Sehat Karlos. Infestasi pinjal sudah parah. Kucing dicukur dan diberikan
obat spray. 2 hari setelah perawatan, ditemukan adanya penumpukan caoraan di rongga
peritoneum.
24
Bloat Hemoragi pada hepar
25