Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“PENYUSUNAN SKALA PSIKOLOGIS”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Assesmen Teknik Non Tes

Dosen Pengampu : Rizki Putra Ayu Distira, M.Pd

Disusun oleh kelompok 9 :


1. Alfiana Lailatun Nadhifah (220801004)
2. Siti Maiyasaroh (220801023)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI BOJONEGORO

TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas pembuatan makalah mata kuliah Assesmen Teknik Non
Tes yang berjudul “ Penyusunan Skala Psikologis” tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang di
berikan oleh Bapak Rizki Putra Ayu Distira, M.Pd . Selaku dosen pengampu mata kuliah Assesmen
Teknik Non Tes. Selain itu pembuatan makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
sosialisasi bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Rizki Putra Ayu Distira, M.Pd. Selaku
dosen pengampu. Serta kepada semua pihak yang telah membagi pengetahuannya sehingga dapat
kami jadikan referensi sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah
yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
sangat kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Bojonegoro, 02 November 2023

Yang menyatakan,

Penyusun Kelompok 9

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1

1.1 LATAR BELAKANG ................................................................................................................ 1

1.2 RUMUSAN MASALAH ........................................................................................................... 2

1.3 TUJUAN MASALAH ................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 3

2.1 KARAKTERISTIK SKALA PSIKOLOGI................................................................................ 3

2.2 TUJUAN DAN MANFAAT SKALA PSIKOLOGI.................................................................. 7

2.3 SYARAT SKALA PSIKOLOGI YANG BAIK ........................................................................ 8

2.4 ELEMEN SKALA PSIKOLOGI ............................................................................................. 10

2.5 JENIS SKALA PSIKOLOGI ................................................................................................... 11

2.6 LANGKAH DASAR MENYUSUN SKALA PSIKOLOGI .................................................... 12

BAB III PENUTUP ........................................................................................................................... 15

3.1 KESIMPULAN ........................................................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pengukuran adalah bagian esensial kegiatan keilmuan. Psikologi sebagai cabang ilmu
pengetahuan yang relatif lebih muda harus banyak berbuat dalam hal pengukuran ini agar
eksistensinya, baik dilihat dari segi teori maupun aplikasi makin mantap. Ilmu pengukuran
(measurement)merupakan cabang dari ilmu statistika terapan yang bertujuan membangun
dasar-dasar pengembangan tesyang lebih baik sehingga dapat menghasilkan tes yang
berfungsi secara optimal, valid, dan reliable. Dasar-dasar pengembangan tes tersebut
dibangun di atas model-model matematika yang secara berkesinambungan terus diuji
kelayakannya oleh ilmu psikometri.

Pengukuran itu sendiri, dapat didefinisikan sebagai “measurement is the assignment of


numerals to object or events according to rules” (Steven,1946). Atau disebut juga
“measurement is rules forassigning numbers to objects in such a way as to represent quantities
of attributes” (Nunnaly, 1970). Pengukuran adalah suatu prosedur pemberian angka
(kuantifikasi) terhadap atribut atau variablesepanjang suatu kontinum. Secara garis besar
kontinum dibagi menjadi dua bagian, yaitu kontinum fisikdan kontinum psikologis. Kontinum
fisik adalah suatu kontinum pengukuran yang menggunakan skalafisik. Pengukuran yang
menggunakan skala fisik akan menghasilkan kontinum. kontinum seperti:kontinum berat,
kontinum kecepatan, dan kontinum tinggi dan lain sebagainya. Sedangkankontinum
psikologis adalah kontinum pengukuran yang menggunakan skala psikologis.Secara
operasional, pengukuran merupakan suatu prosedur perbandingan antara atributyang hendak
diukur dengan alat ukurnya.

Karakteristik pengukuran yang pertama adalah sebagai berikut:(1) merupakan


perbandingan antara atribut yang diukur dengan alat ukurnya; (2) hasilnyadinyatakan secara
kuantitatif; dan (3) hasilnya bersifat deskriptif. Misalnya, kuantifikasi tinggi badandilakukan
dengan membandingkan tinggi (badan) sebagai atribut fisik dengan meteran sebagai alat
ukur.Oleh karena itu pada karakteristik pertama disebutkan bahwa yang dibandingkan adalah
atribut.Artinya, apa yang diukur adalah atribut atau dimensi dari sesuatu, bukan sesuatu itu
sendiri.Sebaga contoh kita tidak dapat mengukur sebuah meja karena yang kita ukur bukanlah
meja sebagai benda melainkan dimensi meja, semisal panjang atau lebarnya. Kita tidak pula
dapat mengukur manusiakarena yang dapat kita ukur adalah atribut manusianya semisal

1
intelegensi atau prestasinya. Pengertian ini membawa makna bahwa: (1) benda atau manusia
yang dimensinya diukur merupakan subjek pengukuran, bukan objek; dan (2) kita hanya akan
mengetahui alat ukurnya apabila atributyang hendak diukur telahdiketahui lebih dahulu. Maka
dari itu di makalah ini akan kami bahas tentang bagaimana penyusunan skala psikologis.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik rumusan permasalahan antara lain:

1. Bagaimana Karakteristik Skala Psikologi?


2. Apakah Tujuan Dan Manfaat Skala Psikologi?
3. Bagaimana Syarat Skala Psikologi Yang Baik?
4. Apasaja Elemen Skala Psikologi?
5. Apa Saja Jenis Skala Psikologi?
6. Bagaimana Langkah Dasar Menyusun Skala Psikologi?

1.3 TUJUAN MASALAH


Adapun tujuan dari makalah ini yaitu :

1. Untuk Mengetahui Tentang Karakteristik Skala Psikologi.


2. Untuk Mengetahui Tentang Tujuan Dan Manfaat Skala Psikologi.
3. Untuk Mengetahui Tentang Bagaimana Syarat Skala Psikologi Yang Baik.
4. Untuk Mengetahui Tentang Apasaja Elemen Skala Psikologi.
5. Untuk Mengetahui Tentang Apa Saja Jenis Skala Psikologi.
6. Untuk Mengetahui Tentang Bagaimana Langkah Dasar Menyusun Skala Psikologi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KARAKTERISTIK SKALA PSIKOLOGI


Psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang dinamika kejiwaan
manusia melalui perilaku. Hal ini dikarenakan jiwa merupakan objek yang sulit untuk dilihat
dan diamati. Padahal, psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat empiris, artinya
objek kajiannya harus bersifat dapat diukur dan diamati. Oleh karena itu, untuk memahami
dan mengkaji dinamika kejiwaan tersebut, diperlukan sesu-atu yang lebih dapat terlihat dan
merupakan manifestasi dari kejiwaan itu. Maka, psikologi mengamati perilaku dari manusia
karena perilaku merupakan cerminan dari dinamika kejiwaan dan mental. Dalam
perkembangannya, psikologi menggunakan berbagai pendekatan penelitian. Salah satunya
adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan penelitian kuantitatif adalah pendekatan yang
digunakan untuk meneliti suatu variabel dengan berorientasi pada proses pengukuran. Oleh
karena itu, pendekatan penelitian kuantitatif memiliki hasil akhir berupa angka atau skor.
Dalam pendekatan ini, diperlukan suatu alat guna mengukur variabel atau perilaku. Salah satu
alatnya sering kali dikenal degan skala psikologi. Banyak yang salah paham bahwa skala
psikologi itu sama dengan angket. Padahal, keduanya memiliki perbedaan. Menurut Saifuddin
(2019), perbedaan skala psikologi dengan angket adalah sebagai berikut:

1. Sifat Data
Data dari skala psikologi bersifat subjektif. Subjektif ini bukan berarti tidak objektif,
karena alat ukur psikologi (termasuk skala psikologi) harus memenuhi asas objektif.
Subjektif dalam hal ini lebih bermaksud bahwa jawaban antarsubjek penelitian bisa jadi
tidak dalam taraf yang sama, meskipun sama-sama memilih satu jawaban. Misalkan,
skala ber- bentuk likert, yang menyediakan lima alternatif jawaban, yaitu sangat sesuai,
sesuai, netral, tidak sesuai, dan sangat tidak sesuai. Bisa jadi, subjek A dan B sama-sama
menjawab “sesuai untuk pernyataan nomor 1. Menurut aturan, skor dari pilihan jawaban
"sesuai" adalah 4. Akan tetapi, jika dikuantifikasikan lebih jauh, taraf atau tingkat dari
jawaban "sesuai" pada subjek A dan B bisa jadi berbeda. "Sesuai"nya subjek A bisa
berada pada tingkat 8 (skala 1-10), sedangkan "sesuai"nya subjek B berada pada angka 7
(skala 1-10).
Jika data skala psikologi bersifat subjektif, maka data dari angket bersifat faktual.
Misalkan, dalam angket sering kali mengungkap latar belakang subjek penelitian seperti
tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, jumlah saudara, luas rumah, tingkat penghasilan,

3
jumlah alat transportasi yang dimiliki, dan data lainnya. Data-data ini bersifat faktual, ada
wujud dari masing-masing jawaban. Selain itu, jawaban yang sama antar-subjek
penelitian juga berdampak pada kesamaan wujud dari jawaban tersebut. Contohnya,
ketika subjek A dan subjek B memiliki tingkat pendidikan SMA, artinya keduanya sama-
sama menempuh pendidikan SMA dan pendidikan SMA di seluruh Indonesia memiliki
kesamaan fase dan tahapan.

2. Arah Pertanyaan

Salah satu tanda dari skala psikologi yang baik adalah ketika seseorang tidak
memahami skala psikologi tersebut mengukur variabel apa dalam dirinya. Hal ini bertujuan
untuk menjamin objektivitas jawaban dari subjek penelitian. Jika arah pertanyaan pada
skala psikologi sangat jelas, maka dikhawatirkan memunculkan sikap social desirability
(perilaku subjek penelitian memberikan jawaban sesuai dengan harapan sosial atau yang
seharusnya) atau faking good (berpura-pura baik). Padahal, sikap atau perilaku subjek
penelitian yang sebenarnya sering kali tidak bersesuaian dengan harapan atau norma sosial.
Contohnya, untuk mengetahui tingkat motivasi belajar seseorang, seseorang tidak langsung
ditanya "bagaimana motivasi belajarnya?", akan tetapi seseorang diberikan beberapa
pernyataan yang menjadi indikator atau tanda dari motivasi belajar.

Berbeda dengan angket, arah pertanyaannya sangat jelas. Sehingga, subjek penelitian
bisa memberikan jawaban yang faktual, Arah pertanyaan angket yang jelas dan langsung
ini dikarenakan angket bukan alat ukur yang menggali kepribadian atau kognisi seseorang.
Angket hanya bertujuan sebatas mengetahui data faktual subjek penelitian atau pendapat
subjek penelitian terhadap fenomena. Maka dari itu, angket tidak berpotensi memunculkan
sikap social desirability.

3. Kesadaran pada Tujuan Pengukuran


Karena arah pertanyaan pada skala atau alat ukur psikologis tidak langsung, maka
subjek penelitian tidak sadar bahwa salah satu variabel psikologisnya sedang diukur atau
diteliti dengan skala tersebut. Semakin subjek penelitian tidak sadar dan tidak mengetahui
variabel psikologis apa yang sedang diukur atau diteliti, maka semakin objektif jawaban
yang diberikan oleh subjek penelitian. Sebaliknya, jika subjek penelitian mengetahui alat
ukur psikologis tersebut mengukur salah satu variabel psikologis di dalam dirinya, maka
kemungkinan subjek penelitian memberikan jawaban yang ideal sangat besar, meskipun
jawabannya tidak sesuai dengan yang terjadi. Padahal, dalam alat ukur psikologis atau
skala, jawaban yang tepat adalah jawaban yang terjadi atau sesuai dengan kondisi subjek

4
penelitian, bukan jawaban yang seharusnya atau jawaban yang ideal. Maka dari itu, skala
yang baik adalah yang tidak memunculkan kesadaran pada diri subjek penelitian akan
jawaban ideal.

Sebaliknya, ketika seseorang diberikan angket maka seseorang sadar bagian apa yang
sedang dikaji. Jika seseorang diberikan angket yang menanyakan nama orang tua, kondisi
perkawinan orang tua, jumlah saudara, profil setiap saudara, maka seseorang paham
bahwa angket tersebut ingin mengungkap latar belakang keluarga. Ketika seseorang
diberikan angket yang berisi pertanyaan tentang prestasi yang pernah didapatkan, tingkat
pendidikan, dan sekolah, maka subjek penelitian sadar bahwa angket tersebut ingin
mengungkap latar belakang pendidikan. Ketika seseorang diberikan angket yang berisi
pertanyaan tentang pekerjaan, luas rumah, tingkat penghasilan setiap bulan, jumlah alat
transportasi yang dimiliki, maka seseorang akan sadar bahwa dirinya sedang diungkap sisi
latar belakang ekonominya atau tingkat kekayaannya.

4. Penilaian
Penilaian pada skala memiliki prosedur tersendiri. Artinya, jika prosedur penilaian ini
tidak dipatuhi, maka akan terjadi bias hasil pengukuran. Dengan kata lain, skor yang
dianalisis tidak dapat menggambarkan kondisi subjek penelitian yang sebenarnya. Contoh
prosedur penilaian ini misalkan pada skala yang berbentuk likert. Skala dengan bentuk
likert sering kali menggunakan empat alternatif jawaban: sangat sesuai, sesuai, tidak
sesuai, sangat tidak sesuai. Dalam skala likert juga mengandung dua model soal, yaitu
favourable dan unfavourable (akan dibahas di bagian selanjutnya secara tersendiri).
Untuk butir pernyataan favourable, memiliki prosedur penilaian sebagai berikut: jika
subjek menjawab sangat sesuai maka bernilai 4, sesuai bernilai 3, tidak sesuai bernilai 2,
sangat tidak sesuai bernilai 1. Sebaliknya, untuk butir pernyataan unfavourable, jika
subjek menjawab sangat sesuai bernilai 1, sesuai bernilai 2, tidak sesuai bernilai 3, dan
sangat tidak sesuai bernilai 4. Prosedur lain adalah untuk skala sikap, tidak ada nilai 0
karena kaidahnya adalah tidak ada jawaban benar dan salah dalam skala sikap. Adapun,
dalam skala kognitif terdapat nilai 0 jika subjek salah menjawab dan nilai 1 jika subjek
benar menjawab. Prosedur penilaian ini harus dipatuhi. Adapun, dalam angket tidak ada
prosedur penilaian. Setiap jawaban dari angket tinggal dituliskan apa adanya, kemudian
diolah dengan cara mempresentasikannya. Maka dari itu, model penilaian angket ini
adalah klasifikasi. Misalkan, angket yang mengungkap kepuasan terhadap pemerintahan,
akan menghasilkan data klasifikasi 50% menyatakan puas, 30% menyatakan tidak puas,
dan 20% menyatakan tidak tahu.

5
5. Jumlah Konstruk yang Diungkap
Skala psikologi hanya dapat mengukur atau mengungkap satu konstruk atau satu
variabel psikologis saja. Sehingga, dalam satu skala ti- dak dapat disusun dari beberapa
variabel psikologis. Hal ini dikarenakan skala psikologis bertujuan ingin mengungkap
suatu variabel psikologis tertentu. Oleh karena itu, ketika skala psikologis disusun dari
berbagai variabel, maka tujuan tersebut tidak dapat tercapai. Di sisi lain, skala psikologis
harus memiliki validitas yang jelas, yaitu ketepatan sasaran pengukuran. Jika skala
psikologis tersusun dari berbagai variabel, maka sama halnya bahwa skala tersebut tidak
memiliki validitas. Adapun angket dapat mengungkap banyak konstruk. Karena angket
tidak disusun berdasarkan suatu variabel atau kerangka teoretis tertentu. Apa pun yang
ingin diungkap oleh angket, maka dapat ditanyakan dalam angket tersebut. Selain itu,
angket dapat mengungkap banyak konstruk karena dalam angket tidak ada prosedur
penilaian. Apapun, dalam skala terdapat prosedur penilaian tertentu.

6. Reliabilitas
Reliabilitas adalah daya konsistensi suatu skala psikologi. Salah satu syarat dari alat
ukur psikologi yang baik adalah memiliki reliabilitas yang tinggi. Untuk mengetahui
tingkat reliabilitas alat ukur psikologi ini, perlu diadakan uji coba alat ukur. Hasil dari uji
coba alat ukur ini kemudian diolah dan dianalisis sehingga menghasilkan kesimpulan
mengenai reliabilitas alat ukur tersebut. Sederhananya, alat ukur psikologi perlu diuji
cobakan sebelum dipakai untuk mengetahui reliabilitasnya. Berbeda dengan alat ukur
psikologi, angket tidak perlu diketahui reliabilitasnya. Artinya, pembuatan angket tidak
diperlukan uji coba. Sejauh pertanyaan yang dibuat dalam angket mewakili tujuan secara
jelas dan tidak multitafsir, maka angket tersebut dipastikan memiliki konsistensi atau
reliabilitas.

7. Validitas
Syarat lain dari alat ukur psikologis yang baik adalah memiliki validitas yang tinggi.
Validitas adalah sejauh mana alat ukur psikologis mengukur variabel yang hendak diukur.
Sederhananya, alat ukur psikologis tersebut dapat mengukur secara tepat atau tidak.
Secara singkat, validitas ini dapat dicapai dengan beberapa cara, misalkan membuat alat
ukur psikologis berdasarkan teori yang benar-benar menggambarkan fenomena atau
masalah yang hendak dikaji, kemudian dibuat blue print alat ukur, yang melahirkan butir-
butir pernyataan yang merepresentasikan aspek-aspek teori variabel tersebut, lalu dinilai

6
oleh para ahli atau profesional (profesional judgement). Dengan kata lain, alat ukur
psikologis harus terbuat dari konsep yang jelas.

2.2 TUJUAN DAN MANFAAT SKALA PSIKOLOGI


Secara garis besar, terdapat dua tujuan skala psikologi. Pertama, tujuan diagnosis.
Diagnosis adalah proses menentukan permasalahan atau kondisi seseorang pada saat ini.
Diagnosis bisa dilakukan salah satu caranya adalah menggunakan skala psikologi. Diagnosis
ini didasarkan atas data yang ada dalam skala psikologi yang telah diisi oleh individu.
Misalkan, ketika hendak mendiagnosis seseorang mengalami depresi, maka bisa
menggunakan Beck Deppression Inventory (BDI). Setelah seseorang mengisi BDI, maka skor
BDI tersebut diolah dan diklasifikasikan sehingga mendapatkan kesimpulan mengenai
kondisi depresi yang dialami. Kesimpulan ini bertujuan untuk menegakkan diagnosis.

Kedua, tujuan prognosis. Prognosis merupakan prediksi atas peluang kesembuhan.


Misalkan, ketika seseorang mengalami depresi tingkat berat, maka dapat disimpulkan bahwa
seseorang tersebut harus segera mendapatkan pertolongan dan pendampingan psikologis. Jika
tidak segera dibantu, maka gangguan depresinya bisa semakin parah dan bisa mengakibatkan
permasalahan lain. Contoh lagi, ketika seseorang memiliki inteligensi yang superior
(diketahui dari pengukuran dengan menggunakan skala inteligensi), maka seseorang tersebut
tidak akan mengalami kesulitan ketika bersekolah di jurusan ilmu pasti. Ketika seseorang
memiliki motivasi yang rendah (diketahui dari pengukuran menggunakan skala motivasi),
maka diprediksi orang tersebut akan mengalami hambatan dalam melakukan aktivitasnya. Di
sisi lain, skala psikologi juga memiliki manfaat. Pertama, skala psikologi bermanfaat di
bidang penelitian yang berhubungan dengan perilaku manusia. Baik penelitian skripsi, tesis,
disertasi, dosen, maupun penelitian lembaga. Bukan hanya penelitian di rumpun ilmu pasti
saja, skala psikologi juga bermanfaat di penelitian ilmu sosial. Terlebih lagi, ketepatan
penggunaan skala psikologi ini termasuk salah satu syarat validitas internal penelitian. Kedua,
skala psikologi bermanfaat dalam proses seleksi. Seleksi merupakan proses untuk memilih
orang atau sekelompok orang dalam konteks tertentu dengan menggunakan standar tertentu.
Dalam proses seleksi tersebut, dapat menggunakan skala psikologi. Skor hasil pengisian skala
psikologi tersebut kemudian diurutkan dan diklasifikasikan sehing ga didapatkan orang-orang
yang lulus seleksi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Misalkan, seleksi asisten dosen
mengharuskan pelamar memiliki kriteria motivasi yang baik. Maka, pelamar diminta mengisi
skala motivasi yang kemudian menghasilkan skor. Skor tersebut kemudian diklasifikasikan,
pelamar dengan klasifikasi motivasi tinggi berdasarkan skor akan diterima.

7
Ketiga, skala psikologi bermanfaat untuk evaluasi. Evaluasi ini bersifat menilai proses
yang telah terjadi. Dengan skala psikologi, seseorang bisa memberikan penilaian terhadap
orang lain. Contohnya, mahasiswa memberikan evaluasi kinerja dosen dengan menggunakan
skala kinerja, atasan memberikan evaluasi kinerja terhadap bawahan menggunakan skala
kinerja, dan sebagainya. Dengan demikian, didapatkan kesimpulan bahwa skala psikologi
sebagai salah satu alat ukur memiliki beberapa tujuan dan manfaat. Tujuan skala psikologi
sebagai alat ukur adalah untuk membantu diagnosis perilaku seseorang atau kelompok serta
membantu prognosis untuk memprediksi perilaku di masa mendatang. Di sisi lain, skala
psikologi sebagai alat ukur bermanfaat dalam proses penelitian, seleksi, dan evaluasi.

2.3 SYARAT SKALA PSIKOLOGI YANG BAIK


Skala psikologi memiliki peran penting dalam menentukan tinggi atau rendahnya
suatu variabel dalam diri seseorang. Oleh karena perannya sebagai alat ukur, maka skala
psikologi harus memenuhi kriteria atau persyaratan yang baik. Menurut Periantalo (2015,
2016) dan Saifuddin (2019), kriteria alat ukur psikologi yang baik adalah:

1. Valid

Valid memiliki makna ketepatan sasaran dalam mengukur. Artinya,skala psikologi


sebagai alat ukur hendaknya memiliki validitas yang tinggi, yaitu tepat mengukur variabel
yang dikehendaki. Apabila diuji dengan metode statistika, ia menunjukkan hal apa yang
seharusnya ia tunjukkan. Ia berkorelasi positif dengan hal yang seharusnya berkore- lasi
positif, berkorelasi negatif dengan hal yang seharusnya berkorelasi negatif, atau tidak
berkorelasi dengan hal yang seharusnya tidak berkorelasi. Apabila dikonfirmasi dengan
kelompok tertentu, ia menunjukkan karakteristik dari kelompok yang ia miliki maupun tidak
dimiliki. Valid merupakan syarat utama dan wajib bagi semua instrumen pengukuran
psikologi.

2. Reliabel

Reliabel berhubungan dengan tingkat keakuratan skor (angka) yang dihasilkan oleh
instrumen pengukuran. Selain itu, reliabel juga berkaitan dengan tingkat konsistensi
instrumen pengukuran menunjukkan hasil yang hampir sama ketika digunakan di lain waktu.
Skor reliabilitas bergerak dari 0 sampai dengan skor 1. Semakin mendekati skor 1, maka alat
ukur tersebut memiliki reliabilitas yang semaki tinggi. Skor reliabilitas yang sangat
disarankan adalah 0,900; skor reliabilitas 0,800 dinilai sudah bagus untuk alat ukur psikologi;
sedangkan skor 0,700 dianggap sudah memuaskan.

8
3. Diskriminatif

Diskriminatif artinya skala psikologi sebagai alat ukur memiliki kemampuan dalam
membedakan tingkat variabel dalam diri subjek penelitian, mana subjek penelitian yang
tingkat variabelnya tinggi, mana yang sedang, dan mana yang rendah. Berdasarkan data dari
skala psikologi, dapat diungkap subjek penelitian mana yang harus mendapatkan perlakuan.
Butir pernyataan atau item yang baik adalah item yang dapat membedakan individu yang
memiliki atribut maupun tidak.

4. Praktis

Praktis dapat diartikan dengan mudah, ringan, sederhana, dan murah. Skala psikologi
hendaknya mudah dalam penggunaan. Instruksi dalam skala psikologi dapat dipahami dengan
mudah oleh semua pihak, terutama oleh subjek penelitian. Selain itu, waktu pengerjaannya
juga tidak terlalu lama. Metode pemberian skornya pun juga mudah dan cepat. Bentuk
instrumen pengukuran psikologi hendaknya menarik guna meningkatkan ketertarikan subjek
penelitian untuk mengisi skala psikologi.

5. Terstandardisasi

Terstandardisasi diartikan memiliki sistem yang jelas. Sistem meliputi petunjuk dan
perangkat. Alat ukur psikologi yang baik memiliki petunjuk pengerjaan (instruksi), waktu
pengerjaan, peruntukan subjek penelitian, pedoman pemberian skor, dan cara intepretasi yang
jelas serta memiliki norma atau kategorisasi skor. Dengan standar yang ditetapkan dalam
pembuatan skala psikologi, maka skala psikologi digunakan dengan cara yang sama,
meskipun digunakan oleh banyak orang berbeda.

6. Bermanfaat

Skala psikologi atau alat ukur psikologi harus memenuhi asas manfaat. Skala dapat
digunakan untuk berbagai keperluan, meskipun satu skala psikologi hanya bisa mengungkap
satu variabel dari setiap individu. Manfaat utama skala psikologi sebagai alat ukur psikologi
adalah untuk keperluan riset, terutama riset kuantitatif. Skala psikologi dapat digunakan untuk
menjelaskan fenomena yang ada dengan tepat. Akan lebih baik lagi jika skala psikologi dapat
memprediksi perilaku masa depan atau memiliki manfaat prognosis.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka disimpulkan bahwa skala psikologi yang baik
memiliki ciri validitas yang tinggi, reliabilitasnya juga tinggi, memiliki daya diskriminasi
yang baik, praktis dan terstandardisasi (memiliki aturan dan instruksi penyelenggaraan tes

9
yang jelas, meskipun tidak harus bersifat universal), serta bermanfaat terutama bagi
kepentingan riset eksperimen.

2.4 ELEMEN SKALA PSIKOLOGI


Menurut Kaplan & Saccuzzo (2012), terdapat tiga elemen penting dalam skala
psikologi sebagai alat ukur. Tiga elemen tersebut adalah tingkat kekuatan, kesetaraan interval,
dan 0 mutlak.

1. Tingkat Kekuatan atau Besaran

Suatu skala psikologi harus memiliki tingkat kekuatan atau besaran. Artinya, skala
psikologi dapat memberikan gambaran perbedaan tingkat atribut atau variabel yang ada
dalam diri banyak orang. Misalkan, responden A memiliki tingkat kecerdasan 120,
sedangkan responden B memiliki tingkat kecerdasan 100. Maka, skala kecerdasan yang
digunakan untuk mengukur kecerdasan dua orang ini memiliki tingkat kekuatan.
Pemberian angka, tidak selalu memperlihatkan tinggi atau rendahnya suatu atribut.
Contohnya, ketika dalam suatu angket menanyakan jenis kelamin dan menyediakan
jawaban 1 untuk laki-laki dan jawaban untuk perempuan, bukan berarti angka 1 lebih baik
daripada angka 2 karena hanya bersifat pembeda. Ini artinya, angka 1 dan 2 pada angket
tersebut tidak memiliki tingkat kekuatan atau besaran.

2. Kesetaraan Interval

Sebuah skala pengkuran memiliki elemen kesetaraan interval jika perbedaan dua poin
mana pun dalam skala tersebut memiliki makna yang sama dengan perbedaan dua poin
lain yang memiliki angka selisih yang sama. Contoh, perbedaan antara benda yang
memiliki panjang 2 cm dengan 4 cm akan sama dengan perbedaan antara benda dengan
panjang 10 cm dengan 12 cm. Selisih 2 cm pada dua kondisi tersebut setara. Begitu juga,
dalam skala psikologi. Perbedaan 5 poin antara Intelligence Quotients (IQ) 45 dan 50
dengan IQ 105 dan 110 adalah setara. Meskipun demikian, kesetaraan 5 poin dalam dua
kondisi tersebut tidak memiliki makna yang sama. Orang dengan tingkat kecerdasan 45
dan 50 bisa dimaknai sebagai lambat belajar, sedangkan orang dengan IQ 105 dan 110
bisa diinterpretasikan memiliki kecerdasan di atas rata-rata, meskipun dua kondisi
tersebut sama-sama memiliki selisih 5 poin.

3. Nol Mutlak

Sebuah nol mutlak didapatkan jika tidak ditemukan apa pun dalam kondisi tersebut.
Misalkan, ketika detak jantung menunjukkan angka 0 berarti seseorang tersebut sudah

10
tidak memiliki detak jantung atau detak jantungnya berhenti total, ketika suatu benda
memiliki panjang 0 maka artinya benda itu tidak ada. Dalam konteks skala psikologi,
sangat sulit menjumpai skor nol mutlak. Misalkan, dalam skala kecerdasan hampir
mustahil seseorang memiliki skor kecerdasan sebesar 0 yang artinya seseorang tersebut
sama sekali tidak memiliki kapasitas intelektual, dalam skala motivasi hampir mustahil
seseorang menunjukkan skor 0 yang berarti seseorang tersebut sama sekali tidak memiliki
motivasi. Contoh lain yang diberikan oleh Robert McCall (2001), jika pengukuran rasa
malu menggunakan skala 0 sampai 10, maka sulit sekali memahami bahwa seseorang
tersebut benar-benar tidak memiliki rasa malu.

2.5 JENIS SKALA PSIKOLOGI


Bagian sebelumnya sudah dijelaskan mengenai jenis skala pengukuran. Oleh karena
itu, pada bagian ini akan dijelaskan mengenai jenis-jenis skala psikologi. Skala psikologi
bukan hanya satu jenis saja. Terdapat lima jenis skala psikologi.

Pertama, skala kepribadian. Skala kepribadian merupakan skala psikologi yang


bertujuan untuk mengetahui tipologi kepribadian seseorang. Selain itu, skala kepribadian
melihat kecenderungan individu dalam memberikan respons terhadap situasi tertentu. Dalam
skala kepribadian, tidak ada jawaban benar dan salah. Beberapa contoh dari skala kepribadian
adalah Edward's Personality Preference Scale (EPPS), PapiKostik, Minnesota Multiphasic
Personality Inventory (MMPI), Myers-Briggs Type Indicator (MBTI), dan Dominane-
Influence-Steadiness-Conscientiousness (DISC).

Kedua, skala bakat dan minat. Skala bakat dan minat adalah jenis skala psikologi yang
mengungkap bakat dan minat seseorang. Minat merupakan ketertarikan seseorang pada
bidang tertentu, sedangkan bakat adalah potensi seseorang dalam bidang tertentu. Keduanya
sering kali dikaitkan meskipun berbeda. Skala bakat dan minat sangat sering digunakan dalam
rangka penjurusan sekolah. Adapun contoh dari skala bakat dan minat adalah skala Holland,
skala Kuder, dan Rothwell Miller Interest Blank (RMIB).

Ketiga, skala sikap. Skala sikap adalah jenis skala psikologi yang mengungkap
penilaian individu terhadap suatu situasi atau objek. Pada skala sikap ini melibatkan
komponen afeksi. Skala ini paling sering ditemui dalam bentuk likert, meskipun ada skala
sikap dengan bentuk lain, seperti rating scale, skala Guttman, semantic differensial, dan skala
Thurstone. Contoh dari skala sikap sangat banyak, misalkan skala motivasi belajar, skala
kepercayaan diri, skala kematangan karier, skala religiositas, dan sebagainya.

11
Keempat, skala perilaku. Skala perilaku merupakan jenis skala psikologi yang
berupaya mengungkap perilaku seseorang dalam suatu kondisi. Jika pada skala sikap
melibatkan komponen afeksi, maka pada skala perilaku ini melibatkan penilaian terhadap
komponen psikomotor seseorang. Contoh dari skala perilaku adalah skala menabung, skala
hidup bersih, skala perilaku agresi, dan skala perilaku prososial (perilaku menolong).

Kelima, skala kognitif. Skala kognitif sering disebut dengan tes. Skala kognitif adalah
jenis skala psikologi yang mengungkap kapasitas intelektual individu. Berbeda dengan skala
kepribadian, skala minat dan bakat, dan skala sikap yang tidak mengandung jawaban yang
salah, skala kognitif mengandung jawaban benar dan salah. Sehingga, pada skala ini mengenal
nol mutlak, yaitu ketika individu memilih jawaban yang salah. Contoh dari skala kognitif
adalah skal Wechsler (WAIS dan WISC), skala Binet (Stanford-Binet), Culture Fair
Intelligence Test (CFIT), dan Raven's Progressive Matrices.

Demikian penjelasan dari jenis-jenis skala psikologi. Berdasarkan penjelasan tersebut,


skala psikologi dibagi menjadi lima jenis. Yaitu, skala kepribadian, skala bakat dan minat,
skala sikap, skala perilaku, dan skala kognitif. Masing-masing skala tersebut memiliki tujuan
dan sasaran yang berbeda-beda. Sehingga, penggunaannya disesuaikan dengan tujuan
pengukurannya.

2.6 LANGKAH DASAR MENYUSUN SKALA PSIKOLOGI


Sebelum membahas tentang detail langkah-langkah pembuatan skala psikologi,
terlebih dahulu akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai langkah dasar menyusun skala
psikologi secara singkat.

Pertama, seorang peneliti atau penyusun skala psikologi hendaknya memahami


terlebih dahulu fenomena yang akan ditelitinya. Fenomena tersebut sebaiknya ditangkap dan
didalami berdasarkan data-data lapangan yang telah didapatkan, misalkan dari angket
identifikasi masalah, observasi, wawancara, dan diskusi mendalam. Langkah ini bertujuan
agar peneliti memiliki bekal yang mendalam mengenai atribut yang akan ditelitinya.

Kedua, peneliti menyimpulkan fenomena yang akan ditelitinya. Kesimpulan ini


diambil dengan mencermati data awal yang didapatkan ketika mendalami fenomena dan
kemudian mencari kerangka teori yang bisa menjelaskan fenomena tersebut. Dalam proses
mencari kerangka teori ini, peneliti perlu bersikap hati-hati karena sering kali banyak
kerangka teori yang memiliki kemiripan, misalkan kerangka teori yang menjelaskan motivasi
belajar, motivasi berprestasi, minat belajar, dan konsentrasi belajar. Dengan proses

12
menyesuaikan antara data awal di lapangan dengan kerangka teori, maka akan didapatkan
kerangka teori yang tepat.

Ketiga, ketika peneliti sudah menemukan kerangka teori yang tepat untuk menjelaskan
fenomena atau atribut yang hendak diteliti, maka peneliti perlu mendalami kerangka teori
tersebut. Pendalaman ini diperlukan guna menentukan jenis atribut atau konstrak yang akan
diteliti, apakah berjenis linear, bipolar, atau ortogonal. Jenis atribut atau konstrak ini akan
berdampak pada bentuk skala psikologi yang akan dipilih.

Keempat, peneliti membuat definisi operasional konstrak atau atribut yang akan
diukur serta membuat cetak biru (blueprint) skala psikologi. Blueprint ini sebagai pedoman
dalam membuat skala psikologi. Adapun, definisi operasional diperlukan agar alat ukur yang
akan disusun tepat sasaran dan tidak mengukur konstrak lain atau tumpeng tindih dengan
konstrak lain.

Kelima, penulisan item atau butir pernyataan sekaligus memilih model atau jenis skala
psikologi. Pemilihan model atau jenis skala psikologi ditentukan dari jenis atribut atau
konstrak yang akan diukur, apakah atribut kognisi atau afeksi, apakah berjenis linear, bipolar,
atau ortogonal. Selain itu, penulisan item atau butir pernyataan didasarkan atas definisi
operasional terhadap konstrak atau atribut dan aspek-aspeknya.

Keenam, jika penulisan item atau butir pernyataan skala psikologi sudah selesai sesuai
dengan rancangan blueprint skala psikologi, maka langkah selanjutnya adalah mengajukannya
kepada ahli untuk direview dan divalidasi. Langkah ini sering kali disebut dengan professional
judgement. Ada beberapa pihak yang terkait. Peneliti meminta rekan sesama peneliti untuk
mereview dan menilai seberapa tepat sasaran butir pernyataan yang dibuat. Peneliti juga
meminta ahli yang menggeluti kajian terhadap atribut atau konstrak yang akan diteliti, ahli
bahasa untuk menilai efektivitas bahasa yang digunakan, dan ahli psikometri.

Ketujuh, validitas isi atau konten. Validitas isi atau konten ini merupakan kelanjutan
dari proses professional judgement. Nilai atau skor hasil review dari para ahli dihitung
berdasarkan rumus validitas. Selain itu, dilanjutkan validitas tampang untuk mengemas skala
psikologi agar menarik.

Kedelapan, uji coba skala psikologi. Uji coba skala psikologi ini penting untuk
mendapatkan nilai daya beda item dan reliabilitas skala psikologi. Uji coba skala psikologi ini
diterapkan kepada kelompok orang yang memiliki karakteristik atau ciri yang sama dengan
kelompok responden penelitian.

13
Kesembilan, menganalisis daya beda dan reliabilitas. Setelah proses uji coba dan
mendapatkan data dari sampel uji coba, maka peneliti mengolah data uji coba tersebut.
Pengolahan ini nantinya akan menghasilkan skor daya beda setiap item pernyataan dan juga
nilai reliabilitas. Pengolahan dapat dibantu dengan menggunakan beberapa aplikasi, misalkan
SPSS, AMOS, atau Iteman. Daya beda ini penting diketahui karena daya beda item
menunjukkan kemampuan item pernyataan skala psikologi dalam membedakan orang dengan
tingkat variabel yang tinggi, sedang, dan rendah. Item pernyataan yang baik adalah yang
memiliki daya beda yang tinggi. Untuk mengetahuinya, maka perlu uji coba dan analisis
kuantitatif. Skor daya beda minimal 0,300. Selain itu, proses ini juga bisa bersamaan dengan
proses menghitung reliabilitas dengan menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut. Meskipun
demikian, perhitungan reliabilitas juga bisa terlepas dari proses ini, misalkan menghitung
reliabilitas dengan konsistensi internal dan test-retest. Skor reliabilitas berkisar 0 sampai
dengan 1. Semakin mendekati 1, maka semakin baik skor reliabilitas. Biasanya menggunakan
batasan antara 0,700 sampai 1,00.

Kesepuluh, perakitan skala final. Jika sudah ditemukan item pernyataan yang daya
bedanya rendah, maka item pernyataan tersebut dihapus atau digugurkan. Setelah itu, skala
psikologi disusun ulang sampai menjadi skala psikologi dalam bentuk final. Peneliti
hendaknya bersikap teliti untuk menjamin ketersediaan item pernyataan di setiap aspek dari
vari- abel atau konstrak yang diukur. Dengan kata lain, setiap aspek memiliki wakil item
pernyataan. Jika ada aspek yang seluruh item pernyataannya gugur, maka peneliti
menurunkan patokan skor daya beda pada aspek itu saja, atau kembali membuat item
pernyataan yang divalidasi ahli dan kemudian diujicobakan lagi. Meskipun sudah berbentuk
final, tetapi skala psikologi masih memiliki sedikit rangkaian proses, yaitu pengujian validitas
konstrak dan validitas kriteria.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Salah satu syarat dari alat ukur psikologi yang baik adalah memiliki reliabilitas yang
tinggi. Sejauh pertanyaan yang dibuat dalam angket mewakili tujuan secara jelas dan tidak
multitafsir, maka angket tersebut dipastikan memiliki konsistensi atau reliabilitas. Validitas
Syarat lain dari alat ukur psikologis yang baik adalah memiliki validitas yang tinggi. Secara
singkat, validitas ini dapat dicapai dengan beberapa cara, misalkan membuat alat ukur
psikologis berdasarkan teori yang benar-benar menggambarkan fenomena atau masalah yang
hendak dikaji, kemudian dibuat blue print alat ukur, yang melahirkan butir-butir pernyataan
yang merepresentasikan aspek-aspek teori variabel tersebut, lalu dinilai oleh para ahli atau
profesional (profesional judgement).

Skala psikologi sebagai salah satu alat ukur memiliki beberapa tujuan dan manfaat.
Oleh karena perannya sebagai alat ukur, maka skala psikologi harus memenuhi kriteria atau
persyaratan yang baik. Artinya,skala psikologi sebagai alat ukur hendaknya memiliki validitas
yang tinggi, yaitu tepat mengukur variabel yang dikehendaki. Pemilihan model atau jenis
skala psikologi ditentukan dari jenis atribut atau konstrak yang akan diukur, apakah atribut
kognisi atau afeksi, apakah berjenis linear, bipolar, atau ortogonal.

Maka disimpulkan bahwa skala psikologi yang baik memiliki ciri validitas yang
tinggi, reliabilitasnya juga tinggi, memiliki daya diskriminasi yang baik, praktis dan
terstandardisasi (memiliki aturan dan instruksi penyelenggaraan tes yang jelas, meskipun
tidak harus bersifat universal), serta bermanfaat terutama bagi kepentingan riset eksperimen.

15
DAFTAR PUSTAKA

Kaplan, Robert M., and Dennis P. Saccuzzo. "Psychological Testing Principles Applications and
Issues." (2012).

Nunnally Jr, Jum C. "Introduction to psychological measurement." (1970).

Saifuddin, Ahmad. Penyusunan skala psikologi. Prenada Media, 2020.

Stevens, Stanley Smith. "On the theory of scales of measurement." Science 103.2684 (1946): 677-
680.

16

Anda mungkin juga menyukai