Anda di halaman 1dari 9

A.

Pengertian Jarimah
Pengertian jinayah dalam bahasa indonesia di artikan sebagai tindakan
yang salah, dari segi bahasa jatimah merupakan kata jadian(masdar) dengan kata
asal jaramah yang artinya berbuat salah, sehingga jarimah mempunyai arati
perbuatan salah.1 Dari segi istilah, Al-Mawardi mendefinisikan jarimah:

ِ‫اّلل تَ َعلئ َعْن َه ِاِبَ ِّداَْوتَ ْع ِزيْر‬ ِ


ّ ‫ت َشْرعيَّةُ َز َجَر‬
ٌ ‫ََْمظُْو َار‬
Larangan-laranagan syara’ yang di ancam oleh ALLAHdengan hukuman had
atau ta;zir.

B. Percobaan Melakukan Jarimah


Dalam Pasal 45 kitab undang-undang Hukum Pidana Mesir, dijelaskan
tentang pengertian percobaan sebagai berikut:

ٍ ِ ِ ِ ِ ‫ِبَنَّو الب ْدء ِِف تَْن ِفي ِذفِع ِل بَِق‬...


ُ‫اب أثَُره‬
َ ‫ف ْأو َخ‬
َ َ‫اأوق‬
ْ ‫صد ْارت َكاب جنَايَتةإ َذ‬
ْ ْ ْ ُ َ ُ ِ ُ‫الشُُّرْوع‬
ِ ِ ِ ِ ‫ِِلَسب‬
َ ‫دخلَل ِِل َرادةال َفاع ِل‬
.‫فيها‬ ْ َ‫اب ال‬ََ
Percobaan adalah mulai melaksanakan suatau perbuatan dengan makasud
melakukan (jinayah atau jinhah), tetapai perbuatan tersebut teidak selesai atau
berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak
pelaku.2

‫ان الش وع يف اجلرميةاليعاقب عليو بقصاص والحدوامنا يعاقب عليو‬

‫ابلتعزيراايكان نوعاجلرمية‬

1
Drs.Mahrus munajad. M.Hum.dekontruksi hukum pidana.logung pustaka.2004.hal:3
2
Drs.H.A Wardi Muslich.pengantar dan asas hukum pidana islam.sinar
grafik.2004.hal:60
Percobaan melakukan jarimiah, apapun jarimiahnya, tidak bisa dikenai hukuman
qishash atau hudud melainkan ta’kzir.3
Kaidah ini mengandung arti bahwa percobaan melakukan jarimah hudud
atau qisas tidaka dapat dikategorikan telah melakukan jarimah tersebut secara
sempurna sehingga tidak bisa dikenai had atau qishash, melainkan takzir.
Hukuman itu pun diberikan jika diantara rangkaian percobaan tersebut telah dapat
dikategorikan perbuatan maksiad.

1. Percobaan Menurut Para Fuqoha


Istilah percobaan dikalangan tidak kita dapati. Akan tetapi, apabila definisi
tersebut ita perhatikan maka apa yang dimaksud dengan istilah tersebut juga
terdapat pada mereka, karena dikalangan mereka juga dibicarakan tentang
pemisahan antara jarimahyang sudah selesai dan juga jarimah yang tidak selesai.
Tidak adanya perhatian para fuqaha secara khusus terhadap jarimah percobaan
oleh kedua hal.
1) Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas.
Melainkan dengan hukuman tak’zir bagaimanapun macamnya jarimah-jarimah -
itu. Para fuqaha lebih banyak memperhatikan jarimah-jarimah hudud dan
qishash, karna unsur dan syarat-syaratnya sudah tetap tanpa mengalami
perubahan. Takzir juga dapat mengalami perubahan sesuai dengan perubahan
masyarakat. Oleh karena itu, para fuqaha tidak mencurahkan perhatian dan
pembicaraan secara khusus dan tersendiri karena percobaan melakukan jarimah
sudah termasuk jarimah ta’zir.
2) Dengan adanya aturan-aturan yang sudah mencakup dari syara’tantang hukuman
untuk jarimah ta’zir maka aturan-aturan yang khusus utuk percobaan tidak perlu
diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas perbuatan maksiat yang tidak
dikenakan hukuman had atau khifarat. Percobaan yang pengertian sebagai mana
dikemukakan di atas adalah mulai melakukan suatu perbuatan yang dilarang tetapi

3
Dr.Jain Mubarok M.Ag, Enceng Arif Faizal, S.Ag.kaidah fiqih jinayah.anggota IKPI.
Jakarta. 2004. Hal: 177
tidak selesai, termaksuk pada maksiat yang hukumannya adalah tak’zir. Dengan
demikian, percobaan sudah taermasuk kedalam kelompok ta’zir, sehingga para
fuqaha tidak membahas secara khusus.4
Pendiri hukum pidana islam tenteng percobaan melakukan jarimah, lebih
mencakup dari hukum positif, dari hukum islam sendiri setiap perbuatan
percobaan dikenakan hukuman tanpa pengecualian, sedangkan dari hukum positif
tidak semua percobaan dikenakan hukuman.menurut Pasal 54 KUHPidana
Indonesia yang ber bunyi: Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.5
sedangkan dalam KUHP Mesir haya percobaan melakukan jarimah jinayah saja
yang dapat dikenakan hukuman, sedangkan percobaan melakukan jarimah
mukalafah tidak dikenakan hukuman (pasal 46 dan 47).6

2. Fase-fase Pelaksanaan Jarimah


‘Abd al-Qadir ‘Awdah menjelaskan bahwa paling tidak ada tiga fase dalam
proses melakukan perbuatan jarima..7
1) Fase pemikiran atau perencanaan(marhalat al-tafkir)
Pemikiran dan merencanakan suatu jarimah tidak dianggap sebagai maksiat yang
dijatuhi hukuman, karena menurut ketentuan yang berlaku dalam syariat islam,
seseorang tidak dapat dituntut atau dipersalahkan karena lintasan hatinya atau niat
yang tarkandunga dalam hatinya. Halini didasarkan Hadis Nabi saw.

ّ ٌَّ ‫ ِإ‬:‫ى ص و‬
‫ّللا‬ ُّ ‫ قَا َل اننَّ ِب‬:‫ع ْنهُ قَا َل‬
َ ‫ّللا‬
ّ ‫َرضى‬ ِ ‫ع ٍْ أبى ُه َري َْرة‬ َ
‫صد ُْو ُرهَا َيانَ ْى ت َ ْع ًَ ْم أَ ْوتَ َكهَّى‬ ُ ‫ت بِ ِه‬ ْ ‫س‬ َ ‫ع ٍْ أ ُ َّيتِى َي َاو‬
َ ‫س َو‬ َ ‫تَ َج َاوزَ ِنى‬
Abu hurairah ra. Barkata:Nabi saw, telah bersabda: “sesungguhnya Allah
mengampuni umatku karna aku atas apa yang terlintas dalam hatinya, selama
belumdikerjakan atau diucapkan.”8

4
Drs.H.A Wardi Muslich.pengantar dan asas hukum pidana islam.sinar
grafik.2004.hal:96.
5
Eni suharti. Kitap undang-undang hukum pidana.redeksi sinar grafika. Jakarta. Cetakan
ke9
6
A.hanafi, M.A,..asas-asas hukum pidana islam, bulan bintang, jakarta 1967, hal
7
Dr.Jain Mubarok M.Ag, Enceng Arif Faizal, S.Ag.kaidah fiqih jinayah.anggota IKPI.
Jakarta. 2004. Hal: 178.
Sedangkan hadis dari ibnu abbas di sebutkan yang artinya: Ibnu abbas r.a., dari
Nabi saw mengenai apa yang difirmankan Allah, beliau bersabdah:
Sesungguhnya Allah mencatat amal-amal kebaikan, keburukan, dan diantara
keduanya. Barangsiapa bermaksud berbuat baik tapi belummelaksanakannya,
maka Allah mencatat sepuluh atau tujuh ratus kali lipat hingga tak terhingga.
Barangsiapa bermaksud berbuat buruk(jahad) tetapi ia tidak melaksanakannya,
maka Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Jika ia
melaksanakannya, maka Allah memcatat sebagai suatu keburukan saja.9
Ketentuan ini sudah terdapat dalam syari’at islam sejak mulai
diturunkannya tanpa mengenal pengecualian. Akan tetapi, hukum positif baru
mengenalnya pada akhir abad ke 18 Masehi, yaitu sesudah revolusi Prancis.
Sebelum masa itu niat dan pemikiran terhadap perbuatan jarimah dapat dihukum
kalau dapat dibuktikan.10 Pada hukum positif terhadap aturan tersebut ada
pengecualiannya.
Sebagai contoh ialah adanya perbedaan pada hukum pidana Perancis dan
RPA antara pembunuhan sengaja yang direncanakan terlebih dahulu dengan
pembunuhan biasa yang tidak direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk
pembunuhan pertama dikenakan hukuman yang lebih berat dari pada hukuman
pembunuhan macam kedua. KUHP RPA terhadap pembunuhan berencana
dikenakan hukuman mati, dan terhadap pembunuhan biasa dikenakan hukuman
kerja berat seumur hidup atau sementara (pasal 230 dan 234).
Menurut KUHP Indonesia, karena pembunuhan berencana dihukum mati atau
dihukum penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara selama-lamanya
dua puluh tahun, dan kerana pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman
penjara selama lamanya lima belas tahun.11 Sebagaimana disebutkan dalam Pasal
338 dan 340 KUH Pidana.

8
Musthofa Muhammad’imron. Jawahir Al-Bukhori, maktabah At Tijariah Al kubro,
kairo, hal, 1256 H, hal 271. . Drs.H.A Wardi Muslich.pengantar dan asas hukum pidana
islam.sinar grafik.2004.hal:61
9
Ibid., juz.V,hal 2380
10
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm. 61
11
http://jamilncera.blogspot.com/2010/03/percobaan-melakukan-jarimah.html
a. a Pasal 338: Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang, karena
pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas
tahun.
b. b Pasal 340: Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana,
dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara
selama-lamanya dua puluh tahun.12
2) Fase persiapan(marhalat al-tahdhir)
Pada fase ini, posisi percoba’an ditentukan oleh sifat dari perbuatannya.
Perbuatan percobaan dapat dikategorikan percobaan jarimah jika perbuatan
tersebut termasuk perbuatan maksiat. Suatau perbuatan dapat dikategorikan
perbuatan maksiat jika perbuatan tersebut telah melanggar hak-hak Allah
(jarimah) dan hak-hak manusia. Pada fase ini terdapat dua kemungkinan.
Pertama, kegiatan persiapan belum dikategorikan perbuatan jarimah jika kegiatan
persiapan tersebut bukan maksiat. Kedua, kegiatan persiapan dikategorikan
perbuatan jarimah jika kegiatan persiapan tersebut termasuk perbuatan maksiat.13
Akan tetapi menurut mazhab Hambali dan Maliki, perbuatan persiapan
dianggap sebagai perantara kepada perbuatan yang haram dan hukumnya adalah
haram, sehingga dengan demikian pelakunya dikenakan hukuman. Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah: ”ibn Al Qayyin
menegaskan bahwa perantara kepada yang haram adalah haram dan perbuatan
persiapan jelas merupakan perantara kepada yang haram, sehingga hukumnya
haram dan pelakunya dikenakan hukuman tetapi bukan dengan hukuman
pokoknya”.
Dengan demikian jelaslah bahwa mazhab hambali sebagaimana
digambarkan oleh Ibn Al Qayyim dan gurunya Ibn Taimiyah, menganggap
perantara kepada jarimah sebagai jarimah. Demikian juga perbuatan-perbuatan

12
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm. 62

13
Dr.Jain Mubarok M.Ag, Enceng Arif Faizal, S.Ag.kaidah fiqih jinayah.anggota IKPI.
Jakarta. 2004. Hal:180
persiapan yang disiapkan untuk membentuk dan melaksanakan jarimah
merupakan jarimah juga.14
3) Fase pelaksanaan(marhalat al-tahfidz)
Pada fase inilah perbuatan si pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk
dihukum, tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan
permulaan pelaksanaan unsur materiil jarimah atau tidak, melainkan cukup
dihukum apabila perbuatan itu berupa ma'siat, yaitu yang berupa pelanggaran atas
hak masyarakat dan hak perseorangan, dan dimaksudkan pula untuk
melaksanakan unsur materiil, meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsur
materiil masih terdapat beberapa langkah lain. Pada pencurian misalnya,
melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya dianggap sebagai ma'siat
yang dijatuhi hukuman ta'zir, dan selanjutnya dianggap pula sebagai percobaan
pencurian, meskipun untuk terwujudanya perbuatan pencurian masih terdapat
perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari
almari, dan membawanya keluar dan sebagainya. Jadi ukuran perbuatan dalam
percobaan yang bisa dihukum ialah apabila perbuatan tersebut berupa ma'siat.
Dalam hal ini niatan dan tujuan pembuat sangat penting artinya untuk menentukan
apakah perbuatan itu ma'siat (salah) atau tidak. Dengan demikian kriteria untuk
menentukan permulaan pelaksanaan jarimah dan merupakan percobaan yang bisa
dihukum adalah apabila perbuatan tersebut sudah merupakan maksiat. Disamping
itu, niat dan tujuan pelaku juga sangat penting untuk menentukan apakah
perbuatan itu merupakan maksiat atau bukan.
Hukum positif sama pendapatnya dengan hukum Islam tentang tidak
adanya hukuman pada fase pemikiran atau perencanaan dan persiapan serta
membatasi hukuman pada fase pelaksanaan. Akan tetapi, sarjana-sarjana hukum
positif berbeda pendapatnya tentang penentuan saat permulaan pelaksanaan tindak
pidana itu. Sedangkan menurut aliran objektif, saat tersebut adalah ketika pelaku
melaksanakan perbuatan mareriil yang membentuk suatu jarimah. Kalau jarimah
tersebut terdiri dari satu perbuatan juga maka percobaan jarimah itu adalah ketika

14
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm. 63
memulai perbuatan tersebut. Kalau jarimah tersebut terdiri dari dari beberapa
perbuatan maka memulai salah satunya dianggap melakukan perbuatan jarimah
tersebut. Sedangkan menurut aliran subjektif, untuk dikatakan melakukan
percobaan cukup apabila pelaku telah memulai sesuatu pekerjaan apa saja yang
menunjukan kekuatan maksudnya untuk melakukan kejahatan.15

3. Sebab Tidak Selesaianya Perbuatan


Suatu perbuatan jarimah tidak selesai dilakukan oleh pembuat disebabkan
karena salah satu dari dua hal sebagai berikut.
1) Adakalanya terpaksa, misalnya tertangkap.
2) Adakalanya karena kehendak sendiri. Berdasarkan kehendak sendiri ini ada dua
macam:
a) Bukan karena taubat, dan
b) Karena taubat.16
Kalau tidak selesainya jarimah karena terpaksa maka pelaku tetap harus
dikenakan hukuman, selama perbuatan itu sudah bisa dikategorikan ma’siat.
Demikian pula kalau pelaku tidak menyelesaikan jarimahnya karena kehendak
sendiri tetapi bukan karena taubat. Akan tetapi,apabila tidak selesainya itu karena
taubat dan kesadaranya maka jarimahnya itu adakalanya jarimah hirabah dan
adakalanya bukan jarimah hirabah. Apabila jarimah itu jarimah hirabah maka
pelaku dibebaskan dari hukuman. Hal ini berdasarkan firman Allah surat Al-
Maidah 34:
Artinya:
kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat
menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang(surat Al-Maidah 34).

15
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm.64
16
Abdul Qadir Audah, At Tasyiri’ Al-jina’iy Al-Islam.Juz 1, Dar Al-kitab Al-Araby,
bairut,.t.t,hal;351-352
Apabila jarimah itu jarimah bukan hirabah maka pengaruh taubat disini
masih diperselisihkan oleh para fuqoha. Dalam hal ini ada tiga pendapat:
1).Pendapat fuqoha dari madzab Syafi’I dan Hambali, taubat bisa menghapuskan
hukuman. Alasanya adalah:
a. Alquran menyatakan hapusnya hukuman untuk jarimah hirabah, sedangkan
jarimah hirabah adalah jarimah paling berbahaya. Kalau taubat dapat
menghapuskan hukuman untuk jarimah yang paling berbahaya maka lebih-lebih
untuk jarimah yang lain.
b. Dalam menyebutkan beberapa jarimah, Alquran selalu mengiringinya dengan
pernyataan bahwa taubat dapat menghapuskan hukuman. Misalnya dalam
hukuman zina yang pertama kali diadakan dalam surah An-Nisaa’ 16:
artinya :
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu,
Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan
memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang(Surah An-Nisaa;16).

2).Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, taubat tidak menghapuskan hukuman,
kecuali untuk jarimah hirabah yang sudah ada ketentuanya. Karena kedudukan
hukuman adalah sebagai kifarat maksiat. Disamping itu kalau taubat semata-mata
dapat hukuman dapat terhapus, maka akibatnya ancaman hukuman tidak berguna,
sebab setiap pelaku jarimah tidak sukar mengatakan telah bertaubat.
3).Menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Al Qayyim dari pengikut madzab Hambali,
hukuman dapat membersihkan maksiat dan taubat dapat menghapus hukuman
untuk jaarimah-jarimah yang berhubungan dengan hak Allah (hak masyarakat),
kecuali apabila pelaku minta untuk di hokum maka ia bisa dijatuhi hukuman
walaupun ia telah bertaubat.
Pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim kelihatanya merupakan jalan
tengan yang mengompromikan pendapat pertama dan kedua yang saling
bertentangan. Walaupun demikian pengaruh taubat terhadap hukuman menurut
pendapat kedua imam ini, hanya berlaku dalam jarimah yang menyinggung hak
masyarakat saja. Sedangkan dalam jarimah yang menyinggung hak individu
taubat tetap tidak berpengaruh terhadap hukuman.17
4. Hukuman untuk Jarimah Percobaan
Menurut ketentuan pokok dalam syariat Islam yang berkaitan dengan
jarimah hudud dan qisash, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan untuk
jarimah yang telah selesai, tidak boleh diberlakukan untuk jarimah yang belum
selesai (percobaan). Ketentuan ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Al-Baihaqi dari Nu’mam ibnu Basyir bahwa rosullulah saw, bersabdah:

‫َم ْن بَلَ َغ َح ًد ِاِف َغ ِْْي َح ٍّدفَ ُه َوِم ْن امل ْعتَ ِديْ َن‬
ُ

Barang siapa yang mencapai (melaksanakan) hukuman had bukan dalam jarimah
hudud maka ia termasuk orang yang melampaui batas.18
Percobaan melakukan zina tidak boleh dihukum dengan had zina, yaitu
jilid seratus kali atau rajam. Demikian pula percobaan pencurian tidak boleh
dihukum dengan had pencurian, yaitu potong tangan. Dengan demikian, hukuman
untuk jarimah percobaan adalah hukuman ta’zir itu sendiri.
Dalam KUHP Indonesia, hukuman untuk percobaan ini terancam dalam Pasal
53 ayat (2) KUHPidana yang berbunyi:
1) Maksimum itu pidana pokok yang diancam atas kejahatan itu dikurangi
sepertiganya.
2) Jika kejahatan itu dapat dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup
maka dijatuhi pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.19

17
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm.66
18
Jalaludin As-suyuti, al-jami’ juz II Dur. Al Fikr,t.t.,hal;168
19
Eni suharti. Kitap undang-undang hukum pidana.redeksi sinar grafika. Jakarta.
Cetakan ke9

Anda mungkin juga menyukai