Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

FILSAFAT TIMUR INDIA: FILSAFAT SIDDHĀRTHA GAUTAMA

Disusun untuk memenuhi tugas Filsafat Umum

Dosen Pembimbing ibu Isfaroh, M. Ag.

Disusun oleh:

KELOMPOK XII

1. Yola Aldana Maja Nanda (231111101)


2. Elva Abellia Pradana (231111102)
3. Adiib Mushthofaa (231111103)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID
SURAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Ta’ala. atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “FILSAFAT TIMUR INDIA:
FILSAFAT SIDDHĀRTHA GAUTAMA” dapat kami selesaikan dengan baik. Kami
berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca tentang
penjelasan dari filsafat timur India khususnya lewat filsafat Siddhārtha Gautama. Begitu pula
atas limpahan kesehatan dan kesempatan yang Allah SWT karuniai kepada kami sehingga
makalah ini dapat kami susun melalui beberapa sumber yakni melalui kajian pustaka maupun
melalui media internet.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas makalah ini. Kepada kedua
orang tua kami yang telah memberikan banyak kontribusi bagi kami, dosen pembimbing
kami, ibu Isfaroh, M. Ag., dan juga kepada teman-teman seperjuangan yang membantu kami
dalam berbagai hal. Harapan kami, informasi dan materi yang terdapat dalam makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca. Tiada yang sempurna di dunia, melainkan Allah SWT.
Tuhan Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan saran yang membangun
bagi perbaikan makalah kami selanjutnya.

Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau pun
adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf. Kami
menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya makalah
yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.

Surakarta, 10 November 2023

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

BAB II. PEMBAHASAN

A. Filsafat Siddhārtha Gautama

1. Riwayat Singkat

2. Empat Pengalaman Siddhārtha Gautama

3. Pencarian Pengetahuan Akan Kebenaran dan Pencerahan

B. Corak pemikiran Siddhārtha Gautama

1. Empat Kebenaran Mulia

2. Delapan Jalan Mulia

3. Enam Paramita

4. Nirwana (nibbana)

C. Relevansi pemikiran Siddhārtha Gautama bagi masyarakat nusantara

BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai salah satu pusat peradaban dunia, India memiliki sejarah panjang. Benua ini
kira-kira telah dihuni oleh manusia sejak 7000 tahun sebelum masehi. Namun kurang lebih
3000 tahun sebelum masehi baru ditemukan perkampungan penduduk di Lembah Indus dan
Gangga dimana keduanya merupakan sungai terbesar di India yang mengalir dari Himalaya
ke Asia Selatan dan bermuara di Laut Arab1.

Secara ringkas, Tripathi 2 membagi periodesasi sejarah India ke dalam beberapa etape,
yaitu: Pertama, peradaban Lembah Indus (Indus Valley) yang dipelopori oleh agama Hindu.
Kedua, zaman kegemilangan Asoka yang dipelopori oleh agama Buddha. Ketiga, di bawah
kerajaan Islam, dimulai dari dinasti Lodhis hingga dinasti Mughal. Ketiga etape ini menjadi
penanda akan perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di India. Walaupun begitu,
makalah ini hanya akan memfokuskan pada pembahasan pemikiran filsafat India dari segi
pemikiran Sidharta Gautama (Buddha) dan relevansinya bagi masyarakat nusantara.

Peradaban yang maju di India melahirkan dua aliran filsafat besar, yaitu filsafat wilayah
Hindu dan wilayah Buddha. Hindu merupakan peletak dasar dari tradisi pemikiran filsafat
India yang mendasarkan pemikiran-pemikirannya pada otoritas Weda 3. Zaehner4 mengartikan
Hindu sebagai cara hidup yang khas bagi suatu bangsa secara menyeluruh, suatu etos
nasional yang tidak bisa dijamah meskipun bukan tidak nyata, lebih daripada sebagai suatu
agama dalam arti kata Barat, yakni kesetiaan pada perwahyuan yang dipercayai sebagai
pemberian Tuhan dan pemujaan kepada Tuhan sesuai dengan isi perwahyuan itu. Sedangkan
Buddha merupakan aliran filsafat yang mengangkat pengetahuan relatif dan idealisme,
sebagai kritik terhadap sistem Hindu5.

1
McLeod, John. 2002. The History of India. London: Greenwood Press. Hlm:11-12.
2
Amin, Saidul. “Pembaharuan Pemikiran Islam di India”, Jurnal Ushuluddin, Volume 18, Nomor 1, Januari
2012. Hlm: 85.
3
Lasiyo. “Pemikiran Filsafat Timur dan Barat (Studi Komparatif)”, Jurnal Filsafat, Maret 1997. Hlm: 15.
4
Zaehner, R. C. 1992. “Kebijaksanaan dari Timur: Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme”. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
5
Wagiyo. 1996. “Pemikiran Filsafat India”, Makalah Intership, Dosen-Dosen Filsafat Pancasila. Yogyakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm: 4.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penjelasan dari filsafat Siddhārtha Gautama?


2. Bagaimana corak pemikiran-pemikiran Siddhārtha Gautama?
3. Bagaimana relevansi pemikiran Siddhārtha Gautama bagi masyarakat nusantara?

C. Tujuan

Dalam makalah ini, kita akan menjelajahi pemikiran filsafat timur India dengan tujuan
mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang filsafat timur, baik dari sudut
pandang sejarah dan evolusi pemikiran, maupun dari segi sistematis dalam merumuskan
konsep-konsep filsafat yang mendasar. Dalam prosesnya, kita akan meresapi kaya akan
warisan intelektual yang telah dibentuk oleh berbagai pemikir dan budaya khususnya dalam
makalah ini membahas lewat pemikiran Siddhārtha Gautama.

Melalui eksplorasi ini, kita akan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang
bagaimana pemikiran filsafat timur India khususnya pemikiran Siddhārtha Gautama dan
bagaimana relevansinya bagi masyarakat nusantara.
BAB II

PEMBAHASAN

A. FILSAFAT SIDDHĀRTHA GAUTAMA

1. Riwayat Singkat
Sang Buddha bernama Siddhārtha Gautama tinggal di utara India hampir 2500 tahun yang
lalu. Beliau dikenal sebagai inspirasi spiritual dan pendiri aliran religius yang sekarang
disebut agama Buddha. Buddha sebenarnya merupakan sebutan dan bukanlah sebuah nama.
Kata ini berarti orang yang tersadarkan atau tercerahkan akan kodrat hidup dan maknanya.
Buddha merupakan sebutan yang diberikan sebagai tanda bagi pencapaian spiritual tertinggi
dan kebahagiaan abadi.6
Sang Buddha hidup sekitar tahun 563 – 483 SM (kaum terpelajar masih mendebatkan
masa hidup dan ajaran Sang Buddha ini). Ia menikmati kehidupan yang nyaman sejak
dilahirkan sebagai Pangeran, tetapi kemudian tertarik untuk mempelajari kebenaran spiritual
setelah menyadari penderitaan yang menyertai kehidupan.7

Siddhārtha Gautama adalah seorang anak raja. Ia lahir di Lubini pada bulan Mei, kira-kira
tahun 563 SM, dan dibesarkan di Kapilavasthu (sebuah kota di wilayah dataran perbatasan
Nepal-India modern. Ia adalah putera Raja Suddhodana yang berasal dari Kaum Sakya, dan
Maya, permaisurinya.
Ketika Siddhārtha Gautama masih muda, ada seorang Hindu dari kasta Brahmana yang
meramalkan bahwa ia akan menjadi seorang yang mendapatkan pencerahan, yang akan
menolong orang lain untuk mengatasi penderitaan hidup. 8 Ramalan ini juga ditegaskan oleh
delapan orang dari kasta Brahmana lainnya. Mendengar hal ini, ayahnya sangat takut dan
tidak menginginkan hal itu terjadi. Oleh sebab itu, ayahnya berusaha memberikan yang
terbaik kepadanya.9
Sebagai seorang anak raja, ayahnya menjauhkan dirinya dari segala hal yang tidak
menyenangkan. Ayahnya menjamin kehidupannya dalam segala kenikmatan. Akan tetapi,
Siddhārtha Gautama kerap kali merasa tidak bahagia dengan semuanya itu. Perasaan

6
Gillian Stokes, Seri Siapa Dia Buddha, alih bahasa, Frans Kowa, (Jakarta: Erlangga 2001), hlm. 1
7
Ibid, hlm. 1
8
Bdk., Michael Keene, Agama-Agama Dunia (Judul Asli: World Religions), Penterj. F.A. Soeprapto
(Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm: 68.
9
Bdk., FX. Mudji Sutrisno, ed., Buddhisme Pengaruhnya Dalam Abad Abad Modern (Yogyakarta: Kanisius,
1993), hlm: 20.
ketidakbahagiaan muncul, ketika ia dibawa keluar dari dinding istana oleh ayahnya dalam
sebuah kunjungan kenegaraan. Dalam perjalanan kunjungan itu, ia mengalami empat
pengalaman yang menunjukkan penderitaan manusia.

2. Empat Pengalaman Siddhārtha Gautama


Pengalaman pertama, Ia melihat seorang laki-laki yang lemah dan menyaksikan betapa
usia tua itu menghancurkan ingatan, keindahan dan keperkasaan. 10 Pada pengalaman kedua Ia
melihat orang cacat yang tersiksa kesakitan. Selanjutnya, pada pengalaman ketiga
membangkitkan inspirasinya dan ia berpikir:
“Ya, semua makhluk hidup tak berguna lagi. Lagi-lagi mereka dilahirkan,
mereka hidup dan mati, berjalan menuju ke kehidupan baru, dan lahir
kembali. Apa yang terjadi lagi, keserakahan dan harapan palsu membutakan
mereka dan mereka buta sejak lahir. Sungguh mengerikan, mereka belum
tahu bagaimana bisa keluar dari penderitaan besar ini.”11
Siddhārtha melihat bahwa kurangnya pengetahuan akan hal ini adalah akar dari
penderitaan itu. Pengalaman keempat adalah ketika ia melihat orang sedang menangis dalam
duka prosesi pemakaman. Hal ini menyebabkan perasaanya terganggu, karena penderitaan
dan kematian. Selanjutnya, pada pengalaman kelima ia melihat seorang suci yang sedang
mengembara. Ia melihat orang tersebut berjalan dengan puas dan gembira, dengan mangkok
derma di tangannya. Pengalaman ini membuatnya mengerti bahwa semua kesenangan hidup,
seperti yang ia alami selama menjadi pangeran tidaklah berarti. Ia merindukan pengetahuan
akan kebenaran, maka pada tengah malam ia meninggalkan istananya untuk mencari dan
menemukannya.12

3. Pencarian Pengetahuan Akan Kebenaran dan Pencerahan


Untuk menemukan pengetahuan akan kebenaran, Siddhārtha Gautama bergabung dengan
orang suci. Pertama-tama Ia berlatih yoga dan askese (hidup sederhana dan menolak
kenikmatan duniawi). Akan tetapi, Ia belum mendapatkan jawaban dengan menggunakan
cara ini. Meskipun begitu, Ia tidak menyerah. Ia memikirkan cara lain agar mendapatkan
pengetahuan akan kebenaran. Sambil berpikir, Ia duduk menyendiri di bawah sebuah pohon
bodhi dan kemudian bermeditasi. Pada saat inilah semua hal yang Ia harapkan terjadi. Ia
10
Michael Keene, Agama-Agama Dunia (Judul Asli: World Religions), Penterj. F.A. Soeprapto (Yogyakarta:
Kanisius, 2006), hlm: 68.
11
Bdk., Michael Keene, Agama-Agama Dunia (Judul Asli: World Religions), Penterj. F.A. Soeprapto
(Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm: 74
12
Ibid., hlm:69.
mendapatkan pencerahan. Pencerahan ini menghantarkannya kepada jawaban akan
pengetahuan akan kebenaran. Dengan Demikian, Ia menjadi Buddha atau orang yang
menerima pencerahan. Selanjutnya, Ia dipanggil sampai tiga kali oleh Dewa Tertinggi
Brahmana, agar membantu orang lain menerima pencerahan. Buddha mengajarkan apa yang
ia terima pada saat pencerahan, yaitu melalui Empat Kebenaran Mulia, kepada para
pengikutnya.

B. CORAK PEMIKIRAN SIDHARTA GAUTAMA

Filsafat Siddhārtha Gautama (Buddha) mengacu pada pandangan atau penerapan ajaran
Buddha terhadap nilai-nilai kehidupan, eksistensi, pengetahuan, akal budi, materi, serta
moralitas manusia.
1. Empat Kebenaran Mulia

ajaran pokok yang disampaikan oleh Buddha Gautama kepada murid-muridnya berupa
empat kebenaran mulia yang disebut Catur Arya Satyani yang terdiri dari:

1) Dukkha, atinya penderitaan


Maksudnya bahwa hidup di dunia adalah penderitaan seperti terasa sakit menjadi tua,
mati, dan berpisah dari segala yang dicintai dan tidak tercapai apa yang dicita-citakan. Oleh
karena itu kesenangan sebenarnya pangkal penderitaan.
2) Samudya, artinya sebab penderitaan

Yang menyebabkan penderitaan adalah keinginan untuk hidup yang disebut tanha.

3) Nirodha, artina pemadaman


Maksudnya bahwa cara pemadaman atau menghilangkan penderitaan itu dengan jalan
menghapuskan Tanha.
4) Margha, artinya jalan untuk menghilangkan tanha

Bila tanha telah dihilangkan maka seeseorang akan mencapai nirwana yaitu alam
kesempurnaan dimana ia akan merasakan kenikmatan yang abadi.

2. Delapan Jalan yang Mulia

Dalam Delapan Jalan Mulia ini, Buddha menunjukkan satu jalan praktis untuk
menghilangkan ketidaktahuan dan Hasrat (Tanha). Pokok utama jalan ini adalah pengolahan
kebijaksaaan (prajñā), yang terdapat dalam pemahaman dan tujuan yang benar; tingkah laku
moral (śīla), yang terdapat dalam bicara, berperilaku, dan kehidupan yang benar; dan yang
terakhir adalah konsentrasi (samādhi), yang terdapat dalam usaha, perhatian dan konsentrasi
yang benar. Untuk menghilangkan tanha manusia harus menempuh delapan jalan yang mulia
yang disebut Astha, Arya, Margha13 yaitu:
1) Pemahaman yang benar
Pemahaman yang benar bukanlah semata-mata perilaku religius. Pemahaman yang benar
berati tentang berpikir dan memiliki pikiran sehat (jernih), bebas dari pengaruh emosi yang
tercela.
2) Tujuan yang benar
Setiap segala sesuatu yang dilakukan manusia mengandaikan ia telah mengetahui
tujuannya. Tujuan ini bebas dari nafsu atau keinginan duniawi, dari kebencian, dan juga
kekejaman.
3) Bicara yang benar
Bicara yang benar berarti manusia berusaha untuk menahan diri dalam berbohong,
memfitnah, berkata kasar atau mencaci maki, dan sebagainya. Suatu ucapan yang dapat
dikatakan benar apabila memenuhi empat persyaratan, yaitu ucapan seseorang itu benar,
memiliki alasan, memiliki manfaat dan ucapan itu diucapkan tepat pada waktunya.
4) Berperilaku Benar
Berperilaku benar berarti berusaha menahan diri dari pembunuhan, pencurian, perbuatan
melakukan seksualitas yang tidak dibenarkan (asusila) dan perkataan tidak benar. Berperilaku
benar juga menyangkut tindakan penuh perhatian kepada sesama, dan melakukan kebaikan
kepada semua makhluk hidup.
5) Kehidupan yang benar
Kehidupan yang benar berarti usaha untuk menghindarkan diri dari bermata pencaharian
yang menyebabkan kerugian atau penderitaan makhluk lain. Dalam hal ini terdapat lima
objek yang harus dihindari seperti, senjata, daging, minum-minuman yang memabukkan atau
menimbulkan ketagihan dan racun. Kelima objek ini haruslah dihindari untuk dapat
mewujudkan kehidupan yang benar.
6) Usaha yang benar
Usaha yang benar dapat diwujudkan melalui empat bentuk tindakan. Tindakan yang
pertama adalah berusaha mencegah munculnya kejahatan yang baru. Kedua adalah berusaha
menghancurkan kejahatan yang sudah ada. Ketiga adalah berusaha mengembangkan

13
Moh.Rifa'i, Perbandingan Agama, (Semarang: PT Wicaksana 1980), hlm. 95.
kebaikan yang belum muncul. Keempat adalah berusaha memajukan kebaikan yang telah
ada.
7) Perhatian yang benar
Perhatian yang benar dapat diwujudkan melalui empat bentuk tindakan. Tindakan
pertama adalah perhatian penuh terhadap badan jasmani. Kedua, perhatian penuh terhadap
perasaan. Ketiga, perhatian penuh terhadap pikiran. Keempat, perhatian penuh terhadap
mental atau batin.
8) Konsentrasi yang benar
Konsentrasi yang benar merujuk pada pemusatan kesadaran yang menyanggupkan
seseorang untuk melihat segala sesuatu secara lebih dalam. 14 Konsentrasi yang benar adalah
menggunakan meditasi, sebab dapat menciptakan ketenangan batin dan rasa damai seseorang
dengan diri sendiri maupun dengan dunia.
Buddha mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki hakikat kebudha-an di dalam
dirinya. Shakyamuni (rahib atau yang bijaksana dari kaum Shakya) menganggap kebaikan
dan potensi-potensinya di dalam hakikat manusia tidak terikat dengan tubuh jasmani.
Walaupun ajaran Buddha mengandung ajaran yang terbuka bagi penafsiran yang negatif,
namun dia tetap memiliki konsep positif tentang kearifan dan cinta kasih tak terbatas yang
terdapat di dalam pikiran manusia yang di sebut Enam Paramita.
3. Enam Paramita

Cinta kasih Buddha demikian luas dan menyentuh aspek keadilan sosial. Inilah yang
kemudian dikembangkan menjadi ajaran Enam Paramita:

1) Dana-Paramita: persembahan yang sempurna


2) Sila-Paramita: aturan yang sempurna
3) Ksanti-Paramita: tekad yang sempurna
4) Virya-Paramita: usaha yang sempurna
5) Dhyana-Paramita: meditasi yang sempurna
6) Prajna-Paramita: kearifan yang sempurna.15

Menurut ajaran Budha, yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya adalah
watak mereka yang dibentuk oleh tingkah laku sehari-hari. Sedangkan etika sosial Buddha
menekankan bahwa setiap orang harus melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab masing-
14
John. M. Koller, Filsafat Asia (Judul Asli: Asian Philosophies), Penterj. Donatus Sermada (Maumere:
Ledalero, 2010), hlm: 329.
15
Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Budha, Jalan Menuju Pencerahan, (Jogjakarta: Penerbit Saujana 2004), hlm.
85.
masing sesuai dengan kedudukan sosialnya, yang ditentukan oleh hubungannya dengan
warga masyarakat lain, berdasarkan prinsip-prinsip moral. Dengan demikian orang akan
mencapai kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan dalam masyarakat. Sebaliknya orang
yang tidak menjalankan kewajiban, kedudukan dan tanggung jawabnya dalam masyarakat
tidak pantas diakui atau dihargai kedudukan sosialnya.

4. Nirwana (nibbana)
Buddha mengajarkan apabila seseorang berhasil menghentikan lingkaran kelahiran, yaitu
kehidupan dan kematian, ia akan mencapai nirwana. Nirwana merupakan kebijaksanaan dan
kedamaian sempurna.16 Dengan kata lain, Nirwana adalah keadaan dimana seseorang hidup
bebas dari lingkaran kelahiran, yaitu kehidupan dan kematian. Apabila makhluk hidup tidak
sampai dalam Nirwana, maka disebut sebagai Samsara. Samsara adalah lingkaran kelahiran,
yaitu kehidupan dan kematian yang tiada akhir. Dengan bebasnya seseorang dari lingkaran
kelahiran, maka ia terbebas dari segala penderitaan (Dukkha).

C. RELEVANSI PEMIKIRAN SIDHARTA GAUTAMA BAGI MASYARAKAT


NUSANTARA

Di tengah-tengah masyarakat luas bangsa Indonesia, umat Buddha Indonesia sebagai


suatu kelompok umat beragama yang berpedoman kepada Dhamma Vinaya ajaran Sang
Budha Gautama sebagaimana tercantum dalam Kitab Suci Tripitaka (Pali) sesungguhnya
telah memiliki suatu ajaran serta pegangan hidup guna membina kehidupan jasmani dan
rohani yang luhur dan sejahtera, baik secara pribadi maupun secara bersama-sama di
kalangan umat Budha sendiri. Selain untuk umat Buddha, pemikiran dan ajaran Siddhārtha
Gautama memiliki relevansi yang kuat terhadap masyarakat Nusantara, antaralain:

1. Perdamaian dan Toleransi: Ajaran Buddha mendorong perdamaian, toleransi, dan rasa
empati terhadap semua makhluk hidup. Ini memiliki relevansi besar dalam konteks
konflik dan perbedaan antar individu dan kelompok dalam masyarakat.
2. Meditasi dan Kesejahteraan Mental: Praktik meditasi yang diajarkan oleh Buddha
dapat membantu individu mencapai kesejahteraan mental dan emosional. Dalam
masyarakat modern yang sering kali penuh dengan stres dan kecemasan, meditasi
dapat menjadi alat yang berguna untuk mengatasi masalah ini.

16
Anton Bakker, Ontologi Atau Metafisika Umum (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm: 82.
3. Tindakan Bertanggung Jawab: Ajaran tentang karma (hukum tindakan dan akibat)
mengingatkan individu untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka. Ini
memotivasi individu untuk bertindak dengan bijak dan bertanggung jawab terhadap
diri mereka sendiri dan orang lain.
4. Toleransi Terhadap Perbedaan Agama: Ajaran Buddha menekankan toleransi terhadap
beragamanya kepercayaan agama dan filsafat. Ini memiliki relevansi dalam dunia
yang semakin multikultural dan multireligius, di mana masyarakat harus belajar hidup
bersama dengan perbedaan keyakinan.
5. Lingkungan dan Kepedulian Terhadap Alam: Buddha mengajarkan kepedulian
terhadap alam dan makhluk hidup lainnya. Dalam konteks perubahan iklim dan
kerusakan lingkungan, filsafat ini dapat memotivasi tindakan untuk menjaga planet
dan kehidupan di atasnya17.

Selain relevansi ini, ajaran Buddha juga memberikan kerangka kerja yang kuat untuk
mencari makna dalam kehidupan dan mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam
tentang diri dan alam semesta. Oleh karena itu, filsafat Siddhartha Gautama tetap penting
dalam membantu individu dan masyarakat mengatasi berbagai aspek kehidupan dan
mencapai kesejahteraan spiritual dan emosional.

BAB III
17
Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Budha, Jalan Menuju Pencerahan, (Jogjakarta: Penerbit Saujana 2004), hlm.
85-87.
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Siddhārtha Gautama (Sang Buddha) tinggal di utara India hampir 2500 tahun yang
lalu. Beliau dikenal sebagai inspirasi spiritual dan pendiri aliran religius yang
sekarang disebut agama Buddha.
2. Filsafat Siddhārtha Gautama (Buddha) mengacu pada pandangan atau penerapan
ajaran Buddha terhadap nilai-nilai kehidupan, eksistensi, pengetahuan, akal budi,
materi, serta moralitas manusia.
3. Pemikiran dan ajaran Siddhārtha Gautama (Sang Buddha) antara lain:
a) Empat Kebenaran Mulia.

b) Delapan Jalan Mulia.

c) Enam Paramita.

d) Nirwana (nibbana).

4. Ajaran Siddhārtha Gautama (Sang Buddha) memiliki relevansi dalam berbagai bidang
bagi masyarakat di nusantara seperti yang telah di paparkan di atas. Ajaran ini juga
memberikan kerangka kerja yang kuat untuk mencari makna dalam kehidupan dan
mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang diri dan alam semesta.
Oleh karena itu, filsafat Siddhartha Gautama tetap penting dalam membantu individu
dan masyarakat mengatasi berbagai aspek kehidupan dan mencapai kesejahteraan
spiritual dan emosional.

DAFTAR PUSTAKA
Amin, Saidul. “Pembaharuan Pemikiran Islam di India”, Jurnal Ushuluddin, Volume 18,
Nomor 1, Januari 2012.

Anton Bakker, Ontologi Atau Metafisika Umum (Yogyakarta: Kanisius, 1992).

Bdk., FX. Mudji Sutrisno, ed., Buddhisme Pengaruhnya Dalam Abad Abad Modern
(Yogyakarta: Kanisius, 1993).

Bdk., Michael Keene, Agama-Agama Dunia (Judul Asli: World Religions), Penterj. F.A.
Soeprapto (Yogyakarta: Kanisius, 2006).

Gillian Stokes, Seri Siapa Dia Buddha, alih bahasa, Frans Kowa, (Jakarta: Erlangga 2001).

John. M. Koller, Filsafat Asia (Judul Asli: Asian Philosophies), Penterj. Donatus Sermada
(Maumere: Ledalero, 2010).
Lasiyo. “Pemikiran Filsafat Timur dan Barat (Studi Komparatif)”, Jurnal Filsafat, Maret
1997.

McLeod, John. 2002. The History of India. London: Greenwood Press.

Michael Keene, Agama-Agama Dunia (Judul Asli: World Religions), Penterj. F.A. Soeprapto
(Yogyakarta: Kanisius, 2006).

Moh.Rifa'i, Perbandingan Agama, (Semarang: PT Wicaksana 1980).

Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Budha, Jalan Menuju Pencerahan, Jogjakarta: Penerbit
Saujana 2004.

Wagiyo. 1996. “Pemikiran Filsafat India”, Makalah Intership, Dosen-Dosen Filsafat


Pancasila. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Zaehner, R. C. 1992. “Kebijaksanaan dari Timur: Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme”.


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai