Anda di halaman 1dari 30

PERIMBANGAN KEKUASAAN (CHECK AND BALANCES)

ANTAR LEMBAGA NEGARA

Disusun Oleh:
1. Muhammad Qodri Al Fahmi 5. Aditia Izzaturziyan
(02011382227509) (02011382227383)
2. Daffa Rizki Putra 6. Amanda Putri Damayanti
(02011382227365) (02011382227421)
3. M. Adhitya Nugraha 7. Ayu Nabila
(02011382227371) (02011382227417)
4. Ryo Dean Syah 8. M. Rifky Agustian
(02011382227375) (02011382227465)

Dosen Pengampuh:
Dr. Febrian, S.H., M.S.
Laurel Heydir, S.H., MA.
Dedeng, S.H., M.H.
Syafira Arizka Maulidyna, S.H., M.H.

Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya berupa nikmat iman dan kesehatan sehingga
penulis mampu menyelesaikan makalah tentang Perimbangan Kekuasaan
(Check and Balances) Antar Lembaga Negara.

Penyusunan makalah ini disusun guna menyelesaikan tugas mata kuliah


Hukum Tata Negara Indonesia. Adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai masalah,
keadaan sistem kelembagaan, dan ciri-ciri negara yang menerapkan
sistem check and balances.

Kami percaya bahwa masih terdapat banyak ruang untuk perbaikan dalam
penyusunan makalah ini. Baik aspek tata bahasa maupun penggunaan
tanda baca dapat ditingkatkan. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan tanggapan dan saran dari semua pembaca sebagai
masukan untuk mengevaluasi karya tulis kami.

Demikian, kami sangatberharap agar makalah ini bisamemberikan


manfaat melalui isi yang berguna bagi para pembaca.

Palembang, 18 Agustus 2023

Kelompok 9

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI.............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................. 2
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 2
1.4 Landasan Teori ................................................................................... 3
1.5 Metode Penelitian ............................................................................... 9

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Ciri-ciri Negara yang Menerapkan Prinsip Check and Balances ........ 10
2.2Keadaan Sistem Kelembagaan Di Indonesia ...................................... 11
2.3 Masalah yang Sering Terjadi .............................................................. 12
2.4 Solusi Masalah Dalam Penerapan Prinsip Check and Balances ....... 22

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ......................................................................................... 24
3.2 Saran .................................................................................................. 25

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Check and balances adalah prinsip yang mengatur hubungan
antara lembaga-lembaga negara agar saling mengawasi dan
menyeimbangkan kinerja dan kewenangan masing-masing. Prinsip ini
berasal dari ajaran trias politica yang membagi kekuasaan negara menjadi
tiga cabang, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.Check and balances
bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menjamin
kebebasan serta hak-hak warga negara. Prinsip ini juga dapat
meningkatkan kualitas demokrasi dan pemerintahan di suatu negara.
Check and balances pertama kali dikemukakan oleh Baron de
Montesquieu, seorang pemikir politik Prancis, yang mengembangkan
ajaran trias politica yang dicetuskan oleh John Locke. Montesquieu
membagi kekuasaan negara menjadi legislatif, eksekutif, dan
yudikatifyang memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang berbeda
pada masing-masing cabang kekuasaan, serta memberikan mekanisme
untuk saling mengontrol dan mengimbangi.1
Sebagai hasil dari doktrin kuno tentang pembagian kekuasaan
(separation of power), Baron de Montesquieu mengusulkan konsep check
and balances, yang kemudian diterapkan dalam konstitusi negara oleh
Amerika Serikat (US Constitution 1789) Menurut konsep ini, suatu negara
dikatakan memiliki sistem check and balances yang baik jika tidak ada
cabang pemerintahan yang lebih berkuasa daripada cabang lainnya, dan
jika setiap cabang dapat mengawasi dan membatasi cabang lainnya.
Di Indonesia, check and balances baru diterapkan secara nyata
setelah amandemen UUD 1945 pada era reformasi, yang mengubah

1
Sunarto, Prinsip Check and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jilid 45 No. 2, April
2016. Hal 157 - 163

1
sistem pemerintahan dari eksekutif berat menjadi lebih seimbang dan
harmonis antara lembaga-lembaga negara.2
Namun saat ini dalam praktiknya check and balances masih
menghadapi berbagai tantangan dan masalah, seperti konflik antar
lembaga, tumpang tindih kewenangan, rendahnya kualitas legislasi,
lemahnya pengawasan, dan kurangnya koordinasi dan komunikasi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apa ciri-ciri negara yang bisa dikatakan menerapkan prinsipcheck
and balances?
2. Bagaimana keadaan sistem kelembagaan di Indonesia sebelum
dan sesudah adanya penerapan prinsipcheck and balances jika
dilihat dari berbagai aspek?
3. Apa masalah yang sering terjadi dalam penerapan prinsipcheck
and balances?
4. Bagaimana solusi dari masalah yang terjadi dalam
penerapanprinsipcheck and balances?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian yaitu:
1. Mengetahui ciri-ciri negara yang bisa dikatakan menerapkan
prinsipcheck and balances.
2. Mengetahui keadaan sistem kelembagaan di Indonesia sebelum
dan sesudah adanya penerapan prinsipcheck and balances dilihat
dari berbagai aspek.
3. Mengetahui masalah yang sering terjadi dalam penerapan
prinsipcheck and balances.

2
Tanto Lailam, "Problem dan Solusi Penataan Checks and Balances System dalam Pembentukan
dan Pengujian Undang-Undang di Indonesia", Negara Hukum, 12, no. 1 (2021): 123-142

2
4. Mengetahui solusi dari masalah yang terjadi dalam penerapan
prinsip check and balances.

1.4 Landasan Teori


1.4.1 Lembaga Negara
Lembaga negara merupakan entitas pemerintahan yang didirikan
oleh suatu negara, berasal dari negara itu, dan bertujuan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan oleh negara tersebut.Lembaga negara
memiliki tugas, fungsi, dan kewenangan yang diatur dalam undang-
undang. Lembaga negara di Indonesia dibentuk berdasarkan UUD 1945
dan UU serta memiliki sistem yang dibentuk oleh negara itu sendiri.
Fungsi lembaga negara meliputi menjaga stabilitas dalam berbagai
aspek seperti keamanan, politik, hukum, hak asasi manusia, dan budaya
di dalam suatu negara. Selain itu, lembaga-lembaga negara berperan
dalam menciptakan lingkungan yang kondusif, aman, dan harmonis bagi
negara. Selanjutnya, lembaga-lembaga negara menjadi sumber inspirasi
dan aspirasi bagi rakyat serta berkontribusi dalam menjalankan fungsi
pemerintahan negara.
Ahmad Sukardja menjelaskan bahwa untuk menjalankan peran
negara, dibentuklah lembaga-lembaga negara atau yang disebut juga
sebagai alat perlengkapan negara. Beliau mengungkapkan bahwa istilah
alat perlengkapan negara dan lembaga-lembaga negara sebenarnya
merujuk pada hal yang sama, hanya berbeda dalam sebutannya.
Menurutnya, setiap lembaga negara memiliki posisi dan fungsi yang
berbeda-beda, meskipun dalam perkembangan yang signifikan terjadi
perubahan dalam struktur kenegaraan. Organisasi negara secara prinsip
terdiri dari tiga kekuatan utama, yakni kekuasaan pembuatan undang-
undang, kekuasaan pelaksanaan undang-undang, dan kekuasaan
penegakan hukum. Kekuasaan pembuatan undang-undang mencakup
kemampuan untuk merumuskan undang-undang. Kekuasaan
pelaksanaan undang-undang melibatkan kewenangan dalam
menyelenggarakan undang-undang. Sementara kekuasaan penegakan

3
hukum mencakup kemampuan untuk menjaga dan melindungi undang-
undang. Dalam praktiknya, ketiga kekuatan ini diwujudkan melalui
berbagai lembaga pemerintahan.

A. Lembaga Negara yang Tertulis Dalam Undang-Undang Dasar 1945


Dalam Undang-Undang Dasar 1945, terdapat berbagai macam
jenis dan level lembaga negara yang diakui. Beberapa di antaranya
secara spesifik disebutkan dalam UUD 1945, mencakup informasi
mengenai nama, struktur organisasi, dan wewenangnya.3 Hal ini
terdokumentasikan dengan jelas dalam beberapa pasal dalam UUD 1945.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, terdapat tiga cabang
kekuasaan negara yang disebutkan, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan
yudikatif, dan kekuasaan eksekutif, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Presiden dan Wakil Presiden menjalankan Kekuasaan
Pemerintahan, yang diatur dalam Bab III.
b) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki Kekuasaan Legislatif, yang
diatur dalam Bab VII. Dewan Perwakilan Daerah juga termasuk
dalam Kekuasaan Legislatif, dan diatur dalam Bab VIIA. Majelis
Permusyawaratan Rakyat juga bagian dari Kekuasaan Legislatif,
yang terdiri dari anggota DPR dan DPD, dan diatur dalam Bab II.
MPR memiliki TAP MPR, yang kembali berlaku setelah Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan diberlakukan, khususnya pada Pasal 7 ayat
(1).4
c) Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial
melaksanakan Kekuasaan Yudikatif, yang diatur dalam Bab IX.
d) Badan Pemeriksa Keuangan adalah kekuasaan yang berwenang
untuk memeriksa keuangan negara, yang diatur dalam Bab VIII.

3
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal 44 - 46
4
www. Kelembagaan.ristekdikti.go.id, diakses pada tangggal 28 Agustus 2023

4
Setelah UUD 1945 mengalami proses amandemen, lembaga-
lembaga tersebut menjadi institusi yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan pemerintahan, sebagaimana yang secara tegas disebutkan
dalam naskah UUD 1945 yang telah diamandemen.

B. Lembaga yang Tidak Tertulis Dalam Undang-Undang Dasar 1945


Lembaga yang dimaksud adalah organisasi atau badan-badan
yang ada dan melakukan tugas-tugas tertentu, tetapi tidak secara spesifik
disebutkan dalam UUD 1945 atau hanya dianggap sebagai bagian dari
unsur-unsurnya. Sama seperti institusi pemerintah yang tidak disebutkan
secara spesifik tetapi memiliki wewenang yang ditentukan meskipun tidak
dijelaskan secara terperinci. Sebagai contoh, nama dan struktur
organisasi Komisi Pemilihan Umum tidak secara jelas dinyatakan. Namun
demikian, UUD 1945 menegaskan dalam Pasal 22E ayat (5) bahwa
komisi yang bertanggung jawab atas pemilihan umum haruslah nasional,
permanen, dan bebas dari pengaruh eksternal.
Dalam pandangan Jimmy Asshiddiqie, ia mengemukakan bahwa
terdapat lembaga-lembaga di tingkat daerah yang secara khusus tidak
termasuk dalam kategori lembaga negara. Meskipun demikian, lembaga-
lembaga tersebut dapat dianggap sebagai lembaga daerah selama
mereka mendapatkan pendanaan dari anggaran negara atau daerah,
serta tujuan utamanya adalah bukan sebagai entitas swasta atau
organisasi masyarakat. Dalam konteks definisi lembaga negara yang telah
dijelaskan sebelumnya, lembaga-lembaga daerah semacam ini tetap
dapat diklasifikasikan sebagai lembaga daerah. Selanjutnya, lembaga-
lembaga daerah semacam ini dapat dibedakan berdasarkan:
a) Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, dibentuk lembaga
daerah yang anggotanya diangkat oleh Presiden melalui Keputusan
Presiden.

5
b) Berdasarkan peraturan pusat atau Peraturan Daerah Provinsi,
dibentuk lembaga daerah yang anggotanya ditunjuk oleh Presiden
atau pejabat pusat melalui Keputusan Presiden.
c) Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi, dibentuk lembaga daerah
yang kewenangannya diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi dan
anggotanya diangkat oleh Gubernur melalui Keputusan Gubernur.
d) Berdasarkan Peraturan Gubernur, dibentuk lembaga daerah yang
anggotanya diangkat oleh Gubernur melalui Keputusan Gubernur.
e) Berdasarkan Peraturan Gubernur, dibentuk lembaga daerah yang
anggotanya diangkat oleh Bupati atau Walikota melalui Keputusan
Bupati atau Walikota.
f) Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten/ kota, dibentuk lembaga
daerah yang anggotanya diangkat oleh Bupati/Walikota melalui
Keputusan Bupati/Walikota.
g) Berdasarkan Peraturan Bupati atau Walikota, dibentuk lembaga
daerah yang anggotanya ditetapkan oleh Bupati/ Walikota melalui
Keputusan Bupati/ Walikota.

1.4.2 Teori Tentang Kelembagaan


Pada umumnya, dalam sistem pemerintahan, kekuasaan dibagi
menjadi tiga cabang yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, yang dikenal
dengan istilah trias politica. Prinsip pembagian kekuasaan ini sering
dihubungkan dengan pemikiran Montesquieu. Dia menyatakan bahwa
dalam setiap bentuk pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasaan:
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga jenis kekuasaan ini harus
dipisahkan dengan jelas baik dalam tugas maupun dalam struktur
organisasinya.5
Konsep ini menolak campur tangan atau pengaruh satu kekuasaan
terhadap kekuasaan lainnya. Masing-masing kekuasaan harus
menjalankan tugas dan fungsi mereka secara terpisah sesuai peran yang

5
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
(Jakarta:Pusat Studi Hukum Tata Negara Fak. Hukum UI, h. 141. Lebih lengkap Lihat, Titik
Triwulan Tutik, Ibid, hal. 87

6
berbeda-beda. Pemisahan kekuasaan ini dijelaskan sebagai pemisahan
baik dalam institusi maupun individu yang menjalankannya.
Namun, dalam praktiknya, seperti yang diungkapkan oleh Ismail
Sunny, pembagian kekuasaan pemerintahan ini tidak selalu berjalan
sempurna. Terkadang, kekuasaan satu cabang tidak sepenuhnya terpisah
dari yang lainnya dan bahkan dapat saling memengaruhi.6

A. Teori Pemisahan Kekuasaan dan Pembagian Kekuasaan


UUD 1945 sebelum mengalami amandemen tidak secara jelas
mengatur pembagian kekuasaan. UUD Dasar 1945 hanya mengakui
pemisahan kekuasaan secara formil, oleh karena itu prinsip pemisahan
kekuasaan tidak dipegang dengan tegas.7 Bisa dikatakan UUD 1945
hanya mengenal konsep pembagian kekuasaan (Division of Power) dan
bukan pemisahan kekuasaan (Separation of Power).8
Namun, dalam pandangan Soepomo, Undang-Undang Dasar 1945
memiliki sistem yang unik, berdasarkan pembagian kekuasaan. Meskipun
setiap lembaga negara memiliki tugas tertentu dalam pembagian
kekuasaan ini, sistem ini memungkinkan adanya kerjasama antara
lembaga-lembaga negara. Oleh karena itu, dapat dijelaskan bahwa
Undang-Undang Dasar 1945 tidak menganut prinsip pemisahan
kekuasaan (Separation of Power), tetapi dalam sistem konstitusi sesuai
UUD 1945, pembagian kekuasaan diatur sebagai berikut:
a) Secara prinsip, Undang-Undang Dasar 1945 mengakui adanya
pembagian kekuasaan;

6
Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, (Jakarta: Aksara Baru), hal. 15, Lihat,
Titik Triwulan Tutik, Ibid, hal. 88
7
Mencermati dengan baik dalam Undang-Undang Dasar 1945 pra amandemen membagi
pasal-pasal tersendiri mengenai alat-alat perlengkapan negara dengan tidak menekankan kepada
pemisahannya. Hal ini dapat dilihat dalam sistematika dari Undang-Undang Dasar 1945 yang
membagi dalam bab per bab, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab VII tentang
Dewan Perwakilan Rakyat, dan, Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, hal ini menjelaskan
adanya tentang pengelompokan-pengelompokan kekuasaan.
8
Ismail Sunny, Loc. Cit. Dalam, Titik Triwulan Tutik, Ibid, hal. 88

7
b) Undang-Undang Dasar 1945 mengalokasikan kekuasaan ke dalam
tiga lembaga yang secara prinsipil diatur mengenai posisi dan
peran masing-masingnya;
c) Kerjasama antara lembaga-lembaga negara dalam pelaksanaan
tugasnya mencerminkan kekuasaan yang independen, tidak terikat
oleh pengaruh kekuasaan lain seperti eksekutif dan legislatif.
Tambahan pula, perlu ditekankan bahwa Undang-Undang Dasar
1945 tidak memuat rujukan terhadap lembaga penuntut umum
(Kejaksaan Agung).

Dalam konteks ini, Ismail Sunny berpendapat bahwa dalam negara


yang berdasarkan hukum, yang menjadi hal yang mendasar bukanlah
apakah ada atau tidaknya konsep Trias Politica, tetapi lebih kepada
apakah alat-alat kekuasaan negara dapat dijauhkan dari praktik birokrasi
dan tindakan sewenang-wenang. Faktor ini tidak sepenuhnya bergantung
pada pemisahan kekuasaan itu sendiri, melainkan lebih berkaitan dengan
prinsip pokok negara demokrasi, yaitu kedaulatan rakyat.
Di dalam konteks negara Indonesia, lembaga-lembaga negara
bekerja bersama dan melakukan pengawasan saling antara satu lembaga
dengan lembaga lainnya. Namun, perlu dicatat bahwa ini tidak
mengindikasikan adanya campur tangan kelembagaan yang satu
terhadap yang lain dalam pelaksanaan tugas dan wewenang. Alasan di
balik ini adalah bahwa setiap lembaga negara yang dijelaskan dalam
konstitusi memiliki otonomi sendiri dan beroperasi secara independen,
tanpa adanya pengaruh atau kepemimpinan dari lembaga lain.

B. Teori Saling Kontrol dan Mengimbangi (Check and Balances)


Prinsip Check and Balances adalah konsep yang diterapkan di
negara-negara yang memiliki beragam lembaga pemerintahan. Di Prancis,
teori ini diperkenalkan oleh Montesquieu, yang mengurai pembagian
kekuasaan negara menjadi tiga cabang utama: eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Dalam perkembangannya, sistem pemerintahan di Indonesia

8
mengalami transformasi mendasar usai adanya perubahan pada Undang-
Undang Dasar 1945 melalui proses amandemen yang dilakukan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada periode 1999 hingga 2002.
Transformasi ini muncul sebagai hasil dari semangat untuk
membentuk pemerintahan yang demokratis, dengan prinsip Check and
Balances yang mengedepankan kesetaraan dan keseimbangan di antara
berbagai cabang kekuasaan. Hal ini bertujuan untuk mencapai dominasi
hukum, keadilan, serta perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi
manusia.9

1.5 Metode Penelitian


Kami menggunakan metode kualitatif untuk menulis makalah ini
dengan melakukan studi literatur yang melibatkan pengumpulan berbagai
macam bahan yang tersedia di perpustakaan, seperti koran, buku,
naskah, dokumen dan lain-lain yang sesuai dengan penelitian. Dalam
penelitian ini, kami mengkaji berbagai sumber teori tentang perimbangan
kekuasaan (check and balances) antara lembaga negara dengan
mempelajari berbagai buku, jurnal, artikel, konstitusi yang ada dan relevan
dengan penelitian. Selain itu, kami juga melakukan catatan, pemahaman,
dan komparasi dengan sumber yang ada untuk mendapatkan hasil
penelitian ini. Kami juga melakukan tinjauan penelitian yang mirip untuk
mendapatkan kesimpulan yang valid dan akurat.

9
Mahkamah Konstitusi, Cetak Biru: Membangun Mahkamah Konstitusi sebagai institusi
Peradilan Konstitusi yang modren dan terpercaya, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2004), h. 3.
Lihat, Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta:Cerdas Pustaka), hal. 90.

9
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Ciri-ciri Negara yang Menerapkan Prinsip Check and Balances


Negara yang menerapkan prinsip check and balances dalam
sistem pemerintahan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a) Negara tersebut memiliki pembagian kekuasaan negara menjadi
tiga cabang, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, yang masing-
masing memiliki fungsi dan kewenangan yang berbeda dan saling
terpisah.
b) Negara tersebut memiliki mekanisme pengawasan dan
keseimbangan antara cabang-cabang kekuasaan negara, sehingga
tidak ada satu pun cabang yang memiliki kekuasaan dominan,
serta dapat dipengaruhi oleh cabang lainnya.
c) Negara tersebut memiliki lembaga-lembaga negara yang
profesional dan independen dalam menjalankan fungsi-fungsi
konstitusionalnya, serta menghormati dan menjunjung tinggi
prinsip-prinsip demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia.
d) Negara tersebut memiliki partisipasi dan pengawasan dari
masyarakat sipil, media massa, akademisi, dan pemangku
kepentingan lainnya terhadap kinerja dan kualitas dari lembaga-
lembaga negara dalam menjalankan fungsi-fungsi check and
balances.

Dua contoh negara yang menerapkan prinsipcheck and balances


dalam sistem pemerintahan adalah Amerika Serikat dan Indonesia. Kedua
negara ini memiliki konstitusi yang menetapkan struktur dan tanggung
jawab pemerintah federal atau pusat serta hubungannya dengan
pemerintah negara bagian atau daerah. Kedua negara ini juga memiliki
lembaga-lembaga negara yang saling mengawasi dan menyeimbangkan,
seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan
Umum, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan lain-lain. Kedua negara ini

10
juga memiliki sistem demokrasi yang relatif stabil dan berkembang,
meskipun masih menghadapi berbagai tantangan dan masalah dalam
penerapan prinsip check and balances.

2.2 Keadaan Sistem Kelembagaan Di Indonesia


Keadaan sistem kelembagaan di Indonesia jika dilihat dari aspek
kelembagaan sebelum adanya check and balances, sistem kelembagaan
di Indonesia mengikuti prinsip distribution of power, yaitu pembagian
kekuasaan negara yang tidak seimbang dan subordinatif. Lembaga
eksekutif (presiden) memiliki kekuasaan yang dominan dan tidak terbatas,
sedangkan lembaga legislatif (DPR dan MPR) dan yudikatif (MA) hanya
berperan sebagai pelengkap dan pengikut. Setelah ada check and
balances, sistem kelembagaan di Indonesia mengikuti prinsip separation
of power, yaitu pemisahan kekuasaan negara yang seimbang dan mandiri.
Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki kewenangan dan
tanggung jawab yang jelas dan saling mengawasi satu sama lain.10 Selain
itu, juga ditambahkan lembaga-lembaga negara lain yang berperan
sebagai penyeimbang, seperti DPD, MK, KY, BPK, KPU, dan lain-lain.
Jika dilihat dari aspek konstitusionalnya sebelum adanya check and
balances, UUD 1945 memberikan wewenang yang sangat luas kepada
presiden tanpa adanya batasan yang jelas. Presiden dapat membubarkan
DPR, mengangkat dan memberhentikan menteri, mengeluarkan peraturan
perundang-undangan tanpa persetujuan DPR, dan sebagainya. Setelah
ada check and balances, UUD 1945 mengatur secara rinci tentang
kedudukan, fungsi, dan kewenangan masing-masing lembaga negara.
Presiden tidak lagi dapat membubarkan DPR, tetapi dapat dimakzulkan
oleh MPR. Presiden juga harus mendapat persetujuan DPR dalam
mengangkat dan memberhentikan menteri, mengeluarkan peraturan
perundang-undangan, menetapkan anggaran negara, dan sebagainya.11

10
Sunarto, “Prinsip Check and Balances Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,” Masalah -
Masalah Hukum, 45, no. 2 (2016): 157-163

11
Chrisdianto Eko Purnomo, “Pengaruh Pembatasan Kekuasaan Presiden Terhadap Praktik

11
Selain itu, UUD 1945 juga memberikan kewenangan kepada MK untuk
menguji konstitusionalitas undang-undang dan putusan lembaga negara
lainnya.
Jika dilihat dari aspek demokrasinya sebelum adanya check and
balances, demokrasi di Indonesia tidak berjalan dengan baik. Hak-hak
asasi manusia sering dilanggar oleh pemerintah. Kebebasan berpendapat,
berserikat, berkumpul, dan berdemo dibatasi oleh pemerintah. Media
massa juga dikendalikan oleh pemerintah. Pemilu tidak dilaksanakan
secara jujur dan adil. Partai politik hanya menjadi alat bagi pemerintah
untuk mempertahankan kekuasaannya. Setelah ada check and balances,
demokrasi di Indonesia mulai berkembang dengan lebih baik. Hak-hak
asasi manusia dijamin oleh konstitusi. Kebebasan sipil dan politik
dihormati oleh pemerintah. Media massa juga lebih bebas dan kritis dalam
memberitakan isu-isu publik. Pemilu dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Partai politik juga lebih beragam
dan berperan sebagai wadah aspirasi rakyat.

2.3 Masalah yang Sering Terjadi


Di Indonesia, ada beberapa permasalahan dalam penerapan
prinsipcheck and balances antar lembaga negara yang dapat
mempengaruhi efektivitas mekanisme check and balances, antara lain:
A. Dominasi Eksekutif
Dominasi eksekutif, merujuk pada situasi di mana cabang eksekutif
pemerintahan memiliki kekuasaan yang sangat besar dan cenderung
menguasai atau mengendalikan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya,
seperti legislatif dan yudikatif.
Beberapa ciri dari dominasi eksekutif dalam konteks check and
balances adalah:

Ketatanegaraan Indonesia”, Wacana Hukum dan Konstitusi Jurnal Konstitusi 7, no. 2 (2010): 160-
182

12
a) Kekuasaan Pemutusan Tangan Tunggal: Eksekutif memiliki
kekuasaan luas untuk membuat keputusan tanpa banyak
pengawasan atau persetujuan dari lembaga lain.
b) Kontrol Atas Legislasi: Eksekutif memiliki pengaruh yang kuat atas
proses legislasi, dan dapat mempengaruhi atau bahkan
mengarahkan pembuatan undang-undang.
c) Kendali Terhadap Anggaran: Eksekutif memiliki kekuatan untuk
mengatur dan mengendalikan anggaran pemerintahan, yang dapat
digunakan untuk mempengaruhi atau membatasi lembaga lain.
d) Pengaruh Atas Lembaga Yudikatif: Eksekutif memiliki pengaruh
atas pengangkatan dan penggantian hakim, yang dapat
mempengaruhi independensi dan objektivitas lembaga yudikatif.
e) Dominasi dalam Hubungan Internasional: Eksekutif memiliki
wewenang yang signifikan dalam urusan luar negeri, termasuk
perjanjian internasional dan diplomasi.
f) Kontrol Media dan Informasi: Eksekutif memiliki kemampuan untuk
mengontrol media dan informasi, yang dapat digunakan untuk
memanipulasi opini publik dan menghindari kritik.
g) Penggunaan Kekuatan Eksekutif Darurat: Dominasi eksekutif bisa
terjadi melalui penggunaan kekuatan eksekutif darurat yang
memberikan kekuasaan besar pada eksekutif untuk mengabaikan
atau melewati lembaga lain.
h) Keterbatasan Pengawasan: Dominasi eksekutif dapat mengurangi
pengawasan efektif terhadap keputusan dan tindakan eksekutif,
yang berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan.

Beberapa faktor yang menyebabkan dominasi eksekutifantara lain


adalah:
a) Presiden memiliki peran ganda sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan, sehingga memiliki kewenangan yang luas di bidang
eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

13
b) Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, sehingga memiliki
legitimasi yang kuat dan tidak mudah diganti oleh lembaga lain.
c) Presiden memiliki hak veto, yaitu hak untuk menolak rancangan
undang-undang yang diajukan oleh DPR, yang hanya dapat
dilawan dengan dua per tiga suara dari seluruh anggota majelis.
d) Presiden memiliki hak prerogatif, yaitu hak istimewa yang tidak
terikat oleh undang-undang, seperti grasi, amnesti, abolisi, dan
rehabilitasi.
e) Presiden memiliki kekuasaan untuk mengangkat dan
memberhentikan pejabat negara lainnya, seperti menteri, kepala
daerah, duta besar, hakim agung, hakim konstitusi, dan lain-lain.

Beberapa dampak negatif dari dominasi eksekutif antara lain


adalah:
a) Menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden yang
dapat merugikan kepentingan rakyat.
b) Mengurangi peran dan fungsi DPR dan DPD dalam menjalankan
fungsi legislasi dan pengawasan terhadap pemerintah.
c) Melemahkan independensi dan integritas MA dan MK dalam
menjalankan fungsi yudikatif dan konstitusional.
d) Mendorong terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme di lingkungan
pemerintahan.
e) Mengancam demokrasi, hak asasi manusia, dan supremasi hukum
di Indonesia.

Beberapa contoh kasus dominasi eksekutif di Indonesia antara lain


adalah:
a) Kasus pembentukan Tim Pemburu Mafia Hukum oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009, yang dianggap
melanggar kewenangan dan independensi lembaga-lembaga
penegak hukum, seperti KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan
Mahkamah Agung.

14
b) Kasus pengesahan UU Cipta Kerja oleh Presiden Joko Widodo
pada tahun 2020, yang dianggap mengabaikan aspirasi dan kritik
dari berbagai elemen masyarakat, seperti buruh, petani, aktivis
lingkungan, akademisi, dan mahasiswa. UU Cipta Kerja dinilai
merugikan hak-hak pekerja, merampas tanah rakyat, merusak
lingkungan hidup, dan mengorbankan demokrasi.
c) Kasus penunjukan Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai calon
tunggal Kapolri oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2021, yang
dianggap melanggar kewenangan dan independensi DPR sebagai
lembaga legislatif. DPR dinilai hanya menjadi stempel atau rubber
stamp dari keputusan presiden, tanpa melakukan uji kelayakan dan
kepatutan secara objektif dan transparan.

B. Politik Partisan
Politik partisan dalam check and balances adalah suatu fenomena
yang terjadi ketika partai-partai politik yang ada di dalam lembaga-
lembaga negara berpengaruh terhadap cara mereka menjalankan fungsi-
fungsi pengawasan dan keseimbangan kekuasaan. Politik partisan dapat
mempengaruhi kinerja dan kualitas dari prinsip check and balances, baik
secara positif maupun negatif.politik partisan dapat mengganggu dan
menghambat proses check and balances, karena partai-partai politik
dapat saling menyerang dan menghalangi jika ada kepentingan atau
agenda politik yang bertentangan dengan lembaga lain. Politik partisan
juga dapat menimbulkan konflik dan polarisasi antara lembaga-lembaga
negara yang berbeda ideologi politik, sehingga dapat mengancam
stabilitas dan harmoni nasional.
Beberapa ciri-ciri politik partisan adalah:
a) Adanya identifikasi diri yang kuat dengan suatu partai atau
kelompok, sehingga mengabaikan identitas nasional atau
kemanusiaan yang lebih luas.

15
b) Adanya sikap fanatik, intoleran, dan tidak kritis terhadap partai atau
kelompok sendiri, serta sikap bermusuhan, curiga, dan tidak hormat
terhadap partai atau kelompok lain.
c) Adanya pemilihan informasi dan fakta yang sesuai dengan partai
atau kelompok sendiri, serta penolakan informasi dan fakta yang
bertentangan dengan partai atau kelompok sendiri.
d) Adanya penggunaan bahasa dan simbol yang provokatif,
diskriminatif, atau menyerang terhadap partai atau kelompok lain.
e) Adanya tindakan-tindakan yang merugikan, menghalang-halangi,
atau mengancam partai atau kelompok lain, baik secara langsung
maupun tidak langsung.

Politik partisan dapat berdampak negatif bagi masyarakat dan


negara, antara lain:
a) Menurunkan kualitas demokrasi, karena menghambat proses
deliberasi, konsensus, dan representasi yang adil dan inklusif.
b) Meningkatkan konflik sosial, karena menimbulkan perasaan
permusuhan, ketidakpercayaan, dan ketakutan antara kelompok-
kelompok yang berbeda.
c) Menghambat pembangunan nasional, karena menyebabkan
ketidakstabilan politik, ketidakpastian hukum, dan ketidakefektifan
kebijakan publik.

Beberapa contoh kasus politik partisan di Indonesia antara lain


adalah:
a) Kasus pembentukan koalisi pemerintah dan oposisi oleh partai-
partai politik yang mendukung atau menentang Presiden Joko
Widodo dalam pemilu 2019, yang mempengaruhi komposisi dan
kinerja dari kabinet, DPR, DPD, dan MPR.
b) Kasus pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR yang didominasi oleh
partai-partai koalisi pemerintah pada tahun 2020, yang mendapat
penolakan dari partai-partai oposisi dan sejumlah elemen

16
masyarakat, seperti buruh, petani, aktivis lingkungan, akademisi,
dan mahasiswa.
c) Kasus penolakan RUU Haluan Ideologi Pancasila oleh DPR yang
didominasi oleh partai-partai koalisi pemerintah pada tahun 2020,
yang mendapat dukungan dari partai-partai oposisi dan sejumlah
elemen masyarakat, seperti ormas Islam, tokoh nasionalis,
akademisi, dan mahasiswa.

C. Keterbatasan Penegakan
Keterbatasan penegakan adalah suatu kondisi yang
menggambarkan adanya hambatan, kendala, atau kelemahan dalam
menjalankan prinsip saling mengawasi dan menyeimbangkan antara
lembaga-lembaga negara. Keterbatasan ini dapat berdampak negatif
terhadap kualitas demokrasi, hukum, dan tata kelola pemerintahan di
suatu negara.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan keterbatasan
penegakanantara lain adalah:
a) Adanya dominasi atau intervensi politik dari salah satu lembaga
negara terhadap lembaga lain, sehingga mengganggu
independensi dan profesionalisme dalam menjalankan fungsi-
fungsi konstitusional. Contohnya adalah kasus pembentukan Tim
Pemburu Mafia Hukum oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
pada tahun 2009, yang dianggap melanggar kewenangan dan
independensi lembaga-lembaga penegak hukum, seperti KPK,
Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan Mahkamah Agung.
b) Adanya konflik atau konfrontasi antara lembaga-lembaga negara
yang berbeda pandangan atau kepentingan politik, sehingga
menghambat proses dialog dan kompromi dalam pembuatan dan
pengujian undang-undang. Contohnya adalah kasus pengesahan
UU Cipta Kerja oleh DPR yang didominasi oleh partai-partai koalisi
pemerintah pada tahun 2020, yang mendapat penolakan dari

17
partai-partai oposisi dan sejumlah elemen masyarakat, seperti
buruh, petani, aktivis lingkungan, akademisi, dan mahasiswa.
c) Adanya kesenjangan atau ketimpangan kewenangan antara
lembaga-lembaga negara, sehingga menimbulkan
ketidakseimbangan dan ketidakadilan dalam pelaksanaan
kekuasaan. Contohnya adalah kasus penunjukan Komjen Listyo
Sigit Prabowo sebagai calon tunggal Kapolri oleh Presiden Joko
Widodo pada tahun 2021, yang dianggap melanggar kewenangan
dan independensi DPR sebagai lembaga legislatif. DPR dinilai
hanya menjadi stempel atau rubber stamp dari keputusan presiden,
tanpa melakukan uji kelayakan dan kepatutan secara objektif dan
transparan.
d) Adanya ketidakmampuan atau ketidaksiapan dari lembaga-
lembaga negara dalam menjalankan fungsi-fungsi check and
balances, baik karena kurangnya sumber daya, kapasitas, maupun
kompetensi. Contohnya adalah kasus penolakan RUU Haluan
Ideologi Pancasila oleh DPR yang didominasi oleh partai-partai
koalisi pemerintah pada tahun 2020, yang mendapat dukungan dari
partai-partai oposisi dan sejumlah elemen masyarakat, seperti
ormas Islam, tokoh nasionalis, akademisi, dan mahasiswa. DPR
dinilai tidak memiliki kapasitas dan kompetensi untuk membahas
RUU yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar negara.
e) Adanya penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan oleh
lembaga-lembaga negara, baik secara sengaja maupun tidak
sengaja, yang melanggar konstitusi, hukum, maupun etika.
Contohnya adalah kasus putusan MK yang menyimpang dari
undang-undang, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, yang
melanggar prinsip supremasi hukum, legalitas, dan kepastian
hukum, sehingga menimbulkan kerugian bagi negara atau
masyarakat.

18
D. Ketidakjelasan Batasan Kewenangan
Ketidakjelasan batasan kewenangan adalah suatu masalah yang
berkaitan dengan kurangnya definisi atau kriteria yang jelas dan tegas
mengenai ruang lingkup dan batas-batas kewenangan antara lembaga-
lembaga negara yang saling mengawasi dan menyeimbangkan.
Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti:
a) Adanya tumpang tindih atau benturan kewenangan antara
lembaga-lembaga negara, sehingga menimbulkan konflik,
ketegangan, atau kebuntuan dalam proses pengambilan
keputusan.
b) Adanya penyalahgunaan atau penyimpangan kewenangan oleh
salah satu lembaga negara, sehingga mengganggu fungsi dan
kinerja lembaga lain, serta merugikan kepentingan publik.
c) Adanya ketidakpastian atau ketidakstabilan hukum, karena adanya
perubahan atau pembatalan kewenangan oleh lembaga lain tanpa
dasar hukum yang kuat atau prosedur yang jelas.
d) Adanya ketidakadilan atau ketidaksesuaian antara beban dan
tanggung jawab yang diemban oleh lembaga-lembaga negara,
sehingga menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan dalam
pelaksanaan kekuasaan.

Beberapa contoh kasus yang menunjukkan ketidakjelasan batasan


kewenangan antara lain adalah:
a) Kasus pembatalan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota oleh Mahkamah Konstitusi (MK),
yang dianggap melampaui kewenangan MK sebagai lembaga
yudikatif dan mengganggu kewenangan Presiden sebagai lembaga
eksekutif.
b) Kasus pemberhentian sementara Komjen Budi Gunawan sebagai
calon Kapolri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang

19
dianggap melanggar kewenangan DPR sebagai lembaga legislatif
dan Presiden sebagai lembaga eksekutif.
c) Kasus penolakan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3)
oleh MK, yang dianggap tidak sesuai dengan kewenangan MK
sebagai lembaga yudikatif dan mengabaikan kewenangan DPR
sebagai lembaga legislatif.

E. Transparansi dan Akuntabilitas


Masalah transparansi dan akuntabilitas adalah suatu masalah yang
berkaitan dengan kurangnya keterbukaan informasi dan proses yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga negara yang saling mengawasi dan
menyeimbangkan, serta kurangnya pertanggungjawaban dan kewajiban
lembaga-lembaga negara untuk menjelaskan dan
mempertanggungjawabkan tindakan dan keputusan yang diambil kepada
publik.Masalah ini dapat berdampak negatif terhadap kualitas demokrasi,
hukum, dan tata kelola pemerintahan di suatu negara, seperti:
a) Menurunkan kepercayaan dan kesejahteraan masyarakat terhadap
lembaga-lembaga negara, karena merasa tidak dilibatkan atau
tidak diinformasikan mengenai kebijakan-kebijakan publik yang
berpengaruh terhadap hak dan kewajiban mereka.
b) Meningkatkan potensi terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme di
lembaga-lembaga negara, karena tidak adanya mekanisme
pengawasan dan sanksi yang efektif dan efisien terhadap
penyalahgunaan atau penyimpangan kekuasaan oleh lembaga-
lembaga negara.
c) Mengganggu stabilitas dan harmoni nasional, karena menimbulkan
konflik atau polarisasi antara lembaga-lembaga negara atau antara
lembaga-lembaga negara dengan masyarakat, akibat
ketidakpuasan atau ketidaksepakatan terhadap kebijakan-kebijakan
publik yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga negara.

20
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan masalah transparansi
dan akuntabilitas antara lain adalah:
a) Adanya budaya politik yang paternalistik, otoriter, dan koruptif, yang
cenderung mengagungkan atau mengikuti figur atau tokoh politik
tertentu, serta mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, hukum, dan
hak asasi manusia.
b) Adanya sistem hukum yang lemah atau tidak independen, yang
tidak mampu memberikan perlindungan atau penegakan hukum
secara adil dan merata kepada semua pihak, baik lembaga-
lembaga negara maupun masyarakat.
c) Adanya sumber daya yang terbatas atau tidak merata, baik dalam
hal anggaran, infrastruktur, teknologi, maupun sumber daya
manusia, yang menghambat proses penyelenggaraan dan
pengawasan kebijakan publik oleh lembaga-lembaga negara.

Beberapa contoh kasus transparansi dan akuntabilitas di Indonesia


antara lain adalah:
a) Kasus pengungkapan data anggota DPR yang terlibat kasus
korupsi oleh KPK pada tahun 2019, yang menunjukkan komitmen
KPK sebagai lembaga antikorupsi untuk memberantas korupsi di
lembaga legislatif, serta mendorong transparansi dan akuntabilitas
dari anggota DPR kepada masyarakat.
b) Kasus pengumuman hasil uji kelayakan dan kepatutan calon
Kapolri oleh DPR pada tahun 2021, yang menunjukkan upaya DPR
sebagai lembaga legislatif untuk meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas dalam proses penunjukan Kapolri, serta memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan masukan dan
tanggapan.
c) Kasus pengadilan perkara konstitusi oleh MK secara terbuka dan
online pada tahun 2020, yang menunjukkan inovasi MK sebagai
lembaga yudikatif untuk meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas dalam proses pengujian undang-undang terhadap

21
konstitusi, serta memudahkan akses dan partisipasi masyarakat
dalam mengikuti persidangan.
2.4 Solusi Masalah Dalam Penerapan Prinsip Check and Balances
Solusi dari permasalahan penerapan prinsip check and balances
dapat bervariasi tergantung pada konteks dan situasi masing-masing
negara. Namun, secara umum, beberapa solusi yang dapat
dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a) Untuk mengatasi dominasi eksekutif, salah satu solusi yang dapat
dilakukan adalah mengatur hak veto dalam konstitusi. Hak veto
adalah hak presiden untuk menolak rancangan undang-undang
yang disahkan oleh parlemen. Hak veto dapat menjadi alat untuk
menyeimbangkan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, serta
mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh salah satu
pihak.
b) Untuk mengatasi politik partisan, salah satu solusi yang dapat
dilakukan adalah melakukan rekonstruksi makna "otonomi daerah"
dalam menata hubungan legislatif antara DPR dan DPD. DPR dan
DPD adalah dua lembaga legislatif yang memiliki fungsi dan
kewenangan berbeda. DPR mewakili rakyat secara nasional,
sedangkan DPD mewakili daerah-daerah di Indonesia. Dengan
memberikan otonomi daerah yang lebih besar, diharapkan dapat
mengurangi pengaruh partai politik dalam proses pembuatan
undang-undang, serta meningkatkan partisipasi dan kesejahteraan
masyarakat daerah.
c) Untuk mengatasi keterbatasan penegakan, salah satu solusi yang
dapat dilakukan adalah memperkuat kemampuan legal drafting.
Legal drafting adalah proses penyusunan rancangan undang-
undang yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan teknik
legislasi. Legal drafting yang baik dapat menghasilkan undang-
undang yang jelas, tegas, sistematis, dan konsisten. Hal ini dapat
membantu dalam penegakan hukum, serta menghindari terjadinya
multitafsir atau konflik norma.

22
d) Untuk mengatasi ketidakjelasan batasan kewenangan, salah satu
solusi yang dapat dilakukan adalah meletakkan bangunan prinsip
separation of power dan checks and balances secara benar
menurut konstitusi. Prinsip separation of power dan checks and
balances adalah prinsip dasar dalam sistem pemerintahan
demokratis, yang bertujuan untuk membagi dan mengawasi
kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Prinsip ini
harus diimplementasikan sesuai dengan ketentuan konstitusi, serta
dijaga agar tidak terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan oleh
salah satu pihak.
e) Untuk mengatasi transparansi dan akuntabilitas, salah satu solusi
yang dapat dilakukan adalah membangun pemahaman yang benar
tentang interpretasi konstitusi. Interpretasi konstitusi adalah proses
pemaknaan terhadap isi dan ruh konstitusi oleh lembaga-lembaga
negara atau masyarakat. Interpretasi konstitusi yang benar harus
berdasarkan pada nilai-nilai dasar konstitusi, seperti kedaulatan
rakyat, hak asasi manusia, keadilan sosial, dan negara hukum.
Interpretasi konstitusi yang benar juga harus transparan dan
akuntabel, serta tidak didasarkan pada kepentingan pribadi atau
kelompok.

23
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dengan penerapan mekanisme checks and balances ini, tiap
lembaga negara dapat melakukan pengawasan dan menjaga
keseimbangan terhadap kekuasaan lembaga-lembaga lainnya. Konsep ini
sesuai dengan semangat reformasi dan prinsip konstitusi yang tertuang
dalam UUD 1945, dengan tujuan untuk membentuk tata kelola negara
yang menghindari kewenangan yang berlebihan dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Mekanisme checks and balances menjadi tuntutan esensial dalam
proses reformasi. Salah satu tujuan utamanya adalah mencegah
terakumulasinya kekuasaan dalam satu lembaga saja. Di Indonesia,
mekanisme ini relevan karena negara memiliki tiga cabang kekuasaan:
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun, di Indonesia, implementasi
praktiknya tidak selalu murni, karena sistem yang diterapkan bukanlah
pemisahan kekuasaan secara tegas (separation of power), melainkan
lebih ke arah pemisahan formal (division of power).
Prinsip checks and balances berfungsi sebagai pengaturan atas
kekuasaan negara, mengakibatkan adanya pembatasan kekuasaan dan
upaya saling pengawasan antar lembaga negara, yang bertujuan
mencegah penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang menjalankan
pemerintahan. Konsep ini tercermin dalam pembentukan beberapa
lembaga negara baru setelah amandemen UUD 1945, seperti Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.
Namun, praktik check and balances antara lembaga negara di
Indonesia tidak selalu berjalan dengan sempurna. Masih banyak masalah
yang muncul dalam menerapkan prinsip check and balances, seperti
konflik kepentingan, penyimpangan kewenangan, ketidakharmonisan
legislasi, dan rendahnya kualitas konstitusional.

24
3.2 Saran
Masalah-masalah yang terjadi dalam penerapan check and
balances dapat mengancam stabilitas dan demokrasi di Indonesia, serta
merugikan hak-hak rakyat. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk
memperbaiki dan memperkuat sistem check and balances di Indonesia,
agar lembaga negara dapat menjalankan fungsi-fungsi mereka secara
efektif, efisien, dan akuntabel.

25
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asshiddiqie, J. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca


Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Sadono, Bambang, Tb. Hasanuddin, Rambe Kamarul Zaman, Martin


Hutabarat, dan Tb. Soenmandjaja. Checks and Balances Dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Badan Pengkajian MPR
RI, 2017.

Asshiddiqie, Jimly. “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia”, Jakarta:


Konpress Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2005.

Kusnardi M, Ibrahim H. “Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia”,


Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fak. Hukum UI. 1981.

Nuruddin, dan Ahmad Muhasim. "Hukum Tata Negara Indonesia." Nusa


Tenggara Barat: CV. Alfa Press. 2022.

Jurnal

Sunarto. “Prinsip Check and Balances Dalam Sistem Ketatanegaraan


Indonesia.”Masalah - Masalah Hukum, 45, no. 2 (2016): 157 – 163

Lailam, Tanto. "Problem dan Solusi Penataan Checks and Blances


System dalam Pembentukan dan Pengujian Undang-Undang di
Indonesia." Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan
dan Kesejahteraan 12, no. 1 (2021): 123 – 142

Romaliani, Karina, Muhammad Arsad Nasution, dan Adi Syahputra Sirait.


"Check and Balance dalam Sistem Pemerintahan Indonesia." Jurnal
El-Thawalib 2, no. 1 (2021):

Pulungan, Rizky Andrian Ramadhan, dan Lita Tyesta A.L.W. "Mekanisme


Pelaksanaan Prinsip Checks and Balances antara Lembaga
Legislatif dan Eksekutif dalam Pembentukan Undang-Undang
dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia." Jurnal Pembangunan
Hukum Indonesia 4, no. 2 (2022): 280 – 293

Mariana, Montisa. "Check and Balances Antar Lembaga Negara di Dalam


Sistem Politik Indonesia." Logika 21, no. 1 (2017): 20 – 28
Sulardi, dan Irmayadi Sastra. “Check and Balances Kekuasaan Lembaga
Negara Guna Menata Pemerintahan yang Baik (Good
Government).” Jurnal Hukum Replik 5, no. 2 (2017): 184 – 199

Robuwan, Rahmat. “Redistribusi Kekuasaan Negara dan Hubungan Antar


Lembaga Negara di Indonesia.” Jurnal Hukum Progresif 12, no. 1
(2018): 2052 –2082

Bustamin, dan Rony Jaya. “Urgensi Check and Balances Ketatanegaraan


Indonesia dan Islam.” Jurnal Ilmiah Syariah 18, no. 2 (2019): 221 –
232

Suparto. “Teori Pemisahan Kekuasaan dan Konstitusi Menurut Negara


Barat dan Islam.” Hukum Islam 19, no. 1 (2019): 134 – 149

Muhtadi. “Lembaga Negara: makna, kedudukan dan relasi.” Fiat Justitia


Jurnal Ilmu Hukum 7, no. 3 (2013): 262 – 269

Purnomo, Chrisdianto Eko. “Pengaruh Pembatasan Kekuasaan Presiden


Terhadap Praktik Ketatanegaraan Indonesia” Wacana Hukum dan
Konstitusi Jurnal Konstitusi 7, no. 2 (2010): 160 – 182

Anda mungkin juga menyukai