Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH RADIOKIMIA

ALAT DETEKTOR RADIASI DAN JENIS-JENISNYA


Dosen Pengampu Mata Kuliah : Dr. Muhammad Said, M. T.

Disusun oleh :

1. Resti Atika Indriani (08031182025016)


2. Putri Oktarisa (08031282025034)
3. Ira Nurul Zofirah (08031282025035)
4. Juli Mariana Simamora (08031282025050)
5. Nilda Nursiahma Aisah (08031382025071)
6. Erida Novrilia (08031382025081)
7. Dini Eryani (08031382025087)
8. Rhada Mert'lissa (08031382025091)
9. Theresia Marianti sipahutar (08031382025103)

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Radiokimia yang
membahas mengenai “Alat Detektor Radiasi dan Jenisnya” dengan baik dan tepat
waktu. Harapan penulis semga makalah ini dapat membantu menambah
pengetahuan bagi para pembaca. Makalah ini penulis akui masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, penulis berharap kepada para pembaca untuk
memberikan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Indralaya, 11 November 2023

Penulis

Universitas Sriwijaya
i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 3
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 4
2.1 Pengertian Detektor Radiasi ..................................................................... 4
2.2 Jenis dan Prinsip Kerja Detektor .............................................................. 4
2.2.1 Detektor Isian Gas ............................................................................. 4
2.2.2 Detektor Sintilasi............................................................................... 7
2.2.3 Detektor Zat Padat............................................................................. 9
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 11
3.1 Kesimpulan ..............................................................................................11
3.2 Saran ........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 12

Universitas Sriwijaya
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanpa disadari, manusia sudah lama berhubungan dengan radiasi. Radiasi di
dunia sudah ada sejak dulu kala, sejak awal terbentuknya alam semesta. Radiasi
merupakan pancaran energi dalam bentuk panas, partikel, gelombang
elektromagnetik atau cahaya dari sumber radiasi. Radioaktif bila diolah dengan
baik dapat dimanfaatkan di berbagai bidang antara lain: bidang industri dan
teknologi misalnya sebagai sumber tenaga pada pembangkit listrik tenaga nuklir
(Bere et al., 2016). Penggunaan teknologi nuklir semakin meningkat di berbagai
bidang, antara lain; bidang industri, kedokteran, pertanian dan penelitian. Bidang
industri dan kesehatan adalah dua bidang utama pemanfaatan teknologi nuklir
tersebut. Penggunaan radiasi untuk diagnostik, terapi, dan penggunaan radiofar
maka untuk kedokteran merupakan aplikasi teknik nuklir di bidang kesehatan
sedangkan aplikasi teknik nuklir di bidang industri adalah penggunaan radiasi
untuk radiografi, gauging, dan logging. Perbandingan pemakaian untuk radiasi
buatan pada kedua bidang tersebut adalah 85 % untuk kesehatan dan 15%
digunakan untuk industri (Simanjuntak et al., 2013).
Teknologi nuklir ditemukan oleh Henri Becquerel yang pada tahun 1896
melalui penelitian tentang fenomena fosforesensi pada garam uranium yang
akhirnya disebut dengan radioaktivitas. Bersama Piere dan Marie Curie,
Becquerel mulai meneliti fenomena ini dan pada 1898 Madam Curie (menemukan
unsur-unsur radioaktif radium dan polonium. Dalam prosesnya, mereka
mengisolasi unsur radium yang bersifat radioaktif. Material radioaktif
memproduksi pancaran radiasi dalam bentuk gelombang electromagnet dan
partikel yang disebut sinar alfa, beta, dan gamma. Beberapa jenis radiasi yang
mereka temukan mampu menembus berbagai bahan dan semuanya dapat
menyebabkan kerusakan. Seluruh peneliti radioaktivitas pada masa itu menderita
luka bakar akibat radiasi, yang mirip dengan luka bakar akibat sinar matahari.
Tiga bentuk radiasi yang ditemukan oleh Becquerel dan Curie meliputi peluruhan
alfa yang terjadi ketika inti atom melepaskan dua proton dan dua neutron (setara
dengan inti atom helium), peluruhan beta yaitu elektron berenergi tinggi, dan

Universitas Sriwijaya

1
2

peluruhan gamma yang merupakan gelombang elektromagnetik pada frekuensi


dan energi yang sangat tinggi. Ketiga jenis radiasi tersebut terjadi secara alami,
dan radiasi sinar gamma adalah yang paling berbahaya namun memiliki banyak
kegunaan (Darlina, 2016).
Radiasi merupakan suatu cara perambatan energi dari sumber energi ke
lingkungannya tanpa membutuhkan medium atau bahan penghantar tertentu.
Radiasi nuklir memiliki dua sifat yang khas, yaitu tidak dapat dirasakan secara
langsung dan dapat menembus berbagai jenis bahan. Oleh karena itu untuk
menentukan ada atau tidak adanya radiasi nuklir diperlukan suatu alat pengukur
radiasi yang digunakan utuk mengukur kuantitas, energi, atau dosis radiasi
(Sunardi et al., 2012). Deteksi radiasi adalah proses kompleks di mana energi
dipindahkan dari satu partikel tunggal atau kuantum radiasi melalui serangkaian
tumbukan atau interaksi dengan elektron dan inti atom. Ini menghasilkan
distribusi elektron dan lubang yang berfungsi langsung atau tidak langsung
sebagai kuanta pengangkut informasi untuk menghasilkan sinyal yang dapat
dikumpulkan dan diukur oleh sistem pembacaan terinstrumen. Proses awal ini, di
mana energi radiasi dibagi dan didistribusikan melalui berbagai interaksi
(Milbrath et al., 2008). Namun pada dasarnya perpindahan energi ini akan
menghasilkan tanggapan yang berbeda-beda dari setiap jenis detektor, jenis
tanggapan yang ditunjukkan oleh suatu detektor terhadap radiasi akan bergantung
pada jenis radiasi dan bahan dari detektor yang digunakan.
Detektor merupakan bagian yang sangat penting dari suatu sistem pencacah
radiasi karena dialah yang berfungsi untuk menangkap radiasi dan mengubahnys
menjadi sinyal atan pulsa listrik. Salah satu jenis detektor radiasi yang pertama
kali diperkenalkan dan sampai saat ini masih digunakan adalah detektor ionisasi
gas. Detektor ini memanfaatkan hasil interaksi antara radiasi pengion dengan gas
yang dipakai sebagai detektor. Detektor ionisasi gas terdiri atas dua elektroda,
yaitu positif dan negatif, serta berisi gas di antara kedua elektrodanya.
Kebanyakan detektor ini berbentuk silinder dengan sumbu yang berfungsi sebagai
anoda dan dinding silindernya sebagai katoda (Trikasjoni et al., 2013).
Radiasi seringkali dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya dan tidak
bermanfaat bagi Kehidupan manusia. Salah satu penyebabnya adalah tragedi

Universitas Sriwijaya
3

Chernoby1 dan tragedi bocornya reaktor Nuklir Jepang. Orang seringkali


berusaha menjauhi segala hal yang berhubungan dengan radiasi karena takut akan
dampak yang ditimbulkan. Namun selain berdampak buruk, radiasi juga dapat
bermanfaat bagi kehidupan. Salah satu radiasi yang dimanfaatkan di bidang
kedokteran adalah radiasi yang ditimbulkan oleh bahan radiopharmacheutical.
Radiasi bahan ini dimanfaatkan untuk terapi pengobatan kanker. Hal mendasar
untuk mengendalikan bahaya radiasi adalah mengetahui besarnya radiasi yang
dipancarkan oleh suatu sumber radiasi (zat radioaktif atau mesin pemancar
radiasi). Baik melalui pengukuran maupun perhitungan. Sifat radiasi tidak dapat
dirasakan secara langsung oleh sistem pancaindera manusia baik dilihat, dicium,
didengar maupun dirasakan. Oleh sebab itu manusia memerlukan peralatan
khusus yang mampu mendeteksi keberadaan radiasi dan mengukur besar radiasi
yang dipancarkan (Maharani et al., 2023). Saat proses pengukuran pancaran
radiasi akan dikonversi menjadi sinyal elektronik, sebelum sinyal tersebut
dijadikan hasil ukur. Untuk konversi sinyal radiasi menjadi sinyal elektronik,
tegangan bias dari satu daya eksternal akan melewati ruang ionisasi yang
membuat ion melewati gas elektroda dan menghasilkan arus listrik. Jumlah arus
listrik yang dihasilkan akan sebanding dengan jumlah radiasi yang menuju
detektor. Detektor kemudian akan menghasikan frekuensi pada waktu tertentu
yang akan dikirimkan berupa sinyal. Sinyal tersebut nantinya akan diubah oleh
amplifier. Amplifier juga berfungsi sebagai elektrometer (Sukma, 2022).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud detektor radiasi?
2. Apa jenis-jenis detektor radiasi?
3. Apa prinsip kerja detektor?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui detektor radiasi
2. Untuk mengetahui jenis-jenis detektor radiasi
3. Untuk mengetahui prinsip kerja detektor

Universitas Sriwijaya
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Detektor Radiasi


Radiasi merupakan suatu cara perambatan energi dari sumber energi ke
lingkungannya tanpa membutuhkan medium/bahan penghantar tertentu. Salah
satu bentuk energi yang dipancarkan secara radiasi adalah radiasi nuklir. Detektor
merupakan bahan yang peka terhadap radiasi, bila dikenai radiasi akan
menghasilkan tanggapan mengikuti mekanisme yang telah dibahas sebelumnya.
Detektor radiasi merupakan sensor yg dapat mengenali adanya radiasi nuklir, baik
alfa, beta, maupun gamma. Detektor radiasi bekerja dengan cara mengukur
perubahan yang disebabkan oleh penyerapan radiasi. Besar radiasi dari bahan
radioaktif hanya dapat dikur dengan alat berupa sensor yang dapat merubah
radiasi menjadi listrik. Pancaran radiasi bahan radioaktif dapat berkurang apabila
ditambahkan bahan pelindung seperti aluminium foil. Prinsip kerja detektor
berdasarkan pada interaksi radiasi, sehingga menghasilkan besaran fisis lain yang
mudah dilihat atau diukur (Saputra dan Oktavia, 2020).

2.2 Jenis dan Prinsip Kerja Detektor


Detektor radiasi terbagi menjadi tiga bagian yaitu detektor isi gas, detektor
sintilasi,dan detektor zat padat (Sukma, 2022).
2.2.1 Detektor Isian Gas
Salah satu jenis detektor radiasi yang pertama kali diperkenalkan dan
sampai saat ini masih digunakan adalah detektor isian gas. Detektor isian gas
merupakan detektor yang paling sering digunakan untuk mengukur radiasi.
Detektor ini terdiri dari dua elektroda, positif dan negatif, serta berisi gas di antara
kedua elektrodanya. Elektroda positif disebut sebagai anoda, yang dihubungkan
ke kutub listrik positif, sedangkan elektroda negatif disebut sebagai katoda, yang
dihubungkan ke kutub negatif. Kebanyakan detektor ini berbentuk silinder dengan
sumbu yang berfungsi sebagai anoda dan dinding silindernya sebagai katoda
(Delaney & Warren, 1983).
Detektor ini memanfaatkan hasil interaksi antara radiasi pengion dengan gas
yangdipakai sebagai detektor. Lintasan radiasi pengion di dalam bahan detektor

Universitas Sriwijaya

4
5

dapat mengakibatkan terlepasnya elektron-elektron dari atom bahan itu sehingga


terbentuk pasangan ion positif dan ion negatif. Karena bahan detektornya berupa
gas maka detektor radiasi ini disebut detektor isian gas (Kristiyanti & Sumarmo,
2011).
Jumlah pasangan ion yang terbentuk bergantung pada jenis dan energi
radiasinya.Radiasi alfa dengan energi 3 MeV misalnya, mempunyai jangkaun
(pada tekanan dansuhu standar) sejauh 2,8 cm dapat menghasilakn 4.000
pasangan ion per mmlintasannya. Sedang radiasi beta dengan energi kinetik 3
MeV mempunyai jangkaun dalam udara (pada tekanan dan suhu standar) sejauh
1.000 cm dan menghasilkan pasangan ion sebanyak 4 pasang tiap mm lintasannya
(Mariatmo et al., 2016).
Prinsip kerja detektor Radiasi yang memasuki detektor akan mengionisasi
gas dan menghasilkan ion-ion positif dan ion-ion negatif (elektron). Jumlah ion
yang akan dihasilkan tersebut sebanding dengan energi radiasi dan berbanding
terbalik dengan daya ionisasi gas. Daya ionisasi gas berkisar dari 25 eV s.d. 40 eV.
Ion-ion yang dihasilkan di dalam detektor tersebut akan memberikan kontribusi
terbentuknya pulsa listrik ataupun arus listrik (Sayono & Sujitno, 2010).
Ion-ion primer yang dihasilkan oleh radiasi akan bergerak menuju elektroda
yang sesuai. Pergerakan ion-ion tersebut akan menimbulkan pulsa atau arus
listrik.Pergerakan ion tersebut di atas dapat berlangsung bila di antara dua
elektroda terdapat cukup medan listrik. Bila medan listriknya semakin tinggi
maka energi kinetik ion-ion tersebut akan semakin besar sehingga mampu untuk
mengadakan ionisasi lain.Ion-ion yang dihasilkan oleh ion primer disebut sebagai
ion sekunder. Bila medan listrik di antara dua elektroda semakin tinggi maka
jumlah ion yang dihasilkan olehsebuah radiasi akan sangat banyak dan disebut
proses ‘avalanche’(Hilyana, 2017).
Terdapat tiga jenis detektor isian gas yang bekerja pada daerah yang
berbeda,diantaranya:

1. Detektor Kamar Ionisasi (ionization chamber)


Kamar ionisasi tersusun sejumlah volume gas kecil pada tekanan atmosfer
dalam kamar, I di dalamnya terdapat dua elektroda, E dan E’, dipertahankan pada
beta potensial tinggi menggunakan sumber tegangan, V. jumlah ion yang

Universitas Sriwijaya
6

dihasilkandi daerah ini relatif sedikit sehingga tinggi pulsanya, bila menerapkan
pengukuran model pulsa, sangat rendah. Prinsip kerja detektor ini dengan cara
berkas radiasimasuk ke dalam chamber sehingga menyebabkan menyebabkan
ionisasi ionisasi. Ionyang dihasilkan dihasilkan dikumpulkan dikumpulkan pada
elektroda + dan - .Keuntungan detektor ini adalah dapat membedakan energi yang
memasukinya dan tegangan kerja yang dibutuhkan tidak terlalu tinggi (Fuadi,
2015).

2. Detektor Proporsional
Pencacah proporsional merupakan bentuk modifikasi dari kamar ionisasi.
Dibandingkan dengan daerah ionisasi di atas, jumlah ion yang dihasilkan di
daerah proporsional ini lebih banyak sehingga tinggi pulsanya akan lebih tinggi.
Salah satu kelemahan dalam mengoperasikan detektor pada daerah kamar ionisasi
adalah out put yang dihasilkan sangat lemah sehinga memerlukan penguat arus
sangat besar dan sensitivitas alat baca yang tinggi. Untuk mengatasi kelemahan
tersebut, tetapi masih tetap dapat memanfaatkan kemampuan detektor dalam
membedakan berbagai jenis radiasi, maka detektor dapat dioperasikan pada
daerah proporsional. Alat pantau proporsional beroperasi pada tegangan yang
lebih tinggi daripada kamar ionisasi. Daerah ini ditandai dengan mulai terjadinya
multiplikasi gas yang besarnya bergantung pada jumlah elektron mula-mula dan
tegangan yang digunakan. Karena terjadi multiplikasi maka ukuran pulsa yang
dihasilkan sangat besar. Keuntungan alat pantau proporsional mampu mendeteksi
radiasi dgn intensitas cukup rendah. Namun, memerlukan sumber tegangan yang
super stabil, karena pengaruh egangan pada daerah ini sangat besar terhadap
tingkat multiplikasi gas dan juga terhadap tinggi pulsa out put (Lubis, 1996).

3. Detektor Geiger Muller


Detektor Geiger-Müller merupakan jenis detektor isian gas yang bekerja
pada daerah GeigerMuller. Detektor Geiger Muller mendeteksi radiasi  dan
. Detektor Geiger Muller hanya mendeteksi partikel bermuatan, karena foton
tidak bermuatan dan karena tidak menghasilkan ion di dalam gas, maka tidak
dideteksi. Efisiensi detektor Geiger sebesar 99% untuk elektron (beta), tetapi
kurang dari 1% untuk sinar X atau sinar gamma (Azam et al., 2007). Pencacahan

Universitas Sriwijaya
7

yang terbentuk bergantung pada besar tegangan yang dikenakan pada detektor.
Ketika tegangan yang terus dinaikkan tidak lagi ada kesebandingan dan tinggi
pulsa tidak bergantung pada besar tenaga radiasi yang dideteksi (Hilyana, 2017).
Detektor Geiger-Muller memiliki tabung logam silinder yang merupakan katoda
dan pusat elektroda sebagai anoda. Gas non-aktif yang ada pada tabung disegel
dengan tekanan rendah menggunakan kaca tipis. Tegangan beberapa kV diberikan
antara pusat elektroda dan tabung logam. Ketika sinar radioaktif mengenai
molekul gas non-aktif, molekul gas terioniasi dan tertarik ke anoda. Sinar
radioaktif dapat dideteksi dengan mengukur arus yang dihasilkan oleh molekul
gas terionisasi. Dosis radiasi per waktu didapatkan dengan menghitung
pulsa(Fajar & Mahda, 2022). Detektor Geiger-Muller mempunyai sifat khusus
yaitu tidak dapat membedakan besarnya energi yang masuk ke dalamnya. Hal ini
disebabkan karena tinggi pulsa yang terjadi tidak tergantung pada besarnya energi
radiasi yang datang. Untuk penggunaan bukan spektrometri energi maka detektor
Geiger-Müller banyak memberikan keuntungan, karena cara pengoperasian dan
konstruksinya lebih sederhana (Irianto et al., 2009).

2.2.2 Detektor Sintilasi


Detektor sintilasi merupakan detektor yang dapat mengubah radiasi menjadi
suatu pendar cahaya. Pendar cahaya ini terjadi bila suatu bahan aktif detektor
dikenai radiasi. Peristiwa pemancaran cahaya ini disebut sintilasi sedangkan
bahannya disebut sintilator. Dilihat dari jenis bahan pembentuknya, sintilator
dibedakan menjadi dua macam yaitu sintilator organik dan anorganik. Contoh
sintilator anorganik adalah NaI(Tl), CsI (Tl) dan ZnS(Ag). Sedangkan contoh
sintilator organik antara lain antrasen, naphtalen dan stilben. Proses sintilasi
terjadi bila atom sintilator tereksitasi dan diikuti deeksitasi sambil memancarkan
foton cahaya (Amalia & Munir, 2001).
Detektor sintilasi lebih sensitif daripada pencacah Geiger, terutama terhadap
sinar-sinar gamma yang berinteraksi lebih kuat dengan zat dibandingkan dengan
partikel-partikel bermuatan. Prinsip kerja sintilator berdasarkan fluoresensi zat
yang ditimbulkan oleh sinar radioaktif. Alat ini menggunakan bahan logam yang
atom-atomnya dengan mudah dieksitasi oleh radiasi yang datang. Atom-atom
yang tereksitasi ini mengeluarkan cahaya tampak ketika mereka kembali pada

Universitas Sriwijaya
8

keadaan dasarnya. Bahan-bahan yang umum digunakan sebagai sintilator adalah


kristal-kristal sodium yodida. Bahan-bahan ini diletakkan di salah satu ujung
peralatan yang disebut tabung pengganda foton (photomultiplier) sehingga foton
yang dikeluarkan oleh sintilator dapat diubah ke sinyal listrik (Taufiq, 2019).
Tabung pengganda foton terdiri atas beberapa elektroda yang disebut
dynode. Dibagian atas tabung terdapat suatu foton katoda yang dapat
mengeluarkan elektron-elektron karena gejala fotolistrik. Jika elektron-elektron
ini menumbuk dynode pertama, maka elektron akan memiliki energi kinetik yang
cukup untuk mengeluarkan beberapa elektron dari sintilator, kemudian elektron-
elektron dipercepat ke dynode kedua sehingga lebih banyak lagi elektron-elektron
yang dapat dikeluarkan, dan proses penumpukan terjadi. Kurang lebih satu juta
atau lebih elektron-elektron menumbuk sinsilator akan memproduksi satu pulsa
listrik pada keluaran tabung pengganda foton. Pulsa ini kemudian dikirim ke alat
penghitung elektronik (Taufiq, 2019).
Detektor sintilasi terdiri atas dua bagian besar yaitu bagian sintilator dan
bagian tabung pengganda elektron (PMT). Proses terbentuknya kelipan cahaya
terjadi melalui dua proses yaitu flouresensi dan fosforesensi. Yang pertama
apabila elektron menyerap tenaga dan tereksitasi lalu kembali lagi langsung ke
keadaan dasar atau bisa juga melalui keadaan metastabil. Deeksitasi ini terjadi
dalam waktu yang sangat singkat yaitu kecil dari 10-8 detik dan disebut
fluoresensi. Jenis pancaran yang kedua dapat terjadi apabila suatu elektron yang
berada dalam keadaan metastabil mendapat tambahan tenaga dari luar akan
pindah ke tingkat tenaga yang lebih tinggi, lalu kembali ke keadaan dasar dengan
memancarkan foton cahaya. Proses semacam ini disebut fosforesensi dan terjadi
dalam selang waktu 10-8 detik. Foton-γ yang masuk ke dalam detektor akan
berinteraksi dengan atom-atom di dalamnya menurut efek fotolistrik dan
hamburan Compton. Melalui interaksi ini foton-γ akan menyerahkan sebagian
atau seluruh tenaganya menjadi tenaga gerak elektron dan sebagai akibatnya akan
dihasilkan elektron bebas. Partikel γ yang datang akan mengeksitasi sintilator
kemudian deeksitasi sambil memancarkan pendar cahaya (Amalia & Munir,
2001).

Universitas Sriwijaya
9

2.2.3 Detektor Zat Padat


Detektor zat padat/semikonduktor berdasarkan atas perbedaan energi pita
penghantar dengan pita valensi maka daya hantar listrik zat dibedakan menjadi
konduktor, semikonduktor, dan non konduktor. Detektor zat padat tersusun oleh
semikonduktor tipe -n dan tipe -p yang diberikan potensial listrik terbalik. Saat
ini, detektor zat padat atau detektor semikonduktor yang banyak dipakai berisi
silikon dan germanium dengan atom litium sebagai aktivator. Semikonduktor
memiliki orde energi gap yang kecil sekitar 1 ev atau kurang. Sedangkan insulator
energi gap nya dapat mencapai 5 ev. Pada suhu ruang sejumlah kecil elektron
tereksitasi ke pita konduksi dan ada lubang di pita valensi. Detektor zat padat
tersusun oleh semikonduktor tipe -n dan tipe -p yang diberikan potensial listrik
terbalik. Saat ini, detektor zat padat atau detektor semikonduktor yang banyak
dipakai berisi silikon dan germanium dengan atom litium sebagai activator
(Akhadi, 1997).
Bahan semikonduktor, yang ditemukan relatif lebih baru daripada dua jenis
detektor di atas, terbuat dari unsur golongan IV pada tabel periodik yaitu silikon
atau germanium. Ge dan Si memiliki elektron valensi 4, secara umum semuanya
terikat dalam ikatan kovalen, sehingga seluruh pita valensi terisi penuh sedang
pita konduksi kosong. Semikonduktor memiliki orde energi gap yang kecil sekitar
1 ev atau kurang. Sedangkan insulator energi gap nya dapat mencapai 5 ev. Pada
suhu ruang sejumlah kecil elektron tereksitasi ke pita konduksi dan ada lubang di
pita valensi. Untuk mengontrol konduksi di semikonduktor, sejumlah kecil bahan
dari golongan III atau V yang dikenal sebagai doping diberikan pada bahan
semikonduktor ini. Dengan adanya bahan doping golongan V maka ada atom dari
doping ini yang kelebihanelektron (tak berpasangan). Elektron ini mudah
terksitasi ke pita konduksi. Bahan ini menjadi semikonduktor tipe n. Sebaliknya
kalau doping dari golongan III maka atom doping hanya bervalensi 3 maka ada
sebuah lubang yang mudah diisi oleh elektron daripita valensi. Bahan ini menjadi
semikonduktor tipe p semikonduktor tipe n dan tipe p disambungkan maka
elektron dari tipe n akan menyeberang sambungan menuju tipe p menyebabkan
terjadinya daerah deplesi. Disekitar sambungan ini pembawa muatan bebas
ternetralisasi. Akibatnya terjadi medan listrik di sekitar sambungan yang

Universitas Sriwijaya
10

mencegah penyeberangan selanjutnya. Bila partikel radioaktif memasuki daerah


deplesi dan menimbulkan ionisasi (pasangan elektron dan hole) maka elektron dan
hole akan bergerak dalam arah berlawanan dibawah medan listrik yang ada
sehingga tercipta pulsa elektronik yang sebanding dengan energi partikel
radioaktif tersebut. Sambungan semikonduktor jenis n dan p yang bertindak
sebagai detektor semikonduktor (Akhadi, 1997).
Detektor ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu lebih effisien
dibandingkan dengan detektor isian gas, karena terbuat dari zat padat, serta
mempunyai resolusi yang lebih baik daripada detektor sintilasi. Energi radiasi
yang memasuki bahan semikonduktor akan diserap oleh bahan sehingga beberapa
elektronnya dapat berpindah dari pita valensi ke pita konduksi. Bila di antara
kedua ujung bahan semikonduktor tersebut terdapat beda potensial maka akan
terjadi aliran arus listrik. Jadi pada detektor ini, energi radiasi diubah menjadi
energi listrik. Hal ini dikarenakan daya atau energi yang dibutuhkan untuk
menghasilkan ion-ion ini lebih rendah dibandingkan dengan proses ionisasi di gas,
maka jumlah ion yang dihasilkan oleh energi yang sama akan lebih banyak. Hal
inilah yang menyebabkan detektor semikonduktor sangat teliti dalam
membedakan energi radiasi yang mengenainya atau disebut mempunyai resolusi
tinggi. Kelemahan dari detektor semikonduktor adalah harganya lebih mahal,
pemakaiannya harus sangat hati-hati karena mudah rusak dan beberapa jenis
detektor semikonduktor harus didinginkan pada temperatur nitrogen cair sehingga
memerlukan detektor yang berukuran cukup besar (Akhadi, 1997).

Universitas Sriwijaya
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Detektor merupakan bahan yang peka terhadap radiasi. Detektor radiasi
merupakan sensor yg dapat mengenali adanya radiasi nuklir, baik alfa, beta,
maupun gamma. Prinsip kerja detektor berdasarkan pada interaksi radiasi,
sehingga menghasilkan besaran fisis lain yang mudah dilihat atau diukur. Detektor
radiasi terbagi menjadi tiga bagian yaitu detektor isi gas, detektor sintilasi,dan
detektor zat padat. Prinsip kerja detektor Radiasi yang memasuki detektor akan
mengionisasi gas dan menghasilkan ion-ion positif dan ion-ion negatif (elektron).
Jumlah ion yang akan dihasilkan tersebut sebanding dengan energi radiasi dan
berbanding terbalik dengan daya ionisasi gas. Ion-ion primer yang dihasilkan oleh
radiasi akan bergerak menuju elektroda yang sesuai. Pergerakan ion-ion tersebut
akan menimbulkan pulsa atau arus listrik. Pergerakan ion tersebut di atas dapat
berlangsung bila di antara dua elektroda terdapat cukup medan listrik. Bila medan
listriknya semakin tinggi maka energi kinetik ion-ion tersebut akan semakin besar
sehingga mampu untuk mengadakan ionisasi lain. Ion-ion yang dihasilkan oleh
ion primer disebut sebagai ion sekunder. Bila medan listrik di antara dua elektroda
semakin tinggi maka jumlah ion yang dihasilkan oleh sebuah radiasi akan sangat
banyak dan disebut proses ‘avalanche’. Detektor zat padat mempunyai beberapa
keunggulan yaitu lebih effisien dibandingkan dengan detektor isian gas, karena
terbuat dari zat padat, serta mempunyai resolusi yang lebih baik daripada detektor
sintilasi.

3.2 Saran
Setelah anda membaca makalah ini, diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan referensi mengenai detektor radiasi.

Universitas Sriwijaya

11
DAFTAR PUSTAKA

Akhadi, M.1997. Dasar-dasar Proteksi Radiasi.Jakarta : Penerbit Rineka Karya.


Amalia, D., & Munir, M. (2001). Pengaruh Perubahan Tegangan Tinggi Tabung
Photomultiplayer (PMT) Terhadap Amplitudo Keluaran Detektor NaI(Tl).
Berkala Fisika, 4(3), 69–78.
Azam, M., Hilyana, F. S., & Setiawati, E. (2007). Penentuan Efisiensi Beta
Terhadap Gamma Pada Detektor Geiger Muller. Jurnal Sains Dan
Matematika, 15(2), 73–77.
Bere, M. E. S., Pasangka, B., & Sutaji, H. I. (2016). Pemetaan Distribusi Paparan
Radioisotop Pada Daerah Persawahan Di Oesena Akibat Kontaminasi Dari
Sumber Radioisotop. Jurnal Fisika Sains Dan Aplikasinya, 1(2), 107–113.
Darlina. (2016). Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi. Batan,
18(1), ISSN 1410-4652.
Delaney, M. F., & Warren, F. V. (1983). Element-specific derivatization for
enhanced detectability by the gas chromatograph-microwave emission
detector (GC-MED). Spectrochimica Acta Part B: Atomic Spectroscopy,
38(1–2), 399–406. https://doi.org/10.1016/0584-8547(83)80138-4
Fajar, M. S., & Mahda, K. (2022). Pemanfaatan modul Geiger-Muller untuk
mendeteksi radiasi pada pengolahan imbah B3 rumah sakit. Jurnal Eltek,
20(2), 95. https://doi.org/10.33795/eltek.v20i2.361
Fuadi, H. (2015). Perbandingan Pengukuran Pdd Dan Beam Profile Antara
Detektor Ionisasi Chamber Dan Gafchromic Film Pada Lapangan 10 X 10
Cm2. Youngster Physics Journal, 4(1), 15–22.
Hilyana, F. S. (2017). Penentuan Tegangan Operasional Pada Detektor Geiger
Muller Dengan Perbedaan Jari-Jari Window Detektor. Simetris: Jurnal
Teknik Mesin, Elektro Dan Ilmu Komputer, 8(1), 393–398.
https://doi.org/10.24176/simet.v8i1.897
Irianto, Mulyani, E., & Sayono. (2009). Efek Temperatur Lingkungan Terhadap
Karakteristik Detektor Geiger Muller (GM). Buku I Prosiding PPI-PDIPTN,
22–27. https://inis.iaea.org/collection/NCLCollectionStore/_Public/45/006/
45006736.pdf
Kristiyanti, & Sumarmo, I. (2011). Redesain Sistem Pengisian Detektor Geiger-
Muller. Jurnal Perangkat Nuklir, 05(1978), 58–66.
Lubis, S. E. (1996). rs ) o o DOO go. 20–21.
Mariatmo, A., Edison, & Prijanto, H. (2016). Pengukuran Faktor Kompensasi
Detektor Rentang Daya Knk 50 Untuk Teras Rsg-Gas. Buletin Pengelolaan
Reaktor Nuklir, 13(1), 1–9.

Universitas Sriwijaya

12
13

Milbrath, B. D., Peurrung, A. J., Bliss, M., & Weber, W. J. (2008). Radiation
detector materials: An overview. Journal of Materials Research, 23(10),
2561–2581. https://doi.org/10.1557/jmr.2008.0319.
Saputra, R. D. dan Oktavia, V. Y. 2020. Pengukuran Cacah Radiasi Nuklir dengan
Menggunakan Geigen Muller di Laboratorium Fisika Modern Universitas
Negeri Malang. Artikel Cacah Radiasi Nuklir. 5(2): 1-8.
Sayono, S., & Sujitno, T. (2010). Pengaruh Tekanan Gas Isian Argon-Etanol Dan
Argon-Brom Terhadap Unjuk Kerja Detektor Geiger-Mueller. GANENDRA
Majalah IPTEK Nuklir, 13(2), 64–76.
https://doi.org/10.17146/gnd.2010.13.2.48
Simanjuntak, J., Camelia, A., & Purba, I. G. (2013). Penerapan Keselamatan
Radiasi pada Instalasi Radiologi di RSK Paru Provinsi Sumatera Selatan
Tahun 2013. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 4(November), 245–253.
Sukma, M. N. B. W. (2022). 12962-47657-1-Pb. 2(1), 29–34.
Sunardi, J., Harsono, D., & Alauddin, A. B. (2012). Pencarian Sumber Radiasi
Nuklir Menggunakan Robot Hexapod Design and Construction of
Acquisition Data System for Searching. Seminar Nasional Viii Sdm
Teknologi Nuklir, 163–170.
Taufiq, H. 2019. Radioaktivitas. Semarang: ALPRIN.
Trikasjoni,T., Harsono, D. dan Wulandari, C. (2013). Rancang Bangun Penampil
Plato Detektor Geiger Mueiler Berbasis Personal Komputer. Jurnal Forum
Nuklir (JFN). 7(2), 186-187.

Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai