Anda di halaman 1dari 20

Konsep Kritik Sanad

(Pengertian, Urgensi, Obyek, tujuan penelitian hadis dan tahapan-tahapan dalam


melakukan penelitian sanad hadis melalui teori jarh dan ta’dil)

tambahkan kaedah
mayor kritik kesahihan sanad
bukan kedaifan.
kritik minor

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Studi Hadis Pascasarjana Konsentrasi Pendidikan Agama Islam
UIN Alauddin Makassar

Oleh:
Akbar Budiman A
NIM: 80200223023

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Darsul S Puyu, M.Ag.

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSSAR
KATA PENGANTAR

Kalimat pujian dengan segala pujian kepada Sang Khalik. Tasbih dan dzikir
yang tiada henti hanya kepada-Nya. Syukur tiada ujung atas rahmat dan nikmat
yang telah diberikan kapada hamba-Nya. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada Nabi Agung seluruh alam Nabi Muhammad Saww dan juga
kepada keluarganya. Semoga kita termasuk pengikutnya yang setia dan
mendapatkan syafa’atnya di hari tiada pertolongan selain rahmat-Nya dan syafaat
Nabi-Nya.

Dalam makalah ini, penulis menjelaskan tentang ” Konsep Kritik Sanad:


Pengertian, Urgensi, Obyek, tujuan penelitian hadis dan tahapan-tahapan dalam
melakukan penelitian sanad hadis melalui teori jarh dan ta’dil”. Penulis dalam
makalah ini menulis sesuai dengan hasil tinjauan pustaka yang dilakukan
berdasarkan referensi yang relevan dengan judul makalah penulis.

Sebelumnya, Kami ucapkan segenap cinta dan terima kasih kepada dosen
pembimbing dalam mata kuliah Filsafat Ilmu dan semua yang tak bisa penulis
sebutkan satu-persatu yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian
makalah ini. Penulis memahami makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka,
kritik dan saran sangat penulis butuh kan guna memperbaiki dan membuat makalah
ini jauh lebih baik. semoga makalah ini bermanfaat dalam dunia intelektual
khususnya bagi penulis sendiri.

Sidrap, 3 November 2023

Akbar Budiman A.
Daftar Isi..................................................................................................................i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 2

B. Rumusan Masalah.............................................................................................. 2

BAB II .................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN .................................................................................................... 3

A. Pengertian Kritik Sanad ............................................................................. 6

B. Urgensi Kritik Sanad ................................................................................... 7

C. Objek Kritik Sanad ..................................................................................... 9

D. Tujuan Kritik Sanad................................................................................... 11

E. Tahapan-Tahapan dalam Melakukan Penelitian Sanad Hadis Melalui

Teori Jarh dan Ta’dil..................................................................................13

BAB III ................................................................................................................. 18

PENUTUP ............................................................................................................ 18

A. Kesimpulan ........................................................................................................ 18

B. Implikasi ............................................................................................................. 19

Daftar Pustaka ..................................................................................................... 20


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadits merupakan salah satu disiplin ilmu yang penting dalam
agama Islam. Dengan memahami hadits, seseorang dapat menentukan suatu
hukum ataupun mencari nilai-nilai yang termuat dalam hadits tersebut untuk
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Disiplin ilmu ini juga berkaitan erat
dengan metode-metode tertentu yang dapat mendukung keontetikan hadits
tersebut. Keontetikan hadits yang menjadi landasan dalam menentukan begitu
ketat, sehingga hampir tidak ada celah untuk meragukan keberadaan hadits
tersebut. Salah satu metode yang diaplikasikan dalam ilmu hadits adalah naqd
as-sanad (kritik sanad). Sampai saat ini belum dapat diketahui secara pasti
kapan awal mula metode naqd as-sanad digunakan, akan tetapi terdapat
sumber yang mengatakan bahwa sebelum datangnya agama Islam,
ditemukan satu metode yang menyerupai metode penggunaan sanad dalam
penyusunan buku, meskipun tidak ada penjelasan yang akurat dalam hal
urgensi penerapannya. seperti yang tercermin dalam buku Mishna dan
penukilan syair-syair jahiliyah.(Mustafa ‘Azami, 1990).1
Hal tersebut terjadi dikarenakan pada saat itu para sahabat tidak
mementingkanpersoalan sanad, mereka saling percaya dan memilki komitmen
kuat terhadap keislaman mereka. Ketika Rasulullah masih hidup, para sahabat
mempunyai tradisimenyampaikanhadits dansaling konfirmasi tentang hadits
tersebut antara satu individu dengan individu lainnya. Bahkan mereka
membuat kesepakatan untuk selalu mendapatkan haditst dengan cara terus
menghadiri majelis Rasulullah secara bergantian, jika ada diantara mereka
yang berhalangan hadirseperti yang dilakukan Umar dengan sahabatnya.
Kebiasaan tersebut merupakan suatu hal yang lumrah bila dalam periwayatan
hadits parasahabat memakai narasi “Nabi melakukan hal seperti ini atau itu
atau berucapini dan itu”. Namun, pada saat meluasnya wilayah Islam pasca
wafatnya Rasulullah, para shahabat mulai berhati-hati tentang kualitas sanad

Ahmad Kamaluddin, “Naqd As-sanad: Metodologi Validasi Hadist Shahih” , Vol. 3


1

(MUSHAF JOURNAL : Jurnal Ilmu Al Quran dan Hadis), h.229


guna menjaga orsinilitas sebuah hadits. Puncak dari aktivitas ini terjadi pada
saat Usman ibn 'Affan affan wafat pada tahun 35 H. Sejak itulah para
shahabat semakin berhati-hati dan mulai menyeleksi sumber
pemberitaannya.2 Dalam perkembangannya, para sahabat kemudian menjadi
tokoh sentral sebagai nara sumber utama dalam bertanya ataupun menelusuri
sebuah hadits. Walaupun demikian, para sahabat tetap berhati-hati dalam
menyampaikan sebuah hadits kepada orang yang bertanya. Tradisi yang ada
dalam kalangan sahabat adalah meriwayatkan hadits kepada muruid-murid
beliau dan secara estafet hadits tersebut disampaikan dari satu gernerasi kepada
generasi berikutnya secara mutawatir sehingga hadits tersebut terpelihara dari
hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannyadan
dapatterlihatkualitas suatu hadits apakan shahih, dhaif, atau bahkan maudhu’
(palsu). Metode sederhana ini dikatakan oleh ulama hadits sebagai cikal bakal
lahirnya metode naqd as-sanad. Berangkat dari sini, dapat dikatakan bahwa
implementasi metode naqd as-sanad menjadi hal yang sangat crusial untuk
menentukan keshahihan sebuah hadits.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kritik sanad?
2. Apa urgensi kritik sanad?
3. Apa objek kritik sanad?
4. Apa tujuan penelitian hadis?
5. Apa tahapan-tahapan dalam melakukan penelitian sanad hadis melalui
teori jarh dan ta’dil?

Ibid,. h. 230.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kritik Sanad
Kritik sanad dalam ilmu hadis dikenal dengan istilah naqd al-sanad ‫(نقد‬
)‫السند‬terdiri dari dua suku kata yang berpola mudof (sandar) dan mudof ilaih
(sandar kepadanya). Kata naqd secara bahasa merupakan bentuk maṣdar dari
kata naqada yanqudu naqdan (‫ )نقدا ينقد نقد‬yang dapat berarti; memilih,
membedakan, mengkritik atau memisahkan antara mata uang yang baik dan
buruk.3 Oleh karena itu, kata naqd dari segi bahasa dapat bermakna mengkritik
sesuatu agar dapat membedakan dan memisahkan sesuatu dari yang baik dan
buruk, lalu memilih salah satunya. Sementara kata al-sanad ‫ السند‬juga
merupakan bentuk maṣdar dari asal kata ‫سند يسند سنودا‬/‫ سندا‬yang dapat berarti
bersandar, menyandarkan atau menegakkan dengan kokoh.4 Oleh karena itu,
kata al-sanad secara bahasa dapat dimaknai dengan penyandaran kepada
sesuatu sebagai penghubung yang saling mengokohkan.
Adapun menurut istilah, al-sanad sebagaimana yang dijelaskan oleh
Muḥammad ‘Ajjaj al-Khaṭib ialah: “Jalan menuju matan, yaitu silsilah para
perawi yang memindahkan matan dari sumbernya yang pertama”.5 Sementara
menurut al-Sakhawi ialah Jalan yang menghubungkan kepada matan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dipahami bahwa sanad adalah
rentetan mata rantai para perawi hadis yang saling terhubung untuk
memindahkan matan hadis dari sumber pertamanya atau silsilah para perawi
yang dapat menghubungkan kepada matan sebuah hadis. Oleh karena itu, dapat
pula dipahami bahwa kritik sanad (naqd al-sanad) ialah meneliti keadaan para
perawi yang terlibat dalam penyandaran hadis dengan kriteria-kriteria / syarat
keṣaḥiḥ-an sanad. Muḥammad Ṭhir al-Jawabī menjelaskan bahwa naqd al-
ḥadis menurut istilah ialah:

3
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1411 H/ 1990
M), h. 464
4
Ibid,. h. 181.
5
Muḥammad Ajjāj bin Muḥammad Tamīm bin Ṣāliḥ bin ‘Abdullah al-Khatīb, Uṣūl al-
Ḥadīṡ, ‘Ulūmuh wa Muṣṭalaḥuh, (Bairūt: Dār al-Fikr, 1427 H/2006 M), h. 22
”Ilmu kritik hadis adalah penetapan status cacat atau adilnya para perawi
hadis dengan menggunakan idiom khusus berdasarkan bukti-bukti yang
mudah diketahui oleh para ahlinya, dan mencermati matan-matan hadis
sepanjang telah dinyatakan sahih dari aspek sanad untuk tujuan mengakui
validitas atau menilai lemah, dan upanya menyingkap kejanggalan pada
matan hadis yang telah dinyatakan sahih, mengatasi gejala kontradiksi
pemahaman hadis dengan mengaplikasikan tolak ukur yang mendetail”.

Penjelasan dari Muḥammad Ṭāhir tersebut secara umum tentang kritik hadis
yang meliputi kritik sanad dan matan. Namun dalam penjelasannya, ia juga
menyebutkan tentang kritik sanad, yaitu; “penetapan status cacat atau adilnya para
perawi hadis dengan menggunakan idiom khusus berdasarkan bukti-bukti yang
mudah diketahui oleh para ahlinya. Penjelasan-penjelasan tersebut menunjukkan
bahwa kritik sanad ialah penelitian terhadap hadis dengan meneliti keadaan setiap
perawi yang terlibat dalam proses penyampaian dan penyandaran hadis (sanad)
dengan melihat kriteria-kriteria tertentu untuk menetapkan cacat atau adilnya
seorang perawi. Sedangkan tujuan kririk sanad ialah sebagai upaya untuk
memisahkan atau membedakan antara sanad yang berkualitas ṣaḥīḥ (kuat) dan yang
berkualitas ḍa‘īf (lemah / buruk).

B. Urgensi Kritik Sanad


Kritik sanad hadis merupakan kegiatan yang sangat penting untuk
dilakukan. Hal tersebut dikarenakan tujuan pokok dari penelitian sanad hadis adalah
untuk mengetahui kualitas sanad sebuah hadis yang diteliti dari segi ṣaḥīḥ atau
ḍa‘if-nya. Kualitas sanad hadis juga sangat perlu untuk diketahui dalam
hubungannya dengan kehujjahan hadis yang bersangkutan. Sanad hadis yang
kualitasnya tidak memenuhi syarat ṣaḥīḥ tidak dapat digunakan sebagai hujjah
karena sanad yang ḍa‘if akan menyebabkan sebuah hadis menjadi ḍa‘if sehingga
hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujjah. Ulama pada umumnya berlandaskan
pada QS al-Ḥujurāt/49; 06 dalam melakukan kritik sanad atau meneliti setiap
perawi yang terlibat dalam periwayatan hadis, yakni sebagaimana firman Allah swt
bahwa;
‫علَى َما َفعَ ْلت ُ ْم‬ ۟ ‫صبِ ُح‬
َ ‫وا‬ ۟ ُ‫يََٰٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ َٰٓو ۟ا إِن َجا َٰٓ َء ُك ْم َفاس ٌِۢق بِنَبَ ٍإ َفتَبَيَّنُ َٰٓو ۟ا أَن ت ُِصيب‬
ْ ُ ‫وا َق ْو ٌۢما بِ َج َهلَ ٍة َفت‬
َ‫نَدِمِ ين‬

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang


kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu
tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang
akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”

Ayat tersebut menjelaskan tentang pentingnya melakukan kroscek atau


penelitian terhadap suatu berita yang disampaikan oleh seseorang yang fasik. Hal
tersebut dilakukan agar tidak mencelakakan orang lain dan mendatangkan
penyesalan karena kecerobohan yang dilakukannya dengan menerima berita
tersebut. Dengan demikian, ayat tersebut semakin menegaskan pentingnya
melakukan kritik terhadap perawi yang menyampaikan sebuah hadis karena melihat
kedudukan hadis sebagai Jika periwayatan hadis tidak dilakukan secara teliti atau
menerimanya dengan mudah, maka kemungkinan terjadinya kerusakan dalam
tatanan agama akan sangat besar karena perawi akan mengatakan apa saja yang
hendak dikatakannya lalu menyandarkan perkataannya tersebut kepada Nabi saw.
pernyataan ‘Abdullah bin al-Mubarak bahwa “Sanad itu bagian dari agama, jikalau
tidak ada sanad sungguh orang-orang akan mengatakan apa saja yang
dikehendakinya”

Pernyataan Muḥammad bin Sirin dan ‘Abdullah bin al-Mubarak di atas


menunjukkan betapa pentingnya penyebutan sanad dalam periwayatan sebuah
hadis dan mengetahui eksistensi para perawi yang menyandarkan sebauh hadis
kepada Rasulullah sebagai berita yang disampaikan kepada umat Islam. Sanad
hadis yang menjadi fokus penelitian pada dasarnya hanya tertuju pada hadis yang
berstatus aḥad saja. Sedangkan untuk hadis yang berstatus mutawatir, ulama
menganggap tidak perlu melakukan penelitian lebih lanjut pada sanadnya, sebab
hadis mutawatir telah diyakini kevalidannya berasal dari Nabi saw.6 Pendapat
tersebut tidaklah berarti bahwa terhadap hadis mutawātir tidak dapat dilakukan

6
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis:Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995), h. 4.
penelitian lagi. Penelitian terhadap hadis mutawātir tetap saja dapat dilakukan,
hanya saja yang menjadi tujuan utama penelitian bukanlah untuk mengetahui
bagaimana kualitas sanad hadis terkait, melainkan untuk mengetahui dan
membuktikan apakah benar hadis tersebut berstatus mutawātir atau tidak.

Apabila hasil penelitian telah menyatakan bahwa hadis tersebut berstatus


mutawātir, maka kegiatan penelitian sanad tidak perlu dilakukan sebagaimana
kegiatan penelitian pada hadis aḥad. Selain itu, mungkin saja seorang peneliti yang
telah melakukan penelitian hadis, pada awalnya tidak mengetahui bahwa hadis yang
ditelitinya adalah hadis mutawātir, tetapi setelah melakukan penelitian, barulah dia
mengetahui bahwa hadis yang ditelitinya ternyata hadis yang tergolong mutawātir.
Ulama hadis sesunggahnya telah melakukan penelitian terhadap seluruh hadis yang
ada, baik yang termuat dalam berbagai kitab hadis maupun yang termuat dalam
kitab non-hadis. Namun, kegiatan penelitian hadis tidak berhenti begitu saja dan
tidak diperlukan masa sekarang. Sebaliknya, penelitian hadis dianggap masih perlu
dilakukan hingga saat ini.

Penelitian ulang merupakan salah satu upaya untuk mengetahui sebarapa


jauh tingkat akurasi penelitian ulama terhadap hadis yang mereka teliti baik dari
segi sanad maupun matannya, juga untuk menghindarkan diri dari penggunaan dalil
berupa hadis yang tidak memenuhi syarat dari segi kehujjahannya.

C. Objek Kritik Sanad


Dalam objek penelitian hadis terbagi kedalam dua bagian, yaitu rangkain para
periwayat yang menyampaikan riwayat hadis yang dikenal dengan istilah sanad,
dan materi atau matn hadis itu sendiri. Faktor utama yang menjadi pemicu adalah
kompleksitas problem yang ada baik menyangkut otentisitas teks, variasi lafadz
(jumlah hadis bil-ma’na), maupun rentang waktu yang cukup panjang antara Nabi
dalam realitas kehidupannya sampai masa kodifikasi kedalam teks hadis. Oleh
karena itu, kajian yang ada dalam studi hadis biasanya tidak beranjak dari kajian
apakah teks-teks hadis yang ada otentik dari Nabi atau tidak? Rasul berperan
sebagai apa dalam sabdanya; sebagai manusia biasa, pribadi, suami, utusan Allah,
kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang ataukah sebagai hakim?
Serta apa yang menjadi asbab al-wurud teks hadis tersebut. Berikut ini objek dan
ruang lingkup penelitian hadis, diantarnya sebagai berikut:7
1. Penelitian Sanad Hadis Sebelum berbicara tentang penelitian dari sanad hadis
itu sendiri, kita harus memahami bahwa ada faktor-faktor yang mendorong
ulama untuk mengadakan penelitian sanad hadis. Ulama hadis menilai sangat
penting kedudukan sanad dalam riwayat hadis. Karena demikian pentingnya
kedudukan sanad iti, maka suatu berita yang dinyatakan sebagai hadis Nabi
oleh seseorang, tetapi berita tersebut tidak memiliki sanad sama sekali, maka
berita tersebut menurut ulama hadis tidak dapat disebut sebgai hadis (M.
Syuhudi Ismail, 2007). Dalam hubungannya dengan pentingnya kedudukan
sanad itu, Muhammad bin Sirin (wafat 110 H/782M) menyatakan bahwa
“Sesungguhanya pengetahuan hadis adalah agama maka perhatikanlah dari
siapa kamu mengambil agamamu itu”.
Maksudnya adalah ketika melihat suatu hadis harus dilihat terlebih dahulu
siapa periwayat yang meriwayatakan hadis yang bersangkutan. Bahkan
‘Abdullah bin Mubarak (wafat 181H/797 M) menyatakn bahwa “Sanad hadis
merupakan bagian dari agama. Sekiranya sanad hadis tidak ada, niscaya siapa
saja akan bebas menyatakan apa yang dikehendakinya” (M. Syuhudi Ismail,
2007). Dengan demikian maka dapat dinyatakan, ada empat faktor penting
yang mendorong ulama hadis mengadakan penelitian sanad. Keempat faktor
itu adalah:
1) hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam;
2) tidak seluruh hadis tertulis pada zaman nabi;
3) muncul pemalsuan-pemalsuan hadis; dan
4) proses penghimpunan (tadwin) hadis.
Sedemikain pentingnya sanad sehingga hal ini akan mempengaruhi
kualitas dari hadis. Lemahnya suatu sanad riwayat hadis tentu sesungguhnya
belumlah menjadikan hadis yang bersangkutan menjadi absolut tidak berasal
dari Nabi Saw. Namun dalam hal ini periwayat sanad yang lemah tidak dapat
membuktikan bahwa hadis tersebut dari Nabi Saw. Sedangkan hadis sendiri

7
Ulfah Zakiyah, Muhammad Ghifari, (AL-ISNAD: Journal of Indonesian Hadist Studies,
vol 3.), h. 67.
merupakan pedoman ajaran Islam dan karenanya riwayat hadis haruslah
terhindar dari yang meragukan.
2. Penelitian Matan Hadis Dalam penelitian terhadap hadis tidak cukup hanya
dengan penelitian sanad saja tapi mengabaikan matan. Karena keduanya
merupakan satu kesataun jika sanad sebagai pembawa berita dan matan
adalah beritanya. Sejak pertengahan abad kesembilan belas para pemikir
Muslim menghadapi banyak tantangan berulang terhadap gagasan Islam
klasik tentang autoritas keagamaan. Pergolakan di dunia Muslim telah
mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik hukum
Islam karena orang muslim telah berjuang untuk memelihara, menyesuaikan
atau mendefinisikan kembali norma-norma sosial dan menghadapi kondisi
yang berubah (Daniel W. Brown, 2000).
Seperti halnya dengan pesan Tuhan yang absolut dan universal yang
hadir dalam latar belakang sejarah dan pengambilan fokus sejarah dan
mengambil fokus bahasa dan tulisan, maka tidak bisa tidak ia harus hadir
dalam warna partikular, sekalipun pesannya tetap absolut dan universal. Lalu,
karena perjalanan sejarah yang panjang tidak menutup kemungkinan bagi
para penganutnya, terutama kalangan agamawan untuk melakukan
interpretasi terhadap kitab suci. Interpretasi yang terlalu liberal bisa saja
terlalu melenceng dari doktrin tauhid yang sesungguhnya, sehingga doktrin
tauhid yang semula masih murni dan sederhana lalu berubah oleh tangan-
tangan manusia yang tidak terkendali (Yunasril Ali, 2012).
Hal ini juga terjadi ketika kita berbicara pada ranah hadis, dalam
menyikapi matan hadis ada yang membaca hadis dengan sangat tekstual saja
sehingga hadis yang dibaca menjadi sangat sempit dan reterlek. Sedangkan
ada pula yang membaca hadis dengan pembacaan yang sangat kontekstual
dan tidak jarang jauh dari teksnya itu sendiri sehingga pembacaannya pun
menjadi luas namun tidak jarang kabur dari makna yang sebenarnya.

D. Tujuan Kritik Sanad

Tujuan pokok penelitian hadits, baik dari segi sanad maupun matan adalah
untuk mengetahui kualitas hadits yang diteliti. Kualitas hadits sangat perlu
diketahui dalam hubungannya dengan kehujahan hadits yang bersangkutan.
Hadits yang kualitasnya tidak memenuhi syarat dan tidak dapat digunakan
sebagai hujjah. Pemenuhan syarat itu diperlakukan karena hadits merupakan
salah satu sumber ajaran Islam. Penggunaan hadits yang tidak memenuhi syarat
akan mengakibatkan ajaran Islam tidak sesuai dengan apa yang seharusnya.
Ulama hadits sesungguhnya telah melakukan penelitian terhadap seluruh hadits
yang ada, baik yang termuat dalam berbagai kitab hadits maupun yang termuat
dalam berbagai kitab nonhadits. Kalau begitu apakah penelitian hadits masih
diperlukan juga pada saat sekarang ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut
terlebih dahulu perlu dijelaskan beberapa hal sebagi berikut:8

1) Hasil penelitian yang telah dikemukakan oleh para ulama pada dasarnya
tidak terlepas dari hasil ijtihad. Suatu hasil ijtihad tidak terlepas dari dua
kemungkinan, yakni benar dan salah. Jadi, hadtis tertentu yang dinyatakan
berkualitas oleh seorang ulama hadits masih terbuka kemungkinan
ditemukan kesalahannya setelah setelah dilakukan penelitian kembali secara
lebih cermat.
2) Pada kenyataannya tidak sedikit hadits yang dinilai shohih oleh ulama hadits
tertentu, tetapi dinilai tidak shahih oleh ulama hadits lainnya. Padahal suatu
berita tidak terlepas dari dua kemungkinan, yakni benar atau salah. Dengan
demikian penelitian masih perlu dilakukan, minimal untuk mengetahui
sebab-sebab perbedaan hasil penelitian itu.
3) Pengetahuan manusia berkembang dari masa ke masa. Perkembangan
pengetahuan itu sudah selayaknya dimanfaatkan untuk melihat kembali
hasil-hasil penelitian yang telah lama ada.
4) Ulama hadits adalah manusia biasa, yang tidak terlepas dari berbuat salah.
Karenanya tidak mustahil bila hasil; penelitian yang telah mereka
kemukakan, masih dapat ditemukan letak kesalahannya setelah dilakukan
penelitian kembali.
5) Penelitian hadits tidak terlepas dari penelitian sanad dan matan dalam
penelitian sanad, pada dasarnya yang dteliti adalah kualitas peribadi dan
kapasitas intelektual para periwayat yang terlibat dalam sanad, di samping

8
Ibid,. h. 70.
metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat itu.
Menilai pribadi seseorang tidaklah semudah menilai benda mati. Dapat saja
seseorang dinyatkan baik pribadinya, padahal kenyataan yang
sesungguhnya adalah sebaliknya. Kesulitan menilai pribadi seseorang ialah
karena pada diri seseorang terdapat berbagai dimensi yang dapat
mempengaruhi pribadinya. Karenanya tidaklah mengeherankan bila dalam
menilai periwayat hadits, tidak jarang ulama berbeda pendapat. Ini berarti,
peneliyian memang tidak hanya diperlukan kepada periwayat saja, tetapi
juga kepada ulama yang menilai para periwayat tersebut.

Dengan beberapa alasan sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka dapatlah


dinyatakan bahwa penelitian ulang terhadap hadits yang telah pernah dinilai oleh
ulama tetap saja memiliki manfaat. Penelitian ulang merupakan salah satu upaya
untuk selain mengetahui seberapa jauh tingkat tingkat akurat penelitian ulama
terhadap hadits yang mereka teliti, juga untuk menghindarkan diri dari penggunaan
dalil hadits yang tidak memenuhi syarat dilihat dari segi kehujjahan. Dalam pada
itu harus segera dinyatakan bahwa dengan adanya manfaat untuk mengadakan
penelitian ulang tersebut tidaklah berarti bahwa seluruh hasil pnelitian ulama
terhadap hadits harus diragukan. Kenyataan sering menunjukan bahwa setelah
penelitian ulang dilakukan, ternyata banyak hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh ulama pda masa lalu memiliki tingkat akurasi yang tinggi, bahkan sangat
tinggi. Yang menentukan tingkat akurat hasil penelitian tidak hanya berkaitan
dengan masalah metodologi saja, tetapi juga masalah kecerdasan dan penguasaan
pengetahuan yang dimiliki oleh penelitian.

E. Tahapan-Tahapan dalam Melakukan Penelitian Sanad Hadis Melalui Teori


Jarh dan Ta’dil.

Al-Jarh secara bahasa merupakan isim mashdar yang berarti luka yang
mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke’adalahan seseorang.
Al-Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat
menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga
menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang
menyebabkan penda’ifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya. Adapun al-
Adlu secara bahasa adalah apa yang lurus dalam jiwa; lawan dari durhaka. Dan
seorang yang adil artinya kesaksiannya diterima; dan At-Ta’dil artinya
mensucikannya dan membersihkannya. Al-‘Adlu menurut istilah adalah orang yang
tidak nampak padanya apa yang merusak agamanya dan perangainya, maka oleh
sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat
menyampaikan hadits. At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang
mensucikannya, sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.9

Paparan-paparan di atas menunjukkan bahwa al-Jarḥ wa al-ta‘dīl


merupakan sebuah upaya untuk mengetahui kualitas seorang perawi hadis dan
dapat berpengaruh terhadap diterima atau ditolaknya hadis yang disampaikan oleh
perawi tersebut. Dr. Ajjaj Khatib mendefinisikannya sebagai berikut: "Ialah suatu
ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak
periwayatannya".10 Ulama lain mendefinisikan al-jarh wa al Ta'dil dengan: "Ilmu
yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukan
keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau mebersihkan mereka, dengan
ungkapan atau lafadz tertentu".11 Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh
dan ta’dil, dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang.
, para ulama membolehkan Al-Jarh wat-Ta‟dil untuk menjaga syari‟at/agama ini,
bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan Jarh dalam
persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan; bahkan memperteguh dan
mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan
harta.12

Ulama kritikus hadis tentu memiliki kesamaan persepsi ataupun berbeda


persepsi dalam menilai keadaan seorang perawi hadis. Selain itu tak jarang ulama
kritikus hadis menilai seorang perawi hadis dengan dua persepsi yang berbeda.

Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi lmu Hadits, (Jakarta Timur: Pustaka Al-
9

Kautsar, 2005) h. 78
10
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu‟l-Hadits,Cet. Ke-1, (Bandung: PT Al-Ma‟arif,
1974), h. 268
11
Mudasir, “Ilmu Hadits”, (Bandung: Pustaka Setia), 1999, h.51v
12
Ulfah Zakiyah, Muhammad Ghifari, (AL-ISNAD: Journal of Indonesian Hadist Studies,
vol 3.), h. 80.
Dalam satu kasus tak jarang seorang ulama kritkus hadis menilai seorang perawi
dengan lafal laisa bihi ba’sun, sedangkan dalam kondisi lain dinilai dengan lafal
ḍa‘īf. Tentu hal ini akan membingungkan karena kedua lafal tersebut memiliki
makna dan tingkatan yang berbeda. Melihat perbedaan-perbedaan tersebut para ahli
hadis menyusun sebuah teori dan kaidah al-jarḥ wa al-ta’dīl sebagai sebuah langkah
solutif dalam menyelesaikannya secara objektif. Berikut adalah kaidah al-jarḥ wa
al-ta‘dil yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam meneliti sebuah
hadis:

1. al-ta‘dīl didahulukan atas al-jarḥ


Jika seorang perawi dinilai terpuji oleh kritikus dan dinilai tercela oleh kritikud
lainnya, maka yang didahulukan adalah pujian. Alasannya, karena sifat dasar
dari seorang perawi adalah terpuji, sedangkan sifat tercela adalah sifat yang
datang kemudian. Pendukung pendapat ini adalah al-Nasā’ī (w. 303 H/915
M).13
2. al-jarḥ didahulukan atas al-ta‘dīl
Jika seorang perawi dinilai tercela oleh kritikus dan dinilai terpuiji oleh kritikus
lainnya, maka yang didahulukan adalah celaan. Alasannya, karena kritikus
yang memberikan celaan lebih paham terhadap pribadi perawi yang dicela.
Selain itu, yang menjadi dasar untuk memuji seorang perawi adalah
persangkaan baik dari kritikus dan Pendapat ini umumnya didukung oleh
ulama hadis, fikih dan usul fikih.14
3. Lika terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka
hukunnya adalah yang memuji, kecuali apabila kritikan yang mencela disertai
penjelasan. Yakni Jika seorang perawi mendapatkan pujian dari seorang
kritikus dan di sisi lain mendapatkan celaan dari kritikus lainnya, maka pada
dasarnya yang harus dimenangkan adalah pujjian, kecuali jika kritikus
menyertakan penjelasaan terhadap celaan kepada periwayat yang dicelanya.
Kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan perawi yang
dinilainya lebih mengetahui pribadi perawi tersebut daripada kritikus yang

13
Abdul Gaffar Bedong, dan Muhammad Ismail Maggading, al-Jarḥ wa al-Ta‘dīl
Konstruksi Aplikatif Terhadap Penilaian Hadis (Sleman: Bintang Pustaka Madani, 2021 h. 92
14
Ibid,. h.93.
hanya mengemukakan pujian terhadap perawi yang sama. Jumhur Ulama
mengatakan bahwa penjelasan ketercelaan yang dikemukakan itu haruslah
relevan dengan upaya penelitian. Kemudian bila kritikus yang memuji telah
mengetahui sebab-sebab ketercelan perawi yang dinilainya itu memang tidak
relevan ataupun tidak ada lagi, maka kritikan yang memuji tersebut yang harus
dipilih
4. Apabila kritikus yang mencela tergolong daif maka kritikannya terhadap yang
ṡiqah tidak diteima. Jika yang memberikan kritik adalah orang yang tidak
ṡiqah, sedangkan yang dikritik adalah orang yang ṡiqah, kritikan tersebut
ditolak. Alasannya, karena orang yang ṡiqah dikenal lebih berhati-hati dan
cermat dibanding dengan orang yang tidak ṡiqah. Ulama ahli kritik mendung
pendapat ini. Alasannya, orang yang bersifat ṡiqah dikenal lebih berhatihati
dan lebih cermat daripada orang yang tidak ṡiqah. Selain itu, kritikus yang lebih
lemah daripada perawi secara otomatis akan terkalahkan dalam pemenuhan
syarat keadilan.
5. Al-jarḥ tidak diterima, kecuali setelah ditetapkan atau diteliti dengan adanya
kekhawatiran kesamaan tentang orang yang dicela. Apabila nama perawi
mempunyai kesamaan atau kemiripan dangan nama perawi lain, lalu salah satu
perawi itu dikritik dengan celaan, maka kritikan itu tidak dapat diterima,
kecuali setelah dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat
dari kesamaan atau kemiripan dari nama perawi tersebut. Suatu kritikan harus
jelas sasarannya. Dalam mengkritik pribadi seorang, maka orang yang dikritik
haruslah jelas dan terhindar dari keraguan-keraguan atau kekacauan.
6. Al-jarḥ yang dikemukakan oleh yang mengalami permusuhan duniawi tidak
perlu diperhatikan. Jika kritikus yang mencela perawi tertentu memiliki
permusuhan dalam masalah keduniaan dengan pribadi perawi yang dikritik
dengan celaan itu, kritikan tersebut harus ditolak. Hal ini menimbulkan suatu
penilaian yang sifatnya subjektif dikarenakan bersumber dari kebencian. Dari
beberapa kaidah yang disertai dengan alasannya masing-masing tersebut, maka
yang harus dipilih adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian yang lebih
objektif terhadap perawi hadis yang dinilai keadaan pribadinya. Dinyatakan
demikian karena tujuan penelitian yang sesungguhnya bukanlah untuk
mengikuti teori tertentu, melainkan penggunaan teori-teori itu sebagai upaya
memperoleh hasil yang lebih mendekati kebenaran, bila kebenaran itu sulit
dihasilkan. Dengan demikian, keberadaan kaidah-kaidah tersebut merupakan
alat bantu untuk untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh seorang
peneliti dalam melakukan penelitian terhadap kualitas pribadi seorang perawi
yang terkait dengan al-jarḥ wa al-ta’dīl dan digunakan sesuai situasi yang
dialami oleh seorang peneliti.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kritik sanad dalam ilmu hadis dikenal dengan istilah naqd al-sanad. kritik
sanad ialah penelitian terhadap hadis dengan meneliti keadaan setiap perawi yang
terlibat dalam proses penyampaian dan penyandaran hadis (sanad) dengan melihat
kriteria-kriteria tertentu untuk menetapkan cacat atau adilnya seorang perawi.
Sedangkan tujuan kririk sanad ialah sebagai upaya untuk memisahkan atau
membedakan antara sanad yang berkualitas ṣaḥīḥ (kuat) dan yang berkualitas ḍa‘īf
(lemah / buruk).
Kritik sanad hadis merupakan kegiatan yang sangat penting untuk
dilakukan. Hal tersebut dikarenakan tujuan pokok dari penelitian sanad hadis
adalah untuk mengetahui kualitas sanad sebuah hadis yang diteliti dari segi ṣaḥīḥ
atau ḍa‘if-nya. Kualitas sanad hadis juga sangat perlu untuk diketahui dalam
hubungannya dengan kehujjahan hadis yang bersangkutan. Sanad hadis yang
kualitasnya tidak memenuhi syarat ṣaḥīḥ tidak dapat digunakan sebagai hujjah
karena sanad yang ḍa‘if akan menyebabkan sebuah hadis menjadi ḍa‘if sehingga
hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujjah.
Dalam objek penelitian hadis terbagi kedalam dua bagian, yaitu rangkain
para periwayat yang menyampaikan riwayat hadis yang dikenal dengan istilah
sanad, dan materi atau matn hadis itu sendiri. Tujuan pokok penelitian hadits, baik
dari segi sanad maupun matan adalah untuk mengetahui kualitas hadits yang
diteliti. Kualitas hadits sangat perlu diketahui dalam hubungannya dengan
kehujahan hadits yang bersangkutan.
Al-Jarḥ wa al-ta‘dīl merupakan sebuah upaya untuk mengetahui kualitas
seorang perawi hadis dan dapat berpengaruh terhadap diterima atau ditolaknya
hadis yang disampaikan oleh perawi tersebut. Dr. Ajjaj Khatib mendefinisikannya
sebagai berikut: "Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi
diterima atau ditolak periwayatannya".15 Ulama lain mendefinisikan al-jarh wa al
Ta'dil dengan: "Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang

15
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu‟l-Hadits,Cet. Ke-1, (Bandung: PT Al-Ma‟arif,
1974), h. 268
dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau
mebersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafadz tertentu.

B. Implikasi
Pembahasan dan kesimpulan yang telah dirumuskan sebelumnya diharapkan
dapat berimplikasi posistif serta membangun terhadap pembaca dalam memahami
konsep kritik sanad. Terkhusus bagi mahasiswa, penggiat, penuntut ilmu yang
sedang mengkaji konsep kritik sanad. Dan lebih khusus lagi bagi para pendidik
yang mengajar Studi Qur’an.
Daftar Pustaka
Kamaluddin Ahmad, Naqd As-sanad: Metodologi Validasi Hadist Shahih , Vol. 3 MUSHAF
JOURNAL : Jurnal Ilmu Al Quran dan Hadis
Yunus , Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung
Muḥammad Ajjāj bin Muḥammad Tamīm bin Ṣāliḥ bin ‘Abdullah al-Khatīb, Uṣūl al-Ḥadīṡ,
‘Ulūmuh wa Muṣṭalaḥuh, Bairūt: Dār al-Fikr, 1427 H/2006M
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis:Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995
Ulfah Zakiyah, Muhammad Ghifari, AL-ISNAD: Journal of Indonesian Hadist Studies, vol 3.
Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi lmu Hadits, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2005
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahu, Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1997
Mudasir, Ilmu Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Gaffar Bedong, Abdul dan Ismail Maggading, Muhammad, al-Jarḥ wa al-Ta‘dīl Konstruksi
Aplikatif Terhadap Penilaian Hadis. Sleman: Bintang Pustaka Madani, 2021
Rahman ,Fatchur, Ikhtisar Mushthalahu al-Hadits, Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1974

Anda mungkin juga menyukai