Anda di halaman 1dari 15

MODUL 8 ETIK UMB 2023

Disusun
Fakultas Program Studi TatapMuka Kode MK
Oleh

Program 2
Drs. Budiantoro, M

Sub-CPMK 7. Mahasiswa mampu memahami dan menerapkan nilai-nilai

kearifan lokal

A. Pengertian, konsep dan definisi potensi diri pemimpin

Nilai-nilai Kearifan Lokal

a. Pengertian Kearifan Lokal

Seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat, kebudayaan adalah

seluruh sistem gagasan,tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka

kehidupan masyarakat yang dijadikan untuk pedoman bangsa Indonesia

belajar. Sedangkan menurut pendapat Ki Hajar Dewantara, kebudayaan

adalah buah budi manusia, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat)

dalam perjuangan mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi


berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya

guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada akhirnya bersifat

tertib dan damai. Kebudayaan berganti wujudnya karena pergantian alam

dan jaman. Oleh karena itu boleh dikatakan bahwa kebudayaan sifatnya

dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan jaman (Moertjipto,

dkk, 1997: 1).

Bangsa Indonesia dewasa ini sedang melaksanakan pembangunan

baik pembangunan fisik maupun rohani. Disisi lain mengembangkan pula

kebudayaan nasional dengan menghadapi pergeseran nilai-nilai. Namun

yang menjadi masalah adalah dengan perkembangan ilmu pengetahuan

dan kemajuan teknologi, nilai-nilai lama yang semula menjadi acuan suatu
kelompok masyarakat akan menjadi goyah akibat masuknya nilai baru dari

luar. Hal ini menyebabkan nilai-nilai lama yang menjadi pedoman hidup

dan pranata sosial milik masyarakat menjadi pudar (Moertjipto, dkk,

1997: 2).

Nilai dalam hubungan sosial-budaya berkenaan dengan “harga

kepantasan” atau “harga kebaikan”, yang dapat dikatakan “penting” dan

“tidak penting”, ataupun “mendalam” dan “dangkal”, tetapi kualifikasi

tersebut tak dapat diukur secara kuantitatif (Edy Sedyawati, 2007: 254).

Nilai budaya adalah hal-hal yang dianggap baik, benar dan atau

pantas, sebagaimana disepakati di dalam masyarakat. Jadi, nilai budaya itu

dirumuskan dalam kebudayaan dan dilaksanakan di dalam masyarakat,

dan terungkap di dalam pengarahan diri ataupun di dalam interaksi,

langsung maupun tidak langsung, antarwarga masyarakat, dalam berbagai

jenis kegiatannya. Pengarahan diri yang dipandu oleh nilai-nilai budaya

itu mengacu kepada keberterimaan di dalam masyarakat. Oleh karena itu,

nilai-nilai budaya dengan sendirinya bersifat sosial-budaya (Edy

Sedyawati, 2007: 254).

Pakar-pakar Antropologi menggolongkan nilai-nilai budaya itu di

atas 5 (lima) jenis yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan 5

(lima) hal, yaitu:

1. Tuhan atau “Yang Adikodrati”;

2. Alam;
3. Sesama manusia;

4. Kerja; dan

5. Waktu.

Masing-masing dari kelima golongan nilai budaya itu tentu dapat

dijabarkan ke dalam banyak rincian, dan jumlahnya dapat berbeda-beda

diantara berbagai kebudayaan. Meskipun nilai-nilai tersebut dalam analisis

dapat dipilah-pilah, namun dalam kenyataan penghayatannya di dalam

masyarakat mendapat keterjalinan satu sama lain. Adapun dalam wacana

Etika, istilah “nilai” menyatakan sesuatu yang pada dirinya sendiri

terdapat keberartian, atau sesuatu yang berharga (Edy Sedyawati, 2007:

254-255).

Sedangkan kearifan berasal dari kata arif. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, arif memiliki dua arti, yaitu tahu atau mengetahui. Arti

kedua cerdik, pandai dan bijaksana. Kata arif yang jika ditambah awalan

“ke” dan akhiran “an” menjadi kearifan berarti kebijaksanaan,

kecendekiaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan dalam berinteraksi.

Melayani orang, adalah orang yang mempunyai sifat ilmu yaitu netral,

jujur dan tidak mempunyai kepentingan antara, melainkan semata-mata

didasarkan atas nilai-nilai budaya dan kebenaran sesuai ruang lingkupnya.

Kata lokal, yang berarti tempat atau pada suatu tempat atau pada suatu

tempat tumbuh, terdapat, hidup sesuatu yang mungkin berbeda dengan

tempat lain atau terdapat di suatu tempat yang bernilai yang mungkin
berlaku setempat atau mungkin juga berlaku universal (Muin Fahmal,

2006: 30-31).

Dalam bentangan Indonesia baru dewasa ini, maka yang dimaksud

dengan kebudayaan “lokal” mestinya lebih tepat disebut kebudayaan “sub-

bangsa” atau “suku-bangsa”. Memang pada umumnya suatu suku bangsa

(golongan etnik) itu mempunyai suatu “tanah asal” tertentu di Indonesia

ini, yang bisa meliputi wilayah yang kecil sampai ke yang sangat luas,

atau yang „bercabang-cabang‟ (Edy Sedyawati, 2006:381).

Kearifan lokal diartikan sebagai “kearifan dalam kebudayaan

tradisional” suku-suku bangsa. Kearifan dalam arti luas tidak hanya

berupa norma-norma dan nilai-nilai budaya, melainkan juga segala unsur

gagasan, termasuk yang berimplikasi pada teknologi, penanganan

kesehatan, dan estetika. Dengan pengertian tersebut maka yang termasuk

sebagai penjabaran “kearifan lokal” adalah berbagai pola tindakan dan

hasil budaya materialnya. Dalam arti yang luas itu maka diartikan,

“kearifan lokal” itu terjabar dalam seluruh warisan budaya, baik yang

tangible maupun yang intangible (Edy Sedyawati, 2006:382).

Wacana seputar local wisdoms atau kearifan lokal, biasanya selalu

disandingkan dengan wacana perubahan, modernisasi, dan relevansinya.

Hal ini bisa dimaklumi sebab wacana diseputar kearifan lokal pada

prinsipnya berangkat dari asumsi yang mendasar bahwa, nilai-nilai asli,

ekspresi-ekspresi kebudayaan asli dalam konteks geografis dan kultural


dituntut untuk mampu mengekspresikan dirinya ditengah-tengah

perubahan. Pada sisi lain ekspresi kearifan lokal tersebut juga dituntut

untuk mampu merespons perubahan-perubahan nilai dan masyarakat.

Kearifan lokal itu tidak ingin hilang dari peredaran nilai sebuah

masyarakat. Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-

nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal

seperti tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup (Nasiwan, dkk, 2012:

159).

Menurut Wales, sebagaimana dikutip oleh Nasiwan, dkk (2012:

16) kearifan lokal dapat dilihat dari dua perspektif yang saling bertolak

belakang. Yakni extreme acculturation dan a less extreme acculturation.

Extreme acculturation memperlihatkan bentuk-bentuk tiruan suatu budaya

yang tanpa adanya proses evolusi budaya dan akhirnya memusnahkan

bentuk-bentuk budaya tradisional. Sedangkan less extreme acculturation

adalah proses akulturasi yang masih menyisakan dan memperlihatkan

local genius adanya. Yakni adanya unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional

yang mampu bertahan dan bahkan memiliki kemampuan untuk

mengakomodasikan unsur-unsur budaya dari luar serta

mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli. Selebihnya, nilai-nilai

kearifan lokal mempunyai kemampuan untuk memegang pengendalian

serta memberikan arah perkembangan kebudayaan. Dengan demikian

tepatlah dikatakan bahwa kebudayaan merupakan manifestasi kepribadian


suatu masyarakat. Artinya identitas masyarakat tercermin dalam orientasi

yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilainya, dalam pola

serta sikap hidup yang diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari, serta

dalam gaya hidup yang mewarnai peri kehidupannya. Kedudukan lokal

genius ini sangat signifikan dalam konteks sebuah eksistensi kebudayaan

suatu masyarakat atau kelompok. Hal ini disebabkan karena merupakan

kekuatan yang mapu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar

dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa yang akan datang.

Hilangnya atau pudarnya local genius, berarti pula memudarnya

kepribadian suatu masyarakat, sedang kuatnya local genius untuk bertahan

dan berkembang menunjukkan pula kepribadian masyarakat tersebut.

Menurut Edi Sedyawati (2006: 412) setiap masyarakat tradisional,

yang dalam kasus Indonesia itu berarti setiap suku bangsa, mempunyai

kekhasannya dalam cara-cara pewarisan nilai-nilai budayanya. Pada masa

Jawa Kuno, yaitu ketika bahasa Jawa Kuno digunakan sebagai bahasa

resmi dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat berbagai kegiatan

pendidikan yang dapat diketahui dari data artefaktual maupun tekstual.

Kegiatan pendidikan disini adalah dalam arti luas, yakni yang bersifat

formal, nonformal, dan informal. Yang disebut pendidikan formal pada

masa kini adalah yang ditandai oleh kurikulum yang jelas, serta sistem

evaluasi yang jelas juga baku. Disamping itu untuk setiap program dan

jenjang studi diberikan keterangan tanda tamat belajar, baik berupa ijazah
maupun diploma. Adapun yang dimaksud dengan pendidikan nonformal

adalah tidak diikat oleh keketatan masa studi maupun kurikulum yang

standar. Sedangkan pendidikan informal tidak diikat oleh batas-batas

waktu maupun tingkatan, dan tujuannya adalah untuk secara umum

memberikan informasi ataupun menanamkan watak, moral maupun nilai-

nilai budaya ataupun keagamaan. Segala peremuan insidental, maupun

segala sesuatu yang disampaikan melalui media massa dapat tergolong

kategori ini. Pada masa Jawa Kuno, saran pendidikan informal ini dapat

dicontohkan oleh ajaran-ajaran yang disampaikan melalui rangkaian relief

di candi-candi, pembacaan karya sastra, pertunjukan teater, maupun

pelaksanaan upacara-upacara yang mengandung makna sosial religius.

b. Kearifan Lokal dalam Pelaksanaan Pemerintahan

Menurut Laica Marzuki, sebagaimana dikutip oleh Muin Fahmal

(2006: 31) di dalam kaidah-kaidah hukum (rechtnormen) dibangun nilai-

nilai etika hukum (values of legal ethic) yang nilai kepatuhannya

didasarkan pada kesadaran hukum (kesadaran hukum pada hakikatnya

adalah pematuhan nilai-nilai etika hukum). Bagir Manan sebagaimana

dikutip oleh Muin Fahmal (2006: 32) mengemukakan asas hukum

bukanlah sebuah norma hukum, sebagaimana hukum yang telah

dirumuskan dalam berbagai ketentuan perundang-undangan yang serta

merta mengikat. Akan tetapi, sebagai penanaman normative (legal term)

bagi nilai etika hukum yang sesungguhnya adalah nilai yang tumbuh
sebagai budaya (budaya hukum) masyarakat, sehingga nilai tersebut

ditaati sebagai tolok ukur terwujudnya keadilan yang sesungguhnya.

Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa budaya hukum

masyarakat menjadi sangat penting di samping perilaku penegak hukum.

Bagir Manan (2004: 5) menyatakan bahwa manusia juga diatur dan

tunduk pada aturan adat-istiadat (hukum kebiasaan), hukum agama

(sepanjang belum menjadi hukum positif), dan hukum moral.

Moertjipto dkk (1997: 3) menjelaskan bahwa sejarah telah

membuktikan bahwa sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia dicapai,

bentuk pemerintahan yang ada adalah kerajaan. Segala roda pemerintahan

dipusatkan dan berkiblat ke kerajaan. Dengan demikian posisi kerjaan

menjadi pusat berbagai kegiatan, termasuk didalamnya kebudayaan.

Kerajaan pada waktu itu merupakan pusat kebudayaan, segala kebudayaan

yang dihasilkan dari dalam istana atau Kraton dianggap memiliki nilai

yang tinggi atau adi luhung. Karena selain memiliki nilai lebih, mereka

percaya bahwa hasil kebudayaan dari istana itu memiliki daya kekuatan

tertentu sehingga dapat mempengaruhi terhadap orang yang menikmati

atau mengikutinya. Pada masa kerajaan, secara garis besar ada dua macam

hasil kebudayaan, yaitu kebudayaan besar dan kebudayaan kecil.

Kebudayaan besar maksudnya adalah kebudayaan yang dihasilkan dari

dalam istana, sedangkan kebudayaan kecil ialah kebudayaan yang

dihasilkan di daerah-daerah atau di luar istana. Pembagian seperti itu


karena pada umumnya, kebudayaan istana diciptakan oleh orang-orang

yang memang berkompeten di bidangnya dan proses penciptaannya

melalui jalan prihatin (berpuasa/nglakoni). Sedangkan kebudayaan yang

dihasilkan daerah-daerah dianggap lebih rendah dari istana. Antara

kebudayaan besar dengan kebudayaan kecil tidak dapat berdiri sendiri,

melainkan saling berinteraksi, terutama pengaruh kebudayaan besar

terhadap kebudayaan kecil tampak kuat.

Di dalam masyarakat Jawa, Kuntowijoyo (2006: 47) menjelaskan

bahwa terdapat semacam pendidikan humaniora yang mengajarkan nilai-

nilai kemanusiaan dan pernyataan-pernyataan simbolisnya merupakan

bagian integral dari sistem budaya. Kandungan pendidikan humaniora

ditentukan oleh sistem pengetahuan yang dimiliki masing-masing

subkultur, kelompok sosial, dan pelembagaan pendidikan humaniora

sesuai dengan pengelompokan masyarakat. Dalam setiap kelompok

masyarakat, pendidikan itu diselenggarakan baik secara formal melalui

sebuah lembaga pendidikan, maupun secara informal melalui berbagai

bentuk komunikasi sosial.

Selanjutnya Kuntowijoyo (2006: 50) memaparkan bahwa

berdasarkan kandungan nilai-nilai subkultur, kelompok sosial, dan

pelembagaan pendidikan humaniora, dapat ditemukan tiga loci pendidikan

humaniora dalam masyarakat Jawa tradisional, yaitu istana, pesantren dan

perguruan. Dalam tradisi Kraton, pelembagaan produksi dan distribusi


nilai-nilai dan simbol-simbol ada di bawah patronase raja. Dalam lembaga

abdidalem ditampung bermacam-macam pekerjaan kreatif dari penciptaan

karya-karya sastra sampai kesenian representasional. Di dalam lingkungan

birokrasi Kraton terdapat pujangga Kraton yang memproduksi karya sastra

abdi-abdi dan abdi-abdi dalem lain yang mendukung berbagai macam

kepentingan simbolis, seperti abdi dalem dalang untuk keperluan

pertunjukan wayang kulit, abdi dalam juru sungging untuk keperluan

menggambar terutama wayang, dan sebagainya. Di lingkungan Kraton dan

lingkungan keluarga raja terdapat sejumlah tenaga kerja yang secara

khusus mengelola kelangsungan pendidikan ngelmu (berguru) yang

bermacam-macam. Sekalipun Kraton bukan satu-satunya tempat ngelmu

(berguru) itu dilestarikan dan dikembangkan, tetapi dari Kraton lah

mengalir nilai dan simbol ke bawah secara paling deras. Menurut Franz

Magnis Suseno (1985: 108), kekuatan Raja dari Kraton memancar sampai

ke desa-desa. Semakin jauh dari Kraton, maka semakin lemah pula

pancaran kekuatan Raja.

Pendidikan ngelmu (berguru) dan kawruh menurut Kuntowijoyo

(2006: 52) dapat dilakukan melalui bermacam-macam produk humaniora

itu terutama ditujukan untuk mendidik kalangan keluarga istana sendiri,

untuk pendidikan para ksatria, tetapi pendidikan itu pada akhirnya juga

diperuntukkan bagi abdi dalem, dan semua kawula sesuai dengan

kedudukan masing-masing dalam sistem hierarki masyarakat. Patronase


raja atas penciptaan produk-produk humaniora merupakan pengesahan

bahwa istana adalah pusat kehidupan budaya masyarakat feodal.

Kandungan pendidikan humaniora di istana bermacam-macam, sesuai

dengan kepentingan kaum bangsawan. Ngelmu atau kawruh itu yang

diciptakan pujangga Kraton pada umumnya berupa wawasan etika dalam

berbagai bidang. Dalam literatur Jawa, etika itu disebut Asthabrata, yaitu

delapan kebajikan sebagaimana diisyaratkan oleh watak dari gejala-gejala

alam. Jadi kenegarawan tidak terletak pada keterampilan memerintah,

tetapi pada sikap paternalistik dan laku utama. Selain itu pendidikan

humaniora juga mengajarkan bagaimana seorang bangsawan

menggunakan waktu luangnya, yang berupa cara-cara memperoleh

kesenangan sampai cara-cara mesu budi atau olah rasa.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Suwarno (1994: 79), bahwa

penanaman unsur-unsur tradisional yang berkembang di dalam Kraton

juga telah dilakukan Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan memadukan

unsur-unsur pemerintahan tradisional yang masih berkembang di dalam

Kraton dan unsur birokrasi modern. Sultan mendapatkan dukungan dan

kesetiaan dari pemimpin-pemimpin nasionalis, Islam, dan dukungan dan

tokoh masyarakat lainnya. Rakyat Yogyakarta mendukung dan mengikuti

pemikiran Sultan yang dikomunikasikan kepada mereka secara luas dan

langsung.
Selanjutnya, Suwarno (1994: 80) menjelaskan bahwa pemikiran

Sultan yang dijadikan dasar perubahan birokrasi pemerintahan Yogyakarta

antara lain saat Sultan Hamengku Buwono VIII memberikan keris pusaka

“Kangjeng Kyai Kopek” kepada Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan

Hamengku Buwono VIII mengajarkan ajaran Asthabrata dan memberi

pesan agar kelak jika Sultan Hamengku Buwono IX mendapat anugerah

kedudukan raja jangan menyombongkan diri karena kedudukannya dan

memiliki pendidikan tinggi di Negeri Belanda. Pesan tersebut memberikan

kesan yang mendalam dalam pikiran dan jiwa Sultan Hamengku Buwono

IX mengenai hakekat kekuasaan menurut faham jawa, sehingga

mempengaruhi pemikiran dan tindakaanya dalam birokrasi pemerintahan.

Sultan Hamengku Buwono IX menunjukkan bahwa pemikirannya tentang

legitimasi kekuasaan tradisional cukup kuat. Pemikiran ini tentu tidak

diabaikan dalam mengadakan perubahan birokrasi pemerintahan

Yogyakarta. Nilai-nilai tradisional yang di kandung oleh Asthabrata yang

tersimpan di Kraton Yogyakarta itu memberi kondisi yang kondusif untuk

menumbuhkan tekad mengusir penjajah dengan mengadakan perubahan.

Semuanya menjadi salah satu dasar pemikiran dan tindakan Sultan

Hamengku Buwono IX untuk mengadakan perubahan birokrasi di

Yogyakarta.

Suwarno (1994: 82) juga menyatakan bahwa pemikiran Sultan

Hamengku Buwono IX tentang birokrasi pemerintahan Yogyakarta yang


pertama adalah pemikiran yang masih berkisar tentang tradisi. Dengan

pengetahuan modern, Sultan menolak “tradisi” yang merugikan. Dengan

kata lain Sultan Hamengku Buwono IX menggunakan pengetahuan

modern untuk seleksi terhadap tradisi. Kedua, secara lugas Sultan

Hamengku Buwono IX mengemukakan pemikirannya tentang demokrasi

yang jelas-jelas demokrasi barat, yang memberi keleluasaan kepada wakil

rakyat untuk berbicara menyuarakan kepentingan rakyat yang

diwakilinya. Pemikiran Sultan Hamengku Buwono IX yang lain yaitu

pemikiran tentang kehidupan bermasyarakat orang Jawa. Kehidupan

bermasyarakat orang Jawa sesuai dengan sifat Dewa Baruna dalam

Asthabrata, yaitu mengalahkan kepentingan pribadi untuk

kepentingan orang banyak dengan dasar cinta sesama. Sebagai

masyarakat maka sudah menjadi kewajiban untuk memperhatikan

sesamanya yang menderita. Sultan Hamengku Buwono IX menekankan

bahwa hanya orang yang mempunyai wewenang untuk memerintahlah

yang harus ditaati. Pemikiran itu menunjuk pada otoritas pemerintahan

yang mantap berdasarkan legitimasi tradisional yang menghasilkan

ketentraman masyarakat. Menurut Sultan Hamengku Buwono IX birokrasi

pemerintahan merupakan perpaduan antara unsur tradisional dan unsur

baru yang untuk melayani kepentingan rakyat

Dengan mengamati pemikiran Sultan Hamengku Buwono IX

tentang birokrasi modern dan pemerintahan berdasarkan tradisi, Suwarno


(1994: 87) berpendapat bahwa hal itu menandakan bahwa Sultan

mempunyai kemampuan tinggi untuk memadukan kedua pemikiran itu,

kemudian mewujudkannya dalam kenyataan. Perwujudan ini juga

menuntut kemampuan untuk menyesuaikan pemikiran dan kehendak

semua pihak terutama rakyat banyak atau istilah Jawa Ngudi jumbuhing

kawula gusti (mengusahakan kesesuaian antara rakyat dan raja). Franz

Magnis Suseno (1985: 113) menjelaskan bahwa dalam paham kekuasaan

Jawa tertanam motivasi-motivasi kuat bagi penguasa untuk berusaha

menjadi seorang penguasa yang baik, yang adil, dan dicintai rakyatnya,

yang mempertahankan negaranya dalam keadaan tenteram dan sejahtera.

Anda mungkin juga menyukai