Anda di halaman 1dari 8

TOPIK ABSTRAK DESA WISATA

OLEH:

NAMA : Ni Made Ermawati


NIM : 02263101051
KELAS : MAP Angkatan 29

PROGRAM STUDI MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK


PASCASARJANA UNIVERSITAS NGURAH RAI DENPASAR 2023
PENGEMBANGAN DESA WISATA BERBASIS PARTISIPASIMASYARAKAT LOKAL
DI DESA WISATA JATILUWIH TABANAN, BALI

Ni Made Ermawati
Fakultas Magister Administrasi Publik
Email: madeermawati79@gmail.com

Dr. Nyoman Diah Utari Dewi, A.Par., MAP


Email: diah.utari@unr.ac.id

Dr. Ni Putu Tirka Widanti, MM., Hum.


Abstrak
Pengembangan desa wisata membutuhkan partisipasi masyarakat lokal dalam
keseluruhan tahap pengembangan mulai tahap perencanaan, implementasi, dan
pengawasan. Akan tetapi, dalam realitas sering terjadi pengabaian partisipasi
masyarakat. Penelitian ini bertujuan mengkaji keterlibatan masyarakat lokal dalam
pengembangan desa wisata dan merumuskan model pengembangan desa wisata yang
mengedepankan partisipasi masyarakat lokal. Penelitian dalam tulisan ini dilakukan
di desa wisata Jatiluwih Kabupaten Tabanan, Bali. Pengumpulan data dilakukan
dengan studi literatur, wawancara mendalam dan observasi non-partisipan. Metode
analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif. Tulisan ini menunjukkan bahwa
pengembangan desa wisata di Jatiluwih belum melibatkan masyarakat lokal. Peranan
pemerintah terlihat dominan, padahal bila mengacu pada pendekatan tata kelola
pemerintah yang bersih dan berkelanjutanperan pemerintah diharapkan menjadi
fasilitatordenganmemberikan peran dan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat
lokal. Diperlukan kemauan politik pemerintah untuk mengurangi perannya dalam
pengembangan desa wisata dengan membuka ruang bagi masyarakat untuk
berpartisipasi
Kata Kunci: Pengembangan, Desa Wisata, Partisipasi, Masyarakat Lokal.

Abstract

The development of rural tourism requires the participation of local communities inthe
entire development phases starting from the planning, implementation, and
supervision. However, in reality, public participation is often completely overlooked.
This study aims to examine the involvement of local communities inthe development
of rural tourism and formulate the model of tourism development which uphols the
participation of local community. The study is conducted in rural tourism Jatiluwih,
Tabanan Regency, Bali. The process ofcollecting data through thestudi literature, in-depth
interviews and non-participant observation. The analyticalmethod used is descriptive
analysis. The result of the research indicates that the development of rural tourism in
Jatiluwih still does not yet involve the local community. The role of government seems
dominant, but whenreferring to the cleanand sustainable governance approach, the role
of the government is expected to become a facilitator by providing bigger opportunity
to take part as well as the benefits from the development to thelocal community. It is
required the political will of the government to reduce the dominant role in
developingrural tourism, throughopening wider space for the community to participat
Keywords: Development, Rural Tourism, Participation, Local Community.
Pendahuluan

Desa Jatiluwih terletak di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali.Berjarak


26 km dari ibukota Kabupaten Tabanan, dan sekitar 47 km dari ibukota Provinsi Bali. Desa
Jatiluwih adalah sebuah desa dataran tinggi yang terletak di kaki Gunung Batukaru. Desa
ini berada di ketinggian 500-1500 meter dari permukaan laut dan memiliki curah hujan rata-
rata 2500 mm/tahun. Suhu udara berkisar antara 260- 290C sehinggga udara di sini
tergolong sejuk. Topografi desa ini berbukit-bukit dengan kemiringan mencapai 600
sehingga persawahan sebagai lahan utama penghidupan penduduk harus dibuat bertingkat-
tingkat (berteras).

Terasering sawah dibuat selain untuk memenuhi fungsi utamanya sebagai


pengatur irigasi persawahan, juga merupakan cermin dari bertahannya kebudayaan lokal,
khususnya bertahannya sistem mata pencaharian di bidang pertanian. Selain itu, juga
sebagai pemahaman petani terhadap tri hita karana, yaitu menjaga hubungan yang serasi
dan selaras antara manusia dengan lingkungannya. Petani dalam membuat terasering sawah
akan tunduk kepada landscape alam dan tidak bisa memaksakan bentuk terasering sesuai
keinginan mereka. Kondisi alam Desa Jatiluwih yang masihasri, persawahan berteras yang
tertata rapi menjadi daya tarik utama desa ini. Selain keindahan terasering sawah, sumber
daya alam dan budaya yang berpotensi untuk dijadikan atraksi wisata, misalnya, bentuk
pemukiman penduduk dengan jineng-nya. air terjun, kesenian khas Jatiluwih bernama
rindik, dan wisata kuliner khas Jatiluwih dengan beras merah yang berkualitas baik,
menambah pesona Desa Jatiluwih sebagai daerah wisata.

Keindahan alam Desa Jatiluwih dengan terasering sawah telah diakui sebagai salah
satu kekuatan utama kepariwisataan di Bali dalam peta kepariwisataan dunia. Keunikan
terasering sawah telah memosisikan Jatiluwih sebagai salah satu objek yangtermasuk dalam
situs warisan budaya dunia sehingga berkemampuan untuk menggerakkan minat wisatawan
untuk melakukan kunjungan ke Jatiluwih. Penetapan Jatiluwih sebagai warisan budaya
dunia oleh UNESCO dinilai strategis terutama sebagai upaya mendorong partisipasi
masyarakat lokal dalam pelestarian sumber daya yang berbasis kekuatan nilai-nilai budaya
yang ada, mendorong pengembangan wilayah, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat
lokal. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pengembangan Desa Wisata
belum berpihak kepada masyarakat Jatiluwih. Contohnya, sawah dan petani merupakan aset
pariwisata yang dijual untuk kepuasan wisatawan.

Namun, pengembangan desa wisata tidak berpihak kepada kehidupan petani. Petani
tetap miskin sementara investor meraup keuntungan besar dari aktivitas pariwisata ini.
Padahal, jika tidak ada sawah dan petani pariwisata di Jatiluwih tidak akan berkembang.
Kebijakan pemerintah lebih berpihak kepada kaum kapitalis (investor). Investor
dibiarkan membangun fasilitas wisata berupa vila di tengah hutan berdekatan dengan Pura
Luhur Petali. Pembangunan vila tersebut telah melanggar radius kesucian pura (kurang dari
dua kilometer dari Pura Luhur Petali) dan melanggar Peraturan Bupati Tabanan Nomor 9
tahun 2005 khususnya pasal 14 ayat (5). Lokasi dan desain vila nampak arogan dan kontras
dengan lingkungan sekitar. Masyarakat Jatiluwih menentang keras keberadaan vila tersebut
karena ancaman terhadap kesucian pura.

Pembangunan vila Petali bermakna bahwa kepentingan ekonomi lebih


diutamakandaripada kepentingan kelestarian alam dan budaya. Kondisi ini terjadi
karena pembiaranyang dilakukan pengambil kebijakanwalaupun alam dan budaya
dikorbankan demi kepentingan bisnis. Kerusakan pura ibarat neraka bagi generasi
mendatang. Hal ini berarti bahwa pembangunan pariwisata berkelanjutan tidak
terwujud di wilayahJatiluwih.

Masuknya kaum kapitalis dalampengembangan desa wisata membangun area


kompetisi ekonomi. Kompetisi tidak saja dalam perebutan lapangan pekerjaan juga
dalam hal modal. Kelompok kapitalis lokal bersaing dengan pemodal kuat dari luar
desa bahkan berasal dari luar Bali. Jika kondisi ini dibiarkan akan
menimbulkanketidakadilan ekonomi antara masyarakat lokal dengan pendatang.
Ketidakadilan berpotensi terjadinya konflik. Oleh karenaitu, memberi ruang gerakbagi
tumbuhnya ekonomi kerakyatan sangat diperlukan. Jika tidak, kenyamanan desa wisata
Jatiluwih akan dipertaruhkan. Pariwisata dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan
masyarakat desa.

Desa wisata merupakan salah satu bentuk penerapan pembangunan pariwisata


berbasis masyarakat dan berkelanjutan. Melalui pengembangan desa wisata diharapkan
terjadi pemerataan yang sesuai dengan konsep pembangunan pariwisata yang
berkesinambungan. Di samping itu, keberadaan desa wisata menjadikan produk wisata
lebih bernilai budaya pedesaansehingga pengembangan desa wisata bernilai budaya
tanpa merusaknya.

1. Pembahasan

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan hal yang penting


ketika diletakkan atas dasar keyakinan bahwa masyarakatlah yang paling tahu apa yang
dibutuhkan. Partisipasi yang hakiki akan melibatkan masyarakat dalam keseluruhan
tahapan pengembangan, mulai dari proses perencanaan, pengambilan keputusan, dan
pengawasan program pengembangan desa wisata. Keikutsertaan masyarakat dalam
perencanaan desa wisata dapat mendorong mereka berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan
dan pengawasan. Berikutini akan dijelaskanpartisipasi masyarakat dalam keseluruhan
tahap pengembangansebagai berikut
2. Partisipasi Masyarakat dalam tahap Perencanaan

Parameter yang digunakan untuk menentukan derajat partisipasi masyarakat


dalam tahap perencanaan adalah keterlibatan dalam identifikasi masalah, perumusan
tujuan, dan pengambilan keputusan terkait pengembangan desa wisata. Tulisan ini
menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Jatiluwih mengaku tidak dilibatkan
dalam identifikasi masalah dan tidak ikut terlibat dalam pengambilan keputusan terkait
pengembangan desa wisata. Mereka tidak pernah diajak berdialog dalam
mengidentifikasi kebutuhan masyarakat lokal. Hal ini terjadi, karena
(1)gagasan pengembangan desa wisata dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan
tanpa melibatkan masyarakat sebagai pemilik sumber daya, sehingga masyarakat
Jatiluwih kurang memahami latar belakang pengembangan desa wisata;
(2) masyarakat lokal hanya menjalankan apa yang diprogamkan oleh pemerintah,
misalnya, kesediaan menerima kedatangan wisatawan dan menyerahkan lahan untuk
dibangun fasilitas wisata.
(3) masyarakat lokal tidak berkekuatan untuk berpartisipasi aktif dalam arti ikut
memberi warna terhadap keputusan yang akan diambil oleh penguasa. Pada tahap ini,
partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat tergolong semu. Benefit yang diperoleh
dari bentuk partisipasi yang dilakukan tidak menunjukkan hasil yang signifikan,
bahkan umpan balik yang disampaikan oleh masyarakat lokal atas keputusan yang
diambil oleh penguasa sering diabaikan. Padahal substansi dalam pengembangan
desa wisata berbasis masyarakat, partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat
Jatiluwih seharusnya bersifat aktif dan langsung. Namun, selalu dihadang oleh
keputusan penguasa yang bersifat top- down. Mekanisme seperti ini menjadikan
masyarakat Jatiluwih tidak terbiasa berpartisipasi. Ketergantunganterhadap pemerintah
dan investor tinggi. Kondisi ini berakibat pada kurangnya respons, antusiame, dan
keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan asset-aset di wilayah
mereka

3. Partisipasi Masyarakat Lokal dalamTahap Implementasi


Parameter Partisipasi masyarakat dalam tahap implementasi adalah keterlibatan di dalam
pengelolaan usaha-usaha pariwisata, misalnya, sebagai pengelola penginapan,
pengelola rumah makan, pemandu wisata, karyawan hotel, karyawan hotel, dan
pengelola atraksi wisata. Keterlibatan masyarakat lokal dalam tahap implentasi
dalam arti pemanfaatan peluang terlihat minim. Sekalipun wujud partisipasi itu ada,
bentuknya lebih pada pengelolaan usaha- usaha berskala kecil. Hal ini terlihat kontras
dengan partisipasi masyarakat luar yang memonopoli usaha berskala besar.
Misalnya, dari tujuh fasilitas wisata berupa 4 buah sarana akomodasi dan 3 buah
restoran,lima di antaranya dikelola oleh orang asing, dan hanya dua buah yang
dikelola oleh masyarakat lokal. Penyebabnya adalah karena peluang usaha tersebut
memerlukan modal besar, risiko bisnis yang tinggi, persaingan ketat, dan menuntut
kompetensi yang tinggi. Masyarakat Jatiluwih dengankompetensi bisnis yang
rendah dan
keterbatasan modal menyebabkan mereka tidak mampu bersaing dengan para
pemilik modal besar yang umumnya berasal dari luar desa. Ironisnya, para pemilik
modal besartidak hanya menekuni usaha berskala besar,juga mengambil alih usaha
berskala kecil yang pada mulanya dikelola masyarakat lokal. Akibatnya, sebagian
besar hasil usaha- usaha tersebut tidak terdistribusi di tingkat lokal melainkan
mengalir keluar desa.
Intervensi modal asing yang merambah sampai wilayah pedesaan,
menyebabkan terjadinya proses marginalisasi posisi sosial ekonomi masyarakat
Jatiluwih. Pengembangan desa wisata dipandang sebagai neokapitalis yang hanya
meng- eksploitasi masyarakat lokal, sementara keuntungan dan manfaat
pengembangan desa wisata sebagian besar dinikmati kaum kapitalis. Kesenjangan
pendapatan dan kesejahteraan antar lapisan masyarakat semakin besar, pada akhirnya,
masyarakat lokal tetap berada di posisi marginal dalam usaha yang justru terjadi di
wilayahnyasendiri. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pengembangan desa wisata
belum bermanfaat ekonomis bagi masyarakat Jatiluwih.

4. Partisipasi Masyarakat Lokal dalamTahap Pengawasan


Masyarakat lokal memiliki peran kontrol yang sangat substansial dalam
pengembangan desa wisata karena kontrol terhadap proses pengambilan keputusan
harus diberikan kepada mereka yang nantinya menanggung akibat pelaksanaan
pengembangan termasuk kegagalanatau dampak negatip yang terjadi akibat
pengembangan desa wisata. Oleh karena itu, kewenangan pengambilan keputusan
harus diberikan kepada masyarakat lokal. Parameter partisipasi masyarakat dalam
pengawasan adalah keterlibatan dalam tim pengawasan berikut kewenangan yang
dimiliki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Keterlibatan masyarakat lokal dalam
melakukan pengawasan terhadappengembangan desa wisata terlihat minim.
Alasannya, karena perencanaan pengembangan dilakukan oleh pemeritah secara top-
down, sehingga masyarakat tidak berkompotensi untuk melakukan pengawasan, di
samping itu pengawasan oleh masyarakat dimaknai oleh pemerintah sebagai tindakan
memata-matai program yang dilakukan pemerintah sehinggaberujung terjadinya
konflik.
Pada akhirnya, masyarakat memilih berpartisipasi pada pengawasan yang
bersifat preventif untuk mencegah tindakan- tindakan negatif yang dapat menggangu
keamanan desa, misalnya, mengawasi kehidupan anak muda yang mabuk-mabukan
di sekitar are kafe Jatiluwih di malam hari, pengawasan terhadap pedagang acung
yang berjualan di sekitar terasering sawah, dan pengawasan parkir kendaraan yang
tidak teratur dan sering menimbulkan kemacetan. Sedangkan pengawasan yang
bersifat lebih kompleks seperti pelanggaran tata ruang, pelanggaran kawasan suci,
sebagian besar warga bersikap tidak peduli, padahal secara substansi seharusnya
masyarakat lokal ikut mengawasi. Selama ini pengawasan yang bersifat kompleks
hanya dilakukan
oleh segelintir masyarakat yang kritis termasuk elite masyarakat local

5. Model Pengembangan Desa WisataBerbasis Masyarakat


1) pengembangan desa wisata harus berpedoman pada filosofi tri hita karana. Tri hita
karana adalah falsafah hidup berdasarkan agama Hindu yang mengajarkan perlunya
hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), dengan sesamanya
(pawongan), dan dengan alam lingkungannya (palemahan) guna mencapai kesejahteraan
lahir batin.
(2) masyarakat harus terlibat penuh dalam pengembangan desa wisata;.
(3) menghargai hak-hak masyarakat local.
(4) memperhatikan kelestarian lingkungan dan kesucian pura-pura yang ada di sekitar
Desa Jatiluwih.
(5) pemanfaatan rumah penduduk untuk akomodasi wisatawan. dan
(6) ada kelembagaan otonom dan mandiri yang dibentuk oleh masyarakat lokal dibawah
tanggung jawab desa adat. Ada jaminan bahwa masyarakat harus terlibat di dalamnya
agar program pengembangan desa wisata berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat

6. SIMPULAN
Peran pemerintah dalam pengelolaan sumber daya pariwisata terlihat dominan.
Padahal bila mengacu pada pendekatan tata kelola pemerintah yang bersih dan
berkelanjutan peran pemerintah diharapkan menjadi fasilitator dengan memberikan
peran dan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa
pembangunan pariwisata berbasis partisipasi masyarakat belum terwujud di wilayah
ini. Masyarakat belum menjadi subjek pembangunan, tetapi masih menjadi objek
pembangunan

7. DAFTAR PUSTAKA
Abe, A. 2002. Perencanaan Daerah Partisipatif. Solo: Pondok Edukasi.
Adiyoso, W. 2009. Menggugat Perencanaan Partisipatif dalam Pemberdayaan
Masyarakat. Jakarta: ITS Press.
Arnstein, S.R. 1969. A Ladder Of Citizen Participation JAIP. Vol 35. No 4, pp 216--224
dilihat pada http;// Lithgow-Schmidt/Sherry-arnstein/ ladder-of-citizen participation. Pdf
tanggal 30 Oktober 2009.
Baiquni, M. 2007. Strategi Penghidupan di Masa Krisis, Belajar dari Desa. . yogyakarta:
Ideas Media.
Damanik, J. dan Weber, H. 2006. Perencanaan Ekowisata: Dari Teori ke Aplikasi.
yogyakarta: Andi Offset.
Dewi, M.H.U. 2004. Dampak Ekonomi Pariwisata terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Lokal di Tiga Desa Kawasan Wisata Lovina. Denpasar: Lembaga Penelitian, Universitas
Udayana.
Fandeli, C. Raharjana,D.T. Kaharudin. 2003. Pengembangan Kawasan Pedesaan sebagai
Objek Wisata (Perencanaan Model Kelembagaan, Pasar dan Paket Wisata Pedesaan
Sekitar Gunung Merapi) Yogyakarata. <ogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas
Gadjah Mada.

Anda mungkin juga menyukai