Anda di halaman 1dari 62

MINI PROJECT

HUBUNGAN HIPERTENSI DAN HIPERKOLESTEROLEMIA DENGAN


TERJADINYA PENYAKIT JANTUNG KORONER

Disusun Oleh:
dr. Nopra Permata Sari

Pendamping:
dr. Meilince Melania Panjaitan

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


PPSDM KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DAN
KOMITE INTERNSIP DOKTER INDONESIA
PUSKESMAS MUARA BULIAN
KABUPATEN BATANGHARI PROVINSI JAMBI
2021

1
HALAMAN PENGESAHAN

Mini Project

HUBUNGAN HIPERTENSI DAN HIPERKOLESTEROLEMIA DENGAN


TERJADINYA PENYAKIT JANTUNG KORONER

Disusun Oleh :
dr. Nopra Permata Sari

Telah dilaksanakan pada Desember 2021 sebagai salah satu persyaratan


menyelesaikan Program Internsip Dokter Indonesia di Puskesmas Muara Bulian
Kabupaten Batang hari Provinsi Jambi

Muara Bulian, Desember 2021


Pembimbing

dr. Meilince Melania Panjaitan

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Mini Project dalam
rangka melaksanakan Program Dokter Internsip di Puskesmas Muara Bulian
Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi pada bulan Desember 2021.
Laporan ini merupakan hasil dari kegiatan selama menjalani Program Dokter
Internsip di Puskesmas Muara Bulian. Laporan ini berjudul “Hubungan Hipertensi
dan Kolesterolemia dengan Terjadinya Penyakit Jantung Koroner”
Dalam penulisan laporan ini, penulisan menyadari masih banyak kesalahan
dan kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun untuk kesempatan laporan ini. Demikianlah laporan ini semoga
bermanfaat bagi kita semua.

Muara Bulian, Desember 2021

Penulis

3
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN............................................................... 2
KATA PENGANTAR....................................................................... 3
DAFTAR ISI ..................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN.................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................... 7
BAB III KESIMPULAN .................................................................. 53
DAFTAR PUSTAKA

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan masalah yang ditemukan pada
masyarakat baik di negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia. Hipertensi
merupakan suatu keadaan meningkatnya tekanan darah sistolik lebih dari sama
dengan 140 mmHg dan diastolik lebih dari sama dengan 90 mmHg. Hipertensi dapat
diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu hipertensi primer atau esensial yang
penyebabnya tidak diketahui dan hipertensi sekunder yang dapat disebabkan oleh
penyakit ginjal, penyakit endokrin, penyakit jantung, dan gangguan anak ginjal.
Hipertensi seringkali tidak menimbulkan gejala, sementara tekanan darah yang terus-
menerus tinggi dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan komplikasi. Oleh
karena itu, hipertensi perlu dideteksi dini yaitu dengan pemeriksaan tekanan darah
secara berkala1
Kolesterol merupakan komponen lemak yang penting dan berfungsi
menghasilkan hormon, melapisi sel-sel saraf agar dapat menghantarkan rangsangan
secara tepat dan membentuk membran terluar dari sel-sel tubuh. Dihasilkan secara
alami oleh hati dan makanan yang mengandung lemak. Apabila kadar kolesterol
tinggi akibat peningkatan metabolisme lemak terutama dari makanan berpotensi
meningkatkan kolesterol dalam darah menyebabkan penyumbatan pada pembuluh
darah karena pengendapan kolesterol, yaitu terkumpulnya bahan lemak di bawah
lapisan sebelah dalam dari dinding arteri yang dapat menyebabkan penyempitan dan
penyumbatan pada aliran darah yang dikenal dengan aterosklerosis. Efek yang
dirasakan terganggunya kerja jantung dalam memompa darah sehingga hilangnya
pasokan oksigen dan nutrisi menuju jantung karena berkurangnya aliran darah ke
jantung dan mengakibatkan serangan jantung.2
Penyakit jantung koroner mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data dari
WHO (World Health Organization) tahun 2013 menunjukkan bahwa sebanyak 17.3
juta orang meninggal dunia. Di Indonesia tahun 2013 menurut Riset Kesehatan Dasar

5
(Riskesdas) diagnosis dokter penyakit jantung koroner tertinggi di provinsi Nusa
Tenggara Timur (4,4%), di Sulawesi Tengah (3,8%), Sulawesi Selatan (2,9%) dan di
Kalimantan Barat (0,9%). Data Kalimantan Barat khususnya di RSUD dr.Soedarso
Pontianak menunjukkan terjadi peningkatan pada pasien rawat jalan di poli jantung.
Tahun 2013 didapatkan sebanyak 139 pasien penyakit jantung koroner dan pada
tahun 2014 sebanyak 173 pasien dengan demikian terjadi peningkatan sebesar
19,65%.2
Serangan jantung juga dapat terjadi karena tekanan darah yang tinggi yang
dikenal dengan hipertensi yang merupakan dampak lanjutan akibat terjadinya
arteriosklerosis. Adanya plak (gumpalan) yang terutama terdiri dari lemak
mengendap sepanjang dinding dalam pembuluh darah arteri menyebabkan sumbatan
dalam pembuluh darah menyebabkan lumen (saluran) pembuluh darah menjadi
semakin sempit dan elastisitas dinding pembuluh darah berkurang menyebabkan
tekanan darah meninggi. Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan tegangan
dan kerusakan pada pembuluh darah yang menuju ke otak, sehingga pembuluh darah
mudah tersumbat dan aliran darah ke otak terhenti. Hipertensi juga dapat
menyebabkan pecahnya pembuluh darah di otak.2

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan dimana tekanan
darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Hipertensi
primer adalah tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, pada usia 18 tahun ke atas
dengan penyebab yang tidak diketahui. Pengukuran dilakukan 2 kali atau lebih
dengan posisi duduk, kemudian diambil reratanya, pada 2 kali atau lebih kunjungan.4
Hipertensi Sistolik Terisolasi (HST) didefinisikan sebagai suatu keadaan
dimana tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dengan tekanan darah diastolik ≤ 90
mmHg. Berbagai studi membuktikan bahwa prevalensi HST pada usia lanjut sangat
tinggi akibat proses penuaan, akumulasi kolagen, kalsium serta degradasi elastin pada
arteri. Kekakuan aorta yang pada akhirnya mengakibatkan penurunan tekanan darah
diastolik. HST juga dapat terjadi pada keadaan anemia, hipertiroidisme, insufisiensi
aorta, fistua arteriovena dan Paget Disease.4

2.2 Epidemiologi
Hipertensi ditemukan pada kurang lebih 6% dari seluruh penduduk dunia, dan
merupakan sesuatu yang sifatnya umum pada seluruh populasi. Data epidemiologi
menunjukkan adanya peningkatan prevalensi hipertensi dengan meningkatnya angka
harapan hidup atau populasi usia lanjut. Lebih dari separuh populasi di atas usia 65
tahun menderita hipertensi, baik hipertensi sistolik maupun kombinasi sistolik dan
diastolik. Pada penduduk diatas usia 50 tahun, penderita hipertensi ditemukan lebih
banyak pada wanita yaitu 37%, bila dibanding dengan pria yaitu 28%. Sedang pada
usia di atas 25 tahun ditemukan 29% pada wanita dan 27% pada pria. Hipertensi
primer itu sendiri merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.5
Menurut catatan World Health Organization (WHO) tahun 2011, satu milyar
orang didunia mengalami hipertensi, diantaranya berada di negara berkembang yang
berpenghasilan rendah-sedang. Prevalensi hipertensi akan terus meningkat tajam,

7
diprediksi pada tahun 2025 sekitar 29% orang dewasa di seluruh dunia akan
menderita hipertensi. Hipertensi mengakibatkan kematian sekitar 8 juta orang setiap
tahun, 1.5 juta kematian terjadi di Asia Tenggara, yang sepertiga populasinya
menderita hipertensi.6 Data dari The National Health And Nutrition Examination
Survey (NHAHES) tahun 2003-2004 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi pada
orang dewasa dengan usia 18 tahun ke atas di amerika adalah 29.6% atau 58-65 juta
penduduk amerika menderita hipertensi. Berdasarkan analisis multivariat NHAHES
pada tahun 2003-2004, meningkatnya usia dan indeks massa tubuh, ras kulit hitam
dan rendahnya pendidikan terkait dengan hipertensi secara bermakna.5
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi
hipertensi usia 18 tahun ke atas di Indonesia adalah sebesar 31.7%. Prevalensi
hipertensi tertinggi di Provinsi Kalimantan Selatan (39.6%), dan terendah di Papua
Barat (20.1%). Provinsi Jawa Timur, Yogyakarta, Jawa Tengah, Bangka Belitung,
Riau, Kalimantan Tengah, Sulawesi tengah, Sulawesi Barat dan Nusa Tenggara
Barat, merupakan provinsi yang memiliki prevalensi lebih tinggi dari angka
nasional.4,5
Prevalensi hipertensi di Provinsi Jambi meningkat dalam lima tahun terakhir.
Dalam laporan Riskesdas 2018 menunjukkan preva-lensi hipertensi di Provinsi Jambi
berdasarkan hasil pengukuran pada penduduk usia 18 tahun 28,99%, sedangkan tahun
2013 yaitu 24,6%[5]. Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran dan faktor
yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada Anggota Rumah Tangga (ART)
umur 18 tahun ke atas yaitu faktor perilaku yang meliputi aktifitas fisik berat dan
sedang dan merokok serta faktor lingkungan yang meliputi pekerjaan dan wilayah
tempat tinggal. Prevalensi hipertensi di Batang Hari tahun 2018, dilaporkan sekitar
4,69 %

2.3 Faktor Risiko


Faktor risiko hipertensi dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu:
Faktor risiko yang tidak dapat diubah

8
o Usia
Usia mempengaruhi terjadinya hipertensi, dengan bertambahnya usia, risiko
terkena hipertensi menjadi lebih besar. Menurut Riskesdas 2007 pada kelompok usia
>55 tahun prevalensi hipertensi mencapai >55%. Pada usia lanjut, hipertensi terutama
ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan darah sistolik. Kejadian ini disebabkan
oleh perubahan struktur pembuluh darah besar.4
o Jenis Kelamin
Jenis kelamin berpengaruh pada terjadinya hipertensi. Pria berisiko sekitar 2.3
kali lebih banyak mengalami peningkatan tekanan darah sistolik dibandingkan
perempuan, karena pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung meningkatkan
tekanan darah. Namun, setelah memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada
perempuan meningkat. Bahkan setelah usia 65 tahun, hipertensi pada perempuan
lebih tinggi dibandingkan pria, akibat faktor hormonal. Menurut Riskesdas 2007,
prevalensi hipertensi pada perempuan sedikit lebih tinggi dibanding pria.4
o Keturunan
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga
meningkatkan risiko hipertensi. Terutama hipertensi primer (esensial). Tentunya
faktor lingkungan lain ikut berperan. Faktor genetik juga berkaitan dengan
metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel. Jika kedua orang tua
menderita hipertensi, maka sekitar 45% akan turun ke anak-anaknya dan bila salah
satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-
anaknya.4

Faktor risiko yang dapat diubah


Faktor risiko yang diakibatkan perilaku tidak sehat dari penderita hipertensi
antara lain merokok, diet rendah serat, konsumsi garam berlebih, kurang aktifitas
fisik, berat badan berlebih/kegemukan, konsumsi alkohol, dislipidemia dan stress:
o Obesitas
Kegemukan (obesitas) adalah persentase abnormalitas lemak yang dinyatakan
dalam Indeks Massa Tubuh (Body Mass Index) yaitu perbandingan antara berat

9
badan dengan tinggi badan kuadrat dalam meter. Berat badan dan Indeks Massa
Tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah
sistolik. Obesitas bukanlah penyebab hipertensi akan tetapi prevalensi hipertensi pada
obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang-orang
gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penderita seseorang yang berbadan
normal. Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki
berat badan lebih (overweight) 4

Nilai IMT dihitung menurut rumus:

Klasifikasi IMT orang Indonesia berdasarkan rekomendasi WHO pada populasi Asia
Pasifik tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut:

Tabel 2.2 Klasifikasi IMT Populasi Asia Menurut WHO

o Dislipidemia
Kelainan metabolism lipid ditandai dengan peningkatan kadar kolesterol total,
trigliserida, kolesterol LDL dan atau penurunan kadar kolesterol HDL dalam darah.

10
Kolesterol merupakan faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis yang kemudan
mengakibatkan peningkatan tekanan tahanan perifer pembuluh darah sehingga
tekanan meningkat.4 Batasan kadar lipid dalam darah dapat dilihat pada Tabel 2.3
sebagai berikut:

Tabel 2.3 Kadar Lipid Dalam Darah

o Merokok
Zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui
rokok akan memasuki sirkulasi darah dan merusak lapisan endotel pembuluh darah
arteri, zat tersebut mengakibatkan proses artereosklerosis dan tekanan darah tinggi.
pada studi autopsy, dibuktikan adanya kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan
proses artereosklerosis pada selurh pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan
denyut jantung, sehingga kebutuhan oksigen otot-otot jantung bertambah. Merokok
pada penderita tekanan darah tinggi akan semakin meningkakan risiko kerusakan
pembuluh darah arteri.4

o Kurang aktivitas fisik

11
Olah raga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah dan
bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan. Dengan melakukan olah raga aerobik
teratur tekanan darah dapat turun, meskipun berat badan belum turun.4
o Konsumsi Garam berlebihan
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan
di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan
darah. Pada sekitar 60% kasus hipertensi primer (esensial) terjadi respon penurunan
tekanan darah dengan mengurangi asupan garam. Pada masyarakat yang
mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang, ditemukan tekanan darah rerata yang
rendah, sedangkan pada masyarakat asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darah
rerata lebih tinggi.4
o Konsumsi alkohol
Pengaruh alcohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan, namun
mekanismenya masih belum jelas. Diduga peningkatan kadar kortisol, peningkatan
sel darah merah dan peningkatan kekentalan darah berperan dalam menaikkan
tekanan darah. Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah
dan asupan alcohol. Dikatakan bahwa, efek terhadap tekanan darah baru Nampak
apabila mengkonsumsi alcohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya.4
o Psikososial dan stress
Stress atau leteganagan jiwa (rasa tertekan, murung, marah, dendam, rasa
takut, rasa bersalah) dapat merangsanag kelenjar anak ginjal melepaskan hormone
adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cpeat serta lebih kuat, sehingga
tekanan darah meningkat. Jka stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha
mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis.
Gejala yang timbul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag.4
Stress adalah kondisi yang disebabkan oleh adanya interaksi antara individu
dengan lingkungannya yang mendorong seseorang untuk mempersepsikan adanya
perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber daya (biologis, psikologis dan social)
yang ada pada diri seseorang. Peningkatan tekanan darah akanlebih menonjol pada
individu yang memiliki kecenderungan emosional tinggi.4

12
Menurut studi, wanita usia 45-64 tahun memiliki sejumlah factor psikososial
seperti keadaan tegang, masalah rumah tangga, tekanan ekonomi, stress harian,
mobilitas pekerjaan, ansietas dan kemarahan terpendam. Kesemuanya ini
berhubungan dngan peningkatan tekanan darah dan manifestasi klinik penyakit
kardiovaskular apapun.4

Studi eksperimental di laboratorium membuktikan bahwa factor psikologis


stress merupakan factor lingkungan social yang penting daam menyebabkan
peningkatan tekanan darah. Akan tetapi stress merupakan faktor risiko yang sulit
diukur secara kuantitatif dan bersifat spekulatif, sehingga tak mengerankan jika
pengelolaan stress dalam etiologi hipertensi menjadi kontroversial.4

2.4 Patogenesis & Patofisiologi


Sebagian besar hipertensi tidak diketahui penyebabnya (90%). Ada beberapa
mekanisme yang ikut serta dalam kontrol tekanan darah, seperti tampak pada Gambar
2.1 sebagai berikut5:

13
Gambar 2.1 Bagan Mekanisme Regulasi Tekanan Darah

2.5 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu5,6:
 Hipertensi Essensial atau Primer, yang tidak diketahui penyebabnya (95%)
 Hipertensi Sekunder, yang penyebabnya dapat ditentukan (5%) antara lain
karena kelainan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid),
penyakit kelenjar adrenal (hiperaldosteronisme) dan lain-lain

Menurut JNC-VII (2003) hipertensi diklasifikasikan tertera pada Tabel 2.1


sebagai berikut7,8:
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi menurut JNC VIII6

14
2.6 Manifestasi Klinis
Kebanyakan pasien dengan hipertensi esensial asimtomatik. Diagnosis awal
akan bergantung pada pengukuran rutin tekanan darah dan konfirmasi dari
peningkatan tekanan darah pada tiga pemeriksaan terpisah. Pasien dapat memiliki
riwayat sakit kepala namun hal ini biasanya bersifat sekunder pada hipertensi
malignan. Riwayat yang detail harus mencakup penilaian risiko kardiovaskular secara
keseluruhan termasuk riwayat hiperkolesterolemia, DM dan merokok. Faktor yang
memperberat seperti konsumsi alkohol dan garam serta intensitas olah raga. Gejala
sugestif dari penyebab sekunder juga harus dicari.5

Karena hipertensi esensial bersifat asimtomatik dan mungkin dapat muncul


setelah bertahun-tahun. Penting untuk dicari riwayat mengenai kerusakan organ
target. Dapat mencakup mengenai stroke atau perburukan memory dan gejala yang
menunjukkan LVH seperti nyeri dada, sesak atau berdebar-debar.5

15
2.7 Diagnosis
Evaluasi pada penderita hipertensi bertujuan untuk: 1) menilai pola hidup dan
identifikasi faktor risiko kardiovaskular lainnya atau menilai adanya penyakit
penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan pengobatan, 2) mencari
penyebab kenaikan tekanan darah, 3) menentukan ada tidaknya kerusakan organ
target dan penyakit kardiovaskular. Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan
melakukan anamnesis tentang keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu, penyakit
keluarga, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.5
o Anamnesis
1. Keluhan. Mulai dari tidak bergejala sampai dengan bergejala. Keluhan
hipertensi antara lain:
 Sakit atau nyeri kepala
 Gelisah
 Jantung berdebar-debar
 Pusing
 Leher kaku
 Penglihatan kabur
 Rasa sakit di dada
 Keluhan tidak spesifik antara lain tidak nyaman kepala, mudah lelah dan
impotensi.
2. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
3. Indikasi adanya hipertensi sekunder
 Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (polikistik ginjal)
 Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuria, pemakaian
obat-obatan analgesik dan obat lain
 Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma)
 Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)
4. Faktor-faktor risiko
 Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien

16
 Riwayat hyperlipidemia pada pasien atau keluarganya
 Kebiasaan merokok
 Pola makan
 Kegemukan, intensitas olah raga
 Kepribadian.
5. Gejala kerusakan organ
 Otot dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan pengelihatan, transient
ischemic attack, deficit sensoris atau mototoris.
 Jantung palpitasi, nyeri dada (-), sesak, bengkak kaki,
 Ginjal; haus, polyuria,
 Arteri perifer : ekstrimitas dingin, klaudikasi intermitten
6. Pengobatan hipertensi sebelumnya
7. Faktor pribadi, keluarga dan lingkungan5

o Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik selain untuk memeriksa tekanan darah, juga untuk
mengevaluasi adanya penyakit penyerta, kerusakan organ target serta kemungkinan
adanya hipertensi sekunder.5,6,7
Pengukuran Tekanan Darah
 Pengukuran rutin di kamar periksa dokter
 Pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-ABPM)
 Pengukuran sendiri oleh penderita di rumah
Penderita harus bebas dari minuman mengandung alkohol, kafein dan
merokok paling tidak 30 menit sebelum pemeriksaan tekanan darah. Pengukuran di
kamar periksa dilakukan pada posisi duduk dikursi setelah penderita istirahat selama
5 menit, kaki di lantai dan lengan pada posisi setinggi jantung. Ukuran dan
peletakkan manset menutup 80% dari lingkar lengan, dengan sisi terendah 2.5 cm
dari fossa antecubiti (panjang 12-13 cm, lebar 35 cm untuk standar orang dewasa).
Letakkan Stetoskop di atas A. Brachialis dengan tekanan ringan di atas kulit. Pompa

17
Cuff hingga tekanan di atas 20 mmHg dari menghilangnya nadi pada perabaan a.
radialis. Penurunan air raksa pada tabung sebaiknya 2-3 mmHg/detik. Pengukuran
dilakukan dua kali dengan sela antara 1 sampai 5 menit, pengukuran tambahan
dilakukan jika hasil kedua pengukuran sebelumnya sangat berbeda. Pengukuran
dilakukan pada kedua lengan, dan bila ada perbedaan 10/5 mmHg, maka dilakukan
pemeriksaan tambahan pada lengan dengan tekanan yang lebih tinggi.
Konfirmasi pengukuran pada lengan kontralateral dilakukan pada kunjungan
pertama dan jika didapatkan kenaikan tekanan darah. Pengukuran denyut jantung
dengan menghitung nadi (30s) dilakukan saat duduk segera setelah pengukuran
tekanan darah. Untuk penderita usia lanjut, diabetes dan kondisi lain dimana
diperkirakan ada hipotensi ortostatik, perlu dilakukan juga pengukuran tekanan darah
pada posisi berdiri.6,7

Evaluasi penderita hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya


penyakit penyerta sistemik, yaitu:
 Aterosklerosis (melalui pemeriksaan profil lemak)
 Diabetes (terutama pemeriksaan gula darah)
 Kreatinin serum, serta mempekirakan LFG

JNC VII menyatakan bahwa tes yang lebih mendalam untuk mencari
penyebab hipertensi tidak dianjurkan kecuali jika dengan pengobatan yang sudah
memadai, target tekanan darah yang diinginkan tidak tercapai.7

2.8 Tatalaksana
Tatalaksana hipertensi meliputi non farmakologis dan farmakologis.
Tatalakasana non farmakologis meliputi modifikasi gaya hidup. Upaya ni dapat
menurunkan tekanan darah atau ketergantungan penderita hipertensi terhadap
penggunaan obat-obatan. Sedangkan tatalaksana farmakologis umumnya diberikan
dengan pemberian obat-obatan antihipertensi di Puskesmas. Apabila upaya

18
farmakologi dan non farmakologi belum mampu mencapai hasil yang diharapakan,
Puskesmas bisa merujuk pasien ke pelayanan kesehatan sekunder yaitu rumah sakit.4
Dalam menangani hipertensi perlu juga dikelola faktor risiko kerdiovaskular
lainnya, kerusakan organ target dan penyakit penyerta, penanganan ini umumnya
dikerjakan di fasilitas pelayanan kesehatan sekunder atau tersier. Komplikasi organ
target yang mungkin terjdi antara lain: penyakit jantung koroner dan stroke, gagal
jantung, gagal ginjal, penyakit vascular perifer dan kerusakan pembuluh darah retina
yang menyebabkan gangguan pengelihatan. 4

Non Farmakologi
Tatalaksana hipertensi di masyarakat terbatas pada modifikasi faktor risiko
dengan menggunkan media komunikasi-informasi-edukasi (KIE) yang telah
disediakan. KIE merupakan upaya promosi kesehatan yang bertujuan untuk
meningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pencegahan penyakit.
Aktifitas ini dilakukan di Posbindu oleh kader kesehatan yang telah dilatih mengenai
program pengendalian PTM.4
Pola hidup sehat yang dianjurkan untuk mencegah dan mengontrol hipertensi
adalah gizi seimbang dan pembatasan gula, garam dan lemak (Dietary Approaches to
Stop Hipertension); Mempertahankan berat badan dan lingkar pinggang ideal; Gaya
hidup aktif/olah raga teratur; Stop merokok; Membatasi konsumsi alkohol.4
Makan Gizi Seimbang
Modifikasi diet terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada pasien
hipertensi. Prinsip diet yang dianjurkan adalah gizi seimbang: membatasi gula,
garam, cukup buah, sayuran, kacang-kacangan, biji bijian, makanan rendah lemak
jenuh, menggantinya dengan unggas dan ikan yang berminyak.
 Dianjurkan untuk makan buah dan sayur 5 porsi perhari, karena cukup
mengandung kalium yang dapat menurunkan tekanan darah. Kalium klorida
60-100 mmol/hari akan menurunkan tekanan darah sistolik (TDS) 4.4 mmHg
dan tekanan darah diastolic (TDD) 2.5 mmHg. 7,8,9,10

19
 Asupan natrium hendakya dibatasi <100mmol (2g)/hari setara dengan 5 g
(satu sendok the kecil) garam dapur, cara ini berhasil menurunkan TDS 3.7
mmHg dan TDD 2 mmHg. Bagi pasien hipertensi, asupan natrium dibatasi
lebih rendah lagi menjadi 1.5 g/hari atau 3.5-4g garam/hari. Walaupun tidak
semua pasien hipertensi sensitif terhadap natrium, namun pembatasan asupan
natrium dapat membantu terapi farmakologi penyakit serebrovaskular.
Asupan natrium didapat dari berbagai sumber antara lain: garam yang
ditambahkan pada produk olahan, berbagai bahan makanan sehari-hari dan
penambahan garam pada waktu memasak atau saat makan. 7,8,9,10

Tabel 2. Pedoman Gizi Seimbang

Tabel 2. Modifikasi Dietary Approacches to Stop Hipertension (DASH)

20
21
Mengatasi Kelebihan Berat Badan
Hubungan antara obesitas dengan hipertensi telah banyak dilaporkan.
Upayakan untuk menurunkan berat badan sehingga mencapai IMT normal 18.5-22.9
kg/m2, lingkar pinggang <90 cm untuk laki-laki atau <80 cm pada perempuan.4
Melakukan Olahraga Teratur
Berolahraga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit
(sejauh 3 km) lima kali/minggu, dapat menurunkan TDS 4 mmHg dan TDD 2.5
mmHg. Berbagai cara relaksasi seperti meditasi, yoga atau hipnosis dapat mengontrol
sistem saraf sehingga menurunkan tekanan darah.4
Berhenti Merokok
Tidak ada cara yang benar-benar efektif untuk menghentikan kebiasaan
merokok. Pendidkan atau konseling berhenti merokok bertujuan untuk mendorong
semua bukan perokok untuk tidak mulai merokok, menganjurkan keras semua
perokok untuk berhenti merokok dan membantu upaya mereka untuk berhenti
merokok dan individu yang menggunakan bentuk lain dari tembakau disarankan
untuk berhenti.4
Beberapa metode yang secara umum dicoba adalah sebagai berikut
 Inisiatif sendiri
Banyak perokok menghentikan kebiasaannya atas insiatif sendiri, tanpa
pertolongan pihak luar. Metode ini banyak menarik para perokok karena
dapat dilakukan secara diam-diam, program dilaksanakan sesuai kemauan,
tidak perlu menghadiri penyuluhan dan tidak memakai ongkos.
 Menggunakan permen bernikotin
Kecanduan nikotin membuat perokok sulit meninggalkan rokok. Permen
nikotin dapat mengurangi penggunaan rokok. Ada jangka waktu tertentu
untuk menggunakan permen ini, dan selama menggunakan permen,
penderita dilarang merokok. Dengan demikian, diharapkan perokok sudah
berhenti merokok secara total sesuai jangka waktu yang ditentukan.
 Kelompok program

22
Beberapa orang mendapatkan manfaat dari dukungan kelompok berhenti
merokok. Para anggota kelompok dapat saling memberi nasihat dan
dukungan. Program ini banyak yang berhasil, tetapi memerlukan biaya
dan waktu untuk menghadiri pertemuan-pertemuan, sehingga seringkali
menyebabkan keengganan bergabung.
 Konseling
Konseling ini dilakukan sesuai bagan pada gambar 2.

23
Gambar 2. Bagan alur konseling upaya berhenti merokok

Mengurangi Konsumsi Alkohol

24
Satu studi meta analisis menunjukkan bahwa kadar alkohol seberapapun akan
meningkatkan tekanan darah. Mengurangi alkohol pada penderita hipertensi yang
biasa minum alkohol, akan menurunkan TDS rerata 3.8 mmHg. Dalam memberikan
edukasi kepada pasien tentang alkohol, hendaknya dikemukakan hal berikut:
 Jangan mulai konsumsi alkohol
 Jangan anjurkan konsumsi alkohol demi kepentingan kesehatan
 Batasi konsumsi alkohol untuk laki-laki maksimal 2 unit perhari dan
perempuan 1 unit perhari, jangan lebih dari 5 hari minum/minggu.
Satu unit=1/2 gelas bir (5% alkohol), 100 ml anggur (10% alkohol) dan 25 ml
minuman 40% alcohol.4
Dengan mengadopsi gaya hidup sehat, diharapkan terjadi penurunan tekanan darah
sebagai terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Dampak Modifikasi Gaya hidup terhadap Penurunan Tekanan Darah

Olahraga Teratur
Olahraga aerobik teratur bermanfaat untuk pencegahan dan pengobatan hipertensi,
sekaligus menurunkan risiko dan mortalitas kardiovaskular. Olahraga teratur dengan
intensitas dan durasi ringan memiliki efek penurunan TD lebih kecil dibandingkan
dengan latihan intensitas sedang atau tinggi, sehingga pasien hipertensi disarankan

25
untuk berolahraga setidaknya 30 menit latihan aerobik dinamik berintensitas sedang
(seperti: berjalan, joging, bersepeda, atau berenang) 5-7 hari per minggu.4

Farmakologi
Penangan hipertensi bertujuan untuk mengendalikan angka kesakitan,
komplikasi dan kematin akibat hipertensi. Terapi farmakologis hipertensi dapat
dilakukan di pelayanan kesehatan primer/puskesmas sebagai penanganan awal.
Berbagai penelitian klinik membuktikan bahwa, obat antihipertensi yang diberikan
tepat waktu, dapat menurunkan kejadian stroke 35-40%, infark miokard 20-25% dan
gagal jantung >50%.7,8,9,10
Pengobatan hipertensi dimulai dengan obat tunggal yang memiliki masa kerja
panjang sehingga dapat diberikan sekali sehari dan dosisnya dititrasi. Obat berikutnya
mungkin dapat ditambahkan selama beberapa bulan pertama perjalanan terapi.
Pemilihan atau kombinasi obat antihipertensi yang cocok bergantung pada keparahan
hipertensi dan respon penderita terhadap obat. Beberapa prinsip pemberian obat
antihipertensi yaitu7,8,9,10:
1. Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah
dengan harapan memperpanjang usia dan mengurangi komplikasi.
2. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mengutamakan pengobatan
penyebabnya.
3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat
antihipertensi.
4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan seumur
hidup.
5. Jika tekanan darah terkontrol maka pemberian antihipertensi di Puskesmas
dapay diberikan disaat kontrol dengan catatan obat yang diberikan untuk
pemakaian selama 30 hari bila tanpa keluhan baru.
6. Untuk penderita hipertensi yang baru didiagnosis (kunjungan pertama) maka
diperlukan kontrol ulang disarankan 4 kali dalam sebulan atau seminggu
sekali, jika TDS >160mmHg atau TDD >100 mmHg sebaiknya dberikan

26
terapi kombinasi setelah kunjungan kedua (dalam dua minggu) tekanan darah
tidak dapat dikontrol.
7. Pada kasus krisis hipertensi tekanan darah tidak dapat terkontrol setelah
pemberian obat pertama langsung diberikan terapi farmakologis kombinasi,
jika tidak dapat dilakukan rujukan.

Gambar 2. Alur Tatalaksana Hipertensi JNC 7 & Pedoman Teknis Tatalaksana


Hipertensi Kemenkes 2014

Obat Antihipertensi
Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah diuretik tiazid
(misalnya bendroflumetiazid), beta‐bloker, (misalnya propanolol, atenolol,)
penghambat angiotensin converting enzymes (misalnya captopril, enalapril),
antagonis angiotensin II (misalnya candesartan, losartan), calcium channel blocker
(misalnya amlodipin, nifedipin) dan alphablocker (misalnya doksasozin). Yang lebih
jarang digunakan adalah vasodilator dan antihipertensi kerja sentral dan yang jarang

27
dipakai, guanetidin, yang diindikasikan untuk keadaan krisis hipertensi. 9 Jenis obat
antihipertensi untuk terapi farmakologis antara lain:
1. Diuretik
Diuretik tiazid adalah diuretic dengan potensi menengah yang menurunkan
tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal
tubulus distal ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga
mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga dapat
mempertahankan efek antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada
pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati. Efek diuretik tiazid
terjadi dalam waktu 1‐2 jam setelah pemberian dan bertahan sampai 12 ‐24 jam,
sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari. 7,8,9,10
Efek antihipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan dosis tidak
memberikan manfaat pada tekanan darah, walaupun diuresis meningkat pada
dosis tinggi. Efek tiazid pada tubulus ginjal tergantung pada tingkat ekskresinya,
oleh karena itu tiazid kurang bermanfaat untuk pasien dengan gangguan fungsi
ginjal. 7,8,9,10
Peningkatan eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan
hipokalemia, hiponatriemi, dan hipomagnesiemi. Hiperkalsemia dapat terjadi
karena penurunan ekskresi kalsium. Interferensi dengan ekskresi asam urat dapat
mengakibatkan hiperurisemia, sehingga pewnggunaan tiazid pada pasien gout
harus hati‐hati. Diuretik tiazid juga dapat mengganggu toleransi glukosa (resisten
terhadap insulin) yang mengakibatkan peningkatan resiko diabetes mellitus tipe 2.
Efek samping yang umum lainnya adalah hiperlipidemia, menyebabkan
peningkatan LDL dan trigliserida dan penurunan HDL. 25% pria yang mendapat
diuretic tiazid mengalami impotensi, tetapi efek ini akan hilang jika pemberian
tiazid dihentikan. 7,8,9,10
2. Penyekat Beta (β-Blockers)
Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan
menjadi reseptor beta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada
jantung sedangkan reseptor beta‐2 banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh

28
darah perifer, dan otot lurik.Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan di jantung,
sedangkan reseptor beta‐1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga
dapat ditemukan di otak. 7,8,9,10
Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan
neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi
reseptor beta‐1 pada nodus sino‐atrial dan miokardiak meningkatkan heart rate
dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan
penglepasan rennin, meningkatkan aktivitas system renninangiotensin‐
aldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan
tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi
air. Terapi menggunakan beta‐blocker akan mengantagonis semua efek tersebut
sehingga terjadi penurunan tekanan darah. 7,8,9,10
Beta‐blocker yang selektif (dikenal juga sebagai cardioselective beta‐
blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta‐1, tetapi tidak spesifik
untuk reseptor beta‐1 saja oleh karena itu penggunaannya pada pasien dengan
riwayat asma dan bronkhospasma harus hatihati. Beta‐blocker yang non‐selektif
(misalnya propanolol) memblok reseptor beta‐1 dan beta‐2. 7,8,9,10
Beta‐blocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal sebagai
aktivitas simpatomimetik intrinsic), misalnya acebutolol, bekerja sebagai
stimulan‐beta pada saat aktivitas adrenergik minimal (misalnya saat tidur) tetapi
akan memblok aktivitas beta pada saat aktivitas adrenergik meningkat (misalnya
saat berolah raga). Hal ini menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada
siang hari. Beberapa beta‐blocker, misalnya labetolol, dan carvedilol, juga
memblok efek adrenoseptoralfa perifer. Obat lain, misalnya celiprolol,
mempunyai efek agonis beta‐2 atau vasodilator. 7,8,9,10
Beta‐blocker diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan
obat dalam air atau lipid. Obat‐obat yang diekskresikan melalui hati biasanya
harus diberikan beberapa kali dalam sehari sedangkan yang diekskresikan melalui
ginjal biasanya mempunyai waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat
diberikan sekali dalam sehari. Beta‐blocker tidak boleh dihentikan mendadak

29
melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina, karena
dapat terjadi fenomena rebound. 7,8,9,10
Blokade reseptor beta‐2 pada bronkhi dapat mengakibatkan bronkhospasme,
bahkan jika digunakan beta‐bloker kardioselektif. Efek samping lain adalah
bradikardia, gangguan kontraktil miokard, dan tanga‐kaki terasa dingin karena
vasokonstriksi akibat blokade reseptor beta‐2 pada otot polos pembuluh darah
perifer. Kesadaran terhadap gejala hipoglikemia pada beberapa pasien DM tipe 1
dapat berkurang. Hal ini karena beta‐blocker memblok sistem saraf simpatis yang
bertanggung jawab untuk “memberi peringatan“ jika terjadi hipoglikemia.
Berkurangnya aliran darah simpatetik juga menyebabkan rasa malas pada pasien.
7,8,9,10

Mimpi buruk kadang dialami, terutama pada penggunaan beta‐blocker yang


larut lipid seperti propanolol. Impotensi juga dapat terjadi. Beta‐blockers non‐
selektif juga menyebabkan peningkatan kadar trigilserida serum dan penurunan
HDL. 7,8,9,10
3. Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACE-I) & Angiotensin Receptor
Blocker (ARB)
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) menghambat secara
kompetitif pembentukan angiotensin II dari precursor angiotensin I yang inaktif,
yang terdapat pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan
otak. 7,8,9,10
Angitensin II merupakan vaso‐konstriktor kuat yang memacu penglepasan
aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan
angiotensin iI ini akan menurunkan tekanan darah. Jika system angiotensin ‐renin ‐
aldosteron teraktivasi (misalnya pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi
diuretik) efek antihipertensi ACEi akan lebih besar.9
ACE juga bertanggungjawab terhadap degradasi kinin, termasuk bradikinin,
yang mempunyai efek vasodilatasi. Penghambatan degradasi ini akan
menghasilkan efek antihipertensi yang lebih kuat. Beberapa perbedaan pada
parameter farmakokinetik obat ACEi. Captopril cepat diabsorpsi tetapi

30
mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat untuk menentukan
apakah seorang pasien akan berespon baik pada pemberian ACEi. Dosis pertama
ACEii harus diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan darah
mendadak mungkin terjadi; efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar
sodium rendah. 7,8,9,10
Antagonis Angiotensin II
Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya.
Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1
memperantarai respon farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan
penglepasan aldosteron. Dan oleh karenanya menjadi target untuk terapi obat.
Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas.
Banyak jaringan mampu mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II tanpa
melalui ACE. Oleh karena itu memblok system renin ‐angitensin melalui jalur
antagonis reseptor AT1 dengan pemberian antagonis reseptor angiotensin II
mungkin bermanfaat. Antagonis reseptor angiotensin II (AIIRA) mempunyai
banyak kemiripan dengan ACEi, tetapi AIIRA tidak mendegradasi kinin. Karena
efeknya pada ginjal, ACEi dan AIIRA dikontraindikasikan pada stenosis arteri
ginjal bilateral dan pada stenosis arteri yang berat yang mensuplai ginjal yang
hanya berfungsi satu. 7,8,9,10
Efek samping ACEi dan AIIRA
Sebelum mulai memberikan terapi dengan ACEI atau AIIRA fungsi ginjal dan
kadar elektrolit pasien harus dicek. Monitoring ini harus terus dilakukan selama
terapi karena kedua golongan obat ini dapat mengganggu fungsi ginjal. Baik
ACEi dan AIIRA dapat menyebabkan hiperkalemia karena menurun ‐kan produksi
aldosteron, sehingga suplementasi kalium dan penggunaan diuretik hemat kalium
harus dihindari jika pasien mendapat terapi ACEI atau AIIRA. Perbedaan anatar
ACEI dan AIIRA adalah batuk kering yang merupakan efek samping yang
dijumpai pada 15% pasien yang mendapat terapi ACEi. AIIRA tidak
menyebabkan batuk karena tidak mendegaradasi bradikinin. 7,8,9,10

31
4. Calcium Channel Blocker (CCB)
Calcium channel blocker menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel
miokard, sel‐sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel‐sel otot polos pembuluh
darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan
dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi,
interferensi dengan konstriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas
adalah proses yang bergantung pada ion kalsium. Terdapat tiga kelas CCB:
dihidropiridin (misalnya nifedipin dan amlodipin); fenilalkalamin (verapamil) dan
benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer
yang merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem
mempunyai efek kardiak dan dugunakan untuk menurunkan heart rate dan
mencegah angina.
Pemerahan pada wajah, pusing dan pembengkakan pergelangan kaki sering
dijumpai, karena efek vasodilatasi CCB dihidropiridin. Nyeri abdomendan mual
juga sering terjadi. Saluran cerna juga sering terpengaruh oleh influks ion
kalsium, oleh karena itu CCB sering mengakibatkan gangguan gastro ‐intestinal,
termasuk konstipasi. 7,8,9,10
5. Golongan lain
Alpha-blocker
Alpha‐blocker (penghambat adreno‐septor alfa‐1) memblok adrenoseptor alfa‐
1 perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos
pembuluh darah. Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten. Alpha‐blocker
dapat menyebabkan hipotensi postural, yang sering terjadi pada pemberian dosis
pertama kali. Alpha‐blocker bermanfaat untuk pasien laki‐laki lanjut usia karena
memperbaiki gejala pembesaran prostat. 7,8,9,10
Vasodilator
Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan
tekanan darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah. Antihipertensi
kerj a sentral (misalnya klonidin, metildopa, monoksidin) bekerja pada
adrenoseptor alpha‐2 atau reseptor lain pada batang otak, menurunkan aliran

32
simpatetik ke jantung, pembuluh darah dan ginjal, sehingga efek ahirnya
menurunkan tekanan darah. Antihipertensi vasodilator dapat menyebabkan retensi
cairan. Tes fungsi hati harus dipantau selama terapi dengan hidralazin karena
ekskresinya melalui hati. Hidralazin juga diasosiakan dengan sistemiklupus
eritematosus. Minoksidil diasosiasikan dengan hipertrikosis (hirsutism) sehingga
kkurang sesuai untuk pasien wanita. Obat‐obat kerja sentral tidak spesifik atau
tidak cukup selektif untuk menghindari efek samping sistem saraf pusat seperti
sedasi, mulut kering dan mengantuk, yang sering terjadi. Metildopa mempunyai
mekanisme kerja yang mirip dengan konidin tetapi dapat memnyebabkan efek
samping pada system imun, termasuk pireksia, hepatitis dan anemia hemolitik. 7
Tabel 2. Dosis Obat Antihipertensi8

33
Pemilihan Obat Antihipertensi
Masing-masing obat antihipertensi memiliki efektivitas dan keamanan dalam
pengobatan hipertensi. Untuk pemilihan obat antihipertensi dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu10:
 Faktor sosio ekonomi
 Profil faktor risiko kardiovaskular
 Ada tidaknya kerusakan organ target
 Ada tidaknya komorbid
 Variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi
 Kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang digunakan pasien untuk
penyakit lain
 Bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan dalam
menurunkan risiko kardiovaskular

Tabel 1. Strategi Inisiasi Pemberian Obat Antihipertensi JNC VIII8

34
Berdasarkan uji klinis, hampir seluruh pedoman penanganan hipertensi
menyatakan bahwa keuntungan pengobatan antihipertensi adalah penurunan tekanan
darah itu sendiri, terlepas dari jenis atau kelas obat antihipertensi yang digunakan.
Pengobatan dimulai secara bertahap dan target tekanan darah dicapai secara progresif
dalam beberapa minggu. Dianjurkan untuk menggunakan obat anihipertensi dengan
masa kerja panjang atau memberikan efikasi 24 jam dengan pemebrian sekali sehari. 8

Gambar 2. Pemilihan Terapi Kombinasi

35
Pemilihan pengobatan dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan
kombinasi bergantung pada tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika
pengobatan dimulai dengan satu jenis obat dengan dosis rendah, dan bila tekanan
darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis
obat tersebut atau berpindah ke antihipertensi lain dengan dosis rendah. Inisiasi
pemberian antihipertensi dapat dilihat pada tabel 2.6

Gambar 2. Kombinasi Obat Antihipertensi yang Efektif

Pengobatan pada Kondisi Khusus


Dari beberapa penelitian yang ada, pemberian obat antihipertensi yang
bersifat spesifik akan memberikan keuntungan pada kondisi tertentu. Karenanya JNC
VII merekomendasikan pengobatan awal disesuaikan dengan kelompok dengan
indikasi yang memaksa/compelling indication dan keadaan khusus lainnya.7 (dapat
dilihat pada Tabel 2.)

36
Tabel 2. Compelling Indication pada Hipertensi8

Terdapat pula berbagai bukti yang menyatakan bahwa kelas obat


antihipertensi tertentu memiliki kelebihan untuk kelompok pasien tertentu. Dari
beberapa penelitian yang ada, menunjukkan hambatan pada RAAS dengan ACEI,
ARB atau DRI memberikan perbaikan secara klinis pada penderita DM, payah
jantung kongestif, stroke, penyakit ginjal kronis dan albuminuria. Sedang pemberian
BB memperbaiki harapan hidup penderita dengan payah jatung sistolik dan
kecenderungan terjadnya infark miokard.4

37
Gambar 2. Alur Tatalaksana Hipertensi JNC VIII8

Guideline JNC VIII mencantumkan 9 rekomendasi penanganan hipertensi8

38
1. Pada populasi umum berusia ≥60 tahun terapi farmakologis untuk menurunkan
tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥150 mmHg atau tekanan darah
diastolik ≥90 mmHg dengan target sistolik <150 mmHg dan target diastolik <90
mmHg. Pada populasi umum berusia ≥60 tahun jika terapi farmakologis
hipertensi menghasilkan tekanan darah sistolik lebih rendah misalnya 140 mmHg
dan ditoleransi baik tanpa efek samping kesehatan dan kualitas hidup dosis tidak
perlu disesuaikan.
2. Pada populasi umum <60 tahun, terapi farmakologis untuk menurunkan tekanan
darah dimulai jika tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target tekanan
darah diastolik 90 mmHg
3. Pada populasi umum <60 tahun, terapi farmakologis untuk menurunkan tekanan
darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dengan target tekanan
darah sistolik <140 mmHg
4. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronik, terapi
farmakologis untuk menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik
≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target tekanan darah
sistolik <140 mmHg dan target tekanan darah diastolik <90 mmHg
5. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan diabetes, terapi farmakologis untuk
menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau
tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target tekanan darah sistolik <140
mmHg dan target tekanan darah diastolik <90 mmHg
6. Pada populasi non-kulit hitam umum, termasuk mereka dengan diabetes, terapi
antihipertensi awal sebaiknya mencakup diuretik tipe thiazide, calcium channel
blocker (CCB), angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACE-I) atau angiotensin
receptor blocker (ARB).
7. Pada populasi kulit hitam umum, termasuk mereka dengan diabetes, terapi
antihipertensi awal sebaiknya mencakup diuretik tipe thiazide atau CCB.
8. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronik, terapi
antihipertensi awal atau tambahan sebaiknya mencakup ACE-I atau ARB untuk

39
meningkatkan outcome ginjal. Hal ini berlaku untuk semua pasien penyakit ginjal
kronik dengan hipertensi terlepas dari ras atau status diabetes.
9. Tujuan utama terapi hipertensi adalah mencapai dan mempertahankan target
tekanan darah. Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam 1 bulan perawatan,
tingkatkan dosis obat awal atau tambahkan obat kedua dari salah satu kelas dan
direkomendasikan dalam rekomendasi 6 thiazide-type diuretic, CCB, ACEI atau
ARB. Dokter harus terus menilai tekanan darah dan menyesuaikan regimen
perawatan sampai target tekanan darah dicapai. Jika target tekanan darah tidak
dapat dicapai dengan 2 obat, tambahkan dan titrasi obat ketiga dari daftar yang
tersedia. Jangan gunakan ACEI dan ARB bersama-sama pada satu pasien. Jika
target tekanan darah tidak dapat dicapai menggunakan obat di dalam rekomendasi
6 karena kontraindikasi atau perlu menggunakan lebih dari 3 obat, obat
antihipertensi kelas lain dapat digunakan. Rujukan ke spesialis hipertensi
mungkin diindikasikan jika target tekanan darah tidak dapat tercapai dengan
strategi di atas atau untuk penanganan pasien komplikasi yang membutuhkan
konsultasi klinis tambahan.

Konseling dan edukasi


1. Jangan tambahkan garam di meja makan dan hindari makanan asin, cepat saji,
makanan kaleng dan bumbu penyedap makanan
2. Ukur kadar gula darah, tekanan darah dan periksa urin secara teratur
3. Edukasi tentang cara minum obat di rumah, perbedaan antara obat-obatan
yang harus diminum untuk jangka panjang (misalnya untuk mengontrol
tekanan darah) dan pemakaian jangka pendek untuk menghilangkan gejala
(misalnya untuk mengatasi mengi), cara kerja tiap-tiap obat, dosis yang
digunakan untuk tiap obat dan berapa kali minum sehari.
4. Pemberian obat anti hipertensi merupakan pengobatan jangka panjang.
Kontrol pengobatan dilakukan setiap 2 minggu atau 1 bulan untuk
mengoptimalkan hasil pengobatan.

40
5. Penjelasan penting lainnya adalah tentang pentingnya menjaga kecukupan
pasokan obat-obatan dan minum obat teratur seperti yang disarankan
meskipun tak ada gejala.
6. Individu dan keluarga perlu diinformasikan juga agar melakukan pengukuran
kadar gula darah, tekanan darah dan periksa urin secara teratur. Pemeriksaan
komplikasi hipertensi dilakukan setiap 6 bulan atau minimal 1 tahun sekali.11

2.9 Komplikasi
Hipertensi merupakan faktor risiko untuk terjadinya segala bentuk manifestasi
klinis dari aterosklerosis. Hipertensi dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya
kejadian kradiovaskular dan kerusakan organ target, baik langsung maupun tidak
langsung. Mortalitas meningkat dua kali pada setiap kenaikan tekanan darah sebesar
20/10 mmHg. Pada keadaan dengan tekanan darah high-normal (130-139/85-89
mmHg), didapatkan peningkatan kejadian kardiovaskular 2.5 pada wanita dan 1.6 kali
pada pria bila dibanding dengan tekanan darah normal. Sedang risiko untuk penyakit
ginjal, meningkatnya tekanan darah sistolik lebih erat kaitannya dengan insiden
penyakit ginjal tahap akhir bila dibanding dengan tekanan darah diastolic, terutama
jka usia lebih dari 50 tahun. Tekanan darah yang meningkat dapat menyebabkan
kerusakan pada pembuluh darah dan prenkim ginjal. Berbagai kerusakan organ target
antara lain: jantung: Hipertrofi ventrikel kiri, angina atau infark miokard dan gagal
jantung kongestif; Penyakit ginjal kronis dan penyakit ginjal tahap akhir; Retinopati;
Otak: Stroke atau Transient Ischemic Attack; Penyakit arteri perifer.5

3.1 Hiperkolesterol
3.1.1 Definisi
Kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun
penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah
kenaikan kadar kolestrol total, kolestrol LDL, trigliserida serta penurunan kadar
kolestrol HDL.12

41
Hiperkolesterol adalah peningkatan kolesterol dalam darah karena kelainan pada
tingkat lipoprotein, yaitu partikel yang membawa kolesterol dalam aliran darah.
Hiperkolesterolemia merupakan gangguan metabolisme yang terjadi secara primer
atau sekunder akibat berbagai penyakit yang dapat berkontribusi terhadap berbagai
jenis penyakit Hiperkolesterolemia berhubungan erat dengan hiperlipidemia dan
hiperlipoproteinemia. Hiperkolesterolemia dapat terjadi akibat kelainan kadar
lipoprotein dalam darah yang dalam jangka panjang mempercepat kejadian
arteriosklerosis.13
Kolesterol memainkan peran utama dalam kesehatan jantung manusia.
Kolesterol bisa baik dan buruk. High-density lipoprotein (HDL) adalah kolesterol
baik dan low-density lipoprotein (LDL) adalah kolesterol jahat. kolesterol tinggi
dalam serum merupakan faktor risiko utama untuk penyakit jantung manusia seperti
penyakit jantung koroner dan stroke - nomor satu Amerika pembunuh.14

3.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi dislipidemia dapat berdasarkan penyebab, primer yang tidak jelas
sebabnya, dan sekunder yang mempunyai penyakit dasar seperti pada sindroma
nefrotik, diabetes mellitus, hipotiroidisme. Selain itu dislipidemia juga dapat
dikelompokkan berdasarkan profil lipid yang menonjol, misal hiperkolestrolemi,
hipertrigliseridemi, isolated low HDL cholesterol, dan dislipidemia campuran. 14

Tabel 1 Klasifikasi acuan kadar Kolestrol


Sumber: Adam. MF Jhon. Dislipidemia dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. 2004

42
3.1.3 Faktor Resiko
Faktor-faktor penyebab 14
1. Umur
Salah satu faktor risiko terjadinya hiperkolesterolemia pada usia muda adalah
hiperkolesterolemia turunan atau Familial Hypercholesterolemia. Penyebab
tersering dari kelainan gen pengatur homeostatis lemak tubuh yang
merupakan kelainan yang terjadi karena adanya mutasi pada gen reseptor
LDL yang diturunkan secara autosomal dominan. Berdasarkan banyak-nya
mutan, dikenal adanya HF homozigot dan heterezigot. Pada mutasi
heterezigot terjadi peningkatan konsentrasi kolesterol plasma total 2 sampai 3
kali lipat yang berperan terhadap peningkatan kadar LDL.

2. Makanan Siap Saji


Makanan cepat saji merupakan makanan yang dalam proses pemasakan tidak
membutuhkan waktu yang lama. Makanan cepat saji ini tergolong. dalam
kategori fried chicken, gorengan, mie instan, humberger, pizza, dan lain-lain.
Kandungan kolesterol yang ada pada makanan cepat saji memiliki tingkat
yang cukup tinggi. Misalnya biskuit, keripik dan juga telur setidaknya
memiliki kandungan kolesterol sebanyak 172mg dari setiap 100mg nya.
Selain itu dalam satu biskuit terdapat kandungan kolesterol sekitar 246 mg.
Didalam makanan cepat saji umumnya terdapat kandungan minyak jenuh
yang menjadikan makanan cepat saji tersebut tinggi akan kolesterol. Lemak
jenuh ini adalah hasil dari adanya penambahan hidrogen pada minyak sayur
yang pada umumnya dimanfaatkan untuk menggoreng makanan cepat saji.
Makanan cepat saji saat ini tidak hanya didapatkan di mall saja, tetapi
makanan cepat saji bisa didapatkan di lokasi yang strategis, dan tempattempat
makan, hiburan serta pembelanjaan. Secara teori Khomsan (2003),
mengkonsumsi makanan cepat saji secara berlebihan dan berprinsip tiada hari
tanpa mengkonsumsi makanan cepat saji dapat menyebabkan terjadinya

43
penyakit degeneratif karena terjadi kelebihan kalori. Hal ini sejalan dengan
penelitian Stender, Dyerberg dan Astrup (2007), menyatakan bahwa konsumsi
makanan cepat saji merupakan makanan yang tidak sehat. Makanan cepat saji
dapat memberikan efek dalam kenaikan berat badan, obesitas, diabetes tipe 2
dan penyakit jantung koroner. Pada umunya makanan cepat saji memiliki
energi yang tinggi, dan kalori yang tinggi dan makanan cepat saji masih
banyak mengandung asam lemak trans yang dimana asam lemak trans
terjadinya peningkatan berat badan, obesitas, diabetes tipe 2, dan penyakit
jantung koroner. Menurut Khomsan (2003), mengkonsumsi makanan cepat
saji sesekali itu merupakan hal yang wajar dan tidak menimbulkan masalah.
3. Makanan Gorengan
Menurut Riskesdas (2013) masyarakat di Indonesia mempunyai perilaku
konsumsi makanan yang berlemak, mengandung kolesterol dan makanan
gorengan sebesar 40,7% dengan mengonsumsi 1 kali dalam sehari. Pola
konsumsi makanan yang berlemak, mengandung kolesterol dan makanan
gorengan untuk wilayah Jawa Tengah mempunyai prevalensi 60,3%, angka
ini tergolong tinggi dibandingkan dengan provinsi yaitu DIY (Daerah
Istimewa Yogyakarta) 50,7%, Jawa Barat 50,1%, Jawa Timur 49,5%, dan
Banten 48,8%.
Makanan yang diolah dengan cara digoreng bisa mengandung kolesterol. Hal
ini dapat terjadi apabila dalam proses menggoreng menggunakan minyak yang
telah berkali-kali dipakai atau menggunakan minyak yang sangat panas.
Proses menggoreng dengan minyak tersebut akan memberikan dampak pada
meningkatnya kadar kolesterol pada seseorang. Apabila minyak goreng
semakin sering digunakan maka asam lemak jenuhnya juga akan semakin
banyak. Menurut detik Health, sepotong gorengan juga bisa menambah kadar
low density lipoprotein (LDL) disebabkan kandungan lemak trans dan lemak
jenus yang ada didalamnya. Dan LDL atau kolesterol jahat ini juga mudah
menempel pada dinding pembuluh darah yang bisa meningkatkan seseorang
terkena penyakit kardiovaskular dan stroke.

44
4. Makanan berlemak
Kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi lemak akan
meningkatkan kolesterol dalam darah. Kelebihan kolesterol dapat menumpuk
pada pembuluh darah arteri, sehingga dapat menyebabkan suplai darah ke otot
jantung tidak cukup jumlahnya, yang dapat menyebabkan terjadinya jantung
coroner.
Salah satu faktor resiko terjadinya hiperkolesterolemia adalah pola konsumsi
makanan yang mengandung lemak. Dalam Pedoman Umum Gizi Seimbang
disebutkan bahwa asupan lemak adalah 25% total energi. Penelitian yang
dilakukan diantaranya untuk melihat tingkat konsumsi bahan makanan yang
mengandung lemak. Untuk mendapatkan data tersebut dilakukan wawancara
mengenai kebiasaan makan sampel dengan menggunakan Food Frequency
Semi Quqntitative. Selanjutnya tingkat konsumsi lemak tersebut
dikategorikan menjadi kategori baik dan kategori kurang. Menurut hasil
penelitian diperoleh bahwa sebagian besar (76,5 %) sampel mempunyai
asupan lemak tinggi (lebih besar dari anjuran), sedang pada sampel kontrol
hanya terdapat 6 orang (35,3%), yang sebagian besar berasal dari lemak jenuh
yang dikonsumsi oleh sampel. Jenis lemak jenuh yang dikonsumsi antara
lain : minyak kelapa, kelapa, santan kental, daging berlemak dan jeroan. Hal
tersebut diduga disebabkan ada hubungan antara konsumsi lemak dengan
kejadian hiperkolesterolemia. Hasil penelitian Bintanah (2010) peroleh p-
valui < ( 0,016 lemak yang tinggi (25 % energi total) mempunyai
kecenderungan akan terkena hiperkolesterolemia sebesar 5,95 kali
dibandingkan dengan konsumsi lemak yang rendah ( < 25 % energi total ).
5. Obesitas
Obesitas dapat diartikan sebagai suatu kondisi kronis yang ditandai oleh
kelebihan lemak tubuh disertai penumpukan lemak visceral diperut. Obesitas
sentral juga dapat diartikan sebagai kelebihan lemak dalam tubuh disertai
dengan penumpukan lemak disejumlah bagian tubuh terutama pada bagian
visceral perut. Oleh karena itu, seseorang dapat dikatakan obesitas sentral

45
apabila memiliki lingkar perut> 90 cm pada laki-laki dan >80cm pada wanita.
Obesitas sentral adalah kondisi dimana seseorang mengalami kelebihan lemak
yang terpusat pada daerah perut (intra-abdominal fat). Beberapa penelitian
sebelumnya menemukan bahwa peningkatan risiko kesehatan seperti penyakit
degeneratif lebih berhubungan dengan obesitas sentral dibandingkan dengan
obesitas umum. Pengukuran lingkar perut paling tepat untuk menentukan
obesitas sentral. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pita ukur (waist
ruler), didaerah setinggi umbilicus atau pada titik tengah antara tulang iga
paling bawah dengan puncak tulang ilaika. Lingkar perut lebih baik dalam
mengukur obesitas sentral. Pengukuran menggunakan lingkar perut lebih
cocok sebagai prediktor kematian pada usia lebih dari 65 tahun dibandingkan
dengan IMT. Untuk penduduk Indonesia, obesitas sentral ditentukan
berdasarkan batas lingkar perut yang lebih besar dari 90 cm untuk laki-laki.

3.1.4 Penatalaksanaan
 Menentukan besar risiko penyakit jantung koroner. Berikut kriteria faktor
risiko utama selain kolestrol LDL yang menentukan sasaran pencapaian kadar
kolestrol LDL:
Umur pria ≥45 tahun dan wanita ≥55tahun
Riwayat keluarga PAK dini yaitu ayah usia <55 tahun dan ibu <65 tahun
Kebiasaan merokok
Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat obat antihipertensi)
Kolestrol HDL rendah (<40mg/dL)

Dikutip dari: NCEP (National Cholestrol Education Program) III Expert


Panel on Detection.
*kolestrol HDL ≥ 60 mg/dl dianggap sebagai faktor risiko negatif
artinya dapat mengurangi satu faktor risiko dari jumlah total.
Mengacu pada NCEP ATPP III maka sasaran kadar kolestrol LDL
disesuaikan dengan banyaknya faktor risiko yang dimiliki seseorang. 14

46
3.1.5 Tatalaksana Dislipidemia
Pada kondisi dislipidemia terdapat penatalaksanaan farmakologis dan non
farmakologis. Tatalaksana non farmakologis terdiri dari nutrisi medis, aktivitas
fisik, menghindari rokok, menurunkan BB dan pembatasan asupan alkohol.
1. Tatalaksana Non Farmakologis14
 Nutrisi Medis
Perlu dilakukan anamnesis nutrisi, pengukuran status nutrisi dan
diagnosis nutrisi. Pada pasien dengan kadar kolestrol total atau
kolestrol LDL tinggi maka perlu dikurangi asupan lemak total dan
lemak jenuh serta meningkatan asupan lemak tidak jenuh rantai
tunggal dan ganda. Pada pasien dengan kadar trigliserida tinggi
maka dikurangi asupan karbohidrat, alcohol dan lemak. Perlu
diketahui bahwa tempe adalah sumber protein nabati yang baik dan
murah serta dapat menurunkan kadar kolestrol total, trigliserida
dan juga meningkatkan kadar kolestrol HDL.
 Aktifitas Fisik
Prinsipnya, pasien dianjurkan untuk meningkatkan aktivitas fisik
sesuai dengan kondisi dan kemampuan. Semua jenis aktivitas fisik
bermanfaat untuk pasien, misal jalan kaki, mengerjakan pekerjaan
rumah tangga dsb. Dari beberapa penelitian terbukti bahwa
aktifitas fisik yang teratur dapat meningkatkan kadar kolestrol
HDL dan apoA1 dan menurunkan kadar kolestrol LDL dan
kolestrol trigliderida, meningkatkan sensitivitas insulin,
memperbaiki toleransi glukosa, meningkatkan kebugaran serta
menurunkan berat badan. Berhenti beraktivitas dapat menurunkan
kadar kolestrol HDL dalam beberapa bulan.
Setelah 6 minggu menjalani terapi non farmakologis dilakukan
evaluasi ulang, bila belum sesuai dengan target kadar kolestrol LDL maka

47
perlu ditingkatkan kegiatan terapi non farmakologis sembari dievaluasi ada
atau tidak penyebab dislipidemia sekunder untuk segera diatasi. Kemudian 6
bulan setelahnya dieveluasi ulang, bila belum tercapai target kolestrol LDL
maka ditambahkan terapi farmakologis dengan tetap kegiatan terapi non
farmakologis dilanjutkan.

2. Tatalaksana Farmakologis15,16
Saat ini dikenal 6 jenis obat yang dapat memperbaiki profil lipid
serum yaitu golongan statin, resin, fibrat, asam nikotinat dan ezetimibe. Selain
obat tersebut, saat ini telah ada obat kombinasi obat penurun lipid dalam satu
tablet seperti Advicor (lofastatin dan niaspan). Vytorin (simvastatin dan
ezetimibe).
 Bile acid sequestrans
Terdapat 3 jenis bile acid sequestrans yaitu kolestiramin,
kolestipol dan kolesevelam. Golongan ini mengikat asam empedu
dalam usus. Hal ini berakibat peningkatan konversi kolestrol menjadi
asam empedu di hati sehingga kandungan kolestrol dalam sel hati
menurun. Selain itu, akibatnya dapat berupa peningkatan aktifitas
resptor LDL dan sintesis kolestrol intrahepatik. Total kolestrol dan
kolestrol LDL menurun tapi kolestrol HDL tetap atau meningkat
sedikit. Pada pasien hipertrigliseridemia obat ini dapat menurunkan
trigliserida dan menurunkan kolestrol HDL. Obat ini tergolong kuat
dengan efek samping ringan. Efek samping berupa keluhan
gastrointestinal yaitu kembung, konstipasi, sakit perut dan perburukan
hemoroid.

48
 HMG- CoA Reduktase Inhibitor/Statin
Saat ini telah terdapat 6 jenis yaitu, lofastatin,
simvastatin,pravastatin, fluvastatin, atrovastatin dan rosuvastatin.
Golongan ini menghambat kerja enzim HMG CoA reductase yaitu
suatu enzim di hati yang berperan pada sintesis kolestrol. Selain itu
akan terjadi peningkatan reseptor LDL pada permukaan hati sehingga
kolestrol LDL di darah akan ditarik ke hati. Efek samping berupa nyeri
musculoskeletal, nausea, vomitus, nyeri abdominal, konstipasi dan
flatulen. Makin tinggi dosis statin maka makin besar terjadinya efek
samping.

 Derivat asam fibrat


Terdapat 4 jenis yaitu gemfibrozil, fenofibrat, bezafibrat dan
ciprofibrat. Golongan ini mempunyai efek meningkatkan aktivitas
lipoprotein lipase, menghambat produksi VLDL hati dan
meningkatkan aktifitas reseptor LDL. Golongan ini mengaktifkan
enzim lipoprotein lipase yang memecah trigliserida. Selain itu, dapat
meningkatkan kolestrol HDL. Efek samping jarang, yang tersering
gangguan gastrointestinal, peningkatan transaminase, reaksi alergi

49
kulit serta miopati. Pada penelitian BECAIT menggunakan bezafibrat
dapat dibuktikan adanya regresi pasien aterosklerosis.
 Asam nikotinik
Golongan ini diduga menghambat enzim hormone sensitive
lipase di jaringan adipose yang mana dapat mengurangi jumlah asam
lemak bebas. Diketahui bahwa sebagian asam lemak bebas dalam
darah akan ditangkap oleh hati dan akan menjadi sumber pembentukan
VLDL. Bila sintesis VLDL di hati turun maka akan ada penurunan
kadar trigliserida dan juga kolestrol LDL di plasma. Selain itu
golongan ini dapat meningkatkan kolestrol HDL . oleh karena dapat
menurunkan trigliserida dan kolestrol LDL serta meningkatkan
kolestrol HDL maka golongan ini disebut pula dengan broad spectrum
lipid lowering agent. Efek samping paling sering yaitu flushing,
perasaan panas di muka dan badan. Untuk menghindari efek samping
tersebut maka dimulai dengan dosis rendah yaitu 375mg/hari
kemudian ditingkatkan secara bertahap hingga dosis maksimal 1500-
2000 mg/hari. Hasil yang sangat baik bila dikombinasikan dengan
golongan statin.
 Ezetimibe
Ezetimibe merupakan obat pertama yang dipasarkan dari
golongan obat penghambat absorpsi kolestrol, secara selektif,
menghambat absorpsi kolestrol dari lumen usus halus ke enterosit.
Golongan ini tidak mempengaruhi absorpsi trigliserida, asam lemak,
asam empedu atau vitamin yang larut lemak (A, D, E dan ά dan β
karoten). Kombinasi dengan golongan statin meningkatkan efek
penurunan LDL. Ezetimibe 10 mg dan atorvastatin 10 mg sama
efektifnya dengan pemberian atorvastatin 80 mg. Efek samping bila
diberi tunggal adalah sakit kepala, sakit perut dan diare.
Berikut tabel ringkasan obat untuk pengelolaan dislipidemia:

50
3.1.6 Komplikasi

Apabila dislipidemia tidak segera diatasi, maka dapat terjadi berbagai macam
komplikasi sebagai berikut:14
 Atherosklerosis
 Penyakit jantung koroner
 Penyakit serebrovaskular seperti stroke
 Penyakit pembuluh darah lainnya

4.1 Hubungan Hipertensi dan Hiperkolesterol Dengan terjadinya Penyakit


Jantung Koroner
Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Karyatia, menunjukan bahwa kejadian PJK
banyak terjadi karena hipertensi (81,8%) bila dibandingkan dengan tidak hipertensi
(33,3%). Hasil uji statistic di dapatkan nila p value 0,0005, maka dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan antara hipertensi dengan kejadian PJK di ruang rawat inap
Rumah Sakit Sumber Waras. Nilai OR yang diperoleh sebesar 9 yang berarti bahwa
hipertensi memiliki resiko 9 kali lebih besar untuk terjadi penyakit jantung coroner
bila dibandingkan tidak hipertensi. Kejadian PJK juga banyak terjadi karena

51
hipertensi dengan hasil p value 0,005 ini menunjukan bahwa ada hubungan antara
penyakit hipertensidengan kejadian PJK, karena adanya perubahan struktur arteri dan
arterial sistemik, terutama terjadi pada kasus-kasus yang tidak diobati. Mula-mula
terjadi hipertropi pada tunika media lalu diikuti dengan hialinisasi setempat dan
penebalan fibrosis dari tunika intima, akhirnya akan terjadi penyempitan pembuluh
darah.15
Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Karyatia, menunjukan bahwa kejadian PJK
banyak terjadi pada hiperlipid (82,4%) bila dibandingkan dengan normolipid
(43,5%). Hasil uji statistic di dapatkan nilai p value 0,031, maka dapat disimpulkan
ada hubungan antara kadar kolesterol dengan kejadian PJK di ruang rawat inap
Rumah Sakit Sumber Waras. Nilai OR yang diperoleh sebesar 6,067 yang berarti
bahwa kadar kolesterol yang tinggi memiliki resiko 6 kali lebih besar untuk terjadi
penyakit jantung coroner bila dibandingkan dengan kadar kolesterol normal. Kejadian
PJK banyak terjadi pada hiperlipid dengan hasil p value 0,031 ini menunjukan ada
hubungan antara kadar kolesterol dengan kejadian PJK, kadar kolesterol darah
dipengaruhi oleh susunan makanan sehari-hari yang masuk dalam tubuh. Penelitian
epidemiologi klinik dan patologi jelas membuktikan peranan primer dyslipidemia
dalam aterogenesis merupakan salah satu resiko utama terhadap penyakit
kardiovaskuler.15
Menurut Penelitian yang dilakukan oleh kamalia laila dkk, Dari hasil uji chi-square,
hubungan antara kadar kolesterol total dengan penyakit jantung koroner didapat nilai
p 0,024 < α 0,05. Maka Ha diterima yang artinya terdapat hubungan antara kadar
kolesterol total dengan penyakit jantung koroner pada pasien rawat jalan poli jantung
di RSUD dr.Soedarso Pontianak. Dengan hasil penelitian yang dilakukan banyaknya
responden yang mempunyai kadar kolesterol yang tinggi dapat menjadi pemicu
terjadinya penyakit jantung koroner seperti teori yang menyatakan bahwa kadar
kolesterol tinggi dalam darah dapat membentuk endapan pada dinding pembuluh
darah sehingga menyebabkan penyempitan pembuluh darah yang disebut
aterosklerosis. Aterosklerosis diawali dengan penumpukan kolesterol terutama
kolesterol LDL di dinding arteri. LDL secara normal bisa masuk dan ke luar dari

52
dinding endotel. Masuknya lipoprotein ke lapisan dalam dinding pembuluh darah
meningkat seiring tingginya jumlah lipoprotein dalam plasma (hiperlipidemia),
setelah lemak menumpuk, aliran darah akan tersumbat dan tak mampu menuju
jantung sehingga mengganggu kerja jantung dalam memompa darah. Efek yang
paling dirasakan adalah hilangnya pasokan oksigen dan nutrisi menuju jantung karena
aliran darah ke jantung berkurang.2

53
BAB III
PROFIL PUSKESMAS MUARA BULIAN

3.1 Profil Puskesmas Muara Bulian


Puskesmas Muara Bulian merupakan Puskesmas yang terletak di Kabupaten
Batanghari. Lokasinya bertempat di Kelurahan Muara Bulian, Kecamatan Muara
Bulian Kabupaten Batanghari dengan batas wilayah:
Sebelah utara : Trans Kilangan
Sebelah Barat : Tebing Tinggi
Sebelah Timur : Sridadi
Sebelah Selatan : Bajubang
Gambar 3.1 Peta Wilayah Puskesmas Muara Bulian

Puskesmas Muara bulian dibangun pada tahun 1975 yang merupakan


puskesmas induk non rawat inap dengan luas wilayah 166 KM 2. Wilayah kerja
Puskesmas Muara Bulian mencakup 4 desa (Sungai buluh, Rantau puri, Singkawang
dan Kilangan) dan 4 kelurahan (Muara bulian, Rengan condong, Pasar baru dan
Teratai) dengan jarak tempuh dari desa/kelurahan ke puskesmas 0-25 KM. Wilayah

54
kerja Puskesmas Muara Bulian dengan jumlah pemduduk 37.964 jiwa. Tiap
desa/kelurahan dapat dijangkau dengan kendaraan roda 2 atau roda 4 dengan mata
pencarian penduduk sebagian besar sebagai petani, PNS dan pedagang.
Wilayah kerja Puskesmas Muara Bulian merupakan daerah yang datar dengan
curah hujan sedang tiap tahunnya. Tiap desa dapat dijangkau dengan kendaraan roda
2 atau roda 4 karena semua wilayah jalan sudah beraspal. Puskesmas Muara Bulian
terletak di Ibu Kota Kabupaten Batanghari, kondisi fisik Puskesmas Muara Bulian
dalam keadaan baik karena sebagian bangunan yang digunakan adalah bangunan
baru.

3.2 Demografi
Berdasarkan hasil estimasi penduduk tahun 2020 Dinas Kesehatan Kabupaten
Batang hari jumlah penduduk Puskesmas Muara Bulian adalah 37.974 jiwa yang
terdiri dari laki-laki 19.171 jiwa dan perempuan 18.793 jiwa
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Muara Bulian Tahun 2020
Jumlah Penduduk
No Desa/Kelurahan Perempua
Laki-Laki Total
n
1 Kel. Muara Bulian 4790 4775 9565
2 Kel. Teratai 3780 3861 7641
3 Kel. Pasar Baru 1504 1531 3035
4 Kel. Rengas Condong 5071 4779 9850
5 Desa Sungai Buluh 1574 1489 3063
6 Desa Rantau Puri 744 782 1496
7 Desa Kilangan 1047 1009 2056
8 Desa Singkawang 661 597 1258
Total 19.171 18.793 37.964

55
3.3 Visi dan Misi
Visi Puskesmas Muara Bulian
Puskesmas Muara Bulian merupakan puskesmas yang terletak di Kabupaten
Batang hari yang memiliki visi “ Menjadi puskesmas pilihan yang bermitra dengan
masyarakat dalam mewujudkan kecamatan Muara Bulian yang sehat secara mandiri
dan berkeadilan”

Misi Puskesmas Muara Bulian


1. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang profesional berorientasi pada
kebutuhan dan harapan masyarakat
2. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang sehat, cerdas dan
berkarakter
3. Meningkatkan sarana dan prasarana
4. Meningkatkan tata kelola administrasi yang baik, akuntabeldan transparan
5. Meningkatkan kemitraan dan pemberdayaan masyarakat dalam
pembangunan berwawasan kesehatan

Maklumat pelayanan Puskesmas Muara Bulian “Kami memberikan pelayanan


kesehatan dengan SEHATI santun, efektif dan efisien, hormati dan hargai antar
sesama, aman dan nyaman, taqwa dan transparan, integritas”

3.4 Struktur Organisasi


Struktur organisasi Puskesmas Muara Buliansesuai dengan PMK Permenkes RI
No. 43 Tahun 2019, tentang Puskesmas untuk mendukung program pemerintah dalam
melakukan pembangunan di segala bidang khususnya di bidang kesehatan dan agar
pelaksanaan kegiatan lebih terarah, cepat dan tepat mencapai sasaran secara efektif
dan efisien, maka perlu dirumuskan cita-cita atau tujuan yang ingin dicapai dalam
kurun waktu tertentu (umumnya dalam kurun waktu 5 tahun ke depan sesuai dengan

56
masa jabatan pemerintah daerah) serta upaya yang akan dilaksanakan untuk mencapai
cita-cita atau tujuan tersebut dalam bentuk Visi dan Misi.

Tabel 3.2 Data Tenaga Kesehatan Puskesmas Muara Bulian tahun 2020
Jumlah Jumlah PNS Jumlah PTT Jumlah TKS
No Tenaga yang ada
(orang) (orang) (orang) (orang)
Puskesmas Induk
1 Dokter umum 5 4 1
2 Dokter gigi 3 2
3 Sarjana/DIV/DIII 2 1
4 Apoteker
5 SKM 4 2 2
6 S1 Keperawatan 1 1
7 D3 Perawat 20 16 4
8 D3 Bidan 10 7 3
9 D3 Gigi 4 4
10 D3 Farmasi 1 1
11 D3 Analis kesehatan 2 2
12 D3 gizi 3 1 2
13 D3 Kesling 1 1
14 SPK 1 1
15 Pekarya kesehatan 0
16 SMA 3 3
17 SMP 1 1
PUSTU
18 D3 Bidan 5 3 2
19 D3 Perawat 2 2
20 SPK 0
POSKESDES

57
21 D3 Bidan 4 3 1

3.5 Pelayanan
Dalam pelaksanaan upaya kesehatan dan untuk tercapainya Visi Pembangunan
Kesehatan tersebut, UPTD Puskesmas Muara Bulian bertanggung jawab
menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat,
dimana keduanya jika ditinjau dari sistem kesehatan nasional merupakan pelayanan
kesehatan tingkat pertama. Upaya Pelayanan tersebut dikelompokkan dalam 2
kelompok besar yaitu:
A. Upaya Kesehatan Dasar (Upaya Kesehatan Wajib)
1. Upaya Promosi Kesehatan
2. Upaya Kesehatan Lingkungan
3. Upaya KIA/KB
4. Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat
5. Upaya P2M
6. Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat
B. Upaya Kesehatan Pengembangan
1. Upaya Kesehatan Usia Lanjut
2. Upaya Kesehatan mata
3. Upaya Kesehatan THT
4. Upaya Kesehatan Jiwa
5. Upaya Kesehatan Sekolah
6. Perawatan Kesehatan Masyarakat
7. Bina Kesehatan Tradisional
8. Bina Kesehatan Kerja
C. Kegiatan Program Indonesia Sehat Melalui Pendekatan Keluarga (PIS-PK)

58
BAB IV
STRATEGI

STRATEGI PENGENDALIAN HIPERTENSI DAN HIPERKOLESTEROL


Advokasi & kemitraan  Promosi kesehatan & Reduksi Resiko  Penguatan
Sistem Pelayanan Kesehatan  Monev dan Riset

Contoh :
- Strategi pengendalian dapat dilakukan dengan adanya program PTM,
POSYANDU Lansia yang berjalan dengan baik
- Saat di Posyandu Lansia dan PTM diukur tekanan darah dan cek kolesterol
- Saat di Posyandu Lansia dan PTM diberi penyuluhan mengenai hipertensi
dan hiperkolesterol serta pembagian leaflet
-

59
BAB V
KESIMPULAN
Kesimpulan
1. Hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang cukup berbahaya
karena tidak menimbulkan gejala yang spesifik dan secara fisik. Banyak
penderita hipertensi yang baru saja menyadari hipertensinya pada 5 tahun
terakhir dandidagnosis pada kejadian layanan darurat. Sebagian besar
penderita hipertensi tidak rutin mengecek tekanan darahnya walaupun
sudah mengetahui komplikasinya secara mendasar. Begitu juga dengan
kepatuhan minum obat,banyak penderita hipertensi yang tidak patuh dalam
minum obat karena hanyameminum obat disaat timbul gejala. Hal ini
menunjukkan kurangnya pemahaman penderita hipertensi terhadap
penyakitnya.

60
2. Kolesterol merupakan komponen lemak yang penting dan berfungsi
menghasilkan hormon, melapisi sel-sel saraf agar dapat menghantarkan
rangsangan secara tepat dan membentuk membran terluar dari sel-sel
tubuh. Dihasilkan secara alami oleh hati dan makanan yang mengandung
lemak.
3. Serangan jantung juga dapat terjadi karena tekanan darah yang tinggi yang
dikenal dengan hipertensi yang merupakan dampak lanjutan akibat
terjadinya arteriosclerosis.
4. Jantung koroner merupakan jenis penyakit jantung yang paling banyak
diderita. Penyakit ini menyerang pembuluh darah dan dapat menyebabkan
serangan jantung. Karena tersumbatnya pembuluh arteri sehingga
menghambat penyaluran oksigen dan nutrisi ke otot jantung, terutama
ventrikel kiri yang memompa darah keseluruh tubuh. Penyempitan dan
penyumbatan menyebabkan terhentinya aliran darah ke otot jantung.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ezzati M, Lopez AD, Rodgers A, Vander Hoorn S, Murray CJ. Selected


Major Risk Factors and Global and Regional Burden Disease. Lancet 2002;
360(9343):1347-1360.
2. Kamalia Laila, Salam Maulidiyah. Hubungan Kolesterol Total dan Hipertensi
dengan Kejadian Penyakit Jantung Koroner di RSUD dr. Soedarso Pontianak.
Pontianak: 2018.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman
penatalaksanaan Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular. Jakarta: 2015, 1-3
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Teknis Penemuan dan
Penatalaksanaan Hipertensi. Jakarta: Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak
Menular Subdit Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta:
Kemenkes. 2013; 1-46.
5. Mohani CI. Hipertensi Primer. Dalam : Setiawati S, Sudoyo AW, Alwi I,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam FA, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam.Edisi 6. Jakarta: Interna Publishing, 2014: 2284-93.

61
6. Thomas M. Hypertension-Clinical Features and Investigation. Hospital
Pharmacist 2007: 14; 111-16.
7. Gormer B. Hypertension-Pharmacological Management. Hospital Phacmacist
2007: 14: 119-25
8. James PA, Oparil S, Cushman WC, Dennison-Himmerlfarb C, Handler J.
Evidence-based guideline for the management of high blood pressure in
adults: report form the panel members appointed to the Eight Joint National
Committee (JNC 8). JAMA 2014: 311(5):507-20.
9. Newcastle Guideline Development and Research Unit. Hypertension: Clinical
Management of Primary Hypertension in adults. London: National Institute
for Health and Clinical Exellence. 2013 (36)
10. Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia. Konsensus Penatalaksanaan
Hipertensi. Jakarta: 2019.
11. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta: PB IDI. 2014; 236-240
12. Adam, MF Jhon dkk. Petunjuk Praktis Penatalaksanaan Dislipidemia.
Jakarta: Balai Penerbitan FKUI. 2004.
13. Fauci, Braunwald, Kasper, et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
17th Edition. New York: 2008.
14. Aman, Andi Makbul dkk. Pedoman Penggelolaan Dislipidemia di Indonesia.
PB Perkeni. 2019.
15. Karyatia. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Jantung
Koroner. Jurnal Ilmiah Kesehatan Vol 11: 2019

62

Anda mungkin juga menyukai