Anda di halaman 1dari 24

PENINGKATAN HASIL DAN AKTIVITAS BELAJAR MATA

PELAJARAN BAHASA INDONESIA DENGAN PENDEKATAN


SAINTIFIK MELALUI MODEL PROBLEM BASED LEARNING (PBL)
DI SDIT AL-FIKRI

Aprilia Puspitasari1) Dewi Amiroh2)


1)
Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Terbuka
2)
Dosen Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Khairun

E-mail: puspitapril86@gmail.com 1), dewiamiroh@unkhair.ac.id2)

ABSTRAK

Penelitian ini dilatar belakangi oleh rendahnya minat dan hasil belajar siswa kelas III SDIT Al-Fikri
tahun ajaran 2022-2023 pada pelajaran Bahasa Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu
bagaimana pendekatan saintifik melalui model problem based learning (PBL) dapat meningkatkan
pembelajaran siswa pada pelajaran Bahasa Indonesia materi lambang pramuka dan simbol rambu
petunjuk arah. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam 2 siklus
kemudian setiap siklus dilakukan 2 kali pertemuan. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas III SDIT
Al Fikri yang berjumlah 30 siswa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran
melalui pendekatan saintifik dengan model PBL dapat meningkatkan hasil belajar dan aktifitas belajar
siswa kelas III SDIT Al-Fikri tahun pelajaran 2022/2023. Ini terlihat dari adanya peningkatan rata-rata
kelas yang pada tes awal sebesar 56.44, siklus 1 meningkat menjadi 68,0, sedangkan pada siklus II
juga meningkat menjadi 80,5. Sedangkan hasil belajar dari siklus I, untuk siswa tuntas belajar (nilai
ketuntasan 60) pada tes awal hanya berjumlah 15 siswa dengan persentase 47%, pada siklus 1
meningkat menjadi 23 siswa dengan persentase 72% dan pada tes siklus II semakin meningkat menjadi
32 siswa dengan persentase 100%.

Kata kunci: Hasil Belajar, PBL, Pendekatan Saintifik

PENDAHULUAN

Pendidikan formal menerapkan dasar-dasar ilmu pengetahuan, kepribadian, akhlak


dan pembentukan karakter. Dengan demikian, pemberian informasi dasar pada pendidikan
formal berpengaruh positif terhadap kualitas pendidikan pada jenjang berikutnya.
Kemampuan untuk melakukan perubahan paradigma dalam pembelajaran, seperti mengubah
arah pembelajaran dengan kehadiran guru sebagai fasilitator, sangat berperan dalam
kelancaran fungsi pendidikan formal. Dewasa ini, pembelajaran pada pendidikan formal
mengalami banyak perubahan, di mana perubahan fokus dan arah belajar.
Awalnya, pembelajaran yang berpusat pada guru berubah menjadi pembelajaran yang
berpusat pada siswa. Oleh karena itu, guru harus menciptakan suasana belajar yang
melibatkan interaksi siswa. Oleh karena itu, perlu diciptakan suasana belajar dengan interaksi
yang baik antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa lainnya. Menciptakan interaksi
yang baik membutuhkan investasi dalam pembangkitan dan pengembangan pembelajaran
siswa. Kegiatan ini menentukan keberhasilan belajar dan tujuan belajar. Untuk itu diperlukan
guru yang professional. Keberhasilan belajar didukung oleh strategi atau metode yang
digunakan. Penggunaan strategi pembelajaran sangat penting karena memfasilitasi
pembelajaran untuk hasil yang optimal. Tanpa strategi pembelajaran tidak akan berjalan
efektif dan efisien .
Namun, ternyata selama belajar bahasa Indonesia di SDIT Al Fikri kelas III, masih
ditemukan suasana belajar yang menyenangkan belum tercapai. Disadari bahwa khususnya
dalam pengenalan pramuka dan rambu penunjuk arah sebagian siswa masih belum paham dan
belum bersemangat mengikuti pembelajaran. Pengamatan pertama yang dilakukan peneliti
menunjukkan bahwa siswa tidak menunjukkan minat dan ketertarikan dalam belajar. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya sikap tidak antusias dengan menjadi siswa yang pasif, sehingga
pembelajaran yang efektif dan menyenangkan tidak tercapai. Keadaan tersebut
mengakibatkan hasil belajar siswa menjadi rendah terutama pada pembelajaran Bahasa
Indonesia materi lambang pramuka dan simbol rambu petunjuk arah. Rendahnya hasil belajar
siswa dapat dilihat dari 15 siswa yang nilainya di bawah KKM, sedangkan yang nilainya
diatas KKM hanya 17 siswa dari jumlah siswa kelas IIIB sebanyak 32 siswa. Hal ini terjadi
karena guru menyampaikan materi kurang menarik dan membosankan, model pembelajaran
kurang variatif, guru menggunakan metode pembelajaran klasikal dan kurang menarik bagi
siswa, dan materi hanya berpusat pada guru.
Berdasarkan pada fakta diatas, diperlukan inovasi yang dapat menggugah semangat
siswa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Sehingga guru dituntut untuk selalu kreatif,
dengan salah satunya melakukan pembelajaran menggunakan metode PBL (Problem Based
Learning) dengan pendekatan saintifik.
Pengertian Pendekatan Model Problem Based Learning
Istilah pengajaran berdasarkan masalah (PBM) diadposi dari istilah Inggris problem-
based instruction (PBI), yaitu model pembelajaran yang didasarkan pada prinsip
menggunakan masalah sebagai titik awal akusisi dan integrasi pengetahuan baru (Trianto,
2014:63). Trianto juga menambahkan bahwa model pembelajaran ini pada dasarnya mengacu
kepada pembelajaran mutakhir lainnya, seperti pembelajaran berbasis proyek (project-based
learning), pembelajaran berdasarkan pengalaman (experience-based learning), pembelajaran
autentik (authentic instruction), dan pembelajaran bermakna. Oleh karena itu, pembelajaran
berbasis masalah (problem-based learning) juga dikenal dengan istilah pembelajaran tersebut
di atas.
Menurut Arends (dalam Trianto, 2014:64), pengajaran berdasarkan masalah
merupakan suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan autentik
dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan
keterampilan berpikir tingkat tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri. Sanjaya
(2009:214) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning)
dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses
penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah.
Sanjaya (2009:216-217) menjelaskan hakikat masalah dalam pembelajaran
berdasarkan masalah adalah gap atau kesenjangan antara situasi nyata dan kondisi yang
diharapkan, atau antara kenyataan yang terjadi dengan apa yang diharapkan. Adapun kriteria
pemilihan bahan pelajaran dalam pembelajaran berdasarkan masalah menurut Sanjaya adalah
(1) bahan pelajaran harus mengandung isu-isu yang mengandung konflik yang bisa bersumber
dari berita, rekaman, video, dan yang lainnya; (2) bahan yang dipilih adalah bahan yang
bersifat familiar dengan siswa, sehingga setiap siswa dapat mengikutinya dengan baik; (3)
bahan yang dipilih merupakan bahan yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak,
sehingga terasa manfaatnya; (4) bahan yang dipilih merupakan bahan yang mendukung tujuan
atau kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa sesuai dengan kurikulum yang berlaku; (5)
bahan yang dipilih sesuai dengan minat siswa sehingga setiap siswa merasa perlu untuk
mempelajarinya, sedangkan menurut Herman (2007:49) tipe masalah yang cocok digunakan
dalam pembelajaran berbasis masalah yaitu masalah terbuka (open-ended problem atau ill-
structured problem) dan masalah terstruktur. Dalam masalah terstruktur, untuk menjawab
masalah yang diberikan siswa dihadapkan dengan sub-submasalah dan penyimpulan,
sedangkan dalam masalah terbuka, siswa dihadapkan dengan masalah yang memiliki banyak
alternatif cara untuk menyelesaikannya dan memiliki satu jawaban atau multijawaban yang
benar.
Karakteristik model Problem-Based Learning
Model problem-based learning dilandasi oleh teori pembelajaran kontruktivis. Dalam
Sanjaya (2009:214) dijelaskan terdapat 3 ciri utama dari model problem-based learning.
Pertama, PBL merupakan serangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam implementasi
PBL ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa. PBL tidak mengharapkan siswa
hanya sekedar mendengarkan, mencata, kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi
melalui PBL siswa aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya
menyimpulkan. Kedua, aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. PBL
menempatkan masalah sebagai kata kunci dalam proses pembelajaran. Ketiga, pemecahan
masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan
menggunakan metode ilmiah adalah proses berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir ini
dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya proses penyelesaian masalah
didasarkan pada data dan fakta yang jelas.
Menurut Arends (dalam Trianto, 2014:66), model pembelajaran berbasis masalah
memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pembelajaran mengorganisasikan pertanyaan
berdasarkan kehidupan nyata autentik, menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan
adanya berbagai macam solusi.
b. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Masalah yang akan diselidiki telah dipilih
benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari banyak mata
pelajaran.
c. Penyelidikan autentik. Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan siswa
melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata.
Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis, dan
membuat ramalan, mengumpulkan, dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika
diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan.
d. Menghasilkan produk dan memamerkannya. Pembelajaran berdasarkan masalah
menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak
dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka
temukan. Karya nyata dan peragaan tersebut kemudian direncanakan oleh siswa untuk
mendemonstrasikan kepada teman-temannya yang lain tentang apa yang mereka pelajari.
e. Kolaborasi. Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang bekerjasama
satu dengan yang lainnya. Bekerjasama memberikan motivasi, memperbanyak peluang untuk
berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan
berpikir.
Sintaks Model Problem-Based Learning
Sintaks suatu pembelajaran berisi langkah-langkah praktis yang harus dilakukan oleh
guru dan siswa dalam suatu kegiatan. Manurut Trianto (2014:72), pembelajaran berdasarkan
masalah terdiri dari lima langkah utama, yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa
dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa.
Adapun langkah-langkah tersebut dijelaskan pada tabel 1.

Tabel 1. Sintaks Pengajaran Berbasis Masalah


Tahap Aktivitas Guru

Tahap 1: Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,


Orientasi siswa pada masalah menjelaskan logistic yang dibutuhkan,
mengajukan fenomena atau demonstrasi
atau cerita untuk memunculkan masalah,
memotivasi siswa untuk aktif terlibat
dalam pemecahan masalah yang dipilih.
Tahap 2: Guru membantu siswa untuk
Mengorganisasi siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan
belajar. tugas belajar yang berhubungan dengan
masalah tersebut.
Tahap 3: Guru mendorong siswa untuk
Membimbing penyelidikan mengumpulkan informasi yang sesuai,
individual maupun kelompok melaksanakan eksperimen, untuk
mendapatkan penjelasan dan pemecahan
masalah.
Tahap 4: Guru membantu siswa dalam
Mengembangkan dan merencanakan dan menyiapkan karya
menyajikan hasil karya yang sesuai laporan, video, dan model
serta membantu mereka untuk berbagi
tugas dengan temannya.
Tahap 5: Guru membantu siswa untuk melakukan
Menganalisis dan refleksi atau evaluasi terhadap
mengevaluasi proses penyelidikan mereka dan proses-proses
pemecahan masalah yang mereka gunakan.

Kelebihan dan Kekurangan Model Problem Based Learning


Menurut Trianto (2014:68), pembelajaran berdasarkan masalah memberikan
kelebihan/keunggulan dibanding dengan model pembelajaran lainnya, yaitu:
(1) siswa lebih memahami konsep yang diajarkan sebab mereka sendiri yang menemukan
konsep tersebut;
(2) melibatkan secara aktif memecahkan masalah dan menuntut keterampilan berpikir siswa
yang lebih tinggi;
(3) pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimiliki siswa sehingga pembelajaran
lebih bermakna;
(4) siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah yang diselesaikan langsung
dikaitkan dengan kehidupan nyata;
(5) menjadikan siswa lebih mandiri dan dewasa, mampu memberi aspirasi dan menerima
pendapat orang lain, menanamkan sikap sosial yang positif diantara siswa; serta
(6) pengkondisian siswa dalam belajar kelompok yang saling berinteraksi terhadap pelajaran
dan temannya, sehingga pencapaian ketuntasan belajar siswa dapat diharapkan.
Pembelajaran berdasarkan masalah juga memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan
dari pembelajaran berdasarkan masalah menurut Sanjaya (2009:221), yaitu:
(1) manakala siswa tidak memiliki minat atau mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang
dipelajari sulit untuk dipecahkan mereka akan merasa enggan untuk mencoba;
(2) keberhasilan pembelajaran melalui Problem Based Learning ini membutuhkan waktu
cukup lama untuk persiapan; serta
(3) tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang
dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang ingin mereka pelajari.
Pendekatan saintifik
Pembelajaran menurut kurikulum 2013 dilaksanakan dengan pendekatan saintifik
(scientific approach). Pendekatan saintifik berasal dari kata pendekatan dan saintifik.
Pendekatan (approach) memiliki arti ide atau gagasan yang digunakan untuk mencapai tujuan;
dan saintifik (scientific) berarti sesuatu yang dapat diulangi secara terbuka oleh pelaku, dalam
skala ruang dan waktu (oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan saja). Dengan demikian,
pendekatan saintifik adalah ide (pada tingkat filosofis) untuk mencapai tujuan yang dapat
dilaksanakan oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Pendekatan saintifik dapat
diterapkan oleh setiap guru dalam semua mata pelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Menurut kurikulum 2013, tujuan pembelajaran dirumuskan dalam bentuk kompetensi, yang
meliputi Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD).
Menurut Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014, pendekatan saintifik
dioperasionalisasikan dalam bentuk kegiatan pembelajaran yang di dalamnya memuat
pengalaman belajar dalam bentuk kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi
(mencoba), menalar (mengasosiasi), dan mengomunikasikan. Untuk mendapatkan kelima
pengalaman tersebut, Permendikbud No 22 Tahun 2016, merekomendasikan agar diterapkan
pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning), pembelajaran
berbasis pemecahan masalah (problem based learning, dan pembelajaran berbasis proyek
(project based learning).
Sebagai salah satu pendekatan pembelajaran, pendekatan saintifik diarahkan pada
penerapan metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan rangkaian aktivitas pengumpulan data
melalui observasi atau eksperimen, mengolah informasi atau data, menganalisis, kemudian
memformulasi, dan menguji hipotesis (Daryanto, 2014). Pendekatan saintifik dalam kegiatan
pembelajaran bukan hanya mengembangkan kompetensi siswa untuk melakukan kegiatan
observasi atau eksperimen saja, tetapi juga mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan
kreatif siswa dalam berinovasi atau berkarya. Pendekatan saintifik dapat mengembangkan
sikap, pengetahuan dan keterampilan siswa.
Pendekatan saintifik mencakup dua pola penalaran, yaitu penalaran induktif (inductive
reasoning) dan penalaran deduktif (deductive reasoning). Penalaran induktif dimulai dari
sesuatu yang bersifat partikular (khusus) menuju sesuatu yang bersifat umum, sebaliknya
penalaran deduktif dimulai dari pernyataan yang bersifat umum 2 menuju sesuatu yang
bersifat khusus. Penalaran induktif bersifat empiris, menarik simpulan bagi keseluruhan;
sebaliknya penalaran deduktif memberikan sifat rasional kepada pengetahuan ilmiah, dan
bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah terkumpul sebelumnya. Dalam praktik
pendekatan saintifik, kedua pola penalaran tersebut digunakan secara silih berganti sesuai
dengan keadaan objek pengetahuan dan perkembangan pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan-
pengetahuan parsial yang diperoleh melalui observasi digunakan untuk merumuskan
pengetahuan umum, sebaliknya pengetahuan umum yang telah dimiliki digunakan sebagai
petunjuk untuk memahami objek pengetahuan yang baru dikenal (Subagia, 2013).
Gabungan logika induktif dan deduktif melahirkan logika ilmiah (scientific logic)
sebagai sinergi pemikiran rasionalisme dan empirisme. Semua teori ilmiah seharusnya
memenuhi dua syarat utama, yakni konsisten dengan teori ilmiah secara keseluruhan
(kebenaran koherensi) dan sesuai dengan fakta-fakta empiris (kebenaran korespondensi).
Menurut Musfiqon dan Nurdyansah (2015), agar bisa tetap menjamin kebenaran koherensi
dan korespondensi, pembelajaran dengan pendekatan saintifik mesti disajikan dengan target
untuk meningkatkan rasa keingintahuan (foster a sense of wonder), meningkatkan
keterampilan mengamati (encourage observation), melakukan analisis (push for analysis), dan
berkomunikasi (require communication).
Secara konsep pendekatan saintifik lebih mengarah pada model pendidikan humanis,
yaitu pendidikan yang memberikan ruang kepada siswa untuk berkembang sesuai potensi
kecerdasan yang dimilikinya. Siswa menjadi pusat belajar, tidak menjadi obyek pembelajaran
sehingga karakter, keterampilan, dan kognisinya dapat berkembang secara lebih optimal.
Untuk lebih memahami ruang lingkup pendekatan saintifik akan dibahas tentang konsep
pendekatan saintifik, hakikat pendekatan saintifik (scientific approach), kriteria pendekatan
saintifik dan non-saintifik, serta implementasi pendekatan saintifik dalam pembelajaran.
1. Konsep Pendekatan Saintifik
Pendekatan saintifik merupakan bagian dari pendekatan pedagogis yang menerapkan
metode ilmiah dalam pembelajaran di kelas. Pengertian penerapan pendekatan saintifik tidak
hanya fokus pada bagaimana mengembangkan kompetensi siswa dalam melakukan observasi
atau eksperimen, namun bagaimana mengembangkan pengetahuan dan keterampilan berpikir
siswa sehingga dapat mendukung aktivitas kreatif dalam berinovasi atau berkarya. Menurut
majalah Forum Kebijakan Ilmiah yang terbit di Amerika pada tahun 2004, sebagaimana
dikutip Wikipedia, pendekatan saintifik mencakup strategi pembelajaran yang
mengintegrasikan siswa dalam proses berpikir dan penggunaan metode yang teruji secara
ilmiah dengan kemampuan bervariasi. Selain itu, penerapan pendekatan saintifik membantu
guru mengindentifikasi perbedaan kemampuan siswa.
Terdapat tiga prinsip utama dalam menggunakan pendekatan saintifik. Pertama,
belajar siswa aktif, dalam hal ini termasuk inquiry-based learning atau belajar berbasis
penelitian, cooperative learning atau belajar berkelompok, dan belajar berpusat pada siswa,
adanya assessment yaitu pengukuran kemajuan belajar siswa dibandingkan dengan target
pencapaian tujuan belajar. Kedua, keberagaman, mengandung makna pendekatan saintifik
mengembangkan pendekatan keragaman. Pendekatan ini membawa konsekuensi siswa unik,
kelompok siswa unik, termasuk keunikan dari kompetensi, materi, instruktur, pendekatan dan
metode mengajar, serta konteks. Ketiga, metode ilmiah, yaitu teknik merumuskan pertanyaan
dan menjawabnya melalui kegiatan observasi dan melaksanakan percobaan.
Penerapan metode ilmiah mencakup aktivitas yang dapat diobservasi, seperti
mengamati, menanya, mengolah, menalar, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta.
Pelaksanaan metode ilmiah tersusun dalam tujuh langkah berikut: (1) merumuskan
pertanyaan, (2) merumuskan latar belakang penelitian, (3) merumuskan hipotesis, (4) menguji
hipotesis melalui percobaan, (5) menganalisis hasil penelitian dan merumuskan simpulan,
serta (6) jika hipotesis terbukti benar, maka dapat dilanjutkan dengan pelaporan; sebaliknya
jika hipotesis terbukti tidak benar atau benar sebagian, maka dilakukan pengujian kembali.
Penerapan metode ilmiah merupakan proses berpikir logis berdasarkan fakta dan teori.
Pertanyaan muncul dari pengetahuan yang telah dikuasai sehingga kemampuan bertanya
merupakan kemampuan dasar dalam mengembangkan berpikir ilmiah. Informasi baru digali
untuk menjawab pertanyaan. Karena itu, penguasaan teori menjadi dasar untuk menerapkan
metode ilmiah. Dengan menguasi teori, siswa dapat menyederhanakan penjelasan tentang
suatu gejala, memprediksi, dan memandu perumusan kerangka pemikiran untuk memahami
masalah. Bersamaan dengan itu, teori menyediakan konsep yang relevan sehingga teori
menjadi dasar dan mengarahkan perumusan pertanyaan penelitian.
2. Hakikat Pendekatan Saintifik
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik artinya pembelajaran itu
dilakukan secara ilmiah. Proses pembelajaran dapat disepadankan dengan suatu proses ilmiah.
Karena itu, kurikulum 2013 mengamanatkan esensi pendekatan saintifik dalam pembelajaran.
Pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap
(ranah afektif), keterampilan (ranah psikomotorik), dan pengetahuan (ranah kognitif) siswa.
Melalui pendekatan ini diharapkan siswa dapat menjawab rasa ingin tahunya melalui proses
yang sistematis sebagaimana langkah-langkah ilmiah. Dalam rangkaian proses pembelajaran
secara ilmiah inilah siswa akan menemukan makna pembelajaran yang dapat membantunya
untuk mengoptimalkan kognisi, afeksi dan psikomotor. Jika praktik ini diterapkan di sekolah,
maka akan membentuk pembiasaan ilmiah yang berkelanjutan.
Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuan lebih
mengedepankan pelararan induktif (inductive reasoning) ketimbang penalaran 4 deduktif
(deductive reasoning). Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian menarik
simpulan yang spesifik. Sebaliknya, penalaran induktif memandang fenomena atau situasi
spesifik untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan. Sejatinya, penalaran induktif
menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi idea yang lebih luas. Metode ilmiah
umumnya menempatkan fenomena unik dengan kajian spesifik dan detail untuk kemudian
merumuskan simpulan umum (Daryanto, 2014).
Metode ilmiah merujuk pada teknik-teknik investigasi atas suatu atau beberapa
fenomena atau gejala, memperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan
pengetahuan sebelumnya. Agar dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry)
harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur
dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Karena itu, metode ilmiah umumnya memuat
serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau eksperimen, mengolah
informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis.
Langkah-langkah nyata dari metode ilmiah kemudian disebut langkah ilmiah, yaitu tindakan
nyata dalam sebuah kegiatan ilmiah yang disesuaikan dengan alur berfikir ilmiah. Secara
lebih jelas,
Pembelajaran berbasis pendekatan saintifik lebih efektif hasilnya dibandingkan
dengan pembelajaran tradisional. Hasil penelitian membuktikan bahwa pada pembelajaran
tradisional, retensi informasi dari tenaga pendidik sebesar 10% setelah 15 menit dan
perolehan pemahaman kontekstual sebesar 25%. Pada pembelajaran berbasis pendekatan
saintifik, retensi informasi dari tenaga pendidik sebesar lebih dari 90% setelah dua hari dan
perolehan pemahaman kontekstual sebesar 50 - 70% (Musfiqon & Nurdyansah, 2015).
Penerapan pendekatan saintifik (ilmiah) dalam pembelajaran di sekolah bertujuan
untuk membiasakan siswa berfikir, bersikap, serta berkarya dengan menggunakan kaidah dan
langkah ilmiah. Proses pembelajaran menjadi lebih penting dibandingkan hasil pembelajaran.
Siswa mengalami lebih bermakna dibandingkan hanya memahami.
Menemukan masalah dan merumuskan Menyusun kerangka berpikir & hipotesis
Mengumpulkan data/menguji hipotesis Menganalisis/ membahas Membuat Proposisi /
Menyimpulkan Tesis
3. Kriteria Pendekatan Saintifik dan Nonsaintifik
Proses pembelajaran dengan berbasis pendekatan saintifik harus dipandu dengan
kaidah-kaidah pendekatan saintifik. Pendekatan ini bercirikan penonjolan dimensi
pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran.
Menurut Daryanto (2014), proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu nilai-
nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah. Sebuah proses pembelajaran yang dikelola oleh
seorang tenaga pendidik dapat disebut ilmiah bila proses pembelajaran tersebut memenuhi
kriteria-kriteria berikut.
a. Substansi atau materi pembelajaran benar-benar berdasarkan fakta atau fenomena
yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira,
khayalan, legenda, atau dongeng semata.
b. Penjelasan tenaga pendidik, respons peserta didik, dan interaksi edukatif tenaga
pendidik-peserta didik harus terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran
subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
c. Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan tepat
dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan
substansi atau materi pembelajaran.
d. Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik (membuat
dugaan) dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari
substansi atau materi pembelajaran.
e. Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan
mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespons substansi
atau materi pembelajaran.
f. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggung-jawabkan.
g. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem
penyajiannya.
Proses pembelajaran harus terhindar dari sifat-sifat atau nilai-nilai nonilmiah yang
meliputi intuisi, akal sehat, prasangka, penemuan melalui coba-coba, dan asal berpikir
kritis.
a. Intuisi.
Intuisi sering dimaknai sebagai kecakapan praktis yang kemunculannya bersifat irasional
dan individual. Intuisi juga bermakna kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh
seseorang atas dasar pengalaman dan kecakapannya. Istilah ini sering juga dipahami
sebagai penilaian terhadap sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara cepat dan berjalan
dengan sendirinya. Kemampuan intuitif biasanya didapat secara cepat tanpa melalui proses
panjang dan tanpa disadari. Namun demikian, intuisi sama sekali menafikkan dimensi alur
pikir yang sistemik.
b. Akal sehat.
Tenaga pendidik dan peserta didik harus menggunakan akal sehat selama proses
pembelajaran karena memang hal itu dapat menunjukkan ranah sikap, keterampilan, dan
pengetahuan yang benar. Namun demikian, jika tenaga pendidik dan peserta didik hanya
semata-mata menggunakan akal sehat dapat pula menyesatkannya dalam proses dan
pencapaian tujuan pembelajaran.
c. Prasangka.
Sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang diperoleh semata-mata atas dasar akal sehat
(comon sense) umumnya sangat kuat dipandu kepentingan seseorang (tenaga pendidik,
peserta didik, dan sejenisnya) yang menjadi pelakunya. Ketika akal sehat terlalu kuat
didomplengi kepentingan pelakunya, seringkali mereka menjeneralisasi hal-hal khusus
menjadi terlalu luas. Hal inilah yang menyebabkan penggunaan akal sehat berubah menjadi
prasangka atau pemikiran skeptis. Berpikir skeptis atau prasangka itu memang penting,
jika diolah secara baik. Sebaliknya, akan berubah menjadi prasangka buruk atau sikap
tidak percaya, jika diwarnai oleh kepentingan subjektif.
d. Penemuan coba-coba.
Tindakan atau aksi coba-coba seringkali melahirkan wujud atau temuan yang bermakna.
Namun demikian, keterampilan dan pengetahuan yang ditemukan dengan cara coba-coba
selalu bersifat tidak terkontrol, tidak memiliki kepastian, dan tidak bersistematika baku.
Jika terpaksa dilakukan, tindakan coba-coba harus disertai dengan pencatatan atas setiap
tindakan, sampai dengan menemukan kepastian jawaban.
e. Asal berpikir kritis.
Kemampuan berpikir kritis ada pada semua orang, khususnya mereka yang normal hingga
jenius. Secara akademik diyakini bahwa pemikiran kritis itu umumnya dimiliki oleh orang
yang berpendidikan tinggi. Orang seperti ini biasanya pemikirannya dipercaya benar oleh
banyak orang. Tentu saja hasil pemikirannya itu tidak semuanya benar, karena bukan
berdasarkan hasil eksperimen yang valid dan reliabel karena pendapatnya itu hanya
didasari atas pikiran logis.
Ada perbedaan signifikan antara pembelajaran yang dilakukan dengan pendekatan
saintifik dan nonsaintifik. Pembelajaran dengan pendekatan saintifik mempunyai
perencanaan, pelaksanaan, dan asesmen hasil belajar yang konsisten dan dapat dilakukan oleh
siapa saja, dimana saja, dan kapan saja, atau terbuka untuk dibuktikan kembali. Di sisi lain,
pembelajaran dengan pendekatan nonsaintifik, walaupun belum tentu salah, kemunculannya
tidak terprogram sehingga keberhasilan pembelajaran tidak dapat didiagnosis melalui
penilaian hasil belajar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
4. Implementasi Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran
Pembelajaarn dengan menerapkan pendekatan saintifik adalah proses pembelajaran
yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif mengonstruksi konsep,
hukum, atau prinsip melalui tahapan kegiatan mengamati, merumuskan masalah, mengajukan
atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data,
menarik simpulan, dan mengomunikasikan konsep, hukum, atau prinsip yang ditemukan
(Daryanto, 2014). Dengan demikian, penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran
berpusat pada siswa agar secara aktif mengontruksi pengetahuannya melalui serangkaian
kegiatan ilmiah.
Implementasi pendekatan saintifik dalam pembelajaran dimulai pada tahap
pendahuluan, kegiatan inti, sampai penutup. Kegiatan pendahuluan diarahkan untuk 7
memantapkan pemahaman peserta didik tentang tujuan dan pentingnya materi yang akan
disampaikan, sehingga memunculkan rasa ingin tahu yang tinggi. Rasa ingin tahu inilah yang
menjadi modal besar dalam tahap pembelajaran berikutnya, yaitu kegiatan inti.
Kegiatan inti yang merupakan learning experience (pengalaman belajar) bagi peserta
didik merupakan waktu yang paling banyak digunakan untuk melakukan pembelajaran
dengan pendekatan saintifik. Dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), seorang tenaga
pendidik mendesain kegiatan belajar yang sistematis sesuai dengan langkah ilmiah. Kegiatan
peserta didik diarahkan untuk mengonstruksi konsep, pengetahuan, pemahaman, serta
keterampilan dengan bantuan tenaga pendidik melalui kegiatan mengamati, menanya,
menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan. Langkah-langkah tersebut tidak harus dilakukan
secara urut, akan tetapi dapat dilakukan sesuai dengan pengetahuan yang akan dipelajari
(Prihadi, 2014).
a. Mengamati, merupakan kegiatan mengidentifikasi suatu objek melalui penginderaan, yaitu
melalui indera penglihat (membaca, menyimak), pembau, pendengar, pencecap dan peraba
pada saat mengamati suatu objek menggunakan ataupun tidak menggunakan alat bantu
sehingga siswa dapat mengidentifikasi suatu masalah.
b. Menanya, merupakan kegiatan mengungkapkan suatu hal yang ingin diketahuinya baik
yang berkenaan dengan suatu objek, peristiwa, suatu proses tertentu. Pertanyaan dapat
diajukan secara lisan maupun tulisan dan dapat berupa kalimat pertanyaan atau kalimat
hipotesis sehingga siswa dapat merumuskan masalah dan hipotesis. Pertanyaan tersebut
hendaknya berkaitan dengan mengapa dan bagaimana yang menuntut jawaban melalui
kegiatan eksperimen.
c. Mengumpulkan data, merupakan kegiatan mencari informasi sebagai bahan untuk dianalisis
dan disimpulkan. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan membaca buku, observasi lapangan,
uji coba, wawancara, menyebarkan kuesioner, dan lainlain sehingga siswa dapat menguji
hipotesis yang telah dibuat sebelumnya.
d. Mengasosiasi, merupakan mengolah data dalam serangkaian aktivitas fisik dan pikiran
dengan bantuan peralatan tertentu. Pengolahan data dapat dilakukan dengan klasifikasi,
mengurutkan, menghitung, membagi, dan menyusun data dalam bentuk yang lebih informatif,
serta menentukan sumber data sehingga lebih bermakna. Bentuk pengolahan data misalnya
tabel, grafik, bagan, peta konsep, menghitung, dan pemodelan. Selanjutnya, siswa
menganalisis data untuk membandingkan ataupun menentukan hubungan antara data yang
telah diolahnya dengan teori yang ada sehingga dapat ditarik suatu simpulan.
e. Mengomunikasikan, merupakan kegiatan siswa dalam mendeskripsikan dan menyampaikan
hasil temuannya dari kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan dan mengolah data, serta
mengasosiasi yang ditujukan kepada orang lain baik secara lisan maupun tulisan dalam
bentuk diagram, bagan, gambar, dan sejenisnya dengan bantuan perangkat teknologi
sederhana dan atau teknologi informasi dan komunikasi.
Kelima langkah dalam pendekatan saintifik tersebut dapat dilakukan secara berurutan
atau tidak berurutan, terutama pada langkah pertama dan kedua. Sedangkan pada langkah
ketiga dan seterusnya sebaiknya dilakukan secara berurutan. Langkah ilmiah ini diterapkan
untuk memberikan ruang lebih pada peserta didik dalam membangun kemandirian belajar
serta mengoptimalkan potensi kecerdasan yang dimiliki. Peserta didik diminta untuk
mengonstruk sendiri pengetahuan, pemahaman, serta skill dari proses belajar yang dilakukan,
sedangkan tenaga pendidik mengarahkan serta memberikan penguatan dan pengayaan tentang
apa yang dipelajri peserta didik. Melalui model pembelajaran yang relevan dengan
pendekatan saintifik akan dihasilkan output (siswa) dengan kemampuan intelektual dan
karakter yang baik.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini yaitu
bagaimana pendekatan saintifik dipadukan dengan model problem based learning (PBL)
untuk meningkatkan hasil belajar pelajaran Bahasa Indonesia di SDIT Al-Fikri? Berdasarkan
rumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pendekatan
saintifik dengan menggunakan model problem based learning (PBL) meningkatkan hasil
belajar pelajaran Bahasa Indonesia di SDIT Al-Fikri. Adapun tujuan penelitian dan perbaikan
ini adalah untuk mengetahui penerapan model pembelajaran problem based learning dengan
pendekatan saintifik dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia di SD islam terpadu Al Fikri Serang baru

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK)
dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan
kualitas dan hasil pembelajaran yang dipimpin guru yang didukung oleh metode dan media
baru yang lebih kreatif dan inovatif. Penelitian Tindakan kelas merupakan penelitian yang
difokuskan pada kelas tertentu dimana tujuan utamanya adalah membantu meningkatkan
kualitas dan hasil belajar dikelas yang dilakukan oleh guru itu sendiri (Hamzah & Sraini,
2013). Subjek penelitian ini adalah siswa siswi kelas III SDIT Al-Fikri. Jumlah subjek pada
penelitian ini adalah 30 siswa, peneliti menggunakan teknik purposive sampling. Purpose
sampling yaitu salah satu tehnik sampling non random sampling di mana peneliti menentukan
pengambilan sampel dengan cara menetapkan ciri-ciri khusus yang sesuai dengan tujuan
penelitian sehingga diharapkan dapat menjawab permasalahan penelitian. Bedasarkan
penjelasan purposive sampling tersebut ada dua hal yang sangat penting dalam menggunakan
tehnik purpose sampling tersebut yaitu non random sampling dan menetapkan ciri khusus
sesuai tujuan penelitian oleh peneliti itu sendiri.
Untuk mengetahui apakah pembelajaran berbasis masalah meningkatkan hasil belajar
siswa dalam bahasa Indonesia atau tidak, perlu dilakukan analisis data. Analisis data adalah
penelaahan, deskripsi dan kombinasi dari beberapa data untuk menarik kesimpulan tentang
tindakan yang diambil. Pada penelitian analitik komparatif, Analisis dilakukan pada saat
pelaksanaan penelitian yaitu dari awal pelaksanaan penelitian pada Siklus 1 sampai akhir
Siklus 2. Siklus 2 merupakan kegiatan perbaikan tindakan dari siklus pertama. Antara siklus 1
dan siklus II dibandingkan, seberapa besar peningkatan nilai antara siklus 1 dan 2 lah yang
dianalisis. Analisis tersebut merupakan analisis deskriptif komparatif, jika hasil penelitian di
siklus 2 lebih baik dari siklus pertama dan siswa mampu mencapai KKM maka penelitian
berhasil. Kemudian mengenai keberasilan kelas juga akan menentukan keberasilan penelitian
ini. Dalam penelitian ini jika keberasilan kelas mencapai 90% maka penelitian dinyatakan
berhasil. Instrumen yang digunakan dalam analisis tersebut adalah data nilai hasil tes pada
tiap siklus. Pengamatan dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk mengetahui sampai sejauh
mana respon siswa terhadap pembelajaran diterjemahkan secara kualitatif. Unsur yang
diamati selama proses pembelajaran meliputi reaksi siswa terhadap proses pembelajaran,
semangat belajar dan keaktifan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
1. Prasiklus
Sebelum melaksanakan kegiatan perbaikan pembelajaran pada prasiklus, terlebih
dahulu peneliti melakukan tindakan awal dengan melaksanakan kegiatan observasi
terlebih dahulu. Setelah menelaah hasil observasi yang telah dilakukan makan akan
menghasilkan perencanaan perbaikan pembelajaran prasiklus berupa
a. Perencanaan pembelajaran
Pada tahap ini dilakukan kegiatan yang berupa :
1.) Menentukan supervisor yang berpengalaman
2.) Menyusun rencana perbaikan pembelajaran prasiklus beserta kelengkapan yang
dibutuhkan
3.) Menyiapkan lembar observasi siswa dan guru
b. Pelaksanaan pembelajaran
Kegiatan pembelajaran pada prasiklus ini dilaksanakan pada Rabu 3 Mei 2023.
Adapun kegiatan yang dilakukan pada prasiklus adalah sebagai berikut:
1) Memberikan motivasi terhadap semangat peserta didik dalam melaksanakan
pembelajaran tentang rambu-rambu lalu lintas, mengungkap pengalaman serta
pengetahuan awal yang dimiliki peserta didik tentang materi yang akan
dipelajari.
2) Memaparkan tujuan dari diajarkannya rambu-rambu lalu lintas pramuka dan
lambang bilangan, agar apa yang diharapkan dari kegiatan pembelajaran pada
hari ini dapat tercapai.
3) Menjelaskan materi pembelajaran rambu-rambu lalu lintas ,pramuka dan
lambang bilangan dengan mengamati benda-benda yang ada di sekitar. Peserta
didik diminta untuk memperhatikan materi yang disampaikan oleh peneliti.
4) Membagikan latihan berupa lembar kerja yang telah disediakan, dan selanjutnya
peserta didik diminta untuk mengerjakannya secara individu.
5) Sebagai tindak lanjut, guru memberikan tugas kepada peserta didik agar
dikerjakan diluar jam belajar atau dirumah guna meningkatkan pemahaman
materi yang telah diberikan.
c. Pengumpulan Data
Pada kegiatan Prasiklus ini peneliti melakukan observasi atau pengamatan terhadap
jalannya kegiatan pembelajaran ini dibantu oleh teman sejawat yaitu Ridha Handayani
S.Pd.I sebagai pengamat, berdiskusi tentanghasil pembelajaran yang telah dilaksanakan
dengan menganalisis beberapa instrumen yang terdiri dari lembar pengamatan
pembelajaran serta lembar tes formatif. Yang berisi mengenai kekurangan yang dimiliki
oleh guru dan dikonsultasikan kepada dosen pembimbing.
Tabel 2. Hasil belajar siswa prasiklus
perolehan nilai rata- persentase persentase jumlah tidak
jumlahlulus
nilai rata lulus tdk lulus lulus
Pra siklus 56,44 47% 15 53% 17

Berdasarkan hasil penelitian awal melalui observasi dan tes awal gambaran
pembelajaran Bahasa Indonesia pada siswa SDIT Al Fikri tentang lambang pramuka dan
simbol rambu petunjuk arah adalah sebagai berikut :
1) Guru kurang fokus saat mengajar
2) Kurang ramah dalam pembelajaran
3) Kurang menghargai jawaban siswa ( langsung mengatakan salah pada jawaban
siswa)
4) Guru kurang sigap ketika kelas merespon negatif ketika siswa menjawab salah,
kurang memperhatikan penjelasan dan tugas dari guru.
Sedang permasalahan yang ditemui pada diri siswa yaitu siswa tampak kurang nyaman
saat pembelajaran, ini terlihat dari :
1) Siswa ragu-ragu untuk bertanya dan menjawab pertanyaan
2) Tidak berani tampil di depan kelas
3) Berwajah murung, sikap duduk terlihat kaku
4) Kurang antusias saat merespon tindakan guru
5) Menunjukkan sikap jenuh saat pembelajaran yang ditunjukkan dengan siswa
mengobrol sendiri dan menguap.

2. Siklus I
Sebelum melaksanakan kegiatan perbaikan pembelajaran pada siklus I,
terlebih dahulu peneliti melakukan tindakan awal dengan melaksanakan kegiatan
observasi terlebih dahulu. Setelah menelaah hasil observasi yang telah dilakukan
maka menghasilkan perencanaan perbaikan pembelajaran siklus I berupa
a. Perencanaan Pembelajaran
Pada tahap ini dilakukan kegiatan yang berupa :
1) Menentukan supervisor yang berpengalaman
2) Menyusun rencana perbaikan pembelajaran siklus I beserta kelengkapan yang
dibutuhkan
3) Menyiapkan lembar observasi siswa dan guru
b. Pelaksanaan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran pada siklus I ini dilaksanakan pada Jum’at, 12 Mei 2023.
Adapun kegiatan yang dilakukan pada siklus I adalah sebagai berikut :
1) Memberikan motivasi terhadp semangat belajar peserta didik dalam
melaksanakan pembelajaran lambang dan symbol (rambu lalu lintas, pramuka
dan lambing negara), mengungkap pengalaman serta pengetahuan awal yang
dimiliki peserta didik tentang materi yang akan dipelajari hari ini.
2) Memaparkan tujuan dari diajarkannya lambang dan symbol (rambu lalu lintas,
pramuka dan lambing negara), agar apa yang diharapkan dari kegiatan
pembelajaran pada hari ini dapat tercapai
3) Menjelaskan materi pembelajaran lambang dan symbol (rambu lalu lintas,
pramuka dan lambing negara), dengan mengamati benda-benda yag ada di
sekitar. Peserta didik diminta untuk memperhatikan materi yang disampaikan
oleh peneliti
4) Membagikan latihan berupa lembar kerja yang telah disediakan, dan selanjutnya
peserta didik diminta untuk mengerjakannya secara individu.
5) Sebagai tindak lanjut, guru memberikan tugas kepada peserta didik agar
dikerjakan di luar jam belajar atau di rumah guna meningkatkan pemahaman
materi yang telah diberikan.
c. Pengumpulan Data
Pada kegiatan siklus I ini peneliti melakukan observasi atau pengamatan terhadap
jalannya kegiatan pembelajaran ini dibantu oleh teman sejawat yaitu Ridha
Handayani, S.Pd.I. sebagai pengamat, berdiskusi tentang hasil pembelajaran yang
telah dilaksanakan dengan menganalisis beberapa instrument yang terdiri dari lembar
pengamatan pembelajaran serta lembar tes formatif. Yang berisi mengenai kekurangan
yang dimiliki oleh guru dan dikonsultasikan kepada dosen pembimbing.
Proyek yang dilakukan oleh siswa adalah pengerjaan kelompok tentang tugas
tentang simbol lambang pramuka dan rambu-rambu petunjuk arah. Proses
pembelajaran melalui pencana pelaksanaan pembelajaran(RPP)

Tabel 2. Hasil Belajar Siswa pada Siklus 1


perolehan nilai rata- persentase persentase jumlah tidak
jumlahlulus
nilai rata lulus tdk lulus lulus
Siklus 1 68 72% 23 28% 9

Pada siklus 1, dapat dilihat rata-rata nilai yang diperoleh siswa adalah 68 Dimana
nilai tersebut telah memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM). Namun masih
terdapat 9 siswa atau 28% siswa yang nilainya masih di bawah KKM. Dari data
tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan pendekatan saintifik melalui model problem
based learning hasil belajar siswa sudah meningkat tetapi belum signifikan. Hal
tersebut terjadi karena masih terdapat beberapa siswa yang belum mencapai batas
minimal KKM oleh karena itu peneliti melanjutkan ke siklus II.
3. Siklus II
a. Perencanaan Perbaikan Pembelajaran
Sebelumnya telah dilaksanakan proses kegiatan pembelajaran siklus I, namun
hasil yang didapatkan masih kurang maksimal, untuk itu peneliti membuat
kegiatan rencana perbaikan pembelajaran siklus II dengan menerapkan metode
pembelajaran Problem Based Learning dengan cara menggunakan media gambar.
Pada tahap ini peneliti melakukan kegiatan berupa.
1) Membuat rencana perbaikan pembelajaran siklus II
2) Menentukan materi pembelajaran berdasarkan sumber buku yang relevan
3) Menentukan langkah-langkah pembelajaran
4) Membuat lembar kerja siswa sebagai alat penilaian
5) Menyiapkan lembar observasi guru dan siswa untuk melihat kondisi
pembelajaran di kelas
6) Menyiapkan media pembelajaran berupa gambar
7) Mengkonsultasikan rencana pelaksanaan perbaikan pembelajaran siklus II
kepada supervisor
b. Pelaksanaan
Pelaksanaan pembelajaran siklus II dilaksanakan pada hari Rabu, 17 Mei
2023 pukul 13.00 – 14.00 di SD Islam Terpadu AL Fikri, Kecamatan Serang Baru.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada perbaiakn pembelajaran siklus II ini
adalah sebagai berikut :
1) Mengucapkan salam, berdo’a serta mengecek kehadiran siswa
2) Melakukan aperesepsi
3) Melakukan refleksi terhadap materi yang telah diajarkan pada pertemuan siklus I
4) Menyampaikan tujuan pembelajaran
5) Peserta didik menyimak penjelasan materi yang guru sampaikan
6) Siswa mengamati gambar rambu-rambu yang telah disiapkan oleh guru
7) Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 4-5 orang
8) Siswa secara berkelompok mengenali jenis rambu lalu lintas beserta artinya
9) Siswa secara berkelompok berdiskusi mengenai rambu-rambu lalu lintas
10) Siswa diberikan soal oleh guru dan diselaskan secara berkelompok
11) Bersama siswa menarik kesimpulan terhadap hasil pembelajaran yang telah
dilakukan hari ini
12) Guru memberikan penguatan terhadap materi yang telah diberikan
13) Melakukan tindak lanjut peserta didik
c. Pengumpulan Data
Pada tahap ini peneliti bersama teman sejawat melaksanakan pengamatan
mengenai jalannya kegiatan perbaika pembelajran siklus II ini. Berdiskusi
mengenai hasil belajar siswa beberapa instrument yang terdiri dari lembar
pengamatan pembelajaran serta lembar tes formativ. Yang berisi mengenai
kekurangan yang masih dimiliki oleh guru dan dikonsultasikan kepada dosen
pembimbing.
Tabel 3. Hasil Belajar Siswa pada Siklus II
perolehan nilai rata- persentase persentase jumlah tidak
jumlahlulus
nilai rata lulus tdk lulus lulus
siklus 2 80,5 100% 32 0% 0

Pada siklus II, dapat dilihat rata-rata nilai yang diperoleh siswa adalah 80.50 artinya
nilai sudah mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). 32 siswa yang tuntas
dengan 100% dan 0% siswa yang tidak tuntas. Dari data tersebut dapat disimpulkan
bahwa dengan pendekatan saintifik melalui model PBL pada hasil belajar siswa
siklus 2 ini sudah meningkat dengan signifikan. Hal tersebut terjadi karena siswa
sudah mampu berpendapat, menyampaikan pendapat, berinteraksi dengan guru dan
mampu mendemonstrasikan hasil pembelajaran kelompok dan ikut terlibat aktif dan
kreatif dalam mendiskusikan pembelajaran.

Pembahasan

Tabel 3 Hasil Nilai Siswa Prasiklus


RENTANG FREKUENSI PERSENTASE
NILAI NILAI
21 – 30 3 9%
31 – 40 4 13%
41 – 50 5 16%
51 – 60 5 16%
61 – 70 9 28%
71 – 80 3 9%
81 – 90 2 6%
91 – 100 1 3%
jml 32 Tuntas
rata-rata 56.44 47%
nilai
perolehan nilai prasiklus
9

0
21 – 30 31 – 40 41 – 50 51 – 60 61 – 70 71 – 80 81 – 90 91 – 100

frekuensi prasiklus

Grafik 1. Hasil perolehan nilai prasiklus

Pada prasiklus, dapat dilihat rata-rata nilai yang diperoleh siswa adalah 56,44
dimana nilai tersebut masih belum memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM). Nilai
tertinggi adalah rentang 91-100 yang didapatkan oleh 1 orang siswa. Dan nilai terendah
adalah rentang 21-30 diperoleh 3 siswa. Rentang terbanyak adalah 61-70, dimana dicapai
oleh kuantitas siswa terbanyak yaitu 9 siswa. Tingkat ketuntasan pada prasiklus hanya
47%, oleh karena itu dilakukanlah perbaikan pembelajaran siklus 1.
Tabel 4 Hasil Nilai Siswa Siklus 1
RENTAN FREKUEN PERSENTAS
G NILAI SI E NILAI
21 – 30 0 0%
31 – 40 2 6%
41 – 50 3 9%
51 – 60 4 13%
61 – 70 6 19%
Grafik 2. Hasil 71 – 80 12 38% perolehan nilai
setelah siklus 1 81 – 90 3 9%
Pada siklus 91 – 100 2 6% 1, dapat dilihat rata-
rata nilai yang jml 32 tuntas diperoleh siswa adalah
rata-rata
68 dimana nilai 68.00 72% tersebut telah
nilai
memenuhi kriteria ketuntasan minimal
(KKM). Nilai tertinggi adalah rentang 91-100 yang didapatkan oleh 2 orang siswa. Dan
nilai terendah adalah rentang 31-40 diperoleh 2 siswa. Rentang terbanyak adalah 71-80,
dimana dicapai oleh kuantitas siswa terbanyak yaitu 12 siswa. Tingkat ketuntasan pada
siklus 1 telah meningkat jadi 72%, namun dikarenakan masih terdapat 28% atau 7 siswa
yang nilainya masih belum mencapai KKM maka dilakukanlah perbaikan pembelajaran
siklus 2.
Tabel 5 hasil perolehan nilai setelah siklus ke 2
RENTANG FREKUENSI PERSENTASE
NILAI NILAI
21 – 30 0 0%
Hasil dari siklus 2
31 – 40 0 0%
menunjukkan kenaikan nilai
41 – 50 0 0%
rata-rata menjadi 80.50,
51 – 60 0 0%
artinya nilai sudah mencapai
61 – 70 6 19%
Kriteria Ketuntasan
71 – 80 8 25%
Minimal (KKM). Tingkat
81 – 90 14 44%
pencapaian ketuntasan juga
91 – 100 4 13%
sudah menunjukkan
Jml 32 Tuntas
hasil 100%. Dimana peneliti
rata-rata nilai 80.50 100%
dapat menarik kesimpulan
bahwa pada siklus 2 ini, penggunaan model PBL dengan metode pendekatan saintifik dapat
meningkatkan hasil belajar Bahasa Indonesia siswa kelas III SDIT Al Fikri.
Tabel 6. Penbandingan tingkat ketuntasan antar siklus
Siklus Tuntas Tidak Tuntas Rata-Rata
Prasiklus 47% 53% 56,44
Siklus I 72% 28% 68,0
Siklus II 100% 0% 80,5
perolehan nilai setelah siklus 2
14
14
12
12

10 9
8
8
6 6
6 5 5
4 4 4
4 3 3 3 3
2 2 2
2 1
0 0 0 0 0
0
21 – 30 31 – 40 41 – 50 51 – 60 61 – 70 71 – 80 81 – 90 91 – 100

PRASIKLUS SIKLUS 1 SIKLUS 2


Gra
fik 4.2. Perolehan nilai setelah siklus 2
Penulis menemukan bahwa kualitas masalah mempengaruhi kinerja kelompok,
yang pada gilirannya berdampak kuat pada waktu yang dihabiskan individu untuk
belajar. Menghabiskan lebih banyak waktu untuk belajar pribadi juga mengarah pada
peningkatan hasil belajar. Model ini telah disempurnakan dalam penelitian lain yang
melihat lebih detail apa yang sebenarnya terjadi pada siswa selama analisis masalah,
penelitian individu, dan pelaporan. Di sini, penulis menemukan bahwa kualitas masalah
pembelajaran yang dihasilkan selama tahap analisis masalah mempengaruhi seberapa
baik mereka digunakan dalam studi individu. Meningkatnya penggunaan masalah
belajar dalam belajar mandiri juga mempengaruhi kualitas penelitian siswa dengan
mengarahkan mereka pada penjelasan yang lebih mendalam, sehingga mempengaruhi
kedalaman pembahasan selama periode pelaporan. Terakhir, “kedalaman” laporan
berdampak positif terhadap hasil belajar siswa.

SIMPULAN DAN SARAN


Melalui pendekatan saintifik dapat meningkatkan kemampuan mengenal
lambang/simbol rambu lalu lintas siswa kelas III SDIT al-Fikri tahun pelajaran 2022/2023.
Hal ini tercermin dari peningkatan rata-rata kelas yang pada tes awal sebesar 56,44, siklus 1
68,0, sedangkan pada siklus II menjadi 80,5. Untuk siswa tuntas belajar (nilai ketuntasan 60)
pada tes awal sebesar 47% (15 siswa), pada siklus 1 sebesar72% (23 siswa), dan pada siklus II
menjadi 100% (32 siswa).
DAFTAR PUSTAKA

Arsika, I Made Budi dkk. (2016). Buku Pedoman Problem Based Learning. Denpasar: Unit
Penjaminan Mutu Fakultas Hukum Universitas Udayana

Gultom, Maharani dan Dini Hariyati Adam (2018). Pengaruh Pendekatan Pembelajaran
Problem Based Learning Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Di MTS Negeri
Rantaupat. Jurnal Pembelajaran dan Biologi Nukleus 4(2) 1-5.

Krissandi, Apri Damai Sagita dkk. (2018). Pembelajaran Bahasa Indonesia Untuk SD.
Bekasi:Media Maxima

Muslihun dan Abdul Wachid B.S. (2021). Analisis Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia
Menggunakan Pendekatan Saintifik. Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan (JISIP) Vol.5
No.3

Purbarani, Dyah Aini dkk. (2018). Pengaruh Problem Based Learning Bebantuan Media
Audiovisual Terhadap Kemampuan Berfikir Kritis Dan Hasil Belajar IPA Di Sekolah
Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar Indonesia 2(1) 24-34.

Sidiq, Ricu dkk. (2021). Model-Model Pembelajaran Abad 21. Kota Serang-Banten:
CV.AA.Rizky

Sofyan, Hermanto dkk (2017). Problem Based Learning Dalam Kurikulum 2013.
Yogyakarta:UNY Press

Suja, I Wayan (2019). Pendekatan Saintifik Dalam Pembelajaran Abad XXI. Disampaikan
pada seminar Doktor berbagi dengan tema Pendekatan Saintifik Dalam Pembelajaran
Abad XXI yang diselenggarakan oleh LPPPM Universitas Pendidikan Ganesha.

Syamsidah dan Hamidah Suryani. (2018). Buku Model Problem Based Learning (PBL).
Yogyakarta: Deepublish

Yusita, NK Pebry dkk (2021). Model Problem Based Learning Meningkatkan Hasil Belajar
Tematik Muatan Pelajaran Bahasa Indonesia. Journal for Lesson and Learning
Studies volume 4, Number 2,2021 pp.176-182.

Anda mungkin juga menyukai