Anda di halaman 1dari 18

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Studi Kitab Tafsir di Dunia Melayu Afriadi Putra, S.Thi., M.Hum

KITAB TAFSIR JAWIS MARAH LABID (NAWAWI AL-BANTANI)

Disusun Oleh Kelompok 2 :


Putri Amalia : 12030227451
Musdalifa : 12030224988
Muhammad Arsyad H: 12030217057
Kemal Mawira : 12030215443

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
1444 H/2023 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, karunia serta kasih
sayang-Nya kami dapat menyelesaikan makalah mengenai “Studi Kitab Tafsir Melayu-Jawis
Marah Labid (mawawi al-Bantani)”. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi
terakhir kita, penutup para nabi, sekaligus satu-satunya uswatun hasanah kita, Nabi
Muhammad SAW. Selanjutnya, tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Afriadi
Putra, S.Thi., M.Hum selaku dosen mata kuliah Studi Kitab Tafsir di Dunia Melayu. Dalam
penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan, baik
yang berekenaan dengan materi pembahasan maupun dengan Teknik pengetikan, walaupun
demikian. Inilah usaha maksimal kami selaku para penulis.
Semoga dengan adanya makalah ini, para pembaca dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan dan diharapkan kritik yang membangun dari para pembaca guna memperbaiki
kesalahan sebagaimana mestinya.

Pekanbaru, 01 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ i

DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 1

A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................................... 1

C. Tujuan Masalah ........................................................................................................................ 1

BAB II .................................................................................................................................................... 2

PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 2

A. Latar Belakang Penulisan Tafsir Marah Labid ..................................................................... 2

B. Biografi Singkat Imam Nawawi al-Bantani............................................................................ 3

C. Kajian Metodologis Tafsir Marah Labid................................................................................ 4

D. Keunikan Tafsir Marah Labid .............................................................................................. 13

BAB III................................................................................................................................................. 14

PENUTUP ............................................................................................................................................ 14

A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tafsir merupakan salah satu upaya memahami, menerangkan maksud, mengetahui
kandungan ayat-ayat Al-Quran. Upaya ini telah dilakukan sejak masa Rasulullah SAW.
sebagai hamba utusan-Nya yang ditugaskan untuk menyampaikan ayat-ayat tersebut
sekaligus menandainya sebagai mufassir awwal. Sepeninggalnya dan hingga sampai
sekarang, telah mengalami perkembangan yang sangat bervariatif dengan tidak
melepaskan kategori masanya. Tentunya, sebagai hasil karya manusia, di sana tafsir
terjadi keaneka ragaman baik dalam metode (manhaj/thariqah), corak (nau’), maupun
pendekatan-pendekatan (alwan) yang digunakan merupakan hal yang tidak bisa
dihindari dalam sebuah karya tafsir.
Para mufassir yang menulis kitab tafsir itu, menggunakan metode yang berbeda-
beda dalam menafsirkan Al-Qur’an. Misalnya metode global (ijmali), analitis (tahlili),
perbandingan (muqarin), dan tematik (maudu’i). Keberagaman cara dalam menafsirkan
Al-Qur’an itu sudah tentu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang keilmuan mufasir,
seperti corak bahasa, sastra, fikih, sosial kemasyarakatan, dan sebagainya. Dan pada
makalah yang sederhana ini kami mencoba sedikit mengupas tentang tafsir JAWIS
MARAH LABID karya abu Abullah al Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar atau
yang mashur disebut Imam Nawawi al-Bantani.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang penulisan Kitab Marah Labid?
2. Bagaimana biografi Imam Nawawi al-Bantani?
3. Bagaimana kajian metodologi Kitab Marah Labid?
4. Bagaimana komentar ulama terhadap Kitab Marah labid?
5. Apa keunikan dari Kitab Marah Labid?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui latar belakang penulisan Kitab Marah Labid.
2. Untuk mengetahui biografi Imam Nawawi al-Bantani.
3. Untuk mengetahui kajian metodologi Kitab Marah Labid.
4. Untuk mengetahui komentar ulama terhadap Kitab Marah Labid.
5. Untuk mengetahui keunikan dari Kitab Marah labid.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Penulisan Tafsir Marah Labid


Tafsir Marah Labid berbeda dengan literatur tafsir karya ulama nusantara lainnya,
karena diperkirakan bahwa kitab ini merupakan satu-satunya tafsiran lengkap Al-
Qur’an yang ditulis dengan bahasa arab oleh ulama nusantara.
Adapun latar belakang penulisan kitab Tafsir Marah Labid adalah karena adanya
desakan dari orang-orang terdekat Syaikh Nawawi Al-Bantani untuk menuliskan tafsir
Al-Qur’an secara lengkap. Pada awalnya beliau sempat ragu karena khawatir akan
ancaman Rasulullah SAW berupa neraka bagi orang yang berbicara mengenai Al-
Qur’an dengan akalnya, terutama bila terdapat kekeliruan yang beliau tulis sehingga
beliau merasakan beratnya tanggung jawab tersebut.
Tapi kemudian beliau menyadari bahwa menulis tafsir merupakan salah satu sunnah
yang dilakukan oleh para ulama salaf (terdahulu) dan perlu dilakukan tajdid
(pembaharuan) dan mungkin juga penyesuaian zaman, maka beliau membulatkan tekad
untuk menulis tafsir hingga menghasilkan dua jilid kitab tafsir. 1
Kitab tafsir yang ditulis Syaikh Nawawi Al-Bantani ini terkenal memiliki beberapa
nama, yakni Marah Labid dan At-Tafsir Al-Munir. Belum begitu jelas mengapa
terdapat perbedaan penamaan, namun dalam kitabnya sendiri Syaikh Nawawi menamai
tafsir tersebut dengan Marah Labid li Kashf Ma‘ani al-Qur’an al-Majid. Sedangkan
nama At-Tafsir Al-Munir kemungkinan berasal dari salah satu pihak penerbit yang
menambahi nama At-Tafsir al-Munir tersebut. 2
Tafsir ini diberi judul dengan Marah Labid, penamaan ini tidak secara eksplisit
diutarakan oleh Syekh Nawawi, akan tetapi jika ditelisik dari sudut semantik, Marah
berasal dari kata raha-yaruhu-rawah, berarti datang dan pergi di sore hari untuk
berkemas dan mempersiapkan kembali berangkat. Marah juga menunjukkan tempat
(ism makan) dari kata tersebut bermakna al-maudhi’ yaruhu li qaum minhu aw ilaih

1
Muhammad Nawawi Al-Bantani, Marah Labid Li Kasyfi Ma’na Al-Qur’an Al-Majid (Kairo: Al-
Mathba’ah Al-‘Utsmaniyah, 1305 H), Vol. 1, hal. 2.
2
Naufal Cholily, “Humanisme Dalam Tafsir Marah Labid Karya Nawawi Al-Bantani”, Maraji’: Jurnal
Studi Keislaman, Vol. 2 No. 2, Maret 2016, hal. 472.

2
(tempat istirahat bagi sekelompok orang yang darinya mereka pergi dan kepadanya
mereka kembali).
Sedangkan Labid mempunyai padanan kata dengan labida-yalbadu (berkumpul,
mengitari sesuatu). Dalam istilah zoologi (ilmu hewan), labid semakna dengan al-
Libadi (sejenis burung yang gemar berada di daratan dan hanya terbang bila
diterbangkan). Jadi, secara harfiah “Marah Labid” bemakna Sarang Burung atau istilah
lainnya “tempat istirahat yang nyaman bagi orang-orang yang datang dan pergi”.
Dalam konteks ini nampaknya Syekh Nawawi hendak menjadikan kitab tafsirnya
sebagai rujukan atau preferensi yang menyenangkan bagi umat Islam agar tidak pernah
meninggalkan Al-Quran, dan ingin memberikan jalan keluar bagi masyarakat Muslim
yang masih mempertahankan pemahaman tradisional (klasik) dalam memahami Al-
Quran. Tafsir ini ditulis sebagai jawaban atas permintaan beberapa teman beliau agar
berkenan menulis sebuah kitab tafsir sewaktu berada di Makkah.
B. Biografi Singkat Imam Nawawi al-Bantani
Nama lengkap Nawawi Al-Bantani adalah Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad
Nawawi bin Umar. Terlahir di tanara, tirtayasa, Serang, Banten Jawa Barat pada 1813,
julukan al-Bantani dinisbatkan pada daerah asalnya, banten. Beliau merupakan ulama’
terkemuka karena karya-karyanya menjadi rujukan utama berbagai lembaga pendidikan
(pesantren) baik didalam negri maupun luar negri.
Ayahnya bernama KH.Umar bin Arabi. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan
keturunan kesultanan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (sunan Gunung
Jati,Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanudin (Sultan Banten 1) yang
beranama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung ddengan Nabi Muhammad
melaluai Imam Ja’far As-shodiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ali Zainal Abidin,
Sayyidiana Husen,Fatimah al-Zahra.3
Semenjak kecil imam Nawawi al-Bantani mendalami ilmu agama langsung dari
ayahnya yang bernama K.H. Umar Ali. Kemudian beliau berguru kepada Kiai Sahal
dan setelah itu beliau berguru kepada Kiai Yusuf di Purwakarta, Jawa Barat, hingga ia
mencapai usia lima belas tahun. Setelah usia beliau mencapai 15 tahun beliau pergi ke
tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian beliau bermukim di
sana untuk berguru kepada para Ulama terkemuka, seperti Syeikh Nahrawi, Syeikh
Ahmad Zaini Dahlan dan Syeikh Ahmad Dimyati. Ada yang mengatakan bahwa beliau

3
Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir Al-Qur’an dari klasik hingga kontemporer. hal 116

3
tinggal di Banten hanya beberapa bulan saja, ada juga yang mengatakan bahwa beliau
tinggal sampai tiga tahun, kemudian kembali lagi ke Mekah dan kemudian tinggal di
sana sampai akhir hayatnya.4
Di antara guru-guru imam Nawawi yang terkenal yaitu Syeikh Ahmad Khatib
Sambas, Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Yusuf Sumbulawani, dan Syeikh Abd al-
Hamid Daghestani (berasal dari Daghestan). Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah
seorang ulama yang berasal dari daerah Sambas (Kalimantan Barat). Syeikh Ahmad
Khatib Sambas ini memiliki empat orang murid, ke empat murid itu adalah Syaikh
Nawawi al-Bantani, Syeikh Mahfudz at-Tarmisi, Syeikh Abdul Karim al-bantani dan
yang terakhir adalah Syeikh Muhammad Khalil yang akhirnya menetap di daerah
Bangkalan Madura dan wafat di sana. Dikatakan bahwa di antara ke empat murid
Syeikh Sambas tersebut, Syeikh Nawawilah yang paling senior.5
Setelah 30 tahun lamanya beliau menimba ilmu bersama para ulama terkemuka,
akhirnya beliau pun mengabdikan dirinya sebagai seorang pengajar sekaligus imam di
Masjid al-Haram Mekah. Beliau mengabdi kurang lebih selama 10 tahun, hari-hari
beliau banyak dihabiskan untuk mengarang kitab dan mengajar serta mendidik para
santri di rumahnya hingga akhir hayatnya.
C. Kajian Metodologis Tafsir Marah Labid
1. Sistematika Penyajian
Kitab tafsir ini menurut Ali adalah salah satu dari 17 kitab tafsir yang
diklasifikasikan Ali Ayazi dalam kumpulan “kitab yang menyertakan riwayat
israiliyat”. Penulis tidak memulai kitab tafsirnya dengan muqaddimah tentang ulum
al-Qur’an, bahkan beliau menuturkan alasan menulis kitab ini, dan sumber-sumber
penulisannya, yaitu kitab-kitab sufi dan riwayat (ma’thur) dan ra’yi, yaitu kitab al-
Futuhat al-Ilahiyah (karya Sulaiman al-Jamal w. 970), Mafatih al-Ghaib (karya
Fakhru al-Din al-Razi w. 1209), al-Siraj al-Munir (karya al-Syirbini w. 1570),
Tanwirul Miqbas (karya Fairuzzabadi 1415), dan Tafsir Abi Su’ud (karya Ibn
Su‟ud w. 1574) seperti dalam keterangan Nawawi juz 1-2.
Pada juz pertama kitab ini dimulai dari Surah al-Fatihah sampai surah al-Kahfi,
sedangkan juz kedua dimulai dari Surah Maryam sampai Surah An-Nas. Dalam
kitab ini menurut Ali, tidak ditemukan adanya kecenderungan pada tasawuf atau

4
Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama’ Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani,…hal15.
5
Ibid, hal 18

4
tafsir Isyari, Syaikh Nawawi sepakat pada teori-teori umum yang meliputi kaidah-
kaidah lafadz dan makna, dan ia mengacu pada penjelasan bahasa atau al-manhaj
al-kalamy.
Tafsirnya yang berhalaman 985 atau 987 beserta daftar isinya. Tafsir al-Munir
terdiri dari 2 jilid, jilid pertama berjumlah 510 atau 511 halaman beserta daftar
isinya dan jilid kedua berjumlah 475 atau 476 halaman beserta daftar isinya dan
diselesaikan pada rabiul akhir 1305 H.
2. Metode Penafsiran
Sebelum menjelaskan tentang metode yang digunakan oleh Syaikh Nawawi al-
Bantani dalam menafsirkan al-Qur’an, penulis merasa perlu untuk menjelaskan
sistematika penulisan tafsir Mirahu Labid karya Syaikh Nawawi. Adapun
sistematika penulisan tafsir Mirahu Labid adalah dengan cara memberikan
penjelasan sesuai dengan rangkaian kata dalam sebuah ayat, meskipun, untuk
beberapa ayat dan surat dikaitkan dengan hadits-hadits Rasulullah SAW, asbab al-
nuzul ayat, dan pendapat-pendapat para sahabat, dan pandangan-pandangan imam
qira’at.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an,
Syaikh Nawawi al-Bantani menggunakan dua manhaj yaitu manhaj ijmali (global)
dan manhaj tahlili (analisis). Dengan kata lain, dalam suatu kesempatan Syaikh
Nawawi terkadang memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan
cara global, sedangkan dalam kesempatan yang lain Syaikh Nawawi menafsirkan
al-Qur’an dengan cara analisis. Hal ini dapat dipahami berdasarkan contoh
penafsiran dan langkah-langkah yang digunakan oleh Syaikh Nawawi al- Bantani
dalam menafsirkan suatu ayat, dimana terkadang sebelum menafsirkan sebuah ayat
beliau terlebih dahulu menjelaskan hal-hal yang melatar belakangi ayat tersebut
diturunkan (asbab al-nuzul).6 Sedangkan corak yang digunakan oleh Syaikh
Nawawi al-Bantani dalam menafsirkan al-Qur’an adalah dengan melalui
pendekatan fiqh, ilmi, dan adabi wa ijtima’, hal ini dapat dipahami melalui
penafsirannya tatkala menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum, Syaikh
Nawawi al-Bantani biasanya menjelaskannya dengan menggunakan paparan yang

6
Berkaitan dengan metode tahlili, Abdul Mu’in Salim menjelaskan bahwa salah satu pokok penting
yang mesti diperhatikan oleh mufassir adalah masalah asbab al-nuzul. Dengan kata lain seseorang yang ingin
menggunakan metode tahlili dalam menafsirkan al-Qur’an hendaklah memperhatikan dan memahami asbab al-
nuzul. Abdul Mu’in Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2005), Cet 1, hal. 42

5
cukup jelas dan lebih cenderung kepada madzhab Syafi’i, sekalipun dalam
menafsirkan beberapa ayat beliau juga pernah mengutip pendapat madzhab yang
lain, tidak menutup kemungkinan syaikh Nawawi al-Bantani menggunakan
pendekatan fiqh dalam menafsirkan al- Qur’an disebabkan oleh keahliannya dalam
bidang tersebut. Sehingga sebagian besar hasil karyanya berbicara tentang fiqh dan
akhlak baik dalam rumah tangga begitu juga dalam
masyarakat luas.
3. Contoh Penafsiran
QS. An-Nisa ayat 59

ِ‫ّٰللا‬ َ َ‫اْل ْم ِر مِ ْن ُك ْۚ ْم َفا ِْن تَن‬


‫از ْعت ُ ْم ف ِْي ش َْيءٍ َف ُرد ُّْوهُ اِلَى ه‬ َ ْ ‫س ْو َل َواُولِى‬ ُ ‫الر‬َّ ‫ّٰللا َواَطِ ْيعُوا‬َ ‫ٰ ٰٓياَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٰٓوا اَطِ ْيعُوا ه‬
‫س ُن تَأ ْ ِوي ًْل‬ َ ْ‫اْلخِ ِِۗر ٰذ ِلكَ َخي ٌْر َّواَح‬
ٰ ْ ‫اّٰلل َوا ْليَ ْو ِم‬
ِ ‫س ْو ِل ا ِْن ُك ْنت ُ ْم ت ُؤْ مِ نُ ْونَ ِب ه‬
ُ ‫الر‬
َّ ‫َو‬

(Wahai orang-orang yang beriman! , taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, serta
Uli al-amr di antara kamu) ayat ini mengandung empat pokok sumber syariat, yaitu
Al-Kitab, Sunah, Ijma’ dan Kias. Al-Kitab menunjukkan pengertian perintah Allah,
kemudian darinya kita mengetahui perintah Rasul sebagai suatu kepastian. Sunah
menunjukkan perintah Rasul, kemudian sudah pasti kita mengetahui darinya
perintah Allah, maka dapat dibuktikan bahwa firman-Nya:
Ayat tersebut menunjukkan wajib mengikuti al-Kitab dan as-Sunah. Adapun
yang dimaksud dengan uli al-amr ialah seluruh ulama dari kalangan ahlul halli wal
aqd, para pemimpin yang benar dan sah serta para penguasa yang adil. Adapun para
penguasa yang dzalim dan melampaui batas, mereka tidak mendapatkan hak untuk
ditaati. Taat kepada para amir dan penguasa pada umumnya diharamkan, karena
sebagian besar dari mereka tidak memerintahkan selain pada kedzaliman. Para amir
dan penguasa tidak bisa lepas dari peran ulama, karena keputusan para amir dan
penguasa bergantung pada fatwa para ulama. Pada hakikatnya ulama adalah
amirnya para amir, sehingga merekalah yang dimaksud dengan uli al-amr.
Perbedaan paling signifikan dari penafsiran al-Bantani dari mufassir lainnya
terkait makna uli al-amr, terdapat pada penekanan kalimat "pemimpin yang benar
dan sah serta para penguasa yang adil, penguasa yang dzalim dan melampaui batas
haram untuk ditaati". Terkait makna uli al-amr, Hamka memaknai uli al-amr
sebagai orang yang menguasai perkerjaan, yaitu orang-orang yang berkuasa di
antara kamu, atas daripada kamu. Kata minkum setelah kata uli al-amr memiliki
6
dua arti, yaitu di antara kamu dan daripada kamu. Maksudnya, orang-orang yang
berkuasa berasal dari golongan kamu juga, terpilih atau kamu akui kekuasaannya.7
Hamka juga menjelaskan bahwa urusan kenegaraan dibagi menjadi dua bagian,
yang secara khusus menangani persoalan agama dan yang mengenai urusan umum.
Persoalan keagamaan secara eksklusif bersumber dari Rasulullah Saw. berdasarkan
wahyu Allah Swt. Tetapi urusan umum seperti perang, membangun tempat
beribadah, bercocok tanam, memelihara ternak dan lain-lain, diserahkan kepada
individu masing-masing, dengan dasar utamanya adalah Syura (permusyawaratan).
Hasil dari musyawarah ini menjadi keputusan yang wajib ditaati oleh seluruh orang
beriman. Dan yang menjaga jalannya hasil permusyawaratan adalah uli al-amr.
Konsep uli al-amri yang ditawarkan oleh al-Bantani secara sekilas memiliki
semangat yang sama dengan konsep uli al-amri yang dijelaskan oleh Hamka,
khususnya dalam kalimat “yang terpilih atau kamu akui kekuasaannya”. Hal ini di
latarbelakangi oleh kondisi sosial-politik yang kurang berpihak pada Hamka ketika
ia menulis tafsir al-Azhar, seperti halnya al-Bantani ketika menulis kitab tafsir
Marah Labid. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Muhammad Abduh, dan al-Maraghi
memaknai uli al-amr sebagai ahlu al-halli wa al-aqd (orang-orang yang menguasai
bidangnya dan diserahi kepercayaan) mengendalikan kekuasaan negara atau
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Produk hukum yang ditetapkan oleh
ahlu al-halli wal ‘aqdi terkait permasalahan umat yang tidak terdapat nash dari
Allah SWT. (tanpa paksaan dan tekanan dari pihak manapun), maka hukum
mentaatinya adalah wajib. Hal ini pernah dicontohkan oleh Umar ketika
bermusyawarah dengan ahlu al-ra’yi (dari para sahabat) mengenai pendirian kantor
yang dan hal lain dari keputusan yang diambilnya (dengan pendapat uli al-amr di
antara para sahabat). Walaupun keputusan yang diambil Umar tidak ditemukan
pada masa Rasulullah, namun tidak ada seorang pun di antara para ulama yang
menentangnya.
Konsep pemerintahan secara terstruktur telah dicontohkan oleh Rasulullah saat
beliau melakukan hijrah dari kota Makkah ke kota Madinah. Sehari setelah
Rasulullah hijrah ke kota Madinah, telah berdiri pemerintahan Islam yang dipimpin
langsung oleh Rasulullah sendiri. Kala itu Rasulullah dibantu oleh Abu Bakar,
Umar, Utsman, dan Ali. Selain membentuk susunan pemerintahan Rasulullah juga

7
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz V (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983),hal 163.

7
mengangkat pemimpinpemimpin pertempuran yang nantinya akan memimpin
sariyah. Sejak saat itu bentuk ketaatan terhadap pemimpin sudah ditumbuhkan oleh
Rasulullah.
Seperti halnya al-Bantani, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Muhammad Abduh, dan
al-Maraghi memaknai uli al-amr sebagai ahlu al-halli wa al-aqd. Hanya saja dalam
penafsiran al-Bantani setelah penyebutan kata ahlu al-halli wa al-aqd dilanjutkan
dengan “Adapun para penguasa yang dzalim dan melampaui batas, mereka tidak
mendapatkan hak untuk ditaati”. Al-Bantani berusaha menunjukkan poin penting
dari seorang pemimpin tidak hanya mampu (ahli) dalam bidangnya, namun juga
harus adil serta tidak dzalim.
Uli al-Amr menurut Sayyid Quthb adalah pemimpin dari kalangan orang
mu’min yang telah memenuhi syarat iman dan batasan Islam yang telah dijelaskan
pada QS. an-Nisa : 59, yaitu uli al-amr yang taat kepada Allah dan Rasulullah.
Seorang uli al-amr juga harus mengesakan Allah sebagai pemilik kadaulatan hukum
serta hanya menerima hukum dari-Nya saja. Sayyid Quthb menegaskan bahwa
haram bagi seorang muslim memilih pemimpin dari golongan non-muslim, apabila
seorang muslim memilih seorang non-muslim sebagai pemimpinnya berarti ia
termasuk dalam golongan (non-muslim) tersebut.8
Penafsiran uli al-amr oleh Sayyid Quthb berbeda dengan penafsiran al-Bantani.
Penafsiran Sayyid Qutb terkait tema-tema kepemimpinan seperti uli al-amr
tergolong tegas, hal ini dipengaruhi oleh pemikiran gerakan organisasi Ikhwanul
Muslimin. Sedangkan al-Bantani cenderung lebih moderat dengan tidak banyak
memberikan fokus pada konsekuensi mentaati pemimpin non-muslim seperti
penafsiran Sayyid Quthb.
Latar belakang sosio-historis penulisan Tafsir Marah Labid li Kasyf Ma’na al-
Qur’an al-Majid banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial yang dialami al-Bantani.
Di mana tanah tempat kelahirannya sedang dijajah oleh Belanda, dan memaksa al-
Bantani untuk menetap di Makkah. Para amir dan penguasa pada zaman
penajajahan Belanda mayoritas berada di bawah kekuasaan Belanda. Sejarah
mencatat bahwa banyak dari para amir dan penguasa yang membantu Belanda demi
kepentingan mereka sendiri. Penafsiran al-Bantani mengenai haramnya taat kepada

8
Sayyid Quthb, Tafsir fi Dzilalil Qur’an, Terj. As’ad Yasin, Jilid VI, (Jakarta: Gema Insani Press,
2002), hal 84

8
amir dan penguasa kemungkinan berdasarkan kondisi tersebut. Sebagian besar dari
mereka memerintahkan kepada kedzaliman. Maka, hanya keputusan para ulama
yang masih bisa ditaati pada saat itu.
Ketika al-Bantani berada di wilayah Hijaz, wilayah itu berada di bawah
kekuasaan Turki Usmani yang sedang terlibat konflik akibat pemberontakan yang
diprakarsai oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin Saud.
Gerakan ini sekarang menjadi al-Mamlakah al-Su’udiyah al-Arabiyah (kerajaan
Arab Saudi) dengan madzab resmi salafi yang pemikirannya berafiliasi kepada
Syaikh Muhammad bin Abd al-Wahhab.9
Beberapa kitab yang dijadikan rujukan oleh al-Bantani adalah sebagai berikut:
Kitab al-Futuhat al-Ilahiyah (Sulaiman al-jamal w. 970), Kitab Mafatih al-Ghaib
(Fakhru al-Din al-Razi w. 1209), al-Siraj al-Munir (al-Syarbini w. 1570), Tanwirul
Miqbas (Fairuzzabadi w. 1415), dan Tafsir Abi Su’ud (Ibnu Su’ud w. 1574).
Dengan demikian produk penafsiran al-Bantani tidak secara keseluruhan
merupakan hasil pemikirannya sendiri, melainkan juga pengaruh dari hasil
penafsiran ulama-ulama yang lain.
Al-Bantani juga memaknai uli al-amr sebagai pemimpin pasukan, hal tersebut
didasarkan bahwa ayat ini berkaitan dengan sabab al-nuzul ayat. Yaitu berkenaan
dengan diutusnya Khalid bin al-Walid oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai
komandan pasukan.Qs. An-Nisa’ : 83

َ‫سو ِل َوإِلَ ٰ ٰٓى أ ُ ۟و ِلى ْٱْلَ ْم ِر مِ ْن ُه ْم لَعَ ِل َمهُ ٱلَّ ِذين‬ُ ‫ٱلر‬ َّ ‫ُوا بِ ِۦه ۖ َولَ ْو َردُّوهُ إِلَى‬ ۟ ‫ف أَذَاع‬ ِ ‫َوإِذَا َجا ٰٓ َءهُ ْم أ َ ْم ٌر ِمنَ ْٱْل َ ْم ِن أ َ ِو ٱ ْل َخ ْو‬
‫ِيل‬ َ ٰ ‫ش ْي‬
ً ‫طنَ إِ َّْل َقل‬ َّ ‫علَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمت ُ ۥهُ َلَتَّبَ ْعت ُ ُم ٱل‬
َ ‫ٱّٰلل‬
ِ َّ ‫ض ُل‬ ْ ‫طونَ ۥهُ مِ ْن ُه ْم ِۗ َولَ ْو َْل َف‬ ُ ‫ست َ ۢن ِب‬
ْ َ‫ي‬

Apabila datang kepada orang-orang munafik itu suatu berita tentang baik atau
buruknya keamanan, maka mereka menyiarkannya. Hal tersebut merugikan pihak
kaum mukmin, kerena isu-isu itu sarat dengan dusta, mengigat permusuhan antara
kaum muslim dan orang-orang kafir sedang memuncak.
Hal itu terjadi saat Nabi mengirimkan pasukan. Apabila pasukan itu
memperoleh kemenangan atau mengalami kekalahan, maka orang-orang munafik
bersegera mencari-cari berita mengenai keadaan pasukan itu lalu membicarakannya

9
Rofik Maftuh, “Inklusifitas Pemikiran Syaikh Nawawi al-Bantani; Studi atas Konsep Ahl-Fatrah
dalam Tafsir Marah Labid”, MAGHZA: Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 3, No. 1, Januari-Juni 2018.

9
kepada khalayak sebelum Rasulullah membicarakannya. Tujuan mereka adalah
untuk melemahkan hati kaum mukmin, sehingga Allah Swt menurunkan ayat ini.
Terkait sebab turunnya QS. An-Nisa’ ayat 83, terdapat riwayat lain yang
mengisahkan bahwa ketika Nabi ‘uzlah (menjauhi) istri-istrinya, Umar bin Khattab
masuk ke dalam masjid di saat orang-orang sedang kebingungan sambil bercerita
mengenai Rasulullah bahwa beliau telah menceraikan istri-istrinya. Umar berdiri di
dekat pintu masjid dan berteriak: “Rasulullah Saw. tidak menceraikan istrinya, dan
aku telah menelitinya”. Maka turunlah ayat ini berkaitan dengan peristiwa tersebut
untuk tidak menyiarkan berita sebelum diselidiki.
Dikisahkan dalam QS. An-Nisa’: 83, Apabila mereka menyerahkan berita yang
dipergunjingkan itu kepada Rasulullah dan kepada orang-orang yang berakal dan
mempunyai pendapat dari kaum mukmin seperti Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.
Apabila orang-orang munafik yang menyiarkan berita itu menyerahkan berita
mengenai keamanan dan keadaan darurat tersebut kepada Rasulullah dan uli al-
Amr, lalu mereka meminta klarifikasi keadaan yang sebenarnya dari pihak
Rasulullah dan uli al-Amr, tentu mereka akan mendapatkan informasi yang
terpercaya dari pihak Rasul dan uli al-Amr itu.
Terdapat perbedaan makna Uli al-Amr dari masing-masing ayat. Ayat yang
pertama diberi makna semua ulama dari kalangan ahlul h}alli wal aqd, para
pemimpin yang benar dan sah serta penguasa yang adil. Sedangkan ayat kedua
diberi makna leibh spesifik, yakni orang-orang yang berakal dan mempunyai
pendapat dari kalangan kaum mukmin. Mereka adalah Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Al-Bantani memiliki gambaran penafsiran tersendiri mengenai makna uli al-
amr. Pemaknaan tersebut dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial saat Imam
Nawawi al-Bantani hidup. Karakteristik penafsiran yang dilakukan al-Bantani
sejalan dengan teori pre-understanding (prapemahaman) yang diusung oleh
Gadamer, yaitu keterpengaruhan oleh situasi hermeneutik tertentu membentuk pada
diri seorang penafsir. Prapemahaman yang merupakan posisi awal penafsir memang
pasti dan harus ada ketika penafsir membaca teks dalam penafsiran al-Bantani
keadaan Indonesia pra-kemerdekaan mengambil peranan penting dalam
membentuk konsep ideal sosok pemimpin.
4. Validitas Penafsiran
Validitas penafsiran Kitab Marah Labid ada tiga, yaitu :
10
a. Secara koherensi atau konsistensi, penafsiran yang dilakukan oleh Nawawi,
baik itu dari model interpretasi maupun sumber interpretasi, cukup menjaga
konsistensinya.
b. Secara korespondensi, penafsiran Imam Nawawi, penulis tidak melihat
adanya kesesuaian dengan realitas masyarakat saat itu, yang menafsirkan
dengan bahasa yang sangat ringkas dan tidak melihat kondisi social
kemasyarakatannya.
c. Secara pragmatik, penafsiran yang dilakukan oleh Imam Nawawi, belum
sepenuhnya mampu memberikan kontribusi yang cukup memadai kepada
masyarakat, karena penafsiran yang beliau lakukan masih bersifat tekstual.
5. Karakteristik Penafsiran

Tafsir Marah Labid dikategorikan oleh Nasharuddin Baidan sebagaimana


dikutip oleh Cholid Ma’arif sebagai karya tafsir nusantara masa pra modern.10
Yaitu karya tafsir yang mengawali lahirnya karya tafsir modern di abad ke 20.
Karya tafsir Syaikh Nawawi Al-Bantani berbeda dengan ulama nusantara
lainnya, kebanyakan ulama nusantara menulis tafsir dalam bahasa lokal, tetapi
beliau dengan menggunakan bahasa Arab, memang hal itu sangat wajar, mengingat
beliau lebih banyak menghabiskan masa pengabdian ilmiahnya di tanah Arab.11
Di sisi lain, penulisan Marah Labid dengan bahasa arab membuat tidak
semua masyarakat nusantara mampu membacanya. Karena dibutuhkan penguasaan
bahasa arab sehingga yang mampu mengakses karya Syaikh Nawawi ini hanya
mereka yang mampu berbahasa arab. Sehingga karya tafsir ini hanya dikenal di
tengah-tengah kalangan pesantren saja.
Syaikh Nawawi sendiri berafiliasi dengan paham Asy’ariyah dalam
pemikiran teologinya yang mengedepankan takwil pada ayat yang berkenaan
dengan dzat ketuhanan. Dalam surat Al-Fath ayat 10 misalnya, beliau menafsirkan
kalimat : “Tangan Allah berada di atas tangan mereka” yaitu nikmat Allah berupa
hidayah yang diberikan kepada mereka jauh lebih besar daripada kebaikan yang
mereka lakukan untuk Allah.12

10
Cholid Ma’arif, “Kajian Al-Qur’an di Indonesia: Telaah Historis”, Qof, Vol. 1 No. 2, Juli 2017, hal.
123.
11
Rofik Maftuh, “Inklusifitas Syaikh Nawawi Al-Bantani: Studi Atas Konsep Ahl Al-Fatrah dalam
Tafsir Marah Labid”, Maghza: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 3 No. 1, 2018, hal. 122.
12
Muhammad Nawawi Al-Bantani, Marah Labid Li Kasyfi Ma’na Al-Qur’an Al-Majid (Kairo: Al-
Mathba’ah Al-‘Utsmaniyah, 1305 H), Vol. 2, hal. 308.

11
Tafsir Marah Labid juga bercorak tafsir ahkam, yaitu tafsir yang
menerangkan hukum sesuatu dalam pendekatan fikih. Yang mana dalam hukum
fikih beliau bermadzhab Syafi’i sehingga dalam menerangkan hukum juga
seringkali mengggunakan pendekatan madzhab Syafi’i. Namun beliau tidak
memberikan uraian dalam pengambilan dalil (istidlal). Misalnya saja ketika
menjelaskan kriteria ahli kitab dalam surat Al-Maidah ayat 5 berdasarkan madzhab
Syafi’i yaitu mereka yang berpegang kepada Taurat atau Injil sebelum Al-Qur’an
turun.13
Syaikh Nawawi Al-Bantani juga mewarnai karya tafsirnya dengan corak
tasawuf dan tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa). Misalnya saja ketika beliau
menafsirkan surat Al-Anfal ayat 2 maka beliau mengaitkannya dengan pembahasan
mengenai khauf (rasa takut) yang merupakan pembahasan yang berkenaan dengan
ketasawufan.14
Karakteristik Tafsir Marah Labid sedikit banyaknya juga dapat dilihat dari
sumber-sumber rujukan penulisannya. Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh
Nawawi Al-Bantani dalam pembukaan tafsirnya bahwa beliau antara lain merujuk
pada Al-Futuhat al-Ilahiyah karya Sulaiman bin Umar Al-Jammal (w. 1204 H) yang
merupakan catatan penjelasan dari Tafsir Jalalain, dan tafsir Jalalain sendiri
bercorak ijmali (global) karena karakternya yang ringkas.
Sumber lainnya yaitu Mafatih Al-Ghaib karya Fakhruddin Ar-Razi (w. 606
H) yang bercorak bi ar-ra’yi atau menggunakan penalaran akal dan logika serta
mantik. Ini menandakan bahwa Syaikh Nawawi Al-Bantani juga memberi ruang
bagi akal dalam penafsirannya, walaupun pada faktanya beliau juga banyak
menggunakan riwayat untuk menjelaskan makna suatu ayat. 15
Sumber referensi lainnya yaitu As-Siraj Al-Munir, Tanwir Al-Miqbas, serta
Tafsir Abi As-Su‘ud. Masing-masing merupakan karya dari Khatib Asy-Syirbini
(w. 977 H), Fairuzabadi (w. 817 H), dan Muhammad Abu Su’ud Afandi (w. 982
H).

13
Masnida, “Karakteristik dan Manhaj Tafsir Marah Labid Karya Syaikh Nawawi Al-Bantani”, Jurnal
Darussalam, Vol. 8 No. 1, September 2016, hal. 199.
14
Muhammad Nawawi Al-Bantani, Marah Labid Li Kasyfi Ma’na Al-Qur’an Al-Majid (Kairo: Al-
Mathba’ah Al-‘Utsmaniyah, 1305 H), Vol. 1, hal. 300.
15
Masnida, “Karakteristik dan Manhaj Tafsir Marah Labid Karya Syaikh Nawawi Al-Bantani”, Jurnal
Darussalam, Vol. 8 No. 1, September 2016, hal. 198.

12
Namun bukan berarti bahwa sumber referensi Tafsir Marah Labid terbatas
pada kitab-kitab di atas. Karena Syaikh Nawawi juga teridentifikasi mengutip tafsir
Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an Al-Karim karya Al-Qurthubi yang dibuktikan dengan
adanya kutipan karya Al-Qurthubi yang redaksinya sama, seperti penafsirannya
terhadap ayat 52 surat As-Syu‘ara’. 16
Karena kesamaan redaksi kutipan ini membuat Tafsir Marah Labid juga
sering dipandang sebagai tabyin (penjelasan) an sich dan kumpulan kutipan-kutipan
yang merujuk pada kitab-kitab yang telah disebutkan dalam pembukaan tafsirnya.17
D. Keunikan Tafsir Marah Labid
Keunikan dari kitab ini adalah penyebutan makna surah dan nama-namanya,
serta menjelaskan tema-temanya. Misalnya ketika menyebut Surah al-Kafirun, Syaikh
Nawawi berkata: “disebut juga dengan surah al-Munabadzah, atau al-Mu’abadah”, dan
ketika menyebut Surah al-Ikhlas, “maksudnya adalah ikhlas beribadah, dan surah itu
disebut juga surah al-Muqasyqasyah, yang artinya terbebas dari kemunafikan”, seperti
keterangan Ali. Tafsir ini sangat istimewa karena merupakan tafsir Al-Quran pertama
yang ditulis secara lengkap dengan berbahasa Arab oleh ulama asal Nusantara. Hal
yang unik juga dari kitab ini menurut Mas’ud adalah adanya banyak cerita yang
mengherankan, dan banyaknya khabar tentang asbab al-nuzul.

16
Naufal Cholily, “Humanisme Dalam Tafsir Marah Labid Karya Nawawi Al-Bantani”, Maraji’: Jurnal
Studi Keislaman, Vol. 2 No. 2, Maret 2016, hal. 472.
17
Ansor Bahary, “Tafsir Nusantara: Studi Kritis Terhadap Marah Labid Nawawi Al-Bantani”, Ulul
Albab, Vol. 16, No. 2, 2015, hal. 185.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa latar belakang penulisan
kitab Tafsir Marah Labid adalah karena adanya desakan dari orang-orang terdekat
Syaikh Nawawi Al-Bantani untuk menuliskan tafsir Al-Qur’an secara lengkap.
Tafsir Marah Labid merupakan salah satu bagian dari khazanah kekayaan
literatur tafsir nusantara yang disusun oleh seorang ulama asal Banten, Syaikh
Muhammad Nawawi Al-Bantani. Beliau menyusun kitab ini untuk melaksanakan tugas
sebagaimana para ulama salaf menyusun kitab-kitab tafsir yang lebih sesuai dengan
tuntutan zaman.
Sistematika penulisanya adalah pada juz pertama kitab ini dimulai dari Surah
al-Fatihah sampai surah al-Kahfi, sedangkan juz kedua dimulai dari Surah Maryam
sampai Surah An-Nas. Syaikh Nawawi al-Bantani menggunakan dua manhaj yaitu
manhaj ijmali (global) dan manhaj tahlili (analisis). Uli al-amr adalah seluruh ulama
dari kalangan ahlu al-halli wa al-‘aqdi, para pemimpin yang benar dan para penguasa
yang adil. Adapun para penguasa yang dzalim dan melampaui batas, tidak wajib untuk
ditaati. Penafsiran tentang pemimpin dapat dipahami dengan larangan mentaati
penjajah dan para amir yang mendukungnya. Nawawi al-Bantani juga memaknai uli al-
amr dalam QS. al-Nisa 83 dengan khulafa’ al-rasyidin (Abu Bakar, Umar bin
Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), memberikan pengertian bahwa
pemimpin yang ideal adalah sebagaimana yang dicontohkan empat khalifah tersebut.
Adapun validitanya terbagi menjadi tiga yaitu dari segi konsistensi, korespondensi dan
pragmatik. Karakteristiknya yaitu berbeda dengan ulama lain di nusantara, penulisan
tafsirnya menggunakan Bahasa arab, karakteristik Tafsir Marah Labid sedikit
banyaknya juga dapat dilihat dari sumber-sumber rujukan penulisannya.
Keunikan dari kitab ini adalah penyebutan makna surah dan nama-namanya,
serta menjelaskan tema-temanya. Hal yang unik juga dari kitab ini menurut Mas’ud
adalah adanya banyak cerita yang mengherankan, dan banyaknya khabar tentang asbab
al-nuzul.

14
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Nawawi Al-Bantani, Marah Labid Li Kasyfi Ma’na Al-Qur’an Al-Majid (Kairo:
Al-Mathba’ah Al-‘Utsmaniyah, 1305 H), Vol. 1
Naufal Cholily, “Humanisme Dalam Tafsir Marah Labid Karya Nawawi Al-Bantani”, Maraji’:
Jurnal Studi Keislaman, Vol. 2 No. 2, Maret 2016
Rofik Maftuh, “Inklusifitas Pemikiran Syaikh Nawawi al-Bantani; Studi atas Konsep Ahl-
Fatrah dalam Tafsir Marah Labid”, MAGHZA: Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Vol.
3, No. 1, Januari-Juni 2018.
Sayyid Quthb, Tafsir fi Dzilalil Qur’an, Terj. As’ad Yasin, Jilid VI, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2002)
Jalaluddin as-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat al-Qur'an, terj. Tim Abdul Hayyie, (Depok: Gema
Insani, 2009)
Cholid Ma’arif, “Kajian Al-Qur’an di Indonesia: Telaah Historis”, Qof, Vol. 1 No. 2, Juli 2017
Rofik Maftuh, “Inklusifitas Syaikh Nawawi Al-Bantani: Studi Atas Konsep Ahl Al-Fatrah
dalam Tafsir Marah Labid”, Maghza: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 3 No. 1,
2018
Muhammad Nawawi Al-Bantani, Marah Labid Li Kasyfi Ma’na Al-Qur’an Al-Majid (Kairo:
Al-Mathba’ah Al-‘Utsmaniyah, 1305 H), Vol. 2
Masnida, “Karakteristik dan Manhaj Tafsir Marah Labid Karya Syaikh Nawawi Al-Bantani”,
Jurnal Darussalam, Vol. 8 No. 1, September 2016
Subhi As-Shalih, Mabahis Fi Ulumil Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka
Firdaus)
Muhammad Ibn Umar Nawawi al-Jawi, Marah Labid li Kasyf Ma’na al-Qur’an al-Majid,
(Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997)
Masnida, “Karakteristik dan Manhaj Tafsir Marah Labid Karya Syaikh Nawawi Al-Bantani”,
Jurnal Darussalam, Vol. 8 No. 1, September 2016
Naufal Cholily, “Humanisme Dalam Tafsir Marah Labid Karya Nawawi Al-Bantani”, Maraji’:
Jurnal Studi Keislaman, Vol. 2 No. 2, Maret 2016

15

Anda mungkin juga menyukai