Anda di halaman 1dari 41

A.

JUDUL
PERANAN UNIT PELAYANAN SOSIAL ASUHAN ANAK “PAMARDI
SIWI II” DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN ANAK TERLANTAR DI
KECAMATAN WELERI KABUPATEN KENDAL

B. LATAR BELAKANG

Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan kepada penyelengara negara


untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan mewujudkan kesejahteraan
umum dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Begitulah yang tertera dalam pembukaan UUD 1945 dan sila ke-5 Pancasila.
Dalam hal ini negara selalu berupaya meningkatkan pembangunan negara baik
secara fisik maupun non fisik untuk menciptakan kesejahteraan hidup warga
negaranya.

Pembangunan sering kali disamakan dengan pembuatan suatu bangunan


fisik. Sesungguhnya pembangunan tersebut juga meliputi pembangunan non fisik
atau mengacu pada pembangunan sumber daya manusia (SDM) di Indonesia. Hal
tersebut perlu dilakukan sebab adanya SDM yang berkualitas akan lebih mudah
mencapai kesejahteraan. Pembangunan SDM termasuk ke dalam pembangunan
non fisik, dimana pembangunan tersebut bersifat investasi jangka panjang
sehingga hasilnya akan nampak setelah beberapa waktu ke depan, misalnya
pembangunan rehabilitasi sosial, pembangunan dalam pendidikan (Anwas, 2013:
42).

Kini pembangunan di bidang pendidikan menjadi salah satu alternatif yang


tepat untuk mencetak generasi-generasi yang berkualitas dan berdaya guna.
Dengan begitu, pendidikan dapat mengarahkan mereka menuju kehidupan yang
lebih baik atau mencapai kesejahteraan hidup. Akan tetapi kemiskinan menjadi
salah satu faktor penghambat masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Banyak
anggapan masyarakat bahwa biaya pendidikan itu mahal sehingga mereka segan
memberi kesempatan pada anak-anaknya untuk bersekolah. Sebab untuk
mencukupi kebutuhan hidup saja sudah cukup sulit apalagi menyekolahkan anak
mereka.

Kemiskinan merupakan suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup


memelihara dirinya sesuai dengan taraf kehidupan kelompok, serta tidak mampu
tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut (Soekanto, 2012: 320).
Kemiskinan menjadi penghambat bagi masyarakat untuk maju terutama dalam
hal pendidikan. Selain itu kemiskinan pun menjadi masalah sosial yang dapat
mendorong bertambahnya jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS). Kementrian Sosial mengungkapkan pada tahun 2013 jumlah fakir
miskin di Indonesia sebanyak 29,03 juta jiwa, gelandangan 55.740 jiwa, dan
pengemis 33.041 jiwa (Sari, 2015).

Tidak dipungkiri bahwa kemiskinan menjadi penyebab sulitnya memperoleh


pendidikan. Padahal pendidikan menjadi salah satu hal terpenting dalam proses
pembangunan terutama bagi anak-anak yang kelak menjadi generasi penerus
bangsa ini. Di Indonesia semua anak wajib memperoleh pendidikan dasar
ditegaskan melalui Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (2) yang
menyatakan bahwa “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya”. Pada kenyataannya permasalahan tersebut tak
kunjung selesai. Ada beberapa anak di Indonesia belum mendapatkan pendidikan
yang layak meskipun pemerintah telah membuat berbagai program untuk mereka.
Hal tersebut dirasakan oleh Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
seperti anak terlantar.

Anak terlantar adalah anak-anak yang dikarenakan sebab-sebab tertentu


telah mengakibatkan kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi secara wajar, baik
kebutuhan fisik, mental (Depsos, 2007). Kondisi tersebut menyebabkan anak
tidak dapat berkembang secara wajar seperti anak pada umumnya. Banyak anak
terlantar disebabkan oleh ketidakberdayaan (powerless). Ketidakberdayaan
terjadi karena memiliki kelemahan dalam aspek pengetahuan, pengalaman, sikap,
keterampilan, modal usaha, networking, semangat, kerja keras, ketekunan dan
aspek lainnya, dari kelemahan tadi mengakibatkan ketergantungan dan miskin
(Anwas, 2013: 48).

Meskipun kemiskinan bukan satu-satunya penyebab anak terlantar, akan


tetapi kemiskinan merupakan sumber masalah yang kompleks bagi keluarga
miskin. Pada dasarnya kompleksitas permasalahan anak terlantar disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain: 1) konflik keluarga; 2) anak terlantar yang
mengalami masalah dalam sistem pengasuhan seperti yang dialami anak yatim
piatu, anak yatim, anak piatu, anak dari orang tua tunnggal, anak dengan ayah
atau ibu tiri, anak dari keluarga kawin muda dan tidak diketahui asal usulnya; 3)
anak yang mengalami masalah dalam cara pengasuhan seperti anak yang
mengalami tindakan kekerasan baik fisik, sosial maupun psikologis; 4) anak yang
kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi seperti kurang gizi dan tidak bersekolah
(kemiskinan) (Rusmiyati, 2008).

Anak-anak terlantar juga termasuk dalam kategori Penyandang Masalah


Kesejahteraan Sosial (PMKS). PMKS tidak hanya dialami oleh penduduk dewasa
saja, anak-anak yang akibatkan oleh tekanan kemiskinan maupun masalah
keluarga menjadikan mereka tidak memperoleh kesempatan untuk tumbuh dan
berkembang secara wajar serta hak-hak yang tidak terpenuhi. Di Indonesia anak
terlantar memiliki presentase terbesar dalam kategori PMKS yang dialami anak-
anak. Pada tahun 2013 presentase anak terlantar di Indonesia mencapai 78,9%
atau 5,4 juta anak, bayi terlantar sebesar 1,2 juta anak (17,6%), anak jalanan
230.000 anak (3,4 %) sementara anak berhadapan dengan hukum 5.952 anak
(0,09%) (Sari, 2015). Hal tersebut menunjukkan bahwa penelantaran anak
disetiap daerah di Indonesia masih besar jumlahnya.

Di Jawa Tengah jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)


kini mulai berkurang setiap tahunnya. Namun dari kemajuan tersebut belum
semua anak terlantar ditangani oleh pihak pemerintah Provinsi, kenyataan di
lapangan masih banyak anak yang mengalami keterlantaran dan membutuhkan
perlindungan dari negara. Hingga tahun 2014 jumlah Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) sebanyak 4.468.605 jiwa (13,43%) dari jumlah
penduduk di Jawa Tengah sebesar 33.264.339 jiwa. Dari hasil rekapitulasi tahun
2014 tercatat: Anak Balita Terlantar (ABT) sebanyak 25.599 (0,57%); Anak
Terlantar (AT) sebanyak 66.565 anak (1,49%); Anak Bermasalah dengan Hukum
(ABH) sebanyak 1.567 (0,035%); Anak Jalanan (AJ) sebanyak 3.477 jiwa
(0,077%); Anak dengan Kedisabilitasan (ADK) sebanyak 44.085 jiwa (0,98%);
Anak yang menjadi Korban Tindak Kekerasan sebanyak 834 jiwa (0,018%);
Anak yang memerlukan Perlindungan Khusus sebanyak 753 jiwa (0,017%);
Lanjut Usia Terlantar (LUT) sebanyak 158.798 jiwa (3,55%); Penyandang
Disabilitas sebanyak 130.342 jiwa (2,93%); Tuna Susila sebanyak 3.134 jiwa
(0,070%); Gelandangan sebanyak 1.045 jiwa (0,023%); Pengemis sebanyak
3.272 jiwa (0,073%); Pemulung sebanyak 5.694 jiwa (0,13%); Kelompok
Minoritas sebanyak 436 jiwa (0,0097%) dari presentase jumlah PMKS sebanyak
4.468.605 jiwa di Indonesia (JDA tahun 2014).

Besarnya presentase anak terlantar di Jawa Tengah tentu berdampak juga


terhadap masa depan negara. Karena semakin banyak anak terlantar maka
cenderung semakin besar kontribusi negatif terhadap masa depan negara. Seorang
anak yang seharusnya menjalani pendidikan dasar menjadi terhambat ketika
mereka diterlantarkan oleh keluarga dan negara tidak membantu dalam upaya
pencegahan anak terlantar. Jika hal tersebut hingga kini masih dibiarkan, maka
Indonesia tidak akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.
Terlebih lagi persaingan global yang semakin tinggi memerlukan SDM yang
mempuni untuk kedepannya.

Perlu adanya upaya untuk mengentaskan persoalan anak terlantar di


Indonesia. Ketidakberdayaan (powerless) menjadi penyebab mereka terlantar.
Anak terlantar memiliki banyak kekurangan baik dari segi ekonomi maupun
pendidikan, mereka juga tidak mempunyai kemampuan untuk mengembangkan
diri karena ketidakberdayaan mereka. Sehingga pemerintah harus ikut andil dalam
upaya pemberdayaan bagi anak terlantar. Upaya pemberdayaan memerlukan suatu
mekanisme pengaturan (kebijakan) yang adil yang memungkinkan semua orang
memiliki kesempatan sama (equality of opportunity) terhadap sumber-sumber
(resources) yang menjadi hajat hidup warga negara Indonesia (Munandar: 2008).
Hal tersebut perlu dilakukan agar anak mampu memperbaiki dan membangun
kehidupannya secara mandiri dan meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik.

Anak terlantar memerlukan perhatian khusus baik dari pihak keluarga,


masyarakat bahkan pemerintah juga harus mampu memberikan pelayanan sosial
terbaik bagi anak-anak tersebut. Adanya pelayanan kesejahteraan sosial yang
dilaksanakan secara langsung dan terorganisasi bertujuan membantu penyesuaian
individu atau kelompok dengan lingkungan sosialnya sehingga mereka mampu
menjalankan fungsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat (Febrianti, 2014).
Dinas Sosial melalui pelayanan kesejahteraan sosial seharusnya mampu
mengurangi tingginya jumlah anak terlantar di Jawa Tengah. Akan tetapi
penurunan presentase anak terlantar hingga kini belum signifikan, oleh sebab itu
kinerja dari pihak pelayanan sosial harus ditingkatkan seiring kewajiban negara
melindungi dan memberi jaminan atas hak-hak yang berhak mereka peroleh.

Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang


perlindungan anak menegaskan bahwa anak berhak atas perlindungan negara.
Pada pasal 3 berbunyi:

“Perlindugan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak


agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berkahlak mulia, dan sejahtera”.

Kunci utama dalam pencegahan anak terlantar terlebih utama adalah melalui
penyadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan hak-hak anak. Namun
terkadang hal tersebut tidak sesuai dengan harapan, karena sudut pandang dan
keadaan setiap masyarakat berbeda-beda. Sehingga pemerintah berkewajiban
memberi jaminan pelayanan sosial kepada anak-anak terlantar sebagaimana yang
tertera dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 bahwa:
“Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan”.
Kepedulian tersebut juga dilakukan pemerintah yang ditujukan termasuk
bagi anak terlantar di Indonesia. Dapat dilihat melalui keberadaan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak, pada Pasal 8
menyatakan bahwa:

“Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial


sesuai dengan kebutuhan fifik, mental, spiritual, dan sosial”.
Penanganan anak terlantar dilakukan melalui pelayanan sosial yang berada
disetiap provinsi di Indonesia. Di Jawa Tengah, Dinas Soaial Provinsi Jawa
Tengah memiliki 13 Baresos (Balai Rehabilitasi Sosial) bagi anak terlantar. Salah
satunya yaitu Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II” yang terletak
di Kabupaten Kendal, sekaligus menjadi bentuk kepedulian pemerintah terhadap
anak-anak terlantar di Indonesia.

Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II” merupakan salah
satu unit pelayanan sosial asuhan untuk anak terlantar di Jawa Tengah yang
dinaungi oleh pihak Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah. Unit pelayanan sosial
asuhan anak ini berada di Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. Di sana sebagian
besar anak-anak terlantar berasal dari keluarga tidak mampu dan orang tua yang
tidak lengkap. Sehingga, anggota keluarganya tidak memiliki kemampuan yang
memadai untuk menjamin terwujudnya hak-hak anak. Hal tersebut membuat
kebutuhan dan tumbuh kembang anak tidak tercukupi, baik dalam kebutuhan
hidup, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Guna mewujudkan kesejahteraan
anak, maka Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah melalui Unit Pelayanan Sosial
Asuhan Anak “Pamardi Siwi II” mempunyai misi mewujudkan kemandirian
dalam membangun kesejahteraan sosial bagi anak terlantar dengan suatu lembaga
pemerintah yang bertanggungjawab untuk menyelenggarakan alternatif
pengasuhan anak, perlindungan dan pelayanan sosial bagi anak selain orang tua/
keluarganya.
Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II” menangani lima
puluh anak terlantar dengan jenis kelamin perempuan. Anak terlantar yang
ditangani berusia tujuh hingga delapan belas tahun. Disana mereka memperoleh
bimbingan dari pihak pelayanan sosial. Bimbingan tersebut berupa keterampilan
dan pengetahuan yang dapat memberdayakan mereka. Pemberdayaan tersebut
dilakukan baik dalam bidang pendidikan maupun pelatihan keterampilan. Dalam
bidang pendidikan mereka memperoleh pendidikan formal melalui bangku
sekolah sedangkan pelatihan keterampilan melalui program ekstrakurikuler. Hal
tersebut menunjukkan perlu adanya peranan dari unit pelayanan sosial dalam
proses pemberdayaan bagi anak terlantar.

Pemberdayaan yang dilakukan tersebut bertujuan untuk memberikan


kemandirian serta kemampuan untuk hidup dalam masyarakat. Sehingga ketika
mereka keluar dari Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II” mereka
telah mendapatkan bekal untuk masa depan mereka. Berdasarkan latar belakang
tersebut, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai “Peranan Unit
Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II” dalam Upaya
Pemberdayaan Anak Terlantar di Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal”.

C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peranan Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi
II” dalam upaya pemberdayaan anak terlantar di Kecamatan Weleri
Kabupaten Kendal?
2. Faktor apa saja yang menjadi penghambat dan pendorong bagi Unit
Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II” dalam upaya
pemberdayaan anak terlantar di Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal?
3. Bagaimana hasil dari pemberdayaan kepada anak terlantar yang
dilakukan Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II” di
Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal?
D. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui peranan Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak
“Pamardi Siwi II” dalam upaya pemberdayaan anak terlantar di
Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal
2. Untuk mengetahui faktor penghambat dan pendorong Unit Pelayanan
Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II” dalam uapaya pemberdayaan
anak terlantar di Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal
3. Untuk mengetahui hasil dari pemberdayaan kepada anak terlantar yang
dilakukan Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II” di
Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal

E. MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu sosial.
b. Dapat menjadi bahan acuan dalam penelitian sejenis atau sebagai
pengembangan apabila akan dilakukan penelitian lanjutan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi penulis, sebagai media transfornasi ilmu yang diperoleh di
bangku kuliah guna menambah wawasan ilmu pengetahuan dan
pengalaman terutama dalam upaya pemberdayaan anak terlantar.
b. Bagi instansi terkait penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran yang digunakan dalam upaya peningkatan
pemberdayaan anak terlantar di Unit Pelayanan Sosial “Pamardi
Siwi II” Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal.
c. Bagi masyarakat diharapkan dapat menyadari pentingnya
pemenuhan hak-hak dan kebutuhan dasar bagi anak.
F. BATASAN ISTILAH
1. Peranan
Peranan (role) merupakan aspek dinamis keududukan (status).
Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peranan (Soekanto: 2012)
Pada pembahasan ini peranan yang diteliti adalah peranan dari Unit
Pelayanan Sosial “Pamardi Siwi II” yang menjalankan tugasnya dalam
melakukan proses pemberdayaan bagi anak terlantar.
2. Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II”
Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak adalah pelayanan kesejahteraan
sosial anak berbasis masyarakat yang memberikan perlindungan,
bimbingan dan pembinaan baik fisik, mental, dan sosial, serta
keterampilan kepada anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan
berpartisipasi secara wajar (Departemen Sosial RI, 2005).
Dalam penilitian ini unit pelayanan sosial asuhan anak yang
dimaksud adalah Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II”
sebagai unit pelaksana teknis dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah yang
menampung anak-anak terlantar, berlokasi di Penyangkringan Kecamatan
Weleri Kabupaten Kendal.
3. Pemberdayaan
Menurut Djohani (dalam Anwas, 2013:49) pemberdayaan adalah
suatu proses untuk memberikan daya atau kekuasaan (power) kepada
pihak yang lemah (powerless), dan mengurangi kekuasaan
(disempowered) kepada pihak yang yang berkuasa (powerfull) sehingga
terjadi keseimbangan.
Pemberdayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses
pendidikan yang diberikan Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi
Siwi II” kepada anak terlantar agar memperoleh bekal hidup dan
kemandirian untuk membangun dirinya dimasa depan.
4. Anak Terlantar
Anak terlantar merupakan anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya
secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial (Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
Anak terlantar dalam penelitian ini adalah anak terlantar yang berada
di dalam Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II”
Kecamatan Weleri, Kabupaten Kendal.

G. LANDASAN TEORI
1. Peranan
Peran selalu melekat pada diri manusia, dimana seseorang
mempunyai kedudukan dia akan menjalankan sebuah peranan. Seperti
yang diungkapkan dalam Soekanto (2012: 212) bahwa peranan (role)
merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang
melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka
dia menjalankan suatu peranan.

Menurut pendapat Bruce J Cohen (1992:76) menyatakan bahwa


peranan adalah suatu perilaku yang diharapkan oleh orang lain dari
seseorang yang menduduki status tertentu. Sehingga peranan menentukan
apa yang diperbuat individu bagi masyarakat tersebut serta timbal balik
masyarakat kepadanya.

Peranan menurut Levinson yang dikutip dalam Soekanto (2012: 213)


mencakup tiga hal, yaitu:
a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan
rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam
kehidupan kemasyarakatan.
b. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan
oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting
bagi struktur sosial masyarakat.
Menurut Narwoko dan Suyanto (2006:160) peran mempunyai fungsi
antara lain:
1. Memberi arah pada proses sosialisasi;
2. Pewarisan tradisi, kepercayaan, nilai-nilai, norma dan pengetahuan;
3. Dapat mempersatukan kelompok atau masyarakat;
4. Menghidupkan sistem pengendali dan kontrol sehingga dapat
melestarikan kehidupan masyarakat.
Peranan sosial dalam masyarakat dapat diklasifikasikan bermacam-
macam cara sesuai dengan banyaknya sudut pandang. Berdasarkan
pelaksanaannya peranan sosial dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Peranan yang diharapkan (expected roles), yaitu cara yang ideal dalam
pelaksanaan peranan menurut penilaian masyarakat. Masyarakat
menghendaki peranan yang diharapkan dilaksanakan secara cermat dan
tidak dapat ditawar sehingga peranan harus dilaksanakan seperti yang
ditentukan.
2. Peranan yang disesuaikan (actual roles), yaitu cara bagaimana
sebenarnya peranan itu dijalankan. Pelaksanaan peranan ini dapat
disesuaikan situasi dan kondisi tertentu. Peranan yang disesuaikan
mungkin tidak cocok dengan situasi, tetapi kekurangan yang muncul
dapat dianggap wajar oleh masyarakat (Hendropuspito dalam Narwoko
2006: 160).

Dari pendapat dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa peran
merupakan aspek dinamis dari tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh
seseorang maupun badan atau lembaga dalam sebuah sistem sosial yang
mempunyai posisi atau menempati kedudukan. Dalam melaksanakan
peranan terkadang dilakukan dengan cara yang ideal atau menurut
kehendak masyarakat terkadang peranan juga dapat dijalankan sesuai
situasi tertentu atau fleksibel.

Pada penelitian ini yang dimaksud adalah peranan dari Unit


Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II” Kendal dalam
melakukan pemberdayaan kepada penerima manfaat atau anak terlantar
melalui berbagai kegiatan. Peran yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah peran baik dari pekerja sosial, pengasuh dan staff yang berada di
sana.

Menurut Dubois & Miley, Higham, dan Zastrow (dalam Alamsyah,


2015: 15) pekerja sosial menjalankan berbagai peran diantaranya sebagai
konsultan yang membantu klien melalui aktivitas konsultasi; konselor yang
memberikan layanan konseling atau terapi psikis; pemberdaya yaitu
memberdayakan semangat mengatasi masalah sendiri sesuai potensi
(kapasitas dan kapabilitas) dan sumber yang diri mereka miliki; fasilitator
yang membantu memfasilitasi klien dan sistem klien dengan menyediakan
informasi dan dukungan sistem pelayanan dengan strategi pengembangan
pengorganisasian; dan sebagai perencana yaitu membantu sistem klien
dengan menentukan tujuan-tujuan, kebijakan, dan menentukan prosedur
(tentang kebutuhan) sosial atau ekonomi secara efektif kepada masyarakat.

2. Pelayanan Sosial Asuhan Anak


a. Definisi Pelayanan Sosial Asuhan Anak
Menurut Adi (2013: 107) layanan sosial (social services) pada
dasarnya merupakan suatu program atau kegiatan yang didesain secara
konkret untuk menjawab masalah, kebutuhan masyarakat atau pun
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Layanan sosial dapat ditujukan
pada individu, keluarga, kelompok dalam komunitas maupun komunitas
sebagai kesatuan.
Alfred J. Khan (dalam Kayo, 2008: 22) mendefinisikan bahwa
pelayanan sosial terdiri atas program-program yang diadakan tanpa
mempertimbangkan kriteria pasar untuk menjamin suatu tingkatan dalam
penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan akan kesehatan, pendidikan,
dan kesejahteraan, untuk meningkatkan kehidupan bermasyarakat serta
kemampuan perorangan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya, untuk
memperlancar kemampuan menjangkau dan menggunakan pelayanan-
pelayanan serta lembaga-lembaga yang sudah ada dan membantu warga
masyarakat yang mengalami kesulitan dan keterlantaran.
Ada dua konsep mengenai pelayanan sosial yakni:
1. Konsep pelayanan sosial berhubungan dengan pemecahan masalah-
masalah sosial dengan upaya membantu penyesuaian dan rehabilitasi
perorangan dan keluarga terhadap nilai-nilai dan norma-norma
masyarakat.
2. Konsep pelayanan sosial sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan
tertentu didalam masyarakat tanpa mempertimbangkan nilai tentang
perorangan maupun keluarga, tanpa memperhatikan apakah mereka
mengalami masalah sosial atau tidak (M. Titmuss dalam Kayo, 2008:
31).

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pelayanan sosial


merupakan suatu kegaiatan yang terdiri atas program-program yang dibuat
untuk menjawab suatu permasalahan-permasalahan sosial serta menjamin
pemenuhan kebutuhan akan kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan
untuk meningkatkan kemampuan baik individu, kelompok maupun
komunitas yang mengalami kesulitan.

Pelayanan sosial pada anak terbagi menjadi dua jalur yaitu pelayanan
berbasis panti dan pelayanan berbasis luar panti. Pelayanan berbasis panti
merupakan pilihan terakhir jika keluarga dan masyarakat tidak dapat
mengasuh anak degan baik sehingga harus diasuh di panti. Sedangkan
pelayanan sosial luar panti merupakan pelayanan dari pemerintah untuk
mendukung keluarga, sistem kekerabatan dan masyarakat agar mampu
memberikan pelayanan kepada anak sekaligus mencegah anak dikirim ke
panti (Depsos, 2005: 17).
Menurut Depsos (2005: 6) pelayanan sosial anak terlantar dalam
panti adalah sistem pelayanan yang diselenggarakn melalui basis dalam
panti yang terbuka, berupa kelembagaan dan masyarakat yang bertugas
memberikan perlindungan, bimbingan dan pembinaan fisik, mental, dan
sosial kepada anak agar dapat hidup, tumbuh kembang dan berpatisipasi
wajar.
Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) adalah suatu lembaga pemerintah
atau swasta yang bertanggungjawab untuk menyelenggarakan alternatif
pengasuhan anak, perlindungan dan pelayanan sosial bagi anak selain
orang tua/ keluarganya (Depsos, 2007).
b. Tujuan Pelayanan Sosial
Kesejahteraan sosial tidak akan tercapai tanpa adanya organisasi
yang menyediakan usaha kesejahteraan tersebut. Organisasi yang
menyedikan layanan sosial adalah organisasi pelayanan kemanusiaan
(human service organsation) atau disingkat HSO. HSO mempunyai
cakupan lebih luas dibanding organisasi sosial yang dikenal di Indonesia,
karena HSO bisa merupakan organisasi pemerintah, organisasi non
pemerintah yang memperhatikan masalah kesejahteraan seperti prostitusi,
anak jalanan, tuna netra, tuna rungu, dan tuna grahita (Adi, 2013: 107-
108).
Menurut Schneiderman (dalam Adi, 2013: 108-110) ada tiga tujuan
adanya pelayanan sosial yaitu:
1. Tujuan Kemanusiaan dan Keadilan Sosial (Humanitarian and Social
Justice Goal)
Layanan sosial diarahkan pada upaya pengidentifikasian kelompok
yang paling tidak mendapatkan perhatian, kelompok yang
diterlantarkan, kelompok yang paling tergantung terhadap pihak lain
ataupun kelompok yang kurang diuntungkan dalam usaha
kesejahteraan sosial yang menjadikan mereka sasaran dalam upaya
menjembatani kelangkaan sumber daya yang mereka miliki.
2. Tujuan yang Terkait dengan Pengendalian Sosial (Social Control Goal)
Tujuan pelayanan sosial ini untuk menghindari ‘ancaman’ dari
kelompok yang tidak diuntungkan atau kekurangan sehingga mereka
yang mapan ‘mengamankan’ diri dari sesuatu yang dapat mengancam
kehidupan, pemilikan maupun stabilitas yang sudah berjalan. Seperti
perusahaan multinasional yang mengalokasikan sebagian kecil
anggarannya untuk memberikan bantuan keuangan kepada masyarakat
sekitar lokasi.
3. Tujuan yang Terkait dengan Pembangunan Ekonomi (Economic
Development Goal)
Tujuan pembangunan ekonomi memprioritaskan pada program
yang dirancang untuk meningkatkan produksi barag, jasa, serta berbagai
sumber daya yang dapat menunjang dan memberikan sumbangan pada
pembagunan ekonomi. Beberapa contoh layanan sosial yang searah
dengan tujuan pembangunan ekonomi diantaranya: a) layanan sosial
yang secara langsung memberikan sumbangan terhadap peningkatan
produktivitas individu, kelompok, atau masyarakat, b) layanan sosial
yang berupaya mencegah atau meminimalisir hambatan (beban) akibat
adanya ‘tanggungan’ dari pekerja dewasa melalui tempat penitipan
anak, panti werdha, pusat rehabilitasi dan sebagainya, c) layanan sosial
yang mencegah atau melawan pengaruh buruk dari urbanisasi dan
industrialisasi terhadap kehidupan keluarga dan masyarakat, serta
membantu mengidentifikasikan dan mengembangkan kepemimpinan
lokal dalam komunitas.
c. Muatan Program Pelayanan Sosial
Alfred J. Khan (dalam Kayo, 2008: 32) menyatakan bahwa program
pelayanan sosial ditujukan untuk:
1. Melindungi atau memulihkan kehidupan keluarga.
2. Membantu perorangan untuk mengatasi masalah-masalah yang
diakibatkan faktor-faktor dari luar maupun dalam dirinya.
3. Meningkatkan proses perkembangan serta kemampuan orang untuk
memahami, menjangkau dan menggunakan pelayanan-pelayanan yang
tersedia melalui pemberian informasi, bimbingan, perwakilan
kepentingan dan bantuan-bantuan nyata dalam berbagai bentuknya yang
lain.
Sementara itu fungsi dari penanganan anak terlantar melalui
pelayanan sosial asuhan anak menurut Depsos (2007, 15- 16) yaitu:

1. Substitutif
Fungsi lembaga sebagai pengganti peran orang tua bagi anak-anak
yang tidak lagi mempunyai orang tua/ keluarga. Fugsi pengganti bagi
pengasuh bersifat menetap dan sementara sampai orang tua/keluarganya
dinyatakan mampu untuk mengasuh anak mereka.
2. Suplementer
Pengananganan anak terlantar berfungsi sebagai suplementer atau
pelengkap penanganan permasalahan anak terlantar di masyarakat
(pencegahan) yang dilakukan oleh keluarga maupun masyarakat, antara
lain:
a. Panti dapat merumuskan rencana kerja yang bersifat melakukan
penyembuhan penyakit sosial khususnya yang dialami anak
terlantar.
b. Anak-anak terlantar dapat melaksanakan bakti sosial di
lingkungannya untuk meningkatkan ikatan yang kuat terhadap anak
terlantar sebagai bagian dari masyarakat.
c. Panti menyediakan akses bagi anak, sehingga kebutuhan anak
dapat tersalurkan.
c. Pendekatan Pelayanan Sosial
Depsos (2005: 24) menyebutkan ada empat pendekatan dalam
pelayanan sosial berdasarkan basis pelayanan antara lain:
1) Pelayanan berbasis panti, yaitu penanganan anak yang dilakukan
panti dengan memusatkan pada usaha pelayanan kesejahteraan
anak terlantar sebagai pengganti fungsi keluarga.
2) Pelayanan berbasis keluarga, yaitu penanganan anak terlantar yang
dilakukan oleh anggota keluarga dalam kerangka pelayanan yang
telah disusun bersama pekerja sosial di panti.
3) Pelayanan berbasis masyarakat, yaitu penanganan anak terlantar
yang dilakukan oleh masyarakat dalam kerangka program
pelayanan yang telah disusun bersama pekerja sosial di panti.
4) Pelayanan berbasis sekolah adalah penangan anak terlantar yang
dilakukan pihak sekolah dalam dalam kerangka program pelayanan
yang telah disusun bersama pekerja sosial di panti.
Pada penelitian ini menggunakan pendekatan berbasis panti. Dimana
penanganan anak terlantar dilakukan panti melalui penyediaan fasilitas
asrama dan bentuk pengasuhan bagi anak terlantar.
d. Strategi Pelayanan Sosial
Menurut Depsos (2005: 28) strategi yang dilakukan dalam pelayanan
anak terlantar diantaranya:
1) Pemberdayaan sosial yakni pemberian kepercayaan dan peluang
kepada keluarga, masyarakat, dan dunia usaha untuk mencegah dan
mengatasi masalah yang ada di lingkungannya.
2) Kemitraan sosial yakni adanya kerjasama, sistem informasi, dan
pelayanan sosial yang mengembangkan kemanfaatan timbal balik.
3) Partisipasi sosial yakni adanya prakarsa dan peranan dari penerima
pelayanan dan lingkungan sosialnya dalam pengambilan keputusan
serta melakukan pilihan terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan
sosial anak.
4) Advokasi sosial yakni adanya upaya-upaya mendukung, membela,
dan melindungi penyandang maslah, keluarga serta masyarakat
sehingga dapat melakukan tindakan yang menolong mereka untuk
memenuhi kesejahteraan sosialnya.
Adapun proses penangan baik dalam lingkup pelayanan, pengasuhan
maupun perlindungan di pelyanan sosial asuhan anak dijabarkan dalam
enam tahap yaitu pendekatan awal, pengkajian kebutuhan anak,
pentusunan rencana kerja, pelaksanaan penanaganan, review, dan pasca
penanganan.

1. Pendekatan awal, merupakan tahap dimana anak sebagai calon


anak asuh di panti. Pendekatan awal dilakukan dengan cara
mengidentifikasi calon anak asuh, kunjungan kepada orang tua/
keluarga untuk memastikan bahwa calon anak asuh sesuai dengan
keriteria panti, panti melakukan seleksi, penandatanganan
kontrak,dan penjelasan kepada anak mengenai situasi kondisi panti.
2. Pemahaman kebutuhan anak merupakan tahap untuk mendalami
kebutuha anak baik dilakukan dengan secara individual maupun
kelompok.
3. Rencana penanganan kasus, disusun untuk mempermudah
pengurus dalam merancang dan melaksanakan penanganan yang
bersifat perlindungan, pengasuhan, dan pelayanan.
4. Pelaksanaan penanganan merupakan proses yang harus dijalani
sesuai dengan rencana penanganan yang telah disusun sebelumnya.
5. Review merupakan tahap untuk mengkaji kembali hasil-hasil
penanganan yang telah dilaksanakan berdasarkan tujuan yang
tercantum.
6. Pasca pelayanan, merupakan tahap akhir pelayanan dan ia akan
meninggalkan panti. Dilakukan dengan penyiapan prosedur
pengakhiran, penyediaan dukungan untuk memandirikan anak,
memberi rujukan dan monitoring terhadap anak setelah
meninggalkan panti (Depsos, 2007: 29-38).

3. Pemberdayaan
a. Definisi Pemberdayaan
Istilah pemberdayaan berasal dari kata “daya” yang berarti kekuatan,
sehingga pemberdayaan berarti upaya untuk memperoleh kekuatan.
Konsep ini terlahir dari perkembangan pikiran masyarakat dan kebudayaan
Eropa yang muncul pada dekade 70-an yang berkembang terus saat ini.
Secara historis, empowerment pada masyarakat Eropa modern merupakan
suatu aksi emansipasi dan liberasi manusia dari totaliterisme keagamaan.
Emansipasi dan liberalisasi terhadap segala kekuasaan dan penguasaan
inilah yang kemudian menjadi substansi dari pemberdayaan (Priyono dan
Pranaka dalam Widiastuti, 2015: 169).
Kata pemberdayaan (empowerment) populer di Indonesia setelah
rezim Orde Baru tumbang. Istilah pemberdayaan dipakai sebagai kata
ganti ‘pembangunan’ pada rezim orde baru untuk melakukan perubahan
terutama dalam bidang ekonomi. Setelah orde baru ditingalkan kemudian
diganti prinsip-prinsip baru yang diyakini dapat meningkatkan
kesejahteran yaitu dengan pemberdayaan (Usman, 2015: 50-51).
Menurut Usman (2015: 51-52) ada tiga hal penting yang terendap
dalam definisi pemberdayaan yang diungkapkan Narayan. Pertama,
pemberdayaan menekankan ekspansi aset dan kemampuan kelompok
miskin sehingga pemberdayaan berusaha memperluas kemampuan
tersebut. Kedua, perluasan aset dan kemampuan tersebut dilakukan melalui
mekanisme atau sistem delivery yang bersifat konstruktif (membangun),
bukan untuk kepentingan yang bersifat distruktif (merusak). Ketiga, fokus
pemberdayaan adalah kelompok miskin yang memiliki keterbatasan akses
pada sumber daya (resources) ekonomi dan politik.
Disamping itu, pemberdayaan berkembang dari kenyataan individu
maupun masyarakat yang tidak berdaya (powerless). Menurut Anwas
(2013: 48) pemberdayaan (empowerment) merupakan konsep yang
berkaitan dengan kekuasaaan (power), dimana kekuasaan identik dengan
kemampuan individu untuk membuat dirinya atau pihak lain melakukan
apa yang diinginkannya.
Bertolak dari pengertian di atas, maka pemberdayaan dimaknani
sebagai proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan dari
pihak yang mempunyai daya kepada pihak yang belum berdaya
(Widjayanti: 2011).
Menurut Munandar (2008) pemberdayaan (empowerment) diartikan
sebagai pemberian atau peningkatan kekuasaan (power) kepada
masyarakat lemah ataupun tidak beruntung (disadvantage).
Menurut Djohani (dalam Anwas, 2013:49) pemberdayaan
merupakan proses memberikan daya/ kekuasaan (power) kepada pihak
yang lemah (powerless) dan mengurangi kekuasaan (disempowered)
kepada pihak yang terlalu berkuasa (powerfull) sehingga terjadi
keseimbangan. Untuk memperoleh keseimbangan tersebut perlu adanya
pembagian kekuasaan. Dimana pembagian kekuasaan yang adil dapat
meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang lemah serta
memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil pembangunan
(Paul dalam Widiastuti, 2015:169).
Pemberdayaan merupakan upaya pemanusiaan, yang bertujuan untuk
menguatkan diri dari ketidakberdayaan manusia. Menurut Priyono dan
Pranarka yang dikutip dari Widiastuti (2015), pemberdayaan mempunyai
dua makna, yakni:
a. Mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat
posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-
kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan.
b. Melindungi, membela dan berpihak kepada yang lemah untuk
mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan terjadinya
eksploitasi terhadap yang lemah.

Proses pemberdayaan (empowerment) ditujukan untuk membantu


klien memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan tindakan
yang ingin dia lakukan terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi
efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini
dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk
menggunakan daya yang dimiliki melalui transfer daya dari
lingkungannya. (Payne dalam Nasdian 2015:89-90).
Dari pemahaman di atas, maka garis besar pemberdayaan
mengandung dua elemen, yaitu:
a. to give ability or enable to, yakni upaya untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat melalui pelaksanaan berbagai kebijakan dan
program-program pembangunan agar kondisi kehidupan masyarakat
mencapai tingkat kemampuan yang diharapkan;
b. to give power or authority to, yakni memberi kekuasaan,
mendelegasikan otoritas kepada masyarakat agar mereka memiliki
kemandirian dalam pengambilan keputusan untuk membangun diri
dan lingkungannya secara mandiri (Departemen dalam Negeri, 2009).
Namun disisi lain pemberdayaan bukan sekedar memberikan
kewenangan dan kekuasaan kepada yang lemah. Di dalam pemberdayaan
terkandung proses pendidikan dalam meningkatkan kualitas individu,
kelompok, atau masyarakat sehingga mereka mampu berdaya, memiliki
daya saing dan mampu hidup sendiri. Menurut Anwas (2013)
pemberdayaan bermakna sebagai dorongan, motivasi, bimbingan dan
pendampingan dalam meningkatkan kemampuan individu ataupun
masyarakat untuk mampu mandiri
Menurut Parsons (dalam Anwas, 2013:49) pemberdayaan
menekankan untuk seseorang memperoleh keterampilan, pengetahuan dan
kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan
orang lain.
Pemberdayaan juga dapat bermakna sebagai upaya peningkatan
harkat dan martabat individu. Menurut Pranarka dan Muljarto (dalam
Anwas, 2013) mendefinisikan pemberdayaan sebagai suatu upaya untuk
membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, pemerintah,
negara, dan tata nilai dalam kerangka proses aktualisasi kemanusiaan yang
adil dan beradab yang hidup diberbagai kehidupan politik, hukum,
pendidikan, dan sebagainya.
Pada intinya pemberdayaan adalah proses dimana individu,
organisasi, atau kelompok yang dalam keadaan tidak berdaya (powerless)
menjadi sadar dan tahu (having knowledge) akan dinamika kekuasaan
yang bekerja dalam konteks kehidupan mereka, membangun keterampilan
menjalankan kontrol tanpa mengganggu hak-hak orang lain dan
mendukung upaya pemberdayaan (individu atau kelompok) lain dalam
masyarakat (Jo Rowldan dalam Widiastuti: 2015).
Dari pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
pemberdayaan adalah proses pemberian daya (power) kepada pihak yang
lemah (powerless) dalam upaya mengembangkan kemampuan dan
memandirikan individu atau kelompok sehingga mereka mampu
membangun dirinya dan memperbaiki kehidupannya sendiri.
b. Tahap-Tahap Pemberdayaan
Pemberdayaan individu atau kelompok dilakukan melalaui beberapa
tahapan. Menurut Moh Ali Azis (dalam Widiastuti, 2015: 13) terdapat
enam tahapan yang harus dilakukan dalam pemberdayaan, yakni:
1. Membantu masyarakat dalam menemukan masalah.
2. Melakukan analisis (kajian) terhadap permasalahan tersebut secara
mandiri (partisipatif).
3. Menentukan skala prioritas masalah, dalam arti memilah dan memilih
masalah yang paling mendesak untuk diselesaikan.
4. Mencari cara penyelesaian masalah yang dihadapi, antara lain dengan
pendekatan sosio-kultural yang ada dalam masyarakat.
5. Melaksanakan tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah yang
sedang dihadapi.
6. Mengevaluasi seluruh rangkaian dan proses pemberdayaan itu untuk
dinilai sejauh mana keberhasilan dan kegagalannya.
Pedoman Umum Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Tahun 2009
menjelaskan setidaknya ada tiga aspek pokok yang dilakukan dalam proses
pemberdayaan, yaitu:
1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya
potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (enabling). Untuk itu,
pemberdayaan sebagai upaya untuk mendorong (to encourage),
memotivasi (to motivate), dan membangkitkan kesadaran (to awake
the awareness) akan potensi sumber daya yang dimilikinya dan
mengembangkan secara produktif.
2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
(empowering). Upaya ini dilakukan dengan pemberian input, berupa
bantuan dana, pembangunan sarana dan prasarana pendukung baik
fisik (jalan, listrik) maupun sosial (sekolah, kesehatan), serta
kemudahan akses dan berbagai peluang (opportunities) yang akan
membuat masyarakat menjadi semakin berdaya.
3. Melindungi masyarakat melalui pemihakan kepada masyarakat yang
lemah (pro-poor). Hal ini bertujuan untuk mencegah persaingan yang
tidak seimbang antara kelompok masyarakat yang tidak berdaya
dengan yang kuat.
c. Strategi Pemberdayaan
Pelaksanaan pemberdayaan perlu dilakukan melalui berbagai
pendekatan. Menurut Suharto dalam bukunya Anwas (2013: 87-88)
penerapan pendekatan pemberdayaan dapat dilakukan melalui 5P yaitu:
1) Pemungkinan; menciptakan suasana atau iklim yang memungkin untuk
potensi masyarakat dapat berkembang secara optimal. Karena
pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari kesulitan-
kesulitan kultural dan struktur yang menghambat.
2) Penguatan; memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki
masyarakat untuk dapat memecahkan masalah dan memenuhi
kebutuhannya. Sehingga adanya pemberdayaan mampu
menumbuhkembangkan kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat
yang dapat menunjang kemandirian mereka.
3) Perlindungan; melindungi masyarkat terutama kelompok-kelompok
lemah agar tidak tertindas oleh kelompok yang kuat, menghindari
persaingan tidak seimbang dan mencegah terjadinya eksploitasi.
Sehingga pemberdayaan harus diarahkan kepada penghapusan segaka
deskriminasi dan dominasi yang merugikan rakyat kecil.
4) Penyokongan; memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat
mampu menjalankan peran dan tugas-tugas kehidupannya, sehingga
mereka tidak akan terjatuh dalam keadaan atau posisi yang semakin
lemah dan terpinggirkan.
5) Pemeliharaan; memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi
keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam
masyarakat sehingga mampu menjamin keselarasan setiap orang
memperoleh kesempatan berusaha.
Sedangkan pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan
menurut Munandar (2008) dicapai melalui penerapan strategi
pemberdayaan, dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu:

1) Pendekatan mikro, yaitu pemberdayaan dilakukan terhadap individu


melalui bimbingan, konseling, stress management, maupun intervensi
krisis yang tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih
individu dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini
sering disebut pendekatan yang berpusat pada tugas (task centerd
approach).
2) Pendekatan mezzo, yaitu pemberdayaan dilakukan dengan
menggunakan kelompok sebagai media interversi. Dimana
pendidikan, pelatihan dan dinamika kelompok biasanya digunakan
sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan,
keterampilan dan sikap individu agar memiliki kemampuan untuk
memecahkan permasalahannya.
3) Pendekatan makro, yaitu strategi pendekatan yang sasaran perubahan
diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas seperti perumusan
kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobi,
pengorganisasian dan pengembangan masyarakat. Pendekatan ini
sering disebut strategi sistem besar (large-system strategy).
Disamping itu, Anwas (2013: 90-92) juga mempunyai sebuah
pendekatan dalam upaya pemberdayaan yaitu pendekatan holistik.
Khususnya pada masyarakat di tingkat pedesaan, pedukuhan atau
kelompok masyarakat kecil. Dengan pendekatan ini penanganan satu
masalah perlu dilakukan melalui berbagai aspek yang terkait. Begitu pula
keterlibatan tidak hanya klien/ sasaran, tetapi melibatkan berbagai
kelompok masyarakat yang ada serta memanfaatkan potensi dan sumber
daya yang dimiliki. Salah satu contohnya ketika diupayakan
pemberdayaan dalam sekotor pendidikan pada masyarakat termajinalkan,
maka perlu ditunjang pula oleh sektor lainnya seperti kesehatan, ekonomi,
lingkungan dan budaya. Dengan cara tersebut diharapkan pembangunan
atau pemberdayaan masyarakat dapat dicapai dengan efektif.
d. Prinsip-Prinsip Pemberdayaan
Upaya pemberdayaan baik bagi individu maupun kelompok tentu
dilakukan sesuai prinsip-prinsip pemberdayaan. Hal ini dilakukan oleh
agen pemberdayaan. Beberapa prinsip pemberdayaan menurut Anwas
(2013: 58-60), yaitu:
1) Pemberdayaan dilakukan dengan cara yang demokratis dan
menghindari unsur paksaan karena setiap individu mempunyai hak
yang sama untuk berdaya.
2) Kegiatan pemberdayaan didasarkan pada kebutuhan, masalah, dan
potensi klien/sasaran.
3) Sasaran pemberdayaan adalah subjek atau pelaku dalam kegiatan
pemberdayaan, sehingga sasaran menentukan tujuan, pendekatan dan
bentuk aktivitas pemberdayaan.
4) Pemberdayaan berarti menumbuhkan kembali nilai, budaya dan
kearifan lokal yang memiliki nilai luhur dalam masyarakt.
5) Pemberdayaan merupakan sebuah proses yang memerlukan waktu,
sehingga dilkakukan secara bertahap dan berkesinambungan.
6) Kegiatan pendampingan atau pembinaan perlu dilakukan secara
bijaksana, bertahap, dan berkesinambungan.
7) Pemberdayaan tidak bisa dilakukan dari salah satu aspek saja, tetapi
perlu dilakukan secara holistik terhadap semua aspek kehidupan yang
ada di dalam masyarakat.
8) Pemberdayaan perlu dilakukan pada kaum perempuan terutama
remaja dan ibu-ibu muda sebagai potensi besar dalam mendongkrak
kualitas kehidupan keluarga dan pengentasan kemiskinan.
9) Pemberdayaan dilakukan agar masyarakat memiliki kebiasaan untuk
terus belajar sepanjang hayat (lifelong learning/ education).
10) Pemberdayaan perlu memperhatikan adanya keberagaman budaya.
11) Pemberdayaan diarahkan untuk menggerakkan partisipasi aktif
inidividu dan masyarakat seluas-luasnya.
12) Klien/ sasaran pemberdayaan perlu ditumbuhkan jiwa kewirausahaan
sebagai bekal menuju kemandirian.
13) Agen pemberdayaan atau petugas yang melaksanakan pemberdayaan
perlu memiliki kemampuan (kompetensi) yang cukup, dinamis,
fleksibel dalam bertindak, serta dapat mengikuti perkembangan zaman
dan tuntutan masyarakat.
14) Pemberdayaan perlu melibatkan beberapa pihak yang ada terkait
dalam masyarakat, muali unsur pemerintah, tokoh, guru, kader, ulama,
pengusaha, LSM, relawan, dan anggota masyarakat lain.

4. Anak Terlantar
a. Definisi Anak Terlantar
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyebutkan bahwa:
“Anak Terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya
secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial”.

Sementara Dinas Sosial Republik Indonesia memberikan definisi


bahwa anak terlantar adalah anak-anak yang dikarenakan sebab-sebab
tertentu telah mengakibatkan kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi secara
wajar, baik kebutuhan fisik, mental maupun sosial. Kondisi tersebut
menyebabkan anak tidak dapat berkembang secara wajar seperti anak pada
umumnya.
Febrianti (2014: 72) mengemukakan bahwa anak mengalami
keterlantaran ketika hak-hak anak untuk tumbuh kembang secara wajar,
untuk memperoleh pendidikan yang layak, dan untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang memadai tidak terpenuhi karena kelalaian,
ketidakmengertian orang tua, ketidakmampuan atau kesengajaan.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa anak terlantar
adalah anak-anak yang tidak terpenuhi atas hak-haknya menjadi seorang
anak atau hal yang menjadi kebutuhannya tidak terpenuhi karena
kelalaian, ketidakpahaman ataupun ketidakmampuan keluarga, sehingga
baik kebutuhan fisik, mental maupun sosial anak terabaikan dan tumbuh
kembang mereka menjadi tidak wajar.
b. Faktor Penyebab Anak Terlantar
Pada dasarnya kompleksitas permasalahan anak terlantar disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain: 1) konflik keluarga; 2) anak terlantar
yang mengalami masalah dalam sistem pengasuhan seperti yang dialami
anak yatim piatu, anak yatim, anak piatu, anak dari orang tua tunnggal,
anak dengan ayah atau ibu tiri, anak dari keluarga kawin muda dan tidak
diketahui asal usulnya; 3) anak yang mengalami masalah dalam cara
pengasuhan seperti anak yang mengalami tindakan kekerasan baik fisik,
sosial maupun psikologis; 4) anak yang kebutuhan dasarnya tidak
terpenuhi seperti kurang gizi dan tidak bersekolah (kemiskinan)
(Rusmiyati, 2008).
Menurut Lisyawati (dalam skripsi Febrianti, 2014: 74) ciri-ciri yang
menandai seorang anak dikategorikan terlantar yaitu:
1. Mereka biasanya berusia 5-18 tahun dan merupakan anak yatim, piatu,
atau yatim piatu.
2. Anak terlantar sering disebut juga anak yang lahir dari hubungan seks
di luar nikah dan kemudian tidak diurus oleh mereka karena tidak
mampu baik secara psikologis maupun ekonomi.
3. Anak yang kelahirannya tidak direncanakan atau tidak diinginkan oleh
kedua orang tuanya atau keluarga besarnya sehingga cenderung rawan
diperlakukan salah.
4. Tekanan kemiskinan dan ketidakmampuan orang tua memberikan
fasilitas dan memnuhi kebutuhan anak.
5. Anak berasal dari keluarga broken home, korban perceraian, atau anak
yang hidup di tengah kondisi keluarga bermasalah.
c. Dampak dari Penelantaran Anak
Menurut Barynlik (dalam Gunarso, 2009: 122-126) gambaran
dampak negatif akibat penelantaran anak meliputi: Borderline Personality
Disorder (BPD), social phobia, alcohol dependence, organic brain
dysfunctions, low intelligence quotiens.
1. Borderline Personality Disorder (BPD), merupakan jenis gangguan
kepribadian yang ditandai dengan ketidakstabilan hubungan
interpersonal, ketidakjelasan konsep diri, ketidakstabilan afeksi dan
kecenderungan bertindak impulsif. Anak yang terlantar cenderung
mengalami gangguan seperti cemas dan takut untuk ditinggalkan
sendiri. Suasana hati mereka juga mudah berubah dan tidak mampu
mengendalikan amarah.
2. Social Phobia. Anak yang mengalami keterlantaran dapat mengalami
gangguan fobia sosial karena tidak terbiasa untuk tampil di depan
publik sehingga kondisi tersebut menimbulkan rasa malu.
3. Alcohol Dependence atau Kecanduan Alkohol. Ada kemungkinan
pada anak-anak korban penelantaran untuk kecanduan alkohol. Hal
tersebut karena perilaku mencontoh orang tua maupun teman sebaya.
4. Organic Brain Dysfunctions atau gangguan organis pada otak. Hal ini
mungkin dialami oleh anak yang terlantar karena gangguan bawaan
yang tidak terdeteksi sejak dini akibat keterlantaran, benturan di
kepala yang tidak dipedulikan sehingga terjadi kerusakan otak, dan
keterbatasan atau ketidakseimbangan gizi yang diperoleh anak dalam
pertumbuhan.
5. Low Intelligence Quotiens atau IQ rendah. Ada kemungkinan IQ
rendah di miliki oleh anak yang terlantar karena terjadi hambatan
perkembangan akibat ketidakseimbangan gizi yang mereka peroleh
dan hambatan respon akibat mereka tidak memperoleh cukup
perangsang dalam pengasuhan, serta keterbatasan pengetahuan akibat
keterasingan pendidikan (deprivasi).
H. KAJIAN HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN
Selain menggunakan buku dan jurnal sebagai literatur, penelitian ini
juga merujuk pada penelitian terdahulu yang sesuai dengan permasalahan
yang akan diteliti. Penelitian tersebut dilakukan oleh Fenny Oktaviany (2010)
dan Wahyu Adam Khoerul Anam (2016). Penelitian-penelitian tersebut
memberikan hasil dan teori yang dapat mendukung berbagai kajian sejenis.
Penelitian yang dilakukan oleh Fenny Oktaviany (2010), yang mengkaji
tentang Pemberdayaan Anak Jalanan melalui Program Sekolah Otonom oleh
Sanggar Anak Akar yang berada di Gudang Seng Jakarta Timur.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian tersebut adalah (1) bagaimna
proses pelaksanaan program pemberdayaan melalui Sekolah Otonom di
Sanggar Anak Akbar. (2) apa faktor penghambat dan pendukung yang
dihadapi dalam pelaksanaan program Sekolah Otonom. (3) bagaimana hasil
dari pelaksanaan program pemberdayaan melalui Sekolah Otonom. Pada
penelitian tersebut dikemukakan bahwa Sekolah Otonom di Sanggar Anak
Akar merupakan pendidikan alternatif untuk pemberdayaan anak jalanan.
Pemberdayaan anak jalanan dilakukan melalui dua jenis sekolah yaitu kelas
sekolah otonom yang dilaksanakan mulai dari pukul 08.00 WIB hingga 12.00
WIB, kemudian kelas kreatifitas yang dilaksanakan pukul 15.00 WIB hingga
20.00 WIB. Pelaksanaan kelas sekolah otonom yang hampir sama dengan
sekolah formal pada umumnya sehingga mereka memperoleh pengetahuan
umum selayaknya di sekolah formal. Sedangkan kelas kreatif mereka
mendapatkan pelatihan keterampilan seperti seni rupa, patung, musik,
jurnalistik, lukis, conversation. Hasil dari adanya pemberdayaan anak jalanan
melalui sekolah otonom tersebut menjadikan mereka berdaya. Mereka telah
mempunyai bekal pengetahuan dan keterampilan yang meningkat. Mereka
juga menjadi sadar akan pentingnya pendidikan, menjadi lebih mandiri,
mempunyai cita-cita dan tujuan hidup kedepannya.
Penelitian yang relevan selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan
oleh Wahyu Adam (2016). Dalam penelitian yang dilakukan peneliti
mengkaji tentang Peranan Panti Sosial Bina Remaja dalam Pemberdayaan
Remaja Terlantar di Daerah Istimewa Yogyakarta. Permasalahan yang dikaji
dalam penelitian tersebut adalah (1) apa saja peran Panti Sosial Bina Remaja
dalam pemberdayaan remaja terlantar. (2) seberapa jauh keberhasilan Panti
Sosial Bina Remaja dalam menjalankan peran tersebut. Pada penelitian
tersebut peran dari Panti Sosial Bina Remaja dalam pemberdayaan remaja
terlantar melalui empat peran yakni peran dalam bimbingan keterampilan,
bimbingan sosial, bimbingan mental motivasi dan bimbingan keagamaan.
Keempat bimbingan tersebut diperankan oleh tenaga ahli yang didatangkan
oleh Panti. Keberhasilan Panti dalam proses pemberdayaan dalam penelitian
tersebut mengungkapkan ada tiga indikator yaitu dengan adanya pemenuhan
kebutuhan dasar, jangkauan sumber produktif, dan partisipasi proses
pembangunan. Dalam penelitian disebutkan pemenuhan kebutuhan dasar
dilakukan oleh alumni Panti diantaranya ada yang bekerja, berwirausaha atau
berwiraswasta. Jangkauan sumber produktif bagi para alumni ada yang
mendapatkan bantuan dari Panti berupa peralatan yang dibutuhkan sesuai
keahlian. Sementara partisipasi pembangunan dilakukan oleh alumni Panti
dengan kerjasama pihak pekerja, pendidik, pekerja sosial di Panti diantaranya
mereka membantu memberi informasi kepada tetangga yang kurang mampu
ataupun putus sekolah.

I. KERANGKA BERPIKIR
Pada kerangka berpikir ini diuraikan bahwa anak terlantar merupakan
anak yang tidak terpenuhi akan kebutuhan dasar dan tidak memiliki
keterampilan sewaktu tinggal bersama keluarganya. Oleh karena itu perlu
adanya peran dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah dalam upaya
mensejahterakan dan melindungi anak terlantar. Salah satu upaya yang
dilakukan adalah melalui Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi
II” untuk menangani ketidakberdayaan anak terlantar melalui pemberdayaan
anak. Proses pemberdayaan dilakukan melalui bimbingan dan penyantunan
dimaksudkan untuk membentuk kemandirian dan bekal bagi anak dalam
menjalani hidup di masa yang akan datang.
Namun keberhasilan pemberdayaan yang dilakukan bagi anak terlantar
tidak terlepas dari faktor- faktor pendorong dan faktor- faktor penghambat
dalam pelaksanaan pemberdayaan yang dilakukan oleh panti. Diharapkan
dengan adanya pemberdayaan yang dilaksanakan Unit Pelayanan Sosial
Asuhan Anak “Pamardi Siwi II” ini dapat memberikan bekal baik
pegetahuan, sosial, spiritual, dan keterampilan yang menjadikan mereka
untuk hidup mandiri.

Anak terlantar

Tidak Memiliki Peranan Unit Tidak


Keterampilan Pelayanan Sosial Terpenuhinya
Asuhan Anak Kebutuhan Dasar
“Pamardi Siwi II”

Dilakukan Pemberdayaan
kepada Anak Terlantar

Faktor 1. Bimbingan Anak Faktor


Penghambat 2. Penyantunan Pendorong

Hasil Pemberdayaan: Anak


mempunyai kemandirian

Bagan 1. Kerangka Berpikir


J. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah jenis penelitian
kualitatif. Moleong (2012: 6) mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif
adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan, dll yang dideskripsikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada
suatu konteks khusus dengan berbagai metode alamiah.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Bogdan dan Taylor (dalam Moleong,
2012: 4) yang menyatakan bahwa metodologi kualitatif merupakan penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang diamati.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dikarenakan untuk
meneliti kondisi/peristiwa yang terjadi dalam suatu situasi sosial untuk mencari
keterangan yang seobjektif mungkin dari responden maupun informan
sehingga diperoleh data yang benar-benar valid.

2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak
“Pamardi Siwi II” Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. Unit pelayanan
sosial ini terletak di Jalan Tamtama Nomor 112 Penyangkringan, Weleri,
Kendal, Jawa Tengah. Pemilihan Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak
“Pamardi Siwi II” ini sebagai lokasi penelitian karena sasaran peneliti adalah
anak terlantar dan pelayanan sosial tersebut menjadi alternatif lokasi
penelitian.

3. Fokus Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah:
a. Untuk mengetahui peranan Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi
Siwi II” dalam upaya pemberdayaan anak terlantar di Kecamatan Weleri
Kabupaten Kendal
b. Untuk mengetahui faktor penghambat dan pendorong Unit Pelayanan
Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II” dalam uapaya pemberdayaan anak
terlantar di Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal
c. Untuk mengetahui hasil dari pemberdayaan kepada anak terlantar yang
dilakukan Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II” di
Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal

4. Sumber Data Penelitian


Menurut Sugiyono (2015: 308) dilihat dari sumber datanya, maka
pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sumber sekunder.
Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2012: 157) sumber data
utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya
adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.
Data yang diperoleh dari penelitian ini dihimpun dari:
a. Sumber Data Primer
Menurut Sugiyono (2015: 308) Sumber data primer merupakan
sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data.
Jadi sumber data primer atau sumber data utama merupakan kata-kata atau
tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai (Moleong, 2012:
157). Data utama diperoleh melalaui wawancara atau pengamatan secara
langsung di lapangan seperti melihat, mendengar, dan bertanya.
Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari informan yaitu:
1. Kepala Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II”, hal ini
digunakan untuk mengetahui semua kegiatan yang ada di asuhan anak.
2. Segenap pekerja sosial dan staff Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak
“Pamardi Siwi II” untuk mengetahui bagaimana peranan mereka dalam
pemberdayaan anak terlantar.
3. Anak terlantar atau disebut dengan penerima manfaat yang berada di
Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II”.
b. Sumber Data Tambahan
Sumber data tambahan berasal dari sumber tertulis yang dapat dibagi
atas sumber buku, majalah, sumber dari arsip, dokumen pribadi dan
dokumen resmi (Moleong, 2012: 159). Selain itu dalam penelitian data
tambahan berasal dari foto yang terkait dengan penelitian ini adalah foto
lokasi penelitian, foto saat wawancara, dan foto saat pengamatan di
lapangan.

5. Teknik Pengumpulan Data


Kualitas penelitian ditentukan oleh kualitas instrumen dan kualitas
pengumpulan data. Pengumpulan data merupakan langkah yang paling
strategis, karena tujuan utama penelitian adalah mengumpulkan data.
Pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang alamiah),
sumber data primer, dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada
observasi berperan serta, wawancara mendalam, dan dokumentasi (Rachman,
2015: 184).
Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
a. Observasi
Observasi lazimnya dikenakan pada situasi sosial tertentu. Setidak-
tidaknya mempunyai tiga elemen yaitu, lokasi/fisik tempat suatu sosial itu
berlangsung, manusia atau aktor yang menduduki status tertentu dan
memainkan peranan tersebut, dan kegiatan atau aktivitas para pelaku pada
tempat berlangsungnya situasi sosial (Rachman, 2015: 184).
Teknik observasi dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan
observasi partisipatif. Dimana peneliti terlibat dalam kegiatan sehari-hari
orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data
penelitian (Sugiyono, 2015: 310).
Observasi yang dilakukan menyangkut proses kegiatan yang
dilakukan oleh anak-anak terlantar di asrama dan bentuk kegiatan
pemberdayaan yang dilakukan oleh pekerja sosial dan staff di Unit
Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II”. Jadi penelitian ini
dilakukan dengan pengamatan.
Hasil observasi kemudian dapat diambil kesimpulan atas apa yang
telah diamati dan dapat digunakan sebagai pembanding antara hasil
wawancara yang dilakukan dengan hasil pengamatan apakah ada
kesesuaian atau tidak.
b. Wawancara
Wawancara adalah pertukaran dua orang untuk bertukar informasi dan
ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna suatu
topik tertentu (Rachman, 2015: 184). Dengan wawancara peneliti akan
mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam
menginterprestasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini
tidak bisa ditemukan melui observasi (Stainback dalam Sugiyono, 2015:
318).
Dalam penelitian ini megguanakan wawancara terstruktur (structured
interview) yaitu ketika melakukan wawancara, pengumpul data telah
menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis
yang alternatif jawabannya pun sudah disiapkan (Sugiyono, 2015: 319).
Untuk memperoleh data mengenai peranan Unit Pelayanan Sosial
Asuhan Anak “Pamardi Siwi II” dalam pemberdayaan anak terlantar maka
pewawancara akan melakukan wawancara dengan petugas-petugas yang
bertanggungjawab dalam upaya pemberdayaan baik kepala panti, pekerja
sosial dan staff yang bekerja di Asuhan Anak “Pamardi Siwi II” serta anak
terlantar yang menjadi penerima manfaat disana.
c. Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen
dapat berupa tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang
(Rachman, 2015: 191).
Penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, yaitu dengan
mencari data-data mengenai hal-hal atau variabel berupa arsip-arsip,
dokumen-dokumen maupun rekaman kegiatan atau aktivitas.
Pengumpulan data melalui dokumentasi ini diambil dari bagian umum
kearsipan di Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II” ,
peneliti akan mencari data tentang:
1. Daftar Penerima Manfaat tahun 2016
2. Daftar penyaluran Penerima Manfaat tahun 2016
3. Profil Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II”
4. Struktur organisasi di Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi
Siwi II”
5. Jadwal kegiatan Penerima Manfaat di Unit Pelayanan Sosial Asuhan
Anak “Pamardi Siwi II”
6. Foto-foto kegiatan pemberdayaan terhadap Penerima Manfaat.

6. Uji Validitas Data


Uji validitas data merupakan faktor penting dalam penelitian.
Pengujian validitas pada penelitian ini menggunakan triangulasi. Teknik
triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data itu (Moleong, 2012: 330).
Denzin membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik
pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik,
dan teori (Moleong, 2012: 330). Triangulasi yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah triangulasi sumber. Triangulasi dengan sumber berarti
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan informasi yang
diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif
(Patton dalam Moleong, 2012: 330). Dalam hal ini dapat dicapai dengan
jalan:
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan
apa yang dikatakannya secara pribadi.
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yag dikatakannya sepanjang waktu.
4. Membandingkan keadaan dan prespektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang
berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang
pemerintahan.
5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.
Pada penelitian ini peneliti menggunakan cara membandingkan hasil
wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Dengan demikian
akan deiperoleh data yang valid.

7. Teknik Analisis Data


Bogdan (dalam Rachman, 2015: 198) menjelaskan bahwa analisis data
adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh
dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga
dapat mudah difahami dan temuannya dapat informasikan kepada orang
lain.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis interaktif. Miles and
Huberman dalam Sugiyono (2015: 337), mengemukakan bahwa aktivitas
dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung
secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.
Aktivitas dalam analisis data yaitu data reduction, data display, dan
conclusion drawing/ verification.
Gambar 1. Model interaktif dalam analisis data (Miles and Huberman
dalam Sugiyono, 2015: 338).

pengumpulan data

penyajian data

reduksi data

kesimpulan dan
verifikasi
a. Reduksi data, diartikan sebagai proses merangkum, memilih hal-hal
yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan
polanya dan membuang yang tidak perlu. Data yang diperoleh selama
penelitian baik melalui wawancara, observasi dan dokumentasi dengan
petugas Unit Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II” ditulis
secara rinci dalam catatan sistematis.
b. Penyajian data, berupa sekumpulan informasi yang telah tersusun yang
memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk
uraian singkat, bagan, hubungan antar katagori. Setelah peneliti
mendapatkan data-data yang berhubungan dengan peranan Unit
Pelayanan Sosial Asuhan Anak “Pamardi Siwi II dalam pemberdayaan
anak terlantar kemudian disajikan, diolah dan dianalisis. Data terkait
bentuk kegiatan pemberdayaan yang diperoleh dari observasi dan
wawancara yang terpilih kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif.
c. Penarikan kesimpulan, merupakan langkah terakhir dalam analisis
data. Penarikan kesimpulan dalam penelitian kualitatif dapat menjawab
rumusan masalah yang didasarkan pada reduksi data. Kesimpulan
dalam penelitian kualitatif yang diharapkan adalah merupakan temuan
baru yang sebelumnya belum pernah ada.
Daftar Pustaka

Adi, Isbandi Rukminto. 2013. Kesejahteraan Sosial (Pekerjaan Sosial,


Pembangunan Sosial, dan Kajian Pembangunan). Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada

Alamsyah, Cepi Yusrun. 2015. Praktik Pekerjaan Sosial Generalis Suatu


Tuntunan Intervensi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Anwas, Oos M. 2013. Pemberdayaan Masyarakat di Era Global. Bandung:


Alfabeta

Departemen Dalam Negeri RI. 2009. Pedoman Umum Pemberdayaan Masyarakat


dan Desa. Direktorat Jendral Pemberdayaan Masyarakat dan Desa

Departemen Sosial RI. 2005. Petunjuk Pelaksanaan Pelayanan Sosial Anak


Terlantar di dalam Panti

Departemen Sosial RI. 2007. Pedoman Pelayanan Sosial Anak Terlantar Melalui
Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA)

Febrianti, Pipit. 2014. Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak Terlantar di Panti


Sosial Asuhan Anak (PSAA) Putra Utama ) 03 Tebet Jakarta Selatan.
Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah

Gunarso, Singgih D. 2009. dari Anak sampai Usia Lanjut Bunga Rampai
Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia

Kayo, Khatib Pahlawan. 2008. Karakteristik Organisasi Sosial. Padang: BBPPKS


Padang

Moleong, Lexy J. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Munandar, Aris. 2008. Peran Negara dalam Penguatan Program Pemberdayaan


Masyarakat. Jurnal Poelitik Vol 4. No. 1. Hal 151-162
Narwoko, J. Dwi dan Bagiong Suyanto. 2006. Sosiologi Teks Pengantar &
Terapan. Jakarta: Kencana

Nasdian, Fredian Tonny. 2014. Pengembangan Masyarakat. Jakarta: Yayasan


Pustaka Obor Indonesia

Oktaviany, Fenny. 2010. Pemberdayaan Anak Jalanan melalui Program Sekolah


Otonom oleh Sanggar Anak Akar di Gudang Seng Jakarta Timur. Skripsi.
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah

Pratiwi, Ari. 2011. Peranan Balai Rehabilitasi Sosial Distrarasta Pemalang II


dalam Mengembangkan Kemandirian Penyandang Tunanetra. Skripsi.
Semarang: Fakultas Ilmu Sosial Unnes

Rachman, Maman. 2015. 5 Pendekatan Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Mixed,


PTK, R&D. Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama

Rusmiyati, Chatarina. 2008. “Wujud Panti Asuhan Hidayatullah dalam


Penanganan Masalah Anak Terlantar”. Jurnal Kesejateraan Sosial. No. 3.
Hal 46-54

Sari, Riza Fitria Sartika. 2015. Studi Deskriptif tentang Efektifitas Pemberdayaan
dalam Meningkatkan Kemandirian Anak Jalanan di Unit Pelaksana
Teknis Dinas (UPTD) Kampung Anak Negeri Dinas Sosial Kota
Surabaya. Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik. Vol. 3. No. 1. Hal 1-
9

Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


Usman, Sunyoto. 2015. Esai-Esai Sosiologi Perubahan Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar

Widiastuti, Siti Kurnia, dkk. 2015. Pemberdayaan Masyarakat Marginal.


Yogyakarta: Pustaka Belajar

Widjajanti, Kesi. 2011. Model Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Ekonomi


Pembangunan. Vol 12. No. 1. Hal. 15-27

http://lukitojokoanggoro.blogspot.co.id/2015/06/pendataan-pmks-dan-psks-jawa-
tengah.html (9 Februari 2017)

Anda mungkin juga menyukai