Anda di halaman 1dari 34

i

UJI TOKSISITAS ADJUVANT ALUMINIUM HIDROKSIDA


(Al(OH)3) PADA SEL RAW264.7

Laporan Praktik Lapangan


di Laboratorium Pusat Teknologi Farmasi dan Biomedika
(LAPTIAB) Pusat Teknologi Farmasi dan Medika (PTFM)
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Gedung 611/612 LAPTIAB-BPPT, Puspiptek, Serpong

15314 AULIA AYU RISPRIANDARI

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
ii
iii

UJI TOKSISITAS ADJUVANT ALUMINIUM HIDROKSIDA


(Al(OH)3) PADA SEL RAW264.7

AULIA AYU RISPRIANDARI

Laporan Praktik Lapangan


Sebagai salah syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
iv
v

Judul : Uji Toksisitas Adjuvant Aluminium Hidroksida (Al(OH)3) pada Sel


RAW264.7
Nama : Aulia Ayu Rispriandari
NIM : G84150012

Disetujui oleh

dr Husnawati, MSi Dr Etik Mardliyati, MEng Pembimbing Utama


Pembimbing Lapangan

Diketahui
Ketua Departemen Biokimia

Dr Syamsul Falah, SHut, MSi


NIP. 19700503 20051 1 001

Tanggal Lulus:
vi
PRAKATA

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang


telah melimpahkan nikmat iman dan nikmat islam, karena-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan Praktik Lapangan dengan judul “Uji Toksisitas Adjuvant
Aluminium Hidroksida (Al(OH)3) pada Sel RAW264.7” ini dengan lancar.
Sholawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada junjungan nabi Muhammad
SAW yang telah menyampaikan risalah-Nya sehingga umat islam dapat mengenal
Allah SWT. Kegiatan Praktik Lapangan ini dilaksanakan dari tanggal 14 Juli
hingga 21 Agustus 2018 di Laboratorium Pusat Teknologi Farmasi dan Medika,
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), PUSPIPTEK, Serpong.
Penulis ucapkan terima kasih kepada dr Husnawati, MSi selaku
pembimbing utama dan Dr Etik Mardliyati, MEng, selaku pembimbing lapangan
yang telah memberi bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan
laporan Praktik Lapangan ini. Penulis juga sampaikan ucapan terima kasih kepada
Teh Silmi selaku asisten peneliti dan Pak Sabar selaku yang telah membantu dan
membimbing dalam pengerjaan tugas Praktik Lapangan. Terima kasih juga penulis
ucapkan untuk Dinie Septiyani selaku partner satu kelompok yang telah banyak
membantu dan seluruh staf dan karyawan Pusat Teknologi Farmasi dan Medika,
BPPT yang telah memberi banyak bimbingan dan ilmu. Tak lupa penulis ucapkan
terima kasih juga pada kedua orang tua atas doa dan dukungan yang selalu
diberikan. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan Praktik Lapangan
ini masih memiliki banyak kekurangan, sehingga diharapkan kritik dan saran untuk
membangun perbaikan dalam penulisan selanjutnya. Akhir kata, penulis berharap
tulisan ini dapat memberi manfaat, baik bagi diri penulis sendiri maupun bagi
pihak lain demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, September 2018

Aulia Ayu Rispriandari


vii

DAFTAR ISI

PRAKATA vi DAFTAR ISI vii DAFTAR TABEL vii DAFTAR LAMPIRAN


viii PENDAHULUAN 1 KONDISI UMUM PUSAT TEKNOLOGI FARMASI
DAN MEDIKA 3
Nama Institusi dan Lingkup Kegiatan Institusi 3 Visi dan Misi 3 Sejarah
Institusi 3 Organisasi Institusi 4 Fasilitas 4 Mitrakerja dan Inovasi 4
Layanan 5 Lokasi Institusi 5
TINJAUAN PUSTAKA 6 Adjuvant Aluminium Hidroksida 6 Alhydrogel®6 Uji
Toksisitas 7 MTT Assay 7 Sel RAW264.7 8
METODE 8 Tempat dan Waktu 8 Alat dan Bahan 8 Prosedur 9
HASIL 11 Rendemen Al(OH)3 11 Perkembangan Sel RAW264.7 12 MTT Assay
Al(OH)3 Standar dan Produksi 13
PEMBAHASAN 14 Produksi dan Rendemen Al(OH)3 14 Perkembangan Sel
RAW26.7 15 Toksisitas Al(OH)3 16
SIMPULAN DAN SARAN 17 Simpulan 17 Saran 18 DAFTAR PUSTAKA 19
LAMPIRAN 23

DAFTAR TABEL

1 Tabel 1 Rendemen Al(OH)3 12 2 Tabel 2 Perkembangan Sel RAW264.7 12 3


Tabel 3 Hasil OD alum BPPT dan alum komersial (standar) 14 4 Tabel 4
Viabilitas sel RAW264.7 MTT 14
viii

DAFTAR LAMPIRAN

1 Struktur Organisasi BPPT 25 2 Peralatan Laboratorium 26 3 Diagram Alir


Praktik Lapangan 26 4 Perhitungan Larutan 27 5 Perhitungan Rendemen 27 6
Pembuatan Reagen BCA 28 7 Kurva Standar BSA 28 8 Hasil Uji Adsorpsi
Protein BCA (Bicinchonicic Acid) 29 9 Pembuatan Bahan dan Media 29 10 Raw
Data MTT Assay 30 11 2Way Anova 32 12 Grafik Rentang Toksisitas Alum 33
13 Grafik Optical Density (OD) Al(OH)3 Produksi dan Standar 33 14 Grafik
Viabilitas Sel 34
1

PENDAHULUAN

Praktik Lapangan (PL) merupakan program yang harus diambil oleh


mahasiswa Departemen Biokimia IPB sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
sarjana. Jumlah SKS Praktik Lapangan ini adalah 3 SKS. Program ini melibatkan
mahasiswa secara langsung dalam kegiatan penelitian, pengujian, analisis,
penafsiran data, serta penentuan strategi dalam menyelesaikan masalah utama.
Kegiatan Praktik Lapangan ini dilaksanakan selama ± 2 bulan di instansi terkait
atau industri yang melibatkan ilmu biokimia. Pusat Teknologi Farmasi dan Medika
(PTFM) merupakan unit kerja yang ada di Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) yang mempunyai tugas melaksanakan pengkajian dan
penerapan di bidang teknologi farmasi dan medika, sehingga PTFM menyediakan
sarana dan fasilitas yang tepat untuk studi teknologi farmasi dan medika.
Vaksinasi atau imunisasi aktif adalah upaya menginduksi kekebalan
spesifik dan meniadakan infeksi selanjutnya dengan pemberian agen tertentu.
Pemberian vaksin ini merupakan hasil pertimbangan bahwa ternyata sistem
kekebalan belum berkembang pada bulan-bulan pertama awal kehidupan. Sistem
kekebalan pasif yang diperoleh dari plasenta atau air susu ibu juga akan mencegah
bayi untuk membentuk kekebalannya sendiri (Playfair dan Chain 2013).
Beberapa jenis vaksin yang biasa digunakan adalah vaksin hidup heterolog,
virus hidup yang dilemahkan, vaksin tidak aktif, toksoid, polisakarida kapsular,
vaksin subunit, dan DNA vektor (Playfair dan Chain 2013). Vaksin subunit yang
menggunakan bagian dari miroorganisme seperti protein memiliki kelemahan
berupa dapat timbulnya efek samping seperti reaksi lokal, reaksi sistemik, dan
penyakit autoimunitas (Widiastuti 2011). Protein dari vaksin sub unit memiliki
potensi untuk melindungi diri dari infeksi, namun vaksin ini memiliki efikasi yang
randah (Dwinanti et al. 2014). Vaksin DNA walaupun memiliki keunggulan
seperti lebih stabil, mudah dibuat, dan mudah ditransportasikan juga memiliki
kelemahan, yaitu imunogenisitas yang rendah. Beberapa metode untuk
meningkatkan imunogenisitas vaksin dilakukan, seperti gene gun, elektoporasi,
needle free injector, dan penggunaan bahan tambahan yang berfungsi sebagai
sistem penghantar (Dewi 2017).
Adjuvant merupakan bahan yang ditambahkan pada vaksin untuk
meningkatkan rangsangan respon imun. Umumnya penambahan adjuvant
dilakukan apabila antigen yang digunakan dapat segera dinetralisir oleh tubuh
sehingga antigen tidak dapat merespon pembentukan antibodi. Vaksin yang tidak
diberi tambahan adjuvant tidak dapat merespon titer antibodi secara maksimal
(Suartha et al. 2011). Adjuvant juga dapat memperpanjang waktu kontak antara
antigen dengan sistem imun. Penggunaan adjuvant dapat mengaktivasi sel
makrofag dan sel dendrit. Melalui jalur yang sama, adjuvant juga dapat
meningkatkan penyajian terhadap antigen. Beberapa adjuvant yang telah dikenal
dibuat dari alum, liposom, ISCOM, sitokin, dan lain-lain (Playfair dan Chain
2013).
Adjuvant yang banyak digunakan saat ini adalah aluminium (Shoenfeld dan
Levin 2011). Alum merupakan suspensi aluminium hidroksida berair. Adjuvant ini
telah banyak diproduksi dan bekerja dengan mengikat protein vaksin (Harris et al.
2012). Alum telah digunakan selama lebih dari 80 tahun sebagai adjuvant vaksin.
Berbagai alternatif adjuvant lain telah dikembangkan, akan tetapi adjuvant yang
2

mengandung aluminium ini memiliki tingkat keamanan, harga, dan


kemampuannya sebagai adjuvant terhadap variasi antigen yang lebih baik seperti
DTP, pediarix, pentacel, hepatitis A, HBV, HPV, HIB, dan vaksin pneumococcal.
Adjuvant yang mengandung alum ini juga dapat menstabilkan vaksin saat
penyimpanan (Kool et al. 2012). Kebutuhan aluminium hidroksida yang
digunakan sebagai adjuvant mendorong perlunya produksi adjuvant tersebut.
Sebelum aluminium hidroksida digunakan pada manusia, maka perlu dilakukan
pengujian toksisitas dari aluminium hidroksida tersebut.
Program Praktik Lapangan bertujuan memperluas wawasan dan
keterampilan mahasiswa dalam pengembangan ilmu, teknologi, dan pelaksanaan
berbagai kegiatan instansi maupun industri. Tujuan khusus dari Praktik Lapangan
ini adalah memproduksi adjuvant aluminium hidroksida dan menentukan
konsentrasi toksik adjuvant aluminium hidroksida produksi dan Alhydrogel ®yang
digunakan sebagai standar melalui uji toksisitas dengan MTT assay. Pengujian ini
dilakukan di Laboratorium Kultur Sel, Pusat Teknologi Farmasi dan Medika
(PTFM), LAPTIAB, BPPT. Mahasiswa diharapkan dapat memahami dan
meningkatkan keterampilan dalam menangani cell line berupa sel RAW264.7 yang
akan digunakan dalam pengujian toksisitas metode MTT assay. Manfaat Praktik
Lapangan ini adalah mahasiswa dapat meningkatkan wawasan dan keterampilan
untuk menyesuaikan diri di lingkungan di masa mendatang terutama dalam
pembuatan larutan dan penanganan cell line, serta membantu penyelesaian
pekerjaan proyek adjuvant Al(OH)3 di PTFM.
3

KONDISI UMUM PUSAT TEKNOLOGI FARMASI DAN MEDIKA

Nama Institusi dan Lingkup Kegiatan Institusi

Pusat Teknologi Farmasi dan Biomedika (PTFM) adalah salah satu unit
kerja di dalam lingkup Deputi Bidang Agroindustri dan Bioteknologi Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Tugas dari PTFM adalah melakukan
inovasi dan pelayanan di bidang teknologi farmasi dan medika. Pelaksanaan tugas
ini diarahkan untuk mendorong kemandirian daya saing industri farmasi nasional,
termasuk industri herbal dan kosmetik (PTFM 2016).
Di antara fungsi PTFM adalah sebagai adalah melaksanaan pengkajian dan
penerapan di bidang teknologi produksi bahan baku farmasi, melaksanaan
pengkajian dan penerapan di bidang teknologi formula dan sediaan farmasi,
melaksanaan pengkajian dan penerapan di bidang teknologi rekayasa biomedika,
menyiapan bahan rumusan kebijakan teknologi farmasi dan medika, dan
melaksanaan perencanaan, monitoring, evaluasi program dan anggaran di
lingkungan PTFM (PTFM 2016).

Visi dan Misi

PTFM memiliki visi menjadikan teknologi farmasi dan medika sebagai


pemacu pertumbuhan ekonomi dalam rangka membangun bangsa yang mandiri
serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Misi dari Pusat Teknologi Farmasi dan
Medika (PTFM) adalah mewujudkan Pusat Teknologi Farmasi dan Medika
menjadi pusat unggulan di bidang teknologi farmasi dan medika, mewujudkan
Pusat Teknologi Farmasi dan Medika sebagai agen pembangunan masyarakat
dalam bidang teknologi farmasi dan medika, meningkatkan peran audit dan
komersialisasi teknologi farmasi dan medika, dan meningkatkan daya saing dan
produktivitas farmasi, obat alami, dan instrumentasi kedokteran modern.
Pelaksanaan program PTFM diarahkan pada peningkatan daya saing industri
kesehatan melalui penerapan IPTEK yang relevan berdasarkan pertimbangan
ekonomis, teknologis, dan dapat diterima oleh masyarakat luas (PTFM 2016).

Sejarah Institusi

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) adalah Lembaga


pemerintah non-departemen yang berada di bawah koordinasi Kementerian Negara
Riset dan Teknologi. BPPT memiliki tugas pokok berupa pelaksanaan tugas
pemerintahan di bidang pengkajian dan penerapan teknologi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (BPPT 2017).
Proses pembentukan BPPT diawali dari gagasan Mantan Presinden
Soeharto kepada Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie pada tanggal 28 Januari tahun 1974.
Sebelumnya, pada tanggal 5 Januari 1974 Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie diangkat
sebagai penasehat pemerintah di bidang advance teknologi dan teknologi
penerbangan yang bertanggung jawab kepada presiden secara langsung dengan
membentuk Divisi Teknologi dan Teknologi Penerbangan (ATTP). Pengangkatan
ini dilakukan berdasarkan surat keputusan no. 76/M/19974. Kemudian pada
4

tanggal 1 April 1976 melalui surat keputusan Dewan Komisaris Pemerintah


Pertamina No.04/kpts/DR/DU/1975, ATTP diubah menjadi Divisi Advance
Teknologi Pertamina. Akhirnya, pada tanggal 21 Agustus 1978 Advance
Teknologi Pertamina diubah menjadi Badan Pengkajian dan enerapan Teknologi
dan diperbaharui melalui Surat Keputusan Presiden No. 47 tahun 1991 (BPPT
2017).

Organisasi Institusi

BPPT-PTFM merupakan bagian dari Bidang Teknologi Agroindustri dan


Bioteknologi dengan Dr. Ir. Soni Solistia Wirawan, MEng sebagai Deputi Bidang
Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi yang merupakan salah satu dari lima
bidang yang terdapat dalam BPPT. BPPT secara keseluruhan dikepalai oleh Dr Ir
Unggul Priyanto, MSc Kepala BPPT bertugas untuk mengarahkan, merumuskan,
mengkoordinasi, mengevaluasi, dan melaporkan proses berjalannya setiap bidang
yang ada di BPPT agar sesuai dengan visi, misi, dan tugas yang diberikan
pemerintah Indonesia (BPPT 2017).
Pusat Teknologi Farmasi dan Medika (PTFM) diketuai oleh Ir Imam
Paryanto, M Eng. Selain PTFM, bidang lain yang ada di bawah Bidang Teknologi
Agroindustri dan Biomedika adalah Teknologi Produksi Pertanian, Pusat
Teknologi Agroindustri, dan Pusat Teknologi Bioindustri. Balai besar dan Balai
TAB yang ada dibagi menjadi 2, yaitu Balai Besar Teknologi Pati yang dikepalai
oleh Dr Anton Yulianto, SSi MEng, dan Balai teknologi yang dikepalai oleh Dr
Drs Agung Eru Wibowo, Apt, MSi (BPPT 2017). Struktur terdapat pada
Lampiran 3.

Fasilitas

Fasilitas yang tersedia di Pusat Teknologi Farmasi dan Medika (PTFM),


Laboratorium Pengembangan Teknik Industri Agro dan Biomedika (LAPTIAB),
BPPT meliputi perpustakaan dan beberapa laboratorium. Beberapa fasilitas yang
tersedia di laboratorium tersebut adalah PCR, Gen Doc, DNA dan protein gel
elektroforesis, ruang BSL-2, peralatan isolasi mikroba, peralatan analisa cemaran
mikrobba, rotavapor, kolom kromatografi, faction collector, HPLC preparative,
peralatan formulasi sediaan, dissolution tester, climatic chamber, skin terter, mini
spray drier, HPLC, peralatan maserasi; kristalisator, dan reaktor kimia (PTFM
2016).
Penelitian ini berfokus pada dua laboratorium utama, yaitu Laboratorium
Teknologi Farmasi dan Laboratorium Kultur Sel. Laboratorium Teknologi Farmasi
memilikifasilitas peralatan formulasi sediaan, dissolution tester, climatic chamber,
skin tester, mini spray dryer, dan HPLC. Kegiatannya antara lain adalah
pembuatan sediaan tablet ekstrak tanaman obat dan pengembangan sediaan insulin
oral (PTFM 2016). Laboratorium Kultur Sel memiliki fasilitas autoclave, BSL-2,
sentrifus, inkubator, cryo-tank, dan mikroskop. Kegiatannya berupa pengujian in
vitro terhadap cell line seperti sel RAW264.7 dan sel kanker.

Mitrakerja dan Inovasi

Beberapa mitra kerja dari PTFM adalah PT. Indofarma, Tbk., PT Kimia
Farma, Biofarma, PT. SOHO Industri Pharmasi, DeltoMed, PT. Martina Berto,
Tbk
5

(Martha Tilaar Group), Phapros, dan Jamu jago (PTFM 2018). BPPT-PTFM
memiliki beberapa inovasi. Inovasi-inovasi tersebut diantaranya adalah inovasi
teknologi garam farmasi dan garam industry (PTFM 2016), inovasi teknologi
produksi sediaan obat herbal terstandar penurun asam urat (PTFM 2017), dan
inovasi teknologi produksi nanopartikel bahan aktif farmasi, kosmetika, dan
antiacne (PTFM 2017).
Inovasi teknologi garam farmasi dan garam industri dari garam rakyat.
BPPT bekerja sama dengan PT Kimia Farma (Persero) Tbk untuk mendirikan
pabrik garam farmasi dengan kapasitas 2000 ton/tahun di PT Kimia Farma Plant
Watudakon Mojokerto. BPPT juga bekerjasama dengan pabrik Groundbreaking
yang merupakan pabrik garam farmasi dengan kapasitas garam 4000 ton/tahun.
BPPT juga bekerja sama dengan PT Garam (persero) dalam perencanaan pendirian
2 pabrik garam industri kapasitas 2 ton/jam dan 10 ton/jam di Sampang Madura
(PTFM 2016).
Inovasi teknologi produksi sediaan obat herbal terstandar penurun asam
urat yang dilakukan BPPT bekerja sama dengan Jamu Jago (PTFM 2017). Inovasi
teknologi produksi nanopartikel bahan aktif farmasi, kosmetika, dan antiacne yang
dilakukan BPPT bekerja sama dengan PT Mustika Ratu mengembangkan produk
dari ekstrak pegagan dan mangosteen yang menghambat pertumbuhan bakteri dan
memiliki aktivitas antioksidan sehingga efektif untuk mengobati jerawat (PTFM
2017).

Layanan

PTFM memiliki laboratorium yang dilengkapi dengan peralatan yang


memadai serta Sumber Daya Manusia yang kompeten pada bidangnya. Kini PTFM
telah mendapat akreditasi ISO SNI/IEC17025. Beberapa layanan pengujian dan
Analisa yang dapat dilakukan di PTFM adalah analisa dan pengujian bidang kimia,
biologi, dan fisika farmasi, pengembangan sediaan oat herbal berupa uji praklinik,
karakterisasi dan standarisasi ekstrak, dan pengujian in vitro dengan basis sel
maupun nonsel (PTFM 2016).
Bidang kimia farmasi melayani pengujian kadar sisa etanol dalam ekstrak
menggunakan GC dan pengujian kadar kurkuminoid menggunakan HPLC. Bidang
biologi farmasi melayani pengujian toksisitass akut dan pengujian sitotoksisitas
terhadap sel MCF-7. Bidang fisika farmasi melayani pengujian distribusi ukuran
partikel menggunakan PSA (PTFM 2016).

Lokasi Institusi

Kantor Pusat Teknologi Farmasi dan Medika (PTFM) terletak di Gedung


BPPT 2, Jl. M.H. Thamrin No.8, RT.10/RW.10, Kb. Sirih, Menteng, Kota Jakarta
Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10340. Gedung laboratorium PTFM terletak
di Gedung LAPTIAB 611-612, Kawasan Puspiptek, Tangerang Selatan, 15314
(PTFM 2016).
6

TINJAUAN PUSTAKA
Adjuvant Aluminium Hidroksida

Alum atau aluminium hidroksida merupakan suspensi aluminium berair.


Aluminium hidroksida telah banyak diproduksi untuk digunakan sebagai adjuvant
dan bekerja dengan mengikat protein vaksin (Harris et al. 2012). Adjuvant yang
mengandung alum juga dapat menstabilkan vaksin dengan cara mencegah
presipitasi atau penempelan protein antigen dari vaksin dengan dinding wadah
selama penyimpanan. Adjuvant yang mengandung aluminium juga dapat
menginduksi respon kekebalan alami yang lebih kuat (Kool et al. 2012).
Adjuvant yang mengandung aluminium menyebabkan influx neutrophil,
eosinophil, sel NK, monosit CD11b+, dan sel dendritik pada situs injeksi (Kool et
al. 2012). Aluminium menginduksi produksi dan sekresi beberapa sitokin seperti
IL-1b, IL-18, dan IL-33. Adjuvant ini dapat terkandung dalam kompleks kekebalan
tubuh yang dihasilkan setelah vaksinasi (Shoenfeld dan Levin 2010).
Aluminium hidroksida yang digunakan sebagai aduvant ini tersusun atas
serat utama kecil dengan ukuran rata-rata 4.5 x 2.2 x 10 nm. Ketika dilarutkan
dalam air, ukuran aluminium hidroksida berubah menjadi 1-20 µm karena terjadi
agregasi. Mekanisme imunopotensiasi dari adjuvant aluminium hidroksida belum
dijelaskan sepenuhnya. Awalnya, dijelaskan bahwa adjuvant ini bekerja dengan
membentuk depot antigen di tempat injeksi, di mana antigen dilepas secara
perlahan sehingga efisiensi penyerapan antigen pada adjuvant aluminium menjadi
kritis (Li et al. 2014).
Adjuvant aluminium hidroksida akan mengadsorpsi protein dari antigen
yang kemudian menginduksi respon antibodi-antigen spesifik. Ukuran partikel dari
aluminium hidroksida juga mempengaruhi adsorpsi dari protein antigen. Partikel
dengan ukuran nano yang mengadsorpsi protein akan menginduksi respon antibodi
antigen spesifik yang lebih kuat dari partikel berukuran mikro. Inflamasi lokal
yang dihasilkan dari nanopartikel aluminium hidroksida lebih ringan dari
mikropartikel aluminium hidroksida. Hal ini disebabkan kemampuan nanopartikel
aluminium hidroksida dalam membantu adsorpsi protein antigen lebih efektif oleh
sel-sel precenting (Li et al. 2014).

Alhydrogel®

Adjuvant alum merupakan adjuvant yang mengandung aluminium dan


dibuat dari garam mineral seperti aluminium hidroksida dan aluminium fosfat.
Adjuvant alum telah banyak digunakan dalam vaksin manusia maupun veteriner
dan dikategorikan sebagai adjuvant yang aman. Aluminium hidroksida memiliki
kemampuan adsorpsi yang lebih kuat dibanding aluminium fosfat (Sivakumar et al.
2011). Alhydrogel® merupakan produk adjuvant alum komersial yang digunakan
sebagai standar. Alum ini memiliki ukuran mikropartikel. Alhydrogel ® berupa
larutan suspensi aluminium hidroksida yang telah banyak diproduksi dan
digunakan sebagai adjuvant untuk mengikat protein dari vaksin.
®
Alhydrogel berbentuk mikrokristalin yang membentuk agregat secara spontan dan
bersifat stabil sehingga
7

digunakan sebagai marker imunostimulator. Saat ini, Alhydrogel®telah dipatenkan


dalam banyak formulasi vaksin (Harris et al. 2012).
Kelebihan lain dari Alhydrogel®yang digunakan sebagai standar adalah
ukuran partikelnya yang telah homogen (He et al. 2015). Salah satu produk
adjuvant aluminium hidroksida yang sering digunakan adalah Alhydrogel ®. Salah
satu instansi yang telah berhasil memproduksi aluminium hidroksida adalah
BRENNTAG Biosector, Frederikssund, Denmark (Harris et al. 2012), tetapi
produk Alhydrogel yang akan digunakan dalam Praktik Lapangan ini adalah
Alhydrogel yang diperoleh dari In Vivo Gen, USA.

Uji Toksisitas

Uji toksisitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui kapasitas


suatu bahan yang dapat melukai organisme hidup. Uji toksisitas terdiri dari
beberapa uji, yaitu uji toksisitas akut, uji subkronik, uji toksisitas kronik, dan uji
toksisitas khusus (Diantika et al. 2016). Uji sitotoksisitas merupakan uji toksisitas
yang dilakukan secara in vitro. uji ini merupakan uji pendahuluan yang dilakukan
untuk mengetahui ketoksikan suatu senyawa dan dapat digunakan sebagai acuan
untuk pengujian lebih lainnya (Dona et al. 2016).
Parameter ketoksikan suatu senyawa dapat dilihat dari nilai IC 50. Nilai ini
merupakan bilangan yang menunjukkan konsentrasi suatu senyawa yang dapat
menghambat pertumbuhan sel sebear 50% (Dona et al. 2016). Parameter LC50 atau
Lethal Consentration, yaitu nilai yang menujukan konsentrasi suatu bahan dapat
membunuh 50% populasi juga dapat digunakan untuk uji toksisitas (Tih 2016).
Parameter lainnya yang dapat digunakan dalam uji toksisitas adalah LD 50 (Lethal
Dose). Nilai LD50 menunjukkan dosis suatu sampel yang dapat membunuh 50%
dari total populasi yang ada (Hasti et al. 2012).
Salah satu metode uji sitotoksisitas adalah MTT assay yang dilakukan
dengan mengukur Optical Density (OD) sehingga diperoleh data absorbansi
sampel (Bahi et al. 2016). Hasil OD yang diperoleh kemudian dikonversi dalam
persen untuk memperoleh data viabilitas sel. Data ini menunjukkan presentase
kehidupan sel. Suatu sampel uji dengan konsentrasi tertentu yang memberikan
nilai viabilitas yang rendah menunjukkan bahwa sampel yang diuji bersifat toksik
pada konsentrasi tersebut (Nastiti et al. 2015).

MTT Assay

Microtetrazolium atau MTT assay merupakan metode uji sitotoksisitas


yang dilakukan dengan membaca absorbansi dari formazan yang terbentuk.
Pembacaan absorbansi ini dilakukan dengan menggunakan ELISA reader.
Senyawa yang digunakan dalam MTT assay adalah 3-(4,5-dimethyl thiazol-2-yl)-
2,5- diphenyltetrazolium bromide. Penurunan atau penambahan konsentrasi
konsentrasi zat yang diuji akan mempengaruhi absorbansi yang dihasilkan (Amir
dan Murcitro 2017).
Uji sitotoksisitas metode MTT assay merupakan metode uji kolorimetri.
Dasar uji MTT assay adalah enzyme-based yang secara umum digunakan dalam
uji enzim dehidrogenase mitokondria dalam sel. Kelebihan dari metode ini adalah
mudah, aman, dan mempunyai sensitivitas yang tinggi. Metode ini merupakan
8

metode yang umum digunakan untuk uji sitotoksisitas dan viablilitas sel (Bahi et
al. 2016). Panjang gelombang yang digunakan adalah 570-590 nm (Nastiti et al.
2015).
Sel hidup dapat mereduksi garam tetrazolium karena adanya enzim
dehidrogenase pada mitokondria. Enzim ini akan mereduksi senyawa tetrazolium
menjadi formazan akibat pemutusan cincin pada struktur tetrazolium. Hal ini
mengakibatkan perubahan warna dari kuning menjadi ungu dan membentuk kristal
formazan yang tidak larut air. Intensitas warna ungu yang terbentuk berkolerasi
langsung dengan jumlah sel yang hidup (Dona et al. 2016).

Sel RAW264.7

Murine macrophage cell line merupakan sel makrofag yang digunakan


sebagai model sel inang dalam penelitian di bidang imunologi terkait efek antigen,
pembunuhan mikroba, produksi sitokin, dan pembersihan sel apoptosis. Penelitian
penelitian terhadap sel makrofag tersebut mendorong permintaan populasi sel
makrofag homogen sehingga banyak peneliti yang memproduksi beberapa sel
makrofag dari sel myeloid seperti J774A.1, RAW264.7, dan P388D1 (Fernanda et
al. 2010). Sel RAW264.7 ini dapat tumbuh pada media basal DMEM yang diberi
tambahan antibiotik seperti penicillin dan FBS. Sel RAW264.7 dapat tumbuh
dengan baik pada suhu 37ºC (Andri et al. 2016). Selain DMEM media lain yang
dapat digunakan adalah media MEM dan RPMI (Rinendyaputri dan Noviantri
2015).
Salah satu sifat cell line RAW264.7 adalah sel ini merupakan adherent cell
yang dapat menempel pada dasar permukaan cawan kultur sehingga memerlukan
pemakaian media yang sesuai dengan jenis sel. Media DMEM (Dulbecco’s
Modified Eagle’s Medium) mengandung komposisi asam amino, protein, dan
glukosa yang berbeda dengan media MEM dan RPMI sehingga mempengaruhi
sifat adhesi dari sel. Supelmen yang digunakan seperti FBS dan FCS (Fetal Calf
Serum) juga mempengaruhi sifat proliferasi sel (Rinendyaputri dan Noviantari
2015).

METODE

Tempat dan Waktu

Praktik Lapangan ini dilaksanakan pada tanggal 16 Juli hingga 21 Agustus


2018. Waktu kerja adalah 8 jam dimulai dari jam 8.00 WIB hingga jam 16.00
WIB. Program ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Teknologi Farmasi dan
Biomedika (LAPTIAB), Pusat Teknologi Farmasi dan Medika (PTFM), Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Serpong.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan untuk produksi adjuvant aluminium hidroksida adalah


peralatan gelas, botol Schott 1 L, pH meter, Eppendorf, mikrosentrifus, mesin
freeze drying, neraca analitik, buret, dan magnetic stirrer. Alat yang digunakan
9

untuk uji MTT assay adalah pipet volume (Gilson), pipet serologis, tube 15 mL,
botol T-flask 25 mL dan 75 mL, autoklaf, Eppendorf, mikroskop, sentrifus, water
bath microplate, pipet serologi, mikropipet, pipet volume (Gilson),
haemocytometer, tally counter, dan ELISA reader.
Bahan yang digunakan adalah untuk produksi adjuvant adalah air reverse
osmotic (RO), NaOH, AlCl3.6H2O, dan kalium fosfat monobasal. Bahan yang
digunakan untuk pembuatan media dan PBS 1x adalah media basal RPMI
(Roswell Park Memorial Institute), serum FBS (Fetal Bovine Serum), antibiotik
PenStrep (Penicillin Streptomycin), NaCl, KCl, Na2HPO4, KH2PO4, dan air steril.
Bahan yang digunakan untuk penumbuhan sel RAW264.7 dan uji MTT assay
adalah media kompleks RPMI, PBS (Phosphate Buffer Saline) 1x, sel RAW264.7,
tripsin, trypan blue, reagen MTT (Microtetrazolium), SDS (Sodium Dodeccyl
Sulfate) 10%, adjuvant Al(OH)3 produksi, dan Alhydrogel®komersial.

Prosedur

Pembuatan Larutan Stok


Masing-masing larutan dihitung dengan menggunakan rumus V1.N1 =
V2.N2 (Nisak et al. 2013). Larutan AlCl3.6H2O dibuat dengan mencampurkan 3.6
gram AlCl3.6H2O dengan 1 L air RO. Larutan NaOH 0.04 M 1 L dibuat dengan
mencampurkan 1.6 gram NaOH dengan 1 L air RO. Larutan kalium fosfat
monobasal 1 L dibuat dengan mencampurkan 27.218 gram kalium fosfat
monobasal dengan 1 L air RO. Kemudian, sebanyak 8 gram NaOH dilarutkan
dengan 1 L air RO untum membuat stok larutan NaOH 0.2 M 1L.

Pembuatan Larutan
Dapar Fosfat pH 6.8. Larutan stok kalium fosfat monobasal dicampur
dengan larutan stok NaOH 0.2 M. Kemudian pH diadjust dan diukur dengan pH
meter hingga pH mencapai 6.8 dengan menambah larutan kalium fosfat monobasal
atau NaOH 0.2 M (Gozali et al. 2014).
RPMI FBS 10%. Media RPMI FBS 10% digunakan sebagai media
pertumbuhan sel. Sebanyak 500 mL media RPMI FBS 10% dibuat dari campuran
1% pen strep, 10% serum FBS, dan 89% media basal RPMI (Bahi et al. 2016).
PBS. Sebanyak 81.8 g NaCl, 20.1 g KCl, 14.2 g Na 2HPO4, dan 2.45 g
KH2PO4 dimasukan ke dalam botol 1 L, lalu ditambahkan air steril sebanyak 1 L.
PBS disimpan sebagai stok. Kemudian, sebanyak 50 mL PBS stok diambil dan
ditambahkan dengan 450 mL air steril lalu di autoklaf atau difilter dengan syringe
0.45 µm dalam laminar air flow (Alvianti et al. 2012).

Produksi Adjuvant Al(OH)3


Produksi Al(OH)3.Larutan AlCl3.6H2O dimasukan ke dalam 4 labu
Erlenmeyer 500 mL masing-masing sebanyak 250 mL. Kemudian, sebanyak 250
mL larutan NaOH 0.04 M masing-masing dimasukan ke dalam 4 labu Erlenmeyer
yang berbeda. Larutan AlCl3.6H2O pada satu labu Erlenmeyer ditambahkan
dengan larutan NaOH 0.04 M dari satu Erlenmeyer secara perlahan menggunakan
buret sambil diaduk menggunakan stirrer. Kemudian, pH campuran diadjust dan
diukur dengan pH meter hingga mencapai pH 6.8 dengan menambahkan
AlCl3.6H2O atau NaOH 0.04 M. Lalu campuran didiamkan selama satu malam.
Setelah didiamkan
10

selama 1 malam, gel Al(OH)3 yang terbentuk dipisahkan dari larutan garam
dengan menggunakan pipet serologis untuk pengambilan larutan garam.
Kemudian, gel ditambahkan dengan dapar fosfat pH 6.8 dengan perbandingan
Al(OH)3 : dapar fosfat sama dengan 1 : 1. Suspensi Al(OH)3 kembali didiamkan
selama 2 hari, kemudian dicuci kembali dengan dapar fosfat. Setelah itu
pencucian dilakukan sehari sekali. Hasil pencucian kemudian disimpan sebagai
stok (Mardliyati et al. 2017).
Perhitungan Rendemen Al(OH)3. Sebanyak 4 Eppendorf ditimbang.
Kemudian sebanyak 1 mL Al(OH)3 masing-masing dimasukan ke dalam
Eppendorf yang berbeda dan ditimbang hingga beratnya mencapai 1 gram. Setelah
itu, Al(OH)3 disentrifus dengan kecepatan 10000 rpm 25°C selama 15 menit.
Supernatan dibuang dan sisa larutan diseka dengan tissue. Lalu, endapan Al(OH)3
ditimbang kembali sebagai berat pellet. Setelah itu, endapan difreeze drying
hingga membentuk serbuk kemudian ditimbang kembali (Shah et al. 2013).

Thawing Sel RAW264.7


Sel RAW264.7 dikeluarkan dari cryo-tank berisi nitrogen cair 80ºC dan
dibiarkan mencair. Sel dimasukan ke dalam tube 15 mL lalu ditambahkan dengan
6 mL media RPMI FBS 10% dan disentrifus 1200 rpm 25ºC selama 5 menit.
Supernatan dibuang dan ditambahkan 1 mL media RPMI FBS 10% kemudian
diketuk agar sel terdispersi. Setelah itu, sel dipindahkan ke dalam T-flask 25 mL
dan ditambahkan media RPMI FBS 10% 5 mL. Sel kemudian diinkubasi dalam
inkubator 37ºC selama beberapa jam, kemudian media sel diganti dengan media
baru. Setelah itu, sel kembali diinkubasi dalam inkubator 37ºC (Fernanda et al.
2010).

Subkultur/Pasase
Media pada T-flask dibuang kemudian dicuci dengan PBS sekitar 3 mL.
PBS dibuang, lalu ditambahkan 1.5 mL tripsin. Kemudian tripsin diratakan ke
seluruh permukaan T-flask (perlakuan ini tidak boleh berlangsung lama) dan
dibuang. Sebanyak 3 mL PBS ditambahkan lalu diinkubasi pada suhu 37ºC selama
3 menit. T-flask ditapping. Sel yang telah didetach bersama PBS dimasukan ke
dalam tube 15 mL kemudian disentrifus dengan kecepatan 1200 rpm 25ºC selama
5 menit. Supernatan dibuang dan ditambahkan 5 mL media. Tube didisperse
dengan mikropipet kemudian sebanyak 1 mL campuran sel dan media dipindah ke
dalam T-flask 75 mL yang sebelumnya telah diisi dengan 15 mL media dan T-
flask 25 mL yang sebelumnya telah diisi dengan 5 mL media (Freshney 2005).

Penggantian Media
Media dalam T-flask dibuang lalu dicuci dengan PBS. Kemudian
ditambahkan media RPMI FBS 10% sebanyak 15 mL lalu diinkubasi pada suhu
37ºC (Fernanda et al. 2010).

Seeding Sel RAW264.7


Media sel dibuang kemudian dicuci dengan 4 ml PBS konsentrasi 1X.
Sebanyak 2 mL tripsin ditambahkan pada T-flask lalu diinkubasi selama 3 menit di
dalam inkubator. T-flask ditepuk-tepuk untuk mempercepat proses detach.
Sebanyak 5 mL media RPMI FBS 10% ditambahkan kemudian sel dipindahkan ke
11

tube dan di sentrifus 12000 rpm 25ºC selama 5 menit. Supernatan dibuang lalu
ditambahkan 5 mL media RPMI FBS 10% agar sel terdispersi. Sel dihitung dengan
menggunakan hemocytometer. Sebanyak 1 mL sel dimasukkan ke dalam
Eppendorf sebagai stok. Kemudian sel diencerkan 5 kali dengan trypan blue lalu
dihomogenisasi. Sel diteteskan pada hemocytometer dan diamati dibawah
mikroskop. Sel pada tiap kuadran dihitung lalu jumlah sel didapatkan dengan
perhitungan (1). Untuk memenuhi kebutuhan sel sebanyak 1,5 x 10 4sel/well, stok
sel diencerkan dengan media RPMI FBS 10% dengan memenuhi perhitungan (2).
Sebanyak 100 µl sel dimasukkan ke dalam well pada microplate. Sel diamati di
bawah mikroskop lalu diinkubasi dalam inkubator selama 1 hari (Bahi et al. 2016,
Freshney 2005).
Jumlah sel = n (jumlah sel) x Df (faktor delusi) x 2500 (1)

Volume sel stok (ml) = Kebutuhan sel yang digunakan (sel) (2) Jumlah sel yang
diperoleh (sel/ml)

Uji Toksisitas MTT Assay


Sampel Al(OH)3 disterilisasi dengan sinar UV selama 1 jam di dalam
laminar air flow. Sampel Al(OH)3 kemudian diencerkan media RPMI FBS 10%
dengan prinsip serial dillution hingga membentuk 4 variasi konsentrasi, yaitu 1%
s.d 0.125%. Sebanyak 75 µl media pada masing-masing well yang berisi sel,
dibuang menggunakan mikropipet transfer secara perlahan sehingga tidak merusak
sel yang menempel pada dasar microplate. Lalu ditambahkan masing-masing 100
µl sampel adjuvant Al(OH)3 dengan semua variasi konsentrasi sebanyak 3 kali
ulangan. Sel kemudian diinkubasi dalam inkubator selama satu hari. Setelah itu,
sampel adjuvant Al(OH)3 pada tiap well dibuang seluruhnya lalu sel dibilas dengan
PBS 1X. Kemudian ditambahkan 100 µl reagen MTT 0.5 mg/ml kedalam well
berisi sel dalam kondisi tanpa cahaya/lampu pada laminar air flow. Sel lalu
diinkubasi kembali selama 4 jam dalam inkubator. Setelah 4 jam, ditambahkan
SDS 10% sebanyak 100 µl pada tiap well berisi sel sebagai stop reaction. Sel
kemudian diinkubasi kembali selama selama satu hari pada suhu ruang dalam
kondisi tidak terkena cahaya (microplate ditutup alumunium foil). Selanjutnya
dilakukan analisa MTT (toksisitas) menggunakan ELISA Reader dengan panjang
gelombang 570 nm. Hasil yang diperoleh kemudian dihitung sebagai OD (Optical
Density) yang kemudian dikonversi dalam persen menggunakan software
GRAPHPAD PRISM (Nursid et al. 2015, Bahi et al. 2016).

HASIL

Rendemen Al(OH)3

Perhitungan rendemen Al(OH)3 dilakukan dengan menggunakan metode


freeze drying. Gel Al(OH)3 yang diproduksi ditimbang secara keseluruhan sebagai
berat supernatan lalu disentrifugasi dan dibuang supernatannya kemudian
ditimbang kembali sebagai berat pellet. Pellet yang diperoleh kemudian
12

dikeringkan menjadi bubuk dengan metode freeze drying kemudian ditimbang


kembali sebagai berat freezedry. Perbandingan antara berat freezedry dan berat
supernatan kemudian dikonversi dalam persen untuk memperoleh persen
rendemen. Hasil persen rendemen yang diperoleh ditunjukkan oleh Tabel 1 dengan
persen rendemen rata-rata sebesar 1.390 ± 0.048%.

Tabel 1 Rendemen Al(OH)3


Ulangan Berat Berat Pelet Berat Rata-rata
Berat kering Supernatan (gram) Freezedry (gram) %Rendemen
(gram) (gram) %Rendemen

1 1.0133 1.0182 0.2424 0.0145 1.4240817 2 1.0139 0.2430 0.0142 1.3899765 4 1.0124 1.0204 0.1906
1.0182 0.2129 0.0145 1.4240817 3 1.0130 1.0216 0.0135 1.3230106
Perkembangan Sel RAW264.7 1.390 ± 0.048

Sel dari cryotube ditanam pada T-flask 25 mL dengan media kompleks


RPMI FBS 10%. Sel kemudian akan menempel pada permukaan T-flask dan
tumbuh dalam waktu beberapa hari. Setelah mencapai konfluensi 90% sel dipasase
ke dalam T-flask 75 mL dengan bantuan trypsin untuk proses detach.
Hasil perkembagan sel RAW264.7 yang ditunjukkan oleh Tabel 2
menggambarkan bahwa pada tahap awal sel mengapung ketika baru ditanam pada
T-flask 25 mL. Kemudian sel menempel pada permukaan T-flask dan mencapai
konfluensi 90% pada hari keempat atau H+3 setelah seeding. Sel yang dipasase
ditanam pada T-flask 75 mL dan mencapai konfluensi 90% pada hari ketujuh atau
H+4 setelah pasase pertama sehingga dilakukan pasase kedua.

Tabel 2 Perkembangan Sel RAW264.7


Waktu Perlakuan Gambar Keterangan Sel menyebar dan
mengapung/ belum
menempel
H0 Seeding Penggantian

dipermukaan T-flask.

Foto sebelum
penggantian media

H1 (H1 Seeding)
Media
Setelah penggantian
media

H3 Pasase 1 H7 Pasase 2

Foto sebelum pasase. Sel


dipindah dari T flask 25
mL ke 75 mL. Setelah
pasase, sel membentuk
agregrat sehingga sel
harus diletakkan di
13 tengah T-flask.

Foto sebelum pasase


pada T-75. Pada
bagian belakang T flask sel
tumbuh rapat sehingga
harus
dilakukan pasase.

MTT Assay Al(OH)3 Standar dan Produksi

Pengukuran toksisitas Al(OH)3 produksi BPPT dan Al(OH)3 standar


menggunakan uji MTT assay terhadap sel RAW264.7. Adjuvant Al(OH)3 standar
yang digunakan adalah Alhydrogel komersial yang diperoleh dari In Vio Gen,
USA. Uji MTT assay membutuhkan sejumlah sel yang telah ditumbuhkan
sebelumnya. Perhitungan jumlah sel dan konsentrasi Al(OH) 3 yang digunakan
terdapat pada Lampiran 10. Uji yang dilakukan hanya menggunakan 2 kali
ulangan atau duplo karena keterbatasan jumlah sel dengan rentang konsentrasi 4,
yaitu 0.125%, 0.25%, 0.5%, dan 1%. Konsentrasi 0.00 % yang tidak diberi
perlakuan digunakan sebagai kontrol positif.
Hasil pada Tabel 3 dan 4 menunjukkan data bahwa Al(OH) 3 (alum)
standar/komersial lebih toksik daripada Al(OH)3 yang diproduksi oleh BPPT yang
ditandai dengan kematian sel. Hasil tersebut dapat diamati pada Lampiran 13 yang
menunjukkan grafik OD pada panjang gelombang 570 nm. Data tersebut kemudian
dikonversi dalam persen menjadi data viabilitas sel yang ditunjukkan oleh
Lampiran 14. Perhitungan 2way ANOVA pada Lampiran 11 menunjukkan kadar
toksik antara kedua adjuvant tersebut berbeda nyata pada data konsentrasi 0.25%.
14

Tabel 3 Hasil OD alum BPPT dan alum komersial (standar)


Persen Alum BPPT Mean Alum Komersial Mean 0 2.094 2.067 2.080 100 2.094 2.067
2.080 100 0.125 0.793 1.56 1.176 56.54891 0.659 0.611 0.635 30.52151 0.25 1.074
1.247 1.160 55.77986 0.456 0.629 0.542 26.07546 0.5 0.681 0.538 0.609 29.29584
0.63 0.534 0.582 27.97404 1 0.848 0.848 0.848 40.75943 0.586 0.584 0.585 28.11824

Tabel 4 Viabilitas sel RAW264.7 MTT


Persen Alum BPPT Alum Komersial 0 100 100 100 100 0.125 37.87011
75.4717 31.47087 29.55975 0.25 51.2894 60.32898 21.7765 30.43058
0.5 32.52149 26.02806 30.08596 25.83454 1 40.49666 41.02564
27.98472 28.25351

PEMBAHASAN

Produksi dan Rendemen Al(OH)3

Aluminium hidroksida pertama kali dibuat dengan metode konvensional,


yaitu metode yang menggunakan prinsip presipitasi. Adjuvant Al(OH)3 dibuat
dengan mencampurkan larutan alkali dan larutan garam aluminium untuk
membentuk kristal aluminium oksihidroksida (AlO(OH)). Pembentukan kristal ini
terjadi melalui pembentukan jembatan ikatan antarmolekul antara gugus hidroksil.
Garam aluminium yang dicampur dengan alkali membentuk endapan aluminium
hidroksida yang halus dan flokulen yang disebut dengan kistal Aluminium
metahidroksida. Endapan ini membentuk agregat dalam air. Aluminium hidroksida
merupakan senyawa amfoter dengan titik isoelektrik 11.4. Aluminium hidroksida
membawa muatan positif pada permukaannya dalam bufer dengan pH yang sama
dengan pH cairan interstitial tubuh. Aluminium hidroksida dapat mengadsorpsi
protein asam dengan baik. Ukuran partikel Al(OH) 3 yang terbentuk umumnya
berbeda-beda. Hal ini disebabkan metode produksi Al(OH) 3 yang masih relatif
heterogen (He et al. 2015).
Aluminium hidroksida yang terbentuk dari pencampuran AlCl 3 dan
NaOH 0.04 M membentuk endapan melalui reaksi presipitasi. Reaksi yang terjadi
adalah: AlCl3(aq) + 3NaOH(aq) → Al(OH)3(s) + 3NaCl(aq). Endapan yang terbentuk ini
kemudian dipisahkan dari garam NaCl (Mardliyati et al. 2017). Endapan yang
terbentuk ini bergantung pada konsentrassi NaOH dan Al 3+ yang digunakan (Li at
al. 2014). Produksi Al(OH)3 yang dilakukan menggunakan metode konvensional.
Merujuk Tabel 1, rendemen Al(OH) 3 yang diproduksi pada Praktik Lapangan ini
memperoleh rata-rata persen rendemen 1.390 ± 0.048 %.
15

Kecepatan agitasi mempengaruhi ukuran partikel yang terbentuk. Semakin


cepat agitasi yang dilakukan maka partikel yang terbentuk semakin kecil.
Aluminium hidroksida yang digunakan sebagai sampel diaduk hanya
menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan yang relatif lambat (Mardliyati
et al. 2017).

Perkembangan Sel RAW26.7

Kultur sel RAW264.7 disimpan dalam cryo-tube berisi dimetil sulfooksida


(DMSO) yang digunakan dalam teknik kriopreservasi. Teknik ini merupakan suatu
teknik penyimpanan sel baik sel hewan, tumbuhan, maupun materi genetika
lainnya. Sel disimpan dalam suatu keadaan beku yang dapat mereduksi aktivitas
metabolisme tanpa merusak organel-organel dalam sel sehingga fungsi fisiologi,
biologis, dan morfologi sel tetap utuh. Kriopreservasi menggunakan nitrogen cair
dan suhu sangat rendah ketika menyimpan sel (Kostaman dan Setioko 2011).
DMSO yang digunakan berfungsi melindungi sel dari kerusakan dan menjaga
kelangsungan dan fungsi sel (Wangen et al. 2018). Suhu penyimpanan sel
RAW264.7 dalam teknik kriopreservasi menggunakan nitrogen cair adalah 80ºC
(Fernanda et al. 2010).
Media DMEM (Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium), MEM dan RPMI
mengandung komposisi asam amino, protein, dan glukosa yang berbeda yang
dapat mempengaruhi sifat adhesi sel. Penambahan suplemen juga mempengaruhi
sifat proliferasi sel (Rinendyaputri dan Noviantari 2015). Sel RAW264.7 dapat
tumbuh pada media DMEM yang diberi antibiotik dan FBS (Andri et al. 2016)
maupun media RPMI yang diberi tambahan penicillin dan streptomycin sebagai
antibiotik dan FBS sebagai suplemen (Fernanda et al. 2010).
Proses thawing merupakan tahap pencairan kembali kultur sel setelah sel
disimpan pada suhu sangat rendah dengan teknik kriopreservasi (Bebas dan
Laksmi 2014). Proses ini dilakukan dengan memasukan cryo-tube dalam water
bath dengan suhu 37ºC hingga suspensi sel mencair (Fernanda et al. 2010).
Kemudian sel ditumbuhkan pada T-flask berisi media basal. Media basal yang
digunakan untuk menumbuhkan sel adalah RPMI yang diberi tambahan suplemen
berupa FBS dan antibiotik. Antibiotik yang digunakan adalah penicillin dan
streptomycin atau PenStrep (Fernanda et al. 2010). Menurut Wangen et al. (2018)
PBS digunakan sebagai larutan untuk mencuci sel dari bahan yang dapat
mengkontaminasi pada saat penggantian media atau pasase.
Kultur sel RAW264.7 yang diinkubasi selama beberapa hari tumbuh
hingga hampir menutupi seluruh permukaan T-flask. Keadaan ini disebut
konfluensi 80- 90% dan mengharuskan sel harus dipasase (subkultur). Doubling
time merupakan periode waktu yang dibutuhkan sel untuk menggandakan diri dari
segi jumlah maupun ukuran (Kaiin dan Djuwita 2016). Merujuk Tabel 2, sel
RAW264.7 pada Praktik Lapangan ini mecapai konfluensi 90% pada hari ketiga
atau H+3 setelah seeding. Pasase pertama dilakukan dengan menumbuhkan sel
dari T-flask 25 mL ke T-flask 75 mL. Kemudian konfluensi 90% dan pasase
kedua dilakukan pada hari ketujuh atau H+4 dari pasase pertama. Menurut Bancos
dan Tyner (2014) sel RAW264.7 memiliki doubling time berkisar 12 jam.
Ketika sel telah mencapai kofluensi tinggi, langkah pertama yang perlu
dilakukan untuk pasase adalah detach sel RAW264.7 yang memiliki sifat
adherent. Tahap ini dilakukan dengan melepas sel dari substrat menggunakan
tripsin.
16

Kemudian sel dibagi dan ditumbuhkan lagi pada media baru. Proses ini perlu
dilakukan dengan cepat karena aktivitas proteolitik dari tripsin dapat merusak sel
dengan cara membelah permukaan reseptor faktor pertumbuhan sel atau membran
protein (Huang et al. 2010). Sel yang telah dipasase beberapa kali akan semakin
hommogen dan stabil serta memiliki kemampuan beradaptasi yang baik terhadap
lingkungan in vitro (Kaiin dan Djuwita 2016)

Toksisitas Al(OH)3

Uji MTT assay digunakan dalam uji sitotoksisitas. Uji ini didasarkan pada
kemampuan sel untuk mereduksi garam tetrazolium (3-(4,5-dimethyl thiazol-2-yl)-
2,5-diphenyltetrazolium bromide) yang kemudian akan membentuk kristal
formazan yang berwarna violet. Kristal yang terbentuk tidak dapat larut dalam air.
Warna violet yang terbentuk disebabkan oleh reduksi sel secara metabolik oleh
enzim dehidrogenase yang kemudian membentuk NADH atau NADPH. Warna
yang terbentuk ini kemudian diukur absorbansinya menggunakan ELISA reader.
Nilai absorbansi yang dihasilkan menunjukkan viabilitas sel. Nilai absorbasi
sampel yang lebih kecil dari absorbansi kontrol menunjukkan sel mengalami
reduksi dan memiliki kemampuan proliferasi yang rendah dan sebaliknya, jika
absorbansinya tinggi maka kemampuan proliferasi sel tinggi. Proliferasi sel yang
sangat tinggi mengakibatkan perubahan morfologi sel sehingga sel akan mati (Bahi
et al. 2016).
Jumlah sel yang diinginkan pada uji MTT assay ini adalah 1,5 x
4
10 sel/well. Perhitungan sel menggunakan trypan blue assay yang menggunakan
zat pewarna trypan blue. Prinsip dari metode ini adalah sel normal memiliki
membran sel yang utuh sehingga dapat menahan zat asing berupa pewarna seperti
trypan blue. Kemudian suspense sel yang telah diberi pewarna diamati dibawah
mikroskop (Bahi et al. 2016). Perhitungan sel ini bertujuan menentukan jumlah
sel yang akan diuji dalam MTT assay.
Sel ditumbuhkan pada media RPMI yang diberi tambahan FBS dan
antibiotik seperti penicillin dan streptomycin kemudian diinkubasi pada suhu 37ºC
(Fernanda et al. 2010). Setelah diinkubasi, sel ditambahkan dengan reagen MTT
kemudian kembali diinkubasi hingga terbentuk kristal formazan yang berwarna
ungu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 570 nm. Hasil absorbansi ini
menunjukan nilai OD yang selanjutnya dianalisis menggunakan program
Graphpad software PRISM (Bahi et al. 2016).
Uji MTT assay dilakukan dengan mengukur Optical Density (OD)
sehingga diperoleh data absorbansi sampel (Bahi et al. 2016). Merujuk Tabel 3
dan menunjukkan data bahwa alum standar/komersial lebih toksik daripada alum
yang diproduksi oleh BPPT yang ditandai dengan kematian sel. Perbedaan
signifikan ditunjukkan oleh data 0.25%. Hasil OD yang diperoleh ditunjukkan
oleh Tabel 3. Konsentrasi Al(OH)3 0.00% adalah kontrol dengan tidak diberi
perlakuan penambahan adjuvant Al(OH)3, tetapi diberi perlakuan media. Sampel
dengan perlakuan 0% Al(OH)3 menunjukan hasil OD yang tinggi. Hal ini berarti
masih banyak sel RAW264.7 yang hidup. Sampel adjuvant standar atau
Alhydrogel® komersial memiliki OD yang lebih rendah dari sampel Al(OH) 3
produksi.
Semakin besar intensitas warna ungu maka semakin tinggi nilai
absorbansinya dan jumlah sel yang hidup semakin banyak. Hal ini disebabkan sel
17

yang hidup masih aktif melakukan metabolisme garam tetrazolium menjadi kristal
formazan (Dona et al. 2016). Kemudian data OD tersebut dikonversi ke dalam
bentuk persen sehingga diperoleh data viabilitas atau kehidupan sel (Nastiti et al.
2015).
Hasil viabilitas ditunjukkan oleh Tabel 4. Viabilitas sel RAW264.7 pada
konsentrasi Al(OH)3 0% menunjukkan hasil 100%. Hal ini berarti konsentrasi
Al(OH)3 0% sebagai kontrol menunjukkan hasil sel masih hidup atau tidak mati.
Hasil viabilitas sel pada sampel adjuvant Al(OH)3 standar memperoleh nilai yang
lebih kecil daripada Al(OH)3 hasil produksi. Hal ini menunjukkan bahwa Al(OH) 3
standar lebih toksik dibandingkan Al(OH)3 produksi. Hal ini dapat disebabkan
karena adanya kandungan zat lain pada Al(OH)3 komersial. Hasil perbandingan
OD dan viabilitas sel RAW264.7 yang diberi Al(OH)3 produksi dan Al(OH)3
komersial terdapat pada Lampiran 13 dan 14 yang menunjukkan gambar grafik
OD dan viabilitas sel. Kadar toksik tersebut berbeda nyata pada data konsentrasi
0.25%
Menurut Eidi et al. (2015) suatu sampel dikategorikan non-
toksik jika viabilitas sel > 90%, sedikit toksik jika
viabilitas sel 65-90%, toksik jika viabilitas sel 35-65%,
dan sangat toksik jika viabilitas sel ≤ 35%. Hasil viabilitas
sel yang terdapat pada Tabel 4 menunjukkan bahwa sampel
Al(OH)3 produksi dikategorikan toksik pada konsentrasi 0.125%, 0.25%, dan 1%.
Sampel Al(OH)3 produksi dikategorikan sangat toksik pada konsentrasi 0.5%.
Standar Al(OH)3 atau Al(OH)3 komersial memiliki viabilitas sel dibawah 35% pada
semua konsentrasi. Hal ini menunjukkan bahwa Al(OH)3 komersial yang
digunakan sebagai standar termasuk kategori sangat toksik. Grafik rentang
toksisitas Al(OH)3 sebagai adjuvant terdapat pada Lampiran 12. Parameter yang
digunakan dalam uji toksisitas ini adalah nilai LD 50 yang menunjukkan dosis atau
konsenrasi sampel yang dapat membunuh 50% populasi, akan tetapi dari hasil
yang diperoleh nilai LD50 tidak dapat dicari dengan rentang konsentrasi yang
kecil, yaitu 5 variasi konsentrasi 0%, 1%, 0.5%, 0.25%, dan 0.125% pada Praktik
Lapangan ini (Khairan et al. 2016).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kegiatan Praktik Lapangan ini meningkatkat wawasan dan keterampilan


mahasiswa terutama di bidang teknologi farmasi dan medika mengenai adjuvant
vaksin dan dalam penanganan cell line. Produksi adjuvant aluminium hidroksida
dilakukan menggunakan metode konvensional dengan prinsip presipitasi. Hasil
produksi Al(OH)3 yang dilakukan belum optimal dengan rerata persen rendemen
1.390 ± 0.048 %. Adjuvant Al(OH)3 yang diproduksi masih masuk ke dalam
kategori toksik, sedangkan standar Alhydrogel®termasuk kategori sangat toksik
dengan 4 range konsentrasi 1%, 0.5%, 0.25%, dan 0.125% yang digunakan.
Adjuvant Al(OH)3 yang diproduksi juga memiliki toksisitas yang lebih rendah dari
Alhydrogel®yang digunakan sebagai standar. Nilai LD 50 yang digunakan sebagai
parameter juga tidak dapat diperoleh akibat rentang variasi konsentrasi adjuvant
yang digunakan kecil.
18

Saran

Perlu dilakukan pengukuran rendemen adjuvant dengan metode lain karena


hasil yang diperoleh belum optimal, seperti dengan metode penguapan. Uji
toksisitas yang dilakukan belum dapat memperoleh nilai LD 50 sehingga perlu
dilakukan pengujian ulang dengan menurunkan konsentrasi sampel dan
memperluas rentangkonsentrasi sampel yang digunakan untukk memperoleh nilai
LD50.
19
DAFTAR PUSTAKA

[BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2017. Profil Badan


Pengkajian dan Penerapan Teknologi [diakses 2018 Agustus 13]. Tersedia di
http://bppt.go.id.
[PTFM] Pusat Teknologi Farmasi dan Medika. 2017. Kemitraan dan Kerjasama
Pusat Teknologi Farmasi dan Medika [diakses 2018 Agustus 13]. Tesedia di
http://ptfm.bppt.go.id.
[PTFM] Pusat Teknologi Farmasi dan Medika. 2016. Kemitraan dan Kerjasama
Pusat Teknologi Farmasi dan Medika [diakses 2018 Agustus 13]. Tesedia di
http://ptfm.bppt.go.id.
[PTFM] Pusat Teknologi Farmasi dan Medika. 2016. Profil Pusat Teknologi
Farmasi dan Medika [diakses 2018 Agustus 13]. Tesedia di
http://ptfm.bppt.go.id.
Alvianti F, Mukhtar R, Marianne. 2012. Penghambatan degranulasi mastosit
tersensitisasi aktif oleh Curcuma manga Val. & Zijp pada mencit secara in
vitro. Journal of Pharmaceutics an Pharmacology. 1(1): 44-54.
Amir H, Murcitro BG. 2017. Uji microtetrazolium (MTT) ekstrak metanol daun
Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl terhadap sel kanker payudara MCF-7.
ALOTROP Jurnal Pendidikan dan Ilmu Kimia. 1(1): 22-32.
Andri PS, Tzou CH, Suma M. 2016. Efek polisakarida Mesona chinensis pada
produksi sitokin dan molekul kostimulator pada sel makrofag RAW264.7.
Jurnal Kedokteran Brawijaya. 29(1): 14-20.
Bancos S, Tyner KM. 2014. Evaluating the effect of assay preparation on uptake
of gold nanoparticles by RAW264.7 cells. Journal of nanotechnology.
12(45):1- 11.
Bahi M, Jacob C, Khairan K. 2016. Efek sitotoksik harleem oil terhadap HL-60
cell line dan Steinernema feltiae. Jurnal Kedokteran Hewan. 10(2): 109-114.
Bebas W, Laksmi DNDI. 2014. Pengaruh berbagai konsentrasi dimethylsulfoxide
terhadap kualitass semen beku ayam hutan hijau post thawing. Jurnal Ilmu
dan Kesehatan Hewan. 2(2): 105-115.
Copriady J, Azmi J, Maharani. 2011. Isolasi karakterisasi dan penentuan kadar
laktabumin susu sapi fries holdstein dengan metode Lowry. Jurnal Natur
Indonesia. 13(2): 134-137.
Dewi IP. 2017. Metode pemberian dan sistem penghantaran peningkat
imunogenisitas vaksin DNA. SCIENTIA. 7(2): 96-104.
Diantika L, Nurfaat, Indriyati W. 2016. Uji toksisitas akut ekstrak etanol benalu
manga (Dendrophthoe petandra) terhadap mencit Swiss webster. Indonesian
Journal of Pharmaceutical Science and Technology. 3(2): 53-65.
Dona R, Sulistyani N, Nurani LH. 2016. Uji sitotoksisitas dan antiproliferatif
ekstrak etanol daun leunca (Solanum nigrum, L.) terhadap sel raji.
Pharmaciana. 6(2): 181-190.
20

Dwinanti SH, Sukenda, Yuhana M, Lusiastuti AM. 2014. Toksisitas dan


imunogenisitas produk ekstraseluler Streptococcus agalatiae tipe non
hemolitik pada ikan nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Akuakultur Rawa
Indonesia. 2(1): 105-116.
Eidi H, David MO, Crẻpeaux G, Henry L, Joshi V, Berger MH, Sennour M,
Cadusseau J, Gherardi R, Curmi PA. 2015. Fluorescent nanodiamonds as a
relevant tag for the assessment of alum adjuvant particle biodispoition.
BioMed Central Medicine. 13(144): 1-13.
Fernanda MM, Tatiana NS, Djalma SLJ, Dario SZ. 2010. A method for generation
of bone marrow-derd macrophage from cryopreserved mouse bone marrow
cells. PloS ONE. 5(12): 1-8.
Freshney RI. 2005. Culuter of Animal Cells: A Manual of Basic Techinuque. New
Jersey (US): John Wiley & Sons, Inc.
Gozali D, Putra AFC, Spoyan I. 2014. Pengaruh modifikasi kristal kalsium
atorvastatin terhadap laju disolusi. Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati dan Fisik
Bionatura. 16(2): 83-88.
Harris JR, Soliakov A, Lewis RJ, Watkinson A, Lakey JH. 2012. Alhydrogel®
adjuvant, ultrasoneic dispersion, and protein binding: TEM and analytical
study. Micron. 43: 192-200.
Hasti S, Muchtar H, Bakhtia A. 2012. Uji aktivitas hepatoproteksi dan toksisitas
akut dari ekstrak gambir terstandarisasi. Jurnal Penelitian Farmasi
Indonesia. 1(1): 34-38.
He P, Zou Y, Hu Z. 2015. Advances in aluminum hydroxide-based adjuvant
research and its mechanism. Human Vaccines & Immunotherapeutics. 11(2):
477-488.
Huang HL, Hsing HW, Lai TC, Chen YW, Lee TR, Chan HT, Lyu PC, Wu CL,
Lu YC, Lin ST et al. 2010. Trypsin-induced proteome alteration during cell
subculture in mammalian cells. Journal of Biomedical Science. 17(36): 1-10.
Kaiin EM, Djuwita I. 2016. Potensi transdiferensiasi sel fibroblast menjadi sel
saraf secara in vitro. Jurnal Kedokteran Hewan. 10(1):49-53.
Kalsum N, Sulaeman A, Setiawan B, Wibawan IWT. 2017. Efek propolis cair
Trigona spp. terhadap respons imun tikus Sprague Dawley yang diinfeksi
Sthapylococcus aureus. Jurnal Gizi Pangan. 12(1): 23-30.
Khairan K, Bahi M, Jacob C, Idroes R. 2016. Aktivitas beberapa senyawa turunan
benzopyran (chromones) dan benzofuraton (coumaranones0 terhadap
steinernema feltiae. Jurnal Kedokteran Hewan. 10(1): 37-42.
Kool M, Fierens K, Lambrecht BN. 2012.Alum adjuvant: some of the tricks of the
oldest adjuvant. Journal of Medical Microbiology. 61(2012): 927-934.
Kostaman T, Setioko AR. 2011. Perkembangan penelitian teknik kriopreservasi
untuk penyimpanan semen unggas. Wartazoa. 21(3): 145-152.
21

Li X, Aldayel AM, Cui Z. 2014. Aluminum hydroxide nanoparticles show a


stronger vaccine adjuvant activity than traditional aluminum hydroxide
microparticles. Journal of Controlled Release. 173: 148-157.
Mardliyati E, Setyawati DR, Pambudi S, Suryandaru, Kusumaningrum R, Amal
MI. 2017. Preparation of aluminum hydroxide by precipitation method for
vaccine adjuvant application. International Journal of Engineering Research
and Applications. 7(11): 21-25.
Nastiti AD, Widyastuti, Laihad FM. 2015. Bioviabilitas hidroksiapatit ekstrak
cangkang kerrang darah (Anadara granosa) terhadap sel punca mesenkimal
sebagai bahan graft tulang alveol. Jurnal Kedokteran gigi DENTA. 9(2): 1-5.
Nisak K, Rahardja BS, Masithah ED. 2013. Studi perbandingan kemampuan
Nannochloropsis sp. dan Chlorella sp. sebagai agen bioremediasi terhadap
logam berat timbal (Pb). Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 5(2): 175-
180.
Nursid M, Tantri SAD, Rahayu S. 2015. Sitotoksisitas ekstrak aseton dan
kandungan fukosantin rumput laut sargassum. Jurnal Pascapanen dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 10(2): 91-99.
Playfair JHL, Chain BM. 2013. Imunology At A Glance 10th Edition. New Jersey
(US): John & Wiley Sons. Ltd
Rinendyaputri R, Noviantari A. 2015. Produksi mesenchymal stem cell (MSC) dari
sumsum tulang belakang mencit. Jurnal Biotek Medisiana Indonesia. 4(1):
33-41.
Shah F, Khan KI, Jaffery KT. 2013. Isolation and freeze drying of certain
probiotic strains. International Research Journal of Pharmacy. 4(11): 40-45.
Shoenfeld Y, Levin NA. 2010. ‘ASIA’-autoimune/inflammatory syndrome
induced by adjuvants. Journal of Autoimmunity. 36(2011): 4-8.
Sivakumar SM, Safhi MM, Kannadasan M, Sukumaran N. 2011. Vaccine adjuvant
current status and prospects on controlled release adjuvancity. Saudi
Pharmaceutical Journal. 19: 197-206.
Suartha IN, Wibawan IWT, Putra IGNN, Dewi NMRK, Mahardika IGNK. 2011.
Pemilihan adjuvant pada vaksin avian influenza. Jurnal Kedokteran Hewan.
5(2): 49-52.
Tih F. 2016. Aktivitas sitotoksik minyak buah merah (Pandanus conoideus Lam.)
dan inhibisi ekspresi gen siklooksigenase-2 (Cox-2) pada sel raji. Journal of
Medicine and Health. 1(3): 214-223.
Wangen R, AaseboØ E, Trentani A, DØskeland S, Bruserud Ø, Selheim F,
Valladrez MH. 2018. Preservation method and phosphate buffered saline
washing affect the acute myeloid leukemia poteom. International Journal of
Molecular Science. 19(296): 1-11.
Widiastuti D. 2011. Kandidat vaksin sub unit untuk leptospirosis. BALABA. 7(2):
52-54.
22
23
LAMPIRAN
24
25

Lampiran 1. Struktur Organisasi BPPT

is

gr

S
.

ip

a
L

26

Lampiran 2. Peralatan Laboratorium

Mikroskop

Cryo-tank Laminar Sentrifus Air Flow

Lampiran 3. Diagram Alir Praktik Lapangan

Pembuatan Stok Larutan

Produksi Adjuvant
Al(OH)3

Perhitungan Rendemen

Uji Adsorpsi Protein Uji Toksisitas MTT Assay


27

Lampiran 4. Perhitungan Larutan

AlCl3.6H2O
M = 3.6 mg/mL
Bobot AlCl3
3.6 mg AlCl3.6H2O = m
1 mL H2O 1 L H2O
m = 3.6 gram

NaOH 0.04 M
M = 0.04 M Mr = 40 gr/mol V = 1 L
M = n/V
n = m/Mr
m = M x V x Mr
= 0.04 x 1 x 40
= 1.6 gram

Kalium fosfat monobasal


M = 0.2 M Mr = 130.09 gr/mol V = 1 L
m = M x V x Mr
= 0.2 x 1 x 130.09
= 27.218 gram

NaOH 0.2 M
M = 0.2 M Mr = 40 gr/mol V = 1 L
m = M x V x Mr
= 0.2 x 1 x 40
= 8 gram

Lampiran 5. Perhitungan Rendemen

%R = Berat Freezedry x 100%


Berat Supernatan

Ulangan 1
%R = 0.0145 x 100% = 1.4240817%
1.0182
Ulangan 2
%R = 0.0145x 100% = 1.4240817%
1.0182
Ulangan 3
%R = 0.0142 x 100% = 1.3899765%
1.0216
28

Ulangan 4
%R = 0.0135 x 100% = 1.3230106%
1.0204

Rata-rata %R = %R1 + %R2 + %R3 + %R4


4
= 1.4240817 + 1.4240817 + 1.3899765 + 1.3230106 = 1.3902876% 4
�� (��−��)2
S=√
Σ( X – X)2
4
4
= 0.048

Lampiran 6. Pembuatan Reagen BCA

Reagen yang dibutuhkan = n x 3 x 100 µL

Standar = 6 x 3 x 100 = 1,800 µL


Blanko = 1 x 3 x 100 = 300 µL
Sampel = 2 x 3 x 100 = 600 µL
Total = 1,800 + 300 + 600 = 2,700 µL ~ 3000 µL

Reagen A = 3000 µL
Reagen B = 3000/50 = 60 µL

Lampiran 7. Kurva Standar BSA

0.700
y = 0.0004x + 0.0284

is

a
0.600 0.500 0.400 0.300 0.200 0.100 0 200 400 600 800 1000 1200 1400
b

r
1600 Konsentrasi (ppm)
0.000
o

R² = 0.9876
29

Lampiran 8. Hasil Uji Adsorpsi Protein BCA (Bicinchonicic Acid)

[BSA] Absorbansi i [protein teradsorps i]


[protein tak
Rata teradsorps
St.D rataAbsorbans
(ppm) 1 2 3 i] (%)
terkoreksi (ppm)

Al(OH)30.004 0.002 0.011 0.005 0.006 -0.002 -75.167 100.75 Komersial


Al(OH)3
Produksi 0.521 0.476 0.523 0.027 0.507 0.499 1177.333 88.75
Y = 0.0004x + 0.0284
R² = 0.9876

Y = Absorbansi
X = Konsentrasi protein tak teradsorpsi

[Protein tak teradsorpsi] = (Y – 0.0284) ppm


0.0004
[Protein tak teradsorpsi Al(OH)3 komersial] = (-0.002 – 0.0284) = -75.167 ppm
0.0004
[Protein tak teradsorpsi Al(OH)3 produksi] = 0.499 – 0.0284= 1177.333 ppm
0.0004
Menggunakan Ms. Excel

[Protein teradsorpsi] =100-([Protein tak teradsorpsi]/10000)*100

[Protein teradsorpsi Al(OH)3 komersial]


= 100-([-75.167]/10000)*100
= 100.75%

[Protein teradsorpsi Al(OH)3 produksi]


=100-([1177.333]/10000)*100
= 88.75 %

Lampiran 9. Pembuatan Bahan dan Media

Tripsin FBS Sel (Cryotube)

30

RPMI FBS 10% RPMI Basal RPMI

Dapar Fosfat PBS

Alhydrogel®
Lampiran 10. Raw Data MTT Assay

Perhitungan Sel

Jumlah sel = n x Df x 2500

Jumlah sel =201 = 100.5 x 5 x 2500 = 1.25 x 106 sel/mL


2

Kebutuhan sel = 104sel/well dan 7 x 103 sel/well


Kebutuhan larutan = 100 well x 100µL sel + media = 10000 µL ~ 10 mL

Perhitungan

1. 100 well x 104sel = 106sel


= 106sel/1.25 x 106 sel/mL = 0.8 mL sel + 9.2 mL media
2. 100 well x 7 x 103 sel = 0.7 x 106sel
= 0.7 x 106 sel/ 1.25 x 106 sel/mL= 0.56 sel + 9.44 mL media

Kebutuhan sampel I Al(OH)3 = 100µL x 2 (duplo) = 200µL ~ 400µL

Perhitungan
1. Al(OH)3 standar komersial (2%)
800 µL x 1% = 2% x V
V = 400 µL Al(OH)3
~ + 400 µL media
31

2. Al(OH)3 produksi (1.8%)


800 µL x 1% = 1.8% x V
V = 444 µL Al(OH)3
~ + 356 µL media

Template MTT assay


SMP SMP SMP SMP S M P 3 9 P4 M SM
01 08 15 22 M P 3 6 3 P4 P5
3 S 2
SMP P 3 7
SMP SMP SMP 0 S M S
09 2
02 16 23 S M P M S SM
7 4
SMP SMP S M P P4 M P5
SMP 10 SMP 0 4
17 S M P 3 P4 3
03 24 S
M P 3 7 8
SMP SMP S M S SM
SMP P 3 4 SM
11 18 M S M P5
04 2 1 P4 P4
P S M P4 4
SMP SMP 8 1 9
SMP 2 S M P 5
12 19 SM
05 5 S M P 3 S SM
P 8 M S P5 P5
SMP SMP M 3
SMP S 3 P4 M 0 5
13 20 P 5
06 M 2 S 2 P4
2 SM
SMP SMP P S M 6 SM
SMP 9 S P5
14 21 2 M P S P5
07 M S 6
6 S P 3 M 1
SM 9 SM 4 SMP SMP SMP SMP SMP SMP SMP SMP
P5 P6 SMP 68 71 75 79 83 87 91 95
SM 2
7 65
P6 SMP SMP SMP SMP SMP SMP SMP SMP
SM 0 SM SMP 69 72 76 80 84 88 92 96
P5 P6 66 SMP SMP SMP
SM SMP SMP SMP SMP
8 3 73 81 89
P6 SMP 70 77 85 93
SM 1 SM 67 SMP SMP SMP
P6 74 SMP 82 SMP 90 SMP
P5
78 86 94

Letak sampel MTT assay


0.464 0.39 0.367 0.362 0.345 0.381 0.369 0.362 0.372 0.367 0.404 0.407 0.413 0.326 0.312 0.288 0.304
0.327 0.366 0.376 0.371 0.374 0.377 0.395 0.03 0.032 0.03 0.031 0.031 0.031 0.043 0.031 0.03 0.03 0.03
0.03 0.03 0.03 0.03 0.029 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.031 0.031 0.031 0.586 0.584 0.63 0.534 0.456 0.629
0.659 0.611 0.848 0.848 0.681 0.538 1.074 1.247 0.793 1.56 0.867 0.756 0.8 1.012 2.094 2.067 2.043
2.236 0.031 0.031 0.03 0.03 0.031 0.03 0.03 0.029 0.032 0.029 0.03 0.031
0.03 0.031 0.03 0.03 0.027 0.031 0.03 0.03 0.03 0.031 0.03 0.03 Keterangan: : Alum
komersial , : Alum BPPT
32

Lampiran 11. 2Way Anova


33

Lampiran 12. Grafik Rentang Toksisitas Alum


(Eidi et

al. 2015)

Lampiran 13. Grafik Optical Density (OD) Al(OH)3 Produksi dan Standar

34

Lampiran 14. Grafik Viabilitas Sel

Anda mungkin juga menyukai