Anda di halaman 1dari 22

KEPERAWATAN MATERNITAS

Askep Kehamilan dengan Gangguan Metabolik dan Imun


(Ibu dengan Hiperemis Gravidarum, Gestational Diabetikum,
Kehamilan dengan SLE)

KELOMPOK 3
Penyusun:

Ana Amaliana (08230100048)


Imelda Asima (08230100012)
Ida Royani (08230100097)
Reka Christian (08230100099)
Yogi Wahyu Pratama (08230100014)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS INDONESIA MAJU
2023

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat dan karunia-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya dengan judul “Asuhan
Keperawatan Kehamilan dengan Gangguan Metabolik dan Imun”.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dosen mata kuliah Keperawatan Maternitas yang telah memberikan tugas terhadap kami.
Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam
pembuatan makalah ini.

Kami jauh dari kata sempurna. Dan ini merupakan langkah yang baik dari studi yang
sesungguhnya. Oleh karena keterbatasan waktu dan kemampuan kami, maka kritik dan
saran yang membangun senantiasa kami harapkan. Semoga makalah ini dapat berguna bagi
kami pada khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.

Jakarta, 15 Oktober 2023


Penyusun,

Kelompok 3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehamilan merupakan penyatuan dari spermatozoa dan ovum dilanjutkan dengan
nidasi atau implantasi. Bila dihitung dari fase fertilitas hingga lahirnya bayi, kehamilan
normal akan berlangsung dalam waktu 40 minggu 10 bulan atau 9 bulan menurut kalender
internasional. Kehamilan berlangsung dalam tiga trimester, trimester satu berlangsung dalam
13 minggu, trimester kedua 14 minggu (minggu ke-14 hingga ke27), dan trimester ketiga 13
minggu (minggu ke-28 hingga ke-40). Proses kehamilan sampai persalinan itu mata rantai
satu kesatuan dari konsepsi, nidasi, pengenalan ada ptasi, pemeliharaan kehamilan, perubahan
endokrin sebagai persiapan menyongsong kelahiran bayi, dan persalinan dengan kesiapan
pemeliharaan bayi (Evayanti, 2015).
Dari serangkaian proses kehamilan hingga persalinan, banyak proses tersebut yang
dapat membahayakan wanita dan janinnya bahkan dapat menyebabkan kematian. Ada
kemungkinan masa kehamilan, persalinan, nifas dan neonatus yang semula fisiologis bisa
berkembang menjadi patologis dan dapat mengancam ibu dan janinnya. Kehamilan dengan
komplikasi pada ibu hamil dan bersalin merupakan masalah yang kompleks, karena
komplikasi kehamilan tersebut dapat menyebabkan kematian langsung ibu hamil atau
bersalin (Putri & Nunung, 2020). Komplikasi kehamilan salah satunya yakni Hiperemis
Gravidarum, Gestational Diabetikum dan Kehamilan dengan SLE sangat berisiko dalam
membahayakan kesehatan ibu hamil dan janinnya. Oleh karena itu kami tertarik untuk
mengkaji mengenai “Askep Kehamilan dengan Gangguan Metabolik dan Imun (Ibu dengan
Hiperemis Gravidarum, Gestational Diabetikum dan Kehamilan dengan SLE)”.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini yakni Bagaimana Askep Kehamilan dengan
Gangguan Metabolik dan Imun (Ibu dengan Hiperemis Gravidarum, Gestational Diabetikum
dan Kehamilan dengan SLE).
1.3 Tujuan
Tujuan dalam makalah ini yakni Mengetahui Askep Kehamilan dengan Gangguan
Metabolik dan Imun (Ibu dengan Hiperemis Gravidarum, Gestational Diabetikum dan
Kehamilan dengan SLE).
1.4 Manfaat
Manfaat dalam makalah ini yakni menambah pengetahuan tentang Askep Kehamilan
dengan Gangguan Metabolik dan Imun (Ibu dengan Hiperemis Gravidarum, Gestational
Diabetikum dan Kehamilan dengan SLE).
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kehamilan
2.1.1 Definisi Kehamilan
Menurut Federasi Obstetri Ginekologi Internasional, kehamilan didefinisikan
sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan dengan
nidasi atau implantasi. Bila dihitung dari saat fertilisasi hingga lahirnya bayi,
kehamilan normal akan berlangsung dalam waktu 40 minggu atau 10 bulan atau 9
bulan menurut kalender internasional. Kehamilan terbagi dalam 3 trimester, dimana
trimester kesatu berlangsung dalam 12 minggu (minggu ke-0 hingga ke-12), trimester
kedua 15 minggu (minggu ke-13 hingga ke-28), dan trimester ketiga 13 minggu
(minggu ke-29 hingga ke-40) (Prawirohardjo, 2014).
2.1.2 Proses Kehamilan
Proses kehamilan dimulai dari pertemuan sel telur (ovum) dan sel sperma
pertemuan ini disebut dengan fertilisasi. Tempat pertemuan ovum dan sel sperma
paling sering di ampula tuba (Hatini, 2018). Proses fertilisasi yang terjadi di ampula
tuba, dimana dari jutaan sel sperma hanya ada satu sperma yang telah melalui proses
pematangan spermatozoa yang dapat mask ke tahap pellusida kemudian masuk
kedalam vitellus ovum. Setelah itu zona pellusida mengalami perubahan agar tidak
dapat dilalui sperma lain.
Selanjutnya sel telur yang telah bertemu dengan sel sperma akan melakukan
pembelahan sel. Pada usia 30 jam sel membelah menjadi dua dan berada di 1/3 akhir
tuba fallopi. Hari ke tiga sudah menjadi morula (bentukan sel seperti bola bulat)
dengan jumlah pembelahan sekitar 16 sampai 18 sel. Hari ke empat morula sudah
masuk ke rongga rahim dan hari ke empat sampai hari kelima sudah menjadi bentuk
struktur pada awal kehamilan (blastosis). Hari ke lima setengah sampai hari hari ke
enam sudah menempel ke dinding rahim. Jadi secara teori satu minggu setelah
berhubungan badan saat masa subur kadang sudah bisa melakukan pemeriksaan
kehamilan, karena waktu itu blastosis sudah dapat menempel ke dinding rahim
(Fitriahadi, 2017).
2.1.3 Usia kehamilan
Usia kehamilan normal dan sehat selama 280 hari atau 40 minggu, dan dapat
dibagi menjadi tiga semester yaitu :
a. Trimester 1
Kehamilan trimester pertama terjadi selama 0-12 minggu kehamilan. Pada
minggu pertama kehamilan, wanita hamil akan merasakan nyeri, kencang, dan gatal di
payudara. Mual dan muntah adalah gejala yang sering terjadi pada kehamilan
trimester pertama, yang biasa timbul pada pagi hari. Gejala ini biasanya terjadi pada
kehamilan 6 minggu hingga 10 minggu (Wardani, 2012).
b. Trimester 2
Kehamilan trimester kedua kejadian mengandung dalam tubuh 13-28 minggu.
Pada trimester kedua janin berkembang menuju maturase, pada masa ini berat badan
ibu bertambah 1-2 kg selama kehamilan dan terjadi perubahan hormonal dan faktor
lokal (plak) yang dapat menimbulkan kelainan dalam rongga mulut (Wardani, 2012).
c. Trimester 3
Trimester ketiga adalah keadaan mengandung dalam tubuh 29-40 minggu.
Pada trimester ketiga rasa lelah, ketidaknyamanan, dan depresi ringan akan
meningkat. Tekanan darah pada ibu hamil akan meningkat pada trimester ini dan
kembali normal setelah melahirkan. Peningkatan hormon estrogen dan progesteron
memuncak pada trimester ini (Wardani, 2012).
2.1.4 Perubahan fisiologi pada ibu hamil
a. Perubahan fisiologi ginjal
Menurut Underwood dalam Novianti (2018), perubahan fisiologi ginjal pada
waktu hamil yaitu ukuran dan berat ginjal akan meningkat dan glomerulus mengalami
perbesaran, panjangnya bertambah 1- 1,5 cm. Pada kehamilan normal, fungsi ginjal
cukup banyak berubah, laju filtrasi glomerulus dan aliran plasma dalam ginjal
meningkat yang akan mencapai puncaknya pada 16 minggu kehamilan dan menetap
sampai akhir kehamilan. Ginjal wanita harus mengakomodasi tuntutan metabolisme
dan sirkulasi ibu meningkat dan juga mengeksresi produk sampah janin. Pada
kehamilan tahap lanjut, akibat pergeseran uterus yang berat kekanan dan terdapat
kolon rektosigmoid di sebelah kiri maka pelvis ginjal kanan dan ureter lebih
berdilatasi daripada pelvis kiri. Ginjal berfungsi paling efisien saat wanita berbaring
pada posisi rekumben lateral dan paling tidak efisien pada posisi telentang.
b. Perubahan fisiologi perkemihan
Menurut Mandang dkk (2016), terjadi perubahan perkemihan pada ibu hamil
berdasarkan tiap semester diantaranya :
1) Trimester 1 : Di bulan awal kehamilan, ibu hamil sering timbul gangguan berkemih
karena kandungan kencing tertekan oleh pembesaran uterus.
2) Trimester 2 : Frekuensi buang air kecil normal kembali karena kandung kemih
tertarik keatas, uterus yang mulai membesar menyebabkan tekanan pada kandung
kemih mulai berkurang karena uterus keluar dari rongga panggul sejati ke arah
abdomen, uretra memanjang sampai 7,5 cm karena kandung kemih bergeser keatas
dan kongesti panggul pada masa hamil ditunjukan oleh hyperemia kandungan kemih
dan uretra. Peningkatan vaskularisasi ini membuat mukosa kandung kemih menjadi
mudah luka dan berdarah.
3) Trimester 3 : Pada akhir kehamilan, kandung kencing akan mulai tertekan kembali
karena kepala janin mulai turun ke pintu atas panggul (PAP), perubahan-perubahan
menyebabkan pelvis dan ureter mampu menampung urine dalam volume yang lebih
besar dan dapat memperlambat laju aliran urine, pembesaran uterus menekan kandung
kemih menyebabkan ibu hamil merasakan ingin berkemih walaupun kandung kemih
hanya berisi sedikit urine dan terjadi hemodilusi (terjadi puncak pengenceran darah)
menyebabkan metabolisme air menjadi lancar.
2.1.5 Metabolisme Protein pada Ibu Hamil
Menurut Wiknjosastro dalam Marianti (2020), pada wanita hamil Basal
Metabolic Rate (BMR) meningkat hingga 15-20% terutama pada trimester ketiga,
penurunan keseimbangan asam basa dari 155 mEq/liter menjadi 145 mEq/liter akibat
hemodelusi darah dan kebutuhan mineral yang dibutuhkan janin. Kebutuhan protein
ibu hamil untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, perkembangan organ
kehamilan, dan persiapan laktasi. Protein tinggi diperlukan dalam makanan sekitar 0.5
g/kg berat badan atau sebutir telur ayam sehari. Kebutuhan kalori yang dibutuhkan
untuk itu diperoleh terutama dari pembakaran karbohidrat, lemak, dan protein.
Kebutuhan zat mineral untuk ibu hamil seperti kalsium 1,5 g/hari dan 3040 g
untuk pembentukkan tulang janin, fosfor rata rata 2 g dalam sehari, zat besi dalam 800
mg atau 30-50 mg/hari dan air yang cukup. Ibu hamil memerlukan protein lebih
banyak dari biasanya minimal 60 g/hari. Protein berperan penting untuk pertumbuhan
dan perkembangan janin serta mengurangi resiko lahir kurang bulan (preterm),
adapun fungsi lain membuat ari-ari (plasenta) yang berfungsi untuk menunjang atau
memelihara dan menyalurkan 13 makanan bayi, sebagai persiapan cadangan makanan
untuk persalinan masa setelah melahirkan dan masa menyusui. Protein dibutuhkan
dalam jumlah yang banyak pada kehamilan untuk perkembangan fetus, alat
kandungan, payudara dan badan ibu, serta untuk persiapan laktasi. Maka dari itu perlu
diperhatikan agar wanita hamil memperoleh cukup protein selama hamil.
Diperkirakan satu gram protein setiap kilogram berat badan dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari (Marianti, 2020).
2.2 Hiperemis Gravidarum
2.2.1 Pengertian Hyperemesis Gravidarum
Pada sebagian wanita hamil gejala mual muncul saat bangun tidur sehingga
sering disebut dengan morning sickness, dan akan hilang antara minggu ke-16 dan
minggu ke-22 kehamilan. Menurut Pratiwi, Arantika M dan Fatimah (2019).
Hyperemesis graviddarum sebenarnya lebih dikenal dengan morning sickness namun
dalam tinggat yang lebih tinggi, dimana rasa sakit yang dialami ibu hamil lebih
menyakitkan dari sekedar morning sickness pada ibu hamil biasanya. Mual muntah
berlebihan (hyperemesis gravidarum) yang ditemukan oleh Syamsudin, Syahril,
(2018) merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang mempengaruhi status
kesehatan ibu dan tumbuh kembang janin, dimana kejadian ini dapat dideteksi dan
dicegah pada masa kehamilan, mual dan mutah merupakan gangguan yangn paling
sering dijumpai pada kehamilan trimester 1.
2.2.2 Etiologi Hyperemesis Gravidarum
Hyperemesis gravidarum belum diketahui, akan tetapi menurut Husin, Farid
(2013) interaksi kompleks dari factor biologis, psikologis dan social budaya
diperkirakan menjadi penyebab hyperemesis gravidarum. Selain itu kehamilan
kembar, perempuan dengan kehamilan pertama usia <20tahun dan >35tahun,
kehamilan mola serta berat berlebihan menjadi faktor pencetus pada beberapa
penelitian ada beberapa teori yang diusulkan sebagai penyebab hyperemesis
gravidarum, yaitu:
A. Perubahan Hormonal
Wanita yang mengalami hyperemesis gravidarum memiliki kadar HCG yang
tinggi terutama pada trimester pertama kehamilan (usia kehamilan 9 minggu) yang
menyebabkan hypertiroidisme yang bersifat semetara.
B. Gastrointestinal disfungsi
Menurut Husin, Farid (2013) 95% gangguan pada system pencernaan
disebabkan oleh bakteri heliobacer pylori dan 61, 8% menjadi penyebab terjadinya
HEG pada kehamilan. Selain iu HEG dapat disebabkan karena ibu memiliki
gangguan pencernaan seperti ulkus peptikus, hepatitis, pangkreatitis.
C. Vestibular dan penciuaman
Hiperacuity dari system penciuman dapat menjadi factor yang berkontrabusi
terhadap ual dan muntah pada ibu hamil. Banyak kasus yang menggambarkan bagi
ibu hamil bahwa mencium bau masakan dapat memicu terjadinya mual. Kesamaan
sickness adalah bahwa gangguan dari subclinical vesbular mungkin penyebab dari
beberapa kasus HEG.
D. Genetic
Suatu penelitian di norwehia menemukan bahwa ibu yang sewaktu hamil
mengalami HEG maka anak yang dilahirkan memiliki risiko 3% mengalami HEG
ketika mereka hamil nanti atau yang memiliki saudara yang juga mengalami HEG.
Secara keseluruhan dilaporkan bahwa factor genetic mungkin memainkan peran
dalam mengembangkan terjadinya HEG.
E. Masalah psikologis
Psikologi dalam kehamilan sering kali dikaitkan dengan factor pencetus
terjadinya HEG, namun belum ditemukan bukti kuat terhadap hal ini, hasil
penelitian cenderung mengarah pada factor hormonal sebagai pencetus HEG.
2.2.3 Faktor Risiko Terjadinya Hyperemesis Gravidarum
Menurut Pratiwi, Arantika M dan Fatimah (2019) factor risiko terjadinya
hyperemesis gravidarum diantaranya:
A. Riwayat hyperemesis gravidarum baik keturunan maupun pada kehamilan
sebelumnya.
B. Hamil pertama kali/ nuliparitas.
C. Obesitas berat badan berlebih.
D. Kehamilan gamelli/mengandung anak kembar. Mengandung janin perempuan.

2.2.4 Tanda dan Gejala Hyperemesis Gravidarum


Berdasarkan berat ringannya tanda dan gejala hyperemesis gravidarum yang
dikemukakan oleh Mochtar, Rustam (2008) dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu:
A. Tingkat 1
Hyperemesis Gravidarum dengan tanda dan gejala paling ringan, yakni:
a. Muntah terus menerus yang mempengaruhi keadaan umum dan menimbulkan
rasa lemah
b. Nafsu makan taka da, sering muntah setiap selesai makan
c. Tekanan darah sistolik turun
d. BB turun dan nyeri epigastrum
e. Turgor kulit berkurang, lidah kering, dan mata cekung
f. Frekuensi nadi pasien naik ekitar 100X/menit
B. Tingkat 2
Hyperemesis Gravidarum, yakni:
a. Pasien tampak lemah dan apatis
b. Lidah kotor dan mata sedikit ikterik
c. BB pasien turun
d. Timbul hipotensis, hemokonsestrasi, oliguria
e. Nadi kecil dan cepat, suhu kadang naik
f. Konstipasi, dan napas berbau aseton
C. Tingkat 3
Tahap ini, kondisi hyperemesis Gravidarum sudah sangat parah. Penderita
mengalami gejala komplikasi yang membuatnya merasa tidak nyaman. Sehingga
tak jarang penderita harus menjalni rawat inap di RS. Tanda dan gejala paling
umum pada penderita hyperemesis Gravidarum tingkat 3 yakni:
a. Kesadaran pasien menurun
b. Muntah behenti, nadi kecil dan cepat, suhu meningkat
c. Tekanan darah makin turun, kadar bilirubin dalam darah meningkat, hingga
menyebabkan warna kulit menjadi kuning (icterus)
d. Mengalami nigtamus, dimana bola mata mengalami gangguan dengan
gerakan-gerakan spontan

2.2.5 Komplikasi
Menurut Rukiyah, Ai Yeyeh dan Lia Yulianti (2010) hyperemesis gravidarum
dapat membahayakan kondisi ibu hamil dan jamin yang dikandungnya. Beberapa
terjadi yaitu ibu akan kekurangan nutrisi dan Ciaran sehingga keadaan fisik ibu
menjadi lemah dan lelah depat pula mengakibatkan gangguan asam basa, pneumini
aspirasi, robekan mukosa pada hubungan gastroesofagi yang menyebabkan peredaran
rupture esophagus, kerusakan hepar dan kerusakan ginjal, ini pada pertumbuhan dan
perkembangan janin karena nutrisi yang tidak tepenuhi atau tidak sesuai dengan
kehamilan, yang mengakibatkan peredaran darah janin berkurang.
Menutur Hariaja, W, J dan Zumrotun N (2020) hyperemesis gravidarum akan
berdampak pada janin seperti abortus, kelahiran premature, BBLR, serta malformasi
pada bayi baru lahir, serta dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat atau
intrauterine growth Retardation (IUGR).
2.2.6 Pencegahan
Menurut Putri, A. D. Haniarti dan Usman (2017) dapat dilakukan melalui
tindakan farmakologi maupun non farmakologi. Tindakan non farmakologi yang biasa
disarankan oleh tenaga kesehatan seperti menganjurkan ibu hamil untuk
mengkonsumsi jahu dalam bentuk teh jahe, teknik relaksasi, dan aromaterpi. Dari
hasil penelitian bahwa jahe merupakan bahan terapi untuk meredakan dan mengurangi
rasa mual dan hasil penilitian menyebutkan bahwa minuman jahe hangat
membereikan pengaruh terhadap penurunan frekuensi mual, muntah pada ibu hamil
trimester pertama.
2.3 Diabetes Melitus Gestasional
2.3.1 Definisi Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes melitus gestasional adalah gangguan dari glukosa yang dipicu oleh
kehamilan, dan hilang setelah melahirkan. Diabetes mellitus gestasional merupakan
gangguan kronik yang ditandai dengan hiperglikemia yang disertai abnormalitas
utama pada metabolism karbohidrat, lemak dan protein. Intoleransi karbohidrat ini
terjadi atau diketahu pertama kali saat kehamilan berlangsung (morgan dan Hamilton,
2009). WHO (2013) mendefinisikan diabetes melitus gestasional sebagai derajat
apapun intoleransi glukosa dengan onset atau pengakuan pertama selama kehamilan.
Kehamilan sendiri merupakan stres bagi metabolism karbohidrat ibu. Pada
kehamilan terjadi peningkatan produksi hormone - hormon antagonis insulin, antara
lain: progesteron, estrogen, human placenta lactogen, dan kortisol. Peningkatan
hormon-hormon tersebut menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan peningkatan
kadar glukosa darah. Diabetes melitus dengan kehamilan atau Diabetes Melitus
Gestasional (DMG), merupakan penyakit diabetes melitus yang muncul pada saat
mengalami kehamilan padahal sebelumnya kadar glukosa darah selalu normal. Tipe
ini akan normal kembali setelah melahirkan (American Diabetes Association, 2012).
2.3.2 Etiologi
Penyebab dari terjadinya diabetese melitus gestasional (DMG) atau diabetes
kehamilan pada ibu hamil belum diketahui secara pasti, diabetes melitus gestasional
dapat terjadi karena kurangnya jumlahnya insulin yang diproduksi oleh tubuh yang
diperlukan untuk membawa glukosa melewati membran sel (Mitayani,2009) serta ada
beberapa faktor – faktor resiko yang mendukung terjadinya diabetes melitus
gestasional adalah usia kehamilan diatas 35 tahun, obesitas, riwayat keluarga dengan
DM, memiliki riwayat dibetes gestasional sebelumnya, melahirkan bayi makrosomia
(>4000gram), diet dan pola makan yang tidak teratur.
2.2.3 Patofisiologi
Proses terjadinya diabetes melitus gestasional pada ibu hamil dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang didukung oleh hormon-hormon yang aktif dan tinggi selama
masa kehamilan. Pada kehamilan terjadi peningkatan produksi hormon-hormon
antagonis insulin, antara lain: progesteron, estrogen, human placenta lactogen, dan
kortisol. Peningkatan hormon-hormon tersebut menyebabkan terjadinya resistensi
insulin dan peningkatan kadar glukosa darah. Metabolisme karbohidrat selama
kehamilan karena insulin jumlah sangat besar atau banyak masih dibutuhkan sesuai
dengan perkembangan kehamilan. Adanya hormon HPL dan progesteron dapat
menyebabkan jarngan pada ibu menjdi resisten pada insulin sehingga mengahsilkan
enzim yang disebut insulinase yang dihasilkan oleh placenta dan mempercepat
terjadinya insulin. Bila pankreas tidak dapat memproduksi insulin secara adekuat,
maka akan timbul suatu kondisi yang disebut hiperglikemia hal ini yng dapat
menyebabkan kondisi kompensasi seperti meningkatkan rasa haus (polidipsi),
mengekskresikan cairan dan mudah lapar (polifagia) (Mitayani,2009).
Selain itu, adanya dukungan oleh faktor-faktor resiko yang menyebabkan
terjadinya diabetes melitus gestasional. Selama awal kehamilan, toleransi glukosa
normal atau sedikit meningkat dan sensitivitas perifer (otot) terhadap insulin serta
produksi glukosa basal hepatik normal akibat peningkatan hormon estrogen dan
progesterone maternal pada awal kehamilan yang meningkatkan hiperplasia sel β
pankreas, sehingga meningkatkan pelepasan insulin. Hal ini menjelaskan peningkatan
cepat insulin di awal kehamilan sebagai respons terhadap resistensi insulin. Pada
trimester kedua dan ketiga, peningkatan hubungan fetomaternal akan mengurangi
sensitivitas insulin maternal sehingga akan menstimulasi sel-sel ibu untuk
menggunakan energi selain glukosa seperti asam lemak bebas, glukosa maternal
selanjutnya akan ditransfer ke janin.
Dalam kondisi normal kadar glukosa darah fetus 10-20% lebih rendah
daripada ibu, sehingga transpor glukosa dari plasenta ke darah janin dapat terjadi
melalui proses difusi sederhana ataupun terfasilitasi. Selama kehamilan, resistensi
insulin tubuh meningkat tiga kali lipat dibandingkan keadaan tidak hamil. Pada
kehamilan, penurunan sensitivitas insulin ditandai dengan defek post-reseptor yang
menurunkan kemampuan insulin untuk memobilisasi SLC2A4 (GLUT 4) dari dalam
sel ke permukaan sel. Hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan hormone yang
berkaitan dengan kehamilan. Meskipun kehamilan dikaitkan dengan peningkatan
massa sel β dan peningkatan kadar insulin, beberapa wanita tidak dapat meningkatkan
produksi insulinnya relatif terhadap peningkatan resistensi insulin, sehingga menjadi
hiperglikemik dan menderita DMG (Kurniawan,2016).
2.3.4 Manifestasi klinis
Pada ibu hamil penderita diabetes melitus gestaional tidak menunjukkan tanda
dan gejala yang langsung terlihat. Biasanya jika ibu sudah menderita diabetes sebelum
hamil, mungkin lebih difokuskan namun pada kasus diabetes melitus gestasional
kuran di perhatikan, karena tidak adanya tanda gejala tapi jika dilakukan skrinning
sedini mungkin bisa mengetahui ada atau tidaknya indikasi diabetes melitus
gestasional. Jika dilakukan pemeriksaan tanda gejala terjadinya diabetes gestasional
ditandai dengan :
a. Polidipsi
b. Poliuri
c. polifagia
d. Glukosa plasma puasa 5.1-6.9 mmol / l (92 -125 mg / dl) – Glukosa plasma 1 jam ≥
10,0 mmol / l (180 mg / dl) mengikuti beban glukosa oral 75g
e. Glukosa plasma 2 jam 8,5 - 11,0 mmol / l (153 -199 mg / dl) mengikuti beban
glukosa oral 75g ( WHO 2013).
Jika dilakukan skrinning Strategi One-Step Tes toleransi glukosa oral dengan
75 gram glukosa. Pengukuran glukosa plasma dilakukan saat pasien dalam keadaan
puasa, 1 jam, dan 2 jam setelah tes toleransi glukosa. Tes dilakukan pada usia
kehamilan 24-28 minggu pada wanita hamil yang sebelumnya belum pernah
terdiagnosis diabetes melitus. Tes toleransi glukosa oral harus dilakukan pada pagi
hari setelah puasa semalaman setidaknya selama 8 jam. One-step strategy digunakan
untuk mengantisipasi meningkatnya insidens DMG (dari 5-6% menuju 15-20%)
karena hanya diperlukan satu hasil abnormal untuk diagnosis. Kekurangan strategi ini
adalah kemungkinan over diagnosis sehingga meningkatkan biaya medikasi.
Two-step approach menggunakan 50 gram glukosa (tanpa puasa) diikuti
dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) menggunakan 100 gram glukosa jika
skrining awal memberikan hasil positif. Two-steps strategy lebih umum digunakan di
Amerika Serikat. Hal ini karena kurangnya percobaan klinis yang mendukung
keefektifan dan keuntungan one-step strategy dan potensi konsekuensi negatif akibat
risiko over sensitif berupa peningkatan intervensi ataupun biaya medis selama
kehamilan. Two-steps strategy juga mudah karena hanya diberi pembebanan 50 gram
glukosa tanpa harus puasa pada tahap awal skrining.
a. Step 1: Lakukan tes pembebanan glukosa 50 gram (tanpa puasa), kadar glukosa
plasma diukur 1 jam setelah pembebanan glukosa, dilakukan pada wanita dengan usia
kehamilan 24-28minggu yang belum pernah terdiagnosis diabetes melitus. Jika kadar
glukosa plasma 1 jam setelah pembebanan glukosa >140 mg/dL* (7,8 mmol/L),
dilanjutkan dengan tes toleransi glukosa oral dengan 100 gram glukosa.
b. Step 2: Tes toleransi glukosa oral dengan 100 gram glukosa dilakukan pada pasien
dalam keadaan puasa. (Kurniawan, 2016)
2.3.5 Penatalaksanaan
Penanganan DMG memerlukan kolaborasi tim yang terdiri dari ahli kebidanan
dan kandungan, dokter ahli diabetes, ahli gizi, perawat, edukator, dan ahli anak.
Apabila tidak mungkin, dapat dibentuk tim medis yang lebih kecil. Penatalaksanaan
penderita DMG antara lain:
1. Terapi diet dan Pengelolaan Gaya Hidup
Terapi ini merupakan strategi utama untuk mencapai kontrol glikemik. Diet
harus mampu menyokong pertambahan berat badan ibu sesuai masa kehamilan,
membantu mencapai normoglikemia tanpa menyebabkan lipolisis (ketonuria). Latihan
dan olah raga juga menjadi terapi tambahan untuk mencapai target kontrol glikemik.
Aktivitas fisik intensitas sedang 150 menit/minggu. Terapi nutrisi medis Kebutuhan
kalori = 35 kkal/kg x BBI BBI = (TB – 100) – 10% (TB – 100). IMT > 30 kg/m2, 25
kkal/kg Karbohidrat 30-35% dari kalori total.
2. Kontrol glikemik. Target glukosa pasien DMG dengan menggunakan sampel darah
kapiler adalah:
a. Preprandial (setelah puasa) <95 mg/dL (5,3 mmol/L) dan
b. 1 jam post-prandial (setelah makan) <140 mg/dL (7,8 mmol/L) atau
c. 2 jam post-prandial (setelah makan) <120 mg/dL (6,7 mmol/L)
3. Terapi insulin. Terapi insulin dipertimbangkan apabila target glukosa plasma tidak
tercapai setelah pemantauan DMG selama 1 - 2 minggu.
4. Obat hipoglikemik oral. Obat hipoglikemik oral seperti glyburide dan metformin
merupakan alternatif pengganti insulin pada pengobatan DMG (Kurniawan,2016).

2.4 Kehamilan dengan SLE


2.4.1 Definisi SLE
Penyakit Lupus atau Systemic Lupus Erythematosus merupakan salah satu
penyakit autoimun reumatik, yang bersifat sistemik. Penyakit autoimun merupakan
penyakit yang disebabkan oleh gangguan sistem pertahanan tubuh akibat sistem imun
seseorang tidak berfungsi dengan normal sehingga menyerang sel-sel tubuhnya
sendiri dan menyebabkan kerusakan organ tubuh.
Systemic Lupus Erytematosus adalah penyakit autoimun kronis yang
menimbulkan manifestasi luas pada seluruh sistem organ tubuh, dengan tingkat
severitas yang sangat bervariasi dan bersifat hilang-timbul. Penyakit in memiliki
patogenesis yang kompleks, melibatkan kombinasi antara gen yang rentan dan faktor
lingkungan yang menimbulkan respons imun abnormal (Bartels & Muller, 2010;
Cunningham et al., 2014). SLE adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
inflamasi mikrovaskular multisistemik dengan pembentukan auto-antibodi. Meskipun
penyebab spesifik dari SLE belum diketahui, berbagai faktor dihubungkan dengan
munculnya penyakit ini, meliputi genetik, ras, hormon, dan faktor lingkungan (Bartels
& Muller, 2010).
SLE membutuhkan keterlibatan banyak faktor, seperti kerentanan genetik,
faktor lingkungan, respons antigen-antibodi, interaksi sel T dan sel B, dan ginjal (Day
et al., 2009). Kadar komplemen biasanya juga meningkat dalam kehamilan.
Proteinuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal didapatkan pada preeklampsia,
yang juga dapat ditemukan pada lupus nefritis. Bahkan kedua kondisi ini dapat terjadi
bersamaan, karena penyakit ginjal sendiri diketahui meningkatkan risiko
preeklampsia. (Mackillop, Germain, & Nelson-Piercy, 2007).
Peningkatan kadar asam urat mengarah ke preeklampsia, sedangkan adanva
hematuria, cellular cast, keterlibatan organ ekstra renal, peningkatan kadar anti-
dsDNA, dan penurunan kadar komplemen lebih mengarah kepada gejala lupus nefritis
(Irastorza & Khamashta, 2010). Untuk mengetahui aktivitas penyakit SLE atau lupus
nefritis dapat dilakukan pemeriksaan antibodi ds-DNA, komplemen (C3 dan C4), laju
endap darah. Secara umum peningkatan anti-dsDNA, dan kadar C3 dan C4 yang
rendah menunjukkan nefritis yang aktif. Lupus nefritis yang aktif secara klinis
biasanya menunjukkan penurunan klirens kreatinin 30%, proteinuria > 1 gram/hari,
dan hasil biopsi ginjal mengarah pada lupus nefritis aktif (Brent & Hamed, 2009).

2.4.2 Etiologi
Lupus merupakan penyakit yang menyerang jaringan ikat pada seluruh tubuh,
dengan penyebab yang multifaktorial. Biasanya terjadi pada seseorang yang memiliki
predisposisi genetik dan terekspos oleh beberapa faktor seperti Pengaruh lingkungan,
Zat/agen infeksius, Obat-obat pencetus lupus, Sinar ultraviolet, Trauma fisik, Stress
emosional atau faktor-faktor lainnya, dan Predisposisi genetik serta faktor hormonal.
1. Faktor lingkungan yang berperan dalam timbulnya Lupus
Zat kimia seperti Aromatic amines (pewarna rambut; hidrazin pada obat
antihipertensi hidralazin, pada asap rokok dan beberapa jenis jamur; tartrazine
pada pewarna makanan atau pengawet makanan, pada tattoo dan beberapa obat-
obatan), polyvinylchloride, trichloroethylene, cocaine, amphetamine; metal
(merkuri klorid, emas, dan cadmium, racun, silikon, eosin pada lipstick, hormone
estrogen dll.
2. Agen infeksius
Infeksi virus, bakteri dengan racun/toksin yang dikeluarkannya

3. Obat-obat pencetus aktivitas penyakit lupus


Beberapa obat-obatan telah diketahui sebagai pencetus terjadinya penyakit
Lupus atau menyebabkan eksaserbasi penyakit lupus yang telah ada sebelumnya.
4. Radiasi ultraviolet : terutama sinar ultraviolet A dan B
Terdapat hubungan yang erat antara paparan sinar matahari dengan kejadian
lupus. Sinar matahari diketahui mengandung sinar ultraviolet A, B dan C. Sinar
Ultraviolet A (UVA) dan B (UVB), sangat berperan pada kejadian lupus.
Beberapa peneliti mengatakan bahwa sinar ultraviolet tersebut merusak kulit
dengan mengubah komposisi DNA di bagian permukaan kulit, sehingga merusak
regenerasi sel dalam tubuh. Akibat proses tersebut terjadi pembentukan anti-
DNA, yang diketahui merusak jaringan tubuh penderita lupus.
5. Trauma fisik dan stress emosional
Stress merupakan suatu kekuatan yang menimbulkan respons tubuh. Beberapa
jenis stress baik fisik maupun emosional dapat menyebabkan perubahan pada
sistim imun dan sistim saraf pusat. Sistem imun seperti halnya sistem yang
mempertahankan homeostasis tubuh lainnya, terintegrasi dalam proses-proses
fisiologis lain dan dimodifikasi oleh sistim saraf otak. Stress yang berat bagi
seseorang, seperti kematian pada seorang yang dicintainya, perceraian, kehilangan
pekerjaan atau adanya trauma fisik yang berat beberapa waktu sebelum penegakan
diagnosis lupus telah diketahui dapat menyebabkan timbulnya aktivitas penyakit
lupus.
6. Faktor predisposisi : kelainan genetik dan faktor hormonal
Diduga bahwa faktor genetik memegang peranan penting dalam patofisiologi
penyakit Lupus. Pembentukan antibodi ditentukan secara genetik. Beberapa
peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit Lupus dengan gen Human
Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility
Complex (MHC) kelas II. Penderita Lupus yang mempunyai epitop antigen HLA-
DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang
mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-
A dan anti-La/SS-B.
Penderita Lupus dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-
DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP. Penderita yang secara
genetik mempunyai predisposisi menderita penyakit SLE, yaitu yang mempunyai
gen HLA-DR2, HLA-DR3, HLA-DR4 dan HLA-DR5, sering mengalami
gangguan pada sistem regulasi sel T dan fungsi sel B. Diduga haplotip
HLA tertentu dapat mengganggu fungsi sistem imun sehingga terjadi peningkatan
kejadian autoimunitas.
2.4.3 Patofisiologi
Kehamilan menginduksi kelainan imun dan neuroendokrin yang dramatis pada
tubuh maternal untuk melindungi fetus dari serangan imunologis oleh ibu.
Imunosupresi umum akan melemahkan pertahanan maternal melawan infeksi. Pada
ibu hamil terdapat perubahan komposisi dan fungsi sel imunkompeten serta molekul
imunomodulator.
Sitokin merupakan mediator penting yang mendukung kehamilan yang
berhasil. Salah satu modifikasi imunologik yang penting dalam kehamilan ialah
perubahan sitokin T-helper Th1/Th2. LES terutama merupakan penyakit yang
dimediasi Th2 sehingga dapat terjadi dominan respons Th2 pada kehamilan dengan
kemungkinan eksaserbasi yang lebih tinggi. Akan tetapi, pada trimester kehamilan
ketiga pasien LES, ditemukan kadar estrogen, progesteron, dan sitokin Th2 yang lebih
rendah dibandingkan wanita hamil yang sehat. Selain sel Th1 dan Th2, terdapat sel
Th17 yang mengaktivasi sistem imun dan famili interleukin-17 (IL17). Peningkatan
jumlah sel Th17 juga ditemukan pada kondisi yang terkait dengan kehamilan, seperti
preeklamsia dan keguguran kehamilan berulang.
LES dicirikan dengan hilangnya toleransi pada kompartemen sel T dan sel B,
sehingga menyebabkan hiperreaktivitas sel B dengan pembentukan autoantibodi
patogenik. Dalam konsentrasi yang tinggi, seperti yang ditemukan pada kehamilan,
estrogen dan gestagen menstimulasi sekresi IL-4, IL10, tumor growth factor TGF-𝛽,
dan interferom IFN-𝛾, dan menahan produksi tumor necrosis factor TNF-α. Pada
pasien LES, kadar serum IL-6 tetap rendah dan tidak meningkat pada trimester
kehamilan ketiga, seperti yang terjadi pada kontrol sehat.

2.4.4 Manifestasi Klinis


Dalam mengevaluasi aktivitas penyakit saat kehamilan, sulit untuk
membedakan antara manifestasi penyakit dan perubahan fisiologik saat kehamilan.
Gejala seperti lemas, trombositopenia ringan, dan anemia umum dijumpai pada
kehamilan dan dapat secara keliru dinilai sebagai peningkatan aktivitas penyakit.
Dalam hal membedakan antara preeklamsia dan lupus nefritis (LN) yang
manifestasinya juga mirip (proteinuria, gangguan fungsi renal, atau hipertensi) namun
terapinya berbeda, merupakan suatu hal yang sulit tetapi sangat penting. Hal yang
mungkin dapat membantu ialah adanya respons terhadap terapi steroid (contohnya,
peningkatan trombosit yang cepat pada LES).

Perubahan Kehamilan Aktifitas SLE


Tanda Klinis Lemas, Eritema fasial, EritemaDemam tanpa tanda infeksi,
palmar Arthralgia, mialgia, Edema
Limfadenopati, Ruam kulit
ringan, Sesak ringan saat istirahat.
fotosensitif, Ulkus mukosa
mulut dan nasal, Arthritis
inflamasi Serositis.
Parameter Anemia ringan Trombositopenia Anemia hemolitik
Laboratorium ringan Proteinuria Trombositopenia
Leukopenia, limfopenia
Proteinuria >300 mg/hari
Sedimen urin aktif
Penurunan komplemen
Peningkatan antibodi
dsDNA

2.4.5 Penatalaksanaan Medik


Semua wanita penderita SLE yang sedang hamil harus diperiksa dan
mendapatkan perawatan kehamilan yang dikoordinasikan oleh dokter
kandungan. Mereka juga harus menemui ahli reumatologi yang mengetahui SLE pada
kehamilan setidaknya sekali. Wanita harus melakukan pemesanan kehamilan secara
rutin. Selain pemesanan tes darah (termasuk FBC), tes dasar fungsi ginjal dan hati,
status serologis (jika tidak diketahui), dan aktivitas penyakit (protein C-reaktif, DNA
anti-ds, antibodi, komplemen) harus diperoleh. Wanita dengan lupus nephritis
sebelumnya, faktor risiko lain untuk hasil kehamilan yang buruk, atau proteinuria.
Wanita harus diperiksa pada trimester pertama oleh dokter kandungan dan ahli
reumatologi untuk memastikan status penyakit dan risiko kehamilan. Frekuensi
kunjungan klinik antenatal dan/atau reumatologi selanjutnya akan bergantung pada
risiko-risiko ini, ditambah faktor riwayat obstetrik dan perkembangan komplikasi
pada kehamilan saat ini. Pada wanita hamil harus ditinjau setiap 4 minggu dari
minggu ke 16 hingga 28, setiap 2 minggu dari minggu ke 28 hingga 34, dan setiap
minggu dari minggu ke 34. Setiap kunjungan harus mendokumentasikan ada atau
tidaknya gejala kambuh atau preeklampsia, ditambah tekanan darah, urinalisis
dipstick, tinggi simfisis-fundus, dan detak jantung janin.

2.4.6 Pathway
BAB III
ASKEP
1. Pengkajian
a. Data Subjektif
Merupakan informasi yang dicatat dan diperoleh dari hasil wawancara secara
langsung kepada pasien atau keluarga.
Anamesa Hasil Anamesa
Identitas Identitas pasien : Meliputi nama , usia, jenis
kelamain, tempat tanggal lahir, alamat klien,
pekerjaan, pendidikan. Identitas penanggung
jawab : meliputi nama, usia, jenis kelamin,
alamat, pekerjaan, pendidikan , hubungan
dengan pasien.
Keluhan utama Biasanya pasien dengan emesis gravidarum
mengeluh mual dan muntah di pagi hari,
setiap apa yang dimakan menyebabkan mual
dan muntah sehingga kehilangan berat
badan
Riwayat kesehatan A. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya pasien emesis gravidarum
pasien mengeluh mual muntah terus
menerus di pagi hari, nafsu makan
berkurang,kepala pusing, berat
badan menurun.
B. Riwayat kesehatan dahulu Apakah
pasien pernah mengalami mual dan
muntah pada kehamilan
sebelumnya.
C. Riwayat kesehatan keluarga Adakah
penyakit keturunan dan penyakit
yang menular dalam keluarga.
Riwayat kehamilan A. Riwayat menstruasi : Untuk
menegetahui menarche, lamanya,
siklus teratur atau tidak dan apakah
mengalami dysminore.
B. Riwayat kehamilan Untuk
menegetahui jumlah gravida, partus,
dan abortus (GPA), untuk
mengetahui Hari Pertama Haid
Terakhir (HPHT).
Pola kehidupan sehari hari A. Pola aktivitas : kaji pada pola
aktivitas adalah kebiasaan sebelum
hamil,dan setelah hamil.
B. Pola nutrisi : Kaji frekuensi makan,
jenis makanan yang disukai dan
tidak disukai, apa makanan pantang
atau alergi, bagimana nafsu makan
pasien,porsi makan (jumlah)
C. Pola istirahat dan tidur Biasanya
klien mengalami sulit tidur karena
sering mual dan muntah yang
dialaminya.
D. Pola eliminasi (BAK dan BAB)
Kaji perubahan pada konsistensi
feses,konfusi, dan penurunan
frekuensi berkemih.

2. Pemeriksaan fisik
b. Data Objektif
Data yang didapatkan dari hasil pemeriksaan fisik
Observasi Hasil observasi
Keadaan umum Lemah
Kesadaran Compos mentis
Tinggi badan Sesuai tinggi badan ibu
Berat badan sesuai IMT Berat badan normal
TTV TD : 100/70 -130/90 MmHg
Nadi : 100 x/menit
Suhu : 36,6 – 37,5 c
RR : 16 – 24 x/menit
Pemeriksaan kepala A. kepala :
rambut bersih, tidak ada benjolan
tidak ada nyeri tekan.
B. Muka:
Biasanya pada pasien hiperemesis
gravidarum wajah tampak pucak
C. Hidung :
Tidak terdapat secret pada
hidung,tidak pernapasan cuping
hidung,ada nyeri tekan atau tidak.
D. Telinga :
Ada kotoran atau tidak. Ada nyeri
tekan atau tidak.
E. Mulut : Membran mukosa
kering.bibir pecah pecah
Pemeriksaan leher Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
Pemeriksaan dada Terdapat putting susu. payudara menonjol
Pemeriksaan abdomen Leopold I : Untuk mengetahui tinggi fundus
uteri dan bagian yang berada difundus.
Leopold II : Untuk mengetahui batas kanan
atau kiri pada uterus ibu, yaitu punggung
pada letak bujur dan kepala pada letak lintang
Leopold III : Mengetahui bagian terendah
janin,dan apakah sudah masuk PAP atau
belum. Leopold IV : Mengetahui seberapa
jauh masuknya bagian terendah janin
kedalam PAP, Posisi tangan masih bisa
bertemu PAP. (konvergen) posisi tangan tidak
bertemu dan sudah masuk PAP (divergen)
Pemeriksaan ekstemitas A. Ektermitas atas : Kuku bersih
B. Ekstermitas bawah : Kuku bersih
C. Pemeriksaan diagnostik
a) Pemriksaan HB
b) Pemeriksaan urin reduksi

3. Masalah keparawatan
A. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
ketidak mampuan mencerna dan menggunakan nutrisi kurang tepat.
Kriteria evaluasi : Mempertahankan kadar gula darah puasa antara 60-100 mg/dl dan
2 jam sesudah makan tidak lebih dari 140 mg/dl.
Intervensi :
1. Tinjau ulang dan berikan informasi mengenai perubahan yang diperlukan pada
penatalaksanaan diabetic. Rasional : Kebutuhan metabolisme dari janin dan ibu
membutuhkan perubahan besar selama gestasi memerlukan pemantauan ketat dan
adaptasi
2. Tinjau ulang tentang pentingnya makanan yang teratur bila memakai insulin.
Rasional : Makan sedikit dan sering menghindari hiperglikemia , sesudah makan
dan kelaparan.
3. Kolaborasi dengan ahli gizi. Rasional : Diet secara spesifik pada individu perlu
untuk mempertahankan normoglikemi.
B. Resiko tinggi terhadap cedera maternal berhubungan dengan perubahan kontrol
diabetik, profil darah abnormal atau anemia, hipoksia jaringan dan perubahan respon
imun.
Kriteria evaluasi : - Tetap normotensif. - Mempertahankan normoglikemia. - Bebas
dari komplikasi seperti infeksi, pemisahan plasenta.
Intervensi :
1. Identifikasi kejadian hipoglikemia dan hiperglikemia
Rasional : Insiden hipoglikemia sering terjadi pada trimester ketiga karena aliran
glukosa darah dan asam amino yang kontinue pada janin dan untuk menurunkan
kadar insulin antagonis laktogen plasenta.
2. Perhatikan klasifikasi white untuk diabetes.
Rasional : Kaji derajad kontrol diabetik. Klien dengan klasifikasi D, E atau F
adalah berisiko tinggi terhadap komplikasi kehamilan
3. Periksa keton dalam urin setiap hari.
Rasional : Ketonuria menandakan adanya kondisi kelaparan yang secara negatif
dapat mempengaruhi perkembangan janin.

C. Kurang pengetahuan mengenai kondisi diabetes, prognosis dan kebutuhan tindakan


berhubungan dengan kurang informasi, kesalahan informasi dan tidak mengenal
sumber informasi.
Kriteria evaluasi :
- Berpartisipasi dalam penatalaksanaan diabetes selama kehamilan
- Mengungkapkan pemahaman tentang prosedur, tes laboratorium dan aktivitas yang
melibatkan pengontrolan diabetes.
- Mendemonstrasikan kemahiran memantau sendiri dan pemberian insulin.
Intervensi :
1. Berikan informasi tentang cara kerja dan efek merugikan insulin dan tinjau ulang
alasan menghindari obat hipoglikemi oral.
Rasional : Perubahan metabolik prenatal menyebabkan kebutuhan insulin
berubah. Trimester pertama kebutuhan insulin rendah tetapi menjadi dua kali dan
empat kali selama trimester kedua dan ketiga. Meskipun insulin tidak melewati
plasenta, agen hipoglikemi oral dapat dan potensial membahayakan janin.
2. Berikan informasi tentang kebutuhan program latihan ringan.
Rasional : Latihan setelah makan dapat membantu mencegah hipoglikemia dan
menstabilkan penyimpangan glukosa, kecuali terjadi peningklatan glukosa
berlebihan, dimana latihan dapat meningkatkan ketoasidosis.
3. Berikan informasi mengenai dampak kehamilan pada kondisi diabetes dan
harapan masa depan. Rasional : Peningkatan pengetahuan dapat menurunkan rasa
takut, meningkatkan kerja sama dan membantu menurunkan komplikasi janin.

BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dalam makalah ini adalah kehamilan adalah fertilisasi atau
penyatuan dari spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi.
Sebagian wanita hamil gejala mual muncul saat bangun tidur sehingga sering disebut
dengan morning sickness. Hyperemesis graviddarum yakni morning sickness namun
dalam tingkat yang lebih tinggi. Diabetes melitus gestasional adalah gangguan kronik
dari glukosa yang dipicu oleh kehamilan, dan hilang setelah melahirkan yang ditandai
dengan hiperglikemia yang disertai abnormalitas utama pada metabolism karbohidrat,
lemak dan protein. Systemic Lupus Erythematosus merupakan salah satu penyakit
autoimun reumatik, yang bersifat sistemik. Penyakit autoimun merupakan penyakit
yang disebabkan oleh gangguan sistem pertahanan tubuh akibat sistem imun
seseorang tidak berfungsi dengan normal sehingga menyerang sel-sel tubuhnya
sendiri dan menyebabkan kerusakan organ tubuh. Gangguan maupun penyakit ini
sangat membahayakan kesehata ibu hamil dan janin. Oleh karena itu sangat penting
dilakukan asuhan keperawatan dengan pola hidup sehat dan perawatan.

3.2 Saran
Saran dalam makalah ini adalah dalam upaya memberikan asuhan
keperawatan Kehamilan dengan Gangguan Metabolik dan Imun (Ibu dengan
Hiperemis Gravidarum, Gestational Diabetikum dan Kehamilan dengan SLE). yang
diberikan dapat tepat, menguasai konsep supaya asuhan keperawatan terjalan dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA

Arantika M, dan Fatimah (2019) Patologi Kehamilan Memahami berbagai Penyakit dan
Komplikasi Kehamilan. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.

Fitriahadi, E. (2017) Buku Ajar Asuhan Kehamilan Disertai Daftar Tilik. Yogyakarta:
Universitas Aisyiyah Yogyakarta.

Mitayani (2009) Asuhan Keperawatan Maternitas. Salemba Medika Jakarta.

Prawiroharjo, S. (2014) Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono.

Anda mungkin juga menyukai