Lapsus Demam Dengue - Khema Metta Wijaya-Dikonversi
Lapsus Demam Dengue - Khema Metta Wijaya-Dikonversi
DEMAM DENGUE
Oleh:
dr. Khema Metta Wijaya, S.Ked
Pendamping
dr. I Gede Rama Pradnyana Anugrahanta
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus yang berjudul “Demam Dengue” ini tepat pada waktunya. Paper kasus ini
disusun dalam rangka mengikuti Program Internsip Indonesia di Rumah Sakit
Kasih Ibu Kedonganan, Provinsi Bali.
Dalam penyusunan dan penulisan laporan kasus ini, penulis banyak
mendapatkan bimbingan dan bantuan, baik berupa informasi maupun bimbingan
moral. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih
kepada:
1. dr. A. A. Diah Ratna Dewi sebagai Direktur RS Kasih Ibu Kedonganan
2. dr. I Gede Rama Pradnyana Anugrahanta yang telah mendampingi
penulis dalam Program Intersip Dokter Indonesia ini.
3. Seluruh staf RSU Kasih Ibu Kedonganan, Kedonganan, Bali.
4. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan laporan kasus ini
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. lain yang telah
membantu dalam penyusunan laporan paper ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak
sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya penulis
mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat di bidang ilmu
pengetahuan dan kedokteran.
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
2.1 Definisi...................................................................................................3
2.2 Etiologi...................................................................................................3
2.2.1 Vektor...................................................................................3
2.3 Epidemiologi..........................................................................................5
2.4 Patofisiologi...........................................................................................6
2.7 Penatalaksanaan..............................................................................14
16 2.7.4
2.8 Pencegahan.....................................................................................17
2.8.1 Lingkungan.........................................................................17
2.8.2 Biologis...............................................................................18
2.8.3 Kimiawi..............................................................................18
2.9 Prognosis........................................................................................19
3.2 ANAMNESIS.......................................................................................20
Keluhan Utama...............................................................................20
Riwayat Sosial................................................................................22
Status Present.................................................................................23
Status Gizi......................................................................................23
ii
Status Generalis..............................................................................23
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG.........................................................24
Darah Lengkap...............................................................................24
3.5 DIAGNOSIS........................................................................................25
3.6 PENATALAKSANAAN.....................................................................25
Terapi..............................................................................................25
Rencana Diagnostik........................................................................25
Rencana Monitoring.......................................................................25
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................20
BAB V SIMPULAN..............................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................29
iii
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Etiologi
2.2.1 Vektor
3
4
nyamuk dari kelas Aedes betina yang merupakan bagian dari subgenus Stegomyia.
Nyamuk Aedes aegypti merupakan vector yang dianggap memiliki peran paling
penting pada daerah tropis dan subtropis. Selain nyamuk Aedes aegypti, spesies
lainnya seperti nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, yang merupakan
bagian dari kompleks Aedes scutellaris serta nyamuk Aedes niveus telah terbukti
berperan sebagai vector sekunder.8,9
Virus dengue merupakan virus RNA dengan pilinan tunggal yang berasal
dari kelas Flaviviridae dengan 4 serotip yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-
4. Protein struktural virus dengue terdiri dari kapsid, premembran/membran, dan
envelope (E) sementara protein non-struktural terdiri dari NS1, NS2A, NS2B,
NS3, NS4A, NS4B, dan NS5.
2.3 Epidemiologi
Demam dengue dan DBD telah menjadi masalah kesehatan global. Setiap
10 tahun terdapat peningkatan kasus demam dengue dan DBD menurut WHO.
Pada tahun 1990 sampai tahun 1999 terjadi sebanyak 479.848 kasus diseluruh
dunia sedangkan pada tahun 2000 sampai tahun 2008 dilaporkan terdapat
peningkatan kasus demam dengue dan DBD sebanyak 1.656.870 kasus. Terdapat
beberapa negara yang berisiko dengan transmisi demam dengue dan DBD
tertinggi yaitu Asia
6
Tenggara, Pasifik Barat, dan Amerika. Pada rentang tahun 2005 sampai tahun
2008 terjadi 9 kejadian luar biasa demam dengue di Quuensland Utara, Australia.
Keempat jenis virus dengue tersebar di Asia, Afrika dan Amerika. Beban penyakit
yang disebabkan oleh virus dengue diukur oleh indikator epidemiologi jumlah
kasus klinis yang diklasifikasikan berdasarkan keparahan, durasi episode
penyakit, kualitas hidup selama episode penyakit, case fatality rate dan angka
absolut kematian selama periode waktu tertentu. 4
Dilaporkan 2,5 miliar orang atau 2 per 5 populasi dunia di negara tropis
dan subtropis berisiko terinfeksi penyakit ini. Diperkirakan 50 juta DD terjadi di
seluruh dunia setiap tahunnya dan Diperkirakan 500.000 orang dengan DD perlu
dirawat di rumah sakit setiap tahunnya. Sekitar 90% dari penderita adalah anak di
bawah usia 5 tahun dan sekitar 2,5% diantaranya meninggal dunia. 8 Sekitar 1,8
miliar (>70%) populasi yang berisiko terinfeksi DD di seluruh dunia berada di
regional Asia Tenggara dan Pasifik Barat.4
Demam dengue telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia
selama 47 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 terjadi peningkatan jumlah kasus DD
dan DBD dari tahun 1968 yaitu 58 kasus menjadi 126.675 kasus pada tahun 2015.
Tercatat 1.229 orang di antaranya meninggal dunia. Jumlah tersebut lebih tinggi
dibandingkan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 100.347 penderita DBD dan
sebanyak 907 penderita meninggal dunia pada tahun 2014. Rerata insidens DBD
berdasarkan provinsi pada tahun 2015, tiga provinsi tertinggi adalah Provinsi Bali
yaitu 208,7 per 100.000 penduduk, Provinsi Kalimantan Timur yaitu 183,12 per
100.000 penduduk dan Provinsi Kalimantan Tengah yaitu sebesar 120,08 per
100.000 penduduk.1
2.4 Patofisiologi
ke kelenjar getah bening yang mendrainase kulit, sementara infeksi pada sel
dendritik kelenjar getah bening sendiri dapat diabaikan. Selain itu terjadi infeksi
monosit dan sel dendritik derivat monosit yang direkrut dari darah dengan peran
molekul kemoatraktan. Dapat disimpulkan bahwa respon imun pada kulit dapat
memfasilitasi penyebaran sistemik DENV, namun belum ada bukti yang cukup
bahwa infeksi dermis selalu mendahului infeksi sistemik. Selain itu, hasil
penelitian tersebut belum tentu mencerminkan perjalanan penyakit yang
sesungguhnya pada manusia. Mekanisme masuknya virion infeksius secara
langsung ke peredaran darah sistemik yang diikuti infeksi sel-sel permisif pada
lien dapat menjelaskan inisiasi infeksi DENV.10
Dengue virus mengkode nonstructural protein-1 (NS1) yang dapat
berikatan langsung dengan permukaan sel inang dan merusak jaringan melalui
produksi sitokin inflamatorik (Gambar 2). Aktivasi makrofag dan sel
mononuklear darah perifer melalui Toll-like receptor 4 (TLR4) menyebabkan
gangguan integritas sel endotel pembuluh darah. Pelepasan NS1 dari sel yang
terinfeksi kemudian dapat mengaktivasi komplemen, terutama pembentukan
kompleks C5b-C9, sehingga merangsang ekspresi sitokin inflamatorik dan
menyebabkan kebocoran plasma. Nonstructural protein-1 juga menyebabkan
sekresi migration inhibitory factor (MIF) makrofag, maka terjadi autofagi sel
endotel lini Human Microvascular Endothelial Cell line-1 (HMEC-1). Sekuens
dari NS1 sendiri merupakan homolog beberapa self-antigen, sehingga auto-
antibodi NS1 dapat bereaksi silang dengan self-antigen. Reaksi ini menyebabkan
ekspresi nitrogen monoksida dan apoptosis sel endotel, sedangkan pada trombosit
terjadi lisis serta inhibisi agregasi. Antibodi terhadap NS1 yang berikatan dengan
protein NS1 membran sel dapat membantu replikasi DENV melalui fosforilasi
protein tirosin termediasi aktivasi jaras transduksi sinyal seluler. Anti-NS1 juga
dapat meningkatkan pelepasan faktor inflamasi (IL-6, IL-8, MCP-1) sel endotel
yang bersifat dependen NF-κB. NS1 dan anti-NS1 memiliki peran penting dalam
terjadinya trombositopenia, koagulopati, dan kebocoran plasma pada DBD.11
8
Sel T memori pada infeksi primer yang diaktivasi oleh virus heterologus
pada infeksi kedua menunjukkan reaksi silang yang tinggi namun dengan afinitas
yang rendah dalam membunuh virus dan sel yang terinfeksi. Sebaliknya adanya
reaksi silang sel T spesifik DENV dalam DBD meningkatkan sirkulasi IFN-γ, IL-
2 dan TNF-α, jika dibandingkan dengan pasien demam dengue. Sehingga terdapat
korelasi positif antara reaksi silang sel T dan beratnya penyakit dengue. IL-10
merupakan sitokin imunosupresif yang dapat menyebabkan apoptosis sel T dan
kadar IL-10 yang tinggi ditemukan pada serum pasien dengue berat. Jumlah sel T
ditemukan lebih rendah pada DBD dibandingkan demam dengue, sehingga dapat
disimpulkan bahwa apoptosis sel T mencerminkan penyakit yang lebih berat.11
1
Infeksi virus denge dapat terjadi secara asimptomatis atau dapat pula
menyebabkan undifferentiated fever, demam dengue, demam berdarah dengue
(DBD) meliputi dengue shock syndrome (DSS). Infeksi dari satu serotipe dengue
memberikan imunitas seumur hidup untuk serotipe tersebut namun memberikan
imunitas jangka pendek untuk serotipe lainnya.
Bayi, anak dan dewasa yang telah terinfeksi virus dengue terutama untuk
pertama kalinya dapat mengalami demam yang menyerupai infeksi virus lainnya.
1
Ruam makulopapular dapat menyertai demam atau muncul selama penurunan suhu.
Adanya gejala infeksi saluran napas atas dan gastrointestinal sangat umum.4
Demam dengue umum terjadi pada anak yang lenih tua, remaja dan
dewasa. Demam dengue merupakan penyakit demam akut dan terkadang demam
bifasik dengan nyeri kepala hebat, myalgia, atralgia, ruam, leukopenia dan
trombositopenia walaupun demam dengue mungkin ringan tetapi demam dengue
dapat menjadi berat dengan nyeri kepala hebat, nyeri otot, sendi dan tulang (break
bone fever). Terutama pada dewasa.4
Lebih umum terjadi pada anak dibawah 15 tahun yang tinggal di area
hiperendemik yang berkaitan dengan infeksi dengue berulang. Walaupun
demikian insiden DBD pada dewasa juga meningkat. DBD dikarakteristikan
dengan demam tinggi yang akut dan berhubungan dengan tanda dan gejala serupa
dengan demam dengue pada fase demam awal. Beberapa tanda pendarahan seperti
tes tourniquet positif, petechiae, mudah memar, dan atau perdarahan
gastrointestinal pada kasus yang parah. Akibat kebocoran plasma ada
kemungkinan untuk terjadinya syok hipovolemik atau dengue shock syndrome
(DSS) pada akhir fase demam. Adanya warning sign seperti muntah persisten,
nyeri perut, lethargi dan oligouria, penting untuk dilakukan intervensi mencegah
syok. Hemostasis yang abnormal dan kebocoran plasma adalah patogenesis utama
dari demam berdarah dengue. Trombositopenia dan hemokonsentrasi adalah
temuan sebelum demam berakhir atau onset syok terjadi.4
Kebocoran plasma yang signifikan dapat mengarah pada syok
hipovolemik. Tanda- tanda dari kegagalan sirkulasi yaitu akral dingin, kongesti,
sianosis dan nadi menjadi lemah serta cepat walaupun beberapa pasien terdapat
lethargi serta gelisah dan cepat masuk ke fase kritis dari syok. Nyeri perut akut
adalah keluhan yang sering terjadi sebelum syok.4
1
Manifestasi yang tidak umum dari pasien dengan keterlibatan berat organ
seperti hati, ginjal, otak, jantung berkaitan dengan infeksi dengue telah meningkat
pada DBD dan demam dengue. Sebagian besar pasien DBD yang memiliki
manifestasi klinis tidak umum adalah hasil dari syok berkepanjangan dengan
kegagalan organ atau pasien dengan komorbid atau koinfeksi.
2.6 Diagnosis
Kecurigaan terhadap DD dapat ditegakkan dari adanya gejala demam
ditambah dengan dua atau lebih tanda gejala lainnya dengan kriteria sebagai
berikut:1
- Peningkatan nilai hematokrit, > 20% dari pemeriksaan awal atau dari data
populasi menurut umur
- Ditemukan adanya efusi pleura, asites
- Hipoalbuminemia, hipoproteinemia
Maka kriteria tersebut cukup untuk menegakkan diagnosis DBD. Tanda
dan gejala DBD pada fase awal sangat menyerupai DD karena tanda kebocoran
plasma dapat timbul pada beberapa hari kemudian. Oleh karena itu pada pasien
dengan diagnosis klinis DD masih perlu dievaluasi lebih lanjut apakah hanya DD
atau merupakan DBD.1
Jika pada pasien DBD ditemukan bukti adanya tanda-tanda syok maka
diagnosis DSS dapat ditegakkan, adapun tanda-tanda tersebut adalah:
- Takikardi, akral dingin, capillary refill time lambat (>3 detik), nadi lemah,
lethargi atau restlessness
- Tekanan darah ≥ 20 mmHg dengan peningkatan tekanan diastolik atau
hipotensi
- Hipotensi berdasar umur dibedakan dari tekanan darah sistolik dimana
anak 5 tahun tekanan darah sistoliknya 80 mmHg dan pada anak yang
lebih tua serta dewasa tekanan darah sistoliknya 80-90 mmHg.4
1
2.7 Penatalaksanaan
Pada pasien dengan demam tinggi, terus-menerus, kurang dari 7 hari yang
disertai nyeri kepala, nyeri retroorbita, myalgia, atralgia, ruam kulit, manifestasi
perdarahan baik spontan maupun hasil uji Tourniquette, jumlah leukosit yang
rendah (<4000/mm3) tanpa atau dengan jumlah trombosit yang menurun dan
apalagi bila diketahui ada kasus dengue di lingkungan tempat tinggal atau di
sekolah, maka harus dicurigai pasien tersebut menderita infeksi dengue.
Pasien infeksi virus dengue yang berobat ke sarana kesehatan dapat
bermanifestasi sebagai demam dengue, demam berdarah dengue, demam berdarah
dengue dengan syok atau expanded dengue syndrome. Oleh karena itu pada pasien
tersangka infeksi virus dengue harus diteliti pasien mana yang bisa dilakukan
pengobatan rawat jalan dan pasien mana yang harus menjalani rawat inap
(Gambar 4). Pada umumnya pasien pada saat masuk didiagnosis sebagai DD
dapat diperlakukan sebagai pasien rawat jalan, kecuali dtemukan komorbiditas
seperti thalassemia, sindrom nefrotik, hipertensi, HIV-AIDS atau terdapat risiko
tinggi seperti asma bronkial dan obesitas atau apabila ditemukan indikasi sosial
seperti rumah yang jauh, tidak ada orang tua atau pengasuh yang dapat
diandalkan. Demikian juga pasien DD yang mengalami muntah persisten atau
menolak makan dan minum harus menjalani rawat inap. Pasien dengan DBD,
DBD dengan syok atau expanded dengue syndrome dengan sendirinya harus
menjalani rawat inap.1
Pasien diharuskan untuk kembali berobat (kontrol) setiap hari. Hal ini
mengingat tanda dan gejala DBD pada fase awal sangat menyerupai DD, tanda dan
gejala yang karakteristik baru timbul setelah beberapa hari kemudian. Oleh karena
itu pada pasien dengan diagnosis klinis DD yang ditegakkan pada saat masuk, baik
yang kemudia diperlakukan sebagai pasien rawat jalan maupun rawat inap, masih
memerlukan evaluasi lebih lanjut apakah hanya DD atau merupakan DBD fase
awal.
Tata laksanan yang tepat dan segera mengurangi morbiditas dan mortalitas
DBD, terapi yang berlebihan seperti kelebihan cairan akan memperberat keadaan
sakit. Pengobatan DBD bersifat simtomatis dan suportif, terapi suportif berupa
penggantian cairan yang merupakan pokok utama dalam tata laksana DBD. Terapi
simtomatis diberikan terutama untuk kenyamanan pasien, seperti pemberian
antipiretik dan istirahat.15-17
a. Penggantian cairan
Cairan kristaoloid isotonik merupakan cairan pilihan untuk pasien DBD.
Tidak dianjurkan pemberian cairan hipotonik seperti NaCl 0,45%, kecuali
bagi pasien usia <6 bulan. Dalam kedaan normal setelah satu jam
pemberian cairan hipotonis, hanya 1/12 bolume yang bertahan dalam
ruang intravaskular sedangkan cairan isotonis ¼ volume yang bertahan,
sisanya terdistribusi ke ruang instaselular dan ekstraselular. Cairan koloid
hiperonkotik (osmolaritas >300 mOsm/L) seperti dextra 40 atau HEs
walaupun lebih lama bertahan dalam ruang intravascular namun memiliki
efek samping seperti alergi, menggangu fungsi koagulasi, dan berpotensi
mengganggu fungsi ginjal.
b. Antipiretik
Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali diberikan apabila suhu >38 oC dengan
interval 4-6 jam.
c. Nutrisi
Apabila pasien masih bisa minum, dianjurkan minum yang cukup,
terutama minum cairan yang mengandum elektrolit.
1
d. Pemantauan
Selama perawatan pantau keadaan umum pasien, nafsu makan,
muntah, perdarahan, dan tanda peringatan.
Perfusi perifer, harus sering diulang untuk mendeteksi awal gejala
syok (mudah dilakukan).
Tanda – tanda vital, seperti suhu, frekuensi nada, frekuensi napas, dan
tekanan darah harus dilakukan setiap 2-4 jam sekali.
Pemeriksaan hematrokit awal dilakukan sebelum resusitasi atau
pemberian cairan intravena (sebagai data dasar), diupayakan dilakukan
setiap 4-6 jam sekali.
Volume urin perlu ditampung minimal 8-12 jam.
Diupayakan jumlah urin >1.0 mL/kgBB/jam (berat badan diukur dari
berat badan ideal).
Pada psien dengan risiko tinggi, misalnya obesitas, bayi, ibu hamil,
komorbid (diabetes mellitus, hipertensi, thalassemia, sindrom nefrotik,
dan lain – lain) diperlukan pemeriksaan laboratorium ata indikasi.
Pantau: darah perifer lengkap, kadar gula darah, uji fungsi hati, dan
sistem koagulasi sesuai indikasi.
Apabila diperlukan pemeriksaan radiologi untuk mendeteksi adanya
efusi pleura, pemeriksaan yang diminta adalah foto radiologi dada
dengan posisi lateral kanan decubitus (right lateral decubitus)
Periksa golongan darah
Pemeriksaan lain atas indikasi, misalnya ultrasonografi abdomen,
EKG, dan lainnya.
2.8 Pencegahan
2.8.2 Biologis
2.8.3 Kimiawi
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DD dan DBD adalah
dengan mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan “3M Plus”,
yaitu menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa
tindakan plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida,
menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan
insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik
berkala dan disesuaikan dengan kondisi setempat.19
1
2.9 Prognosis
LAPORAN KASUS
Nama : KDSL
Umur : 23 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kuta
Agama : Hindu
Bangsa/ suku : Indonesia/ Bali
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Status perkawinan : Belum Menikah
Tanggal MRS : 31 Agustus 2021
Tanggal pemeriksaan : 31 Agustus 2021
3.1 Anamesis
Keluhan utama
Demam
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang sadar ke UGD RS Kasih Ibu Kedonganan dengan keluhan
demam sejak 27 Agustus 2021 (4 hari sebelum masuk rumah sakit). Demam
dikatakan terjadi di seluruh tubuh, muncul mendadak tinggi dan dirasakan terus-
menerus sejak hari pertama dengan suhu tertinggi terukur 39ºC. Keluhan demam
dikatakan membaik ketika diberi obat penurun panas, namun demam hanya hilang
sesaat dan muncul kembali hingga sampai di UGD. Demam terjadi saat pasien
pulang kerja, didahului rasa menggigil kemudian diikuti oleh demam tinggi.
Keluhan demam dikatakan mengganggu aktivitas keseharian pasien. Selain
demam, pasien juga memiliki keluhan nyeri otot, nyeri kepala, nyeri dibagian
belakang mata, nyeri perut, mual dan juga muntah.
20
Keluhan nyeri otot pada pasien dikatakan terjadi sejak 27 Agustus 2021.
Keluhan terjadi pada seluruh tubuh bersamaan dengan munculnya demam. Nyeri
otot dikatakan terjadi terus menerus dan tidak membaik dengan istirahat, tidak ada
hal spesifik yang memperberat keluhan pasien, keluhan nyeri otot mengganggu
aktivitas tidur pasien.
Keluhan nyeri kepala pada pasien dikatakan terjadi sejak 27 Agustus 2021.
Keluhan terjadi pada seluruh bagian kepala yang terjadi bersamaan dengan
munculnya demam. Nyeri kepala dikatakan terjadi terus-menerus dan tidak
membaik dengan istirahat. Pasien juga mengeluhkan rasa nyeri di belakang mata
yang terjadi bersamaan dengan munculnya demam. Nyeri bertambah ketika pasien
menggerakkan kedua mata.
Keluhan nyeri perut pada pasien dirasakan pada bagian atas perut sejak 29
Agustus 2021 (2 hari sebelum masuk rumah sakit). Nyeri dirasakan menusuk dan
terasa hilang timbul. Nyeri dikatakan tidak menjalar. Keluhan nyeri perut
berkurang ketika pasien beristirahat. Keluhan nyeri perut membuat aktivitas
pasien terganggu. Pasien juga mengeluhkan mual disertai muntah sejak 29
Agustus 2021.
Muntah dikatakan terjadi sebanyak 3 kali. Muntah berisikan makanan yang
dikonsumsi pasien dengan volume kurang lebih 50cc, tidak terdapat darah.
Dikatakan pasien mengalami penurunan nafsu makan. BAK dikatakan normal,
frekuensi 4-5x sehari dengan volume kurang lebih 1 gelas, warna kencing
dikatakan kuning. BAB pasien dikatakan normal.
Keluhan mimisan, gusi berdarah, memar pada tubuh, BAB hitam, nyeri
saat BAK, menstruasi lama dengan darah berlebih disangkal oleh pasien.
21
Riwayat Pengobatan
Pasien meminum parasetamol yang dibeli sendiri untuk mengatasi keluhan
demam pasien yang terjadi saat ini, namun tidak banyak berpengaruh untuk
meredakan keluhan demam.
Riwayat Sosial
Pasien tinggal di daerah Kuta, dikatakan tidak ada riwayat bepergian ke
luar kota dalam 5 bulan terakhir. Pasien saat ini bekerja sebagai resepsionis hotel.
Pasien tidak mengetahui dengan pasti apakah rekan kerja maupun tetangganya
pernah mengalami penyakit demam berdarah. Riwayat merokok dan konsumsi
alkohol disangkal pasien. Pasien tinggal bersama keluarga saja. Lingkungan
tempat tinggal pasien termasuk wilayah padat penduduk dan dikatakan dekat
dengan area persawahan.
22
Status Generalis
Mata : Konjungtiva anemis -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor,
edema palpebra -/-
THT
Telinga : Daun telinga normal, pendengaran normal, sekret -/-
Hidung : Epitaksis (-), sekret (-), napas cuping hidung (-)
Tenggorok : Faring hiperemi (-), T1/T1 hiperemi (-)
Lidah : Mukosa kering (-), lidah kotor (-)
Bibir : Sianosis (-), mukosa bibir kering (-)
Leher : JVP 2 cm H2O, pembesaran kelenjar getah bening (-), tiroid
normal
Thoraks : Simetris (+)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan : Parasternal line dextra ICS IV
: Batas kiri : Mid clavicular line sinistra ICS V
: Batas atas : Setinggi ICS II
: Batas bawah : Setinggi ICS V
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Paru-paru
Inspeksi : Bentuk normal, simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Gerakan simetris, vokal fremitus normal.
Perkusi : Sonor / sonor
Auskultasi : Vesikuler - -
+ ronkh - - wheezing
+ i
- - - -
+ - - - -
+
+
+
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, sifting dulness (-)
Palpasi : Hepar tidak teraba, lien tidak teraba
Nyeri tekan (+) di bagian epigastrium
23
Genitalia : Perempuan
Ekstremitas : Hangat + + Edema
- - CRT < 2 detik
+ + - -
Kulit : Sianosis (-), ikterus (-), petekie atau purpura (-) di fossa
antecubiti
Uji torniquet : Positif
24
Pemeriksaan Imunoserologi DHF (31/08/2021)
Paramater Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Anti DHF IgM Negatif Negatif
Anti DHF IgG Positif Negatif
2.6 Penatalaksanaan
- Planning Diagnosis
Imunoserologi Salmonella
Imunoserologi Dengue hari ke
7
- Planning Terapi:
IVFD RL Loading 200 cc ~ Maintenance 20 tpm
IV Parasetamol 500 mg tiap 8 jam
IV Pantoprazole 40 mg tiap 12 jam
IV Ondansentron 8 mg tiap 8 jam k/p mual
Minum 1-1,5 L per hari
25
- Planning Monitoring:
Keluhan
Vital Sign
Produksi urin
Pemeriksaan darah lengkap setiap 24 Jam
2.7 Prognosis
- Ad Vitam : Dubia ad bonam
- Ad Functionam : Dubia ad bonam
- Ad Sanationam : Dubia ad bonam
26
2
BAB IV
PEMBAHASAN
36
dilakukan di hari ke-5 demam. Berdasarkan literatur, antigen NS1 dapat dideteksi
pada awal demam hari pertama sampai hari ke delapan. Namun sensitivitasnya
berkurang seiring penurunan kadar virus dalam darah. Pemeriksaan antigen NS1
idealnya dilakukan pada saat viremia yang terjadi 1-2 hari sebelum munculnya
demam sampai 4-5 hari setelahnya. Setelah demam hari ketiga jumlah virus di
darah menurun sehingga hasil negatif ini tidak dapat menyingkirkan adanya
infeksi virus dengue. Pada pasien ini dilakukan juga pemeriksa widal untuk
mendeteksi antibody kuman S.typhi. Pemeriksaan ini dilakukan sebanyak 1 kali
pada hari ke-5 demam dengan hasil didapatkan titer salmonella typhii O dan H
yang jumlahnya tidak terlalu signifikan pada pasien. Berdasarkan literatur,
pembentukan titer aglutinin O dan H terjadi pada akhir minggu pertama demam
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-4. Titer
tersebut kemudian tetap bertahan selama beberapa bulan setelah pasien sembuh.
Oleh karena itu uji widal idealnya dilakukan sebanyak 2 kali untuk melihat
kenaikan titer lebih dari 4 kali dari hasil pemeriksaan sebelumnya. Sehingga hasil
uji widal pada pasien belum bisa menunjukan adanya demam tifoid akut. Untuk
menegakkan diagnosis infeksi dengue dapat dilakukan pemeriksaan serologi IgM
dan IgG antidengue. Pada infeksi primer, IgM dapat terdeteksi sejak demam hari
ke-6 sampai hari ke-10 demam dan bertahan dalam jumlah rendah selama 1-3
bulan. Sementara itu, IgG baru meningkat di hari ke-9 sampai hari ke-10 demam
dan dapat bertahan dalam jumlah rendah selama bertahun-tahun. Pada pasien ini
dilakukan pemeriksaan IgG dan IgM di hari ke-7 demam. Berdasarkan hasil
pemeriksaan didapatkan DHF IgM negatif, dan DHF IgG positif. Pemeriksaan
laboratorium spesifik untuk dengue perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis,
namun untuk tatalaksana kondisi akut tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan
ini.
mual muntah pada pasien. Pada pasien ini diberikan terapi cairan berupa infus
Ringer Lactate 20 tetes per menit. Pemilihan jenis cairan ini sudah sesuai dengan
literatur yang menyarankan penggunaan cairan isotonik untuk terapi cairan pada
pasien ini. Namun untuk jumlah cairan yang diberikan sedikit berbeda dari
literatur dimana pada literatur disarankan pemberian dimulai dari 5-7ml/kg/jam
untuk 1-2 jam, lalu kurangi menjadi 3-5 ml/kg/jam untuk 2-4 jam, kurangi
kembali hingga menjadi 2-3 ml/kg/jam. Pada pasien cairan diberikan dalam
jumlah yang tetap yaitu 20 tetes per menit. Pasien juga diberikan antipiretik
parasetamol dimana pemilihan antipiretik ini sudah sesuai dengan literatur yang
menyarankan untuk menghindari penggunaan aspirin dan ibuprofen sebagai
antipiretik karena dapat memperberat gastritis dan pendarahan. Untuk mengatasi
keluhan mual pasien diberikan obat antiemetik ondansentron. Selama perawatan
perlu dilakukan pemantauan terhadap kondisi pasien. Hal-hal yang dipantau pada
pasien meliputi tanda-tanda vital, produksi urin, dan darah lengkap yang diperiksa
setiap hari.
BAB V
SIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Kemenkes RI. Pusat Data dan Informasi Kesehatan RI. Situasi Demam
Berdarah. Jakarta: Kemenkes RI. 2016.
2. WHO. Dengue Guidline For Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.
New edition 2009.
3. WHO. Comprehensive Guidlines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Haemorrhagic Fever. 2011
4. WHO. Threat BIG: Dengue and severe dengue. 2014
5. Guzman, Maria G., Harris, Eva., Dengue. 2015. Lancet; 385 (453-465)
6. Khetarpal, Niyati., Khanna, Ira. Dengue Fever: Causes, Compilcations and
Vaccine Strategies. 2016. Hindawi Journal of Immunology Research.
7. Simmons CP, McPherson K, Van Vinh Chau N, Hoai Tam DT, Young P,
Mackenzie J. Recent advances in dengue pathogenesis and clinical
management. Vaccine. 2015 Dec 10;33(50):7061-8.
8. Pang X, Zhang R, Cheng G. Progress towards understanding the pathogenesis
of dengue hemorrhagic fever. Virol Sin. 2017 Feb;32(1):16-22.
9. Martina BEE, Koraka P, Osterhaus ADME. Dengue Virus Pathogenesis: an
Integrated View. Clinical Microbiology Reviews. 2009;22(4):564-581
10. Kalayanarooj, Siripen. Clinical Manifestation and Management of
Dengue/DHF/DSS. 2011. Tropical Medicine and Health; 4 (83-87)
11. Setiawa, Meddy. Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Nsl Antigen untuk
Deteksi Dini Infeksi Akut Virus Dengue. Jurnal Saintika Medika. 2012
12. Lestari, K.2007. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Indonesia Farmaka. 5(3):12-29. http://farmasi.unpad.ac.id/farmaka
files/v5n3/keri.pdf
13. Elita Wibisono, Adityo Susilo, Leonard Nainggolan. KAPITA SELEKTA
KEDOKTERAN. Media Aesculapius FK – UI Edisi keempat Jilid II. 2014:
716-721.
31