Lapsus Demam Berdarah Dengue
Lapsus Demam Berdarah Dengue
Disusun Oleh :
dr. Muhamad Tariq Akbar
Pembimbing :
dr. Rini Powatu, Sp.A
SMF PEDIATRI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BOMBANA
2024
1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
SMF PEDIATRI
Oleh:
dr. Muhamad Tariq Akbar
Laporan kasus ini telah diujikan dan dipresentasikan di depan dokter pembimbing SMF
Pediatri kepaniteraan klinik Rumah Sakit Umum Daerah Bombana Kota Makassar pada :
Hari :
Tanggal :
Mengetahui
Dokter Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
Berdarah Dengue”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Rini Powatu, Sp.A selaku pembimbing yang telah
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian ini. Penulis menyadari sepenuhnya
bahwa dalam penyusunan karya ilmiah Laporan Kasus selama di RSUD Tanduale
Bombana ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu,
segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Penulis
3
DAFTAR ISI
COVER ……………………………………..……………………………………….. 1
LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………..………………….. 2
KATA PENGANTAR ……………………………………..……………………….. 3
DAFTAR ISI ……………………………………..…………………………………. 4
4
2.9 Diagnosis Banding ……………………………………..……………………….. 26
2.10 Komplikasi Demam Berdarah Dengue …………………………………….. 27
2.11 Tatalaksana Demam Berdarah Dengue …………………………………… 28
2.12 Penghambat atau Penyulit ……………………………………..………….. 31
2.12.1 Ensefalopati Dengue...............................................................................................31
2.12.2 Kelainan Ginjal ……………………………………..………………………. 31
2.12.3 Oedema Paru ……………………………………..…………………………. 32
2.13 Pencegahan ……………………………………..…………………………… 32
2.14 Prognosis.................................................................................................................33
5
BAB I
DATA PASIEN
Umur : 7 tahun
Agama : Islam
Suku : Makassar
BB : 42 kg
2. Riwayat Penyakit Sekarang : Demam sejak hari sabtu kemarin (3 hari yang lalu),
demam naik turun, turun hanya saat minum obat demam, batuk (-), muntah (-), mual
(-), sesak (-), nyeri menelan (-), mimisan (+) 1x tadi pagi, gusi berdarah (-), nafsu
6
1.3 Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : GCS 15
SpO2 : 98%
Nafas : 22x/menit
Suhu : 37.9°C
BB : 42 kg
7
Nsl Ag Positif Negatif
Tubex TF Negatif
HCV Non Reaktif
Widal Negatif
RDT Malaria Negatif
Sifilis Non Reaktif
HIV Negatif
Golongan Darah
8
- Tanggal 24 Januari 2024
9
EO 0.0 0.0 – 5.0 %
BA 0.0 0.0 – 0.2 %
RBC 4.63 3.5 – 5.5 10^6/uL
HGB 12.2 9.5 – 14.1 g/dL
HCT 38.0 30.0 – 40.0 %
MCV 82.1 70.0 – 84.0 fL
MCH 26.3 20.0 – 32.0 Pg
MCHC 32.1 21.0 – 25.0 g/dL
RDW-CV 12.9 11.8 – 14.0 %
RDW-SD 42.4 25.0 – 45.0 fL
PLT 85 150 – 400 10^3/uL
PCT 0.07 0.16 – 0.33 %
MPV 0.3 8.0 – 15.0 fL
PDW 18.5 15.0 – 17.0 %
P-LCR - - %
10
1.5 Diagnosis Kerja
dan Malaria.
Inj. Paracetamol
420mg/6 jam
11
FOLLOW UP
S O A P
tadi pagi,
tidak ada nyeri
Inj. Paracetamol
menelan dan gusi BB : 42 kg
berdarah 420mg/6 jam
Akral hangat : +
Immunos syrp 1x1 cth
HCT : 43,5 %
PLT : 63.000
Elkana syrp 1x1 cth
S O A P
12
IMT : 24.8 kg/m2
Elkana syrp 1x1 cth
13
Tanggal 24 Januari 2024
S O A P
BB : 42 kg
Inj. Paracetamol
S O A P
PLT : 69.000
14
Tanggal 26 Januari 2024
S O A P
Diagnosis Sekunder : -
1.7 Prognosa
1. Vitam = bonam
2. Functionam = bonam
3. Sanationam = bonam
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue tipe 1-4, dengan manifestasi klinis demam mendadak 2-7 hari disertai gejala
perdarahan dengan atau tanpa syok, disertai pemeriksaan laboratorium menunjukkan
trombositopenia (trombosit kurang dari 100.000) dan peningkatan hematokrit 20% atau
lebih dari nilai normal. (WHO, 2011)
2.2 Epidemiologi
Sejak 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan frekuensi infeksi virus dengue secara
global. Di seluruh dunia 50-100 milyar kasus telah dilaporkan. Setiap tahunnya sekitar
500.000 kasus DBD perlu perawatan di rumah sakit, 90% diantaranya adalah anak – anak
usia kurang dari 15 tahun. Angka kematian DBD diperkirakan sekitar 5% dan sekitar
25.000 kasus kematian dilaporkan setiap harinya. (Hadinegoro, 2011)
16
Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes aegypti betina, disamping pula
Aedes albopictus betina. Ciri-ciri nyamuk penyebab penyakit demam berdarah (nyamuk
Aedes aegypti) : (Shu PY, 2006)
- Badan kecil, warna hitam dengan bintik-bintik putih,
- Hidup di dalam dan di sekitar rumah,
- Menggigit/menghisap darah pada siang hari,
- Senang hinggap pada pakaian yang bergantungan dalam kamar,
- Bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar rumah
bukan di got/comberan,
- Di dalam rumah: bak mandi, tampayan, vas bunga, tempat minum burung, dan
lain-lain.
Jika seseorang terinfeksi virus dengue digigit oleh nyamuk Aedes aegypti, maka
virus dengue akan masuk bersama darah yang diisap olehnya. Didalam tubuh nyamuk itu
virus dengue akan berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar ke seluruh
bagian tubuh nyamuk. Sebagian besar virus akan berada dalam kelenjar air liur nyamuk.
Jika nyamuk tersebut menggigit seseorang maka alat tusuk nyamuk (proboscis)
menemukan kapiler darah, sebelum darah orang itu diisap maka terlebih dahulu dikeluarkan
air liurnya agar darah yang diisapnya tidak membeku. Bersama dengan air liur inilah virus
dengue tersebut ditularkan kepada orang lain.(Mansjoer, 2000).
17
2.4 Klasifikasi Demam Berdarah Dengue
Derajat demam berdarah menurut World Health Organization (WHO) yaitu sebagai
berikut :
2.5 Patofisiologi
Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) disebabkan
oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang menyebabkan
perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah hemokonsentrasi yang khas pada DBD
yang bisa mengarah pada kondisi renjatan. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran
plasma yang diduga karena proses imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi.
Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya
virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag.
Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari
gejala panas mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan
memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang
menempel di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain
untuk memfagosit lebih banyak virus.
18
T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah
memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis
antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi
fiksasi komplemen. (WHO, 2009)
Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang
terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya.
Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang menyebabkan
trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan. Imunopatogenesis DBD dan
DSS masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk
menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan DSS yaitu teori virulensi dan hipotesis
infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory). Teori virulensi dapat
dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti juga virus binatang yang lain, dapat
mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik
pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik
dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia,
peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Renjatan yang
dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat serotipe virus yang paling virulen.
(Mansjoer, 2000)
Secara umum hipotesis secondary heterologous infection menjelaskan bahwa jika
terdapat antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi tersebut dapat
mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam tubuh merupakan
antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang
berat.
(6) Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan
dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Dihipotesiskan juga
mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan
infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.
Sebagai respon terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok. (Hadinegoro, 2004).
19
2.6 Patogenesis
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) dapat dilihat pada Gambar 2.2. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh
tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang
akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue.
Disamping itu replikasi virus dengue terjadi juga di dalam limfosit yang
bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan
mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang
selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler
ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang
sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma yang erat
hubungannya dengan kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah ini terbukti dengan
adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan di
dalam rongga serosa (efusi pleura dan asites). Syok yang tidak tertanggulangi secara
adekuat akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat fatal, oleh karena itu
pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian. (Hadinegoro, 2011)
20
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan
mengakibatkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan
pengeluaran ADP (Adenosin Diphosphat), sehingga trombosit dihancurkan oleh RES
(Reticulo endothelial System) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini
akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulapati
konsumtif (KID; Koagulasi Intravaskular Deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi dengan baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hagemen sehingga terjadi aktivasi
sistem kinin kalikrein sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan
kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang
terjadi. (Hadinegoro, 2011)
21
2.7 Spektrum Klinis dan Derajat Penyakit
Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari interaksi
antara kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi virus dengue dapat
tidak menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun bermanifestasi klinis ringan yaitu demam
tanpa penyebab yang jelas, demam dengue (DD) dan bermanifestasi berat dengan demam
berdarah dengue (DBD) tanpa syok atau sindrom syok dengue (SSD). Namun, untuk alasan
praktis, infeksi dengue yang tidak berat (non-severe dengue) dapat dikelompokkan ke
dalam 2 kelompok yaitu pasien dengan warning sign dan tanpa warning sign.
22
2.8 Diagnosis
2.8.1 Anamnesis
Kriteria untuk mendiagnosis dengue (dengan atau tanpa warning sign) dan severe
dengue dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut :
a. Pemeriksaan Laboratorium
23
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis DBD
adalah pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi virus. Yang signifikan
dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, selain itu untuk mendiagnosis DBD
secara definitif dengan isolasi virus, identifikasi virus dan serologis.
Pemeriksaan Darah Lengkap :
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit,
jumlah trombosit. Peningkatan nilai hematokrit yang selalu dijumpai pada DBD
merupakan indikator terjadinya perembesan plasma, Selain hemokonsentrasi juga
didapatkan trombositopenia, dan leukopenia. (WHO, 2009).
Isolasi Virus :
Ada beberapa cara isolasi dikembangkan, yaitu :
a) Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1-3 hari.
b) Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCKMK2) dan nyamuk A. albopictus.
c) Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik / intraserebri pada larva.
Identifikasi Virus :
Adanya pertumbuhan virus dengue dapat diketahui dengan melakukan fluorescence
antibody technique test secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan
cunjugate. Untuk identifikasi virus dipakai flourensecence antibody technique test
secara indirek dengan menggunakan antibodi monoklonal. (Guzman, 2007).
Uji Serologi :
1. Uji hemaglutinasi inhibasi ( Haemagglutination Inhibition Test = HI test ) (Buchy
P, 2006)
Diantara uji serologis, uji HI adalah uji serologis yang paling sering dipakai dan
digunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam uji HI ini :
a. Uji ini sensitif tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak dapat
menunjukan tipe virus yang menginfeksi
b. Antibodi HI bertahan didalam tubuh sampai lama sekali (48 tahun), maka uji ini
baik digunakan pada studi seroepidemiologi.
24
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali lipat dari titer
serum akut atau konvalesen dianggap sebagai presumtive positif, atau diduga
keras positif infeksi dengue yang baru terjadi (Recent dengue infection )
2. Uji Komplement Fiksasi ( Complement Fixation test = CF test )
Uji serologi yang jarang digunakan sebagai uji diagnostik secara rutin oleh karena
selain cara pemeriksaan agak ruwet, prosedurnya juga memerluikan tenaga periksa
yang sudah berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen
fiksasi hanya bertahan sampai beberapa tahun saja (2 – 3 tahun). (Buchy P, 2006).
3. Uji neutralisasi ( Neutralisasi Tes = NT test )
Merupakan uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue.
Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction
Neutralization Test ( PRNT ) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang
terjadi. Saat antibodi neutralisasi dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan
HI antibodi komplemen tetapi lebih cepat dari antibodi fiksasi dan bertahan lama
(48 tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama
sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgM Elisa ( IgM Captured Elisa = Mac Elisa)
Pada tahun terakhir ini, mac elisa merupakan uji serologi yang banyak sekali
dipakai. Sesuai namanya test ini akan mengetahui kandungan IgM dalam serum
pasien. Hal- hal yang perlu diperhatikan dalam uji mac elisa adalah :
a. Pada perjalanan penyakit hari 4 – 5 virus dengue, akan timbul IgM yang diikuti
oleh IgG.
b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, secara cepat dapat ditentukan
diagnosis yang tepat.
c. Ada kalanya hasil uji terhadap masih negatif, dalam hal ini perlu diulang.
d. Apabila hari ke 6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif.
e. IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2-3 bulan setelah adanya infeksi. Untuk
memeperjelas hasil uji IgM dapat juga dilakukan uji terhadap IgG. Untuk itu uji
IgM tidak boleh dipakai sebagai satu – satunya uji diagnostik untuk pengelolaan
kasus.
25
f. Uji mac elisa mempunyai sensitifitas sedikit dibawah uji HI, dengan kelebihan
uji mac elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifitas yang
sama dengan uji HI.
5. IgG Elisa
Pada saat ini juga telah beredar uji IgG elisa yang sebanding dengan uji HI , hanya
sedikit lebih spesifik. Beberapa merek dagang kita uji untuk infeksi dengue IgM /
IgG dengue blot, dengue rapid IgM, IgM elisa, IgG elisa, yang telah beredar di
pasaran. Pada dasarnya, hasil uji serologi dibaca dengan melihat kenaikan titer
antibodi fase konvalesen terhadap titer antibodi fase akut (naik empat kali kelipatan
atau lebih). (Shu PY, 2006)
Metode Diagnosis Baru (RTPCR) :
Akhir-akhir ini dengan berkembangnya ilmu biologi molekular, diagnosis infeksi
virus dengue dapat dilakukan dengan suatu uji yang disebut Reverse Transcriptase
Polymerase Chai Reaction (RTPCR). Cara ini merupakan cara diagnosis yang
sangat sensitif dan spesifik terhadap serotipe tertentu, hasil cepat didapat dan dapat
diulang dengan mudah. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari spesimen yang
berasal dari darah, jaringan tubuh manusia, dan nyamuk. Meskipun sensitivitas PCR
sama dengan isolasi virus, PCR tidak begitu dipengaruhi oleh penanganan spesimen
yang kurang baik (misalnya dalam penyimpanan dan handling), bahkan adanya
antibodi dalam darah juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR. (Chien LJ, 2008).
a. Pemeriksaan Radiologi
Kelainan yang bisa didapatkan antara lain (Hadinegoro, 2004) :
a) Dilatasi pembuluh darah paru
b) Efusi pleura
c) Kardiomegali atau efusi perikard
d) Hepatomegali
e) Cairan dalam rongga peritoneum
f) Penebalan dinding vesika felea
26
2.9 Diagnosis Banding
a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau
penyakit protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis chikungunya,
malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat
membedakan antara DBD dengan penyakit lain.
b. DBD harus dibedakan pada demam chikungunya (DC). Pada DC biasanya seluruh
anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan influenza. Bila
dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa
demam lebih pendek, suhu tubuh tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular,
injeksi kojungtiva dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif,
petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan
gastrointestinal dan syok.
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi,
misalnya sepsis, meningitis meningkokus. Pada sepsis, anak sejak semula kelihatan
sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Disamping itu jelas
terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada
hitung jenis). Pemeriksaan laju endap darah (LED) dapat dipergunakan untuk
membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis meningkokokus jelas
terdapat rangsangan meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.
d. Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II, oleh
karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari pertama,
diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat
menghilang, tidak dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase penyembuhan DBD jumlah
trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia
demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis. Pemeriksaan
darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukimia. (Hadinegoro,
2004)
27
2.10 Komplikasi Demam Berdarah Dengue
Dengue yang parah adalah komplikasi yang berpotensi mematikan karena plasma
bocor, akumulasi cairan, gangguan pernapasan, pendarahan parah, atau gangguan organ.
Tanda-tanda peringatan terjadi 3-7 hari setelah gejala pertama dalam hubungannya dengan
penurunan suhu (di bawah 38°C / 100°F) dan meliputi: sakit parah perut, muntah terus
menerus, napas cepat, gusi berdarah, kelelahan, kegelisahan dan muntah darah. 24-48 jam
berikutnya dari tahap kritis dapat mematikan; perawatan medis yang tepat diperlukan untuk
menghindari komplikasi dan risiko kematian.
Menurut WHO DHF dibagi dalam 4 derajat yaitu:
a) Derajat I : Demam disertai gejala klinik khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
dalam uji tourniquet positif, trombositopenia, himokonsentrasi.
b) Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain.
c) Derajat III : Ditemukannya kegagalan sirkulasi, ditandai oleh nadi cepat dan lemah,
tekanan darah turun (20 mm Hg) atau hipotensi disertai dengan kulit dingin dan gelisah.
d) Derajat IV : Kegagalan sirkulasi, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak Terukur.
28
2.11 Tatalaksana
29
30
31
2.12 Penghambat atau Penyulit
2.12.1 Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan
dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan
metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab
ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, kemungkinan dapat juga
disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi
intravaskuler yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus sawar
darah otak. Dikatakan juga bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan
hati akut. (Hadinegoro, 2004).
Apabila pada pasien syok dijumpai penurunan kesadaran, maka untuk memastikan
adanya ensefalopati, syok harus diatasi terlebih dahulu. Apabila syok telah teratasi maka
perlu dinilai kembali kesadarannya. Pungsi lumbal dikerjakan bila kesadarannya telah
teratasi dan kesadaran tetap menurun (hati- hati bila jumlah trombosit <50.000/μl). Pada
ensefalopati dengue dijumpai peningkatan kadar transaminase (SGOT/SGPT), PT dan PTT
memanjang, kadar gula darah menurun, alkalosis pada analisa gas darah, dan hiponatremia
(Bila mungkin periksa kadar amoniak darah). (Hadinegoro, 2004).
32
2.12.3 Oedema Paru
Merupakan komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan
yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sakit sesuai dengan
panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan oedema paru karena
perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang
ekstravaskuler, apabila cairan yang diberikan berlebih (Kesalahan terjadi bila hanya melihat
penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan
mengalami distres pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata dan ditunjang dengan
gambaran oedema paru pada foto rontgen. (Hadinegoro, 2004)
2.13 Pencegahan
Demam berdarah dapat dicegah dengan memberantas jentik-jentik nyamuk. Demam
Berdarah (Aedes Aegypti) dengan cara melakukan PSN (Pembersihan Sarang Nyamuk)
upaya ini merupakan cara yang terbaik, ampuh, murah dan dapat dilakukan oleh
masyarakat, dengan cara sebagai berikut : (WHO, 2009).
1. Bersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti : bak mandi / WC, drum, dan lain-
lain) sekurang-kurangnya seminggu sekali. Gantilah air di vas kembang, tempat minum
burung, perangkap semut dan lain-lain sekurang-kurangnya seminggu sekali.
2. Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tampayan, drum, dan lain-lain
agar nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak di tempat itu.
3. Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas, seperti kaleng bekas, ban
bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung air hujan, agar tidak
menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Potongan bamboo, tempurung kelapa, dan
lain-lain agar dibakar bersama sampah lainnya
4. Tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau adukan semen.
5. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap disitu
6. Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk
ABATE ke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-jentik nyamuk. Ulangi
hal ini setiap 2-3 bulan sekali.
33
Takaran penggunaan bubuk ABATE adalah sebagai berikut: Untuk 10 liter air
cukup dengan 1 gram bubuk ABATE. Untuk menakar ABATE digunakan sendok makan.
Satu sendok makan peres berisi 10 gram ABATE. Setelah dibubuhkan ABATE maka (Shu
PY, 2006) :
1. Selama 3 bulan bubuk ABATE dalam air tersebut mampu membunuh jentik Aedes
Aegypti.
2. Selama 3 bulan bila tempat penampungan air tersebut akan dibersihkan/diganti airnya,
hendaknya jangan menyikat bagian dalam dinding tempat penampungan air tersebut.
3. Air yang telah dibubuhi ABATE dengan takaran yang benar, tidak membahayakan dan
tetap aman bila air tersebut diminum.
2.14 Prognosis
Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan
diberikan, umur, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik. DBD
derajat III dan IV bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong. Angka
kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi dengan terapi penggantian
cairan yang baik bisa menjadi 1-2 %. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang,
dan Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit DHF pada orang
dewasa umumnya lebih ringan daripada anak-anak. Pada kasus-kasus DHF yang disertai
komplikasi sepeti DIC dan ensefalopati prognosisnya buruk. (Hadinegoro, 2004)
34
BAB III
KESIMPULAN
Pasien datang ke Poliklinik anak Rumah Sakit Umum Daerah Bombana kota
Makassar dengan keluhan panas sejak 3 hari yang lalu (19 Januari 2024), panas pasien
dikatakan naik turun, turun nya hanya saat minum obat demam. Ada gejala batuk (+), tidak
ada gejala mual (-), muntah (-), sesak (+), nyeri menelan (-), mimisan (-), gusi berdarah (-),
nafsu makan baik, BAB dan BAK dalam batas normal.
Tidak ada riwayat penyakit dahulu, tidak ada riwayat penyakit keluarga dan tidak
ada riwayat pengobatan yang pernah dilakukan. Vital sign saat datang ke IGD Rumah Sakit
Daerah Bombana yaitu Nadi 100x/mnt, SpO2 98%, Nafas 22x/mnt, Suhu 37,9 oC dan Berat
Badan 42 kg dan Tinggi Badan 150 cm. Pada pemeriksaan anak tampak lemah, tanda
perdarahan tidak ditemukan, tanda perembesan cairan, dehidrasi hingga shock tidak
ditemukan. Pada pemeriksaan penunjang DL ditemukan leukopenia, trombositopenia,
monositosis, hematocrit tidak meningkat, kesan dicurigai ke arah dengue fever.
Menurut derajat keparahan DHF dari WHO dengan adanya klinis demam, sakit
kepala, nyeri badan (myalgia, atralgia) tanpa adanya tanda perdarahan dan bukti kebocoran
plasma (HCT normal batas ambang bawah), disertai dengan leukopenia, trombositopenia
maka diagnosis kerja yang dapat dibuat adalah Demam Berdarah Dangue (Dengue
Hemmoragic Fever). Pemeriksaan DL serial perlu dilakukan untuk evaluasi kondisi pasien
dan rencana tatalaksana selanjutnya.
Selama pasien di rawat di Rumah Sakit Daerah Bombana telah dilakukan
penatalaksanaan dengan terapi berupa Inj. Cefotaxime 1 gr/12 jam, Inj. Paracetamol 420
mg/6 jam, Immunos syrp 1x1 cth dan Elkana syrp 1x1 cth. Setelah dilakukan perawatan,
terapi serta dilakukan evaluasi DL pasien mengalami perbaikan kondisi dan prognosis pada
pasien yaitu vitam (bonam), functionam (bonam) dan Sanationam (bonam).
35
DAFTAR PUSTAKA
World Health Organization (WHO). (2009). Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment,
Prevention and Control. For Research On Diseases Of Poverty.
Nur Syafiqah. (2018). Demam Berdarah Dengue. Viewed 20 September 2021.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/ba3c25eee71e14175424cccf
777ecaff.pdf.
Wen-Hung et al. (2020). Dengue Hemmorragic Fever A Systemic Literature Review of
Current Perspective on Pathogenesis, Prevention and Control. Kaohsiung : Journal
of Microbiology, Immunology and Infection (2020) 53, 963e978.
Byron et al. (2009). Dengue Virus Pathogenesis: An Integrated View. Netherlands :
American Society for Microbiology.
WHO, Regional Office for South East Asia (2011). Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever: Revised and
expanded edition. SEARO Technical Publication Series No. 60. India
Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas
Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta.
Hadinegoro, S.Sri Rezeki, Pitfalls and Pearls.(2004). Diagnosis dan Tata Laksana Demam
Berdarah Dengue, dalam: Current Management of Pediatrics Problem. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta. Hal 63-72
Hadinegoro, S.Sri Rezeki (2011). Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Terbitan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta.
World Health Organization. DENGUE Guidelines for diagnosis, treatment, prevention and
control. New Edition 2009.
Buchy P, Yoksan S, Peeling RW, Hunsperger E. Laboratory Tests for The Diagnosis of
Dengue Virus Infection. J Clin Microbiol 2006;40:376-81.
Guzman MG, Kouri G. Dengue diagnosis, advances and challenges. Int J Infect Dis
2007;8:69-80.
36
Shu PY. Comparison of a capture immunoglobulin M (IgM) and IgG ELISA and non-
structural protein NS1 serotype-specific IgG ELISA for differentiation of primary
and secondary dengue virus infections. Clin Diagn Lab Immunol 2006;10:622-30.
Chien LJ. Development of a real time reverse transcriptase PCR assays to detect and
serotype dengue viruses. J Clin Microbiol 2008;44:1295-04.
37