Anda di halaman 1dari 25

LAPSUS

THYPOID FEVER

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Dokter Internship

Oleh :
dr. Muhammad Iqbal Cahyana Eka Putra
Pendamping :
dr.Ivan Ubaidillah Hakam

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP


PUSKESMAS WONOSALAM
KABUPATEN JOMBANG
2023

I
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yangtelah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus “Thypoid Fever” Laporan ini disusun untuk
memenuhi tugas kepaniteraan program internsip Puskesmas Wonosalam
Kabupaten Jombang.
Penulis menyadari bahwa hasil laporan ini masih jauh dari sempurna,
karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
sehingga nantinya laporan kasus ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis
harapkan semoga laporan yang telah disusun ini dapat berguna dan memberikan
manfaat bagi yang memerlukan.

Wonosalam, 20 Mei 2023

dr. Muhammad Iqbal Cahyana Eka Putra

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................... ...........................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
LAPORAN KASUS.................................................................................................1
1.1 Identitas Pasien..........................................................................................1
1.2 Anamnesis..................................................................................................1
1.3 Pemeriksaan Fisik Umum..........................................................................1
1.4 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................3
1.5 Diagnosis....................................................................................................3
1.6 Rencana Terapi..........................................................................................3
1.7 Edukasi.......................................................................................................4
1.8 Follow Up..................................................................................................4
BAB II......................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................6
2.1 Definisi.......................................................................................................6
2.2 Etiologi.......................................................................................................6
2.3 Epidemiologi..............................................................................................7
2.4. Pathogenesis..............................................................................................7
2.5 Gejala Klinis...............................................................................................9
2.6 Diagnosis..................................................................................................10
2.7 Diagnosis banding....................................................................................14
2.8 Penatalaksanaan.......................................................................................14
2.9 Komplikasi...............................................................................................17
2.10 Prognosis................................................................................................18
BAB III..................................................................................................................20
RESUME...............................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21

III
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. S
Umur : 45 tahun
Alamat : Carangwulung
Tanggal periksa : 27 Maret 2023
No RM 0025438

1.2 Anamnesis
a) Keluhan Utama
Demam
b) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD Puskesmas Wonosalam dengan keluhan demam
sejak ± 5 hari yang lalu. Demam naik turun terutama di malam hari
disertai mual(+), muntah 1x(+), lemas(+), pusing(+), nyeri perut(+),
batuk(-), sesak(-), nafsu makan menurun, BAK dbn, BAB dbn.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
DM-, HT-.
d) Riwayat Penyakit Keluarga
-
e) Riwayat pengobatan
-
1.3 Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : Cukup
Kesadaran : Komposmentis
GCS : 456
Tanda-Tanda Vital
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 80x/menit
Respiratory Rate : 20 x/menit
Suhu : 37,80 C
SpO2 : 99%
Kepala-Leher
Mata : Anemis (-/-), ikterik (-/-)
Telinga : Sekret (-)
Hidung : Sekret (-), pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Sianosis (-), stomatitis (-)
Tenggorokan : Hiperemi (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorax
Dinding dada : Simetris bilateral
Cor : S1/S2 Tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru
Inspeksi : Gerakan dada simetris
Palpasi : Fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, ronchi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), retraksi subcostal (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Hepar : Tidak teraba pembesaran
Lien : Tidak teraba pembesaran
Perkusi : Timpani
Ekstremitas
Superior : Akral hangat +/+, oedema -/-, CRT < 2 detik
Inferior : Akral hangat +/+, oedema -/-, CRT < 2 detik
1.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 1 Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 27 Maret 2023


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Darah Lengkap

Haemoglobin 15,0 13,0 g/dL-18,0 g/dL

Leukosit (H)13.610 3200-10.000

Eritrosit 4,94 juta 4-5 juta/mm3

Hematokrit 41,5 40-50%

Trombosit 214.000 170.000-380.000

Widal (+)1/160 Thypi O

(+)1/160 Thypi H

Negatif Parathypi A

Negatif Parathypi B

Gula Darah Acak 191 <200 mg/dL

1.5 Diagnosis
Typhoid Fever

1.6 Rencana Terapi


Rencana Pengobatan
Inf. RL 21 tpm
Inj. Ampicillin 3x1 amp
Inj. Metamizole 3x1 amp
Inj. OMZ 2x1 amp
p.o Antasida 3x1 a.c
p.o Pamol 3x1
p.o Vitamin B kompleks 2x1

Rencana Tindakan
Monitor tanda – tanda vital setiap hari
Monitor keluhan (demam, mual, muntah, pusing, nyeri perut, lemas)
Monitor input dan output cairan termasuk berapa kali BAK dan BAB
sehari.

1.7 Edukasi
Istirahat yang cukup
Makan makanan bergizi
Pola hidup bersih dan sehat
Mengenali tanda dan gejala demam typhoid seperti demam > 7 hari
terutama di malam hari, mual, muntah, nyeri perut
Minum obat secara rutin

1.8 Follow Up
Tabel 2 Follow Up pasien Tn. S
Tanggal SOA P

28/03/2022 S : pasien mengluhkan demam, mual, Rencana Terapi


pusing
 Inf RL 21 tpm
O : ku : cukup, GCS 456 suhu : 37,8oC,  Besok lab DL
N : 75x/mnt, TD 11`0/70  Inj. Ampicillin 3x1
 Inj. Metamizole 3x1
A : Typhoid Fever  Inj. OMZ 2x1
 p.o Pamol 3x1
 p.o Antasida 3x1 a.c
 p.o BC 2x1

Rencana Monitoring

-Observasi keadaan
umum pasien, TTV,
keluhan
Tanggal SOA P

29/03/2022 S: pasien mengluhkan mual, keluhan Rencana Terapi


lain berkurang  Lab DL
 Inf. RL 21 tpm
O : keadaan umum : cukup, GCS 456  Inj. Ampicillin 3x1
suhu : 37,1oC, N : 90x/mnt, TD 120/80  Inj. OMZ 2x1
Leukosit 8000 widal (+)1/160  p.o Pamol 3x1
 p.o Antasida 3x1 a.c
A : Typhoid Fever  p.o BC 2x1

Rencana Monitoring
-Observasi keadaan,
umum pasien, TTV,
Tanggal SOA P

30/03/2022 S: lemas(-), demam (-), mual (-), Acc pulang


muntah(-), pusing(-), nyeri perut(-) p.o Amoxicillin 3x1
p.o BC 2x1
O : keadaan umum : cukup, GCS 456, p.o Antasida 3x1 a.c
suhu :36,9oC, N : 80x/mnt, TD 120/80
RR 20x/menit
A : Typhoid Fever
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi yang masuk ke dalam tubuh manusia.
Demam tifoid merupakan penyakit yang mudah menular dan menyerang banyak
orang sehingga dapat menimbulkan wabah. 4
Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut
yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari,
gangguan pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran. 5

2.2 Etiologi
Demam tifoid disebabkan bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi
dari genus Salmonella. Kuman ini berbentuk batang, gram negatif, tidak
membentuk spora, motil, berkapsul, dan mempunyai flagela (rambut getar).
Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15-41 o
C (suhu pertumbuhan optimal 37o C) serta pH pertumbuhan 6-8. Kuman ini
bertahan hidup beberapa minggu di alam bebas seperti di air, es, sampah, dan
debu serta hidup subur pada medium yang mengandung garam empedu. Kuman
ini mati dengan pemanasan (suhu 60o C) selama 15-20 menit, pasteurisasi,
pendidihan, dan khlorinisasi. 8
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen yaitu:
1. Antigen O (antigen somatik) terletak pada lapisan luar kuman. Bagian ini
mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela) terletak pada flagela, fimbria, atau fili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.
Antigen tersebut di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pembentukan 3
macam antibodi yang lazim disebut aglutinin. 7, 9

2.3 Epidemiologi
Pada beberapa dekade terakhir demam tifoid jarang terjadi di negara industri.
Namun, tetap menjadi masalah kesehatan serius di sebagian wilayah dunia seperti
Uni Soviet, India, Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Afrika. Menurut WHO,
diperkirakan terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu berakhir kematian.
Sekitar 70% dari seluruh kasus kematian itu menimpa penderita demam tifoid di
Asia. 6
Pada tahun 2000 insidensi demam tifoid di Amerika Latin sebesar 53 per 100
ribu penduduk dan di Asia Tenggara sebesar 110 per 100 ribu penduduk. Di
Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Etiologi utama di
Indonesia adalah Salmonella subspesies enterika serovar typhi dan paratyphi A.
CDC Indonesia melaporkan insidensi demam tifoid mencapai 358-810 per 100
ribu populasi pada tahun 2007 dengan 64% ditemukan pada usia 3-19 tahun dan
angka mortalitas antara 3,1-10,4% pada pasien rawat inap. 6, 7
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan nyata
antara insidensi pada laki-laki maupun perempuan. Insidensi penderita demam
tifoid dengan usia 12-30 tahun sekitar 70-80%, usia 31-40 tahun sekitar 10-20%,
dan usia > 40 tahun sekitar 5-10%.

2.4. Pathogenesis
Penularan demam tifoid adalah secara feko-oral dan banyak terdapat di
masyarakat dengan higien dan sanitasi yang kurang baik. Bakteri Salmonella typhi
dan Salmonella paratyphi masuk ke tubuh manusia melalui makanan atau
minuman yang tercemar dan dapat juga melalui kontak langsung dengan jari
penderita yang terkontaminasi feses, urin, sekret saluran napas, atau pus. Selain
itu, transmisi juga dapat terjadi secara transplasental dari ibu hamil ke janin.
Sebagian kuman dihancurkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke
usus halus dan berkembang biak. 4,
Di usus diproduksi IgA sekretorik sebagai imunitas humoral lokal yang
berfungsi untuk mencegah melekatnya kuman pada mukosa usus. Sedangkan
untuk imunitas humoral sistemik diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan
fagositosis kuman oleh makrofag. Imunitas seluler sendiri berfungsi untuk
membunuh kuman intraseluler. 10
Jika respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik, kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan lamina propia. Di lamina propia
kuman berkembang biak dan difagosit oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag. Selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum
distal dan ke kelenjar limfe mesenterika. Melalui duktus torasikus, kuman yang
terdapat di dalam makrofag masuk ke sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia
ke-1 yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hepar, lien, dan sumsum tulang. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid
kemudian masuk ke sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia ke-2
dengan disertai tanda dan gejala klinis. 4, 7
Namun, sebagian lagi masuk ke kandung empedu dan berkembang biak
kemudian disekresikan secara intermiten bersama cairan empedu ke lumen usus,
sebagian keluar bersama feses, dan sebagian lagi menembus usus kembali dan
difagosit oleh makrofag yang sudah teraktivasi dan hiperaktif sehingga
melepaskan sitokin reaksi inflamasi sistemik. Oleh karena itu timbul demam, sakit
kepala, sakit perut, mialgia, malaise, instabilitas vaskuler, gangguan koagulasi,
dan gangguan kesadaran. Setelah sampai di plaque peyeri, makrofag hiperaktif
sehingga timbul reaksi hiperplasia jaringan dan perdarahan saluran cerna (erosi
vaskuler di sekitar plaque peyeri). Jika kuman terus menembus lapisan usus
hingga lapisan otot dan serosa usus, dapat mengakibatkan perforasi
Kuman juga mengeluarkan endotoksin yang dapat menempel di reseptor sel
endotel kapiler sehingga dapat timbul komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan lain-lain. Kuman dapat menetap
atau bersembunyi pada 1 tempat dalam tubuh penderita. Hal ini mengakibatkan
terjadinya relaps atau karier
2.5 Gejala Klinis
Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang
sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas
dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare
yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa
gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul
komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini
mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.1
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding
dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa
inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu,
nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Gejala-gejala klinis yang timbul
sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga
gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.7
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada
semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2
hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia oleh karena
Streptococcus atau Pneumococcus daripada S.typhi. Gejala menggigil tidak biasa
didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis
malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria. 7 Demam tifoid dan
malaria dapat timbul secara bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat
yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain
S.typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis.
Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi,
stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan
apendisitis. Penderita pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat
perforasi usus.7
Gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :6
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus
berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-
angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-
pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan
tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan
keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri
pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula
normal bahkan dapat terjadi diare.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam,
yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.

2.6 Diagnosis
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang
diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Penelitian yang
menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik
dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh masih
terus dilakukan hingga saat ini. Kultur darah adalah gold standard dari penyakit
ini.1,6 Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu:1
2.6.1 Pemeriksaan Darah Tepi
Penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit
normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan
trombositopenia, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis
relatif.
2.6.2 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri Salmonella typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum
tulang, cairan duodenum. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka
bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang
pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urin
dan feses.
Kultur organisme penyebab merupakan prosedur yang paling
efektif dalam menduga demam enterik, dimana kultur untuk demam
tifoid dapat menjelaskan dua pertiga dari kasus septikemia yang
diperoleh dari komunitas yang dirawat di rumah sakit. Biakan sumsum
tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas
paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95%.
Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam
praktek sehari-hari. kultur sumsum tulang. Volume 5-10 ml dianjurkan
untuk orang dewasa, sedangkan pada anak-anak dibutuhkan 2-4 ml,
sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya
sekitar 0.5-1 ml. Bakteri dalam sumsum tulang juga lebih sedikit
dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini
dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume
sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika
sebelumnya. Spesifisitasnya walaupun tinggi, pemeriksaan kultur
mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa
lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat
untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan
penderita.
2.6.3 Uji Serologis
A. Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin
digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa
reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah
mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O)
dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Semakin tinggi
titernya, semakin besar kemungkinan infeksi ini. Uji Widal ini
dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman Salmonella typhi.
Pada uji ini terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman
Salmonella typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang
digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium.6
Maksud uji Widal adalah menentukan adanya aglutinin dalam
serum penderita tersangka demam tifoid. Kelemahan uji Widal yaitu
rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan
interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan
penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan
memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda
infeksi).6
Uji Widal saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh
dunia, namun manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan
pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi
(cut-off point). Upaya untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya
ditentukan titer dasar (baseline titer) pada orang sehat di populasi
dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan
peningkatan titer antibodi O dan H pada orang-orang sehat.6
Kelemahan lain adalah banyak terjadi hasil negatif palsu dan
positif palsu pada tes ini. Hasil negatif palsu tes Widal terjadi jika
darah diambil terlalu dini dari fase tifoid. Pemberian antibiotik
merupakan salah satu peyebab penting terjadinya negatif palsu.
Penyebab hasil negatif lainnya adalah tidak adanya infeksi S. typhi,
status karier, inokulum antigen bakteri pejamu yang tidak cukup untuk
melawan antibodi, kesalahan atau kesulitan dalam melakukan tes dan
variabilitas antigen.6
Hasil positif palsu dapat terjadi apabila sudah pernah melakukan
tes demam tifoid sebelumnya, sudah pernah imunisasi antigen
Salmonella sp., ada reaksi silang sebelumnya dengan antigen selain
Salmonella sp., variabilitas dan kurangnya standar pemeriksaan
antigen, infeksi malaria atau bakteri enterobacteriaceae lainnya, serta
penyakit lain seperti dengue.6
b. Uji Tubex
Uji Tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat
(beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi
antibodi anti-S.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat
ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang
berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada
partikel magnetik latex. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan
terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak secara spesifik
menunjuk pada S.typhi. Infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan
hasil negatif.
c. Uji Typhidot
Pemeriksaan lain adalah dengan Typhidotyang dapat mendeteksi IgM
dan IgG. Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid,
sedangkan terdeteksinya IgG dan IgM menunjukkan demam tifoid akut
pada fase pertengahan. Antibodi IgG dapat menetap selama 2 tahun
setelah infeksi, oleh karena itu, tidak dapat untuk membedakan antara
kasus akut dan kasus dalam masa penyembuhan.2
Yang lebih baru lagi adalah Typhidot M yang hanya digunakan untuk
mendeteksi IgM saja Typhidot M memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih tinggi dibandingkan Typhidot. Pemeriksaan ini dapat
menggantikan Widal, tetapi tetap harus disertai gambaran klinis sesuai
yang telah dikemukakan sebelumnya.

2.7 Diagnosis banding


A. Penyakit infeksi: Malaria, infeksi saluran kemih, meningitis,
pneumonia, tb paru, pleuritis, dengue fever
B. Penyakit keganasan : Leukomia, karsinoma
C. Penyakit kolagen: Demam reumatik, Eritematosus lupus sisternik

2.8 Penatalaksanaan
Tatalaksana umum, asuhan keperawatan, dan asupan gizi merupakan aspek
penting dalam pengobatan demam tifoid selain pemberian antibiotik. Tatalaksana
demam tifoid meliputi:
2.8.1 Tirah baring
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil, maupun buang air besar dapat
mempercepat penyembuhan. Kebersihan tempat tidur, pakaian, dan
perlengkapan yang dipakai juga perlu dijaga. 5
Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi,
observasi, dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai
minimal 7 hari bebas demam atau ± 14 hari. Tirah baring bertujuan untuk
mencegah terjadinya komplikasi perdarahan atau perforasi usus.
Mobilisasi pasien dilakukan bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan
pasien.
Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuh harus diubah pada
waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan
dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang
terjadi obstipasi dan retensi urin.
2.8.2 Managemen nutrisi
Penderita demam tifoid selama menjalani perawatan dianjurkan
mengikuti petunjuk diet berikut:
a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin, dan protein.
b. Tidak mengandung banyak serat.
c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Makanan rendah serat bertujuan untuk membatasi volume feses dan
tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur ditujukan untuk
menghindari terjadinya komplikasi perdarahan atau perforasi usus.
2.8.3 Managemen medis
Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala seperti
demam, diare, obstipasi, mual, muntah, dan meteorismus. Jika obstipasi >
3 hari, perlu dibantu dengan parafin atau lavase dengan glistering. Obat
laksansia atau enema tidak dianjurkan karena dapat mengakibatkan
perdarahan maupun perforasi usus.
Pengobatan suportif diberikan untuk memperbaiki keadaan penderita
seperti pemberian cairan dan elektrolit jika terjadi gangguan
keseimbangan cairan. Penggunaan kortikosteroid hanya diindikasikan
pada toksik tifoid (disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa
kelainan neurologis dan hasil pemeriksaan CSF dalam batas normal) atau
demam tifoid yang mengalami syok septik. Regimen yang digunakan
adalah deksametason dengan dosis 3 x 5 mg. Pada anak digunakan
deksametason intravena dengan dosis 3 mg/kg BB dalam 30 menit
sebagai dosis awal dilanjutkan dengan 1 mg/kg BB tiap 6 jam hingga 48
jam.
Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya penyebaran kuman.
Antibiotik yang dapat digunakan dalam demam tifoid yaitu:
a. Kloramfenikol.
Dosis orang dewasa 4 x 500 mg per hari oral atau intravena sampai
7 hari bebas demam. Suntik intramuskuler tidak dianjurkan karena
dapat terjadi hidrolisis ester dan tempat suntikan terasa nyeri.
Tingginya angka kekambuhan (10-25%), masa penyakit
memanjang, karier kronis, depresi sumsum tulang (anemia aplastik),
dan angka mortalitas yang tinggi merupakan perhatian yang perlu
terhadap kloramfenikol. Kekambuhan dapat diobati dengan obat
yang sama. Penurunan demam terjadi pada hari ke-5.
b.Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama
dengan kloramfenikol tetapi komplikasi hematologi seperti anemia
aplastik lebih rendah dibandingkan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol
4 x 500 mg. Demam menurun pada hari ke-6.
c. Ampisilin dan kotrimoksazol
Efektivitas obat ini hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis
orang dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400
mg dan trimetoprin 80 mg) diberikan selama 2 minggu. Diberikan
karena meningkatnya angka mortalitas akibat resistensi
kloramfenikol. Munculnya strain Salmonella typhi MDR menjadikan
ampisilin dan kotrimoksazol resisten.
d. Kuinolon
Kuinolon mempunyai aktivitas tinggi terhadap Salmonella in vitro
serta mencapai konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu.
Siprofloksasin mempunyai efektivitas tinggi terhadap strain Salmonella
typhi MDR dan tidak menyebabkan karier. Kuinolon yang dapat
digunakan untuk demam tifoid meliputi:
1)Norfloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 14 hari.
2)Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg per hari selama 6 hari.
3)Ofloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 7 hari.
4)Pefloksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.
5)Fleroksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.
Demam umumnya lisis pada hari ke-3 atau ke-4. Penurunan demam
sedikit lambat pada penggunaan norfloksasin.
e. Sefalosporin generasi III
Sefotaksim, seftriakson, dan sefoperazon digunakan selama 3 hari dan
memberi efek terapi sama dengan obat yang diberikan 10-14 hari.
Respon baik juga dilaporkan dengan pemberian seftriakson dosis 3-4
gram dalam dekstrosa 100 cc selama 30 menit per infus 1 x
diberikan 3-5 hari.
f. Antibiotik lainnya
Beberapa studi melaporkan keberhasilan pengobatan demam tifoid
dengan aztreonam (monobaktam). Antibiotik ini lebih efektif daripada
kloramfenikol. Azitromisin (makrolid) diberikan dengan dosis 1 x 1
gram per hari selama 5 hari. Aztreonam dan azitromisin dapat
digunakan anak-anak, ibu hamil, dan menyusui.
g.Kombinasi antibiotik
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis, perforasi, dan syok septik di
mana pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur
darah selain bakteri Salmonella typhi. Kepekaan kuman terhadap
antibiotik yaitu:
1)Ampisilin, amoksisilin, sulfametoksazol, dan trimetoprin mempunyai
kepekaan 95,12%.
2)Sisanya seperti kloramfenikol mempunyai kepekaan 100%.

2.9 Komplikasi
2.8.1 Komplikasi Intestinal
1. Perdarahan Usus
Sekitar 25 % penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan
minor yang tidak membutuhkan transfuse darah. Perdarahan hebat juga
dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Perdarahan saluran
cerna dapat terjadi karena akibat erosi pembuluh darah sekitar plak
peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Selain faktor luka
perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (DIC)
atau gabungan kedua faktor tersebut. 9
2. Perforasi Usus
Perforasi usus terjadi pada sekitar 3% pasien yang dirawat. Perforasi
ini dapat terjadi karena roses patologi jaringan limfoid plak peyeri
dapat berkembang hingga ke lapisan otot, hingga ke serosa usus.
Perforasi ini menyebabkan iritasi dan peradangan pada rongga
abdomen yang sering kita kenal dengan istilah peritonitis. Peritonitis
ini sering menjadi fatal. Komplikasi didahului dengan penurunan suhu,
tekanan darah, dan peningkatan frekuensi nadi. Perforasi usus ditandai
oleh nyeri abdomen, kemudian diikuti muntah, defans muskular, bising
usus yang menurun, dan tanda-tanda peritonitis lain.9
2.8.2 Komplikasi Ekstraintestinal
Tabel.1 Komplikasi demam tifoid ekstraintestinal yang disebabkan
oleh Salmonella enteric Serotype Typhi.10
2.10 Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari usia, keadaan umum, status
imunitas, jumlah dan virulensi kuman, serta cepat dan tepatnya pengobatan.
Prognosis buruk jika terdapat gejala klinis yang berat seperti hiperpireksia
atau febris kontinyu, kesadaran menurun, malnutrisi, dehidrasi, asidosis,
peritonitis, bronkopneumonia, dan komplikasi lain. Di negara maju dengan
terapi antibiotik yang adekuat angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang
angka mortalitas > 10%, biasanya disebabkan keterlambatan diagnosis dan
pengobatan. Angka mortalitas pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa
7,4% dengan rata-rata 5,7%.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan bakteri
Salmonella typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya manjadi karier kronis.
Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia.
Karier kronis terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidensi
penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan
populasi umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang
dan dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis.

BAB III
RESUME

Pasien datang ke IGD Puskesmas Wonosalam tgl 27-03-2023 dengan keluhan


demam sejak ± 5 hari yang lalu. Demam naik turun terutama di malam hari
disertai mual(+), muntah(+), lemas(+), pusing(+), nyeri perut(+), batuk(-),
sesak(-), nafsu makan menurun, BAK dbn, BAB dbn. setelah dilakukan beberapa
pemeriksaan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
Laboratorium yang mengarah pada diagnosis yaitu Typhoid Fever.
Pada pasien ini didapatkan keluhan yang mengarah ke demam typhoid yaitu
demam naik turun terutama di malam hari, mual, pusing, nyeri perut, tanda-tanda
vital didapatkan TD 110/70 N 80x/mnt, RR 20x/mnt, Suhu 37,8 oC , pada
pemeriksaan penunjang darah lengkap didapatkan Leukositosis dan widal (+)
1/160.
Pada tanggal 30-03-2022 pasein dinyatakan boleh pulang karena setelah
mendapat perawatan diruangan, dengan hasil akhir lab Leukosit: 8000, widal(+)
1/160 dan dari klinis pasien sudah membaik, tidak ada mual muntah, lemas, nyeri
perut, pusing dan demam

DAFTAR PUSTAKA

1. Harrison, T. R. (2015) . Harrison's Principles of Internal Medicine. Edisi


ke 19. McGraw-Hi11 Companies, Inc. h: 1418–22.
2. Nelwan, R.H.H. (2012). Tata Laksana Terkini Demam Tifoid.
Jakarta:Divisi Penyakit Tropik fdan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit
Dalam: FKUI/RSCM.
3. Purba, I.E. dkk. (2016). Program Pengendalian Demam Tifoid di
Indonesia. Medan: Universitas Sari Mutiara Indonesia. Sumatera Utara.
4. Algerina,A. (2008) .Demam Tifoid dan lnfeksi Lain dari Bakteri
Salmonella.Web.23Januari2018.
5. Rahayu, E. (20fj.13). Sensitivitas uji widal dan tubex untuk diagnosis
demam tifoid berdasarkan kultur darah. Semarang: Universitas
Muhammadiyah Semarang.
6. Lentnek, A.L. 2007. Typhoid Fever: Division of Infection Disease.
7. Chin, J. 2006. Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. Jakarta:
Infomedika.
8. Jawetz, Melnick, & Adelbergh’s. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta:
Salemba Medika.
9. Soedarmo, P., dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi II.
Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI.
10. Chambers, H.F. 2006. Infectious Disease: Bacterial and Chlamydial.
Current Medical Diagnosis and Treatment 45th Ed. 1425-6.
11. Alan, R.T. 2003. Diagnosis dan Tatalaksana Demam Tifoid: Pediatrics
Update. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
12. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Standar
Pelayanan Medik. Jakarta: PB PABDI.
13. Rampengan, T. H. 2007. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak Edisi II.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai