DISUSUN OLEH:
ERNISYA DWI MAHARANI
(2248201159)
DOSEN PENGAMPU:
WAHYU RAMADHAN, S.Si., M.Sc
1. Reaksi in vivo
Merupakan reaksi yang terjadi di dalam organisme hidup yang mengarah pada eliminasi,
penghancuran, dan penghilangan antigen. Reaksi in vivo terdiri dari :
a. Reaksi aglutinasi
Melalui proses ini sel-sel asing seperti bakteri atau sel darah merah yang berbeda
golongan menyatu membentuk gumpalan.
b. Reaksi presipitasi
Proses ini melibatkan antigen terlarut, misalnya toksin tetanus. Antigen asing yang
masuk akan diendapkan oleh antibodi dalam suatu larutan.
2
c. Fiksasi komplemen
Sel-sel bakteri yang masuk akan ditempeli oleh antibodi kemudia terbentuk lubang.
Lubang-lubang tersebut memudahkan enzim lisozim masuk untuk memecahkan sel
bakteri tersebut
d. Netralisasi
Antibodi berikatan dengan bakteri atau antigen virus. Antibodi dapat menetralkan
beberapa virus dengan berikatan dengan antigen permukaannya dan mencegah virus
masuk ke dalam sel.
f. Immobilazation
a. Tahap primer
b. Tahap sekunder
c. Tahap tersier
2. Reaksi in vitro
a. Reaksi aglutinasi
3
sensitif daripada presipitasi. Hal ini dikarenakan molekul dari antigen besar
dan tidak larut sehingga jumlah antibodi yang sangat sedikit dapat membuat
terjadinya reaksi aglutinasi.
b. Reaksi presipitasi
c. Fiksasi komplemen
d. Netralisasi
e. ELISA
f. Radioimmunoassay
g. Immunochromatography (ICT)
Contoh reaksi antigen antibodi in vitro, di pasien, oksigen yang melebihi area
maka nontoksigenik diffteria. Garis kesehatan ini adalah garis tegak lurus yang
terbentuk setelah pembentukan tubuh antigen, dan digit mucul dari garis ini,
antibodi akan datang dan kemudian pada garis tegak lurus mereka akan bertemu
jadi ini adalah contoh positif terhadap gerakan melawan arus listrik. Antigen
antibodi bergerak menuju satu sama lain dan zona ekivalen mereka akan
membentuk garis-garis ini sehingga dapat mendeteksi beberapa antigen antibodi
berdasarkan elektroforesis imuno.
Reaksi Ab dan Ag pada sel darah merah dimulai ketika Ab dan Ag berada pada suatu
medium. Ketika Ab dan Ag pada medium tersebut sesuai, maka Ag mendekat di fragment
antigen binding site (Fab) Ab dan Ab mulai tersensitisasi. Tahapan ini tidak dapat diamati.
Reaksi ini berlangsung cukup cepat dan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang akan dibahas
selanjutnya. Tahap berikutnya adalah, perlekatan Ag dan Ab sehingga membentuk ikatan
yang stabil yang terlihat sebagai aglutinasi. Tahapan ini membutuhkan waktu cukup lama
untuk dapat diamati secara visual jika dibandingkan tahapan pertama. Untuk memperkuat
reaksi Ag dan Ab yaitu aglutinasi, maka dapat dilakukan sentifugasi. Jika Ag dan Ab tidak
sesuai, maka setelah perlakuan, tidak akan terjadi reaksi , seperti aglutinasi (Aldi et al.,
2023).
4
Gambar 2. Tahapan aglutinasi, tahap pertama (kiri) dan tahap kedua (kanan)
g. Reaksi hemaglutinasi
Reaksi hemaglutinasi yaitu reaksi aglutinasi yang terjadi pada sel darah merah. Contoh reaksi
hemaglutinasi adalah reaksi pada sistem golongan darah ABO. Adanya Ab pada
serum/plasma (contoh : anti A) yang direaksikan dengan sel darah merah yang sesuai (yaitu
Ag A) akan membentuk aglutinasi/gumpalan pada sel darah merah, seperti terlihat pada
Gambar 3. Gumpalan tersebut dapat berupa gumpalan besar sampai dengan kecil.
Reaksi ini dapat dilakukan dan diamati di tabung reaksi, mikroplate, mikrowell.
5
titik akhirnya adalah hemolisis sel darah merah.
Reaksi Sekunder
7
sedangkan konsentrasi antibody banyak yang akan membentuk formasi kompleks
akan tetapi endapan antigen antibodi tetap berada di supernatan dan presipitasi
mulai meningkat.
d. Zona equivalence adalah suatu daerah dimana terjadi keseimbangan antara
antigen- antibodi sehingga terjadi aglutinasi.
a. Aglutinasi direk Ag harus berupa partikel atau sel mis pada Widal menggunakan
kuman S.typhi dan S.paratyphi sebagai ag. Ab dalam serum dapat ditentukan
titernya dengan cara pengenceran. Penentuan golongan darah juga menggunakan
teknik ini.
b. Aglutinasi indirek (pasif) Pada teknik ini sering dipakai partikel dari lateks atau
eritrosit yang dipakai sebagai carrier. Eritrosit domba dilapisi ag kemudian
direaksikan dengan ab yang terdapat dalam serum dimana ab ini sebelumnya
diabsorben dulu untuk menghindari reaksi non-spesifik. Contoh :
- Pemeriksaan TPHA, ag berasal dari Treponema pallidum yang dipakai melapisi
eritrosit domba.
- Uji faktor rheumatoid menggunakan lateks.
c. Aglutinasi pasif terbalik (reversed passive hemagglutination assay = RPHA)
Teknik ini digunakan untuk mendeteksi ag yang larut dalam serum atau cairan
tubuh lain. Ab spesifik dilekatkan pada permukaan carrier baik eritrosit atau
partikel lain. Ag yang terdapat dalam serum di absorpsi dalam larutan absorben.
d. Uji hambatan aglutinasi Teknik ini digunakan untuk deteksi ag yang larut,
pengujian ini dinyatakan positif bila tidak terjadi aglutinasi.
9
Gambar 7. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
10
Slide Test
Imunodifusi
Rocket Immunoelectrophoresis
Ukuran roketnya menujukkan seberapa banyak antigen yang ada. Dalam
Rocket immunoelectrophoresis, agar-agar dituang yang dihomogenisasi dengan
antiserum. Kemudian sebuah sumur dibuat di mana antigen ditambahkan. Setelah
elektroforesis, antigen yang bermuatan negatif akan bermigrasi ke arah antibodi yang
bermuatan positif. Migrasi antigen ini pada interaksi dengan antibodi akan
membentuk sebuah kompleks muncul sebagai garis precipitin yang terlihat dalam
bentuk roket. Ketinggian pergerakan roket berbanding lurus dengan jumlah antigen
yang dimuat ke dalam sumur
Reaksi Tersier
Interaksi tingkat tersier adalah munculnya tanda-tanda biologic dari interaksi antigen-
antibodi yang dapat berguna atau merusak bagi penderitanya. Pengaruh menguntungkan
antara lain: aglutinasi bakteri, lisis bakteri, immnunitas mikroba,dan lain-lain. Sedangkan
pengaruh merusak antara lain: edema, reaksi sitolitik berat, dan defisiensi yang menyebabkan
kerentanan terhadap infeksi.
Kebalikan dari reaksi fase sekunder, reaksi fase tersier hanya terjadi secara in vivo
dan itu pun hanya terjadi dalam kondisi abnormal dan bersifat patologis. Reaksi fase tersier
merupakan kelanjutan dari reaksi fase sekunder, jika secara in vivo terjadi pembentukan
kompleks antigen- antibodi maka kompleks ini akan mengundang sejumlah mediator
imunitas, seperti komplemen, enzim proteolitik, termasuk sitokin pro-inflamasi dan sejumlah
sel-sel fagosit.
Reaksi yang terjadi akan menyebabkan kerusakan jaringan yang diakibatkan inflamasi
12
oleh faktor humoral dan seluler imunitas. Kompleks imun dapat mengendap dimana saja bisa
di kulit, di ginjal, bahkan di dalam persendian. Manifestasi dari reaksi ini seperti reaksi
Arthus, serum sickness, dan penyakit terkait kompleks imun.
Pada reaksi Arthus terjadi ketika antigen disuntikan secara intravena bertemu dengan
antibodi yang sudah terdapat di dalam darah. Seketika antibodi dan antigen akan bereaksi
membentuk kompleks imun, jika kompleks ini terus membesar maka akan semakin
meningkatkan aktivasi sistem komplemen. Sebagaimana diketahui komplemen bekerja untuk
menghancurkan antigen namun jika reaksi ini tidak terkendali komponen komplemen C3a
dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang dapat memicu
kebocoran yang berlanjut pad udema (pembengkakan jaringan akibat cairan). Sistem
komplemen juga bersifat kemotaktik terhadap sel-sel fagosit termasuk trombosit.
Reaksi ini akan memicu terjadinya thrombosis atau sumbatan, yang pada akhirnya
akan berujung pada pendarahan dan nekrosis jaringan setempat. Dari mekanisme ini menjadi
alasan kenapa vaksinasi aktif tidak diberikan secara intravena, karena dapat memicu reaksi
Arthus jika antobodi yang bersangkutan telah ada sebelumnya selain karena bukan rute
imunogenik.
Beberapa penyakit juga terkaitan dengan reaksi fase tersier ini, seperti kasus
Rheumatik Jnatung yang ditimbulkan Streptococcus A, komponen bakteri atau bakteri itu
sendiri dapat masuk ke peredaran darah (bakteriemia) secara khusus komponen ini memiliki
afinitas yang baik terhadap sel-sel jantung. Penempenlan komponen asing ini menyebabkan
sel dikenali sebagai sesuatu yang asing bagi sistem imun dan menyebabkan daerah ini
mengalami reaksi antigen-antibodi, terbentuk laj kompleks imun yang selanjutnya memicu
reaksi inflamasi yang merusak jaringan. Contoh lain ialah pada sindrom Goodpasture (yang
ditandai pendarahan di jaringan paru-paru), dan Glomeronefritis (adanya pembentukan
kompleks antigen-antibodi di membran basalis epitel ginjal).
Dalam praktik laboratorium reaksi fase tersier ini dikembangkan menjadi beberapa tes
yang terkait dengan uji hipersensitivitas, seperti tes Mantoux, dan tes reaksi alergi obat
dengan cara menyuntikan obat yang dianggap sebagai antigen secara subkutan.
Kulit diketahui juga sebagai salah satu organ yang terkain sistem imunitas karena
pada kulit terdapat sistem SALT (Skin Association Lympoid Tissue). Dalam kulit terdapat
sel-sel imunokompeten (APC) yang dikenal dengan sel Langerhans, sejumlah seri sel
limfosit, serta ada sel-sel efektor seperti sel mastosit atau sel mast. Sel-sel ini lah terutama sel
mast yang digunakan untuk pengujian reaksi alergi obat yang terkait hipersensitivitas tipe I
atau umum dikenal dengan alergi dengan mediator utama pelepasan histamin.
13
KESIMPULAN
Reaksi antibodi antigen dan reaksi antibodi digit adalah reaksi spesifik non-manusia yang
dapat dibalik antara antigen dan antibody, jika kita melihat antibodi antigen, antibodi lebih kecil
dan selalu larut. Sedangkan antigen dapat larut semua, lebih kecil atau tidak larut. Jika antigen
larut dan bergabung dengan antibodi maka disebut sebagai reaksi presipitasi. Selanjutnya Jika
ketika antigen larut bereaksi dengan antibodi larut reaksi ini disebut sebagai reaksi aglutinasi.
Reaksi antibodi antigen dan reaksi antibodi ini, dapat berupa reaksi in vivo atau in vitro pada
manusia. Reaksi terjadi di dalam organisme hidup dan ini adalah reaksi yang mengarah pada
eliminasi penghancuran dan penghilangan antigen di mana reaksi in vivo dilakukan di
laboratorium dan reaksi ini dapat kita dapat mendeteksi antibodi atau antigen secara in vitro
sekarang dengan mudah. Reaksi antigen-antibodi terbagi 2, yaitu in vivo dan in vitro, kemudian
terbagi lagi menjadi reaksi primer, sekunder dan tersier.
DAFTAR PUSTAKA
Darwin, E., Elvira, D., & Elfi, E. F. (2021). Imunologi dan Infeksi. In andalas University
Press (1st ed., Vol. 5, Issue 3).
14