Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN PRAKTIKUM

BIOKIMIA AKUAKULTUR

UJI KARBOHIDRAT UJI LIPID DAN UJI AKTIVITAS ENZIM


PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

DISUSUN OLEH :

NAMA : Kheista Putri Setyono


NIM : 235080501113029
KELOMPOK :4
ASISTEN : Leevany Natasya Darma

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN


DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN DAN KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Praktikum Biokimia Akuakultur ini disusun sebagai salah satu syarat
lulus mata kuliah Biokimia Akuakultur Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya.

Oleh :

3X4
BG BIRU
KERTAS
DOFF
NO EDIT
Kode #0C0CF6

Kheista Putri Setyono


NIM. 235080501113029

Mengetahui,
Koordinator Asisten Asisten Kelompok

M. Rifky Fauzan Leevany Natasya


Darma
NIM. 215080507111001 NIM.225080501111038
Tanggal : Tanggal :
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang memungkinkan penyusun

menyelesaikan Laporan Praktikum Akuakultur Biokimia ini sesuai dengan batas

waktu yang ditentukan. Laporan ini merupakan bagian dari persyaratan

praktikum dalam Program Studi Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Universitas Brawijaya.

Harapan kami, laporan ini dapat memberikan manfaat dan pemahaman

yang signifikan bagi pembaca yang tertarik dalam bidang akuakultur biokimia.

Kami juga menyadari adanya kekurangan baik dalam susunan kalimat maupun

tata bahasa. Oleh karena itu, kami dengan tangan terbuka menerima setiap

saran dan kritik dari pembaca untuk perbaikan kedepannya.

Semoga laporan ini menjadi sumbangan kecil dalam pengembangan ilmu

dan aplikasinya di masa yang akan datang.

Malang, 19 November 2023

Penyusun
TATA TERTIB

1. Datang 15 menit sebelum praktikum dimulai dan tidak ada toleransi


keterlambatan.
2. Mengerjakan tiket masuk.
3. Memakai pakaian rapi berkerah, sepatu tertutup dan menggunakan kaos
kaki (di atas mata kaki).
4. Memakai jas lab sesuai dengan identitasnya.
5. Dilarang bermain handphone selama praktikum.
6. Dilarang merokok selama kegiatan praktikum berlangsung.
7. Dilarang makan dan minum selama kegiatan praktikum berlangsung tanpa
izin dari asisten.
8. Menjaga ketertiban dan kelancaran selama praktikum berlangsung.
9. Dilarang memindahkan atau menggunakan alat-alat yang ada di
laboratorium selain yang digunakan untuk kegiatan praktikum.
10. Membawa obat dan alat tulis pribadi.
11. Dilarang meninggalkan rangkaian kegiatan praktikum tanpa seizin
koordinator asisten.
12. Praktikan wajib mengikuti pre-test dan post-test.
13. Pelanggaran terhadap tata tertib terdapat konsekuensi yang semestinya.
14. Ketentuan-ketentuan yang belum tercantum akan ditentukan kemudian
melalui kesepakatan bersama.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................iii

TATA TERTIB......................................................................................iv

DAFTAR ISI.........................................................................................v

DAFTAR GAMBAR...............................................................................vii

DAFTAR LAMPIRAN............................................................................viii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................1
1.2 Maksud dan Tujuan.....................................................................3
1.3 Waktu dan Tempat......................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................4


2.1 Biologi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)..........................................4
2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)..........4
2.1.2 Habitat dan Persebaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus)...........6
2.1.3 Makanan dan Cara Makan Ikan Nila (Oreochromis niloticus).......8
2.1.4 Reproduksi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)............................10
2.2 Enzim Pencernaan dan Mekanisme Kerja pada Ikan Nila (Oreochromis
niloticus).........................................................................................11
2.3 Enzim Hormonal dan Mekanisme Kerja pada Ikan Nila (Oreochromis
niloticus).........................................................................................12
2.4 Aktivitas Enzim pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)...................... 14
2.5 Karbohidrat pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)...........................15
2.6 Lipid pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus).....................................16

BAB III METODOLOGI..........................................................................18


3.1 Alat Praktikum............................................................................18
3.2 Bahan Praktikum........................................................................20
3.3.1 Langkah Kerja Preparasi Akuarium Dan Pemeliharaan...............21
3.3.2 Langkah Kerja Perlakuan Ekstrak Kasar Enzim.........................21
3.3.3 Langkah Kerja Pengujian Enzim Protease................................22
3.3.4 Langkah Kerja Sentrifugasi......................................23
3.3.5 Langkah Kerja Inkubasi........................................................23
3.3.6 Langkah Kerja Perhitungan Aktivitas Proteolitik Enzim...............24
3.3.7 Langkah Kerja Uji Karbohidrat............................................... 25
3.3.8 Langkah Kerja Uji Lipid.........................................................25

BAB IV ANALISIS HASIL......................................................................26


4.1 Aktivitas Enzim pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)...................... 26
4.2 Perbandingan Aktivitas Enzim pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus). .27
4.3 Uji Karbohidrat pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus).......................28
4.4 Uji Lipid pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)................................29

BAB V PENUTUP.................................................................................30
5.1 Kesimpulan................................................................................30
5.2 Faktor Koreksi............................................................................31
5.3 Saran........................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................33

LAMPIRAN..........................................................................................36
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Biokimia, menurut Pandit (2012), merupakan cabang ilmu biologi yang

secara mendalam mengkaji berbagai molekul yang membentuk struktur dan

fungsi sel atau organisme hidup, sambil menganalisis reaksi kimianya. Istilah

"biokimia" sendiri merujuk pada gabungan kata "BIOS," yang mengartikan hidup

atau hayati, dan "CHEMIOS," yang menunjukkan kaitannya dengan kimia,

terutama kimia organik. Lingkup yang lebih luas, biokimia mencakup pemahaman

mendalam tentang struktur dan fungsi molekul biologis seperti protein, lipid,

asam nukleat, dan karbohidrat. Analisis tingkat molekuler, biokimia

memperlihatkan bagaimana interaksi kompleks antara berbagai molekul ini

mendukung proses-proses biologis esensial seperti metabolisme, sintesis

protein, dan regulasi genetik. Pentingnya penelitian biokimia juga tercermin

dalam kontribusinya terhadap bidang kesehatan dan bioteknologi.

Perkembangan teknologi dalam biokimia telah memungkinkan pemahaman yang

lebih baik tentang dasar molekuler penyakit, memungkinkan pengembangan

obat-obatan yang lebih efektif. Penemuan-penemuan dalam bidang biokimia juga

telah membuka pintu untuk rekayasa genetika, memungkinkan manipulasi

genetik organisme hidup untuk menghasilkan hasil yang diinginkan. Biokimia

tidak hanya memberikan wawasan mendalam tentang kehidupan di tingkat

molekuler, tetapi juga memberikan dasar untuk aplikasi praktis dalam upaya

meningkatkan kesehatan manusia dan memajukan teknologi bioteknologi.

Menurut Azhar (2016), karbohidrat merupakan unsur penting bagi semua

makhluk hidup. Kelompok molekul biologi yang paling melimpah di bumi. Semua

makhluk mampu membuat karbohidrat, sebagian besar dihasilkan oleh


organisme fotosintetik seperti bakteri tertentu, alga, dan tumbuhan. Organisme ini

mengubah energi cahaya matahari menjadi energi kimia, yang selanjutnya

digunakan untuk membuat karbohidrat dari karbon dioksida (CO2). Karbohidrat

memegang peran krusial dalam kehidupan organisme, berperan sebagai molekul

penyimpan energi pada binatang dan tumbuhan. Binatang serta manusia dapat

mencerna karbohidrat, menghasilkan energi selama proses katabolisme. Enzim

berperan sebagai katalis dalam proses biologis dan memfasilitasi sebagian besar

reaksi yang terjadi dalam makhluk hidup. Besar enzim yang telah dipelajari

ternyata berbentuk protein. Tanpa keberadaan enzim, reaksi-reaksi tersebut

dapat memakan waktu berhari-hari atau berminggu-minggu atau memerlukan

suhu yang tinggi. Contoh, enzim pencernaan seperti pepsin, trypsin, dan

chymotrysin berfungsi untuk mengurai protein dalam diet kita, sehingga asam

amino dapat diserap dan digunakan oleh sel-sel kita.

Menurut penelitian Siregar dan Makmur (2020), lipid memegang peranan

yang sangat penting dalam konteks nutrisi manusia. Memberikan kontribusi

signifikan terhadap nilai energi yang tinggi, lipid juga menjadi kendaraan bagi

vitamin-vitamin larut lemak yang diperlukan oleh tubuh. Keberadaan lemak dalam

tubuh tidak hanya berfungsi sebagai sumber energi yang efisien, tetapi juga

bersifat potensial ketika disimpan dalam jaringan adiposa, siap untuk digunakan

saat tubuh membutuhkan tambahan energi. Peran lipid tidak terbatas pada

fungsi nutrisi semata; lemak juga berperan sebagai isolator panas di jaringan

subkutan dan sekitar organ tertentu, memberikan dukungan penting dalam

pemeliharaan suhu tubuh. Lipid berkontribusi sebagai isolator listrik yang

mendukung transmisi cepat gelombang depolarisasi sepanjang syaraf bermielin,

memastikan fungsi yang efisien dalam sistem saraf. Pemahaman mendalam

tentang peran lipid tidak hanya membantu memahami nutrisi manusia, tetapi juga

2
memperlihatkan kompleksitas dan keberagaman fungsi lemak dalam menjaga

keseimbangan fisiologis tubuh manusia.

Biokimia sebagai disiplin ilmu memfokuskan penelitian pada molekul dan

reaksi kimia dalam konteks sel dan organisme hidup. Dalam tinjauan ini, unsur-

unsur kunci seperti karbohidrat, enzim, dan lipid menjadi pusat perhatian.

Karbohidrat, sebagai kelompok molekul biologi yang melimpah, dihasilkan oleh

organisme fotosintetik dan berperan sebagai sumber energi utama dalam proses

metabolisme. Sementara itu, enzim, yang sebagian besar berbentuk protein,

berfungsi sebagai katalis biologis yang memfasilitasi dan mengatur reaksi kimia

dalam sel, memastikan kelangsungan berbagai proses biologis. Lipid, selain

menyediakan nilai energi tinggi, memiliki peran ganda sebagai sumber energi

yang efisien dan sebagai isolator panas serta isolator listrik di dalam tubuh,

menunjukkan keragaman fungsi yang sangat penting dalam pemeliharaan

keseimbangan fisiologis. Dengan demikian, melalui pemahaman lebih lanjut

tentang karbohidrat, enzim, dan lipid, biokimia memperlihatkan kompleksitas dan

keterkaitan yang esensial dalam mendukung kehidupan organisme.

1.2 Maksud dan Tujuan

Praktikum Biokimia Akuakultur bertujuan untuk memahami kandungan

karbohidrat, lipid, dan enzim yang ada dalam ikan nila.

Tujuan praktikum ini adalah menerapkan konsep-konsep biokimia,

khususnya dalam hal karbohidrat, lipid, dan enzim, pada konteks akuakultur

dengan fokus pada ikan nila.

1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Biokimia Akuakultur dilaksanakan pada tanggal 19 November

2023 di Laboratorium Budidaya Ikan Divisi Penyakit Ikan Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya.

3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)


2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Menurut Saragih dan Sinaga (2018), ikan nila, yang memiliki nama latin

Oreochromis niloticus, merupakan salah satu spesies ikan yang memegang

peranan penting dalam konsumsi manusia. Morfologi tubuhnya yang memanjang

dan pipih ke samping memberikan gambaran visual yang khas, dengan warna

tubuh yang sering kali berupa putih kehitaman atau merah. Asal-usul ikan ini

dapat ditelusuri kembali ke Sungai Nil dan danau-danau sekitarnya, namun

seiring waktu, ikan nila telah menyebar ke berbagai negara di lima benua,

khususnya di wilayah-wilayah yang memiliki iklim tropis dan subtropis. Ikan nila

menunjukkan adaptasi yang baik terhadap lingkungan beriklim tropis. Saragih

dan Sinaga (2019) mengemukakan bahwa ikan ini mengalami kesulitan bertahan

di daerah beriklim dingin. Klasifikasi yang diberikan oleh para peneliti tersebut

memberikan pemahaman lebih lanjut tentang keberagaman dan adaptasi

spesies ikan nila di berbagai wilayah, sekaligus menyoroti peran signifikan ikan

ini dalam mendukung ketahanan pangan global melalui konsumsi manusia.

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Osteichtyes

Subkelas : Acanthopterygii

Ordo : Percomorphi

Subordo : Percoidea

Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Saragih dan Sinaga pada tahun

2019, ikan Nila (Oreochromis niloticus) menampilkan sejumlah ciri morfologi yang

khas. Tubuhnya yang pipih, dilengkapi dengan sisik yang besar dan kasar,

memberikan karakteristik visual yang mencolok. Kepala ikan ini relatif kecil,

dengan mata yang besar dan menonjol, serta tepi mata yang berwarna putih,

menambahkan elemen estetika pada penampilannya. Ciri lain yang diidentifikasi

adalah adanya garis linealis lateralis yang terputus dan terbagi dua, memberikan

tanda khas pada struktur tubuh ikan nila. Anatomi, ikan ini memiliki lima jenis sirip

yang meliputi sirip punggung, dada, perut, anus, dan ekor. Ikan nila dikenal

dengan toleransinya yang tinggi terhadap berbagai kondisi lingkungan, termasuk

salinitas, suhu, pH, dan kadar oksigen. Kemampuan adaptasinya yang luas ini

menjadikan ikan nila sebagai salah satu pilihan unggul dalam budidaya

perikanan, serta memberikan kontribusi positif terhadap keberlanjutan produksi

ikan di berbagai lingkungan perairan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mujalifah et al. (2018), membahas

perbedaan morfologi ikan Nila (Oreochromis niloticus) yang berkaitan dengan

lingkungan air tawar dan air payau, dengan fokus pada perbedaan kadar garam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan nila yang hidup di air tawar memiliki

morfologi yang lebih cerah dibandingkan dengan mereka yang berada di air

payau. Perbedaan ini dipengaruhi oleh tingginya salinitas, di habitat air payau,

yang memberikan dampak pada karakteristik visual ikan. Penelitian ini juga

mengungkap bahwa pertumbuhan panjang dan berat ikan nila cenderung lebih

cepat di air tawar daripada di air payau. Temuan ini memberikan pemahaman

lebih lanjut tentang adaptasi morfologi ikan nila. Penelitian ini juga memberi tahu

5
dampak terhadap lingkungan air yang berbeda, serta memberikan wawasan

tentang pengaruh tingkat salinitas terhadap pertumbuhan dan perkembangan

ikan ini. Implikasinya dapat memberikan arahan praktis dalam manajemen

budidaya ikan nila di berbagai tipe perairan.

Sumber: Mujalifah, et al. (2018)

Gambar 1. Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Menurut literatur yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa

Oreochromis niloticus, atau ikan nila dari genus Oreochromis, menampilkan

morfologi yang mencakup tubuh pipih, sisik besar, kepala kecil, dan mata

menonjol. Keistimewaan ikan ini terletak pada toleransinya yang tinggi terhadap

variasi kondisi lingkungan, seperti salinitas, suhu, pH, dan kadar oksigen.

Perbedaan morfologi antara ikan nila yang hidup di air tawar dan air payau dapat

diatributkan pada tingkat salinitas, dengan ikan yang berada di air tawar

cenderung menampilkan penampilan yang lebih cerah. Ikan ini berasal dari

Sungai Nil dan danau-danau sekitarnya, dan seiring waktu, telah menyebar ke

berbagai wilayah di lima benua dengan iklim tropis dan subtropis. Ikan nila

memiliki keterbatasan untuk bertahan di daerah beriklim dingin. Adaptasinya

yang baik, ikan nila juga dikenal karena memiliki nilai konsumsi yang tinggi,

6
menjadikannya spesies yang penting dalam konteks budidaya perikanan dan

pemenuhan kebutuhan pangan.

2.1.2 Habitat dan Persebaran Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mujalifah et al. (2018), habitat

ikan nila (Oreochromis niloticus) sangatlah beragam, melibatkan berbagai

ekosistem perairan tawar seperti sungai, danau, waduk, dan rawa-rawa.

Umumnya ditemukan di perairan tawar, ikan ini menonjol dengan

kemampuannya untuk hidup dan berkembang di lingkungan payau dan laut.

Penelitian ini menyoroti bahwa ikan nila memiliki toleransi yang cukup tinggi

terhadap salinitas, yang memungkinkannya untuk beradaptasi dan menghuni

perairan dengan berbagai tingkat salinitas. Rentang salinitas optimal untuk

pertumbuhan ikan nila berada antara 0 hingga 30 ppt, sementara batas

toleransinya dapat mencapai 35 ppt. Kemampuan beradaptasi terhadap variasi

salinitas ini, ikan nila mampu berkembang biak secara sukses di ekosistem

perairan yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan keunggulan adaptasi yang

menjadi faktor penting dalam penyebaran dan keberhasilan spesies ini di

berbagai habitat perairan.

Menurut penelitian Hamid, et al. (2022), penyebaran ikan nila, atau

Oreochromis niloticus, telah mengalami pertumbuhan yang signifikan di

Malaysia, terutama di Waduk Temengor, Perak. Praktik akuakultur air tawar,

khususnya dalam konteks budidaya ikan nila, telah berkembang menjadi industri

komersial dengan dukungan dari pemerintah, termasuk melalui proyek-proyek

seperti Zona Industri Akuakultur (AIZ). Pemilihan Waduk Temengor sebagai

lokasi budidaya didasarkan pada kualitas air yang sesuai. Ikan nila

dibudidayakan di kandang, adanya potensi risiko pelarian ikan nila ke lingkungan

7
alam dapat diamati dari keberadaannya di perairan alami danau. Persebaran

ikan nila juga mencakup berbagai benua di dunia, termasuk Asia dan Afrika.

Mengingat adaptasinya yang baik terhadap variasi lingkungan, ikan nila telah

menjadi spesies invasif di beberapa wilayah. Penyebaran ikan nila dimulai

beberapa dekade yang lalu melalui kegiatan budidaya dan pemeliharaan

semakin meluas, mendukung kebutuhan pangan dan industri perikanan di

berbagai daerah.

Sumber: Hamid, et al. (2022)

Gambar 2. Peta persebaran ikan nila

Peningkatan penyebaran ikan nila (Oreochromis niloticus) di Indonesia,

khususnya melalui perkembangan budidaya yang semakin meluas dalam

beberapa dekade terakhir. Hal ini tidak hanya mencerminkan kontribusi besar

terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, tetapi juga berdampak

pada pertumbuhan industri perikanan di berbagai daerah. Praktek budidaya ikan

nila, yang mendapatkan dukungan pemerintah, telah memberikan solusi efektif


8
dalam meningkatkan produksi perikanan dan menciptakan lapangan kerja di

sektor ini. Ikan nila seiring dengan keberhasilannya, terdapat risiko pelarian ke

lingkungan alamiah yang dapat mengakibatkan dampak ekologis yang signifikan.

Tingkat global, ikan nila juga telah menjadi spesies invasif di beberapa wilayah

seperti Asia dan Afrika, menyoroti pentingnya pengelolaan yang berkelanjutan

dan pencegahan penyebaran yang tidak terkendali. Perkembangan budidaya

ikan nila perlu dikelola dengan hati-hati untuk memastikan bahwa manfaat

ekonomi yang dihasilkan sejalan dengan upaya pelestarian sumber daya alam

dan keberlanjutan lingkungan.

2.1.3 Makanan dan Cara Makan Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Menurut hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Arfiati et al.

(2019), memberikan wawasan mendalam mengenai preferensi makanan

ikan nila (Oreochromis niloticus), yang terbukti sebagai jenis ikan

omnivora. Analisis isi lambung menunjukkan bahwa ikan nila cenderung

memiliki preferensi terhadap fitoplankton, dengan mayoritas konsumsi

utamanya berasal dari kelompok plankton. Konteks ini, data analisis

mengidentifikasi keberadaan 30 genus fitoplankton, seperti Anabaena,

Chlorella, Oscillatoria, dan Spirogyra, serta 2 genus zooplankton yaitu

Arcella dan Keratella. Penelitian ini juga menemukan keberadaan 1 filum

Anellida di dalam lambung ikan nila. Temuan ini memberikan pemahaman

yang lebih kaya tentang aspek diet ikan nila dan interaksi ekologisnya

dengan komunitas plankton di lingkungan perairan yang mereka huni.

Implikasinya dapat meluaskan pengetahuan kita tentang peran ikan nila

9
dalam siklus trofik dan menjelaskan lebih lanjut bagaimana spesies ini

berkontribusi terhadap dinamika ekosistem air tawar.

Menurut hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Kurnia et al.

(2017), ikan nila (Oreochromis niloticus) dapat dikategorikan sebagai ikan

herbivora dengan kecenderungan menjadi omnivora. Studi ini

mengungkap bahwa secara alami, ikan nila cenderung mengonsumsi

tumbuhan air, lumut, dan fitoplankton sebagai pakan utama mereka.

Penelitian yang dilakukan di perairan Waduk Wadaslintang menunjukkan

bahwa kebiasaan makan ikan nila dapat diidentifikasi sebagai herbivora,

dengan fitoplankton sebagai komponen utama dalam dietnya, yang diukur

menggunakan nilai Index of Preponderance. Menariknya, meskipun ikan

nila yang berada di Kawasan Konservasi Perairan (KJA) terlihat

mengonsumsi pakan buatan berupa pellet tanpa spesifikasi tertentu,

penelitian ini menegaskan bahwa ikan nila masih aktif memanfaatkan

sumber pakan alami seperti fitoplankton. Faktor lingkungan di tempat

tinggalnya, terutama dalam konteks KJA, diakui sebagai pengaruh

signifikan yang dapat memengaruhi variasi dalam ketersediaan sumber

makanan bagi ikan nila. Hal ini menggambarkan pentingnya pemahaman

ekologi ikan nila dalam lingkungan alaminya untuk mendukung

keberlanjutan populasi dan keberhasilan program konservasi perairan.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pola makan ikan nila,

dapat diambil kesimpulan bahwa ikan ini termasuk dalam kategori

omnivora yang lebih memfavoritkan fitoplankton sebagai sumber pangan

utamanya. Data analisis isi lambung menunjukkan bahwa mayoritas

konsumsi ikan nila terdiri dari plankton. Hal ini di dapat dari hasil

identifikasi 30 genus fitoplankton, 2 genus zooplankton, dan 1 filum


10
Anellida. Temuan ini sejalan dengan penelitian lain yang mengonfirmasi

kecenderungan omnivora pada ikan nila, terutama dalam mengonsumsi

fitoplankton, tumbuhan air, dan lumut sebagai pakan alaminya. Terdeteksi

adanya penggunaan pakan buatan, seperti pellet, di dalam Kawasan

Konservasi Perairan (KJA), ikan nila tetap mengandalkan sumber pakan

alami, terutama fitoplankton. Variasi dalam sumber makanan ini mungkin

dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di habitat ikan nila, menunjukkan

tingkat adaptabilitas yang baik terhadap perubahan kondisi habitatnya.

2.1.4 Reproduksi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Menurut hasil penelitian Gunadi et al. (2015), ikan nila dengan nama latin

(Oreochromis niloticus) dapat diidentifikasi sebagai spesies ikan yang memiliki

karakteristik khusus, seperti kemampuan berkembang biak yang mudah,

pertumbuhan yang cepat, dan relatif tinggi dalam ketahanan terhadap penyakit.

Proses reproduksi ikan nila ternyata dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik dan

lingkungan. Faktor genetik mencakup aspek-aspek seperti jenis, ukuran, dan

usia ikan, dengan upaya untuk mengurangi variasi melalui perlakuan seragam

pada ikan yang memiliki usia dan ukuran yang relatif serupa. Sementara itu,

faktor lingkungan, termasuk kualitas pakan yang kaya protein dan keberadaan

vitamin E, memegang peran kunci dalam meningkatkan kinerja reproduksi ikan

nila. Vitamin E, sebagaimana diungkapkan dalam penelitian, memiliki potensi

untuk meningkatkan ketahanan sperma, memberikan wawasan tambahan

tentang pentingnya unsur nutrisi dalam mendukung proses reproduksi. Lebih

lanjut, kepadatan ikan, terutama dalam konteks kolam pemijahan, juga memiliki

dampak signifikan terhadap keberhasilan pemijahan alami. Peningkatan

kepadatan dapat mengurangi tingkat fekunditas dan keberhasilan pemijahan

11
karena adanya persaingan dalam penggunaan ruang dan pakan, menekankan

perlunya pengelolaan yang cermat dalam lingkungan budidaya ikan nila untuk

mencapai hasil reproduksi yang optimal.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono et al. (2016), proses

reproduksi ikan nila (Oreochromis niloticus) sangat dipengaruhi oleh sejumlah

faktor, dan di antaranya adalah kualitas induk dan kondisi lingkungan.

Keberhasilan penetasan telur terbukti rentan terhadap variasi tingkat kesuburan

antar induk, menunjukkan bahwa karakteristik genetik dan kesehatan individu

betina memainkan peran penting dalam proses reproduksi ini. Faktor-faktor lain

yang memengaruhi keberhasilan penetasan termasuk kondisi fisik dari induk

betina, yang memiliki dampak signifikan terhadap jumlah telur yang dapat

menetas. Kualitas telur yang dihasilkan oleh induk betina secara langsung terkait

dengan kondisi fisiknya. Penelitian ini juga menyoroti bahwa perbedaan antar

strain ikan nila dapat memengaruhi waktu dan tingkat keberhasilan penetasan

telur. Hal ini menandakan bahwa performa reproduksi ikan nila tidak hanya

dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, tetapi juga oleh faktor-faktor genetik

yang berkaitan dengan keturunan dan strain tertentu. Pemahaman mendalam

terhadap interaksi kompleks antara faktor-faktor ini memiliki implikasi penting

dalam pengelolaan pembiakan ikan nila untuk mendukung keberhasilan

budidaya dan konservasi populasi.

Ikan nila, yang dikenal dengan sifat mudah berkembang biak,

pertumbuhan cepat, dan relatif tahan terhadap penyakit, mengalami proses

reproduksi yang dipengaruhi oleh sejumlah faktor kunci. Faktor genetik dan

lingkungan berperan penting dalam menentukan keberhasilan reproduksi, di

mana kualitas induk dan kondisi lingkungan menjadi poin fokus. Pentingnya

meminimalkan variasi genetik pada ikan nila menjadi sorotan utama,

12
menekankan perlunya perlakuan seragam pada individu ikan dengan

karakteristik genetik yang serupa. Kualitas pakan dan kontribusi vitamin E juga

terbukti signifikan dalam meningkatkan performa reproduksi ikan nila,

memberikan informasi berharga tentang aspek nutrisi yang perlu diperhatikan

dalam manajemen budidaya. Konteks kolam pemijahan, kepadatan ikan

memainkan peran krusial, di mana peningkatan kepadatan dapat berpotensi

mengurangi tingkat fekunditas dan keberhasilan pemijahan karena adanya

persaingan ruang dan pakan. Kesimpulan dari penelitian ini menegaskan

perlunya pendekatan holistik yang mempertimbangkan faktor-faktor genetik dan

lingkungan dalam manajemen reproduksi ikan nila, demi mendukung

keberlanjutan budidaya yang efektif dan memastikan kesehatan populasi yang

berkelanjutan.

2.2 Enzim Pencernaan dan Mekanisme Kerja pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Menurut hasil dari penelitian Santos et al. (2016), pertumbuhan ikan nila

(Oreochromis niloticus) ternyata sangat tergantung pada efisiensi pencernaan,

yang secara langsung dipengaruhi oleh aktivitas enzim pencernaan kunci seperti

amilase, lipase, dan protease. Enzim-enzim ini memainkan peran krusial dalam

pemecahan karbohidrat, lemak, dan protein dalam pakan menjadi senyawa yang

dapat diserap oleh tubuh ikan. Pentingnya aktivitas enzim pencernaan ini

diperkuat oleh temuan bahwa kondisi lingkungan, usia ikan, dan kebiasaan

makannya dapat memengaruhi efisiensi pencernaan ikan nila. Keberagaman

enzim pencernaan, termasuk trypsin, chymotrypsin, aminopeptidase, amilase,

dan lipase, menjadi faktor kunci dalam proses pencernaan yang memastikan ikan

nila dapat mencerna berbagai sumber makanan. Pemahaman mendalam tentang

13
peran dan regulasi enzim-enzim ini dalam sistem pencernaan ikan nila

memberikan pandangan yang berharga dalam pengembangan formulasi pakan

yang optimal. Hal ini mendukung pertumbuhan yang sehat dan efektif dalam

konteks budidaya perikanan.

Berdasarkan penelitian Nurfitasari et al. (2020), kemampuan pencernaan

ikan nila (Oreochromis niloticus) dipengaruhi oleh sejumlah faktor kompleks,

termasuk keberadaan organ pencernaan yang lengkap, ketersediaan enzim

pencernaan, dan berbagai variabel lingkungan. Faktor-faktor seperti umur, suhu

air, ukuran ikan, jenis pakan, sifat kimia air, frekuensi pemberian pakan, sifat

fisika dan kimia pakan, kandungan gizi pakan, serta jenis dan jumlah enzim di

saluran pencernaan turut berperan dalam menentukan daya cerna ikan nila.

Penelitian ini menyoroti peran signifikan lambung dalam proses pencernaan, di

mana ikan yang memiliki lambung dapat menguraikan makanan menggunakan

enzim HCl dalam lambungnya. Proses ini memfasilitasi penyerapan nutrisi oleh

usus dan distribusi sebagai sumber energi melalui peredaran darah. Ikan nila

yang tidak memiliki lambung mengandalkan intestinal bulb atau usus depan yang

membesar sebagai tempat awal penguraian makanan. Pemahaman mendalam

tentang variabilitas ini memberikan landasan bagi pengembangan praktik

budidaya perikanan yang berkelanjutan, dengan mempertimbangkan aspek-

aspek yang memengaruhi efisiensi pencernaan dan pemanfaatan nutrisi ikan nila

dalam berbagai kondisi lingkungan.

Dari rangkuman referensi tersebut, dapat diidentifikasi bahwa

pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloticus) memiliki keterkaitan yang erat

dengan efisiensi pencernaan, yang ditopang oleh aktivitas enzim seperti amilase,

lipase, dan protease. Faktor-faktor seperti kondisi lingkungan, usia ikan, dan pola

14
makan turut berperan dalam membentuk tingkat aktivitas enzim pencernaan

tersebut. Keberagaman enzim pencernaan, terutama trypsin, chymotrypsin,

aminopeptidase, amilase, dan lipase, menunjukkan betapa pentingnya variasi ini

dalam menjamin kemampuan ikan nila untuk mencerna berbagai sumber

makanan. Peran lambung menjadi signifikan dalam proses pencernaan, di mana

ikan yang dilengkapi dengan lambung menggunakan enzim HCl untuk mengurai

makanan, sementara ikan yang tidak memiliki lambung mengandalkan bulbus

usus atau usus depan sebagai tahap awal dalam proses pencernaan.

Pemahaman mendalam terhadap mekanisme ini memberikan dasar yang kuat

untuk pengembangan strategi pemberian pakan dan manajemen lingkungan

yang tepat dalam budidaya ikan nila. Hal ini bertujuan meningkatkan efisiensi

pencernaan dan, akhirnya, pertumbuhan yang optimal.

2.3 Enzim Hormonal dan Mekanisme Kerja pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Menurut penelitian Vinarukwong et al. (2018), dalam usaha budidaya ikan

nila (Oreochromis niloticus), praktik pemeliharaan monoseksual, khususnya pada

ikan jantan, dianggap sebagai langkah penting untuk meningkatkan

pertumbuhan, keseragaman ukuran, dan kualitas daging. Metode yang umum

digunakan dalam mencapai tujuan ini adalah pemberian hormon androgenik

sintetis, seperti metiltestosteron (MT) dan metildihidrotestosteron (MDHT).

Tujuan dari metode ini menghindari terjadinya reproduksi yang tidak diinginkan

dalam populasi ikan. Proses pemberian hormon ini dilakukan pada tahap awal

perkembangan benih ikan, baik melalui pemberian makan atau perendaman.

Metode ini dianggap efektif, praktis, dan ekonomis dalam konteks budidaya ikan

nila, karena dapat memberikan kontrol yang baik terhadap jenis kelamin ikan

yang akan dibudidayakan. Praktik pemeliharaan monoseksual dengan

15
menggunakan hormon androgenik memungkinkan para peternak ikan untuk

mencapai hasil yang lebih konsisten dan diharapkan dapat memberikan

kontribusi positif terhadap efisiensi produksi serta keuntungan ekonomis dalam

industri budidaya ikan nila.

Menurut penelitian Vinarukwong et al. (2018), ikan nila atau dengan nama

latin Oreochromis niloticus terbukti memiliki enzim aromatase yang dihasilkan

oleh gen aromatase. Enzim ini memegang peran krusial dalam diferensiasi jenis

kelamin dengan mengubah androgen menjadi estradiol, yang mendukung

perkembangan ovarium. Proses ini dipandang sebagai langkah kunci dalam

membentuk karakteristik jenis kelamin betina. Pemberian androgen eksogen,

seperti metiltestosteron (MT) dan metildihidrotestosteron (MDHT), ternyata

memiliki kemampuan untuk memengaruhi ekspresi gen Doublesex and mab-3

related transcription factor 1 (DMRT1), yang memiliki peran penting dalam

diferensiasi testis. Dampak dari pemberian androgen ini dapat menghambat

diferensiasi ovarium dan menyebabkan munculnya jenis kelamin jantan pada

ikan nila. Secara menarik, pemberian androgen eksogen juga memiliki potensi

untuk menginduksi pembalikan jenis kelamin pada ikan betina genotipik melalui

reseptor androgen, terutama pada periode sensitif perkembangan gonad yang

terjadi sekitar 5-6 hari setelah penetasan. Temuan ini memberikan wawasan

penting dalam pengelolaan reproduksi ikan nila, terutama dalam konteks

pemeliharaan monoseksual, yang sering kali menjadi prioritas dalam industri

budidaya untuk meningkatkan efisiensi produksi dan kualitas daging.

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan

hormon androgenik sintetik seperti metiltestosteron (MT) dan

metildihidrotestosteron (MDHT). Budidaya ikan nila memiliki potensi yang

16
signifikan untuk meningkatkan pertumbuhan, mencapai seragamitas ukuran, dan

meningkatkan kualitas daging ikan nila. Praktik ini dianggap efektif, praktis, dan

ekonomis dalam mencapai tujuan pemeliharaan monoseksual, terutama pada

ikan jantan. Penelitian ini juga memberikan sorotan terhadap peran enzim

aromatase yang dihasilkan oleh gen aromatase dalam proses diferensiasi

seksual ikan nila. Pemberian androgen eksogen, seperti yang dilakukan melalui

metode tersebut, ternyata dapat memengaruhi ekspresi gen DMRT1 yang terlibat

dalam diferensiasi testis. Menciptakan efek terhentinya diferensiasi ovarium dan

munculnya jenis kelamin jantan pada ikan nila, memberikan pemahaman lebih

dalam tentang mekanisme kontrol jenis kelamin pada ikan dan potensinya dalam

pengelolaan budidaya ikan nila secara efisien.

2.4 Aktivitas Enzim pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Menurut penelitian Arfiati et al. (2019), aktivitas enzim dalam lambung

ikan nila (Oreochromis niloticus) melibatkan tiga jenis enzim utama, yaitu

protease, amilase, dan lipase. Masing-masing enzim memiliki peran spesifik

dalam proses pencernaan makanan. Protease fokus pada pencernaan protein,

amilase bertanggung jawab untuk memecah karbohidrat, dan lipase berkontribusi

dalam pencernaan lemak. Ketiga enzim ini bekerja secara sinergis untuk

memfasilitasi proses pencernaan makanan di dalam lambung ikan nila. Ikan nila

sebagai ikan omnivora, ikan nila menunjukkan aktivitas enzim yang beragam

untuk mencerna berbagai sumber makanan, dengan kecenderungan khusus

terhadap fitoplankton seperti Spirogyra sp, fitoplankton ini mengandung protein,

karbohidrat, dan lemak. Tingkat aktivitas amilase dan lipase yang tinggi dapat

dipengaruhi oleh jenis makanan yang dikonsumsi oleh ikan nila, khususnya

fitoplankton. Temuan ini menyoroti adaptasi enzimatis ikan nila terhadap diet
17
omnivora mereka, dengan menekankan peran penting protease, amilase, dan

lipase dalam mengoptimalkan pencernaan dan pemanfaatan nutrisi dari berbagai

sumber makanan.

Menurut penelitian Santos et al. (2016), aktivitas enzim pencernaan pada


ikan nila (Oreochromis niloticus) dapat sangat dipengaruhi oleh pengelolaan
pakan yang mendorong adaptasi fisiologis untuk mempertahankan atau
mencapai tingkat status gizi yang sesuai. Enzim pencernaan yang terdapat di
usus ikan nila memainkan peran penting dalam mencerna berbagai sumber
makanan yang beragam. Ikan nila sebagai ikan portunistik dan omnivora, ikan
nila memiliki enzim arsenel yang cukup beragam untuk mencerna berbagai jenis
makanan, termasuk alga bentik, fitoplankton, makrofit, zooplankton, invertebrata
kecil, detritus, dan cyanobacteria. Berbagai enzim, seperti trypsin, chymotrypsin,
aminopeptidase, amilase usus, dan lipase, menjadi kunci dalam mencerna dan
memanfaatkan nutrisi dari berbagai sumber makanan ini. Ketersediaan pakan
alami pada sistem kolam, terutama pada fase awal pemeliharaan, dapat
memengaruhi aktivitas enzim tersebut, menciptakan lingkungan yang
mendukung efisiensi pencernaan dan pertumbuhan optimal ikan nila.
Pemahaman yang mendalam tentang interaksi kompleks antara aktivitas enzim
pencernaan dan manajemen pakan alami menjadi kunci dalam meningkatkan
produktivitas dan kesehatan ikan nila dalam sistem budidaya.

Berdasarkan informasi yang telah disajikan, dapat diambil kesimpulan


bahwa aktivitas enzim pencernaan, khususnya protease, amilase, dan lipase,
memiliki peran utama dalam proses pencernaan makanan pada ikan nila
(Oreochromis niloticus). Kebiasaan ikan nila yang menyukai fitoplankton, seperti
Spirogyra sp., berkontribusi besar terhadap tingkat aktivitas amilase dan lipase
yang tinggi, menunjukkan adaptasi enzimatis terhadap diet omnivora mereka.
Pengelolaan pakan yang efektif juga terbukti dapat mendorong adaptasi fisiologis
pada ikan nila, membantu mempertahankan atau mencapai tingkat status gizi
yang optimal. Ketersediaan pakan alami, terutama pada fase awal pemeliharaan,
memiliki dampak signifikan terhadap aktivitas enzim dan status gizi ikan nila.
Secara keseluruhan, pemahaman tentang aktivitas enzim pencernaan dan
manajemen pakan menjadi kunci penting untuk mencapai kondisi optimal dalam
hal pertumbuhan dan kesehatan ikan nila dalam konteks budidaya perikanan.
Hal ini memberikan landasan bagi praktik budidaya yang berkelanjutan dan
berorientasi pada kesejahteraan ikan, sekaligus mendukung produktivitas yang
optimal dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan dan industri perikanan.

2.5 Karbohidat pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Menurut penelitian Putra (2015), metabolisme karbohidrat pada

ikan nila (Oreochromis niloticus) melibatkan serangkaian proses,

terutama penguraian glikogen menjadi glukosa melalui mekanisme

katabolisme. Glukosa yang dihasilkan kemudian digunakan untuk


18
memenuhi kebutuhan energi tubuh melalui proses respirasi. Glukosa juga

berperan dalam proses anabolisme, yang mencakup pembentukan

senyawa-senyawa penting seperti protein, asam nukleat, lipida, dan

polisakarida. Ikan nila memiliki kemampuan untuk memetabolisme

karbohidrat, tingginya nilai penurunan kadar protein dan lemak dalam

penelitian ini mengindikasikan bahwa ikan nila cenderung lebih

memanfaatkan protein dan lemak sebagai sumber energi utama. Hal ini

sesuai dengan kecenderungan umum ikan, di mana mereka dapat

memperoleh energi secara lebih efisien dari protein dan lemak daripada

dari karbohidrat. Temuan ini memberikan wawasan lebih lanjut tentang

preferensi metabolisme ikan nila terhadap komponen nutrisi tertentu,

yang dapat menjadi dasar untuk peningkatan formulasi pakan yang lebih

sesuai dalam konteks budidaya perikanan.

Menurut penelitian El-Shenawy et al. (2020), ikan nila

(Oreochromis niloticus) memiliki kemampuan untuk mengoptimalkan

penggunaan baik karbohidrat maupun lemak sebagai sumber energi pada

tingkat yang setara. Hal ini juga dapat lebih baik jika diberikan

penambahan asam empedu ke dalam pakan. Temuan ini menunjukkan

bahwa pertumbuhan ikan nila dapat dioptimalkan dengan formulasi pakan

yang mengandung sekitar 30–40% protein, 12–15% lemak, dan 30–40%

karbohidrat. Penurunan rasio karbohidrat terhadap lemak dapat

mengurangi asupan pakan, ikan nila tetap mampu tumbuh secara optimal

dengan tingkat lemak hingga 16% dan karbohidrat minimal 29.5%.

Peningkatan pertumbuhan dan efisiensi pakan ikan nila yang disertai

dengan penambahan asam empedu menunjukkan potensi peningkatan

penyerapan karbohidrat dalam metabolisme ikan. Temuan ini

19
memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan formulasi

pakan yang lebih tepat, mendukung praktik budidaya ikan nila yang

berkelanjutan, dan memberikan wawasan lebih dalam terkait adaptasi

metabolik ikan terhadap komposisi nutrisi pakan.

Merujuk pada literatur sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa ikan

nila (Oreochromis niloticus) cenderung lebih mengandalkan protein dan

lemak sebagai sumber energi utama, sedangkan penggunaan karbohidrat

bersifat lebih fleksibel. Kesempurnaan pertumbuhan ikan nila dapat

dicapai melalui formulasi pakan yang optimal dengan kandungan sekitar

30–40% protein, 12–15% lemak, dan 30–40% karbohidrat. Menariknya,

penelitian juga menunjukkan bahwa penambahan asam empedu ke

dalam pakan dapat memberikan dampak positif pada pertumbuhan dan

efisiensi pakan bagi ikan nila. Adanya potensi peningkatan penyerapan

karbohidrat menunjukkan adaptasi metabolik yang menarik dalam

respons ikan terhadap komposisi nutrisi pakan. Penurunan rasio

karbohidrat terhadap lemak dapat mengurangi asupan pakan, ikan nila

tetap menunjukkan kemampuan pertumbuhan yang baik, bahkan dengan

kadar lemak mencapai 16% dan karbohidrat setidaknya 29.5%.

Implikasinya. Pemahaman mendalam terkait preferensi nutrisi dan

kemampuan adaptasi ikan nila dapat membimbing formulasi pakan yang

lebih efektif dan berkelanjutan dalam konteks budidaya perikanan.

2.6 Lipid pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Komariyah, et al. (2014),

dapat dipahami bahwa lipid memegang peran yang sangat penting dalam

20
pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan nila (Oreochromis niloticus).

Lipid tidak hanya menyediakan nilai kalori yang tinggi, melampaui

karbohidrat dan protein, tetapi juga berfungsi sebagai penyerap dan

pengangkut vitamin A, D, E, dan K. Asam lemak esensial yang

terkandung dalam lipid menjadi komponen utama dalam fosfolipid.

Komponen tersebut memainkan peran krusial dalam struktur biomembran

sel, memperbaiki fluiditas membran, dan menjaga fungsi metabolisme

agar tetap normal. Lipid juga berfungsi sebagai prekursor untuk hormon

steroid dan eikosanoid seperti prostaglandin, yang memiliki dampak

signifikan dalam regulasi berbagai proses biologis di dalam tubuh ikan.

Implikasinya, pemahaman mendalam tentang peran lipid dalam nutrisi

ikan nila dapat membimbing formulasi pakan yang tepat, mendukung

pertumbuhan optimal, dan menjaga kesehatan secara keseluruhan dalam

konteks budidaya perikanan.

Penelitian oleh El-Shenawy, et al. (2020), memberikan wawasan

lebih lanjut mengenai peran lipid pada ikan nila, menyoroti bahwa lipid

berfungsi sebagai substansi yang dapat disimpan dalam bentuk lemak

tubuh. Temuan ini menegaskan bahwa baik karbohidrat maupun lipid

memiliki kemampuan untuk menggantikan peran protein sebagai sumber

energi bagi ikan. Spesies ikan dapat memanfaatkan lipid dengan efisien,

tingginya kadar lipid dalam pakan dapat berdampak pada kinerja

pertumbuhan. Hal ini memungkinan menghasilkan ikan yang memiliki

kandungan lemak yang tinggi. Kekurangan lipid dalam pakan juga dapat

berpotensi memengaruhi pertumbuhan dan respons sistem kekebalan

tubuh pada ikan. Pemahaman mendalam mengenai kebutuhan lipid dan

21
formulasi pakan yang tepat menjadi kunci dalam mencapai pertumbuhan

yang optimal dan kesehatan yang baik pada budidaya ikan nila.

Lipid berperan penting dalam pertumbuhan dan kelangsungan

hidup ikan nila dapat ditegaskan dari hasil dua penelitian terkait. Lipid

tidak hanya berfungsi sebagai penyedia energi dengan nilai kalori tinggi,

tetapi juga berperan sebagai agen penyerap dan pengantar vitamin

penting seperti A, D, E, dan K. Asam lemak esensial yang terkandung

dalam lipid memiliki peran vital dalam memelihara keberlanjutan

biomembran sel, memastikan fluiditas membran, dan bertindak sebagai

prekursor untuk hormon seperti prostaglandin. Regulasi kadar lipid dalam

pakan ikan nila menjadi aspek kritis yang perlu diperhatikan. Hal ini

dikarenakan kelebihan atau kekurangan lipid dapat berdampak pada

kinerja pertumbuhan dan respons sistem kekebalan tubuh ikan.

Pemahaman mendalam mengenai kebutuhan lipid dan formulasi pakan

yang tepat menjadi esensial untuk mencapai kondisi optimal dalam

budidaya ikan nila.

22
BAB III METODOLOGI

3.1 Alat Praktikum

Alat Fungsi
Akuarium =

Rak akuarium =

Styrofoam =

Thermometer =

Selang sifon =

Sikat =

Spon cuci =

Seser =

Ember =

Kabel rol =

pH meter =

Timbangan analitik =

Nampan =

Cuvet valcon =

Sectio set =

Rak cuvet valcon =

Pipet Volume =

Spatula =

Bola Hisap =

Sentrifuge =
Serbet =

Microtube =

Mortal dan alu =

Pipet tetes =

Ember =

Tabung reaksi =

Pipet volume =

Bola hisap =

Stopwatch =

Spektrofotometer UV Fis =

Beaker glass 250 ml =

Pipet tetes =

Washing bottle =

Penjepit tabung reaksi =

24
3.2 Bahan Praktikum

Bahan Fungsi
Air =

Biota akuakultur =

Sabun =

Kertas label =

Aquades =

Pakan ikan =

Usus sampel =

Lambung sampel =

Tisu =

Kapas steril =

Aluminium foil =

Kertas buram =

Supernatan lambung =

dan usus

Larutan kasein 0,5% =

Larutan buffer fosfat pH7 =

Larutan TCA =

Plastic wrap =

Alkohol 96% =

Eter =

Kloroform =

NaOH 10% =

25
Larutan Fehling A dan B =

3.2 Langkah Kerja


3.3.1 Langkah Kerja Preparasi Akuarium Dan Pemeliharaan

Menyiapkan akuarium dan membilasnya menggunakan sabun hingga

bersih, kemudian dikeringkan. Akuarium kemudian ditempatkan pada rak khusus

yang dilapisi alas sterofoam sebagai pelindung. Akuarium diisi dengan air untuk

media hidup bagi biota akuakultur, kemudian dipasang aerator sebagai sumber

oksigen. Objek yang diamati dalam akuarium adalah biota akuakultur atau hewan

sampel. Biota akuakultur diberi makan sampai kenyang atau disebut juga dengan

ad-libitum. Biota akuakultur dipuasakan dahulu untuk mengurangi kandungan

lemak pada organ yang akan diuji.

3.3.2 Langkah Kerja Perlakuan Ekstrak Kasar Enzim

Langkah-langkah membuat sampel pada perlakuan ekstrak kasar enzim

dimulai dengan membunuh ikan pada medulla oblongata. Penusukan pada

medulla oblongata bertujuan agar ikan langsung dalam kondisi mati sebelum

dilakukan pembedahan untuk diambil organ usus dan lambungnya. Pengambilan

organ usus dan lambung digunakan untuk sampel sebagai pengujian. Sampel

lambung dan usus yang didapat bisa dipisahkan pada kertas saring. Masing-

masing sampel lambung dan usus dihaluskan menggunakan alat mortar dan alu.

Sampel yang sudah halus bisa dilakukan penimbangan, masing-masing 1gr.

Sampel yang sudah ditimbang dapat ditambahkan aquades sebanyak 2 ml untuk

mengencerkan sampel, lalu dimasukkan ke dalam cuvet falcon. Masing-masing

sampel yang berada dalam cuvet falcon dapat dimasukkan ke dalam alat

sentrifugasi untuk disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm (rotation per

minute). Hasil yang didapat dari proses sentrifugasi yaitu residu dan supernatan,
26
lalu diambil supernatan pada cuvet falcon menggunakan pipet tetes. Sampel

yang didapat bisa dimasukkan ke dalam microtube dengan suhu yang dingin.

Masing-masing sampel tersebut siap digunakan pada pengujian enzim protease.

3.3.3 Langkah Kerja Pengujian Enzim Protease

Tahapan pengujian enzim protease dilakukaan, pertama adalah

memepersiaapkan alat dan bahan. Proses pengujian enzim protease

menggunakan hasil ekstraksi kasar enzim yaitu bagian supernatan, yang

dimasukan sebanyak 1 ml ke dalam tabung feaksi menggunakan pipet tetes.

Menghindari kontaminasi dari lingkungan luar, taabung reaksi ditutup dengan

kapas steril. Tambahkan kasein dengan konsentrasi 0.5% sebanyak 2 ml ke

dalam tabung reaksi. Kasein sendiri berfungsi sebagai subtrat dalam proses

pengujian enzim protease. Sampel kasein dan supernatant dalam tabung reaksi

ditambahkan 0.5 ml buffer fosfat pH 7 sebanyaak 11 tetes menggunakan pipet

tetes. Tahapan sepanjutnya adalah inkubasi sampel dalam suhu 37°C selama 10

menit menggunakan waterbath. Tahapan setelah inkubasi, ditambahkan 2.5 mL

larutan TCA 4% ke sampel lalu diinkubasi kembali dengan suhu dan durasi yang

sama. Usai inkubasi kedua, sampel dihomogenkan melalyi proses sentrifugasi

dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit. Niali absorbansi sampel diukur

menggunakan alat UV Fis menggunakan paanjang gelombang 578 nm. Hasil dari

alat UV Fis merupakan nilai yang dicatat sebagai nilai absorbansi enzim

protease.

3.3.4 Langkah Kerja Sentrifugasi

Tahap pengujian enzim protease memiliki penggunaan alat sentrifuge

yang bertujuan untuk memisahkan supernatan dengan residu. Penggunaan


27
sentrifuge terdapat beberapa langkah yang akan dilakukan. Langkah pertama

dimulai dengan kabel yang disambungkan ke sumber listrik atau disebut

stopkontak. Tombol "power" ditekan setelahnya agar alat dapat menyala.

Menekan tombol merah “lip” pada alat yang sudah menyala lalu angkat penutup

sentrifuge. Bagian dalam sentrifuge di cek terlebih dahulu sebelum ring sampel

dipasang. Sampel yang berada di dalam cuvet falcon dimasukkan ke dalam ring

sampel secara diagonal agar seimbang saat sentrifuge beroperasi. Tutup

sentrifuge kemudian mulai mengatur kecepatan dan waktu yang diinginkan.

Tekan tombol “start” dan sentrifuge akan berputar. Ditunggu sesuai waktu yang

ditetapkan dan proses sentrifugasi selesai apabila alat tersebut berbunyi "klik”.

Penutup sentrifuge dibuka lalu cuvet falcon sampel diambil. Ring sampel

dikeluarkan dan tekan kembali tombol "power". Langkah terakhir yaitu kabel

dicabut dari sumber listrik dan hasil sentrifugasi telah didapat.

3.3.5 Langkah Kerja Ikubasi

Pengujian enzim protease memiliki penggunaan alat inkubasi dengan

waterbath yang bertujuan menciptakan kondisi lingkungan yang optimal bagi

aktivitas enzim. Inkubator digunakan untuk menjaga suhu yang konstan dan

stabil, serta memberikan kondisi pH yang sesuai agar enzim dapat bekerja

dengan efisien. Penggunaan inkubasi terdapat beberapa langkah yang akan

dilakukan. Langkah pertama dimulai dengan kabel yang disambungkan ke

sumber listrik atau disebut stop kontak. Bagian dalam alat inkubasi di cek terlebih

dahulu sebelum ring sampel dimasukkan. Atur dan set suhu pada knop putar

pada display, arah kanan untuk menaikkan suhu sedangkan arah kiri untuk

menurunkan suhu. Terdapapat tiga lampu panel besar yaitu: warna hijau ”power”

menandakan bahwa mesin hidup, warna merah ”alarm” menandakan bahwa

28
mesin mengalami overheat, warna oranye ”heat” menandakan alat masih

memanaskan. Masukkan sampel yang akan diinkubasi ke dalam alat inkubasi

kemudian tutup pintu alat inkubasi. Atur dan set timer pada display untuk

menyetel berapa lama waktu inkubasi yang diinginkan. Setelah selesai ambil

sampel dari inkubator kemudian tutup pintu inkubtor. Putar suhu ke 0° C untuk

menjaga alat dan tekan tombol ”off” untuk mematikan mesin inkubator. Langkah

terakhir cabut kabel dari sumber listrik dan hasil inkubasi bisa didapatkan.

3.3.6 Langkah Kerja Perhitungan Aktivitas Proteolitik Enzim

Berikut adalah langkah-langkah untuk menghitung aktivitas enzim.

Pertama, tentukan nilai absorbansi BM tirosin dan konsentrasi tirosin yang akan

digunakan dalam perhitungan. Selanjutnya, siapkan volume total reaksi dan

volume sampel enzim yang akan digunakan. Tentukan juga waktu inkubasi dan

faktor pengenceran yang sesuai dengan kondisi percobaan. Setelah itu, hitung

perubahan absorbansi (ΔA) dengan cara mengurangi nilai absorbansi awal

dengan nilai absorbansi akhir. Masukkan semua nilai yang telah ditentukan ke

dalam rumus:

Tirosin V
Aktivitas Enzim= × × FP
BM Tirosin p . q
Hitunglah hasil dari rumus tersebut untuk mendapatkan aktivitas enzim yang

diinginkan. Memastikan agar nilai pengukuran sesuai dan memperhatikan faktor-

faktor penting seperti durasi inkubasi serta faktor pengenceran agar hasil dari

perhitungan yang dilakukan akurat.

3.3.7 Langkah Kerja Uji Karbohidrat

Langkah kerja dalam melakukan uji karbohidrat yang pertama adalah

menyiapkan alat dan bahan. Alat dan bahan yang dibutuhkan seperti sampel

29
yang akan diuji karbohidratnya, larutan Fehling A dan B, tabung reaksi dan

larutan NaOH 10%. Langkah berikutnya yaitu sampel diambil sebanyak 2 mL dan

dimasukkan kedalam tabung reaksi yang sudah diletakkan di rak tabung reaksi.

Sebanyak 2mL larutan Fehling A dan B ditambahkan kedalam tabung reaksi.

Larutan NaOH kemudian ditambahkan kedalam tabung reaksi sebanyak 4 tetes.

Tabung reaksi tersebut kemudian dijepit dan dipanaskan diatas bunsen hingga

mendidih. Terakhir yaitu mengamati perubahan warna jika reaksi positif maka

pada tes Fehling akan ditemukan adanya endapan merah bata.

3.3.8 Langkah Kerja Uji Lipid

Uji lipid digunakan untuk mengetahui sifat lipid, yaitu molekul non-polar

yang hanya dapat larut dalam pelarut non-polar. Lipid yang dilarutkan dalam

pelarut polar lipid tidak akan homogen dalam larutan tersebut. Langkah kerja

pengujian kelarutan lipid sendiri yang pertama tentu persiapan alat dan bahan.

Langkah berikutnya yaitu masukkan 2mL sampel yang akan diuji kedalam tabung

reaksi. Sampel yang telah dimasukkan kedalam tabung reaksi kemudian di

larutkan dengan Kloroform sebanyak 1mL. Tahap berikutnya yaitu penambahan

larutan pelarut kemudian homogenkan, setelah dihomogenkan ialah mengamati

perubahan yang terjadi.

30
BAB IV ANALISIS HASIL

4.1 Aktivitas Enzim pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)


4.2 Perbandingan Aktivitas Enzim pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

32
4.3 Uji Karbohidrat pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

33
4.4 Uji Lipid pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

34
BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

35
5.2 Faktor Koreksi

36
5.3 Saran

37
DAFTAR PUSTAKA

Abd Hamid, M., Sahb, A. S. R. M., Nor, S. A. M., & Mansor, M. (2022). The
Distribution of Invasive Tilapia Throughout A Tropical Man-Made Lake
With Special Reference to Temengor Reservoir, Malaysia. Indonesian
Journal of Limnology, 3(1), 47-57.

Arfiati, D., Puspitasari, A. W., Renitasari, D. P., & Widiastuti, I. M. (2019). status
tropik dan isi lambung ikan nila (oreochromis niloticus) dari waduk
wonorejo, Tulungagung, Jawa Timur. JFMR (Journal of Fisheries and
Marine Research), 3(2), 166-171.

Azhar, M. (2016). Biomolekul sel: karbohidrat, protein, dan enzim.

El-Shenawy, A. M., Abeer, E. K. M., Alsokary, E. T., & Gad, D. M. (2020). Impact
of carbohydrate to lipid ratio and bile salts supplementation on
performance, body gain and body composition of Nile tilapia fish.
International Journal Fisheries and Aquatic Studi, 8(3), 88-97.

, B., Setyawan, P., & Robiasalmi, A. (2015). Produktivitas Larva pada Pemijahan
Alami Beberapa Strain Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dan
Persilangannya dengan Ikan Nila Biru (Oreochromis aureus). In Prosiding
Seminar Nasional Ikan ke (Vol. 8, pp. 49-54).

Komariyah, S., Suprayudi, M. A., & Jusadi, D. (2014). Studi awal pemanfaatan
minyak biji karet Hevea brasiliensis untuk pakan ikan nila Preliminary
study of rubber seed Hevea brasiliensis oil utilization for tilapia diet. Jurnal
Akuakultur Indonesia, 13(1), 61-67.

Kurnia, R., Widyorini, N., & Solichin, A. (2018). Analisis Kompetisi Makanan
Antara Ikan Tawes (Barbonymus gonionotus), Ikan Mujair (Oreochromis
mossambicus) dan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) di Perairan Waduk
Wadaslintang Kabupaten Wonosobo (Analysis of Food Competition
Between Java Barb (Barbonymus gonionotus), Java Tilapia (Oreochromis
mossambicus) and Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) in Wadaslintang
Reservoir, Wonosobo Regency). Management of Aquatic Resources
Journal (MAQUARES), 6(4), 515-524.

Mujalifah, M. SantosoH. dan laili saimul, 2018. Kajian Morfologi Ikan Nila
(Oreochromis nilocitus) Dalam Habita Air Tawar dan Air Payau.

Nurfitasari, I., Palupi, I. F., Sari, C. O., Munawaroh, S., Yuniarti, N. N., &
Ujilestari, T. (2020). Respon daya cerna ikan nila terhadap berbagai jenis
pakan. Nectar: Jurnal Pendidikan Biologi, 1(2), 21-28.

Pandit, I. (2012). Buku_BIOKIMIA HASIL PERAIRAN.

Putra, A. N. (2015). Laju metabolisme pada ikan nila berdasarkan pengukuran


tingkat konsumsi oksigen. Jurnal Perikanan dan kelautan, 5(1), 13-18.
Santos, J. F., Soares, K. L. S., Assis, C. R. D., Guerra, C. A. M., Lemos, D.,
Carvalho, L. B., & Bezerra, R. S. (2016). Digestive enzyme activity in the
intestine of Nile tilapia (Oreochromis niloticus L.) under pond and cage
farming systems. Fish physiology and biochemistry, 42, 1259-1274.

Saragih, R. S., & Sinaga, K. (2019). Prospek Pengembangan Kewirausahaan


Olahan Ikan Nila Kawasan Danau Toba Di Desa Sirukkungon Kecamatan
Ajibata Kabupaten Toba Samosir. Jurnal Ekonomi dan Bisnis (EK dan BI),
2(2), 221-230.

Sipayung, B. S., Ma'ruf, W. F., & Dewi, E. N. (2015). Pengaruh senyawa bioaktif
buah mangrove Avicennia marina terhadap tingkat oksidasi fillet ikan nila
merah O. niloticus selama penyimpanan dingin. Jurnal Pengolahan dan
Bioteknologi Hasil Perikanan, 4(2), 115-123.

Siregar, F. A., & Makmur, T. (2020). Metabolisme lipid dalam tubuh. Jurnal
Inovasi Kesehatan Masyarakat, 1(2), 60-66.

Tian, J., Wen, H., Lu, X., Liu, W., Wu, F., Yang, C. G., ... & Yu, L. J. (2018).
Dietary phosphatidylcholine impacts on growth performance and lipid
39
metabolism in adult Genetically Improved Farmed Tilapia (GIFT) strain of
Nile tilapia Oreochromis niloticus. British Journal of Nutrition, 119(1), 12-
21.

Vinarukwong, N., Lukkana, M., & Wongtavatchai, J. (2018). Decreasing duration


of androgenic hormone feeding supplement for production of male
monosex in tilapia (Oreochromis spp.) fry. The Thai Journal of Veterinary
Medicine, 48(3), 375-383.

Vinarukwong, N., Lukkana, M., Ruangwises, S., & Wongtavatchai, J. (2018).


Residual levels of 17α-methyldihydrotestosterone in Nile tilapia
(Oreochromis niloticus) fry following feeding supplementation. Cogent
Food & Agriculture, 4(1), 1526436.

Wicaksono, K. A., Susilowati, T., & Nugroho, R. A. (2016). Analisis karakter


reproduksi ikan nila pandu (F6)(Oreochromis niloticus) dengan strain ikan
nila merah lokal kedung ombo dengan menggunakan sistem resiprokal.
Journal of Aquaculture Management and Technology, 5(1), 8-16.

Zafar, A., Roni, M. A., Rana, M., & Akter, N. (2022). Growth, digestive enzyme
activities, proximate composition and hemato-biochemcial responses of
juvenile Nile tilapia (Oreochromis niloticus) reared at various stocking
densities in a recirculatory aquaculture system. Journal of Applied
Aquaculture, 1-23.

Zhou, W. H., Wu, C. C., Limbu, S. M., Li, R. X., Chen, L. Q., Qiao, F., ... & Du, Z.
Y. (2022). More simple more worse: simple carbohydrate diets cause
alterations in glucose and lipid metabolism in Nile tilapia (Oreochromis
niloticus). Aquaculture, 550, 737857.

40
41
LAMPIRAN

Lampiran

Anda mungkin juga menyukai