Anda di halaman 1dari 15

METODE IJTIHAD

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih

Dosen Pengampu: Ali Romdhoni, MA.

MAKALAH

Disusun oleh kelompok 7:

1. Aufa Qothrunnady Ahmad (22106011388)


2. Nidaul Miskiyah (22106011136)
3. Fika Rahmawati (22106011100)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-
Nya, sehingga makalah ini dapat kami susun hingga selesai dengan judul “Metode
Ijtihad”. Sholawat serta salam semoga senantiasa tecurah kepada Nabi Muhammad
SAW, beserta keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ali Romdhoni, MA. selaku
dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqih. Berkat tugas yang diberikan ini, kami
dapat menambah wawasan berkaitan dengan materi yang dibahas dalam makalah ini.
Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam proses penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari sempurna. Maka sebab itu kami memohon maaf atas kesalahan
dan ketidak sempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini. Kami juga
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca agar kedepannya kami bisa membuat
makalah dengan lebih baik lagi. Semoga makalah ini bisa menambah wawasan dan
bermanfaat bagi pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Semarang, 7 Maret 2023

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bagi setiap muslim,segala apa yang dilakukan dalam kehidupannya harus sesuai
dengan kehendak allah, sebagai realisasi dari keimanan kepada-Nya. Kehendak allah
tersebut dapat ditemukan dalam kumpulan wahyu yang disampaikan melalui nabi-Nya
(Al-Qur’an) dan penjelasan yang diberikan oleh Nabi mengenai wahyu allah tersebut
(sunah). Pada umumnya sumber hukum islam ada dua, yaitu: Al-Qur’an dan Hadist,
namun ada juga yang disebut Ijtihad sebagai sumber hukum yang ketiga berfungsi
untuk menetapkan suatu hukum yang tidak secara jelas ditetapkan dalam Al-Qur’an
maupun Hadist. Namun demikian,tidak boleh bertentangan dengan isi kandungan Al-
Quran dan Hadist.
Ijtihad secara sederhana dapat dipahami sebagai serangkaikan upaya berfikir secara
optimal yang dilalui oleh sarjana hukum Islam dalam rangka menyimpulkan hukum
melalui perangkat-perangkat ilmu dan segenap pendukungnya sebagai jawaban atas
segala problem yang dihadapi masyarakat. Ijtihad dalam hukum Islam terlahir
bersamaan dengan diutusnya Rasul Saw sebagai penyampai pesan-pesan ketuhanan
dari langit. Beliau merupakan mujtahid perdana.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian dari ijtihad?
2. Apa hukumnya berijtihad?
3. Apa saja metode yang ada dalam berijtihad?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian dari ijtihad
2. Untuk mengetahui hukum berijtihad
3. Untuk mengetahui metode yang ada dalam berijtihad
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
1. Secara Etimologi Ijtihad (‫ )اإلجتهد‬diambil dari akar kata dalam bahasa Arab
"juhada" (‫)جهد‬. Bentuk kata mashdarnya ada dua bentuk yang berbeda artinya:
a. Jahdun (‫ )جهد‬dengan arti kesungguhan atau sepenuh hati atau serius. Contohnya
dapat kita temukan dalam surat al-An'am (6): 109:
‫اّلل َج ْهدَ أ َ ْي َمانِ ِه ْم‬ َ ‫َوأ َ ْق‬
ِ َ ِ‫س ُموا ب‬
“Mereka bersumpah dengan Allah sesungguh-sungguh sumpah.”

b. Juhdun (‫ )جهد‬dengan arti kesanggupan atau kemampuan yang di dalamya


terkandung arti sulit, berat dan susah. Contohnya, firman Allah dalam surat at-
Taubah (9): 79:
۷۹: ‫التوبة‬. ‫َوالَذِينَ َل يَ ِجدُونَ إِ َل ُج ْهدَهُ ْم فَيَ ْسخ َُرونَ مِ ْن ُهم‬
“Dan orang-orang yang tidak memperoleh selain sekadar kesanggupannya, maka
orang munafik itu menghina mereka.”

Pengubahan kata dari jahada (‫ )جهد‬atau jahida (‫ )جهد‬menjadi ijtahada (‫)اجتهد‬


dengan cara menambahkan dua huruf, yaitu "alif" di awalnya dan "ta" antara huruf
“jim" dan "ha", mengandung maksud "mubalaghah", yaitu dalam pengertian
"sangat".
Bila kata jahada dihubungkan dengan dua bentuk mashdarnya tersebut,
pengertiannya berarti "kesanggupan yang sangat” atau "kesungguhan yang sangat".
Bila arti kata secara etimologis ini dihubungkan dengan arti istilah (definitif)
tentang ijtihad, akan terlihat keserasian artinya karena pada kata ijtihad itu memang
terkandung arti kesanggupan dan kemampuan yang maksimal dan harus dilakukan
dengan kesungguhan serta sepenuh hati.
2. Ijtihad Menurut Istilah Teknis Hukum (Definisi).
Banyak rumusan yang diberikan mengenai definisi "ijtihad", tetapi satu sama
lainnya tidak mengandung perbedaan yang prinsip, bahkan kelihatan saling
menguatkan dan menyempurnakan. Di antara definisi tersebut adalah:
a. Iman Al-Syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fubuli memberi kan definisi:

ِْ ‫ق‬
ِ‫اإل ْستِ ْنبَاط‬ َ ‫بَد ُل ْال ُوس ِْع فِي نَ ْي ِل ُح ْك ِم ش َْرعِي‬
َ ِ‫ع َم َل ب‬
ِ ‫ط ِر ْي‬
“Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar'i yang bersifat amali
melalui cara istinbath.”

Dalam definisi ini digunakan kata bazlu al-was'i untuk menjelaskan bahwa
ijtihad itu adalah usaha besar yang memerlukan pengerahan kemampuan. Hal ini
berarti bila usaha itu ditempuh dengan tidak sepenuh hati dan tidak bersungguh-
sungguh, maka tidak dinamakan ijtihad,
Penggunaan kata syar'i mengandung arti bahwa yang dihasilkan dalam usaha
ijtihad adalah hukum syar'i atau ketentuan yang menyangkut tingkah laku manusia.
Selanjutnya dalam definisi itu juga disebutkan mengenai cara menemukan
hukum syar’i, yaitu melalui istinbath (‫ )استنباط‬yang pengertiannya memungut atau
mengeluarkan sesuatu dan dalam kandungan lafaz. Hal ini berarti bahwa ijtihad itu
adalah usaha memahami lafaz dan mengeluarkan hukum dari lafaz tersebut.kata ini
mengeluarkan dari pengertian ijtihad bentuk usaha mengeluarkan hukum dari nash
yang memang secara jelas telah menunjuk kepada hukum tersebut.
b. Ibnu Subki memberikan definisi sebagai berikut:
َ ‫ط ِن بِ ُح ْك ِم ش َْرع‬
‫ِي‬ ِ ‫ا ْستِ ْف َراعُ ْالفَ ِق ْي ِه ْال ُو ْس َع ِلت َ ْح‬
َ ‫ص ْي ِل‬
“Pengerahan kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan dugaan kuat
tentang hukum syar'i.”

Dibandingkan dengan definisi al-Syakauni, Ibnu Subki menambahkan lafaz al-


faqih sesudah kata bazlu dan kata zhan sebelum kata hukum syar'i.
Dengan penambahan kata faqih, mengandung arti bahwa yang mengerahkan
kemampuan dalam ijtihad itu bukanlah sembarang orang, tetapi orang yang telah
mencapai derajat tertentu yang disebut faqih, karena hanya orang faqihlah yang
dapat berbuat demikian. Usaha yang dilakukan orang awam yang tidak mempunyai
pengetahuan tentang fiqh bukan ijtihad.
c. Saifuddin al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam, menyempurnakan tidak perlu ada
ijtihad lagi, sebagaimana disinggung di atas.
dua definisi sebelumnya dengan penambahan kata:
‫ع ِن ْال َم ِري ِد فِي ِه‬
َ ‫حْس مِ نَ النَ ْف ِس ْال َع ْج ِز‬ ُ ‫ِب َحي‬
َ َ‫ْث ي‬
“dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih daripada itu.”

Definisi al-Amidi itu selengkapnya adalah:

‫ع ِن ْال َم ِزي ِدفِ ْي ِه‬


َ ‫حْس مِ نَ النَ ْف ِس ْالعَجْ ِز‬ َ ‫ش ْيء مِ نَ ْاْل َ ْحك َِام ال‬
َ َ‫ش ْر ِعيَ ِة بِ َحيْتُ ي‬ َ ‫ب ال‬
َ ِ‫ط ِن ب‬ َ ‫الفراغ الوسع في‬
ِ ‫ط ِل‬
“Pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari
hukum syara' dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari
itu.”

Penambahan fasal dalam definisi al-Amidi tersebut mengandung arti bahwa


pengerahan kemampuan tersebut dilakukan secara maksimal. Dengan demikian,
pengerahan kemampuan secara sembrono, asal asalan atau sekadarnya saja, tidak
dinamakan ijtihad.
Dari menganalisis ketiga definisi di atas dan membandingkannya dapat diambil
hakikat dari ijtihad itu sebagai berikut:
1. Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal
2. Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di
bidang keilmuan yang disebut faqih.
3. Produk atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan yang kuat
tentang hukum syara' yang bersifat amaliah.
4. Usaha ijtihad ditempuh melalui cara-cara istinbath.

B. Hukum Berijtihad
Yang dimaksud dengan hukum berijtihad di sini ialah hukum dan orang yang
melakukan ijtihad, baik dari tujuan hukum taklifi, maupun hukum wadhi. Karena
yang berwenang melakukan ijtihad itu adalah orang yang telah mencapai tingkat faqih
(sebagaimana disebutkan dalam definisi di atas), maka mahkum 'alaihnya (objek atau
orang yang dikenai oleh hukum) di sini adalah orang yang faqih.
Membicarakan hukum berijtihad seorang faqih dapat dilihat dari dua segi. Pertama
dari segi hasil ijtihadnya itu adalah untuk kepentingan yang diamalkannya sendiri,
seperti menentukan arah kiblat pada waktu akan melakukan shalat. Kedua dari segi
bahwa mujtahid ini adalah seorang mufti yang fatwanya akan diamalkan oleh umat
atau pengikutnya.
Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seorang mujtahid wajib
melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan bukum syara' dalam hal-hal yang
syara' sendiri tidak menetapkannya cara jelas dan pasti. Adapun dalil tentang
kewajiban untuk berijtihad ru dapat dipahami dari firman Allah dalam Al-Qur'an: 1.
Surat al-Hasyr (59): 2:
‫ار‬
ِ ‫ص‬َ ‫فَا ْعت َ ِب ُروا يَا أُولِي ْاْل َ ْب‬

“Maka ambil iktibarlah bai orang-orang yang punya pandangan.”

Dalam ayat ini Allah menyuruh orang-orang yang mempunyai pandangan (faqih)
untuk mengambil iktibar atau pertimbangan dalam berpikir. Perintah untuk
mengambil iktibar ini sesudah Allah menjelaskan malapetaka yang menimpa Ahli
Kitab (Yahudi) disebabkan oleh tingkah mereka yang tidak baik.
Cara mengambil iktibar ini merupakan salah satu bentuk dari ijtihad. Karena dalam
ayat ini Allah menyuruh mengam- bil iktibar berarti Allah juga menyuruh berijtihad,
sedangkan su ruhan itu pada dasarnya adalah untuk wajib. Surat an-Nisa' (4): 59:

‫سول‬
ُ ‫الر‬ ِ ‫ش ْيء فَ ُردُّوهُ ِإلَى‬
َ ‫للا َو‬ َ ‫فَإِ ْن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي‬
Maka jika kamu berselisih paham tentang sesuatu kem balikanlah kepada Allah
dan Rasul.

Allah menyuruh mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan kepada Allah dan


Rasul. Yang diperselisihkan itu biasanya sesuatu yang tidak ditetapkan Allah secara
jelas dan tegas dalam firman Nya. Sedangkan perintah mengembalikannya kepada
Allah dan Rasul berarti menghubungkan hukumnya kepada apa yang pernah
ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur'an atau yang ditetapkan Rasul dalam Sunah. Cara
seperti ini disebut qiyas (‫)القياس‬. Sedangkan giyas itu merupakan salah satu bentuk
ijtihad. Karena itu, suruhan (perintah) Allah untuk mengembalikan sesuatu kepada
Allah dan Rasul ini berarti suruhan untuk berijtihad dan setiap suruhan itu pada
dasarnya adalah untuk wajib.
Berijtihad itu hukumnya haram (‫ )حرام‬untuk kasus yang telah ada hukumnya dan
ditetapkan berdasarkan dalil yang sharih dan qath'i, atau bila orang yang melakukan
ijtihad itu belum mencapai tingkat faqih. Jadi, haramnya hukum ijtihad dalam hal ini
adalah pertama karena ijtihad tidak boleh dilakukan bila telah ada nash yang sharih
dan qath'i yang mengaturnya, kedua karena orang yang berijtihad tidak (belum)
memenuhi syarat yang dituntut untuk ijtihad.
Dalam menghadapi suatu kasus yang sudah terjadi dalam kenyataan atau belum
terjadi, dan kasus tersebut belum diatur secara jelas dalam nash Al-Qur'an maupun
sunah, sedangkan orang yang memiliki kualifikasi sebagai mujtahid ada beberapa
orang, maka dalam hal ini hukum berijtihad bagi seorang faqih hukumnya mubah
(‫ )مباح‬atau boleh.

C. Metode Ijtihad
Metode ijtihad yang dimaksud dalam bahasan ini adalah thariqah, yaitu jalan atau
cara yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam memahami, menemukan, dan
merumuskan hukum syara'.
Ada beberapa metode dalam berijtihad yang bisa dipakai oleh mujtahid menurut
ulama Khushari al-Sayyid dalam buku Metode Istinbath Hukum Islam Kontemporer,
yakni qiyas, istihsan, istishab, mashlahah wa mursalah, Saddudz Dzari’ah dan ‘urf.
1. Qiyas
Secara bahasa qiyas berasal dari kata kerja lampau (fiil madhi), qasa - yaqisu -
qiyasan (berarti mengukur, menyamakan) dan menghimpun atau ukuran skala,
bandingan, dan analogi.1 Adapun pengertian secara istilah beberapa tokoh
mendefinisikan sebagaimana berikut:
a. Syaikh Utsaimin
Seorang tokoh terkemuka kontemporer dari Saudi Arabia, mendefiniskan qiyas
dengan Menyamakan cabang (faru) dengan asal dalam suatu hukum karena
adanya illat (alasan hukum) yang menghimpun diantara keduanya.
b. Muhammad Abu Zahrah
Seorang ulama fiqh Mesir terkenal, memberikan pengertian Qiyas
sesungguhnya adalah penjelasan hukum suatu perkara yang tidak ada ketetapan
nashnya terhadap ketentuan hukumnya dengan cara meng-ilhaq-kan
(menyamakan) dengan suatu perkara yang diketahui hukumnya dengan
ketetapan nash terhadapnya di dalam Alquran ataupun sunnah.2
c. Syaikh al-Sinqithi

1
Syaikh al-Utsaimin, al-Ushul min ilm al-ushul
2
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh. (Cairo: Dar al-Fikr al-'Arabi, 1958).
Seorang ulama fiqh terkenal dari Saudi Arabia, menegaskan dalam definisinya
tentang qiyas yaitu Membawa cabang kepada asal dalam ketentuan hukum
karena adanya (persamaan) yang menyatukan diantara keduanya.3
Contoh: menentukan hukum halal haram dari narkotika. Narkotika tidak
disebutkan dalam Al Quran dan Al hadits. Selain itu belum ada di zaman Nabi
Muhammad SAW.
2. Istihsan
Istihsan secara bahasa dari kata hasan yang artinya baik. Kata hasan ditambah
dengan tiga huruf alif, sin dan ta’ yang kemudian menjadi kata baru istahsana
(‫ )استحسن‬yang bermakna mencari sesuatu yang baik, dan mengaggap baik terhadap
sesuatu hal.
Secara istilah Istihsan ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali
kepada qiyas khafi, atau dari hukum kulli kepada hukum pengecualian karena adanya dalil
yang dianggap cacat oleh akal, yang memperkuat baginya untuk melakukan kepindahan
tersebut.4
Contoh: ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri di zaman khalifah
Umar bin Al-Khattab ra.
3. Istishab
Secara Bahasa berarti “selalu menemani” atau “selalu menyertai”. Sedangkan
secara istilah menurut al-syaukani dalam irsyad al-fubul mendefinisikan sebagai
apa yang pernah berlaku secara tetap pada masa lalu, pada prinsipnya tetap berlaku
pada masa yang akan datang.
Menurut para ahli ushul, istishab adalah hukum terhadap sesuatu yang
didasarkan pada sesuatu yang sudah tetap atau pada sesuatu yang meniadakanya
itu, karena tidak adanya dalil yang berlawanan terhadapnya, maka pijakanya adalah
tidak adanya dalil dalam merubah hukum yang lama. Oleh karena itu, inilah akhir
yang menjadi sandaran seorang mujtahid. istishab adalah menetapkan hukum
sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil merubahnya
dengan penganggapan lain.

3
Muhammad al-Amin al-Sinqithi, Mudzakarah fi Ushul al-fiqh, (Madinah KSA: Maktabah al-ulum wa
al-hikam, 2001).
4
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh wa Khalashat tarikh Tasyri’,hlm. 79.
Contoh: bila tadi pagi seseorang telah wudhu untuk shalat subuh, maka keadaan
telah wudhu tersebut masih diperhitungkan keberadaannya pada waktu ia akan
melaksanakan shalat Dhuha.
4. Mashlahah wa mursalah
Pengertian mashlahah dalam Bahasa arab berarti “Perbuatan-perbuatan yang
mendorong pada kebaikan manusia”. Secara umum adalah segala sesuatu yang
bermanfaat bagi manusia. Sedangkan al-mursalah secara Bahasa berarti “terlepas”.
Menurut Abd al-wahab al-khallaf mendefinisikan mashlahah wa mursalah sebagai
mashlahat yang tidak ada dalil syara’ datang untuk mengakuinya atau menolaknya.
Sehingga mashlahah wa mursalah adalah pembinaan (penetapan) hukum
berdasarkan maslahah (kebaikan, kepentingan) yang tidak ada ketentuannya dari
syara’ baik ketentuan umum atau khusus.
Contoh: kasus mengumpulkan al-Qur'an ke dalam beberapa mushaf. Padahal
tidak pernah dilakukan di masa Rasulullah SAW.
5. Saddudz Dzari’ah
Saddudz dzari’ah terdiri dari dua kata yaitu saddu ‫ سد‬dan dzari’ah ‫الذريعة‬. Saddu
‫ سد‬bermakna penghalang atau sumbatan. Sementara dzari’ah ‫ الذريعة‬maknanya
alasan, permohonan, berpura-pura, dan mengantarkan, sarana, wasilah. Sehingga
sad al-dari’ah maksudnya menghambat atau menyumbat atau menghalangi semua
jalan yang menuju kerusakan atau maksiat.
Saddudz Dzari’ah adalah menutup semua hal yang menjadi penyebab timbulnya
kerusakkan, melarang suatu perbuatan yang pada dasar hukunya mubah karena
dapat berakibat kepada jalan kemaksiatan atau perbuatan yang dapat melanggar
syari’at. Dengan demikian yang dilihat dalam dzari’ah ini adalah perbuatan-
perbuatan yang menyampaikan kita kepada terlaksananya yang wajib atau
mengakibatkan kepada terjadinya yang haram. Dan tujuan penetapan hukum secara
saddudz dari’ah adalah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya
kemungkinan terjadi kerusakan atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan
maksiat.
Misalnya, kewajiban mengerjakan salat lima waktu. Seseorang baru dapat
mengerjakan salat itu bila telah belajar salat terlebih dahulu. Dalam hal ini tampak
bahwa belajar salat itu wajib. Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu
dapat dikerjakan atau tidak sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini
ditetapkan hukum wajib belajar salat, sebagaimana halnya hukum salat itu sendiri.
Misal lain, zina itu adalah haram, maka melihat aurat wanita yang membawa
kepada perzinaan adalah haram juga.
6. ‘Urf (Adat)
Berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu dan sering diartikan dengan al-ma’ruf yang
memiliki arti “sesuatu yang dikenal”. Kata ‘urf juga terdapat dalam al-qur’an
dengan arti ma’ruf yang artinya “kebajikan (berbuat baik). Umar sulaiman
alAsyqar, menyatkan bahwa al-‘urf adalah urutan sesuatu yang mana bagian satu
terhubung dengan bagian yang lainya secara tersambung. Kata lain yang sering
dipersamakan dan dipertukarkan penggunaanya dengan kata al-urf adalah adat ‫عادة‬
Secara bahasa, adat berasal dari kata kerja lampau (fi’il madhi), yaitu ‘ada ya’udu
‘audan ‘adat (‫ عودا – يعود – عاد‬- ‫ )عادة‬yang memiliki makna kembali, mengulang, dan
berulang. Sehingga adat memiliki makna sesuatu yang diulang-ulang dan menjadi
terbiasa dan dibiasakan oleh masyarakat.
Menurut imam Ali Hasaballah Adat adalah apa yang sudah dikenal oleh
manusia, oleh karena itu menjadi kebiasaan bagi mereka, menjadi santapan yang
menyenangkan dalam perjalanan hidup mereka. Baik itu berupa perkataan yang
kebiasaan mereka menggunakanya untuk makna yang khusus, seperti ungkapan
orang arab menyebut kata alwalad untuk anak laki-laki, bukan digunakan untuk
anak perempuan, dan lain-lain.
Contoh: Istilah daging. Bila seseorang menyebut kata “daging”, maka
maksudnya adalah daging sapi, kambing, atau ayam. Adapun ikan itu tidak
termasuk daging. Meskipun sebenarnya ikan itu juga punya daging.

Dalam beberapa literatur ushul fiqh, dirumuskan mengenai metode ijtihad yang
ditempuh oleh empat imam mazhab yang empat, yaitu:
1. Metode ijtihad Imam Abu Hanifah, adalah sebagai berikut: Al- Qur'an, Sunah Nabi
dengan caranya yang ketat dan hati-hati pendapat sahabat, qiyas dalam penggunaan
yang luas, istihsan dan helah syariat. Tidak disebutkannya ijma' dalam rumusan itu
bukan berarti Abu Hanifah menolak ijma' tetapi menggunakan ijma' sahabat.
2. Imam Malik menggunakan metode dengan mengikuti langkah sebagai berikut: Al-
Qur'an, Sunah Nabi, amal ahli Medinah, maslahat mursalah, qiyas dan Saddu al-
Zari'ah. Amal ahli Madinah yang dimaksudkan di sini berarti ijma' dalam artian
umum.
3. Imam Syafi'i menempuh langkah dan metode ijtihad sebagai berikut: Al-Qur'an,
sunah Nabi yang sahih, meskipun menurut periwayatan perorangan (ahâd), ijma'
seluruh mujahid umat Islami dan qiyas. Al-Qur'an dan sunah dijadikannya dalam
satu level sedangkan ijma sahabat lebih kuat dari ijma' ulama dalam artian umum.
Langkah terakhir yang dilakukannya adalah istishab.
4. Imam Ahmad ibn Hanbal dalam berijtihad menempuh langkah sebagai berikut:
mula-mula mencarinya dalam nash Al- Qur'an dan Sunah, kemudian mencarinya
dalam fatwa sahabat (yang dimaksud fatwa sahabat di sini ialah fatwa sahabat
dalam keadaan pendapat mereka sama, yakni ijma' sahabat) kemudian memilih
diantara fatwa sahabat bila diantara fatwa itu terdapat beda pendapat, selanjutnya
mengambil hadis mursal dan hadis yang tingkatnya diperkirakan lemah, baru
terakhir menempuh jalan qiyas.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

al-Sinqithi, Muhammad al-Amin, Mudzakarah fi Ushul al-fiqh, (Madinah KSA:


Maktabah al-ulum wa al-hikam, 2001).
al-Utsaimin, Muhammad bin Sholeh, Mustalahul hadis, (Kairo: Maktabah al-Ilm,
1994).
Hasan, ‘Abd. Al-Hamid, Nazhariyah al-Mashlahah fi Fiqh al-Islamiyah, Dar al-
Nahdhah, Kairo,1977.
Miswanto, Agus, Ushul Fiqh: Metode Ijtihad Hukum Islam, (DI Yogyakarta:
Magnum Pustaka Utama, 2018).
Syarifudin, Prof Dr. H. Amir, Ushul Fiqh, Jilid 2, Cet. Ke-4 (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008).
Zahrah, Muhammad Abu Ushul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-'Arabi, 1958.

Anda mungkin juga menyukai