Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tes
1. Pengertian Tes
Tes adalah alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui
atau mengukur sesuatu dalam suasana, dengan cara dan aturan-aturan yang
sudah ditentukan (Arikunto, 2004: 53). Tes berasal dari bahasa Prancis
yaitu testum, berarti piring yang digunakan untuk memilih logam mulia
dari benda-benda lain seperti pasir, batu, tanah, dan sebagainya (Arifin,
2011: 117).

2. Macam-macam Tes
Arifin (2011: 117) menyatakan, dilihat dari jumlah peserta didik,
tes dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu tes kelompok dan tes perorangan
(individu). Sedangkan dilihat dari kajian psikologi, tes dibagi menjadi
empat jenis yaitu tes intelegensia umum, tes kemampuan khusus, tes
prestasi belajar, dan tes kepribadian.
Putra (2012: 207) menyatakan terdapat beberapa jenis tes,
diantaranya tes standar, tes buatan guru dan tes objektif. Penjelasan
mengenai jenis tes tersebut dapat diantaranya sebagai berikut.
a. Tes standar merupakan tes yang disusun oleh suatu tim ahli, memenuhi
persyaratan tes yang baik, dapat digunakan untuk waktu yang relatif
lama dan dapat diterapkan pada beberapa objek mencakup wilayah
luas. Jenis tes standar diantaranya tes prestasi (achievement test), tes
diagnostik (diagnostic test), tes kecerdasan (intelligence test), dan tes
bakat (aptitude test). Berikut penjelasan mengenai jenis-jenis tes
tersebut.
1) Tes prestasi bertujuan untuk mengukur prestasi individu atau
kelompok dari berbagai mata pelajaran yang telah dipelajari atau
keahlian yang telah dikuasai peserta didik (Putra, 2012: 211).

9
10

2) Tes diagnostik umumnya dititikberatkan pada mata pelajaan dan


berbagai keterampilan tertentu yang dianggap penting dikuasai
pada mata pelajaran tertentu. Tes diagnostik terdiri dari evaluasi
area pembelajaran spesifik secara relatif mendalam (Arikunto,
2013: 61).
3) Tes kecerdasan dibuat untuk menilai, memberi indikasi atau
mengetahui kemampuan peserta didik secara umum pada berbagai
bidang. Tes kecerdasan dimaksudkan untuk memprediksi
kemampuan peserta didik, baik secara individu maupun kelompok
untuk mengukur berapa banyak yang telah dipelajari oleh peserta
didik. Tes kecerdasan paling banyak digunakan untuk mengukur
kecerdasan intelektual secara umum.
4) Tes bakat merupakan tes yang bertujuan untuk mengetahui bakat
dan kemampuan seseorang di bidang keilmuan. Tes ini juga dapat
mencerminkan tingkat kecerdasan intelektual (IQ) seseorang.
Umumnya, tes bakat ini memiliki empat jenis soal, yakni tes verbal
atau bahasa, tes numerik atau angka, tes logika, dan tes spasial atau
gambar (Putra, 2012: 214).
b. Tes buatan guru merupakan tes yang dibuat oleh para guru itu sendiri.
Tes tersebut dimaksudkan untuk mengukur tingkat keberhasilan
peserta didik mencapai kompetensi setelah berlangsungnya proses
pembelajaran yang dikelola oleh guru kelas. Pada umumnya,
penyusunan soal-soal tes dilakukan oleh para guru bidang studi yang
bersangkutan. Guru yang bersangkutan merumuskan kompetensi dasar
dan indikator yang akan dipelajari, memilih bahan, melaksanakan
kegiatan pembelajaran, kemudian menilai capaian peserta didik (Putra,
2012: 221). Umumnya, tes buatan guru tidak diujikan terlebih dahulu
karena berbagai hal, baik menyangkut masalah waktu, kesempatan,
tenaga, biaya, dan kemampuan guru itu sendiri untuk menganalisisnya.
c. Tes objektif adalah tes dimana keseluruhan informasi yang diperlukan
untuk menjawab tes telah tersedia dan peserta didik harus memilih
salah satu alternatif yang disediakan tersebut. Dalam tes objektif,
11

peserta didik dituntut untuk memilih beberapa kemungkinan jawaban


yang telah tersedia atau memberi jawaban singkat dengan mengisi
titik-titik di tempat yang tersedia soal sudah disusun terstruktur dengan
sempurna. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengertian tes
objektif adalah tes yang keseluruhan informasi yag diperlukan untuk
menjawab tes (soal) telah tersedia (Putra, 2012: 226).

3. Kriteria Tes yang Baik


Tes sebagai salah satu instrumen dalam evaluasi memiliki kriteria
tertentu untuk menjadikannya baik digunakan sebagai alat evaluasi.
Kriteria tersebut diantaranya instrumen tes harus valid, reliabel, relevan,
representatif, praktis, deskriminatif, spesifik dan proporsional,
sebagaimana penjelasan berikut.
a. Valid
Suatu instrumen dikatakan valid jika benar-benar mengukur
apa yang hendak diukur secara tepat. Misalnya, alat ukur untuk mata
pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), maka alat ukur tersebut
hanya digunakan untuk mengukur kemampuan siswa Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA), tidak boleh dipadukan dengan materi
pelajaran lain. Validitas instrumen evaluasi dapat ditinjau dari berbagai
segi, antara lain validitas ramalan (predictive validity), validitas
bandingan (concurent validity), validitas isi (content validity), dan
validitas konstruk (construct validity) (Arikunto, 2013: 73).
b. Reliabel
Suatu instrumen dapat dikatakan reliabel atau handal jika
memberikan hasil yang tetap apabila diujikan berkali-kali. Misalnya,
seorang guru mengembangkan instrumen tes yang diberikan lagi
kepada sekelompok peserta didik yang sama pada waktu yang berbeda,
dan ternyata hasilnya sama atau yang mendekati sama, maka dapat
dikatakan instrumen tersebut mempunyai reliabilitas yang tinggi
(Arikunto, 2013: 74).
12

c. Relevan
Instrumen yang digunakan harus sesuai dengan kompetensi
inti, kompetensi dasar, dan indikator yang telah ditetapkan. Jika dalam
konteks penilaian hasil belajar, maka instrumen harus sesuai dengan
domain hasil belajar, seperti domain kognitif, domain afektif, dan
domain psikomotor (Arifin, 2009: 70).
d. Representatif
Representatif artinya materi instrumen harus benar-benar
mewakili seluruh materi yang disampaikan, hal ini dapat dilakukan
bila penyusunan instrumen menggunakan silabus sebagai acuan
pemilihan materi tes. Guru juga harus memperhatikan proses seleksi
materi, mana materi yang bersifat aplikatif dan mana yang tidak, mana
yang penting dan mana yang tidak (Arifin, 2009: 70).
e. Praktis
Instrumen yang praktis artinya mudah digunakan. Jika
instrumen itu sudah memenuhi syarat tetapi sukar digunakan, berarti
tidak praktis. Kepraktisan ini bukan hanya dilihat dari teknik
penyusunan instrumen, tetapi juga bagi orang lain yang ingin
menggunakan instrumen tersebut (Arikunto, 2013: 77).
f. Deskriminatif
Instumen harus disusun sedemikian rupa, sehingga dapat
menunjukkan perbedaan-perbedaan yang sekecil apapun. Semakin
baik suatu instrumen, maka semakin mampu instrumen tersebut
menunjukkan perbedaan secara teliti. Untuk mengetahui apakah suatu
instrumen cukup deskriminatif atau tidak, biasanya dilakukan uji daya
pembeda instrumen tersebut (Arifin, 2009: 70).
g. Spesifik
Suatu instrumen disusun dan digunakan khusus untuk objek
yang dievaluasi. Jika evaluasi tersebut menggunakan tes, maka
jawaban tes jangan menimbulkan ambivalensi atau spekulasi (Arifin,
2009: 70).
13

h. Proporsional
Suatu instrumen dikatakan proporsional jika memiliki
persebaran yang seimbang antara soal yang sulit, sedang dan mudah
(Arifin, 2009: 70).

4. Tes Pilihan Ganda


Witherington (dalam Arifin, 2009: 135) mengatakan, “there are
many varieties of there new test, but four kinds are in most common use,
true-false, multiple choice, completion, matching”. Ini berarti bahwa tes
objektif meliputi beberapa jenis, diantanya adalah yang paling sering
digunakan, yaitu tes benar-salah, pilihan ganda, uraian singkat, dan
menjodohkan.
Tes berupa soal pilihan ganda merupakan jenis tes objektif yang
dapat mengukur pengetahuan yang luas dengan tingkat domain yang
bervariasi. Soal pilihan ganda memilki persyaratan sebagai tes yang baik,
yakni dilihat dari objektifitas, realibilitas dan daya pembeda antara siswa
yang berhasil dengan siswa yang gagal (Sukardi, 2011: 125).
Mulyadi (2010: 17) menyatakan, tes bentuk pilihan ganda ini
merupakan bentuk tes objektif yang paling banyak digunakan karena
banyak sekali materi yang dapat dicakup. Soal pilihan ganda terdiri dari
dua bagian: soal, plus satu set jawaban yang harus dipilih yang benar.
Jawaban yang salah disebut distractor (pengecoh).
Item tes atau soal pilihan merupakan jenis tes objektif yang dapat
mengukur pengetahuan yang luas dengan tingkat domain yang bervariasi.
Soal pilihan ganda memiliki semua persyaratan sebagai tes yang baik,
yakni dilihat dari segi objektifitas, reliabilitas dan daya pembeda antara
siswa yang berhasil dengan siswa yang gagal (Sukardi, 2011: 125).
Soal pilihan ganda merupakan bentuk soal yang jawabannya dapat
dipilih dari beberapa kemungkinan jawaban yang telah disedikan.
Kontruksinya terdiri dari pokok soal dan pilihan jawaban. Pilihan jawaban
terdiri atas kunci dan pengecoh. Kunci jawaban harus merupakan jawaban
benar atau paling benar sedangkan pengecoh merupakan jawaban tidak
14

benar, namun daya jebaknya harus berfungsi, artinya siswa


memungkinkan memilihnya jika tidak menguasai materinya.
Pengembangan soal-soal pilihan ganda dalam penelitian ini berupa
soal pilihan ganda terdiri dari dua bagian: soal, plus satu set jawaban yang
harus dipilih yang benar. Jawaban yang salah disebut distractor
(pengecoh), siswa memilih salah satu jawaban yang tepat.

5. Kaidah Penulisan Tes Pilihan Ganda


Menurut Sudaryono (2012: 123 -124) dalam membuat soal-soal
pilihan ganda, penulis butir soal harus memperhatikan kaidah-kaidah
berikut:
a. Materi
Soal yang dibuat harus sesuai dengan rumusan indikator
pembelajaran dan pilihan jawaban harus berfungsi serta setiap soal
harus mempunyai hanya satu jawaban benar.
b. Konstruksi
Pokok soal yang benar harus dirumuskan secara jelas dan tegas,
merupakan pertanyaan yang diperlukan saja, jangan memberi petunjuk
ke arah yang benar, jangan mengandung pernyataan yang bersifat
negatif ganda, dan tampilan berupa gambar, grafik, tabel, diagram dan
sejenisnya yang terdapat pada soal harus jelas berfungsi.
c. Kaidah Bahasa
Setiap soal harus menggunakan bahasa Indonesia yang benar
sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), menggunakan bahasa yang
komunikatif, dan sesuai dengan jenjang pendidikan peserta didik, dan
tidak menggunakan bahasa yang berlaku setempat/tabu.

6. Kelebihan dan Kelemahan Tes Pilihan Ganda


Sukardi (2011: 125) menyatakan bahwa item tes pilihan ganda
memiliki kelemahan dan kelebihan. Kelebihan tes pilihan ganda
diantaranya:
15

a. Tes pilihan ganda memiliki karakteristik yang baik untuk suatu alat
pengukur hasil belajar siswa. Karakter yang baik tersebut yaitu lebih
fleksibel dalam implementasi evaluasi untuk mengukur tercapai tidaknya
tujuan belajar mengajar.
b. Item tes pilihan ganda yang dikonstruksi dengan inisiatif dapat mencakup
seluruh bahan pembelajaran yang diberikan oleh guru dikelas item tes
pilihan ganda adalah tepat untuk mengukur penguasaan informasi para
siswa yang akan dievaluasi.
c. Item tes pilihan ganda dapat mengukur kemampuan intelektual atau
kognitif, afektif dan psikomotor siswa.
Selain kelebihan, terdapat pula kelemahan tes pilihan ganda,
diantaranya:
a. Konstruksi item tes pilihan lebih sulit serta membutuhkan waktu yang
lebih lama dibanding dengan penyusunan item tes bentuk lainnya
(misalnya uraian, benar-salah atau menjodohkan)
b. Item tes pilihan ganda kurang dapat mengukur kecakapan siswa dalam
mengorganisasi materi hasil pembelajaran
c. Item tes pilihan ganda memberi peluang siswa untuk menerka jawaban

7. Tahap-tahap Pengembangan Tes


Sukmadianata (2012: 190) menyatakan bahwa terdapat tiga
tahapan dalam pengembangan tes, diantaranya : (1) studi pendahuluan
yang meliputi studi literatur, studi lapangan dan penyusunan draf awal
produk; (2) uji coba dengan sampel terbatas (uji coba terbatas) dan uji
coba dengan sampel lebih luas (uji coba lebih luas); dan (3) uji produk
melalui eksperimen dan sosialisasi produk.
Secara global menurut Menurut Adams dan Wieman (2010)
menyatakan bahwa penelitian dan pengembangan evaluasi ini melalui
beberapa tahapan yaitu: Tahap 1. Penggambaran tujuan pengujian dan
ruang lingkup konstruk atau tingkat domain yang akan diukur; Tahap 2.
Pengembangan dan evaluasi dari uji spesifikasi; Tahap 3. Pengembangan,
pengujian lapangan, evaluasi, pemilihan item dan panduan skor dan
16

prosedur, dan Tahap 4. Rapat dan evaluasi dari tes untuk penggunaan
operasional.
Tahapan pengembangan tersebut lebih detail dijelaskan oleh Putra
(2012: 123-127) bahwa langkah-langkah penting yang dapat dilakukan
sebagai berikut.
a. Menentukan tujuan penilaian. Tujuan penilaian sangat penting karena
setiap tujuan memiliki penekanan yang berbeda-beda. Misalnya untuk
tujuan tes prestasi belajar, diagnostik, atau seleksi.
b. Memperhatikan kompetensi yang ada pada silabus, merupakan acuan
atau target utama yang harus dipenuhi, harus diukur melalui setiap
kompetensi dasar yang ada.
c. Menyusun kisi-kisi tes dan menulis butir soal beserta pedoman
penskorannya.

B. Representasi Visual
Presentasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti
penyajian, sedangkan visual dapat diartikan sebagai melihat. Representasi
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sesuatu atau keadaan yang dapat
mewakili, atau menyajikan kembali. Sehingga, representasi visual dapat
diartikan sebagai penyajian kembali objek yang dapat dilihat. Sesuatu yang
dapat dilihat tersebut dapat meliputi teks, gambar, warna, ilustrasi, desain
grafis, grafik, tabel, dan sebagainya (Setiawan, 2014).
Representasi visual tidak hanya menghasilkan tingkat retensi yang lebih
baik pada materi pelajaran yang hanya menggunakan teks namun akan
meningkatkan hasil pemahaman terhadap materi pelajaran dibandingkan
representasi lisan sederhana. Karena siswa memahami fenomena alam yang
lebih baik ketika mempelajari teks dikombinasikan dengan gambar dibanding
dengan ketika mempelajari teks saja (Anagnostopoulou dkk., 2012: 1).
Representasi visual dalam pembelajaran dapat dituangkan dalam bentuk
media. Arsyad (2009: 29) menyatakan bahwa terdapat beberapa jenis
penggunaan media yang dapat diterapkan dalam pembelajaran, yaitu media
17

berbasis manusia, media berbasis cetakan, media berbasis visual, media


berbasis audio-visual, dan media berbasis komputer.
Media berbasis visual (image) memegang perumpamaan yang sangat
penting dalam proses pembelajaran, karena dapat memperlancar pemahaman
(misalnya melalui elaborasi struktur dan organisasi) dan memperkuat ingatan.
Visual dapat pula menumbuhkan minat siswa dan dapat memberikan
hubungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata (kontekstual). Visual
sebaiknya ditempatkan pada konteks yang bermakna agar menjadi efektif, dan
siswa harus berinteraksi dengan mdia visual tersebut agar informasi
tersampaikan.
Bentuk visual dapat berupa gambar representasi seperti gambar, lukisan
atau foto yang menunjukkan bagaimana tampaknya suatu benda; diagram
yang melukiskan hubungan-hubungan konsep, organisasi, dan struktur isi
materi; peta, yang menunjukkan hubungan-hubungan antara unsur-unsur
dalam isi materi; grafik seperti tabel dan bagan (chart) yang menyajikan
gambaran atau kecenderungan data atau antarhubungan seperangkat gambar
atau angka-angka. Terdapat beberapa prinsip umum yang perlu diketahui
untuk membuat media visual menjadi media yang efektif, sebagaimana
dinyatakan oleh Arsyad (2009: 92-93) seperti berikut.
1. Visual itu sesederhana mungkin dengan menggunakan gambar garis,
kartun, bagan, dan diagram.
2. Visual digunakan untuk menekankan informasi sasaran (yang terdapat
dalam teks) sehingga pembelajaran dapat terlaksana dengan baik.
3. Hindari visual yang tak berimbang.
4. Tekankan kejelasan dan ketepatan dalam semua visual.
5. Visual yang diproyeksikan harus dapat terbaca dan mudah dibaca.
6. Visual yang dimaksudkan untuk mengkomunikasikan gagasan khusus
akan efektif jika (a) jumlah objek dalam visual yang akan ditafsirkan
dengan benar sebaiknya terbatas, (b) jumlah aksi terpisah yang penting
harus ditafsirkan dengan benar sebaiknya terbatas, dan (c) semua objek
dan aksi yang dimaksudkan dilukiskan secara realistik sehingga tidak
terjadi penafsiran ganda.
18

7. Unsur-unsur pesan dalam visual itu harus ditonjolkan dan dengan mudah
dibedakan dari unsur-unsur latar belakang untuk mempermudah
pengolahan informasi.
8. Caption (keterangan gambar) harus disiapkan terutama untuk menambah
informasi yang sulit dilukiskan secara visual seperti lumpur misalnya,
memberi nama orang, tempat, atau objek, menghubungkan kejadian atau
aksi dalam lukisan dengan visual sebelum atau sesudahnya, dan
menyatakan apa yang orang dalam gambar itu sedang kerjakan, pikirkan
atau katakan.
9. Warna harus digunakan secara realistik.
10. Warna dan pemberian bayangan digunakan untuk mengarahkan perhatian
dan membedakan komponen-komponen.

Anggraini dan Kirana (2014: 14) menyatakan komunikasi visual adalah


sebuah rangkaian proses penyampaian informasi atau pesan kepada pihak lain.
Penyampaian pesan ini dapat berupa desain, ilustrasi, gambar, dan sebagainya
yang dibuat oleh seseorang dengan tujuan agar orang lain memahami
maksudnya.
Pesan visual berupa gambar dapat menjadi penarik minat belajar siswa
secara efektif, dapat membantu siswa menalar dan mengingat materi yang
berkaitan dengan gambar yang ditampilkan, jika berkaitan dengan materi yang
sifatnya abstrak, gambar dapat membuat siswa lebih memahami materi dengan
baik (Sudjana dan Ahmad, 2011: 12). Penggunaan gambar dan grafik dalam
pembelajaran sebagaimana yang diteliti oleh James W Brown dkk (dalam
Sudjana dan Ahmad: 11) dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Untuk memperoleh hasil belajar siswa secara maksimal, gambar harus erat
kaitannya dengan materi pembelajaran, dan mudah diamati, sederhana,
realistik dan menyatu dengan teks.
2. Gambar-gambar berwarna lebih menarik minat siswa dibandingkan
gambar hitam putih, meskipun gambar-gambar berwarna tidak selamanya
merupakan pilihan terbaik, karena kualitas warna pada gambar diperlukan
untuk gambar yang sifatnya realistik.
19

3. Suatu penyajian visual yang yang sempurna realismenya adalah


pewarnaan, karena pewarnaan pada gambar akan menumbuhkan impresi
atau kesan realistik.

Media visual yang digunakan dalam pembelajaran biasa diistilahkan


dengan grafis, yang berasal dari bahasa Yunani graphikos yang berarti
melukiskan atau menggambarkan garis-garis. Sebagai kata sifat, grafis
diartikan sebagai penjelasan yang hidup, uraian yang kuat atau penyajian yang
efektif. Media grafis meliputi media visual terutama gambar berupa bagan,
diagram, grafik, poster, kartun, dan komik Sudjana dan Ahmad (2009: 27-67).
Gambar fotografi merupakan salah satu media pengajaran yang sangat
dikenal di dalam kegiatan pengajaran (Sudjana danAhmad, 2011: 71). Gambar
fotografi juga sejalan dengan pemikiran Smaldino yang menyebut gambar
fotografi sebagai visual non terproyeksi. Smaldino (2011: 325) membagi
visual dalam proses pembelajaran menjadi visual non terproyeksi dan visual
terproyeksi. Visual non terproyeksi tidak membutuhkan perlengkapan agar
ditampilkan. Visual jenis ini bisa mengubah gagasan abstrak menjadi suatu
format yang lebih realistik. Visual non terproyeksi memungkinkan pengajaran
simbol-simbol abstrak menjadi tingkat yang lebih kongkret. Jenis visual non
terproyeksi terdiri dari gambar diam, gambar (termasuk sketsa dan diagram),
bagan, grafik, poster, dan kartun.
Visual terproyeksi diartikan Smaldino et. al (2011) sebagai visual yang
dapat memusatkan perhatian karena layar berpendar dalam ruangan yang
digelapkan. Gambar merupakan salah satu media visual yang dapat mewakili
suatu keadaan, kejadian dan sebagai media untuk memperjelas teks, sehingga
pemahaman siswa dapat meningkat dengan adanya gambar tersebut. Beberapa
ahli memberi pernyataan tentang gambar, salah satunya adalah Elaine Hodges
serta Haralick dan Shapiro (Indah, 2013). Elaine Hodges mendefinisikan,
“gambar merupakan pengoptimalan dari sebuah output tertentu yang
terkadang dibutuhkan beberapa pencitraan yang bertujuan untuk membuatnya
menjadi lebih baik” sedangkan menurut Haralick dan Shapiro, gambar adalah
sebuah representasi spasial dari fenomena objek, adegan, atau lainnya.
20

C. Kemampuan Berpikir Kritis


Kemampuan merupakan aktivitas atau suatu gejala yang menunjukkan
bahwa seseorang bisa melakukan sesuatu yang diinginkan atau yang ingin
dicapainya. Kemampuan merupakan dasar dari keterampilan. Keterampilan
merupakan kemampuan melaksanakan sesuatu secara efektif dalam keadaan
tertentu (Hassoubah, dalam Kurniasih, 2011: 30).
Edward De Bono menyatakan keterampilan merupakan kemampuan
melaksanakan sesuatu secara efektif dalam keadaan tertentu. Sedangkan
mengenai berpikir Edward De Bono berpendapat bahwa berpikir adalah
keterampilan mental yang memadukan kecerdasan dengan pengalaman.
Edward De Bono (dalam Kurniasih, 2011: 29) berpendapat mengenai berpikir
adalah keterampilan mental yang memadukan kecerdasan dengan pengalaman.
Johnson (dalam Kurniasih, 2011: 32), mengemukakan keterampilan
berpikir dapat dibedakan menjadi berpikir kritis dan berpikir kreatif. Selain
itu, keterampilan berpikir dapat didefinisikan sebagai proses kognitif yang
dipecah-pecah ke dalam langkah-langkah nyata yang kemudian digunakan
sebagai pedoman berpikir. Satu contoh keterampilan berpikir adalah menarik
kesimpulan (inferring), yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk
menghubungkan berbagai petunjuk (clue) dan fakta atau informasi dengan
pengetahuan yang telah dimiliki untuk membuat suatu prediksi hasil akhir
yang terumuskan.
Berpikir tingkat tinggi adalah operasi kognitif yang banyak dibutuhkan
pada proses-proses berpikir yang terjadi dalam short-term memory (Arsyad,
2009). Jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom, berpikir kritis meliputi
analisis dan evaluasi.
Taxonomy Bloom dalam Betsy Moore dan Tood Stanley (dalam
Kurniasih, 2011: 35) dinyatakan sebagai: “Analysis question, sintetis question
and evaluation question can also be asked using a multiple choice format”.
Ini berarti bahwa soal yang berbetuk analisis, sintetis dan evaluasi atau yang
yang merupakan indikator berpikir kritis, bisa dibuat dalam bentuk soal
pilihan ganda. Menurut Sukardi (2011: 36), cara menulis soal yang menuntut
penalaran tinggi adalah:
21

a. Materi yang akan ditanyakan diukur dengan perilaku: pemahaman,


penerapan, sintetis, analisis, atau evaluasi (bukan hanya ingatan).
b. Setiap pertanyaan diberikan dasar pertanyaan atau stimulus agar butir soal
yang ditulis dapat menuntut penalaran tinggi atau berpikir tingkat tinggi,
maka setiap butir soal selalu diberikan dasar pertanyaan (stimulus yang
berbentuk sumber/bahan bacaan seperti : teks bacaan, paragraf, teks drama,
penggalan novel/cerita/dongeng, puisi, kasus, gambar grafik, foto, rumus,
tabel, daftar kata/symbol, contoh, peta, film atau suara yang direkam.

John Dewey (dalam Fisher, 2009: 2) memaknai berpikir kritis sebagai


berpikir reflektif dan mendefinisikannya sebagai pertimbangan yang aktif,
presistent (terus-menerus), dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk
pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan
yang mendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang menjadi
kecenderungannya.
Richard Paul (dalam Fisher, 2009: 4) menyatakan berpikir kritis adalah
metode berpikir mengenai hal, substansi atau masalah apa saja, dimana si
pemikir meningkatkan kualitas pemikirannya dengan menangani secara
terampil struktur-struktur yang melekat dalam pemikiran dan menerapkan
standar-standar intelektual padanya.
Robert Ennis (dalam Fisher, 2009: 4) mendefinisikan berpikir kritis
sebagai pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang berfokus untuk
memutuskan apa yang harus dipercaya atau dilakukan. Jadi, pengambilan
keputusan merupakan berpikir kritis dalam konsepsi Ennis. Pada penelitian
ini, yang diambil untuk diukur hanya kemampuan berpikir kritis siswa.
Adapun indikator berpikir kritis disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 2.1 Indikator Berpikir Kritis menurut Robert Ennis.
No. Kelompok Indikator Sub Indikator
a. Mengidentifikasi atau merumuskan
pertanyaan
Memberikan b. Mengidentifikasi atau
Memfokuskan
1. penjelasan merumuskan kriteria untuk
pertanyaan
sederhana mempertimbangkan kemungkinan
jawaban
c. Menjaga kondisi berfikir
22

a. Mengidentifikasi kesimpulan
b. Mengidentifikasi alasan yang
dinyatakan
c. Mengidentifikasi alasan yang
dinyatakan
d. Melihat persamaan dan perbedaan
Menganalisis
e. Mengidentifikasi dan menangani
argumen
penyimpangan
f. Melihat struktur dari suatu
argumen
g. Membuat ringkasan

a. Mengapa?
b. Apa pokok pikiran utama?
Memberikan c. Apa maksud…?
1 penjelasan d. Apakah contoh dari?
sederhana e. Apakah yang bukan contoh dari?
f. Apa perbedaan dari perlakuan ini?

Bertanya dan g. Bagaimana yang terjadi untuk


menjawab pertanyaan kasus?
klarifikasi dan h. Apakah fakta dari?
pertanyaan yang i. Bagaimana pendapatmu?
menantang j. Akankah kamu melengkapi
pendapat tersebut?

a. Mempertimbangkan keahlian
b. Mempertimbangkan kemenarikan
konflik
c. Mempertimbangkan kesesuaian
sumber
Mempertimbangkan d. Mempertimbangkan reputasi
apakah sumber dapat e. Mempertimbangkan penggunaan
dipercaya atau tidak prosedur yang tepat
Membangun
f. Mempertimbangkan resiko untuk
2. keterampilan
reputasi
dasar
g. Kemampuan untuk memberikan
alas an
h. Kebiasaan berhati-hati
Mengobservasi dan a. Melibatkan sedikit dugaan
mempertimbangkan b. Menggunakan waktu yang singkat
laporan observasi antara observasi dan laporan
c. Melaporkan hasil observasi
Merekam hasil observasi
23

d. Menggunakan bukti-bukti yang


benar
e. Menggunakan akses yang baik
f. Menggunakan teknologi
g. Mempertanggungjawabkan hasil
observasi

Mendeduksi dan a. Siklus logika Euler


mempertimbangkan b. Mengkondisikan logika
hasil deduksi c. Menyatakan tafsiran

a. Mengemukakan hal umum


3. Menyimpulkan b. Mengemukakan kesimpulan dan
hipotesis
Menginduksi dan
c. Mengemukakan hipotesis
mempertimbangkan
d. Merancang eksperimen
hasil induksi
e. Menarik kesimpulan sesuai fakta
f. Menarik kesimpulan dari hasil
menyelidiki
3 Menyimpulkan Membuat dan a. Membuat dan menentukan hasil
menentukan hasil pertimbangan berdasarkan latar
pertimbangan belakang fakta-fakta
b. Membuat dan menentukan hasil
pertimbangan berdasarkan akibat
c. Membuat dan mempertimbangkan
hasil pertimbangan berdasarkan
penarikan fakta
d. Membuat dan menentukan hasil
4. Memberikan Mendefenisikan suatu a. Membuat bentuk defenisi
penjelasan istilah dan b. Strategi membuat defenisi
lanjut mempertimbangkan bertindak memberikan penjelasan
suatu defenisi lanjut
c. Mengidentifikasi dan menangani
ketidakbenaran yang disengaja
membuat isi definisi
Mengidentifikasi a. Penjelasan bukan pernyataan
asumsi-asumsi b. Mengontruksi argument
5. Mengatur Menentukan suatu a. Mengungkap masalah
strategi dan tindakan b. Memilih kriteria untuk
teknik mempertimbangkan solusi yang
mungkin
c. Merumuskan solusi alternatif
d. Menentukan tindakan sementara
e. Mengulang kembali
f. Mengamati penerapannya
Berinteraksi dengan a. Menggunakan argument
orang lain b. Menggunakan strategi logika
c. Menggunakan strategi retorik
24

Sedangkan menurut Fisher, berpikir kritis memiliki beberapa indikator,


antara lain, mengidentifikasi alasan dan kesimpulan: bahasa penalaran,
memahami penalaran: berbagai pola penalaran, memahami penalaran:
asumsi, konteks dan peta berpikir, mengklarifikasi dan menginterpretasi
pernyataan dan gagasan, akseptabilitas alasan: termasuk kredibilitasnya,
menilai kredibilitas sumber dengan terampil, mengevaluasi inferensi:
keshahihan deduktif dan alasan lain, mengevaluasi inferensi: asumsi dan
alasan lain yang relevan, penalaran mengenai sebab-akibat,dan pengambilan
keputusan: opsi, konsekuensi, nilai dan resiko.

D. Soal Pilihan Ganda Berbasis Visual


Soal-soal pilihan ganda yang mengacu pada representasi visual harus
mengandung gambar, grafik, bagan dan lain-lain yang mengacu pada visual.
Penerapan representasi visual yang berupa gambar dimaksudkan untuk
meningkatkan kualitas soal menjadi tingkatan berpikir yang lebih tinggi
(jenjang C4, C5, dan C6), sehingga diharapkan siswa dapat memiliki
kemampuan berpikir yang lebih tinggi, yakni berpikir kritis. Tes pilihan ganda
berbasis visual artinya tes pilihan ganda yang mengandung jenis-jenis visual
seperti gambar, tabel, grafik, komik, atau terkait dengan gambar sehingga
diharapkan kemampuan berpikir kritis siswa akan terlatih.
Adapun jenis-jenis visual tersebut dalam pengaplikasiannya pada soal
juga terkait dengan level visual yang akan digunakan nantinya. Level visual
menurut Anagnostopoulou (2012: 4), level visual di dalam sebuah soal terbagi
atas tiga tingkatan, yaitu: Level 1: Pada tingkat terendah, representasi visual
menampilkan informasi berlebihan terhadap pertanyaan-pertanyaan sendiri.
Grafis tersebut dipandang perlu untuk menjawab pertanyaan karena, tanpa
dukungan grafis, pertanyaan masih bisa dijawab dengan benar.
Level 2: Pada tingkat ini, representasi visual memberikan informasi
parsial yang diperlukan, tetapi tidak cukup, untuk menjawab pertanyaan.
Artinya, siswa harus memperoleh informasi dari representasi visual,
25

pertanyaan verbal, dan pengetahuan mereka sebelumnya dalam rangka untuk


menyelesaikan tugas.
Level 3: Pada tingkat tiga, representasi visual berisi semua informasi
yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan itu. Para siswa harus
menafsirkan dan biasanya mereorganisasi informasi untuk menjawab
pertanyaan itu. Namun, mereka tidak bergantung pada pengetahuan mereka
sebelumnya, tetapi mereka perlu pengetahuan prosedural untuk menghasilkan
jawaban yang memadai.
Hal ini juga sesuai dengan yang dikatakan J. Nitko (dalam Kurniasih,
2011: 25), soal yang termasuk pada kategori keterampilan berpikir tingkat
tinggi yaitu terdapat suatu bacaan berupa materi sebelum pertanyaan, adanya
gambar, grafik, tabel dan juga simbol. Selain itu, beliau juga mencontohkan
soal berpikir tingkat tinggi dengan soal yang berbentuk uraian dan juga pilihan
ganda.
Gardner (dalam Lazear, 2004: 4) berpendapat mengenai kriteria untuk
mengetahui berbagai macam kecerdasan. Gardner mengatakan, “Much of
human representation and communication of knowledge takes place via
symbol systems–curturally contrived systems of meaning which capture
important forms of information. Language, picturing, mathematics are but
three of the symbol systems that have become important the world over for
human survival and human productivity... while it may be possible for an
intellegence to proceed without its own special symbol system, or without
some other culturally devised arena, a primary characteristic of human
intellegence may well be its “natural” gravitation toward embodiment in
symbolic system”
Gardner (dalam Lazer, 2004: 5) mengelompokkan kecerdasan menjadi
8 kelompok utama, yaitu kecerdasan visual-spasial, kecerdasan kinestetik,
kecerdasan logika-matematika, kecerdasan naturalis, kecerdasan musikal,
kecerdasan verbal-linguistik, kecerdaasan interpersonal, dan kecerdasan
interpersonal. Kecerdasan visual-spasial menggunakan berbagai bentuk, foto,
pola, desain, warna, tekstur, gambar-gambar, simbol-simbol visual, and indera
dalam (seperti imajinasi aktif, simulasi, dan visualisasi).
26

Tingkat pemikiran yang lebih tinggi melibatkan integrasi dan sintesis


kecerdasan menjadi satu repertoar mirip yang biasa. Kecerdaan visual-spasial
memiliki beberapa indikator penting, diantaranya gambaran mental,
representasi grafis, imajinasi aktif, mengenali hubungan antar-objek, orientasi
dalam ruang, persepsi akurat dari sudut pandang yang berbeda, dan manipulasi
gambaran mental (Lazear, 2004: 8).
Gambaran mental diidentifikasikan dengan menciptakan gambaran
mental dari hal-hal yang dirasakan di dunia nyata atau dunia eksternal, yang
tidak bisa dibayangkan. Representasi grafis diidentifikasikan dengan
menciptakan ilustrasi konsep visual, proses, ide, dan emosi. Imajinasi aktif
diidentifikasikan dengan membentuk koneksi visual yang mengubah
kekacauan jelas dalam gambar kreatif. Mengenali hubungan antar-objek
diidentifikasikan dengan melihat hubungan antara objek yang berbeda.
Orientasi dalam ruang, diidentifikasikan dengan memahami informasi spasial
dan mendapatkan lokasi geografis yang berbeda di sekitar. Persepsi akurat
dari sudut pandang yang berbeda diidentifikasikan dengan mengenali
persamaan dan perbedaan antara objek dari sudut pandang yang berbeda dan
manipulasi gambaran mental diidentifikasikan dengan menciptakan ilusi
visual seperti perspektif atau mampu mengubah perspektif gambar tiga
dimensi.
Penerapan taksonomi Bloom pada multiple intelligence untuk
kecerdasan visual-spasial, diantaranya dapat dilihat dari aspek dan aktivitas
pada tingkat kegiatan seperti: synthesizing (sintesis), evaluating (evaluasi),
processing (pengolahan), analyzing (analisis), gathering (pengumpulan), dan
understanding (pemahaman).
Visual biasa terdapat dalam buku biologi. Konstruksi pengetahuan dan
pengembangan di bidang ilmu pengetahuan biasanya telah dikaitkan dengan
definisi dan penjelasan gambar dari objek-objek dan suatu fenomena alam.
Sejarah biologi mencatat bahwa, visual memerankan fungsi paling penting
dalam ilmu pengetahuan. Penelitian yang telah dilakukan Wandersee
menunjukkan bahwa para pelajar yang aktif mengubah dan berlatih
menerapkan pengetahuan mereka dari biologi teks menjadi bentuk biologi
27

grafis (dan, sebaliknya, dari grafis menjadi teks) untuk mencapai pemahaman
yang lebih tinggi.
Hayes dan Readence (dalam Wandersee, 2005: 130) telah menunjukkan
gambar dalam teks meningkatkan pemahaman pembelajaran mendalam, serta
teks tergantung pada gambar untuk pemahaman penuh dan mengintegrasikan
pemahaman antara konsep kongkret dan abstrak.
Standar Pendidikan Sains Nasional (National Research Council) di
Amerika Serikat mendukung pandangan penilaian baru, yaitu bahwa penilaian
dan pembelajaran adalah dua sisi mata uang yang sama. Wandersee
sependapat dengan pernyataan tersebut, bahwa pengujian biologi berbasis
gambar selaras dengan pernyataan Standar tersebut dan karena pengujian
biologi berbasis visual memperluas jangkauan kinerja evaluasi sehingga siswa
memiliki kesempatan yang memadai untuk menunjukkan prestasi mereka,
karena visual meningkatkan pemahaman siswa secara mendalam. Hal ini juga
sejalan baik dengan prinsip Science for All Americans bahwa menuntut ilmu
bukti dalam ilmu pengetahuan, penilaian besar ditempatkan pada instrumen
dan teknik pengamatan, dan mengajar (dan pengujian) harus konsisten dengan
sifat ilmiah. Berdasarkan karakteristik tersebut, jelas bahwa gambar dapat
menginformasikan dan memfasilitasi desain item uji (soal) dan konstruksi
biologi berbasis visual.
Teori dual coding adalah prinsip yang menyatakan bahwa teks diproses
dan dikodekan dalam sistem lisan (dari korteks serebral) sedangkan gambar
atau grafis yang diproses baik dalam gambar dan sistem verbal. Teori dual
coding dipandang sebagai cara untuk menjelaskan mengapa memori untuk
gambar mungkin lebih baik daripada teks (Wandersee, 2005: 132).
Penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa gambar berisi informasi
yang tidak terkandung dalam teks, informasi yang ditampilkan dalam gambar
lebih mudah untuk diingat karena dikodekan dalam kedua sistem memori,
bukan hanya teks, dan bahwa konsep verbal dan visual memberikan hubungan
dapat memperkuat ingatan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa soal-soal berbasis
visual dapat digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif siswa yang lebih
28

tinggi. Penerapan visual dalam soal-soal pilihan ganda dapat menjadikan soal
mampu untuk mendorong dan mengukur sejauh mana kemampuan berpikir
kritis siswa.

E. Analisis Materi Sel


Sel adalah unit fungsi yang paling sederhana yang memiliki berbagai macam
bentuk variasi namun memiliki fungsi yang sama, memiliki tiga struktur utama yaitu
membran plasma, nukleus dan sitoplasma. Struktur tersebut dapat melaksanakan
semua kegiatan dalam sebuah sistem yang berkaitan dengan kehidupan (Champbell
dkk, 2008: 102, Solomon dkk, 2008: 73).
Sel memiliki organel-organel yang sangat penting dalam menjalankan
fungsinya diantaranya ada yang memiliki dua lapis membran dan ada yang memiliki
satu lapis membran. Organel yang memiliki satu lapis membran diantaranya vakuola,
reticulum endoplasma, ribosom, apparatus Golgi, dan lisosom. Organel yang
memiliki dua lapis membran misalnya mitokondria dan kloroplas.

F. Penelitian Terdahulu yang Relevan


Pertama, penelitian Rini Sulastri (2014), Pengembangan Soal-Soal
Pilihan Ganda pada Pokok Bahasan Sistem Reproduksi untuk Mengukur
Kemampuan Berargumen Siswa Kelas XI Semester II, Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengembangkan penelitian tentang pengembangan tes hasil
belajar pada pokok bahasan Sistem Reproduksi, untuk mengetahui validasi
secara logis dan validasi secara empiris, dan kriteria argumen setiap siswa.
Tes yang dikembangkan oleh penulis adalah tes objektif pilihan ganda untuk
mengukur kemampuan berargumen siswa dengan jumlah soal awal 90 soal,
hasil dengan menggunakan software TAP pada uji coba terbatas menghasilkan
soal valid sebanyak 45 soal, pada uji coba lapangan 1 menghasilkan 30 soal
yang valid, pada uji coba lapangan 2 menghasilkan 19 soal yang valid dengan
konsistensi realibilitas tes yang baik dengan rata-rata realibilitas keseluruhan
uji coba mendapatkan 0,52 (sedang) serta kemampuan berargumen siswa lebih
kearah mengklasifikasi dan menganalisis.
Kedua, penelitian Linda Kurniasih (2011), Pengembangan Soal-Soal
Pilihan Ganda pada Konsep Sistem Ekskresi untuk Menilai Keterampilan
29

Berpikir Tingkat Tinggi Siswa, bertujuan untuk mengetahui hasil analisis


secara teoritik dalam pengembangan soal-soal pilihan ganda pada konsep
sistem ekskresi untuk menilai keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa dan
mengetahui hasil analisis secara empirik dalam pengembangan soal-soal
pilihan ganda pada konsep sistem ekskresi untuk menilai keterampilan
berpikir tingkat tinggi siswa serta efektifitas soal dalam kegiatan evaluasi
pembelajaran. Hasil penelitian berupa efektifitas dari pengembangan soal-soal
pilihan ganda pada konsep sistem ekskresi untuk menilai keterampilan
berpikir tingkat tinggi siswa yang efektif untuk tingkat reliabilitas, tingkat
kesukaran dan tingkat signifikansi, kecuali pada tingkat pengecoh atau
distraktor. Hal itu karena hasil pengembangan menunjukkan presentase butir
soal yang tidak efektif pengecohnya lebih besar dari presentase butir soal yang
efektif tingkat pengecohnya.
Ketiga, penelitian Wendy K. Adams dan Carl E. Wieman (2010),
Development and Validation of Instruments to Measure Learning of Expert-
Like Thinking, bertujuan untuk membuat dan memvalidasi tes penilaian yang
mengukur efektivitas instruksi dengan menelusuri seberapa baik instruksi
yang menyebabkan siswa dalam satu kelas untuk berpikir seperti para ahli
tentang bidang-bidang ilmu pengetahuan tertentu. Hasilnya, prinsip-prinsip
desain dan proses itu menunjukkan bagaimana ini sejalan dengan standar
profesional yang telah ditetapkan untuk pendidikan dan tes psikologi dan
unsur-unsur penilaian baru-baru ini disebut dalam Penelitian Nasional Dewan
studi tentang penilaian.
Keempat, penelitian A. L. Chandrasegara, David F. Treagust and Mauro
Mocerino (2007), The Development of a Two-Tier Multiple-Choice Diagnostic
Instrument for Evaluating Secondary School Students’ Ability to Describe and
Explain Chemical Reactions using Multiple Levels of Representation. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan alat diagnostik pilihan ganda
dua tingkat untuk menilai pemahaman siswa berusia 15 sampai 16 tahun di
kelas 9 dan kelas 10, sehingga mereka mampu menjelaskan perubahan yang
diamati dalam reaksi kimia (representasi makroskopik) dalam hal atom,
30

molekul, dan ion (representasi submicroscopik) serta dengan penggunaan


simbol-simbol kimia, rumus dan persamaan (representasi simbolik).
Kelima, penelitian Walan Setia Pangastuti (2013), Pengembangan Alat
Evaluasi Berbasis Berpikir Kritis pada Materi Sistem Gerak di SMA,
penelitian ini bertujuan mengembangkan dan mengetahui kelayakan alat
evaluasi menurut validator serta mengetahui karakteristik butir dan tes alat
evaluasi berbasis berpikir kritis pada materi sistem gerak yang dikembangkan.
Hasilnya alat evaluasi berbasis berpikir kritis pada materi sistem gerak di
SMA. Hasil pengembangan alat evaluasi dinyatakan sangat layak oleh
validator. Analisis daya pembeda, tingkat kesukaran dan reliabilitas alat
evaluasi yang dikembangkan baik. Daya pembeda soal ≥0,3, tingkat kesukaran
soal antara 0,3-0,7 sebanyak 12 item, reliabilitas soal pilihan ganda 0,63 dan
uraian 0,61.

Anda mungkin juga menyukai