Kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang mengandung kata dasar value "nilai".
Kata value atau nilai dalam istilah evaluasi berkaitan dengan keyakinan bahwa sesuatu hal itu baik
atau buruk, benar atau salah, kuat atau lemah, cukup atau belum cukup, dan sebagainya. Evaluasi
dapat diartikan sebagai suatu proses mempertimbangkan suatu hal atau gejala dengan
mempergunakan patokan-patokan tertentu yang bersifat kualitatif, misalnya baik-tidak baik, kuat
lemah, memadai-tidak memadai, tinggi rendah, dan sebagainya.
Istilah evaluasi dikemukakan oleh beberapa pakar evaluasi. Menurut Carl H. Witherington
(1952) dalam Arifin (2013:5), “an evaluation is a declaration that something has or does not have
value.” Hal senada dikemukakan oleh Wand dan Brown (1957) dlam Arifin (2013:5), bahwa
evaluasi berarti “…refer to the act or process to determining the value of something.” Kedua
pendapat ini menegaskan pentingnya nilai (value) dalam evaluasi. Padahal dalam evaluasi bukan
hanya berkaitan dengan nilai tetapi juga arti atau makna.
Menurut Gilbert Sax (1980:18) dalam Arifin (2013:5) bahwa “evaluation is a process through
which a value judgement or decision is made from a variety of observation and from the
background and training of the evaluator.”
Dari beberapa rumusan tentang evaluasi ini, dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya evaluasi
adalah suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas (nilai dan arti)
dari sesuatu, berdasarkan pertimbangan dan criteria tertentu dalam rangka pembuatan keputusan.
Berdasarkan pengertian ini, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan lebih lanjut, yaitu: (Arifin,
2013: 5)
1. Evaluasi adalah suatu proses bukan suatu hasil (produk). Hasil yang diperoleh dari kegiatan
evaluasi adalah kualitas sesuatu, baik yang menyangkut tentang nilai atau arti, sedangkan
kegiatan untuk sampai pada pemberian nilai dan arti itu dalah evaluasi.
2. Tujuan evaluasi adalahuntuk menentukan kualitas sesuatu, terutama yang berkenaan dengan
nilai dan arti.
3. Dalam proses evaluasi harus ada pertimbangan (judgement). Melalui pertimbngan inilah
ditentukan nilai dan arti dari sesuatu yang sedang dievaluasi.
4. Pemberian pertimbangan tentang nilai berdasarkan criteria tertentu.
Kata dasar pembelajaran adalah belajar. Dalam arti sempit, pembelajaran dapat diartikan
sebagai suatu proses atau car yang dialkukan agar seseorang dapat melakukan kegiatan belajar,
sedangkan belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku karena interaksi individu dengan
lingkungan dan pengalaman. (Arifin, 2013:6)
1. Pembelajaran adalah suatu program.
2. Pembelajaran harus efektif dan efisien
3. Pembelajaran bersifat interaktif dan komunikatif
4. Dalam pembelajaran harus dapat menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya
kegiatan pembelajaran.
5. Proses pembelajaran dimaksudkan agar guru dapat mencapai tujuan pembelajaran dan peserta
didik dapat menguasai kompetensi yang telah ditetapkan.
Dalam proses pembelajaran, guru akan mengatur seluruh rangkaian kegiatan pembelajaran,
mulai dari membuat desain pembelajaran, melaksanakan kegioatan pembelajaran, bertindak
mengajar atau membelajarkan, melakukan evaluasi pembelajaran, termasuk proses dan hasil
belajar yang berupa “dampak pengajaran”. Peran peserta didik adalah bertindak belajar dan
menggunkan hasil belajar, yaitu mengalami proses belajar, mencapai hasil belajar, dan
menggunkan hasil belajar yang digolongkan sebagi dampak pengiring. Melalui belajar, maka
kemampuan mental peserta didik semakin meningkatkat. Hal itu sesuai dengan perkembangan
peserta didik yang beremansipasi diri sehingga menjadi utuh dan mandiri. (Arifin, 2013:12)
Arifin (2013:9) mengemukakan pengertian evaluasi pembelajaran adalah suatu proses atau
kegiatan yang sistematis, berkelanjutan, dan menyeluruh dalam rangka pengendalian,
penjaminan, dan penetapan kualitas (nilai dan arti) terhadap berbagai komponen pembelajaran,
berdasarkan pertimbangan dan criteria tertentu, sebagai bentuk pertanggungjawaban guru dalam
melaksanakan pembelajran.
C. Karakteristik Evaluasi
Secara sederhana, Zainal Arifin (2011 : 69) mengemukakan karakteristik instrumen evaluasi
yang baik adalah “valid, reliabel, relevan, representatif, praktis, deskriminatif, spesifik dan
proporsional”.
1. Kevalidan
Valid artinya suatu alat ukur dapat dikatakan valid jika betul-betul mengukur apa yang
hendak diukur secara tepat. Misalnya, alat ukur matapelajaran Ilmu Fiqih, maka alat ukur
tersebut harus betul-betul dan hanya mengukur kemampuan peserta didik dalam mempelajari
Ilmu Fiqih, tidak boleh dicampuradukkan dengan materi pelajaran yang lain. Validitas suatu
alat ukur dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain validitas ramalan (predictive validity),
validitas bandingan (concurent validity), dan validitas isi (content validity), validitas konstruk
(construct validity), dan lain-lain.
2. Realible
Reliabel artinya suatu alat ukur dapat dikatakan reliabel atau handal jika ia mempunyai
hasil yang taat asas (consistent). Misalnya, suatu alat ukur diberikan kepada sekelompok
peserta didik saat ini, kemudian diberikan lagi kepada sekelompok peserta didik yang sama
pada saat yang akan datang, dan ternyata hasilnya sama atau mendekati sama, maka dapat
dikatakan alat ukur tersebut mempunyai tingkat reliabilitas yang tinggi.
3. Relevan
Relevan artinya alat ukur yang digunakan harus sesuai dengan standar kompetensi,
kompetensi dasar, dan indikator yang telah ditetapkan. Alat ukur juga harus sesuai dengan
domain hasil belajar, seperti domain kognitif, afektif, dan psikomotor. Jangan sampai ingin
mengukur domain kognitif menggunakan alat ukur non-tes. Hal ini tentu tidak relevan.
4. Representatif
Representatif artinya materi alat ukur harus betul-betul mewakili dari seluruh materi yang
disampaikan. Hal ini dapat dilakukan bila guru menggunakan silabus sebagai acuan pemilihan
materi tes. Guru juga harus memperhatikan proses seleksi materi, mana materi yang bersifat
aplikatif dan mana yang tidak, mana yang penting dan mana yang tidak.
5. Praktis
Praktis artinya mudah digunakan. Jika alat ukur itu sudah memenuhi syarat tetapi sukar
digunakan, berarti tidak praktis. Kepraktisan ini bukan hanya dilihat dari pembuat alat ukur
(guru), tetapi juga bagi orang lain yang ingin menggunakan alat ukur tersebut.
6. Deskriminatif
Deskriminatif artinya adalah alat ukur itu harus disusun sedemikian rupa, sehingga dapat
menunjukkan perbedaan-perbedaan yang sekecil apapun. Semakin baik suatu alat ukur, maka
semakin mampu alat ukur tersebut menunjukkan perbedaan secara teliti. Untuk mengetahui
apakah suatu alat ukur cukup deskriminatif atau tidak, biasanya didasarkan atas uji daya
pembeda alat ukur tersebut.
7. Spesifik
Spesifik artinya suatu alat ukur disusun dan digunakan khusus untuk objek yang diukur.
Jika alat ukur tersebut menggunakan tes, maka jawaban tes jangan menimbulkan ambivalensi
atau spekulasi.
8. Proporsional
Proporsional artinya suatu alat ukur harus memiliki tingkat kesulitan yang proporsional
antara sulit, sedang dan mudah. Begitu juga ketika menentukan jenis alat ukur, baik tes maupun
non-tes.
Kedua, untuk Akreditasi satuan pendidikan artinya kegiatan penilaian kelayakan program dalam
satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
E. Prinsip Evaluasi
Untuk memeperoleh hasil evaluasi yang lebih baik, maka kegiatan evaluasi harus bertitik tolak
dari prinsip-prinsip umum sebagai berikut. (Arifin, 2013:30)
1. Kontinuitas
Evaluasi tidak boleh dilakukan secara incidental karena pembelajaran itu sendiri adalah suatu
proses yang kontinu. Oleh sebab itu, evaluasi pun harus dilakukan secara kontinu.
2. Komprehensif
Dalam melakukan evaluasi terhadap suatu objek, guru harus mengambil seluruh objek itu
sebagi bahan evaluasi. Misalnya, jika objek evaluasi itu adalah peserta didik, maka seluruh
aspek kepribadian peserta didik itu harus dievaluasi.
3. Adil dan objektif
Dalam melaksankan evaluasi, guru harus berlaku adil tanpa pilih kasih. Semua peserta didik
harus diberlakukan sama tanpa “pandang bulu”. Guru juga hendaknya bertindak secra objektif,
apa adanya sesuai dengan kemampuan peserta didik.
4. Kooperatif
Dalam kegiatan evaluasi guru hendaknya bekerja sama dengan semua pihak, seperti orang tua
peserta didik, sesame guru, kepala sekolah, termask dengan pesertan didik itu sendiri.
5. Praktis
Praktis mengandung arti mudah digunakan, baik oleh guru itu sendiri yang menyusun alat
evaluasi maupun orang lain yang akan menggunakan alat tersebut.
Arikunto (2011:38) mengemukakan ada satu prinsip umum dan penting dalam kegiatan
evaluasi, yaitu adanya triangulasi atau hubungan erat tiga komponen, yaitu :
1. Tujuan pembelajaran
2. Kegiatan pembelajaran (KBM)
3. Evaluasi
KBM Evaluasi
Penjelasan dari triangulasi tersebut adalah sebagai berikut.
Meskipun pada umumnya di Indonesia kurikulum sekolah disusun secara nasional dan berlaku
untuk semua sekolah yang sejenis dan setingkat, guru-guru dapat ikut serta menyusun kurikulum,
atau duduk dalam panitia penyusun kurikulum, atau setidak-tidaknya memberikan saran dan
pendapatnya. Sebaliknya, panitia penyusun kurikulum biasanya mencari rnasukan-masukan dari
para pelaksana kurikulum di lapangan, termasuk para pengawas-penilik, kepalasekolah, dan guru-
guru. Demikianlah betapa penting peranan dan fungsi evaluasi bagi pengembangan dan perbaikan
kurikulum.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal. 2013. Evaluasi Pembelajaran. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Arikunto, Suharsimi. 2012. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.