Anda di halaman 1dari 2

Kisah Bilal bin Rabah

Pada masa awal Islam, ada sejumlah sahabat nabi yang tergolong assabiqunal awwalun
atau orang-orang yang pertama kali berserah diri kepada Allah SWT. Salah satunya adalah
Bilal bin Rabah, yang merupakan muazin di zaman Rasulullah dan dulunya adalah hamba
sahaya.
Bilal lahir di daerah As-Sarah, sekitar 34 tahun sebelum peristiwa hijrah Nabi SAW, melansir
Sirah 65 Sahabat Rasulullah karya Abdurrahman Ra'fat Al-Basya. Ayahnya dipanggil Rabah,
dan sang ibu bernama Hamamah. Ibunya ini adalah seorang budak wanita berkulit hitam
dari Habsyah yang tinggal di wilayah Makkah, sebab itu Bilal kerap disebut Ibnu Sauda
(putranya budak hitam).

Sejak dalam kandungan, Bilal mewarisi status sebagai hamba sahaya. Ketika ia tumbuh
besar, Bilal dimiliki oleh keluarga Bani Abdiddar. Adapun setelah ayahnya wafat, Bilal
diwasiatkan kepada Umayah bin Khalaf, seorang pemuka Quraisy.

Mendengar Perbincangan tentang Muhammad SAW


Awalnya, Bilal sering menguping pembicaraan akan Rasulullah melalui tuannya, Umayah
bersama para kawannya. Mereka sering mengutarakan kebencian, perkataan buruk,
tuduhan, hingga kemarahan mengenai Nabi SAW.

Di sisi lain, ia juga mendengar pengakuan mereka akan kejujuran, amanah, serta kemuliaan
yang dimiliki Rasulullah. Bilal turut menangkap percakapan tentang sifat-sifat terpuji yang
dimiliki Muhammad SAW, seperti akhlaknya, keberaniannya, dan kecerdasannya.

Bilal mengetahui alasan mereka menentang dakwah Nabi SAW itu; di mana mereka setia
akan agama nenek moyangnya, kekhawatiran akan mengancam kaum Quraisy, serta rasa
dengki mereka lantaran utusan terakhir Allah SWT muncul di Bani Hasyim, bukan dari
kalangan mereka.

Keislaman Bilal bin Rabah


Suatu hari, Bilal menemukan cahaya kebenaran di jiwanya. Kemudian ia segera mendatangi
Muhammad SAW dan berserah diri. Tak lama, berita masuk Islamnya Bilal meluas hingga
terdengar di telinga tuannya, Umayah bin Khalaf.

Kenyataan bahwa budaknya memeluk Islam, menjadi tamparan keras dan aib yang bisa
menjatuhkan kehormatan suku mereka. Dengan keangkuhannya itu, Umayah berkata,
"Meski begitu, tidaklah masalah karena matahari yang terbit hari ini tidak akan tenggelam,
kecuali bersama tenggelamnya Islam dari budak yang durhaka ini."

Penyiksaan Bilal oleh Tuannya


Kisah bilal ini bisa diambil hikmah yang berarti, di mana rasa keyakinan (iman) terhadap
Allah SWT tidak bisa dijual dengan apa pun, meskipun banyak penderitaan yang dialami.

Suatu ketika Bilal dibawa kemudian digeletakkan di atas bara api agar ia mau
meluruhkan kepercayaan agamanya itu. Tetapi ia menolak, dan lebih memilih Islam
beserta Rasulullah.

Suku Quraisy juga pernah menghantarkan Bilal bin Rabah ke padang pasir yang kala
itu sangat amat panas. Mereka melemparkan Bilal ke atas pasir dalam kondisi tak
berpakaian. Setelahnya mereka juga menyiapkan batu besar selayaknya bara api
untuk menindihkannya ke badan Bilal.

Penganiayaan bengis itu dilakukan setiap hari hingga beberapa dari mereka merasa
terenyuh akan penderitaan Bilal itu. Mereka menyatakan akan membiarkan Bilal, bila
ia mau memuji nama Tuhan dan Berhala mereka.

Namun Bilal tetap berpegang teguh pada imannya, dan ia enggan mengucapkan satu
kata pun. Bilal menolakya, dan justru mengulang-ulang lafaz: "Ahad...Ahad..."

Mereka memaki Bilal, dan seraya mengajarkan: "Sebutlah nama Lata dan Uzza!"

Dan tetap saja Bilal menuturkan, "Ahad...Ahad..."

Mereka terus memaksa Bilal, "Katakanlah sesuai yang kami ucapkan!"

Dengan kesungguhannya, ia menjawab, "Lidahku tidak bisa mengucapkan itu."

Mendengar Bilal yang seperti itu, mereka mengikat lehernya, dan menyeretnya
melewati perbukitan. Dalam keadaan seperti itu saja, Bilal tak melewatkan
senandungnya: "Ahad...Ahad..."

Kemudian mereka berkata," Besok katakanlah ujaran yang baik untuk tuhan kami,
agar kami bisa melepaskanmu. Kami sudah lelah menyiksamu, seolah kami sendirilah
yan sedang disiksa!"

Keesokan harinya tiba, Bilal masih saja diseret dan disiksa sebab ia enggan
mengucapkan apa yang mereka suruh, serta tetap melafalkan "Ahad...Ahad..."

Kemudian datanglah Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan berkata."Apakah kalian akan membunuh
seseorang karena ia berkata: 'Tuhanku adalah Allah'?"

Abu Bakar menambahkan dan berkata kepada Umayah bin Khalaf, tuannya Bilal. "Ambillah
harga tebusan yang lebih tinggi dan biarkan ia bebas!"

Umayah begitu senang dan beruntung, lantaran Abu Bakar menawarkan harga pembebasan
untuk Bilal bin Rabah. Ia menyadari bahwa menjual Bilal lebih menguntungkan daripada
membunuhnya, akhirnya mereka menjual Bilal kepada Abu Bakar. Dan Abu Bakar segera
memerdekakan Bilal saat itu juga.

Karena inilah Umar bin Khaththab selalu berkata, "Abu Bakar adalah junjungan kita yang
telah memerdekakan tuan kita."

Yang dimaksud tuan oleh Umar di sini adalah Bilal bin Rabah, tentu bukan tanpa sebab,
melainkan Bilal adalah seseorang yang terhormat, agung, yang tetap mempertahankan
imannya meski ditimpa penderitaan.

Anda mungkin juga menyukai