Anda di halaman 1dari 18

TUGAS INDIVIDU

MEMBUAT TEKS DAILY ACTIVITY

Diajukan untuk memenuhi Mata Kuliah menulis

Dosen Pengampu: Fithry Muthmainnah, M.Pd.

Disusun Oleh

1. Mubarok 9988201089

Semester 3 kelas C

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
NAHDLATUL ULAMA INDRAMAYU
2023
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
tanpa Rahmat dan Ridho-Nya kita tidak bisa menyelesaikan Makalah ini dengan
tepat waktu dan benar. Tujuan penulisan Makalah ini untuk memberikan wawasan
mengenai Pendekatan Berorientasi Psikologi Humanistik, Pendekatan
Berorientasi Maksud Tertentu

Tak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Fithry Muthmainnah,
M.Pd selaku Dosen pengampu Mata Kuliah Kurikulum Bahasa dan Sastra
Indonesia yang telah membimbing kami dalam pengerjaan tugas Makalah ini.
Kami harap pembaca mendapatkan wawasan mengenai Pendekatan Berorientasi
Psikologi Humanistik, Pendekatan Berorientasi Maksud Tertentu. Kami sadar di
dalam pembuatan Makalah ini terdapat beberapa kesalahan maupun kekurangan,
untuk itu kami harap adanya kritik dan saran untuk membangun dari Teman
maupun Dosen, demi tercapainya Makalah yang baik dan benar.

Kami berharap semoga Makalah ini dapat memberi informasi yang


berguna bagi pembaca, terutama mahasiswa dan kita termasuk penerus Bangsa
Indonesia.

Indramayu, Mei 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................3

2.1 Urgensi Pendekatan Humanistik .........................................................3

2.2 Pendekatan Berorientasi Psikologis-Humanistik.................................3

2.3 Pendekatan Berorientasi Maksud Tertentu..........................................4

BAB III PENUTUP...........................................................................................12

3.1 Simpulan ...........................................................................................12

3.2 Saran ..................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 13
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang kompleks terpaku pada aspek tertentu yang
menjadi pusat perhatiannya, dalam prakteknya pola berfikir lebih induktif,
mementingkan pengalaman serta membutuhkan keterlibatan secara aktif dalam
proses pembelajaran. Pendekatan Pembelajaran humanistik memandang manusia
sebagai subyek yang bebas untuk menentukan arah hidupnya. Manusia
bertanggung jawab atas hidupnya terhadap orang lain. Teori belajar Humanistik
pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusiakan manusia.

Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator untuk


memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas fasilitator. Implikasi
kecerdasan ganda sebagai bagian dari teori humanistik adalah sebagai berikut:
Pendidikan harus memerhatikan semua kemampuan intelektual, pendidikan
harusnya individual, memotivasi siswa, sekolah memfasilitasi siswa
mengembangkan inteligensi ganda, evaluasi proses harus lebih kontekstual, proses
pembelajaran dapat terjadi dimana dan kapan saja.
Psikologi humanistik sangat relevan dengan dunia pendidikan, karena aliran
ini selalu mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui penghargaannya
terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan. Seiring dengan
perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan pun senantiasa berubah.
Dengan adanya perubahan dalam strategi pendidikan dari waktu ke waktu,
humanistik memberikan arahan yang signifikan dalam pencapaian tujuan
pendidikan. Teori belajar humanistik merupakan proses belajar yang harus
berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri.
Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika si pelajar
memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya
harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan
sebaik-baiknya.
Aliran humanistik muncul pada tahun 1940-an sebagai reaksi ketidakpuasan
terhadap pendekatan psikoanalisa dan behavioristik. Sebagai sebuah aliran dalam
psikologi, aliran ini boleh dikatakan relatif masih muda, bahkan beberapa ahlinya
masih hidup dan terus-menerus mengeluarkan konsep yang relevan dengan bidang
pengkajian psikologi, yang sangat menekankan pentingnya kesadaran, aktualisasi
diri, dan hal-hal yang bersifat positif tentang manusia. Menurut teori humanistik,
proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan
manusia itu sendiri.
Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih
mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari pada
bidang kajian psikologi belajar. Teori humanistik sangat mementingkan isi yang
dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri serta lebih banyak berbiacara tentang
konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta
tentang proses belajar dalam bentuk yang paling ideal. Faktor motivasi dan
pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa
motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi
pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimilikinya.
Teori humanistic berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat
dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai
aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar, secara
optimal. Teori humanistik bersifat sangat eklektik yaitu memanfaatkan atau
merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan
manusia dan mencapai tujuan yang diinginkan karena tidak dapat disangkal
bahwa setiap teori mempunyai kelebihan dan kekurangan.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana Urgensi Pendekatan Humanistik?
1.2.2 Bagimana Pendekatan Berorientasi Psikologis-Humanistik?
1.2.3 Bagaimana Pendekatan Berorientasi Maksud Tertentu?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk Mengetahui Urgensi Pendekatan Humanistik.
1.3.2 Untuk Mengetahui Pendekatan Berorientasi Psikologis-Humanistik.
1.3.3 Untuk Pendekatan Berorientasi Maksud Tertentu.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Urgensi Pendekatan Humanistik.

Menurut Somantrie dalam Abdullah Idi, bahwa pada pendekatan


humanistik prioritasnya adalah pengalaman belajar yang diarahkan terhadap
tanggapan minat, kebutuhan dan kemampuan anak. Permasalahan yang perlu
disadari adalah bahwa materi bukanlah tujuan. Dengan demikian, keberhasilan
pendidikan tidak semata-mata diukur dengan lancarnya proses transmisi nilai-nilai
(dalam hal ini materi pelajaran yang terformat dalam kurikulum), melainkan lebih
dari sekadar hal itu.

Pendidikan di negeri ini rupanya salah urus. Sekolah sebagai institusi


pendidikan pada faktanya justru memenjarakan pikiran, membelenggu kreativitas,
dan pada gilirannya hanya membuat manusia menjadi pembebek. Pendidikan
tidak mampu mengantarkan manusia menjadi dirinya sendiri. Pendidikan tidak
memanusiakan manusia. Sebaliknya, pendidikan semakin memperkuat proses
dehumanisasi. Kenyataan ini dapat dilihat, di antaranya dari proses pembelajaran
di sekolah yang tidak demokratis-humanistik. Minimnya ruang bagi peserta didik
untuk bereksperimen, bereksplorasi dan imagine. Kreatif yang berakar pada
kemampuan peserta didik menjadi barang langka. Padahal, kreativitas dan
kemampuan berpikir kritis peserta didik merupakan kecakapan yang menjadi
modal anak agar mampu menghadapi tantangan yang lebih kompetitif. Sekolah
benar-benar menjadi penjara bagi siswa. Dengan dalih kedisiplinan, guru
memotong rambut siswa yang kepanjangan. Guru menendang kaki siswa karena
sepatu tidak seragam. Menyelupkan sepatu ke dalam ember, lalu memaksa siswa
tersebut untuk memakainya. Semua dilakukan dengan dalih untuk menegakkan
kedisiplinan (Ahsin, 2007; 17). Dalam sistem pendidikan di negeri ini, peserta
didik tidak dianggap sebagai subyek. Peserta didik masih saja menjadi objek.
Mereka diposisikan sebagai orang yang tertindas, orang yang tidak tahu apa-apa,
orang yang harus dikasihani. Oleh karenanya siswa harus dijejali dan disuapi.
Di sekolah, setiap hari indoktrinasi dan brainwashing terus saja terjadi
terhadap anak-anak. Anak-anak terus saja dianggap sebagai ’keranjang sampah’
yang siap dijejali apa saja. Sekian lama, anak-anak sebagai generasi bangsa hanya
dituntut untuk menghafal, tanpa adanya kesempatan untuk mengembangkan daya
eksplorasi dan kreativitasnya. Anak-anak dipasung kebebasannya, tidak lagi
dilihat sebagai anak, akan tetapi sebagai robot, beo, dan kader politik mini yang
hanya tahu melaksanakan perintah ‘tuannya’. Melalui sistem dan proses
pembelajaran di atas, mustahil tugas utama pendidikan dapat tercapai. Tugas
utama pendidikan adalah ’memanusiakan’ kembali manusia yang mengalami
’dehumanisasi’ karena sistem dan struktur yang tidak adil (Topatimasang, dkk.,
2005; 9). Sebab itu, perlu dilakukan upaya-upaya strategis untuk melakukan
refleksi kritis terhadap sistem dan ’ideologi dominan’ yang tengah berlaku di
dunia pendidikan, serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan sistem
alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu tatanan dan sistem yang lebih
adil. Dampak nyata dari model, sistem dan proses pendidikan yang demikian,
maka anak-anak tidak berproses mekar menjadi diri mereka sendiri, melainkan
menjadi objek bahkan robot, komoditas bagi kepentingan orang tua, industri
maupun penguasa. Model pendidikan seperti ini, sungguh tidak manusiawi. Alih-
alih “memanusiakan”, justru sebaliknya terjadi proses dehumanisasi di sana. Suatu
kondisi yang sungguh sangat memprihatinkan. Itulah sebabnya mengupayakan
pendidikan yang demokratis-humanistik adalah sebuah keniscayaan. Perlu usaha
yang serius untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang demokratis dan
humanis. Model pendidikan yang dibutuhkan saat ini adalah model pendidikan
yang mampu mengembangkan sisi kemanusiaan anak didik. Model yang
dimaksud adalah model pendidikan yang demokratis, partisipatif, dialogis dan
humanis yaitu adanya suasana saling menghargai, adanya kebebasan berbicara
dan berpendapat, kebebasan mengungkapkan gagasan, adanya keterlibatan peserta
didik dalam berbagai aktivitas di sekolah, dan kemampuan hidup bersama dengan
teman yang mempunyai pandangan berbeda.

Oleh karena itu, paradigma pembelajaran dan pendidikan seyogianya


merupakan sebuah paradigma pembelajaran yang sedari tingkat filosofis, strategi,
pendekatan proses dan teknologi pembelajarannya menuju ke arah pembebasan
anak didik dengan segala eksistensinya. Dengan demikian, anak didik bisa bebas
mewujudkan keseluruhan potensi dan kecerdasan gandanya yang unik. Teori
kecerdasan yang saat ini menjadi acuan dalam mengembangkan potensi anak
adalah teori kecerdasan Howard Gardner yang merumuskan konsep multiple
intelligence. Gardner memunculkan 8 macam kecerdasan yang menurutnya
bersifat universal. Kedelapan kecerdasan tersebut antara lain:

1) kecerdasan linguistik, menunjukkan kemampuan anak dalam mengolah


bahasa, membuat suatu kalimat, mudah memahami kata-kata, dan menjadikannya
sesuatu yang indah.

2) kecerdasan logis-matematik, menunjukkan kemampuan anak dalam


pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan angka-angka dan pemikiran
logis.

3) kecerdasan dimensi-ruang (spatial), menunjukkan kemampuan anak


dalam memahami perspektif ruang dan dimensi.

4) kecerdasan musical, menunjukkan kemampuan anak dalam menyusun


lagu, menyanyi, memainkan alat musik dengan sangat baik.

5) kecerdasan kelincahan tubuh (kinestetik), menunjukkan kemampuan


anak di dalam aktivitas olah raga, atletik, menari dan kegiatan-kegiatan yang
membutuhkan kelincahan tubuh.

6) kecerdasan interpersonal, menunjukkan kemampuan anak dalam


berhubungan dengan orang lain.

7) kecerdasan intrapersonal, menunjukkan kemampuan anak dalam


memahami dirinya sendiri.

8) kecerdasan naturalis, menunjukkan kemampuan anak dalam memahami


gejala-gejala alam, memperlihatkan kesadaran ekologis, dan menunjukkan
kepekaan terhadap bentuk-bentuk alam (Gardner, Howard & Bruce Torff, 1999;
105). Pendekatan humanistik dalam proses pembelajaran menjadi penting untuk
mengungkap dan mengembangkan potensi anak didik. Mewujudkan pendidikan
humanistik memang bukanlah pekerjaan yang gampang, semudah membalikkan
telapak tangan. Berbagai kendala yang tidak mendukung terbentuknya humanisasi
dalam pendidikan tersebut tidak mudah kita singkirkan begitu saja. Namun
demikian, kita tidak boleh mundur dan putus asa. Mengingat pentingnya
pendidikan yang humanis tersebut, maka upaya ke arah itu mutlak dilakukan.
Mengupayakan pendidikan yang demokratis-humanistik adalah keharusan.
Mengutip John Dewey, dalam bukunya Democracy and Education, pendidikan
yang demokratis harus dimulai dari sekolah. Menurut Dewey, pendidikan yang
demokratis bukan hanya untuk menyiapkan siswa bagi kehidupan mereka nanti di
masyarakat, tetapi sekolah sendiri harus menjadi masyarakat mini, di mana
praktek demokrasi yang ada dalam masyarakat perlu diadakan secara nyata di
sekolah. Model hidup di sekolah yang mirip dengan situasi masyarakat tempat si
anak berasal mesti diciptakan. Dengan demikian anak dibiasakan dengan
karakteristik kehidupan yang demokratis tersebut. Dalam rangka mendorong dan
menumbuhkembangkan pendidikan yang demokratis dan humanis ini, berbagai
kalangan, misalnya Romo Mangun menyarankan agar adanya beberapa
kemampuan dasar yang secara sadar dikembangkan untuk menjadi bekal yang
ampuh dalam hidup bermasyarakat. Kemampuan dasar yang mesti dikembang
bertumpu pada potensi dan nilainilai individu sebagai manusia yang merdeka.

2.2 Pendekatan Berorientasi Psikologis-Humanistik


Prinsip dasar ajaran psikologi humanistik adalah bahwa kita merupakan
pembentuk kehidupan kita sendiri, karena setiap orang adalah pelaku yang bebas,
independen dan merdeka. Sebab itu, proses pembelajaran yang dilakukan dalam
rangka menemukan jati diri sebagai manusia yang merdeka, bebas dan independen
dibutuhkan cara yang humanistik pula. Pendekatan pembelajaran humanistik
memandang manusia sebagai subyek yang bebas merdeka untuk menentukan arah
hidupnya. Manusia bertanggung jawab penuh atas hidupnya sendiri dan juga atas
hidup orang lain. Pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam pembelajaran
yang humanistik adalah pendekatan dialogis, reflektif, dan ekspresif. Pendekatan
dialogis mengajak peserta didik untuk berpikir bersama secara kritis dan kreatif.
Fungsi pendidik tidak semata-mata sebagai guru melainkan fasilitator dan partner
dialog dalam proses pembelajaran.

Pendekatan reflektif mengajak peserta didik untuk berdialog dengan


dirinya sendiri, sedangkan pendekatan ekspresif mengajak peserta didik untuk
mengekspresikan diri dengan segala potensinya (realisasi dan aktulisasi diri).
Dengan demikian pendidik tidak mengambil alih tangung jawab, melainkan
sekedar membantu dan mendampingi peserta didik dalam proses perkembangan
diri, penentuan sikap dan pemilahan nilai-nilai yang akan diperjuangkannya.
Posisi pendidik membimbing, mengarahkan, dan bukan yang menentukan arah
atau pilihan siswa.

Pendekatan yang berorientasi psikologis-humanistik,ini terdapat sembilan


hal penting yang harus mendapat perhatian serius.

Pertama,mengenai pandangan kita terhadap pembelajaran.kita seyogyanya


bahkan seharusnya memandang “pembelajaran sebagai insan yang swabimbing
atau swaarah”.

Kedua, mengenai pandangan kita terhadap kebutuhan. dalam pendekatan


psikologis-humanistik ini, kita harus memberi penekanan pada kebutuhan
subjektif. kebutuhan harus dilihat sebagai jurang pemisah antara keadaan
kesadaran kini dan keadaan kesadaran yang perlu bagi pembelajaran untuk
menjadi insan yang swabimbing dan swaarah.

Ketiga, mengenai pemberian penekanan. dalam pendekatan ini seharusnya


penekanan diletakan pada ”sensitivitas terhadap kebutuhan-kebutuhan subjektif
orang dewasa, pada para pembelajaran yang sedang berada dalam proses
pemilikan kesadaran, serta pada relevansi isi pembelajaran an metode-metode
pembelajaran dengan gaya-gaya pembelajaran pribadi”.

Keempat, dasar pemikiran atau rasional edukasional. kita harus menyadari


dan memahami bahwa:
a. orang dewasa belajar lebih efektif kalau mereka dilibatkan atau
diikutsertkan dalam proses pembelajaran melalui konsultasi dan negosiasi.
b. pengalaman masa lalu dan kapasitas-kapasitas mereka dewasa ini
hendaknya diberi nilai dan perhatian yang serius.
Kelima, mengenai tipe informasi. Informasi yang dibutuhkan seyogyanya,
berupa:
a. informasi biografi pembelajaran.
b. Informasi mengenai sikap, motivasi dan kesadaran para pembelajaran.
c. Informasi mengenai kepribadian dan gaya belajar para pembelajaran
d. Informasi mengenai keinginan dan harapan para pembelajar tentang
pembelajaran bahasa sasaran.
Keenam, mengenai metode pengumpulan informasi. Metode yang sering
digunakan bagi pengumpulan informasi adalah:
a. Format-format baku,
b. Observasi,
c. Penyuluhan atau wawancara,
d. Survei-survei lisan,
e. Diskusi-diskusi kelompok, dan
f. Kuesioner tertulis diikuti oleh diskusi.

Ketujuh mengenai waktu pengumpulan informasi. Biasanya waktu yang


digunakan bagi pengumpulan informasi adalah :
a. Sebelum kursus dimulai atau pra-kursus,
b. Pada konsultasi dan umpan balik selama kursus berlangsung secara
konstan.
Kedelapan, mengenai cara yang digunakan untuk menganalisis informasi.
Cara yang biasa digunakan yaitu sebagai berikut :
a. Keputusan-keputusan secara mantap dan tetap dibuat mengenai tipe-tipe
lingkungan pembelajaran, metode-metode serta isi/bobot yang mungkin
tepat bagi kebutuhan subjektif para pembelajar dengan memperhatikan
sikap, motivasi, dan kesadaran mereka.
b. Keputusan-keputusan secara konstan direvisi dan tujuan-tujuan
dimodifikasi berdasarkan negosiasi terus menerus.
Kesembilan, mengenai maksud pengumpul informasi. Maksud
pengumpulan informasi adalah sebagai berikut ;
a. Agar ciri-ciri pribadi orang dewasa sebagai pembelajar dapat diberikan
berdasarkan pertimbangan dalam pemberian kesempatan-kesempatan
belajar.
b. Agar orang-orang dewasa dapat dibantu menjadi insan-insan yang swa-
bimbing dengan jalan melibatkan atau mengikutsertakan mereka dalam
pengambilan keputusan mengenai pembelajaran mereka sendiri.

Untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh serta utuh mengenai butir-butir


yang telah dibahas, dalam tabel berikut :

Analisis kebutuhan dengan pendekatan berorientasi psikologi


humanistik
1.pandangan terhadap pembelajaran Pembelajaran sebagai insan berakal
budi dengan kapasitas swa-bimbing

2.pandangan terhadap kebutuhan Kebutuhan subjektif


3.penekana pada a. kebutuhan subjektif orang dewasa
b. pembelajar ber-kesadaran
4.rasional edukasional a. pembelajaran melalui konsultasi
dan negosiasi
b. memperhatikan pengalaman masa
lalu
5.tipe informasi a. informasi biografis
b.inf. sikap, motivasi, dsb
c.inf. kepribadian dan gaya
d.inf. keinginan harapan
6.metode pengumpulan informasi a. format-format baku
b. observasi
c. survei lisan
d. wawancara
e. diskusi
7.waktu pengumpulan informasi a. pra-kursus
b. pada konsultasi dan umpan balik
selama kursus
8.analisis informasi a. keputusan mantap
b. keputusan tetap direvisi
c. tujuan dimodifikasi terus
9.maksud pengumpulan informasi a. menentukan ciri-ciri pribadi
b. membantu pembelajar menjadi
insan swa-bimbing

2.3. Pendekatan Berorientasi Maksud Tertentu


Seperti juga halnya dengan kedua pendekatan yang telah dibicarakan
sebelumnya, maka pendekatan yang berorientasi “maksud tertentu” atau “tujuan
khusus” (specific purposes) ini pun menaruh perhatian pada sembilan aspek.
Pertama, mengenai pandangan terhadap pembelajaran. Dalam pendekatan
ini, kita seyogianya memandang ”pembelajaran sebagai pemakai bahasa.”
Kedua, mengenai pandangan terhadap kebutuhan. dalam pendekatan ini,
kita harus memberi penekanan pada “kebutuhan objektif”. Kebutuhan dilihat
sebagai jurang pemisah antara performansi bahasa kini dalam bidang tertentu dan
performansi bahasa yang dibutuhkan dalam suatu situasi komunikasi tertentu.
Ketiga, mengenai penekanan. Penekanan dalam pendekatan ini di titik
beratkan pada :
a. Pengumpulan data yang terperinci mengenai kebutuhan objektif,
b. Arah performansi bahasan yang dituju, dan
c. Relevansi bobot bahasa dengan tujuan pribadi serta peranan sosial para
pembelajar.
Keempat, mengenai rasional edukasional. Harus disadari dan dipahami bahwa :
a. Pemakai bahasa selalu belajar lebih efektif kalau isi program relevan
dengan bidang kebutuhan atau perhatian tertentu.
b. Kecakapan berbahasa secara umum tidaklah sepenting kemampuan
beroperasi secara efektif dalam bidang-bidang khusus yang relevan dengan
kebutuhan dan minat pembelajar.
Kelima, mengenai tipe informasi. Tipe informasi yang dibutuhkan adalah :
a. Informasi biografis,
b. Informasi mengenai pemakaian bahasa penutur asli dalam situasi
komunikasi sasaran para pembelajar, dan
c. Informasi mengenai kebutuhan partai lain dalam situasi komunikasi yang
relevan,misalnya mandor pabrik.
Keenam, metode pengumpulan informasi, metode pengumpulan informasiyang
umum dan sering digunakan adalah :
a. Format-format baku
b. Analisis bahasa intensif dalam situasi komunikasi sasaran/target,
c. Tes kecakapan berbahasa
d. Survei mengenai pola-pola pemakai bahasa para pembelajar, dan
e. Survei mengenai kebutuhan badan-badan tertentu.
Ketujuh, mengenai waktu pengumpulan informasi, waktu yang sering digunakan
adalah :
a. Pada pra-kursus, dan
b. Pada saat berlangsungnya konsultasi serta umpan balik dalam kursus,
tergantung pada pengajar.
Kedelapan, mengenai cara yang digunakan bagi penganalisis informasi. Cara yang
biasa digunakan adalah :
a. Keputusan-keputusan yang dibuat mengenai isi/bobot bahasa harus sesuai
dengan kebutuhan komunikasi para pembelajar, dan
b. Penyesuaian kembali kebutuhan bahasa pembelajar dengan partai-partai
lain (misalnya manajemen).
Kesembilan, mengenai maksud dan tujuan pengumpulan informasi. Pengumpulan
informasi bermaksud/bertujuan :
a. Agar pembelajar menyajikan data bahasa yang relevan dengan tujuan
pribadi dan peranan sosial mereka sendiri.
b. Agar motivasi ditingkatkan oleh relevansi bobot bahasa tersebut, dengan
demikian pembelajaran bahasa akan dipermudah pula.
BAB III
PENUTUP

1.1 Simpulan
Psikologi humanistik sangat relevan dengan dunia pendidikan, karena
aliran ini selalu mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui
penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan.
Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan pun senantiasa
berubah. Dengan adanya perubahan dalam strategi pendidikan dari waktu ke
waktu, humanistic memberikan arahan yang signifikan dalam pencapaian tujuan
ini. Teori belajar humanistik merupakan proses belajar yang harus berhulu dan
bermuara pada manusia itu sendiri. Dalam teori belajar humanistik, belajar
dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri.
Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu
mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Aliran humanistik memandang
bahwa belajar bukan saja sekedar pengembangan kualitas kognitif saja, melainkan
juga sebuah proses yang terjadi dalam diri individu yang melibatkan seluruh
bagian atau domain yang ada. Domain-domain tersebut meliputi ranah, kognitif
dan psikomotor. Pendekatan humanistik dalam pembelajaran menekankan
pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi yang terbuka, dan nilai-nilai yang
dimiliki oleh siswa. Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai
fasilitator untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas fasilitator.
Implikasi kecerdasan ganda sebagai bagian dari teori humanistik adalah sebagai
berikut: Pendidikan harus memerhatikan semua kemampuan intelektual,
pendidikan harusnya individual, memotivasi siswa, sekolah memfasilitasi siswa
mengembangkan inteligensi ganda, evaluasi proses harus lebih kontekstual, proses
pembelajaran dapat terjadi dimana dan kapan saja.
Saran

Kesimpulan pendekatan psikologi-humanistik bertujuan memanusiakan manusia


semanusiawi mungkin. Proses pembelajaran dinilai efektif bila peserta didik
memahami dirinya dan lingkungan sekitarnya. Peserta didik dalam rangkaian
pembelajaran hendaknya berupaya agar cepat atau lambat dia dapat
mengaktualisasikan dirinya sebaik mungkin.
DAFTAR PUSTAKA

Henry Guntur Tarigan, 2009. Dasar-Dasar Kurikulum Bahasa. Angkasa,


Bandung.

https://pgsd.binus.ac.id/2021/07/08/implementasi-teori-belajar-humanisme-dalam-
pandangan-abraham-h-maslow-carl-rogers/

Perni, N. N. (2019). Penerapan Teori Belajar Humanistik dalam Pembelajaran.


Adi Widya: Jurnal Pendidikan Dasar, 3(2), 105-113.

Anda mungkin juga menyukai