Anda di halaman 1dari 4

MANIFESTASI MAHASISWA DALAM MENANGGAPI KETIMPANGAN

PENEGAKAN HUKUM.
Author : Isyaq Maulidan, S.H.

Indonesia adalah Negara hukum, yang tentunya penegakan hukum tidak


memihak kepada siapapun. Namun, akhir-akhir ini sering kita dengar dari berbagai
media masalah hukum pidana yang ada di Indonesia sangat mengiris hati, karena
ketidaksamarataan manusia dalam masalah hukum yang ada. Sebagaimana
diketahui hukum tidak membedakan kalangan antara kaum atas dan kaum bawah,
begitu juga dengan si pemilik jabatan dan masyarakat biasa yang tidak mempunyai
kekuasaan. Tentunya hukum yang tidak memihak sudah diatur dalam pasal 27 ayat
1 Undang Undang dasar 1945 dimana semua orang diperlakukan sama didepan
hukum. Dan diperjelas dalam pasal 28 D ayat 1 amandemen ke- IV undang undang
1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Dan dipertegas
dalam Pancasila dalam sila ke 5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Namun kenyataan yang terjadi di Indonesia, masih terjadi perbedaan dalam


penegakan hukum terutama dalam penyetaraan dan keadilan antar sesama warga
negara, seringkali terjadi perbedaan perlakuan hukum antara kaum mayoritas
dengan minoritas, hal ini dapat diasumsikan karena mengingat stakeholder di dalam
penegakan hukum masih kurang memperhatikan adanya pasal karet yang
multitafsir sehingga bisa menguntungkan satu golongan dan merugikan golongan
lainnya, hal ini terlihat dari beberapa kasus penistaan yang terjadi di Indonesia,
mengapa ketika seseorang yang beragama mayoritas, dalam konteks ini berarti
agama islam, melakukan suatu perbuatan ataupun perkataan yang cenderung
melakukan penistaan terhadap suatu agama maupun golongan lainnya. Contohnya
saat Ustadz Evie Effendi mengatakan pada ceramahnya bahwasanya semua orang
itu pernah sesat termasuk Nabi Muhammad SAW. Perkataannya memicu amarah
kaum muslimin, sampai membuatnya dilaporkan oleh berbagai pihak. Berbeda
dengan kasus ibu Meliana di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Beliau divonis kasus
penistaan agama dengan hukuman 18 bulan, karena memprotes suara adzan yang
menurutnya terlalu kencang di masjid dekat rumahnya. Jika dilihat dari dua kasus
tersebut, harusnya diberikan perlakuan yang sama, karena keduanya sama-sama
melanggar kasus penistaan agama, tapi penyelesaiannya dengan sudut pandang
yang berbeda, membuat kedua kasus ini sebagai sebuah ketimpangan dalam
perlakuan hukum. Hal ini terjadi karena faktor identitas kedua pelaku yang berbeda,
jika Ustadz Evie Effendi merupakan pribumi muslim, sedangkan Ibu Meiliana
merupakan seorang Tionghoa yang beragama Buddha. Hal ini mengindikasikan
bahwa adanya perbedaan pandangan dalam menilai kedua kasus tersebut, meski
memang keduanya berdasarkan delik aduan yang sama yaitu penistaan agama, akan
tetapi nasib keduanya berbeda,Ustadz Evie Effendi bisa dibebaskan hanya karena
sudah berdamai dan meminta maaf. Dikutip dari Tribunnews.com, Penyidik
Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jabar memastikan
penyidikan terhadap kasus dugaan penistaan agama terhadap Ustad Evie Effendie
dihentikan. Hal ini menjadi sebuah ironi, melihat beberapa tahun lalu, penahanan
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama atau yang lebih dikenal dengan
nama Ahok dilaporkan atas kasus penistaan agama, karena pernyataannya soal
Surat Al-Maidah : 51 saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Ahok
akhirnya dihukum 2 tahun penjara. Bagaimana peran mahasiswa dalam mengatasi
ketimpangan penegakan keadilan di bidang hukum, terutama ketika berkaitan
dengan politik identitas dan kepentingan golongan dibelakangnya

Seseorang mahasiswa sebagai agent of change, harusnya mampu melihat


kedua kasus ini dengan pandangan yang objektif dan lebih toleran, mengingat
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman suku budaya dan
agama, maka mahasiswa sebagai massa yang besar dan berpengaruh, Mahasiswa
harus satu suara dalam menyikapi kasus ini, agar tidak terjadi perpecahan didalam
tubuh mahasiswa itu sendiri, baik antara mahasiswa maupun citra mereka di
masyarakat luas. Setelah mereka sudah tahu frekuensi barulah. bila terjadi aksi
menuntut hukuman pada seorang penista agama, sebaiknya melakukan kajian
terlebih dahulu, supaya lebih jernih dalam bertindak, tidak hanya bisa beraksi tanpa
memberi solusi. Mahasiswa harus terlebih dahulu mengerti kronologi kejadian,
saksi-saksi, dan keterangan pelapor. Kemudian mengkaji ulang pasal-pasal yang
menjerat tersangka, apakah relevan pasal tersebut untuk dikaitkan pada tersangka,
dalam konteks ini berarti pasal penistaan agama, dimana merupakan delik aduan
yang multitafsir dan sangat potensial untuk menimbulkan permasalahan dan
perpecahan antar umat beragama, Serta dimanfaatkan para tokoh politik untuk
memenangkan jagoan mereka dalam segala bentuk kontestasi baik pilkada maupun
pilpres. Mahasiswa harus memiliki pola pikir yang objektif dan berimbang dalam
mengkaji pasal ini, mengingat sudut pandang terlapor dan pelapor serta masyarakat
pada umumnya berbeda-beda, mahasiswa jangan sampai dimanfaatkan oleh satu
pihak dan kemudian menjadi alat untuk menjatuhkan pihak yang lainya. Kemudian
mahasiswa bisa melakukan aksi sebagai hasil kajian pasal yang sudah dilakukan
sebelumnya, aksi ini jangan sampai ditunggangi oleh partai politik ataupun
organisasi terlarang yang menyebar propaganda, seperti Hizbut Tahrir Indonesia,
karena seringkali demonstrasi mahasiswa yang ternyata ada kepentingan yang
menungganginya melakukan aksi yang subjektif dan terkesan pesanan.

Mahasiswa harus melakukan aksi yang benar-benar sesusai pertimbangan


dan pemikiran berasalkan kajian yang sudah dilakukan, sehingga sangat
membutuhkan demonstrasi untuk menuntut pemerintah atas pasal karet ini.
Mahasiswa juga melakukan mediasi kepada para pemangku kebijakan di bidang
hukum untuk kemudian menemukan titik temu atas permasalahan yang ditimbulkan
atas adanya ketimpangan penegakan keadilan hukum ini. Mahasiswa bisa
mendiskusikan hasil kajian pasal ini dengan mereka para stakeholder hukum,
kemudian memberikan rekomendasi sesuai dengan apa yang mereka kaji.
Mahasiswa harus meyakinkan para penegak hukum bahwa apa yang mereka
suarakan itu benar. Sehingga setelah mereka berhasil, mereka akan
mempublikasikan kajian-kajian dan hasil diskusi tersebut, kemudian
mengedukasikan masyarakat awam tentang pentingnya kesetaraan dalam
penegakan hukum tanpa memandang golongan,suku, maupun agama supaya tidak
terjadi lagi delik aduan peristiwa agama yang justru menimbulkan perpecahan
antara umat beragama di Indonesia, mengingat masih terjadinya ketimpangan
perlakuan hukum yang justru merugikan kaum minoritas. Mahasiswa perlu
menanamkan jiwa toleransi dan pola pikir yang moderat baik bagi mereka sendiri
maupun kepada masyarakat, supaya tidak terjadi seseorang yang dituduh sebagai
penista agama, justru menjadi korban persekusi dan kekerasan atas pembelaan
agama mereka. Hal ini juga berkaitan dengan peran mahasiswa sebagai control
social. Oleh karena itu , ini merupakan tugas yang penting bagi mereka (mahasiswa)
untuk membuka wawasan masyarakat atas pentingnya berfikir objektif dan
rasional.

Jadilah penerus bangsa untuk mengganti atau memperkuat bangsa ini dari
generasi sebelumnya khususnya mahasiswa, yang merupakan kaderisasi berikutnya
supaya dapat dimanfaatkan dan agar negara hukum kita bisa berubah kearah yang
lebih baik. Untuk itu dibutuhkan mahasiswa yang bermental kuat dalam bersikap
dan bertindak. Mahasiswa diharapkan menjadi human resource yanag berfungsi
dan berdaya guna dalam penyetaraan hukum di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai