Anda di halaman 1dari 4

KASUS POSISI :

Adi, seorang pemilik Ruha di Jl. Kusuma Bangsa no. 202 Surabaya, mengadakan
perjanjian sewa-menyewa dengan Budi, seorang pengusaha variasi mobil yang berdomisili di Jl.
Budhidarma no. 110 Jombang. Perjanjian tersebut dibuat dalam Akte Notaris No. 123, tgl. 1
September 2022, pada kantor Notaris Yulianto, yang beralamat di Jl. Pahlawan no. 100 Surabaya,
yang didalamnya telah disepakati bahwa:

1. Perjanjian sewa-menyewa atas sebuah Ruha beserta furniturenya seluas 600 M2


di Jl. Kusuma Bangsa no. 202 Surabaya;

2. Penyewa (Budi) harus membayar sejumlah Rp. 250 juta setiap tahunnya;

3. Tenggang waktu perjanjian sewa-menyewa selama 3 tahun, dan dapat diperpanjang


selama 3 tahun berikutnya, dan untuk biaya sewa tahun pertama telah dibayar
pada saat penandatanganan perjanjian, sedangkan pembayaran sewa untuk 2 tahun
berikutnya harus dibayarkan setiap tgl 1 September di setiap tahunnya;

4. Penyewa dilarang menambah daya listik yang telah terpasang pada Ruha, yang
berkekuatan 2200 KWH, tanpa adanya persetujuan secara tertulis dari pihak
Pemilik Ruha;

5. Penyewa dilarang mengalih-sewakan kepada pihak lain;

6. Penyewa harus menanggung kerugian atas segala kerusakan pada Ruha akibat
kesalahan dari Penyewa, kecuali akibat adanya huru-hara, gempa bumi, banjir
serta adanya bencana alam lainnya.

PERTANYAAN :

1. Sejak kapan para pihak terikat dalam suatu perjanjian ? Jelaskan dengan merujuk dasar
hukumnya.
Jawab:
Para pihak dalam suatu perjanjian dapat dikatakan terikat ketika telah terjadi suatu
kesepakatan untuk mengikatkan dirinya masing-masing pada perjanjian yang mereka
lakukan. Hal ini sesuai dengan Pasal 1313 BW “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih”.
Selain itu kekuatan mengikat juga terdapat dalam Pasal 1338 (1) BW yang
menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Jadi dalam membuat suatu perjanjian
harus ada kecocokan antara para pihak, agar timbul kesepakatan yang menyebabkan para
pihak yang melakukan perjanjian tersebut terikat.
Dalam kasus posisi tersebut, para pihak, yaitu Adi sebagai pemilik Ruha dan Budi
sebagai penyewa telah terikat dalam perjanjian sewa menyewa yang mereka buat
semenjak dibuatnya Akte Notaris No. 123, tertanggal 1 September 2022.

2. Siapakah yang berkedudukan sebagai Kreditur dan Debitur dalam perjanjian di atas ?
Serta siapakah yang memiliki unsur schuld dan haftung pada perjanjian di atas ? Jelaskan
dengan merujuk dasar hukumnya.
Jawab:
Dalam perjanjian di atas Adi selaku pemilik Ruha berkedudukan sebagai Kreditur,
dalam hal ini Adi berperan aktif apabila debitur tidak melaksanakan prestasinya. Adi
selaku pemegang unsur Schuld, yaitu berkewajiban menyerahkan prestasi, yaitu dengan
menyewakan Ruha miliknya sesuai dengan kesepakatan kepada debitur.
Sedangkan yang berkedudukan sebagai Debitur adalah Budi karena memiliki
kewajiban untuk memenuhi prestasinya sesuai dalam poin 1 sampai 6 yang tertuang
dalam perjanjian di atas atau dapat dikatakan Budi berperan pasif apabila tidak dapat
memenuhi prestasinya. Sebagai pemilik unsur Haftung Budi berkewajiban untuk
menyerahkan harta kekayaannya untuk diambil kreditur (Adi) sebanyak utang debitur
(Budi), guna pelunasan hutang si debitur (Budi), apabila debitur (Budi) tidak memenuhi
prestasinya untuk membayar utang tersebut.
Pengaturan tentang schuld dan haftung ini terdapat pada Pasal 1131BW yang
menyatakan “Segala kebendaan si berutang, baik yangbergerak maupun tidak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan
untuk segala perikatan perseorangan”.

3. Seandainya, Budi mengalih-sewakan kepada Adiknya, Bedjo, maka bagaimanakah


pendapat Saudara sebagai seorang ahli hukum atas perbuatan yang dilakukan oleh Budi
tersebut ? Jelaskan dengan merujuk dasar hukumnya.
Jawab:
Sesuai Pasal 1559 (1) BW yang menyatakan “Si penyewa jika kepadanya tidak
telah di perizinkan, tidak di perbolehkan mengulangsewakan barang yang disewanya,
maupun melepaskan sewanya kepada seorang lain atas ancaman pembatalan perjanjian
sewa dan penggantian biaya, rugi dan bunga, sedangkan pihak yang menyewakan,
setelah pembatalan itu, tidak diwajibkan mentaati perjanjiannya ulang sewa”.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut maka pendapat saya terkait tindakan Budi yang
mengalih-sewakan kepada adiknya (Bedjo) telah dianggap melakukan wanprestasi. Sebab
Budi selaku Debitur telah melanggar perjanjian yang tertulis di poin 5 Akte Notaris No.
123, tertanggal 1 September 2022. Sehingga Budi dapat dimintai ganti rugi oleh Adi
sebagai Kreditur.
4. Atas adanya perbuatan Budi, sebagaimana tersebut dalam soal no. 3 di atas, maka hak
apakah yang dapat dituntut oleh Adi ? Jelaskan dengan merujuk dasar hukumnya.
Jawab:
Atas perbuatan Budi sebagaimana tersebut dalam soal nomor 3 yaitu telah
melanggar ketentuan pada Pasal 1559 (1) BW, Adi selaku Kreditur dapat melakukan
pembatalan persetujuan sewa dan mengganti uang rugi beserta bunga. Selain itu pada
Pasal 1266 (1) BW juga ditegaskan bahwa syarat batal dianggap selalu ada pada
perjanjian jika terdapat wanprestasi.

5. Seandainya, Budi pada tgl. 5 Januari 2023 telah menaikkan daya listrik menjadi
berkekuatan 5500 KWH, atas adanya ijin secara lisan oleh Dewi, isteri dari Adi.
Bagaimanakah pendapat Saudara sebagai seorang ahli hukum atas perbuatan yang
dilakukan oleh Budi tersebut ? Jelaskan dengan merujuk dasar hukumnya.
Jawab:
Karena perjanjian sewa menyewa yang dilakukan antara Adi dan Budi dibuat
dalam Akte Notaris dimana dalam hal tersebut sesuai dengan Pasal 1870 BW yang
menyatakan “Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli
warisnya atau orang-orang yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya”, maka
dapat dikatakan Budi telah melakukan wanprestasi terhadap poin nomor 4 dalam Akte
Notaris No. 123, tgl. 1 September 2022 yang tertulis “Penyewa dilarang menambah daya
listrik yang telah terpasang pada Ruha, yang berkekuatan 2200 KWH, tanpa adanya
persetujuan secara tertulis dari pihak Pemilik Ruha”.
Walaupun Budi menaikkan daya listrik Ruha atas seizin Dewi yang berstatus
sebagai Isteri Adi, tetapi dalam hal ini Dewi tidak terlibat dalam pembuatan kesepakatan
perjanjian dalam akte tersebut sehingga harusnya Dewi juga harus mentaati isi dari surat
akte. Jadi dalam hal ini Budi tetap dikatakan telah melakukan wanprestasi karena tanpa
seizin dari Adi selaku Kreditur (pemilik Ruha) menambahkan daya listrik dan melanggar
isi dari perjanjian di surat akte yang mereka buat.

6. Seandainya, atas adanya perbuatan Budi, sebagaimana tersebut di soal no. 5 di atas,
menimbulkan kebakaran yang telah menghanguskan Ruha beserta seluruh isinya, maka
hak apakah yang dapat dituntut oleh Adi, selaku pemilik Ruha ? Jelaskan dengan merujuk
dasar hukumnya.
Jawab:
Adi selaku pemilik Ruha dapat mengajukan ganti rugi kepada Budi selaku
penyewa ruha, karena pada poin 6 Akte Notaris No. 123, tgl. 1 September 2022
menyebutkan bahwa “Penyewa harus menanggung kerugian atas segala kerusakan pada
Ruha akibat kesalahan dari Penyewa, kecuali akibat adanya huru-hara, gempa bumi,
banjir serta adanya bencana alam lainnya”. Selain itu kebakaran Ruha juga diakibatkan
dari perbuatan yang dilakukan Adi pada nomor 5 yang menambah daya listrik tanpa
seizin Adi sehingga Budi juga dapat dikenakan Pasal 1564 BW yang berbunyi “Si
penyewa bertanggung jawab untuk segala kerusakan yang diterbitkan pada barang yang
disewa selama waktu sewa, kecuali ia membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi di luar
kesalahannya”.

Anda mungkin juga menyukai