Anda di halaman 1dari 46

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Computed Tomography

1. Definisi

Kata tomography bukanlah kata yang baru. Ini dapat ditelusuri

kembali pada awal 1920, saat sejumlah peneliti telah mengembangkan

metode untuk menggambarkan sebuah lapisan atau bagian yang spesifik

dari tubuh. Pada saat itu, istilah seperti “body section radiography” dan

“stratigraphy” (dari stratum yang berarti lapisan) digunakan ntuk

mendiskripsikan teknik ini. Pada tahun 1935, Grossman menyempurnakan

teknik ini dan dinamakan tomography. Sebuah tomogram konvensional

adalah sebuah gambaran dari bagian tubuh pasien yang akan diamati

paralel dengan film (Seeram,2016).

Tomography berasal dari kata yunani yaitu “tomos” yang digunakan

untuk mendiskripsikan sebuah teknik fotografi sinar-x, dimana sebuah

bidang difoto dengan menghilangkan struktur bidang lainnya (Hsieh,2009).

Computed Tomography Scan merupakan perpaduan antara teknologi

sinar-X, komputer dan televisi. Prinsip kerjanya yaitu berkas sinar-x yang

terkolimasi yang ditangkap oleh detektor, data yang ditangkap oleh

detetktor dalam bentuk sinar-x dikonversikan ke dalam bentuk sinyal listrik,

diperkaya dan dikonverikan ke dalam bentk digital untuk dikirim ke

komputer. Di dalam komputer terjadi prosess pengolahan dan rekonstruksi

gambar dengan rekonstruksi algoritma. Setelah proses pengolahan selesai

maka data yang diperoleh berupa data digital yang selanjutnya diubah

menjadi data analog yang ditampilkan di layar monitor. Gambar yang

8
8
9

ditampilkan dalam layar monitor berupa informasi anatomis irisan tubuh

(Rasad, 1992).

2. Sejarah Computed Tomography Scan

Pada tahun 1963, Cormack seorang pengajar di University of Cape

Town merancang sebuah alat sederhana. Alat ini ditujukan untuk

pemeetaan jaringan tubuh. Cormack mempunyai berpendapat bahwa untuk

membuat pemetaan jaringan tubuh, hasrus dilakukan dengan sebuah

pengukuran di luar tubuh terhadap atenuasi sinar-X yang terjadi setelah

berinteraksi dengan berbagai macam jaringan tubuh. Pengukuran ini

dilakukan dari berbagai arah. Dari pengukuran ini akan diperoleh data

dengan jumlah yang banyak yang kemudian akan diproses dengan sebuah

perhitungan matemetika yang kompleks yang juga telah dirancang oleh

Cormack. Pertama kali alat yang dirancang oleh Cormack ini diuji pada

sebuah objek berupa blok plastik yang berisikan dua buah piringan

alumunium (yang dimisalkan sebagai tumor) dan dikelilingi oleh ring

alumunium (yang dimisalkan sebagai skull). Hasilnya dengan jelas

mengungkapkan detail dari konstruksi blok plastik tersebut. Hasil

temuannya ini dipublikasikan pada tahun 1963 dan 1964 tetapi nyaris tidak

mendapatkan respon. Respon satu-satunya datang dari Swiss Center for

Avalanche Research yang akan digunakan untuk melihat deposit salju

pada pegunungan (Wolbarst,1999).


10

Gambar 2.1 Alat yang dirancang oleh Cormack


(Wolbarst,1999).

Pada tahun 1972, sebuah perusahaan Inggris yang bernama EMI Ltd

membuat komunitas radiologi tertegun dengan memperkenalkan teknologi

pencitraan klinis baru yaitu Computed Tomography. Alat ini muncul

terutama berkat upaya dari Godfrey Hounsfield, yang tidak menyadari hasil

temuan dari Cormack sebelumnya. Untuk kontribusi mereka berdua ini,

pada tahun 1979 dari Hounsfield dan Cormack mendapatkan penghargaan

nobel dalam bidang Physiology or Medicine (Wolbarst,1999).

3. Generasi Computed Tomography Scan

a. Generasi pertama

Computed Tomography Scan yang dirancang oleh EMI atas

prakarsa Hounsfield disebut sebagai Computed Tomography Scan

generasi pertama. Pergerakan tabung sinar-X dan detektor adalah

translasi dan rotasi (rotate-translate principle) dengan pergerakan rotasi

setiap 1 derajat. Menggunakan detektor tunggal yaitu berupa kristal

sodium iodide yang dipasangkan dengan tabung pelipat ganda elektron

(photomultiplier tube), berkas sinar berupa celah pensil yang sangat


11

sempit. Pencitraan menggunakan format 80 x 80 matrik dengan waktu

scanning 5 per pencitraan. Hanya bisa untuk scanning otak (brain).

Gambar 2.2 Prinsip Computed Tomography scan generasi


pertama (Seeram,2016).

b. Generasi kedua

Pergerakan tabung sinar-X dan detektor berupa translasi dan

rotasi (translate-rotate principle) dengan pergerakan rotasi setiap 3

derajat. Menggunakan Multiple detektor yang biasanya berjumlah 30 –

40 detektor yang berupa kristal sodium iodide yang dipasangkan

dengan tabung pelipat ganda elektron (photomultiplier tube).

Menggunakan format 160x160 matrik dengan waktu scanning 20 detik

per citra.

Gambar 2.3 Prinsip Computed Tomography scan generasi kedua


(Seeram,2016).
12

c. Generasi ketiga

Pada tahun 1975 General Eletrical Company memperkenalkan

Computed Tomography Scan tanpa menggunakan prinsip gerak

translasi. Pada generasi ini hanya menggunakan rotate-rotate principle

dengan tabung sinar-X dan detektor berputar mengelilingi pasien,

dalam lingkaran konsentris yang berpusat kira-kira sama dengan pusat

dari pasien. Berkas sinar-X dikolimasikan ke dalam bentuk fan beam.

Menggunakan detektor denganjumlah 8 dengan waktu scanning 2 – 4

detik per citra. Pada umumnya menggunakan detektor jenis gas (gas

xenon). Pemeriksaan dengan Computed Tomography generasi ini

dapat mencakup seluruh organ tubuh, dengan menggunakan meja

yang bergerak secara otomatis. Format pencitraan menggunakan

512x512 matrik sampai dengan 1024x1024 matrik.

Gambar 2.4 Prinsip Computed Tomography scan generasi


Ketiga (Romans,2011).
13

d. Generasi keempat

Pada generasi keempat, detektor yang digunakan berbentuk

lingkaran dan mengelilingi pasien tanpa melakukan gerakan,

sedangkan untuk tabung sinar-X yang digunakan akan mengelilingi

lingkaran detektor (rotate fixed principle). Sinar-X dikolimasikan untuk

menghasilkan berkas sinar menyerupai kipas (fan beam). Saat

mengelilingi detektor, tabung sinar-X akan terus memancarkan sinar-X

dengan setiap mencapai 1/3 putaran akan menghasilkan lebih dari

1000 proyeksi. Format pencitraan menggunakan 1024x1024 matrik

dan sudah dilengkapi dengan citra 3 dimensi (3D).

Gambar 2.5 Prinsip Computed Tomography scan generasi


keempat (Romans,2011).

e. Generasi kelima

Scanner generasi kelima diklasifikasikan sebagai high-speed

Computed Tomography Scanner karena dapat memperoleh data scan

dalam milisekon. Duan jenis scanner dalam generasi kelima ini yaitu

Electron Beam Computed Tomography scanner (EBCT) dan Dynamic

Spatial Reconstruction (DSR) scanner. Pada EBCTscanner, geometri


14

akuisisi data berupa sebuah fan beam dari sinar-X yang diproduksi oleh

sebuah sinar elektron yang memindai beberapa stasioner target cincin

tungsten. Fan beam melewati pasien dan transmisi dari sinar-X yang

terbaca akan dikumpulkan untuk rekonstruksi citra. Sedangkan untuk

DSR scanner dilabeli sebiah high-speed Computed Tomography

Scanner karena mempunyai kemampuan untuk memproduksi citra 3D

dari volume tubuh pasien.

5
6
3
2 4 7
1

10 8

Gambar 2.6 Prinsip Computed Tomography Scan generasi


kelima (Romans,2011).

Keterangan :
1. Gun 6. Detector
2. Electron beam 7. X-ray beam
3. Focus coil 8. Target rings
4. Deflection coil 9. Couch
5. DAS 10. Vacuum pumps

f. Generasi keenam

Generasi keenam ini adalah generasi Computed Tomography

yang menggunakan dua buah sumber radiasi atau biasa disebut

dengan Dual Source Computed Tomography scanner. DSCT terdiri dari

dua buah tabung sinar-X dan dua set detektor. DSCT ini dirancang
15

untuk Computed Tomography cardiac karena dapat memberikan

resolusi temporal yang dibutuhkan untuk citra struktur yang bergerak.

Gambar 2.7 Prinsip Computed Tomography scan generasi


keenam (Romans,2011)

g. Generasi ketujuh

Generasi ketujuh dari Computed Tomography scan biasa disebut

dengan Flat Panel Digital Detctors. Detektor ini sama dengan yang

digunakan pada digital radiografi. Bagaimanapun, Computed

Tomography generasi ini masih dalam tahap pengembangan prototype

dan tidak bisa digunakan dalam citra klinik. Pada generasi ini tabung

sinar-X dan detektor dipasangkan dan diposisikan pada gantry.

Detektor terdiri dari skintilator cesium iodida (CsI) dipasangkan pada

sebuah silicon thin-film transistor array. Detektor jenis ini menghasilkan

resolusi spasial yang sangat bagus tetapi kurang dalam hal resolusi

kontras.
16

4. Komponen utama Computed Tomography Scan

a. Sistem sinar-X

Komponen dari sistem sinar-X terdiri dari generator sinar-X,

tabung sinar-X, filter sinar-X dan kolimator.

1) Genarator sinar-X

Untuk menghasilkan dan mempertahankan aliran output dari

sinar-X tetap seperti yang diinginkan, tegangan dan arus tabung

sinar-X harus tetap dalam keadaan konstan atau sesuai dengan

level yang diinginkan. Tetapi tegangan listrik yang disediakan oleh

saluran listrik yang berfluktuasi sinusiodal dari negatif ke positif

relatif ke ground. Hal ini tidak diinginkan karena dapat

mengakibatkan 2 hal yang tidak diinginkan. Pertama, jika tegangan

katode menjadi relatif positif terhadap anode, elektron yang

dipancarkan dari anode yang panas akan bergerak menuju katoda,

menyebabkan umur filamen katoda yang pendek dan menghasilkan

foton sinar-X yang tidak diinginkan. Kedua, besarnya fluktuasi

tegangan menyebabkan kesulitan yang signifkan dalam kalibrasi

dan data pengkondisian sistem Computed Tomography. Untuk

memastikan kualitas citra dan mencegah kerusakan pada tabung

sinar-X maka sumber listrik dari tabung sinar-X harus diperbaiki dan

dilakukan upaya tambahan untuk memastikan tegangan sebisa

mungkin tetap konstan (Hsieh,2009).

Computed Tomography Scanner menggunakan 3 fase untuk

efisiensi produksi sinar-X. Pada masa lalu, generator untuk

Computed Tomography berbasis pada frekuensi tegangan 60 Hz,


17

jadi generator tegangan tinggi ini berupa peralatan besar yang

terletak pada sudut ruangan. Sebuah kabel panjang tegangan tinggi

disambungkan dari generator menuju ke tabung sinar-X pada

gantry. Sekarang Computed Tomography telah menggunakan

generator berfrekuensi tinggi, yang lebih kecil dan lebih efisien

daripada sebelumnya.generator ini terletak di dalam gantry pada

generator tegangan tinggi, sirkuit yang digunakan biasa disebut

dengan high-frequency inverter circuit. Tegangan dan arus yang

rendah (60 Hz) dari sumber listrik utama dikonversikan menjadi

tegangan dan frekuensi arus yang tinggi (500 sampai 25000 Hz).

Setiap komponen yang ada pada sirkuit ini akan mengubah

tegangan dan frekuensi gelombang AC yang rendah untuk

memasok tabung sinar-X dengan tegangan dan frekuensi tinggi DC

yang hampir konstan. Teknik eksposur sinar-X diperoleh dari

generator ini yang dipengaruhi oleh keluaran generator. Keluaran

generator ini bervariasi dan tergantung pada Computed

Tomography vendor, tapi biasanya keluaran ini berkisar dari 20

hingga 100 kilowatts (Seeram,2016).

2) Tabung sinar-X

Tabung sinar-X merupakan salah satu komponen paling

penting dari sistem Computed Tomography karena tabung sinar-X

memasok foton sinar-X yang diperlukan untuk melakukan scan.

Komponen dasar dari sebuah tabung sinar-X adalah katoda dan

anoda. Katoda menghasilkan elektron dan anoda merupakan target

tumbukan elektron. Sinar-X dihasilkan saat target ditumbuk oleh


18

elektron berkecepatan tinggi. Intensitas dari produksi sinar-X

sebanding dengan nomer atom dari material target dan jumlah

elektron yang menumbuk target. Besarnya energi foton sinar-X

tergantung dari beda potensial listrik antara katoda dan anoda

(Hsieh,2009).

Computed Tomography Scan generasi pertama dan kedua

menggunakanan fixed anode, oil cooled x-ray tube, tetapi pada

perkembangannya Computed Tomography Scan sekarang

menggunakan tabung sinar-X rotating anode yang dapat

meningkatkan keluaran. Tabung sinar-X dengan rotating anode

akan menghasilkan pancaran radiasi yang heterogen. Anoda

berbentuk cakram dan mempunyai diameter yang lebar dengan

ukuran focal spot tertentu untuk mendapatkan resolusi spasial yang

diinginkan. Cakram anoda ini biasanya terbentuk dari campuran

bahan rhenium, tungsten, molybdenum material-material lainnya.

Anoda mempunyai sebuah sudut target yang kecil (biasanya 12

derajat) dan kecepatan rotasi 3600 rpm sampai dengan 10000 rpm

(Seeram,2016).

Gambar 2.8 Sistem pada tabung sinar-X (straton) oleh


Siemens Medical, Germany (Seeram,2016).
19

Tabung sinar-X pada Computed Tomography Scan beroperasi

diantara 80 kV dan 140 kV. Tabung ini dapat menghasilkan lebih

dari 109 foton per mm2 per sekon pada 75 cm dari fokus tabung

dengan pengaturan faktor eksposi tegangan tabung 120 kV dengan

arus tabung 300 mA. Tabung sinar-X biasanya beroperasi pada

tegangan dan arus yang tinggi dengan waktu periode panjang,

dengan kemampuan untuk menghilangkan panas yang cepat untuk

menghindari kerusakan tabung. Sistem pendingin pada tabung

dirancang untuk hal ini. Bagaimanapun, sangat penting bahwa suhu

disekitar gantry dikendalikan oleh air conditioner (AC) untuk

memungkinkan pengoperasian yang optimal (IAEA,2012).

3) Filter sinar-X

Menurut Seeram (2016), Radiasi dari tabung sinar-X terdiri

dari gelombang yang panjang dan pendek. Computed Tomography

mempunyai pancaran polikromatik. Penting untuk mengubah

pancaran polikromatik menjadi monokromatik karena hal ini

berhubngan langsung dengan proses rekonstruksi. Maka dari itu

filter khusus harus digunakan untuk memenuhi hal tersebut.

Penggunaan filter khusus ini mempunyai dua tujuan, yaitu :

a) filter akan menghilangkan sinar-X yang mempunyai gelombang

panjang karena sinar-x dengan gelombang panjang tidak

mempunyai peranan dalam pembentuk citra Computed

Tomography tetapi lebih berkontribusi pada dosis pasien.

Sebagai hasil dari filtrasi, energi rata-rata dari pancaran


20

meningkat dan pancaran menjadi “harder” yang mana akan

menimbulkan artefak beam hardenig.

b) Filtrasi membentuk distribusi energi disepanjang pancaran radiasi

untuk menghasilkan beam hardening yang seragam saat sinar-X

melewati filter dan objek.

Produk dari filtrasi berupa efek beam hardening ini bersifat

merugikan karena sistem detektor tidak akan merespon terhadap

efek ini. Oleh karena itu, untuk menghindari kerugian dari efek ini

maka diberikanlah filter tambahan ke dalam pancara sinar-X. Pada

scanner EMI (generasi pertama), masalah ini diatasi dengan cara

memberikan water bath di sekeliling kepala pasien. Sekarang, filter

berbentuk khusus menyesuaikan dengan bentuk objek dan

ditempatkan diantara tabung sinar-X dan pasien. Filter ini disebut

dengan bowtie filter, biasanya terbentuk dari material teflon, sebuah

material dengan nomer atom rendah dan densitas yang tinggi.

Gambar2.9 Bowtie filter (Seeram,2016).

4) Kolimator

Kolimasi pada Computed Tomography Scan mempunyai dua

tujuan yaitu untuk mereduksi dosis yang tidak diperlukan dan untuk

memastikan kualitas citra yang baik. Pada umumnya,terdapat dua


21

buah jenis kolimator yaitu kolimator prepasien dan kolimator

postpasien (Hsieh,2009).

Pada MSCT mengemukakan beberapa keraguan terhadap

pola desain dari kolimator terutama dikarenakan detektor yang

menjadi lebih lebar. Masalah yang dihadapi pada MSCT yaitu

overscanning dan overbeaming. Dimana overbeaming adalah

pancaran sinar-X yang menjadi agak lebar daripada lebar detektor,

yang artinya pasien terpapar lebih daripada yang seharusnya

dengan ada sebuah area kecil yang yang sinyalnya tidak bisa

terdeteksi. Sedangkan yang dimaksud dengan overscanning adalah

paparan terhadap pasien yang berada diluar area pencitraan yang

timbul pada spiral Computed Tomography dengan multi-row

detectors pada awal dan akhir scan. Untuk mengatasi dua problema

ini maka digunakanlah teknik yang disebut adaptive section

collimation (Seeram,2016).
22

4 6
1
2

5
7

Gambar 2.10 Penggunaaan kolimator (Bushberg,2012)

Keterangan :
1. Start beam 5. Start beam
2. Stop beam 6. Adaptive collimation
3. Dose wasted 7. Stop beam
4. Intermediate beam

b. Detektor

Detektor pada Computed Tomography berfungsi untuk

menangkap pancaran radiasi yang melewati tubuh pasien dan

mengubahnya menjadi sinyal elektrik yang kemudian diubah lagi

menjadi informasi kode biner. Detektor harus mempunyai karakteristik

penting yang akan berefek pada kualitas citra yang baik, seperti,

efisiensi, waktu respon (kecepatan respon), dynamic range, akurasi,

stabilitas, resolusi, crosstalk dan afterglow. Pengubahan sinar-X

menjadi energi elektrik pada sebuah detektor mempunyai dua prinsip

dasar yaitu detektor skintillator dan detektor ionisasi gas. Dimana

detektor skintillator (berbahan luminescent) mengubah energi sinar-X

menjadi cahaya tampak yang kemudian diubah lagi menjadi energi


23

elektrik oleh fotodetektor (photovoltaic deteor array atau PDA).

Sedangkan detektor ionisasi gas, secara langsung mengubah energi

sinar-X menjadi energi elektrik (Seeram,2016).

c. Gantry dan slip ring

Gantri bisa dikatakan sebagai tulang punggung dari sebuah

sistem Computed Tomography Scan, jadi desain dari gantri ini sendiri

tidak bisa dianggap remeh. Bagian berputar dari gantri biasanya

menjadi tempat untuk tabung sinar-X, detektor, alat tegangan tinggi,

tangki pendingin tabung, slip ring dan alat pelengkap lainnya.

Komponen kunci lainnya dari sebuah sistem Computed

Tomography ialah slip ring. Slip ring berfungsi sebagai pemasok tenaga

ke sisi berputar dari gantri, mentransmisikan sinyal perintah dua arah,

dan mengirim data proyeksi Computed Tomography ke sisi stasioner.

Spiral-helical Computed Tomography dimungkinkan melalui

penggunaan teknologi slip ring, yang mana yang memungkinkan untuk

perputaran gantri yang kontinyu. Slip ring merupakan alat

elektromekanikal yang terdiri dri cincin konduksi elektrik dan brushes

yang mengirimkan energi elektrik di seluruh permukaan. Rotasi yang

kontinyu ini akan menghasilkan pengambilan data dengan sangat

cepat, yang akan diperlukan dalam prosedur klinikal tertentu seperti

sebagai Dynamic Computed Tomography dan CTA (Seeram,2016).

d. Meja pemeriksaan

Meja pemeriksaan merupakan tempat untuk berbaringnya pasien

selama pemeriksaan computed tomography berlangsung. Meja ini

harus kuat dan kaku untuk dapat menopang berat badan pasien. Selain
24

itu, meja pemeriksaan ini dirancang untuk keselamatan dan

kenyamanan pasien. Meja ini biasanya terbuat dari bahan carbon fiber

yang mempunyai daya serap terhadap sinar-X yang rendah serta

mempunyai kelebihan dalam meredam getaran yang sangat baik

(Seeram,2016).

Pasien berbaring diatas meja pemeriksaan dan bergerak menuju

ke dalam gantry untuk dilakukan proses scanning. Proses pergerakan

meja dengan ukuran tertentu sering disebut dengan incrementation,

feed, step atau indeks. Incrementation meja pada computed

tomography jenis helical diukur dalam milimeter per detik karena meja

terus bergerak selama proses scanning berlangsung (Romans, 2011).

e. Mesin rekonstruksi

Menurut Hsieh (2009), Yang dimaksud dengan mesin rekonstruksi

ialah hardware komputer yang melakukan preprocessing

(pengkondisian data dan kalibrasi), rekonstruksi citra dan

postprocessing (reduksi artefak, filtrasi citra, dan reformat citra).

5. Akuisisi Data

Akuisisi data mengacu pada metode scanning pasien sehingga

didapatkan data yang cukup untuk rekonstruksi citra. Scanning

didefinisikan sebagai geometri pancaran, yang mencirikan sistem

Computed Tomography tertentu dan memainkan peran sentral dalam

resolusi spasial dan produksi artefak. Pola dasar untuk akuisisi data

mempunyai dua elemen penting yaitu, geometri pancaran dan komponen.

Geometri pancaran mengacu pada ukuran, bentuk, gerakan serta jalur


25

pancaran. Sedangkan komponen mengacu pada perangkat fisik yang

membentuk dan menentukan pancaran, mengukur transmisi yang melewati

pasien dan mengubah informasi yang diperoleh dalam bentuk data digital

untuk dimasukkan ke dalam sistem komputer (Seeram,2016).

3
4

5
6

Gambar 2.11 Skema dasar akuisisi data pada CT


(Seeram,2016).

Keterangan :
1. Focal spot 6. Detector
2. Prepasient collimation 7. Elektrikal sinyal = projection
3. Scan field of view profile
4. Pasien 8. Digital data
5. Detector kolimator
26

Secara sederhana akuisisi data pada Computed Tomography Scan

dapat di nyatakan seperti gambar di atas. Dimana hal ini berawal dari

Tabung sinar-X yang sejajar dengan detektor yang kemudian akan

melakukan proses scanning dan mengambil sebuah pengukuran dari

transmisi yang berjumlah besar. Pancaran sinar-X akan dibentuk oleh

sebuah filter khusus saat keluar dari tabung yang selanjutnya akan

dikolimasikan melewati irisan yang diinginkan. Pancaran sinar-X ini akan

melemah ketika melewati tubuh pasien, dan transmisi sinar-X yang

merupakan sisa dari pelemahan arena interaksinya ni diukur oleh detektor.

Detektor akan mengubah foton sinar-X ini menjadi sebuah sinyal elektrik

(analog data). Sinyal elektrik ini selanjutnya dirubah lagi menjadi data

digital oleh analog to digital converter (ADC), yang selanjutnya data digital

ini akan dikirim ke komputer untuk proses rekonstruksi citra.

6. Rekonstruksi Citra

Saat tabung sinar-X berjalan pada jalur melingkarnya, akan

menghasilkan energi sinar-X secara kontinyu. Jalur dari pancaran sinar-X

dari tabung menuju ke detektor disebut dengan ray. Detector acquisition

system (DAS) membaca setiap ray yang datang dan mengukur berapa

banyak pancaran yang teratenuasi. Pengukuran ini disebut dengan ray

sum. Sebuah rangkaian ray sum yang komplit disebut dengan view. View

dapat di bandingkan dengan saat seseorang melihat sebuah objek. Dari

satu sudut pandang, akan sangat sulit untuk mendapatkan pemahaman

tentang bentuk objek. Untuk mengetahui gambaran paling realistis dari

sebuah objek, akan lebih baik jika berjalan mengelilingi dan mengamati dari

26
8
27

berbagai sudut. Citra pada Computed Tomography dihasilkan dengan cara

yang sama. Membutuhkan banyak view untuk menghasilkan sebuah citra

(Romans,2011).

Sistem komputer menerima data digital dari DAS dan memprosesnya

untuk rekonstruksi sebuah citra yang berupa citra anantomi cross sectional

(Seeram,2016).

Sistem komputer akan menghitung sifat atenuasi dari setiap ray sum

dan menghubungkannya dengan posisi dari ray. Hasil dari penghubungan

ini disebut dengan attenuation profile, dan ini diciptakan untuk setiap view

pada scan. Informasi dari semua attenuation profile diproyeksikan ke dalam

sebuah matrix. Proses pengubahan data dari attenuation profile ke sebuah

matrix disebut dengan back projection (Romans,2011).

Masalah utama dari teknik back projection ialah teknik ini tidak dapat

memproduksi citra yang tajam dari sebuah objek dan karena itu tidak

digunakan dalam Computed Tomography klinis. Selain ketidaktajaman,

teknik ini juga menghasilkan banyak strike artifact yang biasanya berbentuk

bintang atau star pattern (Seeram,2016). Untuk memperkecil artefak ini,

sebuah proses yang disebut dengan filtering yang diplikasikan pada scan

data sebelum back projection terjadi. Proses filtering ini dilakukan dengan

menggunakan langkah matematika yang rumit. Penggunaan fungsi filter ini

disebut dengan convolution (filtered back projection) (Romans,2011).

Problematika utama dengan penggunaan algoritma filtered back projection

ialah timbulnya noise dan streak artifact.


28

7. Image Post processing dan Visualisasi

Image post processing dapat diartikan sebagai penggunaan berbagai

teknik (image software atau algoritma) untuk mengubah citra hasil

rekonstruksi yang ditampilkan untuk dilihat dan diinterpretasikan. Teknik ini

digunakan untuk mengubah tampilan dari citra yang ditampilkan secara

keseluruhan sehingga terjadi penyangatan struktur pada citra yang

ditampilkan. Teknik yang paling sering digunakan disebut dengan gray level

mapping yang disebut juga dengan contrast enhancement, contrast

stretching, histogram modification, histogram stretching atau windowing

(Seeram,2016).

Skala keabuan digunakan untuk menampilkan citra Computed

Tomography. Sistem ini menunjukkan sebuah sebuah jumlah hounsfield

unit tertentu untuk setiap tingkat keabuan. Citra akan ditampilkan dengan

sebuah perbedaan tingkat keabuan untuk setiap hounsfield unit yang

diwakili. Meskipun ada lebih dari 2000 perbedaan nilai dari hounsfield unit,

monitor hanya dapat menampilkan sebagian kecil dari tingkatannya,

biasanya kurang dari 40. Sebagai aturan umum, mata manusia tidak dapat

menilai perbedaan kontras kurang dari 10% dimana Computed

Tomography Scan dapat dengan mudah memperlihatkan perbedaan

kurang dari 1%. Untuk mengatasi keterbatasan ini, sebuah skala keabuan

digunakan dalam menampilkan citra (Romans,2011).

Citra pada Computed Tomography direkonstruksi dari data proyeksi

yang dikumpulkan dari pasien. Hasil dari rekonstruksi citra ini berupa

sebuah numerical image. Citra ini harus dirubah dalam bentuk sebuah citra

dengan skala keabuan untuk dapat dilihat oleh radiografer dan radiolog.
29

Numerical image mengandung sebuah bentangan CT number (gray level)

dan nilai ini dikonversikan kedalam skala keabuan dengan nilai yang lebih

rendah menunjukkan hitam dan nilai yang lebih tinggi menunjukkan putih.

Windowing adalah sebuah metode yang oleh skala keabuan pada citra

Computed Tomography dapat dimanipulasi dengan CT number dari citra

tersebut. Kontras dan brightness pada gambar dapat dengan mudah

dirubah melalui dua mekanisme yaitu window width (WW) dan window level

(WL).

Menurut definisinya window width adalah bentangan CT number pada

citra. Hal ini menentukan jumlah maksimum bayangan keabuan yang bisa

ditampakkan pada monitor. Sedangkan window level adalah nilai tengah

dari bentangan CT number. Adapun nilai manipulasi window dalam organ

adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 Nilai manipulasi windowing pada organ


Pemeriksaan Width Level
Posterior fossa 150 40
Brain 100 30
Temporal bone 2800 600
Neck 250 30
Mediastinum 350 50
Lung 1500 -600
Abdomen soft tissue 350 50
Abdomen liver high contrast 150 30
Pelvis soft tissue 400 50
Pelvis bone 1800 400
Spine soft tissue 250 50
Spine bone 1800 400
Sumber : Romans,2011
30

8. Kualitas Citra

Kualitas citra adalah perbandingan antara citra terhadap objek yang

sebenarnya. Kualitas citra secara langsung berhubungan dengan dalam

tingkat akurasi sebuah diagnosis (Seeram,2016).

Menurut Romans (2011), kualitas citra dipengaruhi oleh dua buah

faktor yaitu parameter scanning dan geometri scanning.

a. Parameter scanning

Banyak faktor yang mempengaruhi produksi kualitas citra.

Beberapa diantaranya dapat diatur oleh operator yang biasa disebut

dengan parameter scanning. Adapun parameter scanning ini berupa :

1) Milliampere (mA) dan scan time

Didalam sebuah tabung sinar-X terdapat sebuah katoda

(filamen) dan sebuah anoda (target). Filamen ini akan menyediakan

elektron yang akan menghasilkan sinar-X. Sistem akan memanaskan

filamen hingga elektron mulai “mendidih” dan melepaskan diri dari

filamen. Elektron ini akan tertarik menuju ke anoda. Arus elektron

yang mengalir dari filamen menuju ke anoda ini diukur dalam mA.

Menaikkan nilai mA makan akan meningkatkan jumlah elektron yang

akan memproduksi foton sinar-X. Penggunaan sebuah filamen

berukuran kecil akan memusatkan focal spot, mengurangi penumbra

(geometric unsharpness), yang pada akhirnya akan mempengaruhi

kualitas citra. Sayangnya, sebuah filamen berukuran kecil tidak dapat

mentoleransi mA tinggi. Oleh karena itu, sistem biasanya

menyediakan dua filamen yang terpisah, yang terdiri dari filamen kecil

(untuk mA rendah, kurang dari 350 mA) dan filamen besar (untuk mA
31

yang lebih tinggi). Pada kenyataannya, hilangnya resolusi yang

disebabkan oleh penggunaan filamen yang lebih besar hanya bernilai

sedikit dan sulit untuk terlihat pada gambaran standar computed

tomography.

Pada SDCT, scan time adalah waktu pancaran sinar-X untuk

memperoleh data dari setiap irisan. Hal ini dimasksudkan pada waktu

yang dibutuhkan untuk gantri membuat sebuah rotasi 3600, meskipun

dengan pilihan over scanning atau partial scanning. Pada kebanyakan

situasi sebuah rekonstruksi algoritma scan penuh biasanya digunakan

pada MDCT. Selanjutnya, pada kebanyakan kasus, scan time pada

MDCT adalah waktu untuk tabung sinar-X membuat rotasi 3600

secara bersamaan memperoleh banyak irisan. Biasanya pilihan dari

scan time untuk skala rotasi penuh berkisar dari 0.5 hingga 2 sekon.

Kuantitas dari foton sinar-X dihasilkan dari mA dan scan time.

Pengaturan mA tinggi akan memberikan efek pada penggunaan scan

time yang lebih pendek. Scan time yang pendek merupakan hal yang

penting untuk menghindari degradasi citra yang dihasilkan oleh

pergerakan pasien.

2) Kilovolt peak (kVp)

Sistem computed tomography mengijinkan operator untuk

mengatur tegangan tabung. Hal ini disebut dengan pengaturan kilovolt

peak atau kVp. Pada computed tomography, kVp tidak merubah

kontras secara langsung seperti pada film radiografi. Dibandingkan

dengan pilihan mA, pilihan kVp lebih terbatas. Menaikkan nilai kVp

akan meningkatkan intensitas dari pancaran sinar-X sehingga


32

pancaran tersebut dapat menembus bagian anatomi yang tebal dan

padat.

Pada praktiknya, manipulasi nilai mAs lebih sering dilakukan dari

pada manipulasi nilai kVp untuk mendapat nilai dosis radiasi yang

sesuai. Hal ini dikarenakan mempunyai dua alasan yang kuat.

Pertama, pilihan dari nilai mA lebih fleksibel, dengan pilihan dari 20

hingga 800 mA. Kedua, efeknya pada kualitas citra lebih dapat

diprediksi.

3) Slice thickness

Slice thickness merupakan hal penting pada computed

tomography dan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

kualitas citra. Pada saat kita mendiskusikan tentang kualitas citra,

yang menjadi pusat perhatian utama terletak pada slice

thickness(bagaimana data diperoleh) daripada image thickness

(bagaimana data direkonstruksi).

4) Field of view

Field of view terbagi menjadi dua yaitu scan field of view (SFOV)

dan display field of view (DFOV). SFOV menentukan daerah (dalam

gantri) untuk memperoleh raw data. scan data selalu diperoleh

disekitar gantry isocenter. Sedangkan DFOV menentukan berapa

banyak dan bagian apa dari raw data yang digunakan untuk

menghasilkan sebuah gambar.

5) Rekonstruksi algoritma

Pada berbagai vendor, fitur ini akan mempunyai sebutan yang

berbeda, seperti algorithm, convolution filter, FC filter atau simply


33

filter. Scanner pada saat ini memberikan pilihan algoritma yang

dirancang untuk merekonstruksi gambaran menjadi lebih optimal

tergantung pada jenis jaringan. Dengan memilih slgoritma yang

spesifik, berarti bahwa operator memilih bagaimana data akan

difiltrasi pada proses rekonstruksi. Filter ini hanya bisa diaplikasikan

terhadap raw data (bukan image data). Sangat penting untuk

membedakan rekonstruksi algoritma dengan hanya merubah nilai

window width dan window level. Merubah pengaturan windowing

hanya merubah cara gambar tersebut dilihat sedangkan merubah

rekonstruksi algoritma akan mengubah cara raw data dimanipulasi

untuk merekonstruksi gambar.

6) Pitch

Pitch adalah hubungan antara slice thickness dan pergerakan

meja selama akuisisi helical scan berlangsung. Tersedia berbagai

pengaturan pitch yang spesifik dan bergantung pada vendor serta

jumlah dan konfigurasi dari detector row.

b. Geometri scanning

Faktor lainnya yang memperngaruhi kualitas citra ialah tube arc.

Secara tradisional, gambaran computed tomography terbentuk dari data

yang diperoleh pada satu rotasi penuh (3600) tabung sinar-X. Pada

kasus ini, dua sample yang sama (dalam arti cerminan) diambil dalam

1800. Sample ini memberikan informasi yang mirip untuk merekonstruksi

gambar. Biasanya gambaran ditingkatkan Dengan merata-ratakan

informasi dari dua view yang sama.


34

Pilihan yang lain dari tubearc adalah 4000 scan, yang diketahui

sebagai overscan. Overscan menambahkan lebar dari field of view ke

scan penuh (3600fullscan + 40 field of view = 4000). Ini biasanya umum

digunakan pada scanner generasi keempat. Pada rancangan detektor

stasioner, view tidak direkam secara instan, tapi diambil setelah satu per

lima scan time karena peningkatan waktu ini mempengaruhi konsistensi

data dalam view, maka pergerakan menjadi sebuah masalah. Kerugian

ini dapat diminimalisir dengan penggunaan overscan. Dengan

memperbolehkan beberapa overlap data dari posisi tabung pertama kali

dan terakhir, overscan dapat mengurangi motion artifacts.

Pada umumnya, kualitas citra dari Computed Tomography Scan

dapat dijelaskan dengan beberapa parameter kinerja yaitu high contrast

spatial resolution, low contrast resolution, temporal resolution, Computed

Tomography number uniformity dan accuracy, noise dan artifact. Parameter

tidak hanya dipengaruhi oleh performa sistem computed tomography tetapi

juga dipengaruhi oleh protokol yang dipilih oleh operator (Seeram,2016).

a. High contrast spatial resolution

Spatial resolution dari sebuah Computed Tomography Scan

menunjukkan kemampuan Computed Tomography Scan untuk

memsiahkan objek dengan posisi yang berdekatan yang berbeda

secara signifikan dari latar belakangnya. Yaitu, memiliki kontras yang

tinggi terhadap latar belakangnya (Seeram,2016).

Spatial resolution merupakan istilah lain yang digunakan untuk

detail resolution. Spatial resolution adalah kemampuan sistem untuk


35

memisahkan, sebagai bentuk terpisah, objek kecil yang sangat

berdekatan (Romans,2011).

Banyak faktor yang mempengaruhi spatial resolution. Yang paling

mendominasai ialah ukuran dan bentuk focal spot, ukuran detektor,

geometri scanner dan frekuensi sampling (Seeranm,2016).

Spatial resolution didefinisikan dan diukur secara dominan dalam

scanning plane. Pengertian dari “in plane” merujuk kepada fakta bahwa

spatial resolution diukur pada bidang aksial (bidang x-y) dari CT. in

plane resolution ditentukan dengan line pairs per centimeter (lp/cm)

atau bias juga dengan line pairs per millimeter (lp/mm). Line pair adalah

sebuah bar hitam putih berukuran sama yang berpasangan. Karena

akuisisi CT dan proses rekonstruksi merupakan band-limited

(kandungan dengan frekuensi tinggi ditekan atau dihilangkan),

rekonstruksi citra dari pola bar merupakan versi blurr dari objek asli.

Jika spatial frekuensi diplot sebagai fungsi dari kepatuhan nilai citra,

maka akan diperoleh sebuah kurva yang halus. Hal ini sering disebut

dengan modulation transfer function (MTF) dari sistem. MTF dapat

digunakan sebagai jaminan mutu untuk menentukan kemampuan

resolusi scanner atau bisa juga digunakan untuk membandingkan

kinerja dari sistem CT yang berbeda (Seeram,2016).

b. Low contrast resolution

Salah satu keunggulan dari Computed Tomography terhadap

radiografi konvensinal adalah kemampuannya untuk memperlihatkan

objek dengan kontras yang rendah yang memiliki tingkat kepadatan

yang sedikit berbeda dari latar belakangnya. Pada Computed


36

Tomography scan ini biasanya disebut dengan sensitivitas dari sistem.

Visibilitas dari sebuah objek diperngaruhi oleh ukuran dan kontrasnya

(perbedaan intensitas) (Seeram,2016).

Low contrast resolution dapat diukur dengan phantom yang

mengandung objek dengan kontras rendah yang berukuran tidak sama.

Low contrast performance atau low contrast detectibility (LCD) dari

scanner biasanya didefinisikan sebagai objek terkecil yang bias

divisualisasikan pada tingkatan kontras dan dosis yang diberikan.

c. Temporal resolution

Temporal resolution mengacu kepada seberapa cepat data

diperoleh. Temporal resolution dipengaruhi oleh kecepatan rotasi

gantry, jumlah channel detektor pada sistem dan kecepatan sistem

untuk merekam perubahan sinyal (Romans,2011).

d. CT number Uniformity And Accuracy

CT number terkait dengan koefisien atenuasi dari objek.

Dimana µw adalah koefisien atenuasi dari air. Pada penegertian

dasar, dua titik didefinisikan secara tepat pada skala CT number.

Pertama adalah air dengan CT number dan yang kedua adalah udara

dengan CT number -1000. Karena air mirip dengan jaringan lunak

dalam hal karakteristik atenuasi, hal ini sangat penting untuk

menentukan akurasinya untuk Computed Tomography Scan. Hampir

seluruh perusahaan Computed Tomography menyediakan phantom air

untuk jenis pengujian ini. Saat phantom di scan, rata-rata nilai dari CT
37

number pada bagian air seharusnya harus cukup mendekati nilai nol

(Seeram,2016).

CT number uniformity menyatakan bahwa untuk phantom

seragam, nilai dari CT number seharusnya tidak berubah dengan lokasi

yang sudah dipilih dari ROI atau posisi relatif dari phantom terhadap

isocenter scanner. CT number accuracy atau lebih tepatnya adalah

akurasi dari nilai rekonstruksi citra (Seeram,2016).

e. Noise

Noise adalah standar deviasi dari hounsfield number dalam

sebuah region of interest (ROI). Saat meterial yan seragam telah

digambarkan menggunakan Computed Tomography scan, pemeriksaan

nilai dari Computed Tomography untuk piksel pada area yang

terlokalisir menunjukkan nilai CT number yang berbeda, tapi masih

dalam rentang nilai rata-rata. Variasi acak ini dinamakan citra noise dan

terutama disebabkan oleh statistik produksi sinar-X dan interaksinya

dengan bahan. Hal ini biasanya diketahui sebagai quantum noise.

Adapun penyebab lainnya yaitu noise berstruktur (artefak) dan noise

elektronik (IAEA,2012).

f. Artefak

Secara umum, artefak adalah sebuah distorsi atau error dalam

sebuah citra yang tidak ada hubungannya dengan subjek yang sedang

dipelajari. Dan secara khusus, ketidaksesuaian antara rekonstruksi CT

number pada citra dan koefisien atenuasi yang sebenarnya dari sebuah

objek. Berdasarkan penampilan dan penyebabnya artefak dapat

dikelmpokkan menjadi streak artefak, shadings artefak serta ring and


38

bands artefak. Artefak yang sering muncul yaitu patient motion artifact,

metal artifact, beam hardening artifact, partial volume artifact, alliasing

artifact, noise induced artifact, scatter serta cone beam artifact

(Seeram,2016).

B. Quality Control untuk Computed Tomography Scan

Quality control atau kendali mutu adalah bagian dari quality assurance

(QA) atau jaminan mutu yang berhubungan dengan teknik-teknik yang

digunakan dalam pemantauan dan pemeliharaan elemen-elemen teknisdari

suatu sistem peralatan radiograf dan pencitraan yang mempengaruhi mutu

gambar. QC adalah bagian dari jaminan mutu yan berhubungan dengan

instrument dan peralatan. Tujuan dari QC adalah untuk menjamin bahwa

peralatan pencitraan yang digunakan menghasilkan kualitas gambar yang

baik dengan dosis yang diterima pasien seminimal mungkin (Papp,2006).

Tujuan untuk dari setiap program quality control adalah untuk

memastikan peralatan pencitraan menghasilkan kualitas citra terbaik dengan

dosis radiasi terhadap pasien yang minimal. Kualitas citra pada Computed

Tomography scan sulit untuk dipertahankan karena dipengaruhi oleh sifat

yang kompleks dari akuisisi citra dan tampilan (Papp,2006).

Quality control berhubungan dengan peralatan pencitraan Computed

Tomography dan ini merupakan komponen penting dari sebuah program

proteksi radiasi. Hal ini termasuk dalam beberapa prinsip dan konsep yang

akhirnya menuju ke optimisasi dosis sebagai sebuah strategi untukproteksi

radiasi terhadap pasien. semua bagian Computed Tomography scan yang


39

bernaung di bawah instalasi radiologi harus mempunyai sebuah program

quality control (Seeram,2016).

Menurut Seeram (2016), quality control melibatkan tiga langkah

mendasar yaitu:

1. Acceptance test

Pada dasarnya merupakan uji kesesuaian dengan kata lain yaitu

apakah peralatan Computed Tomography sesuai dengan spesifikasi

pabrik (biasanya diuraikan atas permintaan di Rumah Sakit untuk proposal

pembelian Computed Tomography) dan memastikan peralatan ini bekerja

secara efisien dalam hal berbagai keluaran seperti kualitas citra dan

keluaran dosis.

Acceptance test harus dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan

terhadap pasien pertama dan tes kesesuaian harus dilakukan setelah

adanya perbaikan besar. Yang dimaksud dengan perbaikan besar yaitu

penggantian atau perbaikan komponen seperti tabung sinar-X atau

pemasangan detektor (ACR,2012).

2. Routine performance evaluation

Merujuk kepada pemantauan komponen Computed Tomography

scan yang mempengaruhi dosis dan kualitas citra. Pemantauan ini

termasuk ke dalam pengujian quality control yang dilakukan secara

berkala (harian, mingguan, bulanan dan tahunan).

Pada umumnya, radiografer cukup aktif dalam routine performance

test dari Computed Tomography scan. Beberapa pengujian membutuhkan

keahlian dari fisikawan medis.


40

Pada rujukan yang lain yakni dari GE manual book (2015)

menyatakan bahwa frekuensi pengujian untuk kualitas citra dilakukan

dalam waktu tiga bulan sekali dan pengujian dosis dilakukan dalam waktu

setahun sekali.

3. Error correction

Error correction berhubungan dengan hasil dari pengujian quality

control. Jika Computed Tomography scan gagal memenuhi batas toleransi

atau batas penerimaan yang sudah ditentukan untuk pengujian quality

control tertentu, selanjutnya Computed Tomography scan tersebut harus

diperbaiki untuk memastikan batas toleransinya terpenuhi. Ini adalah

prinsip dasar dari error correction.

Quality control Computed Tomography scan dilakukan dengan frekuensi

harian, bulanan dan tahunan serta perlu untuk didokumentasikan

(Seeram,2016).

Menurut ACR (2012) dalam buku manual tentang quality control

Computed Tomography menjabarkan pengujian-pengujian yang harus

dilakukan, seperti:

1. Review of clincal protocol

Kegiatan quality control ini dilakukan dengan tujuan untuk

memastikan bahwa protokol pemeriksaan telah menggunakan fitur yang

tepat dan untuk memastikan protokol yang digunakan tersebut mampu

mendapatkan kualitas citra yang diinginkan saat pemeriksaan

diterapkannya pengurangan dosis radiasi terhadap pasien. frekuensi


41

setahun sekali atau setelah dilakukannya perbaikan atau setelah

dilakukannya perubahan protokol.

Review ini dilakukan oleh dokter spesialis radiologi yang bertanggung

jawab dan fisikawan medis beserta radiografer. Program ini dilakukan

secara rutin untuk semua protokol yang digunakan untuk memastikan tidak

adanya perubahan yang terjadi terhadap protokol yang digunkan yang

dapat mengakibatkan menurunnya kualitas citra atau peningkatan dosis

yang tidak bermanfaat. Review ini meliputi parameter-parameter scanning

yang digunakan.

2. Scout prescription and alignment light accuracy

Untuk memeriksa gabungan dari alignment light dan citra scout

secara tepat mengindikasikan posisi scan. Pengujian ini dilakukan dengan

frekuensi setahun sekali.

Pengujian ini menggunakan fantom yang mengandung penanda

fiducial eksternal yang terlihat atau indikasi pada bagian tengah citra.

Pengujian ini dilakukan dengan scanning keseluruhan fantom pada mode

axial dengan menggunakan parameter scanning abdomen dewasa dengan

scan width 2 mm atau setipis mungkin yang bisa dihasilkan scanner pada

mode axial. Untuk menentukan hasil dari pengujian alignment light

accuracy, penguji harus melakukan verifikasi bahwa marker radiopaque

terlihat pada citra hasil rekonstruksi, jika dilakukan dengan cara multipel

scan maka identifikasi citra dimana letak markernya dapat terlihat paling

baik, posisi citra menentukan misalignment yang terjadi. Sedangkan untuk

scout prescription dengan cara membandingkan perbedaan letak dari posisi


42

scout dengan posisi citra marker pada hasil scanning. Batas limitasi dari

perbedaan yang terjadi ialah sebesar 2 mm untuk kedua pengujian.

3. Image thickness

Pengujian ini dilakukan dengan tujuan untuk memeriksa ketebalan

slice setelah rekonstruksi dibandingkan dengan nilai nominalnya. Pengujian

ini dilakukan dengan frekuensi setahun sekali atau setelah adanya

perbaikan.

Pengujian ini menggunakan fantom sebagai alat uji, dimana fantom ini

mengandung target internal yang dapat menentukan image thickness yang

telah direkonstruksi.Scanning dilakukan dengan paramater increment 0,

mode scan axial, 120 kV dan 200 mAs.

Untuk fantom ACR CTAP, setiap garis mempresentasikan 0.5 mm

thickness. Hitung setiap garis, lalu bagi jumlah garis yang ada dengan 2.

Hasil pengukuran image thickness harus sama dengan nilai nominal dalam

1.5 mm.

4. Table travel accuracy

Pengujian ini bertujuan untuk memeriksa meja pemeriksaan pasien

bergerak sebagaimana yang ditunjukkan. Akurasi pergerakan meja dan

kembainya ke posisi semula harus akurat dalam 2 mm. Pengujian

dilakuakan dengan frekuensi setahun sekali.

Pengujian ini menggunakan fantom yang sama dengan fantom

pengujian pada scout prescription and alignment light accuracy. Langkah

pengujiannya dengan cara menaruh beban yang sama dengan berat rata-

rata pasien. Posisi fantom awal ada pada set yang pertama dari ficudial

marker (pada titik awal pengukuran), indikator posisi meja dijadikan nol
43

setelah itu gerakkan meja ke bagian ke dua dari eksternal ficudial marker.

Catat posisi meja. Jalankan meja sampai bagian paling ujung (diregangkan

penuh) dan kembalikan ke posisi titik awal pengukuran. Catat hasil

pengukuran meja yang baru. Bandingkan posisi ficufial marker yang

pertama dengan posisi baru yang telah dicatat setelah meja diregangkan

penuh dan dikembalikan kembali. Pergerakan meja dan kembalinya ke

posisi semula harus akurat dalam 2 mm.

5. Radiation beam width

Pengujian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengukur lebar

pancaran radiasi dan untuk menilai hubungannya dengan nominal lebar

pancaran yang terkolimasi. Pengujian dilakukan dengan frekuensi setahun

sekali.

Pengujian ini menggunakan detektor radiasi eksternal seperti CR

plate dan flat radiation attenuator (1/8 inci timbal atau 15 cm akrilik).

Tempatkan flat radiation attenuator pada meja pemeriksaan, dan

tempatkan detetktor radiasi eksternal pada flat attenuator. Tinggi meja

diatur hingga detektor radiasi eksternal terletak tepat pada isocenter. Scan

menggunakan total nominal radiation beam width yang produk sediakan.

Untuk penghitungan hasil pengujian menggunakan metode yang sesuai

untuk detektor radiasi eksternal yang digunakan, karena hal ini menentukan

radiation beam width untuk setiap nilai unik dari total nominal radiation

beam width. Hasil dari pengujian harus dalam nilai 3 mm atau 30% dari

total niminal collimated beam width.


44

6. Low contrast performance

Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan untuk memeriksa kinerja

low contrast dari protokol yang digunakan dalam memenuhi syarat untuk

diagnosis. Pengujian ini dilakukan dengan frekuensi setahun sekali.

Pengujian dini dilakukan dengan menggunakan fantom yang

mengandung target low contrast. Pengujian dilakukan dengan scanning

terhadap fantom dengan parameter auto mA ditiadakan, atau bisa juga

dengan menggunakan parameter spesifikasi dari pabrikan. Penghitungan

nilai dari low contrast resolution dilakukan dengan dua cara yaitu analisa

visual dan analisa numerik. Analisa visual dilakukan dengan cara, pertama

tentukan hasil citra yang memberikan gambaran low contrast target yang

terbaik. Untuk optimasi visibilitas target low contrast, windowing diatur

dengan nilai WW 100 dan WL 100. Catat ukuran dan atau kontras dari

target yang hampir tidak tervisualisasi. Sedangkan untuk analisa numerik

menggunakan fitur ROI untuk pengukurannya. ROI pertama diletakkan

pada gambaran yang mewakili target paling besar, catat mean value dari

hasil ROI tersebut. ROI kedua ditempatkan dekat dengan ROI pertama

tetapi diletakkan pada bagian background (water section), catat mean value

dan standar deviasi dari ROI tersebut. Setalah itu hasil ROI ini dimasukkan

kedalam rumus CNR sebagai berikut :

Kriteria nilai low contrast pada pengukuran dengan analisa visual,

harus dapat memvisualisasikan target low contrast pada fantom yang

berukuran 6 mm atau lebih. Sedangkan kriteria nilai untuk analisa numerik

ditandai dengan besarnya niai contrast noise to ratio (CNR) dimana pada
45

kondisi standar nilai CNR pada protokol pemeriksaan kepala dan abdomen

untuk dewasa bernilai 1 sedangkan untuk nilai CNR untuk protokol

pemeriksaan kepala dan abdomen pada pediatrik berturut-turut sebesar 1

dan 0.5. ACR juga memberikan catatan bahwa Jika pengujian

menggunakan spesifikasi dari pabrikan sebagai kriteria limitasinya, maka

teknik scanning harus identik dengan rekomendasi dari pabrikan.

7. Spatial resolution

Pengujian ini bertujuan untuk memeriksa kinerja spatial resolution dari

protokol yang digunakan untuk memenuhi syarat diagnosis. Pengujian ini

dilakukan dengan frekuensi setahun sekali.

Pengujian ini menggunakan fantom yang mengandung target atau

pola high contrast yang resolusinya telah diketahui. Pengujian dilakukan

dengan cara scanning terhadap bagian spatial resolution dari fantom.

Pengaturan auto mA harus ditiadakan, gunakan nila mAs yang sesuai

untuk rata-rata ukuran pasien. Scanning dilakukan dengan parameter yang

sering dilakukan oleh instalasi yang bersangkutan seperti parameter untuk

abdomen dewasa dan thorax high resolution. Pengukuran dilakukan

dengan cara memilih citra hasil scanning dari bagian yang paling tengah.

Windowing diatur dengan window width 100 dan window level 1100.

Selanjutnya tentukan dan catat frekuensi paling tinggi yang terlihat pada

citra.

Menurut DAP (2010), menyatakan selain pengukuran secara visual,

nilai high contrast spatial resolution dapat diukur dengan dua cara lainnya

yaitu dengan menggunakan kurva modulation transfer function (MTF) dan

pengukuran kuantitatif. Kurva MTF diperoleh dari fourier transform pada


46

point spread function, dan hal ini hanya bisa dilakukan oleh software dari

pabrikan. Sedangkan teknik pengukuran kuantitatif dapat diperoleh dengan

menggunakan alat berpola bar (fantom bar pattern) yang mengandung pola

line pair dari frekuensi spatial yang berbeda. Pengukuran kuantitatif ini

menggunakan fitur ROI yang akan menghasilkan titik sepanjang kurva

MTF.

Pernyataan tentang pengukuran dengan teknik kuantitatif ini diperkuat

oleh Tarraf Torfeh, Stephane Beaumont, Jean Pierre Guerdon dan Eloise

Denis pada penelitian mereka yang berjudul “Evaluation of Two Software

Tools Dedicated for An Automatic Analysis of the CT Scanner Image

Spatial Resolution”. Mereka menyatakan bahwa penghitungan nilai spatial

resolution dikalkulasikan dengan mengukur standar deviasi dari piksel pada

setiap pola dari citra cyclic bar pattern. Setelah mendapatkan nilai standar

deviasi maka dilanjutkan dengan penghitungan menggunakan rumus

Droege-Morin sebagai berikut :

Dimana pMTFpattern(i) adalah nilai pMTF untuk frekuensi kelompok pola

ke (i), SDpattern(i) adalah standar deviasi nilai piksel dari kelompok pola ke i,

SDROIp(i) dan SDROIp(i) adalah standar deviasi nilai intensitas piksel, MROIp(i)

dan MROIbg(i) adalah nilai mean intensitas piksel dalam ROI yang sama.

Nilai batas normal dari spatial resolution pada protokol abdomen

dewasa sebesar 6 lp/cm sedangkan untuk thorax high resolution sebesar 8


47

lp/cm. ACR juga memberikan catatan bahwa Jika pengujian menggunakan

spesifikasi dari pabrikan sebagai kriteria limitasinya, maka teknik scanning

harus identik dengan rekomendasi dari pabrikan.

8. CT number accuracy

Pengujian ini dilakuakan untuk memeriksa CT number yang

ditunjukkan oleh sistem CT scan dengan akurasi yang dapat diterima dan

bervariasi sesuai dengan yang diharapkan. Pengujian ini dilakukan dengan

frekuensi setahun sekali.

Pengujian ini menggunakan fantom yang mempunyai target dengan

sediaan setidaknya 3 material yang mempunyai CT number yang berbeda.

Hasil dari scanning fantom ini diukur menggunakan fitur ROI pada setiap

target. ROI yang digunakan mempunyai ukuran 80% dari setiap ukuran

target. Catat nilai mean value hasil ROI tersebut dan bandingkan nilai

tersebut dengan nilai rujukan.

Nilai rujukan untuk CT number standar pada berbagai material adalah

sebagai berikut :

Tabel 2.2 Nilai standar CT number pada berbagai material


Material Kisaran nilai CT number

Air -7 sampai 7 HU

Udara -970 sampai -1005 HU

Teflon (tulang) 850 sampai 970 HU

Polietilen -107 sampai -84 HU

Akrilik 110 sampai 135 HU

Sumber : ACR,2012
48

9. Artifact evaluation

Pengujian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkoreksi

artefak pada citra dari sebuah tes fantom sebelum menjadi cukup parah

untuk dideteksi pada citra dari pemeriksaan terhadap pasien. cara

mengidentifikasi adanya artefak atau tidak ialah mengamati setiap citra dari

fantom air dan bandingkan dengan refrensi bentuk-bentuk artefak yang

ada. Pengujian ini dilakukan dengan frekuensi setiap hari. Berikut adalah

beberapa rujukan bentuk dari artefak :

a. Contoh artefak dari phantom air

Gambar2.12 Linear streak artefak dan centralized ring artefak


(ACR,2012)

Gambar2.13 Middle ring portion artefak dan centralized ring artefak


(ACR,2012)
49

Gambar2.14 Middle ring portion artefak dan central point ring artefak
(ACR,2012)

b. Contoh artefak yang sering muncul hanya pada sebuah uniform phantom

yang lebih besar

Gambar 2.15Middle ring portion artefak


(ACR,2012)

Gambar2.16 Significant streak artefak dan middle portion ring artefak


with streaking (ACR,2012)
50

10. CT number uniformity

Pengujian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkoreksi CT

number yang tidak seragam pada citra dari sebuah tes fantom air sebelum

menjadi cukup parah yang berakibat pada diagnosa pasien. Frekuensi

dilakukannya pengujian ini ialah setahun sekali.

Pengujian dilakukan dengan menggunakan fantom air. Hasil scanning

dari fantom air ini akan diukur menggunakan fitur ROI yang berukuran

sekitar 1% dari ukuran area fantom. ROI ini ditempatkan pada bagian

tengah citra fantom air dan pada bagian tepi di arah jarum jam 12, 3, 6, dan

9. Catat nilai mean dari setiap ROI. Hitung besar selisih nilai mean antara

bagian tengah dengan bagian tepi.

Kriteria nilai normal dari pengujian ini berdsarkan pada nilai selisih

antara nilai mean pada bagian tengah dengan bagian tepi, yang biasanya

berkisar sampai 5 HU dan tidak boleh melampaui 7 HU.

11. Dosimetry

Pengujian ini bertujuan untuk mengukur dosis untuk memuktikan

kinerja CT scan dan untuk memungkinkan penghitungan estimasi jumlah

dosimetri yang relevan pada pemeriksaan pasien. pengujian ini dilakukan

dengan frekuensi setahun sekali.

12. Gray level performance of CT acquisition display monitor

Pengujian ini bertujuan untuk memastikan citra pada monitor,

menunjukkan bayangan keabuan yang dihasilkan oleh CT scan. Pengujian

ini dilakukan dengan frekuensi setahun sekali.


51

Pengujian ini menggunakan pola uji SMPTE dan photometer yang

terkalibrasi dengan presisi, akurasi dan pengukuran kalibrasi efektif

sebesar 0.1 cd/m2.

Tampilkan pola uji SMPTE pada console. Atur windowing sesuai

dengan spesifikasi dari pabrikan. Penghitungan hasil uji dilakukan secara

visual dan dengan menggunakan alat photometer. Secara visual ditujukan

untuk menentukan ada atau tidaknya tanda dari “scalloping” atau geometri

distrorsi pada pola SMPTE. Sedangkan penggunaan photometer bertujuan

untuk mengetahui nilai minimum dam maksimum dari brightness monitor

dengan cara mengukur pola SMPTE pada bagian tengah dan setiap sudut.

Nilai minimum harus ≤ 1.2 cd/m2 dan maksimum ≥ 90 cd/m2.

13. Water CT number and standard deviation

Pengujian ini bertujuan untuk memastikan bahwa kalibrasi CT number

terhadap air masih dalam batas yang dapat diterima dan bahwa quantum

noise serta elektronik noise tidak boleh meningkat. Terlalu banyak noise

pada citra akan menurunkan faktor low contras detectability.

Pengujian ini menggunakan fantom berdiameter 20 cm berbentuk

silinder. Pengujian ini dilakukan dengan cara scanning terhadap fantom.

Pengukuran dilakukan terhadap citra hasil scanning fantom dengan

menggunakan fitur ROI yang diletakkan di tengah citra fantom. Hasil dari

ROI ini akan menunjukkan nilai mean untuk CT number dan standar deviasi

yang merupakan rujukan untuk nilai noise.

Biasanya nilai batas standar dari water CT number and standard

deviation ini berada pada 0 ± 3 HU tetapi masih mendapatkan toleransi

dengan tidak melebihi dari 0 ± 5 HU. Jika nilai CT number dan noise tidak
52

dalam batas kriteria selama tiga hari berturut-turut atau tiga kali dalam

periode tujuh hari, corrective action harus dilakukan dengan melaporkannya

pada wakil perawatan. Pengujian ini dilakukan dengan frekuensi setiap hari.

14. Wet laser printer dan Dry laser printer quality control

Pengujian ini bertujuan untuk memastikan citra yang telah dicetak

pada film bebas dari artefak dengan tingkat keabuan yang konsisten serta

sesuai dengan citra yang tampak pada console. Pengujian ini dilakukan

dengan frekuensi seminggu sekali.

Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan alat uji seperti

densitometer, film dan pola uji SMPTE. Tampilkan pola uji SMPTE dengan

windowing yang telah diatur menurut spesifikasi dari pabrikan lalu diprint.

Setalah diprint, nilai densitas dari pola uji SMPTE dihitung mengggunakan

densitomter. Adapun nilai normal dari pengujian ini ialah :

Tabel 2.3 Nilai standar uji Wet laser printer dan


Dry laser printer quality control

Patches Optical density Control limits

0 3.00 ±0.15

10 % 2.20 ±0.15

40 % 1.15 ±0.15

90 % 0.30 ±0.15

Sumber : ACR,2012

15. Visual checklist

Untuk memastikan sistem CT scan, lampu indikator, interkom, troli

darurat, lampu keselamatan ruangan, signage dan monitor selalu bekerja

dengan baik, stabil secara mekanik maupun elektrik. Frekuensi kegiatan ini
53

dilakukan setiap hari. Kegiatan ini dilakuakan hanya secara visual dengan

menilai kinerjanya melaui indikator-indikator yang ada lalu dicatat dalam

sebuah tabel.

Anda mungkin juga menyukai