Anda di halaman 1dari 3

Nama : Aditya Putra Ramadhan

NIM : 20823022
Kelas : Ilmu Komunikasi 1
Mata Kuliah : Agama

Sultan Abdul Hamid II

Turki Usmani adalah salah satu kesultanan yang memiliki sejarah paling

panjang. Catatan-catatan lama dari para ahli sejarah telah mengurai kisah-kisah

heroik dari kesultanan yang berpusat di Istanbul Turki ini. Salah satu satunya adalah

perjuangan Sultan Abdul Hamid II dalam menjaga warisan umat Islam, tanah

Palestina.

Ia bisa disebut sebagai benteng terakhir Turki Usmani dalam upaya menjaga

persatuan dunia Islam. Menurut catatan New World Encyclopedy, Sultan Abdul Hamid II dilahirkan di

Istambul pada tanggal 21 September 1842. Nama lengkapnya adalah Abdul Hamid bin Abdul Majid bin

Mahmud bin Abdul Hamid bin Ahmad.

Ayahnya adalah Sultan Abdul Madjid dan ibunya adalah Tir-i Mujgan Kadin Efendi yang berasal dari

Sirkasia, sebuah wilayah yang terletak di persimpangan Eropa Timur dan Asia Barat di antara Laut Hitam

dan Laut Kaspia. Ibunya meninggal saat Sultan Abdul Hamid II masih berusia tujuh tahun.

Di lingkungan tempat tinggalnya, Abdul Hamid kecil dianggap sebagai anak yang lemah dan sering

jatuh sakit. Hal itu membuat dirinya sekuat tenaga memelajari segala macam disiplin ilmu untuk menutupi

kekurangannya. Di bawah didikan ayahnya secara langsung, ia tumbuh menjadi seorang remaja yang

memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Ia sudah mampu menguasai bermacam bahasa pada usia muda.

Di samping juga ia dikenal senang membaca dan bersyair.

Lambat laun stigma negatif tentang dirinya yang lemah dan gampang sakit mulai pudar. Masyarakat mulai

mengakui keberadaannya sebagai sosok pribadi yang kelak akan menjadi orang nomor satu di

Kesultanan Turki Usmani.

Penilaian masyarakat di sekitar tempat tinggalnya bukan isapan jempol yang tak memiliki alasan. Sultan

Abdul Hamid II dikenal sebagai sosok yang sangat cerdas dan peduli sesama.

Ia menjadi khalifah Turki Usmani menggantikan pamannya, Abdul Aziz, yang bergelar Murad VI pada

1876. Pamannya yang berkuasa cukup lama ini diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah, kemudian

dibunuh oleh pembencinya. Selanjutnya, masa depan Kesultanan Turki Usmani berada di pundak Sultan
Abdul Hamid II. Selama memerintah, sejumlah capaian-capaian mentereng direngkuh Sultan Abdul

Hamid II seperti mendirikan universitas, akademi seni rupa, sekolah keuangan dan pertanian. Selain itu,

ia membuka banyak sekolah dasar, sekolah menengah atas, sekolah untuk kaum difabel, juga mendirikan

Rumah Sakit Sisli Etfal dengan uangnya sendiri. Dia juga memrakarsai pembangunan jembatan di dua

tepi selat Bosphorus serta rel kereta api. Dalam buku catatan pribadi, Sultan Abdul Hamid II menjelaskan

tentang pentingnya melakukan gerakan menanamkan kembali nilai ukhuwah islamiyah di antara kaum

muslimin dunia, baik Cina, India, Arab, Afrika, dan tempat-tempat lain. Sultan Abdul Hamid II menegaskan

keyakinannya tentang kemungkinan lahirnya kesatuan dunia Islam. Ia mengatakan, umat Islam wajib

menguatkan ikatan persaudaraan di belahan bumi lain. Satu dan lainnya wajib saling mendekat dan

merapat dalam intensitas yang sangat kuat.

Menolak Zionisme

Kisah lain dari buku hariannya adalah ketika ia menolak permintaan tokoh pendiri negara Zionis

Israel, Theodore Herzl, agar memberikan sebagian wilayahnya di Palestina untuk bangsa Yahudi.

Permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Sultan Abdul Hamid II, sehingga membuat marah bangsa

Yahudi. Sebab ketegasannya itu, musuh-musuh Islam tak henti-hentinya merongrong kekuasaan Sultan

Abdul Hamid II. Pada masa pemerintahannya, ia harus berhadapan dengan manuver orang-orang Yahudi

Dunamah yang ingin mendongkel kekuasaanya. Setidaknya ada beberapa langkah dan strategi

dilancarkan oleh kaum Yahudi menurut sejarawan Muslim Dr Muhammad Harb untuk menembus dinding

kokoh Kesultanan Turki Usmani. Target mereka adalah dapat memasuki Palestina (Dr Muhammad Harb:

2012).

Siyasat Yahudi Zionis

Pada 1892 sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid II untuk

mendapatkan izin tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab bahwa pemerintah memberitahukan

kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, mereka tidak akan diizinkan menetap di

Palestina. Mendengar jawaban seperti itu kaum Yahudi terpukul berat, sehingga duta besar Amerika turut

campur tangan. Pada 1896, Theodore Herzl memberanikan diri untuk kembali menemui Sultan Abdul

Hamid II sambil meminta izin mendirikan gedung di al-Quds. Permohonan itu kembali dijawab Sultan

dengan penolakan tegas. “Sesungguhnya Daulah Utsmani ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak

akan menyetujui permintaan tersebut. Sebab itu, simpanlah kekayaan kalian dalam kantong kalian

sendiri,” tegas Sultan.

Anda mungkin juga menyukai