Anda di halaman 1dari 4

Tugas Agama

Nama: Elsa Pitriana

Nim: 20823003

Kelas: Ilmu Komunikasi 1

Kekhilafahan Utsmani pada Masa Sultan Hamid II

“Aku (Sultan Abdul Hamid II) tidak menyalahkan siapapun (kemunduran


Utsmani). Akan tetapi kami mengetahui bahwa Inggris, Perancis dan
Rusia hingga Jerman dan Swiss, maksudnya negara-negara besar Eropa,
memperoleh kepentingan dengan membagi-bagi wilayah pemerintahan
Utsmani dan mencerai-beraikannya.”

Abdul Hamid II adalah salah satu nama sultan besar yang pernah
dimiliki Kesultanan Utsmani. Jika di masa awal kejayaan Utsmani ada
nama-nama seperti Sultan Muhammad Al-Fatih dan Sultan Sulaiman Al
-Qanuni, maka di akhir kemunduran Kesultanan Utsmani, Abdul Hamid II
menjadi sultan besar terakhir. Sebab, setelahnya tak ada lagi sultan
yang disegani. Abdul Hamid II lahir pada tanggal 21 September 1842
masehi, putra dari Sultan Abdul Majid.

Sejak kecil, ia mendapat pendidikan regular di istana, di bawah


bimbingan orang-orang yang sangat terkenal di zamannya, baik secara
ilmu maupun akhlak. Ia belajar bahasa Arab dan Persia, Sejarah,
Sastra dan ilmu-ilmu Tasawuf. Ia juga piawai menulis syair dalam
bahasa Turki. Selain mempelajari ilmu-ilmu alamiah dan sosial, ia juga
belajar secara serius bagaimana menggunakan senjata, sangat mahir
memainkan pedang, juga menembak dengan pistol. Ia tak pernah
melewatkan hari-harinya tanpa berolahraga.

Demikian pula ia sangat peduli dengan gejolak politik internasional,


selalu mengikuti berita tentang posisi negerinya dari kabar-kabar
tersebut dan memfokuskan perhatian secara teliti dan seksama. Menurut

1
situs Wikipedia, Abdul Hamid II menjadi sultan ke-34 Kesultanan
Utsmani menggantikan saudaranya Sultan Murad V. Ia menjabat sebagai
Sultan Utsmani pada tahun 1876 masehi, bertepatan dengan ketamakan
negara-negara Barat untuk menguasai Kesultanan Utsmani yang sudah
sampai pada titik puncak ketinggiannya.

Ketika Inggris mulai memperlihatkan keinginannya untuk menjadikan


Syarif Hussein, Walikota Mekkah saat itu sebagai khalifah umat Islam,
Sultan Abdul Hamid II dalam catatan hariannya yang ditulis ulang
oleh Sejarawan Muhammad Harb mengatakan, “Aku tidak mempunyai
kekuatan atau potensi untuk menghadapi ketamakan negara-negara Eropa.
Akan tetapi negara-negara itu masih takut menghadapi senjata
kekhalifahan. Ketakutan mereka terhadap kekuatan kekhalifahan
mendorong mereka bersekongkol untuk mengakhiri pemerintahan Utsmani.”
Sebagai orang yang bertanggung jawab memimpin dan melindungi
wilayahnya, ia merasa berkewajiban menghadapi ketamakan-ketamakan
tersebut serta mencari solusi yang paling tepat untuk menyelesaikannya.
Karena itu, ia berupaya menjalin hubungan dengan kekuatan-kekuatan
dunia yang muncul ketika itu, di mana dalam hal ini, Kesultanan
Utsmani beberapa kali terlibat perang di antara mereka.

Dalam catatan hariannya, Sultan Abdul Hamid II juga mengatakan,


perang secara langsung akan mengurangi kekuatan negara-negara
imperialis dan menciptakan keseimbangan kekuatan dalam peta kekuatan
dunia. Di sisi lain, ia berupaya mempersatukan kekuatan Islam yang
tercerai-berai di berbagai belahan dunia dalam menghadapi ketamakan-
ketamakan negara-negara Barat. Ia berpendapat bahwa Perang Salib
akan terus berkobar meskipun dalam bentuk rahasia.

Melalui Islam sebagai agama, Sultan Abdul Hamid II berupaya


mempersatukan berbagai elemen dan unsur yang beragam dalam
pemerintahan ini, baik dari Turki, Arab, Kurdi dan lainnya dalam
sebuah kekuatan agar mampu menghadapi serangan serangan pasukan
Salib Barat itu. Ia berpendapat, umat Islam dalam lingkup Utsmani saja
tidak cukup untuk menghadapinya. Utsmani harus melebarkan sayap dan
pengaruh persatuan Islam terhadap seluruh umat Islam baik di Asia
maupun lainnya. Dalam hal ini, Sultan Abdul Hamid II mengatakan,
“Tidak adanya saling pengertian dengan Iran merupakan sesuatu yang
mengecewakan. Jika kita ingin mengambil jarak dan kesempatan bersama
Inggris dan Rusia maka kita melihat adanya manfaat dan dampak
positif bagi pendekatan Islam dalam masalah ini.” Salah satu upaya
yang dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid II dalam mempersatukan dunia
Islam adalah dengan mengagendakan pembangunan rel kereta api. Jalur

2
rel kereta api itu menghubungkan Damaskus dengan Hijaz (Arab Saudi,
sekarang) sebagai piranti untuk menggulirkan pemikirannya mengenai
persekutuan dan persatuan dunia Islam.

Pada tahun 1908, jalur kereta api yang menghubungkan Damaskus


dengan Hijaz mulai dioperasikan. Rencananya, jalur ini akan dihubungkan
sampai Mekkah dan Jeddah. Namun karena keterbatasan dana dan sering
adanya gangguan dari para pemuka suku setempat, jalur ini hanya
dihubungkan sampai dengan Madinah. Keberadaan jalur ini sangat
mempermudah kelancaran perjalanan jamaah haji dengan sarana
transportasi modern saat itu. Berbeda dengan jalur di Timur Tengah
lainnya seperti halnya jalur kereta api Baghdad, jalur kereta api
Hijaz ini dibangun tanpa bantuan dari luar negeri khususnya dari
kekaisaran Jerman yang menjadi sekutu Kesultanan Utsmani. Dengan
tercapainya proyek ini, Sultan Abdul Hamid II berharap, hubungan
persaudaraan umat Islam semakin kuat. Di samping itu, hubungan dan
persatuan umat Islam ini setelah diperkuat dengan proyek ini akan
mampu menembus padang pasir yang tandus dan menghancurkan berhala-
berhala pengkhianatan dan tipu muslihat Inggris.

Tegas terhadap Yahudi

Sultan Abdul Hamid II adalah sultan yang terkenal tegas terhadap


orang-orang Yahudi. Ia pernah mengeluarkan instruksi untuk
mengembalikan orang-orang Yahudi yang masuk ke wilayah Utsmani.
Pada tahun 1901, ia berani mengusir salah satu dedengkot paling
dikagumi dunia Yahudi, Theodore Hertzl dan seorang Rabbi Agung
Yahudi saat berkunjung ke Islambul (Istanbul, sekarang) untuk meminta
izin mendirikan permukiman di wilayah Al-Quds, Palestina.

Kisah itu kemudian diabadikan oleh seorang Kolonel Turki bernama


Hisammuddin Arturk dalam Khafaya Ahdain yang terbit di Istanbul
tahun 1957 masehi. Hingga sekarang kisah tersebut menjadi sangat
masyhur dan selalu ada pada penulisan-penulisan artikel maupun seminar
mengenai Sultan Abdul Hamid II. “Theodore Hertzl dan Rabbi Agung
Yahudi menghadap langsung kepada Sultan Abdul Hamid II untuk
meminta izin pendirian Permukiman Yahudi secara terpisah di distrik Al
-Quds. Tiada yang dilakukan Abdul Hamid II kecuali mengusir
keduanya.”

Salah soerang sejarawan Turki, Nizhamuddin Tepe Denali mengomentari


permasalahan ini. Menurut Denali, sikap tegas yang ditunjukkan Sultan
Abdul Hamid II kala itu mendorong Theodore Hertzl dan bangsa

3
Yahudi untuk mendukung orang-orang yang melawan sultan. Benar saja,
setelah itu muncul gerakan-gerakan yang memfitnah Sultan Abdul
Hamid II dengan sebutan Hamidian Absolutism, Freedom.

Sultan Abdul Hamid II terpaksa melepas baju kekhalifahannya dan


sebagai pemimpin tertinggi Kesultanan Utsmani kepada saudaranya,
Sultan Muhammad Rasyad atau dikenal dengan Sultan Muhammad V
pada tanggal 27 April tahun 1909 masehi. Dengan keputusannya ini, ia
beserta keluarganya harus menaiki kereta menuju tempat pengasingannya
di Selonika, sebuah kota kecil di Yunani yang sebagian besar
penduduknya adalah Yahudi. Di tempat pengasingan di kota yang
berkarakter Yahudi ini, Sultan Abdul Hamid II ditempatkan di sebuah
istana yang dimiliki oleh seorang Yahudi bernama Alatini. Maksudnya
adalah untuk semakin menghinakannya.

Pada tanggal 10 Februari tahun 1918 masehi Sultan Abdul Hamid bin
Sultan Abdul Majid wafat dalam usia 76 tahun. Pemakaman jenazahnya
diiringi oleh hampir seluruh rakyat Istanbul.

Sumber; minanews.net

Anda mungkin juga menyukai