Anda di halaman 1dari 53

Laporan Kasus

Kolestasis Intrahepatal ec Sepsis dd Hepatitis


Neonatal + Sepsis

Oleh :

Fasya Nur Adilah, S.Ked

NIM. 2230912320090

Pembimbing :

dr. Pudji Andayani, Sp.A(K)

DEPARTEMEN/KSM ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT/RSUD ULIN
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN PROGRAM PROFESI
BANJARMASIN
Oktober, 2023
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 5

A. Kolestasis......................................................................................... 5

B. Kolestasis Intrahepatal..................................................................... 11

C. Kolestasis Ekstrahepatal................................................................. .12

D. Sepsis....................................................................................………13

BAB II LAPORAN KASUS................................................................. 14

A. Identitas................................................................................ 14

B. Anamnesis............................................................................ 14

C. Pemeriksaan Fisik................................................................. 19

D. Pemeriksaan Penunjang........................................................ 23

E. Resume................................................................................. 23

F. Follow up.............................................................................. 27

BAB IV PEMBAHASAN...................................................................... 30

BAB V PENUTUP................................................................................ 35

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 36

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Kolestasis adalah hambatan aliran empedu dan bahan-bahan yang harus

diekskresikan oleh hati, menyebabkan terjadinya peningkatan bilirubin direk dan

penumpukan garam empedu. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana

basolateral hepatosit sampai tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum.

Kolestasis pada bayi biasanya terjadi pada usia tiga bulan pertama kehidupan.1-3

Kolestatis pada bayi terjadi pada 1:25.000 kelahiran hidup, insidens

hepatitis neonatal 1:5.000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10.000-13.000,

defisiensi α–1 anti-tripsin 1:20.000. Atresia bilier ditemukan pada 1 dari 15.000

kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki 2:1,

sedangkan pada hepatitis neonatal, rasionya terbalik. 2,4 Dari 904 kasus atresia

bilier yang terdaftar di lebih dari 100 institusi, atresia bilier ditemukan pada ras

Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian

Amerika (1,5%).1

Atresia bilier dapat terjadi pada semua bagian saluran empedu ekstra

hepatik. Secara umum kelainan ini disebabkan oleh lesi kongenital atau didapat,

dan merupakan kelainan nekrosis inflamatorik yang mengakibatkan kerusakan

dan akhirnya obliterasi saluran empedu ekstrahepatik.1,2

Penyebab utama yang pernah dilaporkan adalah proses imunologik, infeksi

virus, terutama Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik, dan kelainan

genetik.2-4 Diagnosis atresia bilier ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG

1
abdomen untuk menyingkirkan adanya kista koledokus sebagai penyebab

obstruksi. Biopsi hati merupakan pemeriksaan yang penting dilakukan untuk

membedakan dengan kolestasis intrahepatik. Jika diagnosis atresia bilier tidak

bisa ditegakkan dengan pemeriksaan tersebut maka dilakukan cholangiography.3,5

Atresia bilier dapat berakibat terjadinya kolestasis hebat pada intrakanal,

intraduktulus dan intraduktus, yang kemudian berkembang menjadi sirosis bilier.

Pada sirosis bilier biasanya hati menjadi lebih besar dan berwarna kuning

kehijauan.4 Penanggulangan atresia bilier ekstrahepatik terutama dengan

pembedahan saluran empedu ekstrahepatik yaitu portoenterostomi teknik Kasai

dan transplantasi hati. Bedah Kasai sebaiknya dilakukan sebelum bayi berumur

dua bulan. Pada bayi berusia lebih dari tiga bulan sebaiknya dilakukan

transplantasi hati. Saat ini indikasi tersering dilakukannya transplantasi hati ialah

usia bayi yang lebih dari tiga bulan disertai kelainan hati yang berat.6-7

Kolestasis neonatal harus dievaluasi pada setiap anak usia 2-3 minggu

dengan keluhan kuning. Identifikasi kolestasis dengan pemeriksaan bilirubin,

fungsi hepar, dan evaluasi etiologi. Tatalaksana awal terhadap etiologi umum

yang dapat segera diatasi dan terapi suportif. Rujukan ke bagian gastroenterologi-

hepatologi anak sesegera mungkin untuk evaluasi menyeluruh etiologi kolestasis

untuk tatalaksana efektif, yang merupakan kunci keberhasilan terapi dan

prognosis yang optimal.3,5

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kolestasis

1. Definisi

Kolestasis merupakan gangguan pembentukan atau aliran empedu akibat

kelainan intrahepatik atau ekstrahepatik, menyebabkan retensi empedu dalam

hepar yang secara normal dieksresikan ke dalam saluran pencernaan. Kolestasis

ditandai dengan kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dL bila kadar bilirubin total

kurang dari 5 mg/dL atau lebih dari 20% bila kadar bilirubin total lebih dari 5

mg/dL.4,5 Secara patologi anatomi, kolestasis adalah terdapatnya timbunan

trombus empedu pada sel hepatobilier.2

2. Klasifikasi dan etiologi

Berdasarkan penyebabnya kolestasis dibedakan atas:3

 Kolestasis ekstrahepatik: atresia bilier, kista duktus koledokus, neonatal

sclerosing cholangitis, inspissated bile syndrome, batu kandung empedu,

fibrosis kistik, dan Caroli disease

 Kolestasis intrahepatik: infeksi virus, gangguan metabolik, kelainan endokrin,

bahan toksik, dan kelainan sistemik

3. Manifestasi Klinis dan Diagnosis

Tujuan utama dari evaluasi bayi dengan kolestasis yaitu untuk membedakan

kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik sedini mungkin. Diagnosis dini obstruksi

bilier ekstrahepatik akan meningkatkan keberhasilan terapi. Kolestasis

3
4

intrahepatik seperti sepsis, galaktosemia, atau endokrinopati dapat diatasi dengan

medikamentosa.1,3 Ikterus pada kolestasis sering disalah diagnosis dengan

hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh proses laktasi. Walaupun sekitar 2% dari

bayi yang menyusui bisa terjadi hiperbilirubinemia (indirek: 10-15 mg/dL) tetapi

bayi tersebut tampak sehat, aktif dan terjadi penambahan berat badan.4

Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan apapun selain ikterus.3,4

Diagnosis kolestasis ditegakkan melalui amannesis yang teliti, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis sering ditemukan penderita ikterus

dengan feses berwarna dempul dan urin berwarna gelap seperti air teh. 1,3 Ikterus

didefinisikan dengan menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat

penimbunan bilirubin dalam tubuh. Ikterus pada bayi yang lebih dari dua minggu

dapat normal atau bersifat patologi.5,7,9,10

Tinja yang berwarna dempul disebabkan oleh adanya obstruksi traktus bilier

sehingga menyebabkan terganggunya aliran empedu yang memasuki usus.3 Urin

menjadi lebih gelap pada kolestasis. Bilirubin yang terkonjugasi diekskresikan ke

urin dan menyebabkan bilirubinemia yang bisa timbul sebelum adanya ikterus.

Kriteria klinis untuk membedakan kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik yaitu

pada kolestasis ekstrahepatik seringkali mengeluhkan BAB dengan feses

berwarna pucat (dempul). Sedangkan pada kolestasis intrahepatik BAB pasien

berwarna kuning, sering terjadi pada bayi dengan berat badan lahir rendah.3,4

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya hepatomegali dengan

derajat kerusakan fungsi hati dan nekrosis hepatoselular yang bervariasi. Sekitar
5

70-80 % bayi dengan kolestasis pada evaluasi lebih lanjut mengarah ke diagnosis

hepatitis neonatal idiopatik atau atresia bilier ekstrahepatik. 1,2,3 Pada kolestasis

terdapat akumulasi zat zat yang tidak bisa diekskresikan karena oklusi atau

obstruksi dari sistem bilier, yang ditandai dengan meningkatnya alkali fosfatase,

γGT dan bilirubin direk.1,3,9

Pemeriksaan laboratorium yang paling penting pada bayi dengan ikterus

yang lebih dari dua minggu ialah bilirubin direk. Jika bilirubin direk meningkat,

maka harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Bilirubin direk melebihi 17

μmol/L (1 mg/dL) atau lebih 15% dari nilai bilirubin total, maka seharusnya

dipikirkan suatu keadaan yang tidak normal.8 Selain itu keadaan ini dapat disertai

dengan peningkatan kadar γGT, rendahnya kadar albumin, peningkatan alkalin

fosfatse dan pemanjangan nilai PT dan APTT.9

Kombinasi pemeriksaan sonografi hepatobiliar, scintigraphy dan biopsi hati

dapat membedakan antara hepatitis neonatal dan atresia bilier ekstrahepatik

sebanyak 90% kasus. Jika dengan ketiga pemeriksaan ini diagnosis belum dapat

ditegakkan, maka tindakan operatif cholangiography perlu dilakukan untuk

membedakan kedua kelainan tersebut.3-4 Dewasa ini telah dikembangkan

pemeriksaan MR cholangiogram untuk membedakan kasus kolestasis.5,13

Setiap bayi yang mengalami penyakit kuning setelah usia 2 minggu harus

dievaluasi untuk kolestasis termasuk kadar bilirubin total dan langsung. Beberapa

ahli menganjurkan agar bayi yang mendapat ASI yang menderita penyakit kuning

tidak perlu dievaluasi sampai usia 3 minggu. Pendekatan awal harus diarahkan
6

pada diagnosis kondisi yang dapat diobati (misalnya atresia bilier ekstrahepatik ,

di mana intervensi bedah dini dapat meningkatkan hasil jangka pendek).3,4,5

Kolestasis diidentifikasi oleh peningkatan bilirubin total dan langsung. Tes

yang diperlukan untuk mengevaluasi hati lebih lanjut meliputi albumin , bilirubin

serum terfraksionasi, enzim hati, waktu protrombin/waktu tromboplastin parsial

(PT/PTT), dan kadar amonia (lihat Tes Kolestasis ). Setelah kolestasis dipastikan,

pengujian diperlukan untuk menentukan etiologi (lihat tabel Evaluasi Diagnostik

untuk Kolestasis Neonatal ) dan bukti malabsorpsi (misalnya, rendahnya kadar

vitamin E, D, K, dan A yang larut dalam lemak, atau PT yang berkepanjangan,

menunjukkan adanya penyakit kolestasis. rendahnya kadar vitamin K).3,4

Tabel 2.1 Evaluasi Diagnostik untuk Kolestasis Neonatal5

Etiologi Pemeriksaan

Disfungsi hepar Albumin, ammonia, PT/PTT, SGOT, SGPT, GGT,


Bilirubin direk dan total
Infeksi Kultur urin, titer TORCH, skrining HIV dan hepatitis
(hepatitis A, B, C)
Endokrinopati TSH, tiroksin
Fibrosis kistik Sweat chloride test, uji skrining neonatus
Alpha-1 antitrypsin deficiency Kadar Alpha-1 antitrypsin dalam serum, uji fenotip
Kelainan genetik pada sintesis Kadar asam empedu dalam urin dan serum, uji
asam empedu genetik
Kelainan metabolisme Asam organik urin, ammonia serum, elektrolit serum
Penyakit hepar alloimun Meninjau riwayat obstetri maternal apakah terdapat
riwayat keguguran dan/atau riwayat kolestasis pada
anak sebelumnya, profil lipid
Ultrasonografi abdomen sering kali merupakan pemeriksaan penunjang

awal, bersifat non invasif dan dapat menilai ukuran hepar dan kelainan tertentu

pada kandung empedu dan saluran empedu. Namun, hal ini tidak spesifik.

Pemindaian hepatobilier menggunakan asam hidroksi iminodiasetat juga harus

dilakukan; ekskresi kontras ke dalam usus menyingkirkan kemungkinan


7

terjadinya atresia bilier, tetapi kurangnya ekskresi dapat terjadi pada atresia bilier,

hepatitis neonatal berat, dan penyebab kolestasis lainnya. Bayi dengan kolestasis

sering diberikan fenobarbital selama 5 hari sebelum pemindaian HIDA dalam

upaya untuk meningkatkan ekskresi. Di beberapa pusat pediatrik tersier,

kolangiopankreatografi retrograde endoskopik (ERCP) dapat dilakukan untuk

menyelidiki anatomi sistem saluran empedu.5,6

Bila diagnosis belum ditegakkan, biopsi hati umumnya dilakukan sejak dini,

terkadang dengan kolangiografi operatif. Pasien dengan atresia bilier biasanya

mengalami pembesaran triad portal, proliferasi saluran empedu, dan peningkatan

fibrosis. Hepatitis neonatal ditandai dengan kekacauan lobular dengan sel raksasa

berinti banyak. Penyakit hati aloimun ditandai dengan peningkatan simpanan zat

besi di hati.5,6

4. Tatalaksana

Tatalaksana kolestasis neonatal meliputi pengobatan penyebab spesifik yang

mendasari, Suplemen vitamin A , D, E, dan K; Trigliserida rantai menengah; asam

ursodeoksikolat. Pada pasien suspek atresia bilier, eksplorasi bedah dan terkadang

portoenterostomi diperlukan.Pengobatan khusus ditujukan pada penyebabnya.

Jika tidak ada terapi khusus, pengobatan bersifat suportif dan terutama terdiri dari

terapi nutrisi, termasuk suplemen vitamin A, D, E, dan K.5

Untuk bayi yang diberi susu formula, sebaiknya gunakan susu formula yang

tinggi trigliserida rantai menengah karena dapat diserap lebih baik jika terjadi

defisiensi garam empedu. Dibutuhkan kalori yang cukup; bayi mungkin


8

membutuhkan > 130 kalori/kg/hari. Pada bayi dengan aliran empedu sedikit, asam

ursodeoksikolat sekali atau dua kali sehari dapat meredakan rasa gatal.5,6

Bayi dengan dugaan atresia bilier memerlukan eksplorasi bedah dengan

kolangiogram intraoperatif. Jika atresia bilier dipastikan, portoenterostomi

(prosedur Kasai) harus dilakukan. Idealnya, prosedur ini dilakukan pada 1 hingga

2 bulan pertama kehidupannya. Setelah periode ini, prognosis jangka pendek

memburuk secara signifikan. Pasca operasi, banyak pasien mengalami masalah

kronis yang signifikan, termasuk kolestasis persisten, kolangitis asendens

berulang, dan gagal tumbuh. Antibiotik profilaksis (misalnya

sulfamethoxazole/trimethoprim, SMX-TMP, cotrimoxazole ) sering diresepkan

selama satu tahun pasca operasi dalam upaya mencegah ascending cholangitis.

Bahkan dengan terapi yang optimal, sebagian besar bayi mengalami sirosis dan

memerlukan transplantasi hati.6,7

Kolestasis yang disebabkan oleh nutrisi parenteral akan hilang jika nutrisi

parenteral dihentikan atau terkadang jika emulsi lipid generasi baru diganti

dengan emulsi lipid yang lebih tua sebelum bayi mengalami penyakit hati berat.

Karena penyakit hati alloimun gestasional tidak memiliki penanda dan/atau

tes yang pasti, pengobatan dengan imunoglobulin IV (IVIG) atau transfusi tukar

perlu dipertimbangkan sejak dini untuk membalikkan kerusakan hati yang sedang

berlangsung jika tidak ada diagnosis pasti yang dibuat.6,7

B. Kolestasis Intrahepatal

Penyebab intrahepatik dapat berupa infeksi, alloimun, metabolik/genetik,

atau toksik. Infeksi dapat menyebabkan kolestasis. Infeksi dapat disebabkan oleh
9

virus (misalnya virus herpes simpleks, sitomegalovirus, rubella), bakteri

(misalnya bakteremia gram positif dan gram negatif , infeksi saluran kemih yang

disebabkan oleh Escherichia coli ), atau parasit (misalnya toksoplasmosis ).

Sepsis pada neonatus yang mendapat nutrisi dari orang tua juga dapat

menyebabkan kolestasis.4,5

Penyakit hati aloimun gestasional melibatkan pelepasan IgG ibu secara

transplasental yang menginduksi kompleks serangan membran yang dimediasi

komplemen yang melukai hati janin. Penyebab metabolik mencakup banyak

kesalahan metabolisme bawaan seperti galaktosemia, tirosinemia, defisiensi

antitripsin alfa-1, gangguan metabolisme lipid, cacat asam empedu, gangguan

mitokondria, dan cacat oksidasi asam lemak. Cacat genetik tambahan termasuk

sindrom Alagille, fibrosis kistik, dan sindrom arthrogryposis-disfungsi ginjal-

kolestasis (ARC). Ada juga sejumlah mutasi gen yang mengganggu produksi dan

ekskresi empedu normal serta menyebabkan kolestasis; kelainan yang

diakibatkannya disebut kolestasis intrahepatik familial progresif.4,5

Penyebab toksik terutama disebabkan oleh penggunaan nutrisi parenteral

jangka panjang pada neonatus yang sangat prematur atau bayi dengan sindrom

usus pendek. Emulsi lipid generasi baru dalam nutrisi parenteral (misalnya,

dengan minyak ikan dan trigliserida rantai menengah) tampaknya telah

menurunkan risiko kolestasis.5

Sindrom hepatitis neonatal idiopatik (hepatitis sel raksasa) adalah suatu

kondisi peradangan pada hati neonatal. Insidensinya telah menurun, dan menjadi

jarang karena penelitian diagnostik yang lebih baik memungkinkan identifikasi


10

penyebab spesifik kolestasis dan 47,5% penyebab infeksi adalah rotavirus. Diare

karena rotavirus sebagian besar terjadi pada anak kurang dari 2 tahun.7,9

C. Kolestasis Ekstrahepatal

Gangguan ekstrahepatik yang paling umum adalah atresia bilier (insidensi di

Amerika Serikat sekitar 1/8.000 hingga 1/18.000 kelahiran hidup). Atresia bilier

adalah penyumbatan saluran empedu akibat sklerosis progresif pada saluran

empedu ekstrahepatik. Dalam kebanyakan kasus, atresia bilier bermanifestasi

beberapa minggu setelah kelahiran, mungkin setelah peradangan dan jaringan

parut pada saluran empedu ekstrahepatik (dan terkadang intrahepatik). Jarang

terjadi pada bayi prematur atau neonatus saat lahir. Penyebab respons inflamasi

tidak diketahui, namun beberapa organisme menular telah terlibat, termasuk

reovirus tipe 3 dan cytomegalovirus .6

Kista empedu jarang bermanifestasi sebagai kolestasis neonatal; kista ini

lebih sering terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik resesif

autosomal. Sindrom saluran empedu juga dapat menjadi penyebab kolestasis

neonatal ekstrahepatik dan lebih sering terjadi pada bayi dengan fibrosis kistik. 1,2,3

D. Sepsis

1. Definisi

Sepsis pada bayi baru lahir (BBL) adalah infeksi aliran darah yang bersifat

invasif dan ditandai dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti

darah, cairan sum-sum tulang atau air kemih yang terjadi pada bulan pertama

kehidupan. Sejak adanya konsensus American College of Chest Physicians/


11

Society of Critical Care Medicine (ACCP/SCCM) telah timbul berbagai istilah

dan definisi di bidang infeksi yang banyak pula dibahas pada kelompok BBL dan

penyakit anak. Istilah atau definisi tersebut antara lain:

a. Sepsis merupakan sindrom respon inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory

Respons Syndrome - SIRS) yang terjadi sebagai akibat infeksi bakteri, virus,

jamur, ataupun parasit.

b. Sepsis berat adalah keadaan sepsis yang disertai disfungsi organ

kardiovaskular dan gangguan napas akut atau terdapat gangguan dua organ lain

(seperti gangguan neurologi, hematologi, urogenital, dan hepatologi).

c. Syok sepsis terjadi apabila bayi masih dalam keadaan hipotensi walaupun

telah mendapatkan cairan adekuat.

d. Sindroma disfungsi multi organ terjadi apabila bayi tidak mampu lagi

mempertahankan homeostasis tubuh sehingga terjadi perubahan fungsi dua atau

lebih organ tubuh..3,5,7

2. Faktor risiko

Pada sepsis awitan dini faktor resiko dikelompokkan menjadi:

a. Faktor Ibu:

1) Persalinan dan kelahiran kurang bulan.

2) Ketuban pecah lebih dari 18-24 jam.

3) Korioamnionitis.

4) Demam intrapartum pada ibu (≥38,4oC).


12

5) Infeksi saluran kencing pada ibu.

6) Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu yang rendah.

b. Faktor Bayi:

1) Asfiksia perinatal.

2) Berat badan lahir rendah.

3) Bayi kurang bulan.

4) Kelainan bawaan.

3. Klasifikasi

Sepsis neonatal biasanya dibagi dalam dua kelompok yaitu Sepsis

Neonatorum Awitan Dini (SNAD) dan Sepsis Neonatorum Awitan Lanjut

(SNAL). Pada awitan dini kelainan ditemukan pada hari-hari pertama kehidupan

(umur dibawah 3 hari). Infeksi terjadi secara vertikal karena penyakit ibu atau

infeksi yang diderita ibu selama persalinan atau kelahiran. Berlainan dengan

kelompok awitan dini, penderita awitan lambat terjadi disebabkan

mikroorganisme yang berasal dari lingkungan di sekitar bayi setelah hari ke-3

lahir. Proses infeksi semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal

dan termasuk didalamnya ada infeksi nosokomial. Selain perbedaan waktu

paparan kuman, kedua bentuk infeksi juga berbeda dalam macam kuman

penyebab infeksi. Selanjutnya baik patogenesis, gambaran klinis ataupun

penatalaksanaan penderita tidak banyak berbeda dan sesuai dengan perjalanan

sepsisnya dikenal dengan cascade sepsis


13

4. Etiologi

Mikroorganisme penyebab sepsis: organisme penyebab sepsis primer berbeda

dengan sepsis nosokomial.Sepsis primer biasanya disebabkan: Streptokokus

Group B (GBS), bakteri usus Gram negatif, terutama Escherisia coli, Listeria

monocytogenes, Stafilokokus, Streptokokus lainnya (termasuk Enterokokus),

bakteri anaerob, dan Haemophilus influenzae. Bakteri penyebab sepsis

neonatorum di RSUP Sanglah Denpasar didominasi oleh bakteri gram negative

(68,3%), terbanyak adalah Sertatia marcescens (23,5%). Bakteri gram positif

didapatkan proporsi sebesar 31,7% terdiri dari Staphylococcus coagulase positive

(16,4%), Staphylococcus coagulase negative (10,2%) dan Strepcococcus viridans

(4,6%).

5. Diagnosis
Diagnosis dini sepsis ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan terapi

diberikan tanpa menunggu hasil kultur. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak

spesifik dengan diagnosis banding yang sangat luas, termasuk gangguan napas,

penyakit metabolik, penyakit hematologik, penyakit susunan syaraf pusat,

penyakit jantung, dan proses penyakit infeksi (misalnya infeksi TORCH =

Toksoplasma, Rubela, Cytomegalo Virus, Herpes).

Diagnosis dini sepsis neonatal penting artinya dalam penatalaksanaan dan

prognosis pasien. Keterlambatan diagnosis berpotensi mengancam kelangsungan

hidup bayi dan memperburuk prognosis pasien. Diagnosis sepsis neonatal sulit

karena gambaran klinis pasien tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang ditemukan

pada anak lebih besar jarang ditemukan pada BBL. Tanda dan gejala sepsis
14

neonatal tidak berbeda dengan gejala penyakit non infeksi berat pada BBL. Selain

itu tidak ada satupun pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai sebagai

pegangan tunggal dalam diagnosis pasti pasien sepsis. Dalam menentukan

diagnosis diperlukan berbagai informasi antara lain faktor risiko, gambaran klinik,

pemeriksaan penunjang. Ketiga faktor ini perlu dipertimbangkan saat menghadapi

pasien karena salah satu faktor saja tidak mungkin dipakai sebagai pegangan

dalam menegakkan diagnosis pasien. Faktor risiko sepsis dapat bervariasi

tergantung awitan sepsis yang diderita pasien. Pada awitan dini berbagai faktor

yang terjadi selama kehamilan, persalinan atau kelahiran dapat dipakai sebagai

indikator untuk melakukan elaborasi lebih lanjut sepsis neonatal. Berlainan

dengan sepsis awitan dini, pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi karena

sumber infeksi yang terdapat dalam lingkungan pasien.

Diagnosis dini sepsis merupakan faktor penentu dalam keberhasilan

penatalaksanaan sepsis neonatal Salah satu upaya yang dilakukan akhir-akhir ini

dalam menentukan diagnosis dini sepsis adalah pemeriksaan biomolekuler.

Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan mampu lebih

cepat memberikan informasi jenis kuman. Selain manfaat untuk deteksi dini,

Polymerase Chain Reaction (PCR) mempunyai kemampuan pula untuk

menentukan prognosis pasien sepsis neonatal.

Pemeriksaan penunjang sepsis neonatorum yang dapat dilakukan yaitu

pemeriksaan laboratorium dari darah perifer lengkap, hitung jenis, dan biakan

darah. Pada umumnya ditemukan peningkatan leukosit yang didominasi oleh sel

PMN, penurunan leukosit (<5000/μL), leukositosis (>30.000/μL),


15

trombositopenia (<100.000/μL), dan neutropenia absolut (PMN <1500).Saat ini

beberapa peneliti berpendapat bahwa adanya satu tanda klinis yang sesuai dengan

infeksi disertai nilai CRP >10 mg/dl cukup untuk menegakkan diagnosis sepsis

awitan dini dan sepsis awitan lambat pada sepsis neonatorum. Sebaliknya, untuk

menentukan kriteria standar yang seragam pada sepsis, beberapa peneliti

menggabungkan antara nilai CRP>10 mg/dl dengan rasio neutrofil imatur

terhadap netrofil total (IT ratio) ≥0,25 sebagai kriteria untuk pemberian antibiotic

meskipun belum ditemukan gejala sepsis

6. Patofisiologi
Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi

mikroorganisme karena telah terlindungi oleh berbagai organ tubuh seperti

plasenta, selaput amnion, khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan

amnion. Walaupun demikian kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul

melalui berbagai jalan yaitu salah satunya pada ketuban pecah, paparan kuman

yang berasal dari vagina akan lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini

kuman vagina masuk ke dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi

kuman melalui saluran pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi

kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban pecah lebih

dari 18-24 jam.

Sesuai patogenesis, secara klinik sepsis neonatal dapat dikategorikan dalam:

a. Sepsis dini : terjadi pada 0-3 hari pertama, tanda distres pernapasan lebih

mencolok, organisme penyebab penyakit didapat dari intra partum, atau


16

melalui saluran genital ibu. Pada keadaan ini kolonisasi patogen terjadi pada

periode perinatal. Beberapa mikroorganisme penyebab, seperti Treponema,

Virus, Listeria dan Candida, transmisi ke janin melalui plasenta secara

hematogenik. Cara lain masuknya mikroorganisme, dapat melalui proses

persalinan. Dengan pecahnya selaput ketuban, mikroorganisme dalam flora

vagina atau bakteri patogen lainnya secara asendens dapat mencapai cairan

amnion dan janin. Hal ini memungkinkan terjadinya khorioamnionitis atau

cairan amnion yang telah terinfeksi kemudian teraspirasi oleh janin atau

neonatus, yang kemudian berperan sebagai penyebab kelainan pernapasan.

Adanya vernix atau mekoneum merusak peran alami bakteriostatik cairan

amnion. Akhirnya bayi dapat terpapar flora vagina waktu melalui jalan lahir.

Kolonisasi terutama terjadi pada kulit, nasofaring, orofaring, konjungtiva, dan

tali pusat. Trauma pada permukaan ini mempercepat proses infeksi. Penyakit

dini ditandai dengan kejadian yang mendadak dan berat, yang berkembang

dengan cepat menjadi syok sepsis dengan angka kematian tinggi. Insiden syok

septik 0,1-0,4% dengan mortalitas 15-45% dan morbiditas kecacatan saraf.

b. Sepsis lambat : umumnya terjadi setelah bayi berumur 4 hari atau lebih mudah

menjadi berat, tersering menjadi meningitis. Bakteri penyebab sepsis dan

meningitis, termasuk yang timbul sesudah lahir yang berasal dari saluran

genital ibu, kontak antar manusia atau dari alat-alat yang terkontaminasi. Di

sini transmisi horizontal memegang peran. Insiden sepsis lambat sekitar 5-

25%, sedangkan mortalitas 10-20% namun pada bayi kurang bulan mempunyai

risiko lebih mudah terinfeksi, disebabkan penyakit utama dan imunitas imatur
17

7. Tatalaksana
Eliminasi bakteri merupakan pilihan utama dalam manajemen sepsis

neonatal. Pemberian antibiotika empiris harus memperhatikan pola kuman

penyebab tersering ditemukan di faskes masing-masing. Selain pola bakteri

hendaknya diperhatikan pula resistensi bakteri. Segera setelah didapatkan hasil

kultur darah, jenis antibiotika yang dipakai disesuaikan dengan bakteri penyebab

dan pola resistensinya. Pemberian pengobatan pasien biasanya dengan

memberikan antibiotik kombinasi yang bertujuan untuk memperluas cakupan

mikroorganisme patogen yang mungkin diderita pasien. Diupayakan kombinasi

antibiotik tersebut mempunyai sensitifitas yang baik terhadap bakteri gram positif

ataupun gram negatif.

a. Tatalaksana Komplikasi:

1. Pernapasan: kebutuhan oksigen meningkat, yang harus dipenuhi dengan

pemberian oksigen atau kemudian dengan ventilator.

2. Kardiovaskular: menunjang tekanan darah dan perfusi jaringan, mencegah syok

dengan pemberian volume ekspander 10-20ml/kg (NaCl 0,9%, albumin,

darah). Catat pemasukan cairan dan pengeluaran urin.

3. Hematologi: untuk DIC (trombositopeni, protrombin time memanjang,

tromboplastin time meningkat), sebaiknya diberikan FFP 10 ml/kg, vit K,

suspensi trombosit, dan kemungkinan transfusi tukar. Apabila terjadi

neutropenia, diberikan transfusi neutrofil.

4. Susunan syaraf pusat: bila kejang beri Fenobarbital (20mg/kg loading dose) dan

monitor timbulnya Syndrome Inappropriate Anti Diuretic Hormon (SIADH),


18

ditandai dengan ekskresi urin turun, hiponatremi, osmolaritas serum turun,

naiknya berat jenis urin dan osmolaritas.

5. Metabolik: monitor dan terapi hipoglikemia dan hiperglikemia. Koreksi

asidosis metabolik dengan bikarbonat dan cairan. Pada saat ini imunoterapi

telah berkembang sangat pesat dengan ditemukannya berbagai jenis globulin

hiperimun, antibodi monoklonal untuk patogen spesifik penyebab sepsis

neonatal.
19

BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas

1. Identitas Penderita

Nama : By. Ny. N

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 0 tahun 1 bulan 17 hari

Tanggal lahir : 31 Agustus 2023

2. Identitas Orang Tua

Ayah Ibu

Nama : Tn. MF Nama : Ny. N

Umur : 42 Th Umur : 41 Thn

Pendidikan : SMA Pendidikan : S1

Pekerjaan : Penyuluh Agama Pekerjaan : Guru PNS

Alamat : Teluk Dalam Patarikan

B. Anamnesis

Alloanamnesis dengan : Ibu pasien

Tanggal/jam : 18 Oktober 2023 / 14.00 WITA

Masuk rumah sakit : 13 Oktober 2023

1. Keluhan utama : sesak napas

2. Riwayat Penyakit Sekarang


20

Pasien datang ke IGD RSUD Ulin keluhan sesak napas sejak 6 jam SMRS,

muncul mendadak, terus menerus, tidak dipengaruhi oleh posisi. Sesak napas

disadari dengan adanya tarikan dinding dada dan pernapasan cepat. Tidak disertai

suara napas tambahan.

Keluhan disertai dengan pucat sejak 6 jam SMRS. Tidak terdapat

perdarahan seperti BAB darah, BAB hitam, muntah darah, batuk darah.

Pasien demam sejak 1 hari SMRS, muncul mendadak dan dirasakan terus

menerus. Suhu tertinggi saat diukur oleh ibu pasien 39 oc. Suhu sempat turun

setelah diberi minum, namun tidak lama setelah itu demam naik lagi. Keluhan

menggigil, kejang, pilek, batuk disangkal.

Keluhan kuning sejak usia 3 hari, muncul mendadak dan terus menerus.

Kuning awalnya nampak di mata dan dada, lalu menyebar hingga ke seluruh

tubuh. BAB berwarna kuning kecoklatan, tidak didapatkan riwayat BAB pucat

seperti dempul. Keluhan muntah (-). Pasien telah berobat ke dokter anak dan

dirujuk ke RSUD Ulin Banjarmasin.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Keluhan serupa disangkal. Pasien riwayat dirawat di inkubator selama 40

hari. Pasien sempat dilakukan pemeriksaan USG dan dikatakan menderita

atresia bilier. Pasien disarankan ke dokter bedah. Namun karena kondisinya

kurang stabil, pasien dibawa ke dokter anak.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluhan serupa disangkal. Riwayat asma, TB disangkal. Hipertensi (+) dan

IDDM (+) ibu pasien  Berobat rutin


21

5. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Riwayat antenatal:

Ibu rutin memeriksakan kehamilannya ke bidan sesuai jadwal dibuku KIA

dan dikatakan janin dalam keadaan baik. Ibu mengaku rutin konsumsi suplemen

kehamilan, seperti tablet tambah darah dan asam folat. Saat hamil trimester

ketiga, tekanan darah tinggi mencapai 140 – 150 mmHg. Keluhan nyeri kepala,

kejang, penglihatan kabur, nyeri perut, mual muntah, sesak napas, penurunan

BAK disangkal.

Riwayat natal:

Spontan/tidak : SC ai ibu G2P1A0 usia 40 th + HT + DM

Nilai APGAR : Langsung menangis kuat, gerak aktif, kulit kemerahan

Berat badan lahir : 2300 gram

Panjang badan lahir: 42,5 cm

Lingkar kepala : 29 cm

Penolong : Dokter

Tempat : RS Amuntai

Kesimpulan: riwayat kehamilan kurang baik, riwayat persalinan baik

6. Riwayat Neonatal:

Pasien lahir pada usia kehamilan 34 minggu (kurang bulan/preterm).

Pasien lahir langsung menangis, tidak ada kuning, tidak pucat, dan tidak

kebiruan, tidak terdapat riwayat resusitasi, maupun kejang dan demam.

Kesimpulan: riwayat neonatal kurang baik

8. Riwayat Nutrisi
22

Pasien mendapat ASI dan susu formula Royal Pepti Junior per 2 jam.

. Kesimpulan: riwayat nutrisi kurang baik secara kuantitas dan kualitas

10. Riwayat Keluarga

No. Nama Umur L/P Keterangan


1. Tn. F 42 Tahun L Sehat
2. Ny. N 41 Tahun P Sehat
3. By.Ny. SA 1 bulan L Sakit
Kesimpulan: Hanya pasien yang sakit

11. Riwayat Sosial Lingkungan

Pasien tinggal bersama orang tua. Rumah pasien berdekatan dengan sungai, di

daerah padat penduduk, dekat dengan TPA, jauh dari pabrik. Ventilasi udara baik

dan cahaya matahari cukup. MCK menggunakan air PDAM. Minum

menggunakan air galon. Ibu pasien menggunakan obat nyamuk bakar di rumah

dan tidak ada yang merokok di rumah. Ibu mengaku selalu mencuci tangan

sebelum makan, mencuci peralatan makan sebelum digunakan, mencuci bahan

makanan, mencuci tangan dengan sabun setelah BAB, merebus air minum. Pasien

memelihara kucing (+) yang berkeliaran sekitar rumah.

Kesimpulan: riwayat sosial dan lingkungan baik


23

C. Pemeriksaan Fisik

1. Tanggal : 17 Oktober 2023

2. Usia : 1 bulan 10 hari

3. Tanda vital

Keadaan umum : tampak sakit berat

Denyut nadi : 220 kali/menit, irregular, tidak kuat angkat

Suhu : 40 °C

Respirasi : 72 x/menit

Saturasi : 99% on nc O2 2 lpm

4. Kulit

Sawo matang, Sianosis (-), Pucat (+), Hematom (-), Ikterik (+) kramer IV

Petekie, ekimosis, purpura (-)

5. Kepala & Leher

Kepala : mikrosefali, ubun – ubun cekung (+), old man face (+)

Rambut : Rambut hitam, tipis, terdistribusi merata, tidak mudah tercabut

Mata : Cekung (+/+), Edema palpebra (-/-), konjungtiva pucat (+), sklera ikterik

(+)

Telinga : Simetris, edema (-/-), Perdarahan (-/-), sekret (-/-)

Hidung : pernafasan cuping hidung (+), sekret (-), edem mukosa (-)

Mulut : Mukosa kering (+), sianosis (-)

Leher : Pembesaran KGB (-), massa (-)

6. Dinding dada/paru

Inspeksi : Bentuk datar, simetris, Retraksi (+) intercostal dan subcostal


24

Palpasi : Fremitus vocal simetris (+/+)

Perkusi : Sonor seluruh lapang paru

Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

8. Jantung

Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat

Palpasi : Apeks : Tidak teraba

Thrill : Tidak ada

Perkusi : Tidak dilakukan

Auskultasi : S1S2 tunggal, irama reguler, murmur (-), gallop (-)

9. Abdomen

Inspeksi : Datar, distensi (-), venektasi (+)

Auskultasi : Bising usus (+)

Perkusi : Timpani, Asites (-)

Palpasi : supel, hepar teraba 5-6 cm BAC, konsistensi padat,

permukaan rata, sudut tumpul. Lien tidak teraba. turgor kembali lambat (+)

10. Ekstremitas

Umum : Akral hangat (++/++), edema (--/--), CRT <2 detik, pucat (+

+/++) anomali (+) polidaktili manus dextra

11. Genitalia

Laki-laki, testis +/+

14. Anus

Paten (+)

15. Status Gizi


25

BBL : 2300 gram

BBS : 1760 gram

PB : 42,5 cm

LK : 29 cm

LD : 27 cm

LP : 23 cm

BB/U : 0 < z < 2 (Normoweight)

TB/U : 0 < z <2 (Normoheight)

BB/TB : -1 < z < 0 (Gizi Normal)

D. Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan laboratorium darah


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
13/10 15/10 16/10
HEMATOLOGI
Hemoglobin 4.2 17.1 14.0 – 18.0 g/dL
Leukosit 27.5 32.4 4.0 – 15.0 ribu/µL
Eritrosit 1.21 5.43 4.10 – 6.00 juta/ µL
Hematokrit 12.8 51.7 42.0 – 52.0 %
Trombosit 393 79 150 – 450 ribu/µL
RDW-CV 29.5 17.4 12.1 – 14.0 %
MCV, MCH, MCHC
MCV 105.8 95.2 80.0 – 92.0 fL
MCH 34.7 31.5 28.0 – 32.0 Pg
MCHC 32.8 33.1 33.0 – 37.0 %
HITUNG JENIS
Basofil% 0.2 0.0 – 1.0 %
Eosinofil% 3.1 1.0 – 3.0 %
Neutrofil% 45.0 84.4 50.0 – 81.0 %
Limfosit% 49.4 6.9 20.0 – 40.0 %
Monosit% 5.4 2.0 – 8.0 %
Basofil# 0.08 <1.00 ribu/µL
26

Eosinofil# 0.99 <3.00 ribu/µL


Neutrofil# 12.40 27.40 2.50 – 7.00 ribu/µL
Limfosit# 13.60 2.23 1.25 – 4.00 ribu/µL
Monosit# 1.74 0.30 – 1.00 ribu/µL
HATI DAN PANKREAS
Bilirubin Total 19.21 15 0.20 – 1.20 mg/dl
Bilirubin Direk 14.91 0.45 0.00 - 0.20 mg/dl
Bilirubin Indirek 4.30 0.20 – 0.80 mg/dl
OT/PT 501/186
Gamma GT 1009 9 – 36 IU/l
Alkaline Fosfatase 222 0 – 500 U/L
IMUNO-SEROLOGI
CRP 29.7 <5 mg/L
HEMOSTASIS
PT/APTT 16.3/34.3 20.8/41.8 17.0/36.4
INR 1.51 2.02 1.62
KIMIA
GDS 85
Albumin 3.0 3.5
ELEKTROLIT
Natrium 133
Kalium 4.2
Clorida 102

Hasil pemeriksaan urinalisis 16/10/2023

- makroskopis: kuning jernih, BJ 1.010, pH 6.5, keton (-), albumin (-), glukosa

(-), bilirubin 1+, darah samar (-), nitrit (-), urobilinogen 0.2, leukosit (-)

- mikroskopis: WBC 0-1/LPB, RBC 0-1/LPB, epitel 1+, Kristal (-), silinder (-),

bakteri (-)

Hasil Pemeriksaan USG Abdomen 18/10/2023:


Hepar : ukuran 60 mm, intensitas echoparenkim homogen menurun, kapsula
intak, sudut tumpul, tepi regular. Duktus biliaris intrahepatal tidak
27

dilatasi. Tak tampak TC sign. V Porta/hepatica tak melebar. Curiga


mass auk 26 mm liver kiri dengan kalsifikasi pada dindingnya.
Gallbladder: ukuran GB 31 mm (puasa), UK GB 20 mm (post minum), CI 33%
dgn sludge +, dinding tidak menebal, CBD tidak melebar
Pancreas : normal, tak tampak nodul
Spleen : ukuran tak membesar. Tidak tampak nodul/cyst
Ren dextra/sinistra: ukuran normal, intensitas echocortex homogen normal, tak
tampak batu/ekstasis/kista/massa, tampak massa heterogen batas
tegas uk 40 mm suprarenal dextra mendesak ke inferior.
Kesimpulan: curiga massa liver kiri dgn kalsifikasi pada dindingnya uk 26 mm
dan massa suprarenal kanan uk 40 mm mendesak ginjal kanan ke
inferior. Uk GB Puasa 31 mm, post minum 20 mm (CI 33%) dgn
sludge GB (+). Tak tampak atresia bilier.

E. Resume

Nama : By. Ny. N

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 1 bulan 17 hari

Keluhan Utama : sesak napas

Uraian :

- Pasien datang ke IGD RSUD Ulin pada tanggal 13 Oktober 2023 dengan

keluhan sesak napas sejak 6 jam SMRS, muncul mendadak, terus menerus,

tidak dipengaruhi oleh posisi. Sesak napas disadari dengan adanya tarikan

dinding dada dan pernapasan cepat. Tidak disertai suara napas tambahan.

- Pucat sejak 6 jam SMRS. Tidak terdapat perdarahan seperti BAB darah, BAB

hitam, muntah darah, batuk darah.


28

- Demam sejak 1 hari SMRS, muncul mendadak dan dirasakan terus menerus.

Suhu tertinggi saat diukur oleh ibu pasien 39 oc. Suhu sempat turun setelah

diberi minum, namun tidak lama setelah itu demam naik lagi. Keluhan

menggigil, kejang, pilek, batuk disangkal.

- Kuning sejak usia 3 hari, muncul mendadak dan terus menerus. Kuning

awalnya nampak di mata dan dada, lalu kuning seluruh tubuh. BAB berwarna

kuning kecoklatan, tidak didapatkan riwayat BAB pucat seperti dempul.

Pemeriksaan Fisik

Kesadaran umum : Tampak sakit berat

Denyut nadi : 220 x/menit, kualitas: irreguler, tidak kuat angkat

Pernafasan : 72x/menit

Suhu : 40 oC

SpO2 : 99% on nc O2 2 lpm

Kulit : Turgor kembali lambat

Kepala : Mikrosefali, mata cekung (+/+), old man face (+)

Leher : Tidak ditemukan kelainan

Toraks/paru : Retraksi (+) intercostal & subcostal, simetris,

suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung : Tidak ditemukan kelainan

Abdomen : venektasi (+), turgor kembali lambat (+), hepar 5-6 cm

BAC, konsistensi padat, permukaan rata, sudut tumpul.

Ekstremitas : Akral pucat (++/++) anomali (+) polidaktili manus dextra


29

Susunan saraf : Tidak ditemukan kelainan

Genitalia : Tidak ditemukan kelainan

Anus : Tidak ditemukan kelainan

Pemeriksaan Penunjang

- USG Abdomen

- CT Scan abdomen

Diagnosis

- Kolestasis intrahepatal ec sepsis dd hepatitis neonatal

- Sepsis

Penatalaksanaan IGD

- Loading NaCl 0,9% 17 ml habis dalam 30 menit

- Inj. PCT 2x85mg (10mg/kgBB, k/p demam)

- Inj. Ampisilin 4x60 mg

- Inj. Vitamin K 1x1 mg per minggu

- PO Vitamin A 1x5000 IU

- PO Vitamin D 1x400 IU

- PO Vitamin E 1x40 IU

- PO UDCA 2x20 mg

- PO Propanolol 1x2 mg

Penatalaksanaan selama follow up:


30

- O2 5 lpm via simple mask

- Loading IVFD NaCl 0,9% 17 ml/24 jam (10 ml/kgBB) habis dalam 30 menit

- Inj. PCT 2x85mg (10mg/kgBB, k/p demam)

- Inj. Ampisilin 4x60 mg

- Inj. Vitamin K 1x1 mg per minggu

- PO Vitamin A 1x5000 IU

- PO Vitamin D 1x400 IU

- PO Vitamin E 1x40 IU

- PO UDCA 2x20 mg

- PO Curliv 2x2 ml

- PO Propanolol 1x2 mg

- Transfusi PRC target Hb 8  terpenuhi dengan 26 ml PRC (H1 5ml/kgBB 

8,5 ml; H2 5ml/kgBB  8,5 ml; H3 9 ml)

- Transfusi FFP 2x35 ml

Prognosis

Quo ad vitam : malam

Quo ad functionam : malam

Quo ad sanationam : malam


31

F. Follow up

Follow Up 18/10/2023 19/10/2023 20/10/2023


(hari perawatan ke-5) (hari perawatan ke-6) (hari perawatan ke-7)
S Instabilitas suhu (+), Instabilitas suhu (+), Instabilitas suhu (+),
kuning (+), desaturasi (-), kuning (+), desaturasi (-), kuning (<<),
bengkak (-), kembung bengkak (-), kembung desaturasi (+),
(-), residu OGT (-), (+), residu OGT (+) 1 ½ bengkak (-), kembung
Puasa sejak 03.00 utk cc lendir (+), residu OGT (+) 1
USG abdomen cc lender, puasa (+)
sejak 18.00
O
TTV HR: 140x/menit HR: 132x/menit HR: 160x/menit
RR: 40x/menit RR: 40x/menit RR: 46x/menit
SpO2: 98% RA SpO2: 98% RA SpO2: 98% CPAP
T: 37,8℃ T: 37,3℃ T: 38,1℃
K/L sklera ikterik (+), sklera ikterik (+), sklera ikterik (+),
konjungtiva pucat (+), konjungtiva pucat (+), konjungtiva pucat (+),
Thorax Retraksi (-), simetris (+/+) Retraksi (-), simetris (+/+) Retraksi (-), simetris (+/+)
Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), Vesikuler (+/+), rhonki
Wheezing (-/-) Wheezing (-/-) (-/-), Wheezing (-/-)

Abdomen Distensi (+), venektasi (+), Distensi (+), venektasi (+), Distensi (+), venektasi (+),
hepar 3-4 cm BAC, turgor hepar 3-4 cm BAC, turgor hepar 3-4 cm BAC, turgor
kembali cepat. kembali cepat. kembali cepat.

Extremitas Akral hangat (++/++), edema Akral hangat (++/++), edema Akral hangat (++/++),
(--/--), CRT <2 detik, (--/--), CRT <2 detik, edema (--/--), CRT <2
Polidaktili manus dextra Polidaktili manus dextra detik, Polidaktili manus
dextra

A - kolestasis ekstrahepatal - Proven sepsis ec - Proven sepsis ec


ec susp atresia bilier dd Klebsiela Pneumoniae Klebsiela
infeksi TORCH - kolestasis intrahepatal Pneumoniae
- Susp sirosis hepatis ec sepsis dd hepatitis - kolestasis
- Susp Hipertensi porta - Susp massa suprarenal intrahepatal ec
- Anemia Gravis(riwayat) dextra sepsis dd hepatitis
- Transaminitis - Susp massa liver - Susp massa
- Probable sepsis sinistra ec susp gangguan suprarenal dextra
- Dehidrasi ringan sedang koagulasi - Susp massa liver
(riwayat) - Dehidrasi ringan sedang sinistra ec susp
- Gangguan koagulasi (riwayat) gangguan koagulasi
- Kontraktur genu dextra - Transaminitis - Dehidrasi ringan
- Polidactili manus dextra - Anemia Gravis(riwayat) sedang (riwayat)
- Kontraktur genu dextra - Transaminitis
- Polidactili manus dextra - Anemia
Gravis(riwayat)
- Kontraktur genu
32

dextra
- Polidactili manus
dextra

P - Inj. Ceftazidim 3x90 mg - Inj. Ceftazidim 3x90 mg - O2 on CPAP


- Inj. Vitamin K 1x1 mg per - Inj. Meropenem 30 - Inj. NE 0,05
minggu mg/kg/kali mg/kg/menit
- PO Vitamin A 1x5000 IU - Inj. Vitamin K 1x2 mg - Inj. Meropenem 30
- PO Vitamin D 1x400 IU - PO Supralisin 1x0,5 ml mg/kg/kali
- PO Vitamin E 1x40 IU - PO Vitamin D 1x400 IU - Inj. Vitamin K 1x2
- PO UDCA 2x20 mg - PO Vitamin E 1x40 IU mg
- PO Curliv 2x2 ml - PO UDCA 2x20 mg - PO Supralisin 1x0,5
- PO Propanolol 1x2 mg - PO Curliv 2x2 ml ml
- USG Abdomen 2 fase - PO Propanolol 1x2 mg - PO Vitamin D 1x400
- CT Scan abdomen - CT Scan abdomen IU
- Observasi tanda - Observasi tanda - PO Vitamin E 1x40
overload cairan overload cairan IU
- PO UDCA 2x20 mg
- PO Curliv 2x2 ml
- PO Propanolol 1x2
mg
- CT Scan abdomen
- Observasi tanda
overload cairan

Follow Up 21/10/2023 22/10/2023


(hari perawatan ke-8) (hari perawatan ke-9)
S Instabilitas suhu (+), kuning (<<), Instabilitas suhu (+), kuning (+), apne
desaturasi (-), bengkak (-), kembung (+), bradikardi (+), residu OGT (+)
(-), residu OGT (+) coklat 4 cc coklat 3 cc
O
TTV HR: 175x/menit HR: 30x/menit
RR: 50x/menit RR: 60x/menit
SpO2: 98% CPAP SpO2: 64-76% on ventilator
T: 37,8℃ T: 36,5℃

13.50 Pasien dinyatakan meninggal


K/L sklera ikterik (+), konjungtiva pucat sklera ikterik (+), konjungtiva pucat (+),
(+), pernapasan cuping hidung (-/-)

Thorax Retraksi (-), simetris (+/+) Retraksi (-), simetris (+/+)


Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), Wheezing Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
(-/-)

Abdomen Distensi (+), venektasi (+), hepar 3-4 cm Distensi (+), venektasi (+), hepar 3-4 cm
BAC, turgor kembali cepat. BAC, turgor kembali sangat lambat.
33

Extremitas Akral hangat (++/++), edema (--/--), Akral dingin (++/++), edema (--/--), CRT
CRT <2 detik, Polidaktili manus dextra >2 detik, Polidaktili manus dextra

A - Proven sepsis ec Klebsiela - Cardiopulmonary failure


Pneumoniae - Proven sepsis ec Klebsiela
- kolestasis intrahepatal ec sepsis dd Pneumoniae
hepatitis - kolestasis intrahepatal ec sepsis dd
- Susp massa suprarenal dextra hepatitis
- Susp massa liver sinistra ec susp - Perdarahan GIT
gangguan koagulasi - Susp massa suprarenal dextra
- Dehidrasi ringan sedang (riwayat) - Susp massa liver sinistra ec susp
- Transaminitis gangguan koagulasi
- Anemia Gravis(riwayat) - Dehidrasi ringan sedang (riwayat)
- Kontraktur genu dextra - Transaminitis
- Polidactili manus dextra - Anemia Gravis(riwayat)
- Kontraktur genu dextra
- Polidactili manus dextra

P - Inj. NE 0,05 mg/kg/menit - RJP 15:2  IV epinefrin 1: 10.000


- Inj. Meropenem 30 mg/kg/kali 0,2 cc
- Inj. Vitamin K 1x2 mg
- PO Supralisin 1x0,5 ml
- PO Vitamin D 1x400 IU
- PO Vitamin E 1x40 IU
- PO UDCA 2x20 mg
- PO Curliv 2x2 ml
- CT Scan abdomen
- Observasi tanda overload cairan
- Transfuse albumin
- Transfuse TC
34

BAB IV

PEMBAHASAN

Kasus ini melaporkan seorang bayi laki-laki berusia 1 bulan 17 hari datang

dengan keluhan sesak napas sejak 6 jam SMRS, muncul mendadak, terus

menerus, tidak dipengaruhi oleh posisi. Sesak napas disadari dengan adanya

tarikan dinding dada dan pernapasan cepat. Demam sejak 1 hari SMRS, muncul

mendadak dan dirasakan terus menerus.

Sesuai teori, sepsis neonatal adalah sekumpulan gejala klinis dari kelainan

sistemik yang disebabkan adanya bakteremia pada masa neonatus. Berdasarkan

onsetnya, sepsis terbagi menjadi sepsis awitan dini (early onset), awitan lambat

(late onset), dan sangat lambat (very late onset). Pada pasien termasuk sepsis

awitan lambat (late onset) yaitu sepsis yang terjadi pada usia 7 hari – 3 bulan.

Etiologi sepsis awitan lambat yaitu stafilokokus koagulasi negatif, stafilokokus

aureus (MRSA), Bakteri Gram negatif enterik, dan streptokokus grup B. Faktor

risiko sepsis terdiri atas faktor ibu dan faktor neonatal. Faktor risiko ibu meliputi

1) adanya demam intrapartum >38c; 2) persalinan kurang bulan; 3) KPD>18 jam;

4) Asfiksia antenatal atau intrapartum; 5) ISK ibu. Faktor risiko neonatal antara

lain 1) kelahiran kurang bulan; 2) neonatus dengan selang.1

Pemeriksaan fisik pasien tampak sakit berat, nadi 220 x/menit, irreguler,

tidak kuat angkat. Pernafasan 72x/menit. Suhu 40 oC. SpO2 99% on nc O2 2


35

lpm. Berdasarkan teori, sepsis ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan

laboratoris. Kriteria klinis meliputi 1) keadaan umum: menurun, malas minum,

hiper/hipotermia, edema, sklerema; 2) sistem SSP: hipotonia, irritable, high pitch

cry, kejang, letargi, tremor, fontanel cembung; 3) sistem saluran napas:

pernapasan ireguler, takipne (>60x/menit), apne, dispne, sianosis; 4) sistem

kardiovaskular: takikardi (>160x/menit), bradikardi (<100x/menit), akral dingin,

syok; 5) sistem saluran cerna: retensi lambung, hepatomegali, BAB cair, muntah,

kembung; 6) sistem hematologi: kuning, pucat, splenomegaly, peteki, purpura,

perdarahan, DIC. Kriteria laboratoris meliputi leukositosis >34.000, leukopenia

<5.000, trombositopenia, neutropenia <1.500, IT ratio >0,2, peningkatan CRP,

atau kultur darah positif. Pada pasien memenuhi 5 gejala klinik dan kultur darah

positif sehingga termasuk proven sepsis.1

Pasien adalah seorang bayi laki-laki. Berdasarkan penelitian, bayi laki-laki

lebih berisiko 1,5 kali lipat untuk terkena sepsis dibandingkan perempuan. Hal

ini karena faktor yang terkait seks dalam hal kerentanan host terhadap infeksi.

Kromosom X memiliki gen yang mempengaruhi fungsi kelenjar timus dan

sintesis imunoglobulin. Sedangkan laki-laki hanya memiliki satu kromosom X

sehingga lebih rentan terhadap infeksi dibanding perempuan.

Keluhan disertai dengan pucat sejak 6 jam SMRS. Tidak terdapat

perdarahan seperti BAB darah, BAB hitam, muntah darah, batuk darah.

Hemoglobin pasien didapatkan 4,2. Sesuai teori, anemia pada neonatus apabila

kadar hemoglobin vena central <13 atau kadar hemoglobin kapiler <14,5.

Penyebabnya antara lain perdarahan, hemolisis, atau hipoplastik. Manifestasi


36

klinis yang muncul dapat berupa pucat. Apabila terjadi perdarahan akut, dapat

muncul gejala syok.

Pada kasus ini pasien kuning sejak usia 1 bulan 10 hari, muncul mendadak

dan terus menerus. Kuning awalnya nampak di mata dan dada, lalu menyebar

hingga ke seluruh tubuh. BAB berwarna kuning kecoklatan, tidak didapatkan

riwayat BAB pucat seperti dempul. Pemeriksaan fisis ditemukan sklera dan kulit

yang ikterus serta adanya pembesaran hati (4 cm bawah arkus kosta/BAC). Pada

kasus ini, dari anamnesis didapatkan keluhan kuning sehingga perlu evaluasi

terhadap kemungkinan kolestasis.

Kolestasis merupakan gangguan pembentukan atau aliran empedu akibat

kelainan intrahepatik atau ekstrahepatik, menyebabkan retensi empedu dalam

hepar yang secara normal dieksresikan ke dalam saluran pencernaan. Kolestasis

ditandai dengan kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dL bila kadar bilirubin total

kurang dari 5 mg/dL atau lebih dari 20% bila kadar bilirubin total lebih dari 5

mg/dL.1,2 Etiologi kolestasis dapat intrahepatic atau ekstrahepatik. Penyebab

kolestasis neonatal antara lain atresia biliar, hepatitis neonatal idiopatik, kolestasis

disebabkan sepsis dan infeksi saluran kemih, sindrom Alagille, progressive

familial intrahepatic cholestasis (PFIC), dan kolestasis akibat nutrisi parenteral.2,3

Ikterus merupakan temuan klinis yang sering dijumpai terutama saat usia 2

minggu pertama kehidupan dengan insidens 2,4-15%, ditandai dengan perubahan

warna kulit, sklera, membran mukosa, dan cairan tubuh.1,2

Ikterus karena peningkatan bilirubin indirek sering terjadi pada anak usia 2

minggu yang mendapat ASI.2 Ikterus karena peningkatan bilirubin direk tidak
37

pernah bersifat fisiologis, sehingga setiap anak yang mengalami ikterus pada usia

2-3 minggu harus dievaluasi terhadap kemungkinan kolestasis dan harus dicari

etiologinya.1 Pada bayi yang mendapat ASI, evaluasi kolestasis dapat ditunda

hingga usia 3 minggu jika tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan fisik, tidak

ada riwayat urin berwarna seperti teh dan tinja dempul. Pada bayi yang mendapat

susu formula, evaluasi terhadap kecurigaan kolestasis dapat dilakukan saat usia 2

minggu. Manifestasi klinis kolestasis antara lain ikterus, tinja dempul, dan urin

berwarna kuning gelap menyerupai teh. Ikterus terjadi akibat akumulasi empedu

dalam darah. Tinja dempul atau berwarna kuning pucat karena urobilin dan

sterkobilin tinja menurun. Manifestasi urin seperti teh kadang tidak jelas pada

bayi karena produksi urin yang lebih banyak.3,4

Pada bayi dengan kecurigaan kolestasis perlu ditanyakan riwayat kehamilan

ibu yang mungkin menjadi faktor risiko atau penyebab, seperti infeksi maternal

[hepatitis B, TORCH (toksoplasmosis, rubela, sitomegalovirus, herpes simpleks)

dan sifilis], perlemakan hati, batu atau kista duktus biliaris. 1,3 Ditanyakan berat

badan lahir dan usia kehamilan saat bayi lahir, karena bayi prematur memiliki

risiko hepatitis neonatal. Pada riwayat keluarga, perlu ditanyakan perkawinan

antar saudara karena dapat meningkatkan risiko kelainan autosomal resesif, dan

riwayat kolestasis pada orangtua atau saudara kandung.3,4

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegali. Pada bayi sirosis,

hipertensi porta, atau gangguan hemolitik dapat ditemukan splenomegali. Dapat

teraba massa yang di kuadran kanan atas pada kelainan kista koledokal. Murmur

jantung dapat ditemukan pada atresia biliar atau sindrom Alagille. Pada sindrom
38

Alagille, selain kelainan jantung, terdapat tampilan wajah dismorfik (wajah

triangular, dahi lebar, mata yang dalam, dagu kecil dan lancip). Pemeriksaan tinja

3 porsi, jika didapatkan warna dempul terus menerus dapat mengarah ke diagnosis

atresia biliar.2,3 Penentuan warna tinja seringkali subjektif, dapat digunakan infant

stool color card.4

Evaluasi terhadap kolestasis dimulai dari pemeriksaan bilirubin total, direk,

dan indirek. Pada kolestasis neonatal, didapatkan kadar bilirubin direk lebih dari 1

mg/dL jika kadar bilirubin total kurang dari 5 mg/dL atau lebih dari 20% jika

kadar bilirubin total lebih dari 5 mg/dL. .2,3 Penentuan tingkat keparahan

keterlibatan hepar yaitu dengan memeriksa kadar ALT, AST, alkali fosfatase, dan

GGT. Alanin aminotransferase (ALT) dan AST digunakan untuk deteksi nekrosis

hepatosit, namun tidak spesifik. Ketiga enzim ini umumnya meningkat pada

kolestasis neonatal dan tidak dapat digunakan untuk menentukan penyebab

kolestasis.3,4 Gama glutamil transferase (GGT) merupakan enzim epitel duktus

biliaris dan sel hepatosit yang ditemukan juga di jaringan lain seperti pankreas,

lien, dan ginjal. Pada umumnya kadar GGT akan meningkat pada kasus kolestasis,

terutama pada kasus obstruksi ekstrahepatal atau yang melibatkan duktus biliaris

intrahepatal seperti pada atresia biliar, PFIC tipe 3, dan sindrom Allagile. 1-3 Kadar

GGT normal atau rendah dapat dijumpai pada kasus PFIC tipe 1 atau 2 dan

panhipopituitarism.4

Derajat disfungsi sintesis hepar dinilai dengan pemeriksaan kadar albumin,

glukosa, PT, INR, dan kolesterol. Albumin merupakan protein yang disintesis
39

dalam retikulum endoplasma hepatosit, sehingga kadar albumin dapat digunakan

sebagai indikator kapasitas sintesis hepar.3,6 Kadar albumin rendah menandakan

kegagalan fungsi sintesis hepar atau terdapat kehilangan protein dari ginjal atau

saluran pencernaan. Hipoalbuminemia merupakan temuan akhir jika penyakit

sudah kronik.1,2,6 Pada kolestasis intrahepatal, masa protrombin umumnya normal,

namun dapat memanjang. Hipoglikemia dapat terjadi pada kolestasis yang

disebabkan kelainan metabolik, endokrin, atau kelainan hati lanjut. Kolesterol

disintesis dan dimetabolisme di hepar, sehingga kelainan hepar dapat

menyebabkan abnormalitas kadar lipid.2,6

Peningkatan kadar bilirubin direk tidak pernah fisiologis, sehingga semua

bayi dengan keluhan ikterus saat usia 2 sampai 3 minggu perlu dievaluasi untuk

eksklusi kemungkinan kolestasis dan mencari etiologi agar dapat ditatalaksana

segera. Tatalaksana dini serta optimalisasi nutrisi untuk mencegah komplikasi

dapat bermanfaat dan memungkinkan prognosis yang optimal.1,2

Pada kolestasis terdapat akumulasi zat zat yang tidak bisa diekskresikan

karena oklusi atau obstruksi dari sistem bilier, yang ditandai dengan

meningkatnya alkali fosfatase, γGT dan bilirubin direk. 1,3,9 Pemeriksaan

laboratorium yang paling penting pada bayi dengan ikterus lebih dari dua minggu

ialah bilirubin direk. Jika bilirubin direk meningkat, maka harus dilakukan

pemeriksaan lebih lanjut. Bilirubin direk melebihi 17 μmol/L (1 mg/dL) atau lebih

15% dari nilai bilirubin total, maka seharusnya dipikirkan suatu keadaan tidak

normal.8 Selain itu keadaan ini dapat disertai dengan peningkatan kadar γGT,
40

rendahnya kadar albumin, peningkatan alkalin fosfatse dan pemanjangan nilai PT

dan APTT.9

Pada kasus ini ditemukan kadar bilirubin total 19,21 mg/dl, bilirubin direk

14,91 mg/dL, γGT 1009 U/L, alkalin fosfatase 222 U/L, SGPT 186 U/L, SGOT

501 U/L. Pada pasien ini, bilirubin total 19,21 mg/dL, kadar bilirubin direk 14,91

mg/dL, yang berarti 77% (>20%) kadar bilirubin total. Hasil ini sesuai dengan

gambaran kolestasis. Pada pemeriksaan AST, ALT, alkali fosfatase didapatkan

peningkatan yang juga dapat dijumpai pada kolestasis. Kadar GGT 1009 U/L

(batas normal pada usia ini 13-147 U/L), peningkatan tujuh kali lipat batas atas

kadar normal usia ini. Penelitian Brandao et al, terhadap 168 bayi mendapatkan

bahwa peningkatan GGT > 429,5 UI/L atau peningkatan 10,8 kali lipat batas atas

normal kadar GGT, memiliki tingkat spesifisitas 91,5% dan akurasi 76% dalam

mendeteksi kolestasis ekstrahepatal.5 Peningkatan GGT pasien ini <10 kali lipat

dari batas atas normal, mengarah ke diagnosis kolestasis intrahepatal. Namun,

kemungkinan kolestasis ekstrahepatal belum dapat disingkirkan karena

pemeriksaan AST, ALT, alkali fosfatase, dan GGT tidak spesifik. Pada pasien ini

tidak terdapat disfungsi hepar, ditandai dari kadar albumin, kolesterol, PT, INR,

dan aPTT dalam batas normal.

Langkah selanjutnya adalah mencari kelainan yang dapat ditatalaksana

sesegera mungkin. Beberapa pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan

infeksi seperti kultur (darah, urin, atau cairan tubuh lainnya), hepatitis B, sifilis,

dan TORCH. Pemeriksaan lain adalah skrining standar kelainan pada bayi baru

lahir yang mungkin dapat menyebabkan kolestasis, seperti hipotiroid


41

(pemeriksaan tyhroid stimulating hormone/TSH dan T4), galaktosemia

(pemeriksaan substansi reduksi urin dan galaktosa-1 fosfat uridil transferase),

fibrosis kistik (pemeriksaan tripsinogen), dan tirosinemia.1,7

Pada pasien ini juga didapatkan peningkatan leukosit (27.500-32.400/Ul).

Peningkatan leukosit merupakan temuan yang umum didapatkan pada kondisi

infeksi, terutama yang disebabkan oleh bakteri.9 Temuan lain yang dapat

ditemukan yaitu pada pemeriksaan tinja rutin didapatkan hasil warna tinja kuning,

lendir positif, leukosit 10-15/lpb, lemak positif. Leukosit pada tinja umumnya

ditemukan pada infeksi bakteri. Lemak dalam feses pada kasus kolestasis

disebabkan karena penurunan ekskresi asam empedu akibat gangguan lipolisis

intraluminal, solubilisasi ,dan absorbsi trigliserid rantai panjang. Namun pada

pasien tidak dilakukan pemeriksaan feses. Pada urinalisis ditemukan bilirubin.

Bilirubin terkonjugasi bersifat larut dalam air dan dapat diekskresikan melalui

ginjal, sehingga bilirubinuria dapat menjadi tanda dini kelainan hepatobiliar. .6,10

Penyebab tersering dari kolestasis dibagi atas kolestasis ekstrahepatik

(obstruktif) dan kolestasis intrahepatik. Penyebab tersering kolestasis ektrahepatik

ialah atresia bilier. Terjadinya atresia bilier diakibatkan oleh karena proses

inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus

bilier ekstrahepatik sehingga terjadi hambatan aliran empedu. Jadi, atresia bilier

adalah tertutupnya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus

bilier ekstrahepatik yang menyebabkan terjadinya hambatan aliran empedu.

Akibatnya di dalam hati dan darah terjadi penumpukan garam empedu dan

peningkatan bilirubin direk.1,5,10


42

Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli

menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya

kelainan kromosom trisomi17,18 dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada

30% kasus atresia bilier. Namun sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia

bilier diakibatkan oleh proses inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa oleh

karena infeksi atau iskemi.1,3,12

Pada umumnya atresia bilier memberikan gejala pada saat postnatal yang

disebabkan oleh obliterasi sistem bilier ekstrahepatik. Pada kasus tertentu dapat

ditemukan anomali kongenital yang biasanya disertai dengan atresia duodenal,

malrotasi, sistem vaskular yang abnormal, dan polisplenia. Bayi dengan atresia

bilier tidak menunjukkan gejala pada saat lahir sampai usia 3-6 minggu, dimana

telah terjadi peningkatan bilirubin direk.3,6

Kombinasi pemeriksaan sonografi hepatobiliar, scintigraphy dan biopsi

hati dapat membedakan antara hepatitis neonatal dan atresia bilier ekstrahepatik

sebanyak 90% kasus. Jika dengan ketiga pemeriksaan ini diagnosis belum dapat

ditegakkan, maka tindakan operatif cholangiography perlu dilakukan untuk

membedakan kedua kelainan tersebut.3,4 Dewasa ini telah dikembangkan

pemeriksaan MR cholangiogram untuk membedakan kasus kolestasis.5,13,14

Hasil USG abdomen penderita ini ialah atresia bilier dan parensim hepar

yang mulai mengarah ke sirosis hepatis. Diperlukan ultrasonografi (USG)

abdomen 2 fase untuk menyingkirkan kelainan yang dapat menyebabkan

obstruksi duktus biliar ekstrahepatik, seperti kista atau batu, identifikasi asites,

abnormalitas lien, pembuluh darah, atau tanda-tanda penyakit hepar berat.


43

Sebelum pemeriksaan USG, pasien dipuasakan selama minimal 4 jam dan diulang

setelah bayi minum. Pada kelainan kolestasis intrahepatik, kantung empedu

terlihat saat puasa (terisi cairan empedu) dan mengecil setelah bayi minum akibat

kontraksi.6 Gambaran sugestif atresia biliar antara lain triangular cord sign,

morfologi kantung empedu abnormal (tidak tampak kantung empedu saat puasa),

kurangnya kontraksi kantung empedu setelah pemberian minum, atau tidak

tampak duktus biliaris komunis. Hasil ultrasonografi normal tidak menyingkirkan

kemungkinan atresia biliar.2,6

Pemeriksaan lebih lanjut dilakukan bersama ahli gastroenterologi-

hepatologi anak, seperti pemeriksaan garam empedu serum, kortisol, tes PCR

(polymerase chain reaction), genetik, kemungkinan penyakit metabolik lain

(tripsinogen, sweat chloride analysis), pemeriksaan pencitraan (kolangiografi,

endoscopic retrograde cholangiopancreatography/ERCP, magnetic resonance

cholangiopancreatography/MRCP, ekokardiografi, biopsi hepar hingga konsultasi

dengan ahli lain (oftalmolog, bedah anak, ahli gizi, kardiolog).1,6

Biopsi hati merupakan pemeriksaan diagnostik penting; teknik biopsi

perkutan dapat dilakukan dengan aman pada bayi kecil. Pemeriksaan ini memiliki

tingkat akurasi 95%, bila sampel cukup (mengandung 5-7 daerah portal) dan

diinterpretasikan oleh ahli patologi yang berpengalaman.3 Temuan biopsi

tergantung etiologi. Pada kasus atresia biliaris, temuan histologi antara lain bile

plugs, proliferasi duktus biliaris, fibrosis, dan edema traktus portal. 2,3 Biopsi juga

bermanfaat untuk menentukan penyebab kolestasis lain seperti defisiensi alfa-1


44

antitripsin (A1AT), sindrom Alagille, kolangitis sklerosis neonatal, infeksi virus,

penyakit metabolik hepar, progressive familial intrahepatic cholestasis/PFIC, dan

hepatitis neonatal idiopatik.2,3

Berdasarkan teori, hubungan sepsis dan terjadinya ikterus serta kolestasis

yaitu bakteri yang menyebabkan sepsis dapat menyerang hepar sehingga

menyumbat saluran hepar dan menyebabkan kolestasis. Kemudian dapat

menyebabkan terjadinya peningkatan destruksi eritrosit, terjadi pemecahan

hemoglobin berlebihan di dalam sistem retikuloendotelial oleh enzim heme

oksigenase menjadi biliverdin, selanjutnya oleh enzim biliverdin reduktase

dirubah menjadi bilirubin indirek. Kemudian bilirubin indirek secara difusi masuk

ke sirkulasi darah dan berikatan dengan albumin serum (albumin-bilirubin

binding). Lalu bilirubin dibawa ke hepar melalui membran sinusoid dan ditangkap

oleh protein Y dan Z selanjutnya ditransfer ke retikulum endoplasma halus atau

kasar. Pada retikulum endoplasma halus atau retikulum endoplasma kasar akan

dimetabolisme oleh enzim uridine diphosphate glucuronosyl transferase (UDPG-

T) menjadi bilirubin monoglukoronid dan diglukoronid larut air. Pada proses

selanjutnya bilirubin direk akan dirubah menjadi garam empedu, disalurkan ke

kandung empedu untuk digunakan dalam proses pencernaan lemak di usus. Tahap

akhir produk bilirubin dikeluarkan menjadi sterkobilin melalui feses dan

urobilin/urobilinogen lewat ginjal dalam urin

Tatalaksana kolestasis yaitu tatalaksana etiologi; sepsis atau infeksi lain

perlu ditatalaksana dengan antibiotik yang sesuai. Jika disebabkan nutrisi

parenteral, dapat diberi asupan nutrisi per oral.1,5 Pasien ini diberi antibiotik untuk
45

mengatasi infeksi saluran cerna. Kolestasis akibat infeksi karena endotoksin

bakteri (terutama gram negatif) menyebabkan disfungsi pengambilan dan ekskresi

bilirubin, serta terjadi inhibisi aktivitas transporter dan ekspresi gen yang

berfungsi transpor asam empedu oleh lipopolisakarida.12-14

Tatalaksana yang tepat diperlukan pada penderita kolestasis yaitu untuk

mencegah terjadinya kerusakan hati yang lebih lanjut. Tumbuh kembang dapat

dioptimalisasikan dengan memperbaiki aliran bahan-bahan yang diekskresikan

hati ke dalam usus dan melindungi hati dari zat toksis. Tatalaksana dukungan

nutrisi bertujuan untuk mendukung pertumbuhan optimal, karena pada kolestasis

neonatal sering terjadi gagal tumbuh akibat malabsorpsi lemak, gangguan

metabolisme protein dan karbohidrat, serta peningkatan kebutuhan metabolik. 2

Jumlah kalori diberikan 120-150% kebutuhan bayi normal. Lemak yang

dikonsumsi sebaiknya dalam bentuk medium-chain triglycerides (MCTs).6,14

Lemak bentuk MCTs dapat diabsorpsi langsung di usus halus tanpa bantuan

garam empedu.6 Kebutuhan protein 2-3 g/kgBB/hari.6,14

Malabsorpsi lemak menyebabkan bayi kolestasis berisiko defisiensi vitamin

larut lemak. Dosis oral vitamin A 5.000-15.000 IU. Untuk dosis vitamin D2 3-5

μg/kgBB/hari, vitamin D3 (calcitriol) 1.200-5.000 IU/hari atau 500 U/kgBB/hari,

sedangkan vitamin D 50-400 IU/hari. Dosis oral vitamin E untuk kolestasis yaitu

50-400 IU/hari. Vitamin K dapat diberikan secara intravena, subkutan atau per

oral dengan dosis 2,5-5 mg/hari atau sumber lain menyebutkan dosis vitamin K1

0,3 mg/kgBB/kali intramuskular setiap 3 minggu atau 2,5-5 mg/2-7 kali/minggu.

Pemberian vitamin dilanjutkan selama paling tidak 3 bulan setelah resolusi


46

ikterus. Pemeriksaan laboratorium darah dilakukan sekali setelah anak berhenti

mengonsumsi vitamin.14

Terapi suportif lain adalah stimulasi aliran empedu menggunakan asam

ursodeoksikolat (10-20 mg/kgBB/hari).6,13 Selain stimulasi aliran empedu, obat

ini berfungsi hepatoprotektor dan membantu absorpsi lemak.6 Obat lain yaitu
6,14
kolestiramin (0,25-0,5 g/kgBB/hari), atau rifampisin (5-10 mg/kgBB/hari).

Pada pasien ini didapatkan kondisi status gizi kurang dan berat badan tidak

bertambah sesuai saat usia 1 bulan meskipun kondisi dehidrasi telah teratasi,

sehingga perlu diwaspadai risiko gagal tumbuh. Dukungan nutrisi perlu lebih

diperhatikan karena kondisi kolestasis meningkatkan risiko gagal tumbuh akibat

kondisi malabsorpsi. Pasien diberi vitamin K 2 mg setiap tiga hari sekali dan

suplementasi multivitamin A, D, dan E. Tatalaksana stimulasi aliran empedu

dengan asam ursodeoksikolat 15 mg tiga kali per hari.

Tatalaksana lanjutan yaitu tindakan operatif portoenterostomi teknik Kasai.

Operasi ini dapat memberikan hasil yang baik jika ditemukan adanya duktus yang

paten dengan diameter 150 μm, dan dilakukan sebelum usia 8 minggu. Tetapi

banyak ahli tetap menganjurkan untuk dilakukan prosedur ini walaupun

didiagnosis sudah “non-correctable”. Diharapkan tindakan ini dapat

memperlambat perkembangan kerusakan hati sambil menunggu kesempatan untuk

dilakukannya transplantasi hati. Komplikasi operasi ini yaitu kolangitis berulang

yang ditemukan pada 30-60% kasus. Kolangitis umumnya mulai timbul 6-9 bulan

setelah dibuat anastomosis. Dengan pengobatan, angka harapan hidup selama 5

tahun setelah operasi Kasai ialah 40%. Apabila usia bayi sudah lebih dari tiga
47

bulan dan terdapat gangguan hati yang berat maka seharusnya dilakukan

transplantasi hati. Walaupun demikian 80% dari penderita yang dioperasi

memerlukan transplantasi hati dalam selang waktu 10 tahun setelah operasi

dilakukan.1,3

Komplikasi dari kolestasis yaitu terjadinya proses fibrosis dan sirosis hati.

Adanya pembesaran limpa menandakan terjadinya hipertensi portal. Pada keadaan

lanjut dapat terjadi sirosis bilier dan terjadi gagal tumbuh serta defisiensi zat gizi.

Sirosis akan menyebabkan hipertensi portal yang berakibat lanjut terjadinya

perdarahan, hipersplenisme dan asites. Terjadinya asites pada kolestasis

merupakan petanda prognosis yang kurang baik.3,9

Perdarahan gastrointestinal yang menyertai hipertensi portal terjadi bila

tekanan vena porta di atas 12 mmHg. Semua perdarahan walaupun sedikit harus

dirawat secara intensif dengan melakukan pemeriksaan dan diagnosis untuk

mengetahui tingkat keparahan penyakit dan lokasi penyebab hipertensi portal.

Langkah pertama ialah melakukan tindakan suportif untuk mempertahankan

fungsi sirkulasi, perbaikan fungsi hemostasis dan pemberian farmakoterapi.

Langkah selanjutnya ialah terapi endoskopi, penggunaan balon Sengstaken-

Blakemore dan terapi pembedahan.1,2,3

Prognosis kolestasis neonatal buruk bila terdapat faktor seperti kuning

berlangsung lebih dari 6 bulan, tinja dempul, adanya riwayat penyakit dalam

keluarga, hepatomegali persisten, dan terdapat inflamasi hebat pada hasil biopsi

hati.6
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus atas nama By. Ny. N berusia 1 bulan dengan

diagnosis kolestasis intrahepatal + Sepsis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Setelah ditegakkan

diagnosis tersebut, pasien mendapatkan terapi dan dilakukan rawat bersama di

NICU.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Ari Yunanto. Panduan Praktik Klinis Pediatri. Edisi 3. Banjarmasin: Oceana

Press; 2017.

2. Hasan HA, Balistneri W. Neonatal cholestasis. In: Behrman RE, Kliegman

RM, Nelson WE, Vaughan III VC. Nelson textbook of pediatrics. 21 st

edition. Philadelphia: WB Saunders Company; 2019.

3. Shah R, John S. Cholestatic jaundice. NCBI Bookshelf. A service of the

National Library of Medicine, National Institutes of Health: StatPearls

publisihing; 2022.

4. Fawaz R, Baumann U, Ekong U, Fischler B, Hadzic N, Mack CL, et al.

Guideline for the evaluation of cholestatic jaundice in infants: Joint

recommendations of the North American Society for Pediatric

Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition and the European Society for

Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition. JPGN.

2017;64(1):154-65.

5. Karpen SJ. Pediatric Cholestasis: Epidemiology, Genetics, Diagnosis, and

Current Management. Clin Liver Dis (Hoboken). 2020;15(3):115-9.

6. Feldman AG, Sokol RJ. Neonatal cholestasis. Neo Reviews American

Academy of Pediatrics. 2014;14(2):63-71.

7. Harpavat S, Garcia-Prats JA, Anaya C, et al: Diagnostic yield of newborn

screening for biliary atresia using direct or conjugated bilirubin

measurements. JAMA 2020;323(12):1141–50.

50
8. Fabris L, Fiorotto R, Spirli C, et al: Pathobiology of inherited biliary

diseases: A roadmap to understand acquired liver diseases. Nat Rev

Gastroenterol Hepatol 2019;16(8):497–511.

9. Guthrie G, Burrin D: Impact of Parenteral Lipid Emulsion Components on

Cholestatic Liver Disease in Neonates. Nutrients 2021;13(2):508.

10. Rosenthal P. Neonatal Hepatitis and Congenital Infections. In: Suchy FJ, ed.

Liver disease in children, 1st ed. St. Louis: Mosby year book, 1994; 414-24.

11. Haefelin DN, Griffiths P, Rizetto M. Systemic Virosis Producing Hepatitis.

In: Bircher J, et al, eds. Oxford textbook of clinical hepatology, 2nd ed.

Oxford: Oxford University Press, 1999;955-63.

12. Emerick KM, Whitington PF. Molecular Basis of Neonatal Cholestasis.

Pediatrics Clinics of North America 2002; 49(1):1-3.

13. Krishnamurthy, G.T., Krishnamurthy, S. Extrahepatic Cholestasis. In:

Nuclear Hepatology. Berlin: Heidelberg; 2020.

14. Mardi T, Arnelis. Intrahepatic and Extrahepatic Cholestatic Jaundice

Caused by Adenocarcinoma Pancreas with Hepatitis B Infection: A Case

Report. Bioscmed [Internet]. 2022;6(9):2208-13.[cited 2023 Oct 22]

15. Kementerian Kesehatan Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia. 2019.

16. Hartanto, R., Masloman, N., Rompis, J., Wilar, R., 2016. Hubungan Kadar

Neuron-Specific Enolase Serum dengan Mortalitas pada Sepsis

Neonatorum. Sari Pediatri. 2016;17(6):450-4.

51
17. Ghenu MI, Dragoş D, Manea MM, Ionescu D, Negreanu L.

Pathophysiology of sepsis-induced cholestasis: A review. JGH Open.

2022;6(6):378-87.

18. Singer M, Deutschman CS, Seymour C et al. The third international

consensus definitions for sepsis and septic shock (sepsis ‐3) . JAMA. 2016;

315: 801–10.

19. Woznica EA, Inglot M, Woznica RK, Lysenko L. Liver dysfunction in

sepsis. Adv. Clin. Exp. Med. 2018; 27: 547–51.

20. Ainosah RH, Hagras MM, Alharthi SE, Saadah OI. The effects of

ursodeoxycholic acid on sepsis‐induced cholestasis management in an

animal model. J. Taibah Univ. Med. Sci. 2020;15:312–20.

21. Ghoda A, Ghoda M. Cholestasis of sepsis: a case report. Cureus. 2020; 12:

e8897.

52

Anda mungkin juga menyukai