Anda di halaman 1dari 25

TUGAS REVIEW JURNAL

KADAR AIR DAN KADAR ABU

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Praktek Pengawasan Mutu Pangan
Dosen Pengampu : Dr. Julfi Restu Amelia, S.TP, M.Si

Disusun Oleh

Navy Utami 2020340049

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PANGAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS SAHID
2023
JUDUL JURNAL

1. Kadar Air :
● Analisis kadar air, abu, serat dan lemak pada minuman sirop jeruk siam (citrus
nobilis var. microcarpa)
● Karakteristik fisikokimia bubuk ampas tomat-apel hasil pengeringan
pembusaan berbantu gelombang mikro
● Analisis proksimat dan total serat pangan pada crackers fortifikasi tepung
tempe dan koleseom (talinum tiangulare)

2. kadar abu
● Aplikasi metode aktivasi fisika dan aktivasi kimia pada pembuatan arang aktif
dari tempurung kelapa (cocos nucifera l)
● Rendemen, kadar abu, kadar lemak, dan total khamir kefir bubuk susu
kambing dengan metode pengeringan yang berbeda
● Analisis kandungan air, abu, dan logam berat pada kopi bubuk asal gayo
Analisis kadar air, abu, serat dan lemak pada minuman sirop jeruk siam
Judul 1
(citrus nobilis var. microcarpa)

Jurnal Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem

Volume & -
Halaman

Tahun 2021

Penulis
Kiki Kristiandi, Rozana, Junardi, Andi maryam
Reviewer Navy

Tanggal 28 Jun 2023

Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis kadar air, abu,
serat dan lemak pada minuman sirop.

Subjek Penelitian Sirup Jeruk Siam

Metode Penelitian Metode

Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Agroindustri Pangan dan


untuk pengunjian dilakukan di Sucofindo. Adapun pengujian yang
dilakukan berupa kadar air, abu, serat dan lemak. Penelitian ini adalah
dengan metode SNI 19-2891-1992. Kegiatan ini dilakukan pada bulan
Juli - November 2020. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sari buah jeruk siam yang diperas dengan mengggunakan
pemeras jeruk portable. Pengambilan sampel tersebut berada di
Kabupaten Sambas. Pengujian data dilakukan dengan analisa
kuantitatif. Analisa kadar air dilakukan untuk menentukan besarnya
kandungan air yang terdapat pada sampel. Untuk kadar abu
menunjukan total mineral yang terdapat pada sampel tersebut.
Pengujian serat untuk melihat sejumlah kadar serat dengan
menggunakan metode hot plate. Dalam analisa penentuan kadar lemak
dengan metode ekstraksi soxhlet yang dipengaruhi beberapa faktor
sampel, ekstraksi dan tipe pelarut. Selanjutnya, berat lemak didapatkan
dengan memisahkan lemak dengan pelarutnya.

Kadar Air

Analisis kadar air bahan pangan secara langsung, penentuan kadar


airnya didasarkan pada penimbangan berat bahan. Selisih berat bahan
segar dan berat keringnya merupakan kadar air yang dicari yang
terkandung dalam bahan yang diperiksa.
%𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑖𝑟 = (W1−W2) : W 𝑋 100%
W1 = bobot wadah dan sampel (gr)
W2 = bobot wadah dan sampel setelah dikeringkan (gr)
W = bobot sampel sebelum dikeringkan (gr)

Hasil Penelitian Sirop jeruk siam merupakan olahan dari buah jeruk siam dengan proses
penyaringan dan hasil dari penyaringan tersebut didapatkan sari. Sari
yang telah didapatkan kemudian diberikan penambahan gula, pengental
dan penstabil agar tidak terdapat endapan [4][12]. Sirop orange
merupakan hasil penambahan pewarna minuman, sedangkan sirop
kuning adalah minuman yang tidak diberi pewarna atau original.

Berdasarkan Tabel 1 menunjukan bahwa kadar air pada minuman jeruk


siam orange memiliki 46.04% lebih tinggi dibandingkan dengan sirop
jeruk siam yang berwarna kuning yang bernilai 43.98%. Perbedaan
tersebut diakibatkan dari tingkat kematangan pada buah jeruk siam
yang digunakan. Semakin matang tingkat buah jeruk siam maka
memiliki kecenderungan memiliki kadar air yang lebih tinggi [13]-
[15]. Selain itu kadar air menjadi salah satu bentuk karakteristik yang
penting pada bahan minuman, hal ini disebabkan karena kadar air bisa
mempengaruhi penampakan, tekstur, cita rasa dan aroma yang
dimunculkan [16]. Hal penting lainnya bila kadar air tidak sesuai
dengan standar minuman maka dapat mengakibatkan pengaruh pada
tingkat kesegaran, daya simpan, mudah menimbulkan bakteri, kapang
dan khamir yang berkembang biak. penyebab lainnya pada kadar air
adalah pengaruh serat yang ada dalam minuman serat didalamnya [15].
Serat merupakan bagian yang terdapat pada sirop jeruk siam yang
memiliki kemampuan untuk mengikat air [17]. Kemampuan dalam
mengikat air ini cenderung kuat karena serat dapat banyak menyerap
kadar air yang ada dalam produk tersebut [16]. Kadar abu merupakan
campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat pada
suatu bahan pangan. Nilai kadar abu yang terdapat pada sirop orange
dan kuning sebesar adalah 0.03% dan 0.04%. Pada kedua jenis
minuman yang ada pada Tabel 1, kadar abu merupakan salah satu
penentu tingkat kandungan

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa minuman sirop


yang diolah dari jeruk siam Sambas memiliki nilai kadar air pada jenis
orange 46.04% dan 43.98% untuk kuning, sedangkan untuk kadar abu
memiliki jumlah 0.03% untuk orange dan kuning 0.04%. Untuk serat
jenis orange 0.39% dan kuning 0.30% dan lemak memiliki nilai yang
baik dengan nilai sama yaitu 0.02%.
Judul 2 karakteristik fisikokimia bubuk ampas tomat-apel hasil pengeringan
pembusaan berbantu gelombang mikro

Jurnal Jurnal Teknologi Industri Pertanian

Volume & 14
Halaman

Tahun 2020

Penulis
Asri Widyasanti, Nedia Cahyati Muchtarina, Sarifah nur ajani
Reviewer Navy

Tanggal 28 Jun 2023

Tujuan Penelitian Tujuan dalam pengolahan tomat adalah untuk meningkatkan nilai
tambah dari tomat tersebut. Menurut Cahyono (2008), peradangan pada
jerawat dapat dicegah dengan menggunakan masker wajah yang
terbuat dari tomat karena di dalam tomat terdapat kandungan zat
pengikat vitamin C. Metode pengeringan dapat digunakan untuk
membuat bubuk tomat. Pengolahan tomat dalam bentuk bubuk
diharapkan tidak mengubah kandungan gizi serta khasiat dari tomat.
Menurut Mujumdar dan Devahastin (2006), pengeringan merupakan
suatu operasi kompleks yang melibatkan transfer panas dan massa
yang tidak tetap bersamaan dengan beberapa laju proses seperti
perubahan fisik dan kimia yang dapat mengakibatkan perubahan pada
kualitas produk.

Subjek Penelitian Bubuk ampas tomat-apel

Metode Penelitian Metode

Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental


laboratorium. Penelitian ini terdiri dari tiga perlakuan level daya
pengeringan yaitu 30%, 50% dan 70%. Ketiga perlakuan pembuatan
bubuk ampas tomat dilakukan pengkondisian dengan tanpa pembusaan
(kontrol) dan pembusaan menggunakan penambahan putih telur 15%.
Parameter yang dihitung dari penelitian ini yaitu rendemen total bubuk
ampas tomat, dan karakteristik fisikokimia bubuk ampas tomat hasil
pengeringan pembusaan berbantu oven gelombang mikro.

Kadar Air

Prinsip dari pengukuran kadar air dengan metode oven. Sampel


sebanyak ± 5 gram dikeringkan di dalam oven selama minimal 3
jam pada suhu 100-105ºC hingga dicapai berat konstan.
Hasil Penelitian Prinsip dari pengukuran kadar air adalah mengeluarkan air dari bahan
dengan bantuan energi panas dan didasarkan atas masa yang hilang.
Rata-rata kadar air bubuk ampas tomat tersaji dalam Gambar 4.
Berdasarkan Gambar 4, kadar air bubuk ampas tomat berkisar antara
9,18% hingga 12,50%. Nilai kadar air pada bubuk ampas tomat lebih
rendah dibandingkan pada lembaran kering ampas tomat, kecuali pada
perlakuan E mengalami kenaikan dari 10,74% menjadi 11,66%.
Adanya penurunan yang terjadi diduga karena proses penggilingan
yang dilakukan, adanya panas yang terjadi pada saat penggilingan terus
menurus yang diakibatkan perputaran pisau. Panas pada pisau tersebut
menjadikan bahan panas sehingga kadar air bubuk ampas tomat
menjadi menurun. Kenaikan kadar air pada perlakuan E diduga karena
kondisi lembaran kering ampas tomat sebelum penggilingan memiliki
kadar air yang lebih tinggi dibandingkan kadar air lembaran kering
setelah proses pengeringan, hal ini diduga karena lembaran kering
sebelum penggilingan terlalu lama kontak dengan suhu ruangan. Kadar
air pada bubuk ampas tomat dengan penambahan putih telur (perlakuan
D, E dan F) memiliki nilai yang lebih tinggi berkisar 11,66% (bb)
hingga 12,50% (bb) dibandingkan dengan perlakuan tanpa
penambahan putih telur, hal ini berbeda dengan keadaan kadar air awal
pada saat ampas dan campuran serta lembaran kering tomat.
Berdasarkan Widyasanti et al. (2018) kadar air bubuk tomat dengan
perlakuan penambahan putih telur merupakan perlakuan dengan kadar
air tertinggi dibandingkan yang lainnya sebesar 15,28%. Nilai rata-rata
kadar air pada semua perlakuan memiliki nilai yang lebih tinggi
dibandingkan dengan standar yang diberikan Foodchem International
Corporation.
Kesimpulan Pengaruh variasi daya terhadap rendemen total bubuk tomat apel pada
pengeringan dengan menggunakan oven gelombang mikro semakin
tinggi daya yang digunakan maka akan semakin rendah rendemen total
bubuk tomat. Nilai rendemen terbaik ada pada perlakuan pengeringan
dengan menggunakan daya pengeringan 30% tanpa penambahan putih
telur (A) dengan rendemen sebesar 0,58%. Berdasarkan rekapitulasi
daya, tidak terlihat bahwa semakin meningkat maupun menurun daya
pengeringan akan menghasilkan kualitas bubuk tomat yang semakin
baik, namun pengeringan dengan menggunakan daya 70% dapat
menghasilkan karakteristik bubuk tomat yang terbaik. Karakteristik
bubuk tomat yang dihasilkan berwarna jingga kemerahan yang sesuai
dengan standar Foodchem International Corporation, namun nilai kadar
air dan kadar abu bubuk tomat belum dapat memenuhi standar. Nilai
kadar air bubuk tomat yang dihasilkan 9,18% (bb).

Analisis Proksimat dan Total Serat Pangan pada Crackers Fortifikasi


Judul 3
Tepung Tempe dan Koleseom (Talinum tiangulare)

Jurnal Jurnal Penelitian


Volume & -
Halaman

Tahun 2019

Penulis
Hermawan Seftiono, Evelyn Djiuardi, Sherly Pricila
Reviewer Navy

Tanggal 28 Jun 2023

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan formulasi dan menguji
proksimat dari crackers yang difortifikasi menggunakan tepung tempe
dan tepung kolesom. Tepung tempe memiliki kadar protein sebesar
49,08%, serta kadar total serat pangan tepung kolesom sebesar 19,22%.
Penentuan crackers terbaik berdasarkan tingkat kesukaan panelis pada
uji organoleptik. Presentase kesukaan tertinggi secara keseluruhan
terdapat pada crackers F5 (T10%+K2.5g), yang mengandung kadar air
sebesar 4,81%, kadar abu 2,53%, lemak total 18,43%, protein 11,90%,
karbohidrat total 62,33%, dan total serat pangan 8,29%.

Subjek Penelitian Crackers fortifikasi tepung tempe dan koleseom

Metode Penelitian Metode

Bahan dan Peralatan

Bahan-bahan utama yang digunakan antara lain tempe yang berasal


dari UKM tempe di daerah pancoran Jakarta Selatan, daun kolesom
berasal dari kebun di daerah kedunghalang Bogor, tepung terigu (soft
flour dengan kandungan protein 8−9%), susu skim, margarine, baking
soda, ragi roti (instant yeast), garam, mentega dan air. Peralatan-
peralatan yang digunakan diantaranya, dehidrator, oven, tanur,
desikator, food processor, cawan porselen, perangkat Soxhlet,
perangkat Kjeldahl, dan peralatan gelas lainnya.

Pembuatan Tepung Tempe :

Proses pembuatan tepung tempe dilakukan menggunakan metode


Inayati 1991 dengan modifikasi. Prosesnya melalui tahap-tahap
pemotongan tempe segar, pengukusan dengan uap, pengeringan
dengan dehidrator (dimodifikasi), penggilingan dan pengayakkan.
Tempe dipotong dengan ketebalan 0,5 cm. Berdasarkan hasil penelitian
bahwa pengukusan selama 10 menit pada suhu 176 °F (80 °C)
menggunakan pengukus serta dengan pengeringan dengan dehidrator
selama 4−4,5 jam pada suhu 176 °F (80 °C).

Pembuatan Tepung kolesom :

Pembuatan tepung daun kolesom menggunakan metode Fadhilatunnur


(2013) dengan modifikasi. Pembuatan tepung melalui beberapa
tahapan. Pertama, daun kolesom dipisahkan dari rantingnya kemudian
dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan kotoran yang menempel
pada daun. Selanjutnya, daun kolesom disusun dalam tray dan
dikeringkan dalam alat dehidrator (dimodifikasi) selama 17 jam pada
suhu 140 °F (160 °C). Daun yang sudah kering kemudian dihancurkan
dengan food processor sampai halus. Tepung daun kolesom yang sudah
jadi disimpan didalam plastik kedap udara.

Proses pembuatan crackers :

Proses pembuatan crackers berbasis tepung tempe dan tepung kolesom


meliputi proses pencampuran bahan, proses fermentasi, proses
pembuatan lembaran, proses pemanggangan. Tahapan proses
pembuatan crackers dimulai dengan mencampurkan bahan pada Tabel
1 seperti tepung tempe, tepung daun kolesom, tepung tempe, susu
skim, ragi, air, garam, margarin, dan lemak korsvet, menggunakan
mixer lalu dicampur dengan tangan hingga kalis. Kemudian ditaruh
dalam wadah dan ditutup lap basah untuk fermentasi selama 1 jam.
Selanjutnya adonan dibuat lembaran, dilipat menjadi dua bagian,
ditaburi tebung daun kolesom, dan digiling kembali menjadi lembaran.
Setelah itu adonan dicetak dan dipanggang dalam oven hingga kering.
Kadar air crackers terpilih yaitu F5 tidak berbeda nyata (p>0,05)
dengan crackers F3. Akan tetapi kadar air pada F5 berbeda nyata
(pt test pada crackers F5 dengan F8 diakibatkan oleh perbedaan
penambahan jumlah tepung tempe yang ditambahkan, yaitu sebesar
12,5 g pada F8 dan 10 g pada F5. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa dengan penambahan tepung tempe dan tepung kolesom pada
crackers akan meningkatkan kadar air crackers. Berdasarkan SNI
2973-2011 tentang produk biskuit, kandungan air maksimal adalah
sebesar 5%, sehingga hanya crackers F5 dan F3 yang telah
memenuhi standar SNI 2973-2011, namun berdasarkan penelitian
Winarno (2004) kadar air 3−7% dalam bahan pangan dapat
mengurangi kemungkinan pertumbuhan mikroba dan reaksi kimia
yang merusak seperti hidrolisis atau oksidasi lemak, sehingga
crackers F8 yang mengandung kadar air sebesar 5,56% masih dapat
diterima.

Hasil Penelitian Metode

Bahan dan Peralatan

Bahan-bahan utama yang digunakan antara lain tempe yang berasal


dari UKM tempe di daerah pancoran Jakarta Selatan, daun kolesom
berasal dari kebun di daerah kedunghalang Bogor, tepung terigu (soft
flour dengan kandungan protein 8−9%), susu skim, margarine, baking
soda, ragi roti (instant yeast), garam, mentega dan air. Peralatan-
peralatan yang digunakan diantaranya, dehidrator, oven, tanur,
desikator, food processor, cawan porselen, perangkat Soxhlet,
perangkat Kjeldahl, dan peralatan gelas lainnya.

Pembuatan Tepung Tempe :

Proses pembuatan tepung tempe dilakukan menggunakan metode


Inayati 1991 dengan modifikasi. Prosesnya melalui tahap-tahap
pemotongan tempe segar, pengukusan dengan uap, pengeringan
dengan dehidrator (dimodifikasi), penggilingan dan pengayakkan.
Tempe dipotong dengan ketebalan 0,5 cm. Berdasarkan hasil penelitian
bahwa pengukusan selama 10 menit pada suhu 176 °F (80 °C)
menggunakan pengukus serta dengan pengeringan dengan dehidrator
selama 4−4,5 jam pada suhu 176 °F (80 °C).

Pembuatan Tepung kolesom :

Pembuatan tepung daun kolesom menggunakan metode Fadhilatunnur


(2013) dengan modifikasi. Pembuatan tepung melalui beberapa
tahapan. Pertama, daun kolesom dipisahkan dari rantingnya kemudian
dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan kotoran yang menempel
pada daun. Selanjutnya, daun kolesom disusun dalam tray dan
dikeringkan dalam alat dehidrator (dimodifikasi) selama 17 jam pada
suhu 140 °F (160 °C). Daun yang sudah kering kemudian dihancurkan
dengan food processor sampai halus. Tepung daun kolesom yang sudah
jadi disimpan didalam plastik kedap udara.

Proses pembuatan crackers :

Proses pembuatan crackers berbasis tepung tempe dan tepung kolesom


meliputi proses pencampuran bahan, proses fermentasi, proses
pembuatan lembaran, proses pemanggangan. Tahapan proses
pembuatan crackers dimulai dengan mencampurkan bahan pada Tabel
1 seperti tepung tempe, tepung daun kolesom, tepung tempe, susu
skim, ragi, air, garam, margarin, dan lemak korsvet, menggunakan
mixer lalu dicampur dengan tangan hingga kalis. Kemudian ditaruh
dalam wadah dan ditutup lap basah untuk fermentasi selama 1 jam.
Selanjutnya adonan dibuat lembaran, dilipat menjadi dua bagian,
ditaburi tebung daun kolesom, dan digiling kembali menjadi lembaran.
Setelah itu adonan dicetak dan dipanggang dalam oven hingga kering.

Kadar air crackers terpilih yaitu F5 tidak berbeda nyata (p>0,05)


dengan crackers F3. Akan tetapi kadar air pada F5 berbeda nyata
(pt test pada crackers F5 dengan F8 diakibatkan oleh perbedaan
penambahan jumlah tepung tempe yang ditambahkan, yaitu sebesar
12,5 g pada F8 dan 10 g pada F5. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa dengan penambahan tepung tempe dan tepung kolesom pada
crackers akan meningkatkan kadar air crackers. Berdasarkan SNI
2973-2011 tentang produk biskuit, kandungan air maksimal adalah
sebesar 5%, sehingga hanya crackers F5 dan F3 yang telah
memenuhi standar SNI 2973-2011, namun berdasarkan penelitian
Winarno (2004) kadar air 3−7% dalam bahan pangan dapat
mengurangi kemungkinan pertumbuhan mikroba dan reaksi kimia
yang merusak seperti hidrolisis atau oksidasi lemak, sehingga
crackers F8 yang mengandung kadar air sebesar 5,56% masih dapat
diterima.

Kesimpulan Berdasarkan hasil uji organoleptik, formula terpilih adalah crackers F5


dengan penambahan tepung tempe 10 g dan tepung daun kolesom 2,5
g. Kandungan proksimat crackers terpilih yaitu kadar air 4,81%, kadar
abu 2,53%, lemak total 18,43%, protein 11,90%, karbohidrat total
62,33%, dan total serat pangan 8,29%. Crackers terpilih
menyumbangkan energi total sebesar 462,79 kkal per 100 g.
Penambahan tepung tempe dan kolesom pada formula F5 berpengaruh
tehadap meningkatnya kadar protein dan total serat pangan pada
crackers.
APLIKASI METODE AKTIVASI FISIKA DAN AKTIVASI KIMIA
Judul 4
PADA PEMBUATAN ARANG AKTIF DARI TEMPURUNG
KELAPA (Cocos nucifera L)

Jurnal Indonesian journal of laboratory

Volume & Vol 1 (2) 2019. 16-20


Halaman

Tahun 2019

Penulis
Farida Aryani , Fina Mardiana , Wartomo
Reviewer Navy

Tanggal 28 Jun 2023

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui evektivitas dari
metode aktivasi fisika dan kimia pada pembuatan arang aktif
tempurung kelapa. Aktivasi fisika dilakukan dengan pembakaran pada
suhu 500° C selama 4 jam, sedang aktivasi kimia dilakukan dengan
melakukan perendaman menggunakan larutan NaOH 0,2 N selama 18
jam. Pengujian kualitas mengacu pada SNI 06-3730-1995 tentang
syarat mutu dan pengujian arang aktif.

Subjek Penelitian Tempurung kelapa

Metode Penelitian Metode

Kadar Abu Cawan yang sudah berisi contoh dimasukkan ke dalam


furnace, perlahan-lahan dipanaskan mulai dari suhu kamar sampai
800°C selama 2 jam. Selanjutnya didinginkan dalam desikator sampai
beratnya konstan, kemudian ditimbang bobotnya.

Hasil Penelitian Kadar abu pada aktivasi kimia miliki kadar yang lebih rendah yaitu
sebesar 0.75% sedangkan akivasi fisika memiliki kadar abu yang lebih
tinggi sebesar 4,27%. Proses pencucian pada aktivasi kimia dapat
melarutkan logamlogam atau mineral yang ada pada arang aktif
sehingga kadar abunya menjadi relativ lebih rendah dibanding aktivasi
secara fisika. Metode aktivasi fisika dimana arang dipanaskan dengan
suhu 500°C, mineral yang yang ada tetap terkandung didalam arang
dan tidak dapat menguap sehingga kadar abu dari arang aktif yang
dihasilkan menjadi lebih tinggi.

Dari kedua metode ini aktivasi secara kimia masuk dalam standar yang
dipersyaratkan oleh SNI 06-3730-1995 yaitu sebesar maksimal 2,5%.

Sedangkan untuk pengujian zat mudah menguap pada metode aktivasi


fisika memiliki nilai sebesar 37,03% dan pada aktivasi menghasilkan
nilai sebesar 40,52%. Pada proses aktivasi kimia dilakukan proses
perendaman menggunakan bahan aktivator. Bahan ini akan masuk
diantara sela-sela lapisan hexagonal dan selanjutnya membuka
permukaan yang tertutup (Lempang, 2014). Pada proses ini bahan
aktivator juga melarutkan zat-zat yang masih terdapat di dalam arang
seperti hidrokarbon, abu, nitrogen, dan sulfur. Pada proses aktivasi
secara fisika arang dipanaskan pada suhu 500°C sehingga pori-pori
akan terbuka dengan adanya penetrasi panas Tetapi dengan pemanasan
pada suhu 500°C zat mudah menguap yang dihasilkan masih tinggi
karena menurut (Polii, 2017) pada suhu ini masih terbilang rendah
karena belum mampu mengurai atau menguapkan senyawa-senyawa
kompleks yang terdapat dalam arang seperti senyawa belerang,
nitrogen, dan senyawa lainnya. Pernyataan ini juga diperkuat oleh Pari
2006, pada pemanasan 700°C senyawa sulfur dan nitrogen dalam arang
tidak dapat menguap.

Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa arang
aktif yang menggunakan metode aktivasi fisika mempunyai rendemen,
kadar air dan kadar abu yang lebih tinggi dibanding akvtiasi kimia,
namun memiliki kadar zat mudah menguap yang lebih rendah
dibanding aktivasi kimia. Untuk penyerapan iodium metode aktivasi
fisika menggunakan temperatur tinngi memiliki daya serap lebih tinggi
dibanding aktivasi menggunakan bahan kimia. Untuk memperoleh
hasil maksimal dalam pembuatan arang aktif dengan menggunakan
metode aktivasi fisika sebaiknya menggunakan suhu aktivasi yang
lebih tinggi agar kualitas arang aktif yang dihasilkan lebih baik lagi.
RENDEMEN, KADAR ABU, KADAR LEMAK, DAN TOTAL
Judul 5
KHAMIR KEFIR BUBUK SUSU KAMBING DENGAN METODE
PENGERINGAN YANG BERBEDA

Jurnal Indonesian journal of laboratory

Volume & -
Halaman

Tahun 2023

Penulis
Nurwantoro, Siti Susanti, Heni Rizqiati
Reviewer Navy

Tanggal 28 Jun 2023

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode


pengeringan yang berbeda terhadap rendemen, kadar abu, kadar lemak,
dan total khamir pada kefir bubuk susu kambing. Materi yang
digunakan yaitu susu kambing segar dan kefir grain serta berbagai jenis
metode pengeringan diantaranya cabinet drying, freeze drying, dan
spray drying. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 7 ulangan.

Subjek Penelitian Khamir kefir bubuk susu kambing

Metode Penelitian Metode

Metode penelitian ini meliputi, pembuatan kefir, pembuatan kefir


bubuk dengan metode cabinet drying, freeze drying, dan spray drying
serta pengujian variabel diantaranya rendemen, kadar abu, kadar
lemak, dan total BAL. Rancangan percobaan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3
perlakuan dan 7 ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah metode
pengeringan yang berbeda dalam pembuatan kefir bubuk yaitu dengan
cabinet drying, freeze drying, dan spray drying. Pembuatan Kefir
Pembuatan kefir mengacu pada Rossi et al. (2016) yaitu alat yang akan
digunakan disterilisasi terlebih dahulu. Susu kambing segar
dipasteurisasi terlebih dahulu menggunakan suhu 70°C selama 15
detik, kemudian dilakukan penurunan suhu hingga 30°C. Susu
ditambahkan kefir grain sebanyak 5% atau sebanyak 50 g untuk setiap
1 liter susu, kemudian diaduk secara perlahan hingga rata. Susu
kambing dimasukkan ke dalam toples plastik dan ditutup rapat dengan
dibungkus menggunakan plastic wrap. Susu diinkubasi pada suhu
ruang selama 24 jam. Setelah itu, dilakukan penyaringan untuk
memisahkan kefir grain dengan produk kefir. Kefir disimpan kembali
dengan suhu refrigerator:

Uji Kadar Abu

Pengujian kadar abu mengacu pada Sudarmadji (1997). Cawan


porselen kosong ditimbang terlebih dahulu (berat A), kemudian kefir
bubuk ditimbang sebanyak 2 g (berat B). Kefir tersebut dikeringkan
dengan tanur pada suhu 500-600°C selama 3 sampai 5 jam. Setelahitu,
tanur dimatikan dan ditunggu sampai dingin dan ditimbang berat
akhirnya (berat C). Kadar abu kefir bubuk dapat dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut:

Kadar abu (%) : (Berat C – Berat A)/Berat B x 100

Hasil Penelitian Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa metode pengeringan


memberikan pengaruh nyata terhadap kadar abu pada kefir bubuk
susu kambing. Hasil rerata kadar abu kefir bubuk susu kambing
pada ketiga metode pengeringan belum memenuhi standar.
Dikarenakan belum adanya SNI untuk kefir, maka digunakan SNI
2981:2009 tentang yogurt bahwa kadar abu maksimalnya adalah
1,0%. Pengeringan dengan metode freeze drying menghasilkan
kadar abu dengan nilai rerata terendah. Hal ini sesuai dengan
pendapat Kusumawati et al. (2012) yang menyatakan bahwa
komponen abu yang terurai pada pengeringan dengan suhu rendah
akan lebih sedikit sehingga kadar abu yang terbentuk juga lebih
sedikit. Menurut Ago et al. (2014), kadar abu merupakan campuran
komponen anorganik atau kandungan mineral yang terkandung
dalam bahan pangan. Kadar abu suatu produk dipengaruhi oleh
kandungan mineral yang terdapat pada bahan baku penyusunnya
(Permata dan Sayuti, 2016). Mineral yang terkandung di dalam
susu kambing adalah kalsium, magnesium, dan fosfor. Kadar
Lemak Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa metode
pengeringan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak pada
kefir bubuk susu kambing. Hasil rerata kadar lemak kefir bubuk
susu kambing pada ketiga metode pengeringan belum memenuhi
standar, karena menurut SNI 01-2970- 2006 kadar lemak pada susu
bubuk yaitu antara 1,5 – 26%. Pengeringan dengan metode cabinet
drying menghasilkan kadar lemak yang tinggi atau melebihi
standar. Kadar lemak ini dipengaruhi oleh suhu pengeringan,
dimana semakin tinggi suhu maka kandungan lemak pada bahan
juga akan semakin meningkat (Purbasari, 2019). Hal ini didukung
oleh pendapat Sunarlim (2009) yang menyatakan bahwa penguapan
susu dapat meningkatkan kadar lemak dan protein di dalamnya.
Pengeringan dengan metode spray drying menghasilkan kadar
lemak yang rendah atau di bawah standar, hal ini terjadi karena
sampel pada metode spray drying disimpan dengan waktu yang
lebih lama. Hal ini sesuai dengan pendapat Bayu et al. (2017) yang
menyatakan bahwa meningkatnya waktu inkubasi kefir akan
menghasilkan enzim lipase untuk memecah lemak yang lebih
banyak sehingga lemak yang terhidrolisis lebih banyak dan kadar
lemaknya menurun. Sawitri (2011) menyatakan bahwa kadar lemak
kefir tergantung pada bahan baku yang digunakan, dimana susu
kambing mengandung kadar lemak yang lebih rendah dibanding
susu sapi yaitu sebesar 4,1%.

Kesimpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa metode


pengeringan yang berbeda berpengaruh nyata terhadap rendemen dan
kadar abu kefir bubuk susu kambing. Metode pengeringan terbaik pada
pembuatan kefir bubuk susu kambing ini adalah dengan cabinet drying
karena menghasilkan rendemen yang tinggi sehingga dapat
meningkatkan nilai ekonomis produk, lebih efektif karena lebih cepat
pengeringannya, dan lebih murah karena tidak membutuhkan daya
yang tinggi.
Analisis Kandungan Air, Abu, dan Logam Berat pada Kopi Bubuk
Judul 6
Asal Gayo

Jurnal -

Volume & Vol 5, Hlm 87-94


Halaman

Tahun 2019

Penulis
Bhayu Gita Bhernama dan Cut Nuzlia
Reviewer Navy

Tanggal 28 Jun 2023

Tujuan Penelitian Untuk mengetahui kandungan air, abu, dan logam berat pada kopi
bubuk asal gayo.

Subjek Penelitian Kopi gayo

Metode Penelitian Metode

Uji Kadar Abu Uji kadar abu pada prinsipnya adalah proses pengabuan
zat organik yang diuraikan menjadi air dan CO2 kecuali bahan
anorganik, yaitu ditimbang 2-3 gram sampel bubuk kopi ke dalam
cawan porselen (cawan platina) yang telah diketahui beratnya terlebih
dahulu. Kemudian diarangkan di atas nyala pembakar, lalu diabukan
dalam tanur listrik pada suhu 550 oC sampai pengabuan sempurna
kemudian idinginkan dalam desikator, lalu ditimbang sampai beratnya
tetap.

Perhitungan kadar abu:

W = berat sampel sebelum diabukan (gram)

W1 = berat sampel + cawan sesudah diabukan (gram)

W2 = berat cawan kosong (gram

Hasil Penelitian Hasil uji kadar air dan abu pada kedua produk menunjukkan sedikit
perbedaan, kopi A memiliki kadar air sebesar 0,0397%, lebih tinggi
dibanding kopi B dengan kadar air sebesar 0,01772%. Sementara
untuk kadar abu, kopi A memiliki kadar abu sebanyak 4%, dimana
angka ini lebih kecil dibanding kadar abu kopi B, yaitu 4,30%.
Perbedaan kadar air dan abu dari kopi A dan B dapat dipengaruhi
oleh lama roasting dan suhu yang digunakan. Akan tetapi kadar air
dan abu keduanya masih memenuhi standar maksimal SNI 01-
3542- 2004, yaitu berturut-turut kadar air dan abu sebesar 7 dan
5%.

Kesimpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa metode


pengeringan yang berbeda berpengaruh nyata terhadap rendemen dan
kadar abu kefir bubuk susu kambing. Metode pengeringan terbaik pada
pembuatan kefir bubuk susu kambing ini adalah dengan cabinet drying
karena menghasilkan rendemen yang tinggi sehingga dapat
meningkatkan nilai ekonomis produk, lebih efektif karena lebih cepat
pengeringannya, dan lebih murah karena tidak membutuhkan daya
yang tinggi.

Wahyuni dkk. (2013) menyatakan bahwa bahan baku dari daerah asal
dan lingkungan yang berbeda merupakan faktor eksternal yang
memengaruhi kadar abu dalam biji kopi. Sementara menurut Towaha,
et al. (2016) perbedaan kadar abu pada kopi disebabkan oleh mutu
kopi.

Anda mungkin juga menyukai