Anda di halaman 1dari 46

KAJIAN HUKUM PEWARISAN HARTA BENDA

TERHADAP ANAK PEREMPUAN YANG SUDAH


MENIKAH DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT
PATRIARKI BALI

OLEH :
NYOMAN TRI ANTIKA DEWI
NIM 2014101096

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2023
DAFTAR ISI
HALAMAN

DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
C. Pembatasan Masalah .............................................................................................. 13
D. Rumusan Masalah .................................................................................................. 14
E. Tujuan Penelitian .................................................................................................... 14
F. Manfaat Penelitian .................................................................................................. 14
1. Manfaat Teoritis.................................................................................................. 14
2. Manfaat Praktis .................................................................................................. 15
G. Kajian Pustaka ........................................................................................................ 15
1. Hukum Waris Indonesia .................................................................................... 15
a. Hukum Waris Barat/Perdata......................................................................... 17
b. Hukum Waris Islam ....................................................................................... 21
c. Hukum Waris Adat......................................................................................... 25
2. Hukum Adat Bali ................................................................................................ 33
a. Sistem Pewarisan Adat Bali ........................................................................... 34
b. Budaya Religio-Magis ..................................................................................... 37
H. Metode Penelitian.................................................................................................... 38
1. Jenis Penelitian .................................................................................................... 38
2. Jenis Pendekatan ................................................................................................. 39
3. Data dan Sumber Hukum .................................................................................. 40
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................................................... 41
5. Teknik Analisis Data........................................................................................... 41
DAFTAR RUJUKAN ..................................................................................................... 42

ii
1

A. Latar Belakang

Pewarisan dalam kehidupan masyarakat secara umum diketahui sebagai

perpindahan hak kepemilikan atas sesuatu yang memiliki nilai ekonomi, sakral, dan

mengandung nilai tertentu kepada pihak lain. J. Satrio menyatakan bahwa hukum

waris adalah hukum yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang

meninggal dunia kepada satu atau beberapa yang lain (Satrio, 2014:8). Pada

dasarnya pewarisan secara umum adalah segala bentuk perpindahan hak disertai

dengan perpindahan kewajiban seseorang kepada ahli warisnya. Selanjutnya yang

disebut ahli waris adalah individu yang akan mewarisi suatu haka tau kewajiban

dari yang memberi waris. Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang

peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta

akibatnya bagi para ahli warisnya (Dian, 2018:68).

Selanjutnya aturan dalam aktivitas pewarisan diatur dalam hukum waris.

Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang

yang telah meninggal diberikan kepada yang berhak, seperti kerabat yang memiliki

hubungan darah secara lurus yang disesuaikan dengan aturan adat setempat.

Masyarakat Indonesia menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang

berbeda-beda, dan mempunyaii bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem

keturunan yang berbeda-beda (Nangka, 2019:149)

Hukum waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni Hukum adat yang

kemudian disebut waris adat, Hukum Islam yang disebut Hukum waris Islam dan

Hukum waris perdata. Keberlakuan ketiga hukum waris tersebut sama-sama kuat

kedudukannya di Indonesia. Bagi masyarakat diluar Agama Islam dan Bukan

Masyarakat Adat dipergunakan hukum waris perdata sesuai dengan KUHPerdata.


2

Di Indonesia sendiri ada banyak hukum adat berbeda-beda sesuai dengan Sistem

adat yang berlaku di berbagai daerah yang tersebar di Indonesia.

Hukum waris adat adalah hukum lokal suatu daerah ataupun suku yang

diberlakukan adat yang sebenarnya ialah Adat dan budaya yang diwariskan secara

turun temurun dari generasi ke generasi yang masih dipertahankan serta masih

berjalan hingga saat ini serta memiliki kekuatan mengikat di daerah penganut

sistem hukum adat tersebut. Menurut Soepomo hukum waris adat memuat

peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang

harta benda dan barang yang tak berwujud benda dalam suatu angkatan manusia

(generasi) kapada keturunannya. (Anggraini, 2020:47). Hukum waris adat istiadat

tetap dipatuhi dan diberlakukan menjadi ketetapan oleh masyarakat adatnya

terlepas asal hukum waris tersebut telah ditetapkan secara tertulis maupun tidak

tertulis karena itu sudah sepatutnya harus di laksanakan sehingga menjadi

kebiasaan membudaya hingga keturunan berikutnya.

Menurut Ter Haar tentang Hukum Waris Adat, menyatakan “Hukum waris adat

adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad keabad

penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud

dari generasi pada generasi” (Haar, 2014: 198). Hukum waris adat menurut Ter

Haar yaitu, hukum yang meliputi peraturanperaturan hukum yang bersangkutan

dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang

penerusan dan pengoperan kekayaan materiil dan immaterial dari generasi ke

generasi selanjutnya

Kekuatan mengikat dari suatu hukum adat adalah dari kepercayaan yang

bersifat religio magis, dimana suatu aturan mengandung konsekuensi mistis


3

sehingga hukum adat bersifat sakral dan begitu dihormati oleh masyarakat

penganutnya. Begitupula hukum waris adat yang bersifat sakral. Sebagian

masyarakat adat tidak hanya mewarisi harta benda, melainkan mewarisi hal-hal

yang bersifat kedudukan, kehormatan, dan status sehingga unsur sakral dalam

hukum pewarisan adat mampu mengikat dan mengatur masyarakatnya secara kuat

bahkan hingga saat ini. Sistem hukum waris adat berasal dari keturunan ayah dan

berasal dari keturunan ibu atau bisa dari keduanya. Ada tiga sistem dalam pewarisan

adat yaitu individu, kolektif dan mayorat. Pewarisan individu adalah perpindahan

hak dan kewajiban kepada ahli waris yang dimana sudah ditetapkan bagiannya

masing-masing sebagai hak individu, pewarisan kolektif adalah Hukum waris anak

tertua laki-laki menerima harta warisan namun tak dapat dibagi-bagikan

kepemilikannya. Setiap ahli waris hanya mendapatkan hak buat memakai ataupun

mendapatkan hasil berasal harta tersebut dan Sistem mayorat: Harta warisan

diturunkan kepada anak tertua laki-laki menjadi pengganti ayah dan ibunya. Dalam

kasus apabila tidak memiliki anak laki-kaki maka anak tertua perempuanlah yang

di prioritaskan. Artinya, anak perempuan tertua tetap memiliki hak bila anak

perempuan tersebut belum menikah.

Pewarisan di Indonesia terutama menurut hukum adat adalah sistem pewarisan

yang penerapannya kental di masyarakat. Dalam sistem pewarisannya hukum adat

mengenal sistem patrilineal dan matrilineal atau bisa keduanya yang juga disebut

parental. Sistem pewarisan patrilineal menjadi sistem yang paling umum ditemui

di pewarisan Indonesia, dimana Laki-laki menjadi prioritas utama dalam hal

pewarisan tersebut tanpa boleh dikesampingkan (Wintari, 2022:70). Budaya

Indonesia yang Patriarki ini juga mengakibatkan peran laki-laki dalam kehidupan
4

sosial cendrung dominan dibanding wanita sehingga dalam sistem pewarisan juga

kebanyakan laki-laki lah yang bertanggung jawab atas banyak hal dan dapat diberi

warisan untuk melanjutkan suatu hak dan kewajiban dari pendahulunya.

Dalam pewarisan patrilineal, penting terlebih dahulu untuk diketahui secara

mendasar tentang kedudukan laki-laki dalam masyarakat patriarki. Patriarki

merupakan serapan dari Bahasa Latin patriarchia yang dimana ini berarti sebuah

sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan

mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan

penguasaan properti. Dalam domain keluarga, sosok yang disebut ayah memiliki

otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Beberapa masyarakat

patriarkal juga patrilineal, yang berarti bahwa properti dan gelar diwariskan kepada

keturunan laki-laki. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak

istimewa laki-laki serta menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki.

Patriarki berasal dari kata patriarkat yang berarti struktur yang menempatkan peran

laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya.

Sistem sosial patriarki menjadikan laki-laki memiliki hak istimewa terhadap

perempuan. Dominasi mereka tidak hanya mencakup ranah personal saja,

melainkan juga dalam ranah yang lebih luas seperti partisipasi politik, pendidikan,

ekonomi, sosial, hukum dan lain-lain. Dalam ranah personal, budaya patriarki

adalah akar munculnya berbagai kekerasan yang dialamatkan oleh laki-laki kepada

perempuan. Atas dasar "hak istimewa" yang dimiliki laki-laki, mereka juga merasa

memiliki hak untuk mengeksploitasi tubuh perempuan. Ayat-ayat suci yang berisi

ketentuan hukum waris dalam AlQur'an, sebagian besar terdapat dalam surat An-

Nissa (QS. IV) di antaranya sebagai berikut (Suparman, 2018:11)


5

Secara historis, patriarki telah terwujud dalam organisasi sosial, hukum,

politik, agama dan ekonomi dari berbagai budaya yang berbeda. Bahkan, ketika

tidak secara gamblang tertuang dalam konstitusi dan hukum, sebagian besar

masyarakat kontemporer adalah pada praktiknya bersifat patriarkal. Patriarki lahir

akibat dari posisi superioritas kaum laki-laki terhadap perempuan.

Dalam konteks hukum adat yang akan di bahas yaitu hukum adat Bali, sistem

kekeluargaan patrilineal adalah sistem yang dianut oleh masyarakat Bali, yang

artinya mengutamakan garis keturunan dari pihak bapak atau laki-laki. Sehingga

sistem pewarisan pada masyarakat Bali mengutamakan garis keturunan dari pihak

laki-laki atau purusa. Jika dilihat dari sisi kesetaraan gender, sistem kekeluargaan

patrilinial yang dianut oleh masyarakat Bali terkesan memberikan ketidakadilan

pada anak perempuan khususnya dalam hal pewarisan. Anak perempuan tidak

diberi kesempatan dalam masalah pewarisan, baik yang berbentuk materi maupun

non materi. Anak perempuan Bali hanya mempunyai hak untuk ikut menikmati

warisan atau harta orang tua ketika masih berada dalam pengampuan orang tuanya

dan belum kawin. Apabila sudah kawin dan berkeluarga, maka anak perempuan

keluar dari rumah orang tuanya dan ikut suami tanpa diberikan warisan.

Matriarki adalah lawan dari patriarki, yaitu sistem sosial yang didominasi oleh

kepemimpinan perempuan. Matriarki dapat diartikan juga sebagai sistem sosial

hipotetis di mana ibu atau perempuan tua mempunyai kekuasaan mutlak atas

kelompok keluarga; dengan perluasan, satu atau lebih perempuan, perempuan

menggunakan tingkat kekuasaan yang sama atas komunitas secara keseluruhan.

Dalam masyarakat atau kelompok yang menganut paham matriarki, kekuasaan

menurun dari garis ibu, berbeda dengan patriarki yang merupakan dominasi
6

kepemimpinan laki-laki. Matriarki cukup umum ditemukan di negara-negara Asia

dan Afrika. Kelompok matriarki adalah kelompok yang tidak meremehkan

perempuan karena mereka adalah perempuan. Masyarakat matriarki memandang

bahwa kekuasaan harus dibagi dengan adil antara laki-laki dan perempuan. Selain

itu, dalam kebudayaan matriarki, seorang ibu memegang posisi sentral.

Matriarki mengimplikasikan adanya negosiasi kekuasaan di antara perempuan

dan laki-laki sebagai upaya menentang tradisi patriarki di mana laki-laki lebih

dominan dan berkuasa dalam membuat keputusan-keputusan penting. Matriarki

menentukan bentuk-bentuk kultural, khususnya dalam persoalan agama dan

keluarga. Dalam sistem matriarki, perempuan akan memiliki pilihan dari pasangan

suaminya dan anak akan mengikuti nama keluarga ibunya serta warisan diturunkan

menurut garis ibu, tetapi tidak menutup kemungkinan bisa diberikan harta warisan

yang berbentuk materi oleh orang tuanya sebagai bekal apabila anak perempuannya

memasuki kehidupan berumah tangga (Febriawanti, 2020:125). Keluarga ibu

berhak akan anak-anak dan dapat melakukan klaim terhadap pemeliharaan

keluarga. Walau begitu, laki-laki tertua dari keluarga memainkan peranan sebagai

kepala keluarga dan karenanya dapat dilakukan negosiasi kekuasaan dalam suatu

keluarga.

Salah satu masyarakat matrilineal terbesar di dunia merupakan suku

Minangkabau di Sumatra Barat. Kaum perempuan dalam suku Minangkabau

memiliki keistimewaan khusus serta dapat mengambil peranan penting di dalam

komunitas. Peranan-peranan tersebut temasuk peran sebagai pemilik harta warisan,

penerus keturunan, serta manajer bagi keluarga masing-masing.[5] Dalam sistem

sosial matriarki di Minangkabau, seorang lelaki seperti orang luar dari keluarga
7

matrilineal istrinya. Anak-anak dari suatu keluarga secara otomatis akan menjadi

keluarga ibu mereka karena sistem matrilineal, memakai nama suku ibu alih-alih

nama suku ayah.

Seiring berbagai peristiwa sejarah yang dimana didalamnya terdapat peristiwa-

peristiwa emansipasi wanita dan perjuangan perempuan mendapatkan kesetaraan

gender. Antara pria dan wanita dewasa ini memiliki hak dan kewajiban yang hampir

seimbang dengan kaum laki-laki. Kesetaraan yang dimaksud dalam hal ini adalah

kesempatan untuk berpendidikan, bekerja, dan menentukan kehidupannya sendiri,

kemudian oleh karena itu kaum perempuan di era dewasa ini hampir memiliki

kesempatan yang sama dalam superioritas terhadap ekonomi, kekuasaan, dan

politik terhadap laki-laki termasuk dalam pewarisan. Emansipasi sendiri sangat

penting dalam perubahan sistem masyarakat terutama dalam keududkan Hak dan

Kewajiban seseorang di masyarakat.

Emansipasi adalah pembebasan dari perbudakan yang berkaitan dengan

persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Emansipasi itu harus

memberikan hak yang sepantasnya diberikan kepada seseorang atau kumpulan

orang yang telah dirampas atau diabaikan sebelumnya. Hal ini penting diberikan

sebagai sarana kebebasan pengembangkan diri dan meningkatkan kemahiran

profesional agar semua semua orang saling bahu-membahu dalam pembangunan

tanpa membeda-bedakan aspek-aspek kehidupan tertentu.

Selain itu, emansipasi juga dilakukan agar mendapatkan hak politik dan

persamaan derajat sosial bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik. Pada

hakikatnya, secara vertikal emansipasi akan terus berusaha menghilangkan

perbedaan yang terlalu besar antara kelas-kelas sosial dan secara horizontal akan
8

memperkecil jarak sosial antara pusat dan pinggiran. Maka dari itu, dengan

emansipasi dominasi dan dependensi akan berakhir sehingga tercipta sebuah

kesetaraan.

Emansipasi dalam Konteks Emansipasi wanita adalah proses pelepasan diri

para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan

hukum yang membatasi kemungkinan seorang wanita untuk berkembang dan maju

di segala bidang dalam kehidupan masyarakat. Emansipasi wanita bertujuan

menuntut persamaan hak-hak kaum wanita terhadap hak-hak kaum pria dan

memberi wanita kesempatan bekerja, belajar, dan berkarya seimbang dengan

kemampuannya seperti layaknya para pria. Gerakan perempuan ini lahir

berdasarkan anggapan dan fakta bahwa perempuan hampir mengalami

ketertinggalan di segala sektor kehidupan, mulai dari pendidikan dengan banyaknya

buta huruf, kemiskinan, serta ketidak mampuannya dalam berperan secara aktif di

lingkungan publik, justru keberadaan mereka lebih menitik beratkan pada aspek

profesionalitas di bidang tertentu. Maka dari itu, emansipasi wanita adalah salah

satu jalan untuk mencapai cita-cita hidup setara antara perempuan dan laki-laki

melalui gerakan memperjuangkan keadilan perempuan.

Kemudian bagaimana emansipasi wanita memperjuangkan kesetaraan gender

dan pengaruhnya terhadap budaya-budaya patriarki yang masih ada? Memang

meskipun wanita telah mendapat hak dan kewajiban yang lebih kompleks, namun

dalam hal budaya dan hukum adat wanita secara simbolis masih inferior dibawah

laki-laki. Bahkan dalam masyarakat patriarki laki-laki masih memiliki hak dan

kewajiban yang lebih superior dibandingkan wanita, termasuk dalam pewarisan.


9

Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana

dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dari

generasi pada generasi berikutnya. Hukum waris adat sebenarnya adalah hukum

penerus harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Hukum waris

adat di Indonesia dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada

masyarakat yang bersangkutan, seperti prinsip patrilineal murni, patrilineal beralih-

alih, prinsip matrilineal, prinsip bilateral dan prinsip unilateral berganda. Prinsip-

prinsip garis keturunan berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian

harta peninggalan yang diwariskan baik itu yang materiil atau nonmaterial.

Dalam pandangan Hukum adat Bali dalam pewarisan, Hukum adat Bali sangat

mengedepankan kedudukan laki-laki dalam hal pewarisan dan menyangkut

masalah keluarga. Jika dilihat dari sisi peran dalam keluarga, pada era sekarang ini

perempuan dan laki-laki hampir kontras. Misalnya dalam pendidikan, politik,

pemerintahan dan sebagainya, kaum perempuan mempunyai kesempatan yang

sama dan bahkan mengambil peran yang sama. Begitu juga dalam keluarga,

perempuan dapat menggantikan posisi laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari

nafkah apabila kondisi laki-laki sebagai suami sudah tidak memungkinkan lagi.

Kondisi yang berbeda akan ditemukan dalam hal hukum waris adat Bali. Secara

umum kaum perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama seperti laki-laki,

bahkan dapat dikatakan tidak ada haknya untuk ikut menerima warisan atau sebagai

ahli waris. Sehingga apabila ini dilihat dari kacamata kesetaraan gender, maka akan

memunculkan kesan yang diskriminatif terhadap kaum perempuan. Namun

demikian, pada prinsipnya perempuan Bali menerima keadaan seperti itu dan tidak
10

mengganggap ini sebagai suatu hal yang merugikan. Karena ini sudah menjadi

kebiasaan yang secara turun temurun diwariskan untuk dilakukan.

Pada hukum waris adat Bali, posisi laki-laki adalah yang utama sebagai ahli

waris. Laki-laki sebagai ahli waris dalam keluarga, tidak terlepas dari peran dan

tanggung jawabnya. Sebab tanggung jawab laki-laki sebagai generesai penerus

keluarga, akan bertanggung jawab orang tua dan leluhur. Berbeda halnya dengan

anak perempuan, begitu berkeluarga maka akan ikut dan masuk pada keluarga

suaminya. Kewajiban di keluarga asalnya sudah tidak ada. Tidak berarti tidak

peduli terhadap keluarga asal atau orang tuanya, hanya saja tidak mempunyai hak

atau kewajiban seperti anak laki-laki. Sehingga pada umumnya anak perempuan

tidak mempunyai hak untuk mewaris.

Sistem Patrilineal dalam pewarisan hukum adat Bali membuat hukum waris

adat Bali juga terkesan mengandung sifat diskriminatif pada kaum perempuan,

karena ada perlakuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam hal waris.

Sedangkan status laki-laki dan perempuan sebagai anak dalam sebuah keluarga

tentu harusnya mempunyai hak sama untuk memperoleh harta warisan orang

tuanya. Dalam kesetaraan gender, sejak era Orde Baru pemerintah kita sebenarnya

sudah membuka diri terhadap nilai-nilai kesetaraan tersebut. Hal ini dibuktikan

dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan

Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.

Pada tanggal 18 Desember Tahun 1979 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-

Bangsa telah menyetujui Konvensi tersebut. Karena ketentuan Konvensi pada

dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,

maka Pemerintah Republik Indonesia dalam Konperensi Sedunia Dasawarsa


11

Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Wanita di Kopenhagen pada tanggal 29 Juli 1980

telah menandatangani Konvensi tersebut. Penandatanganan itu merupakan

penegasan sikap Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 18 Desember 1979 pada

waktu Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan pemungutan suara

atas resolusi yang kemudian menyetujui Konvensi tersebut. Dalam pemungutan

suara itu Indonesia memberikan suara setuju sebagai perwujudan keinginan

Indonesia untuk berpartisipasi dalam usaha-usaha internasional menghapus segala

bentuk diskriminasi terhadap wanita karena isi Konvensi itu sesuai dengan dasar

negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa segala

warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.

Dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29. Tentang

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984

Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of

Discrimination Against Women). Ketentuan dalam Konvensi ini tidak akan

mempengaruhi asas dan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan nasional

yang mengandung asas persamaan hak antara pria dan wanita sebagai perwujudan

tata hukum Indonesia yang sudah kita anggap baik atau lebih baik bagi dan sesuai,

serasi serta selaras dengan aspirasi bangsa Indonesia. Sedang dalam

pelaksanaannya, ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata

kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta

normanorma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh

masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan Undang-

Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum nasional memberikan keyakinan dan
12

jaminan bahwa pelaksanaan ketentuan Konvensi ini sejalan dengan tata kehidupan

yang dikehendaki bangsa Indonesia.

Dalam sistem pewarisan adat Bali, tata kehidupan masyarakat yang meliputi

nilai-nilai budaya, adat istiadat serta normanorma keagamaan yang masih berlaku

dan diikuti secara luas oleh masyarakatnya ternyata masih mengesampingkan

keberadaan anak perempuan. Anak perempuan tidak dibenarkan ikut campur

terhadap harta warisan orang tuanya. Dari kacamata kesetaraan gender, tentu ini

menjadi perhatian yang mestinya dapat dikaji ulang. Sehingga kehadiran anak

perempuan dalam keluarga juga penting adanya. Sebab cita-cita kesetaraan gender

yaitu memberikan hak yang sama dalam berbagai hal tanpa harus membedakan

gender, begitu juga dengan masalah pewarisan.

Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu

menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana disebut

dalam alinea kedua dari pasal 1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum waris

Islam. Akan tetapi jika si waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan

ia berhak mendapat waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk

dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat

dengan para waris lainnya agar meminimalisir terjadi sengketa dalam pembagian

warisan.

Sengketa harta waris adalah masalah yang sering muncul akibat dari

ketidakberterimaan anggota keluarga terhadap ketetapan pembagian harta waris

yang telah ditetapkan, yang dianggap telah menodai unsur rasa keadilan. Di

Indonesia sendiri, selain hukum waris yang telah ditetapkan terdapat pula hukum

adat yang sebagaimana mestinya telah dipatuhi sejak dulu karena dianggap hukum
13

yang berdasarkan pada kebiasaan dari leluhur suatu tempat. Hukum waris adat

adalah hukum adat yang menyampaikan sistem-sistem maupun pengaturan untuk

pedoman dalam pembagian harta waris dari pewaris kepada ahli waris

Keberagaman kultur dan juga agama yang ada di Indonesia dapat dikatakan

sebagai penyebab tidak dapat dilakukannya unifikasi terhadap hukum waris.

Akibatnya, hukum waris yang digunakan pada tiap individu berbeda, tergantung

pada hukum apa yang dijadikan pedoman pada pembagian harta warisan kepada

ahli waris. Keberagaman hukum waris inilah yang akan mempersulit proses

pengadilan sengketa harta waris yang diajukan.

B. Identifikasi Masalah

Dari beberapa hal yang ditemukan dari latar belakang maka ditemukan

beberapa identifikasi masalah:

1. Pewarisan Hukum adat Bali menganut sistem patriarki dimana tidak

menunjukan hak dan kewajiban yang setara antara laki-laki dan

perempuan.

2. Hukum adat Bali condong diskriminatif terhadap perempuan.

3. Hukum adat Bali sangat religio-magis sehingga sangat ditaati oleh

masyarakat adatnya.

C. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam penulisan ini dibuat untuk membatasi pokok

permasalahan agar permasalahan yang akan dibahas nantinya tidak terlalu meluas

dan memfokuskan pada beberapa poin penting, diantaranya

1. Membahas mengenai sistem adat patriarki di Bali


14

2. Mengkaji sumber hukum pewarisan di Indonesia dan

kedudukan Hukum adat.

D. Rumusan Masalah

Dari pemaparan yang telah disampaikan diatas telah didapat beberapa

rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan perempuan dalam Masyarakat adat Patriarki di

Bali ?

2. Bagaimana akibat hukum atas penyerahan hak waris kepada perempuan

yang sudah menikah dalam Masyarakat Adat Patriarki di Bali ?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui sejauh mana hukum

adat mengikat masyarakat adatnya, serta apa akibat hukum yang didapatkan

masyarakat adat apabila terjadi pelanggaran khususnya dalam hal waris.

Sebagaimana diketahui waris merupakan perpindahan hak disertai kewajiban dari

seseorang kepada ahli warisnya. Penelitian ini juga dilakukan dengan tujuan untuk

mengetahui seberapa kuat penerapan hukum adat mengikat masyarakat adat dalam

masyarakat adat patriarki di bali dalam hal pewarisan

F. Manfaat Penelitian

Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang

baik, tidak hanya untuk peneliti, namun juga memberikan manfaat untuk akademis

dan masyarakat umum.

1. Manfaat Teoritis
15

Penelitian yang dilakukan diharapkan mampu memberi penjelasan hukum

terkait Pewarisan dalam Hukum adat Patriarki khsusunya dalam hal pewarisan

bagi para akademisi maupun khalayak umum.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Penulis

Penelitian diharapkan mampu membantu dan memperluas pandangan

serta wawasan penulis secara keilmuan dan dengan dasar hukum yang

kuat dalam peristiwa-peristiwa Hukum adat yang ada di lingkungan

penulis.

b. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan mampu memberi kejelasan akademis kepada

masyarakat agar mereka mampu memahami suatu situasi hukum agar

tidak berpikir atau masuk kedalam stigma keliru terhadap topik yang

diteliti.

c. Bagi Pemerintah

Penelitian ini bagi pemerintah diharapkan mampu membantu dalam

ketersediaan refrensi dalam hal undang-undang yang dikeluarkan

pemerintah terhadap situasi sengketa di lingkungan masyarakat adat.

G. Kajian Pustaka
1. Hukum Waris Indonesia

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta

kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi

para ahli warisnya (Dian, 2018:68). Pada asasnya hanya hak-hak dan

kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan/ harta benda saja yang

dapat diwarisi. Pasal 830 KUHPerdata menyebutkan, pewarisan hanya


16

berlangsung karena kematian. Jadi, harta peninggalan baru terbuka jika si

pewaris telah meninggal dunia saat ahli waris masih hidup ketika harta warisan

terbuka. Dalam hal ini, ada ketentuan khusus dalam Pasal 2 KUHPerdata, yaitu

anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah

dilahirkan bila kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan

dianggap ia tidak pernah ada. Jelasnya, seorang anak yang lahir saat ayahnya

telah meninggal, berhak mendapat warisan. Hal ini diatur dalam Pasal 836

KUHPerdata, dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 KUHPerdata,

supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah ada pada saat

warisan jatuh meluang (Perangin, 2018:4).

J. Satrio menyatakan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur

perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau

beberapa yang lain (Satrio, 2014:8). Pitlo menyatakan bahwa hukum waris

adalah himpunan aturan, yang mengatur akibat hukum harta kekayaan pada

kematian, peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan orang yang meninggal

dunia dan akibat -akibat hukum yang ditimbulkan peralihan ini bagi para

penerimanya, baik dalam hal hubungan dan perimbangan diantara mereka satu

dengan yang lain, maupun dengan pihak ketiga (Pitlo, 2014:1).

Dari rumusan para ahli hukum diatas ada beberapa hal penting yang dapat

dilihat yaitu yang pertama ada orang yang meninggal dunia, atau disebut

pewaris. Kedua ada harta kekayaan yang ditinggalkan, sering disebut harta

warisan. Dan ketiga ada orang yang menerima peralihan, yang dikenal dengan

sebutan ahli waris. Di Indonesia ada berbagai hukum waris yang berlaku yakni

: Hukum Waris Barat/Perdata, Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris Adat.
17

a. Hukum Waris Barat/Perdata

1) Hukum Waris Menurut BW

KUHPerdata menggabungkan hak kebendaan dengan hukum

waris dalam buku II, dengan alasan bahwa Pewarisan merupakan

salah satu cara seseorang memperoleh hak kebendaan diatur dalam

pasal :

Hak mawaris diidentikkan dengan hak kebendaan sebagaimana

diatur dalam Pasal 528 KUHPerdata yang isinya :

“Atas suatu kebendaan, seorang dapat mempunyai, baik suatu


kedudukan berkuasa, baik hak milik, baik hak waris, baik hak pakai
hasil, baik hak pengabdian tanah, baik hak gadai atau hipotik.”
Hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak

kebendaan, yang dirumuskan dalam Pasal 584 KUHPerdata yang

isinya :

“Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan


cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena pelekatan, karena
daluwarsa, karena perwarisan, baik menurut undang-undang, mapun
menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan
berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik.”

Ahli waris dari seseorang karena hukum (Pasal 833 KUHPerdata)

atau karena testament (Pasal 955 KUHPerdata) berdasarkan undang-

undang akan memperoleh 2 hak, tanpa yang bersangkutan harus

melakukan perbuatan hukum sebagai dasar perolehan hak (Budhayati,

2017:5).

Menurut Wirjono Pewarisan adalah soal apakah dan

bagaimanakah berbagai hak dan kewajiban-kewajiban tentang


18

kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih

kepada orang lain yang masih hidup. (Projodikoro, 2014:8)

2) Unsur Pewarisan

Pewarisan mempunyai unsur-unsur yang harus terpenuhi agar

dapat disebut peristiwa waris. Pewarisan harus ada unsur pewaris,

harta warisan, dan ahli waris. Pewaris adalah orang yang mewariskan

harta warisan. Harta warisan adalah harta yang diwariskan, sedangkan

ahli waris adalah orang yang menerima harta warisan (Wicaksano,

2014:5). Konsekwensi dari hukum waris barat sebagai salah satu

cabang hukum perdata yang bersifat mengatur, adalah apa saja yang

dibuat oleh pewaris terhadap hartanya semasa ia masih hidup adalah

kewenangannya, namun kalau pelaksanaan kewenangan itu melampui

batas yang diperkenankan oleh Undang-Undang, maka harus ada

risiko hukum yang dikemudian hari akan terjadi terhadap harta

warisannya setelah ia meninggal dunia.

Unsur-unsur dalam hukum waris yaitu (Wicaksano, 2014:13) :

− Unsur individual (menyangkut diri pribadi seseorang) Pada

prinsipnya seseorang pemilik atas suatu benda mempunyai

kebebasan yang seluas-luasnya sebagai individu untuk berbuat

apa saja atas benda yang dimilikinya. Orang tersebut mempunyai

kebebasan untuk berbuat apa saja terhadap harta kekayanya,

misalnya menghibahkan ataupun memberikan harta kekayaannya

kepada orang lain menurut kehendaknya.


19

− Unsur sosial (menyangkut kepentingan bersama) Perbuatan yang

dilakukan oleh seseorang pemilik harta kekayaan sebagaimana

dijelaskan dalam unsur individual, yaitu kebebasan melakukan

apa saja terhadap harta benda miliknya dengan menghibahkan

kepada orang lain akan dapat menimbulkan kerugian pada ahli

warisnya. Oleh karena itu, undang-undang memberikan

pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pewaris demi

kepentingan ahli waris yang sangat dekat yang bertujuan untuk

melindungi kepentingan mereka. Pembatasan tersebut dalam

kewarisan perdata disebut dengan istilah legitime portie. Legtime

portie ialah bagian tertentu bagi ahli waris tertentu, yakni ahli

waris dalam garis lurus yang tidak boleh dikesampingkan oleh

pewaris. Oleh karena legitime portie tersebut erat kaitannya

dengan pemberian atau hibah yang diberikan oleh pewaris, yaitu

pembatasan atas kebebasan pewaris dalam membuat wasiat,

maka legitime portie diatur dalam bagian yang mengatur

mengenai testament.

3) Warisan dalam sistem Hukum Waris BW

Berbeda dengan sistem hukum adat tentang warisan, menurut

kedua sistem hukum di atas yang dimaksud dengan warisan atau harta

peninggalan adalah sejumlah harta benda kekayaan pewaris dalam

keadaan bersih. Artinya, setelah dikurangi dengan pembayaran hutang

pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh

meninggalnya pewaris. Oleh karena itu, harta yang diterima oleh ahli
20

waris menurut sistem hukum Islam dan sistem hukum adat itu benar-

benar hak mereka yang bebas dari tuntutan kreditur pewaris.

Sedangkan warisan dalam sistem hukum perdata barat yang

bersumber pada BW itu meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak

dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta

kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. (Sari, 2018:8) Akan tetapi

terhadap ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian, di mana hak-

hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan

ada juga yang tidak dapat beralih kepada ahli waris, antara lain

(Suparman, 2018:27) :

− Hak memungut hasil (vruchtgebruik);

− Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan

bersifat pribadi;

− Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatschap

menurut BW maupun firma menurut WvK, sebab perkongsian ini

berakhir dengan meninggalnya salah seorang anggota/persero.

Di atas telah dikemukakan bahwa kematian seseorang menurut

BW mengakibatkan peralihan segala hak dan kewajiban pada seketika

itu juga kepada ahli warisnya. Hal ini secara tegas disebutkan dalam

Pasal 833 ayat (1) BW, yaitu "Sekalian ahli waris dengan sendirinya

karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak

dan segala piutang si yang meninggal."

Peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia kepada

ahli warisnya disebut saisine. Adapun yang dimaksud dengan saisine


21

yaitu ahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang

meninggal dunia tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian

pula bila ahli waris tersebut belum mengetahui tentang adanya

warisan itu. (Suparman, 2018:28).

Sistem waris BW tidak mengenal istilah "harta asal maupun harta

gono-gini" atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan,

sebab harta warisan dalam BW dari siapa pun juga merupakan

"kesatuan" yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih

dari tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisnya. Artinya,

dalam BW tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau

asal barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Seperti yang

ditegaskan dalam Pasal 849 BW, yaitu "Undang-undang tak

memandang akan sifat atau asal dari barangbarang dalam sesuatu

peninggalan, untuk mengatur pewarisan terhadapnya."

b. Hukum Waris Islam

1) Hukum Waris dalam Al-Qur’an

Dalam menguraikan prinsip-prinsip hukum waris berdasarkan

hukum Islam, satu-satunya sumber tertinggi dalam kaitan ini adalah

AlQur'an. Berkaitan dengan hal tersebut, di bawah ini akan diuraikan

beberapa ayat suci Al-Qur'an yang merupakan sendi utama

pengaturan warisan dalam Islam. Ayat-ayat tersebut secara langsung

menegaskan perihal pembagian harta warisan di dalam Al-Qur'an,

masing-masing tercantum dalam surat An-Nissa (QS. IV), surat Al-


22

Baqarah (QS. II), dan terdapat pula pada dalam surat Al-Ahzab (QS.

XXXIII) (Wulandari, 2018:12).

Ayat-ayat suci yang berisi ketentuan hukum waris dalam

AlQur'an, sebagian besar terdapat dalam surat An-Nissa (QS. IV) di

antaranya sebagai berikut (Suparman, 2018:11) :

− QS. IV: 7; "Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta

sepeninggalan ibu-bapak, dan kerabatnya, dan bagi wanita ada

pula dari harta peninggalan ibu-bapak, dan kerabatnya, baik

sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan."

Dalam ayat ini secara tegas Allah menyebutkan bahwa baik laki-

laki maupun perempuan merupakan ahli waris.

− QS. IV: 11; "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian

pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki

sama dengan bagian dua anak perempuan, dan jika anak itu

semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua

pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu

seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk dua

orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta

yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika

orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh

ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang

meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya

mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas)

sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar


23

hutangnya. Tentang orang tuamu dan anakanakmu, kamu tidak

mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)

manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."

Dari ayat ini dapat diketahui tentang bagian anak, bagian ibu dan

bapak, di samping itu juga diatur tentang wasiat dan hutang

pewaris.

− QS. IV: 12; "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang

ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai

anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu

mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah

dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar

hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu

tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu

mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari

harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu

buat atau (dan) sesudah dibayar hutanghutangmu..." Di dalam

ayat ini juga ditentukan secara tegas mengenai bagian duda serta

bagian janda.

− QS. IV: 33; "Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang

ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, kami jadikan

pewarispewarisnya." Secara rinci dalam ayat 11 dan 12 surat An-

Nissa di atas, Allah menentukan ahli waris yang mendapat harta

peninggalan dari ibu-bapaknya, ahli waris yang mendapat


24

peninggalan dari saudara seperjanjian. Selanjutnya Allah

memerintahkan agar pembagian itu dilaksanakan.

− QS. IV: 176; "...katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu

tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia dan ia tidak

mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi

saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang

ditinggalkannya dan saudaranya yang laki-laki mempusakai

(seluruh harta saudara perempuan) jika ia tidak mempunyai anak,

tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya

dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.

Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-saudara laki

dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak

bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan

(hukum ini) kepadamu supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha

Mengetahui segala sesuatu." Ayat ini berkaitan dengan masalah

pusaka atau harta peninggalan kalalah, yaitu seorang yang

meninggal dunia tanpa meninggalkan ayah dan juga anak.

2) Warisan dalam Hukum Waris Islam

Wujud warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam

sangat berbeda dengan wujud warisan menurut hukum waris barat

sebagaimana diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW) maupun

menurut hukum waris adat. Warisan atau harta peninggalan menurut

hukum Islam yaitu "sejumlah harta benda serta segala hak dari yang

meninggal dunia dalam keadaan bersih." Artinya, harta peninggalan


25

yang diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda serta

segala hak, "setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang

pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh

wafatnya si peninggal waris.” (Prodjodikoro, 2014:17)

c. Hukum Waris Adat

1) Pengertian Waris dalam Hukum Waris Adat

Hukum Waris adat sebenarnya merupakan penerusan harta

kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya, seperti yang

dikemukakan beberapa pendapat para ahli, Menurut Soepomo tentang

hukum adat, menyatakan: “Hukum adat waris membuat peraturan-

peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan

barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud

benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia

(generatie) kepada turunannya (Soepomo, 2014:72). Hukum waris

adat menurut Soepomo adalah hukum waris adat yang memuat

tentang ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan

peralihan harta kekayaan, yang berwujud maupun tidak berwujud dari

pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta

kekayaan, dapat dilakukan semasa pewaris masih hidup dan Ketika

pewaris sudah meninggal dunia.

Menurut Hilman Hadikusuma tentang hukum waris adat,

menyatakan “Hukum adat adalah hukum yang memuat garis-garis

ketentuan tentang sistem dan azaz-azaz hukum waris, tentang harta

warisan, pewaris, dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu
26

dialihkan penguasaan dan pemiliknya dari pewaris kepada para

warisnya.” (Hadikusuma, 2014:7). Dengan demikian hukum waris

adat menurut Hilman Hadikusuma yaitu, bahwa didalam hukum waris

tersebut tidakhanya menjelaskan tentangpewaris, ahli waris dan harta

waris tetapi lebih luas lagi. Selain pewaris, ahli waris dan harta waris

yang dijelaskan di hukum waris adat, termuat juga tentang garis-garis

ketentuan tentang sistem dan azaz-azaz hukum waris. Begitu pula

lainnya hukum waris adat juga menjelaskan tentang cara peralihan

harta waris dari pewaris ke para warisnya. Sesungguhnya hukum

waris adat ini merupakan hukum penerusan harta kekayaan dari satu

generasi kepada keturunannya.

Menurut Ter Haar tentang Hukum Waris Adat, menyatakan

“Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara

bagaimana dari abad keabad penerusan dan peralihan dari harta

kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada

generasi” (Haar, 2014: 197). Hukum waris adat menurut Ter Haar

yaitu, hukum yang meliputi peraturanperaturan hukum yang

bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang

akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan

materiil dan immaterial dari generasi ke generasi selanjutnya.

Dari penjelasan-penjelasan para ahli diatas mengenai Hukum

Waris Adat, sehingga dapat kita simpulkan bahwasannyannya

didalam Hukum waris adat terdapat beberapa kaidah-kaidah atau

peraturan dan ketentuan dalam mengatur proses penerusan harta, baik


27

harta tersebut berbentuk materil maupun immaterial yang mana harta

tersebut akan diteruskan dari generasi kegenerasi selanjutnya.

Proses peralihan harta kekayaan menurut hukum adat juga

merupakan suatu proses yang akan berkelanjutan dari keturunan

sebelumnya kepada keturunan berikutnya, dan proses itu tidak akan

menjadi akut dikarenakan kematian orang tua, melainkan

meninggalnya orang tua itulah yang menjadi sebab suatu peristiwa

yang penting bagi proses pewarisan, adanya proses pewarisan

merupakan masalah yang sangat penting.

Dalam proses pewarisan tersebut terdapat tiga unsur yang harus

dipenuhi sebelum proses pewarisan tersebut dapat dilakukan, yaitu (1)

seorang yang meninggal dunia (Pewaris), yang padawaktu

wafatnyameninggalkan harta warisan (2) Seseorang yang berhak

menerima (Ahli Waris) harta peninggalan yang diringgalkan oleh

pewaris (3) harta warisan atau harta peninggalan, yaitu harta yang

diringgalkan, dibagi-bagi dan beralih kepada ahli warisnya. Harta

yang dapat dibagi adalah harta peninggalan setelah dikurangi dengan

utang-utang pewaris selama masa hidupnya sehingga ahli waris hanya

akan menerima harta peninggalan netto (bersih).

2) Hukum Waris Adat Berdasarkan Sistem Kekerabatan

Menurut Hazairin, menyatakan Hukum waris adat di Indonesia

tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang

berbeda. Bahwa hukum waris adat mempunyaii corak sendiri dari

alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan


28

yang sistem kekerabatannya patrilineal, matrilineal, dan parental atau

bilateral, meskipun pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu

berlaku sistem pewarisan yang sama (Hadikusuma, 2013:211).

Menurut penjelasan diatas, corak dan sifat-sifat yang khas

Indonesia dimiliki oleh hukum waris adat. Masyarakat Indonesia yang

asli memiliki pikiran yang berasaskan kekeluargaan dengan bentuk

kekerabatan, dimana kepentingan hidup rukun dan damai lebih

diutamaka dari sifat-sifat kebendaan dan mementingkan diri sendiri.

Dalam kekerabatan tersebut terdapat tiga macam kekerabatan yaitu

patrilineal, matrilineal dan parental atau bilateral. Jika pada akhir-

akhir ini tampak kecenderungan adanya keluarga-keluarga yang

mementingkan kebendaan, maka akan merusak kerukunan hidup

kekeluargaan. Hal ini merupakan suatu pengaruh perkembangan

zaman dan pengaruh adanya kebudayaan asing. Masyarakat Indonesia

menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda-

beda, dan mempunyaii bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem

keturunan yang berbeda-beda (Nangka, 2019:149). Sistem keturunan

ini sudah diberlakukan sejak dahulu kala sebelum masuknya agama

Hindu, Islam, dan Kristen, sistem kekerabatan atau keturunan yang

berbeda-beda tampaknya berpengaruh dalam sistem pewarisan dalam

hukum waris adat.

3) Sistem Kewarisan Hukum Adat

Prinsip-prinsip garis keturunan yang terdapat pada masyarakat

Indonesia berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian


29

harta peninggalan yang diwariskan. Soerjono Soekanto dan Soeleman

B.Taneko menjelaskan, Hukum adat waris mengenal adanya tiga

system kewarisan, yaitu (Gultom, 2014:46) :

− Sistem Kewarisan Individual

Pewarisan dengan sistem individual atau perorangan adalah suatu

sistem pewarisan dimana setiap ahli waris memperoleh keuntungan

untuk dapat menguasai dan atau memiliki warisan sesuai dengan

bagiannya masing-masing. Jadi, pewaris dengan sistem individual ini

diberlakukan pada masyarakat yang bersistem kekerabatan parental

atau bilateral (dimana kedudukan laki-laki dan perempuan sama atau

sederajat), selain itu dalam sistem ini ahli waris mewarisi harta

warisannya secara perorangan. Sebagaimana dianut pada masyarakat

Jawa atau pada masyarakat adat Batak yang berlaku adat manjae

(istilah jawa: mentas dan mencar) atau juga pada masyarakat adat

yang sangat kuat dipengaruhi hukum Islamnya: Seperti Aceh,

Lampung, dan Kalimantan. (Siregar, 2019:115)

Kelebihan dari sistem pewarisan individual yaitu, setelah harta

peninggalan atau harta warisan dibagi secara individual atau

perorangan, setelah para ahli mendapatkan harta warisan berdasarkan

bagiannya maka para ahli waris bebas menguasai dan memiliki harta

warisan tersebut, bisa digunakan sebagai modal atau dasar materiel

kehidupannya lebih lanjut tanpa digunakan anggota-anggota keluarga

lain. (Hadikusuma, 1995:25)


30

Kelebihan dari sistem pewarisan individual antaraa lain yaitu

dengan pemilikan harta waris secara pribadi, sehingga harta waris

tersebut dapat dikuasai dan dimiliki secara bebas, dan harta waris

tersebut bisa digunakan untuk kelangsungan hidupnya atau untuk

modal usahanya tanpa adanya pengaruh dari anggota-anggota

keluarga lainnya. setiap ahli waris dapat mentransaksikan bagian

warisannya masing-masing kepada orang lain untuk dipergunakan

sebagai kebutuhannya sendiri atau kebutuhan keluarga yang

ditanggungnya.

Kelemahan dari sistem pewarisan individual yaitu, terpecahnya

harta warisan dan merenggannya tali kekerabatan, hal ini dapat

berakibat timbulnya Hasrat ingin memilliki kebendaan secara pribadi

dan mementingkan diri sendiri. Kelemahan dari sistem pewarisan

individual adalah dalam pewarisan individual ini dapat menimbulkan

rasa atau nafsu serta Hasrat yang bersifat individualisme dan

materialism, sehingga banyak mengakibatkan timbulnya perselisihan-

perselisihan antaraa anggota keluarga pewaris, pecahnya harta

warisan dan merenggannya tali kekerabatan. Sehingga menyebabkan

para ahli waris memiliki Hasrat untuk memiliki kebendaan tersebut

secara pribadi dan mementingkan diri sendiri. (Hadikusuma,

2014:26).

− Sistem Kewarisan Mayorat

Sistem pewarisan mayorat sebenarnya merupakan sistem

pewarisan kolektif, hanya saja penerusan hak diberikan kepada anak


31

tertua sebagai pemegang mandate, dan bukan pemilik harta secara

perorangan. (Zein, 2023:47). Anak tertua dalam kedudukannya akan

menjadi penerus tanggung jawab orang tua yang telah wafat, dan

berkewajiban untuk mengurus dan memelihara suadatasaudaraanya,

terutama tanggung jawab terhadap harta waris nya dan kehidupan

adik-adiknya yang masih kecil sampai mereka berumah tangga

(Baihaqi, 2019:23).

Kebaikan dari sistem pewarisn mayorat yaitu terletak pada

kepemimpinan anak tertua, bila ia penuh tanggung jawab maka

keutuhan dan kerukunan keluarga dapat dipertahankan, sedangkan

kelemahan dari sistem ini yaitu bila sebaliknya (Suparman, 1991:37).

Kepemimpinan anak tertua dalam kedudukannya akan menggantikan

orang tua yang telah meninggal dunia dalam mengurus harta warisnya

dan memanfaatkan guna kepentingan semua anggota keluarga yang

diringgalkan.

Anak tertua yang penuh tanggung jawab akan bisa

mempertahankan keutuhan serta kerukunan keluarga sampai semua

waris menjadi dewasa dan dapat berdiri sendiri hingga mengatur

rumah tangganya sendiri tetapi anak tertua yang tidak bertanggung

jawab, yang tidak dapat mengendalikan dirinya terhadap kebendaan,

dan tidak dapat mengatur harta warisnya ataupun boros, jangankan

untuk mengurus harta peninggalannya ataupun saudara-saudaraa nya

malah sebaliknya ia yang akan diurus oleh saudaraa-saudaraanya.


32

Sistem pewarisan mayorat ini dibagi atas dua bagian, yaitu:

mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua (keturunan laki-

laki) yang waris tunggal dari si pewaris, dengan catatan anak tersebut

harus menghidupi orang tua dan adik-adiknya, misalnya pada

masyarakat Lampung dan Bali (Cahyani, 2022:452). Mayorat

perempuan, yaitu apabila anak perempuan harta yang merupakan ahli

waris tunggal dan si pewaris, dengan catatan anak tersebut harus

menghidupi orang tua dan adik-adiknya, misalnya pada masyarakat

suku Semendo di Sumatera Selatan, suku Dayak Landak dan Suku

Dayak Tayan di Kalimantan Barat (anak pangkalan) (Sidik, 2022:61).

− Sistem Kewarisan Kolektif

Sistem kewarisan kolektif yaitu sistem kewarisan dimana para

ahli waris mewarisi harta peninggalan pewaris secara bersama-sama

(kolektif). Hal ini terjadii karena harta peninggalan yang diwarisi itu

merupakan harta turun temurun dan tidak dapat dibagi pemilikannya

kepada masing-masing ahli waris. Dengan kata lain, harta

peninggalan itu tidak dapat dimiliki oleh seorang saja, melainkan

harus dimiliki secara bersama-sama, serta bagaimana cara

pemakainnya untuk kepentingan dan kebutuhan masing-masing waris

diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua

anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan dibawah

bimbingan kepala kerabat. (Arif, 2022:89)

Selanjutnya, kebaikan sistem pewarisan kolektif tampak apabila

fungsi harta kekayaan digunakan untuk kelangsungan hidup keluarga


33

besar itu pada masa sekarang dan masa seterusnya masih tetap

berperan, tolong menolong antaraa yang satu dan yang lainnya

dibawah pimpinann kepala kerabat yang penuh tanggung jawab masih

tetap dapat dipelihara, dibina dan dikembangkan. Kelemahan sistem

kolektif dapat menimbulkan cara berpikir yang terlalu sempit kurang

terbuka bagi orang luar, sulit mencari kerabat yang kepemimpinanya

bisa diandalkan, disamping rasa setia kawan dan rasa setia kerabat

semakin bertambah luntur (Eric, 2019:65).

2. Hukum Adat Bali

Kepastian Hukum Adat adat bali sepenuhnya diakui melalui Peraturan

Daerah Nomor 4 tahun 2019 tentang Desa Adat dalam ketentuan umum pasal satu

angka 8 yang menyatakan “Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di

Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta

kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun

temurun dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas dan

kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”.

Istilah hukum waris adat dalam hal ini dimaksudkan untuk

membedakannya dengan istilah hukum waris Barat, hukum waris Islam, hukum

waris Indonesia, hukum waris Bali, hukum waris Minangkabau dan sebagainya.

Karena istilah hukum waris adat dijelaskan secara umum, sehingga tidak terfokus

pada salah satu hukum waris adat saja. Menurut Ter Haar dalam bukunya yang

berjudul Beginselen en stelses van het adatrecht (Asas dan Sistem Hukum Adat)

Hukum Waris Adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana

dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan
34

tidak berwujud dari suatu generasi ke generasi berikutnya Ter Haar (2014).

Menurut Soepomo hukum waris adat memuat peraturan yang mengatur

proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang yang

tak berwujud benda dalam suatu angkatan manusia (generasi) kapada

keturunannya. (Anggraini, 2020:47)

Dari pengertian hukum waris adat di atas dapat disimpulkan bahwa

hukum waris adat pada intinya mengatur tentang suatu proses penerusan atau

perpindahan harta warisan dari pewaris kepada ahli warisnya secara turun temurun

dan berkelanjutan. Dimana hal ini berarti bahwa penerusan ini menyangkut

penerusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seorang ahli waris. Proses penerusan

ini dilakukan oleh pewaris kepada ahli warisnya, dimana penerusan atau pengalihan

atas harta yang berwujud benda dan tidak berwujud benda, yang kesemuanya itu

menyangkut hak dan kewajiban berupa kewajiban keagamaan. Dalam hukum waris

adat tidak hanya mengatur tentang harta yang berbentuk materi saja melainkan non

materi seperti benda-benda pusaka milik keluarga yang harus tetap dijaga dan

dilestarikan secara bersamasama oleh pihak ahli waris. Hukum waris adat ada yang

tertulis dan ada yang tidak tertulis, tapi dalam pemberlakuannya memiliki kekuatan

hukum yang sama.

a. Sistem Pewarisan Adat Bali

Sistem kekeluargaan patrilineal adalah sistem yang dianut oleh

masyarakat Bali, yang artinya mengutamakan garis keturunan dari pihak

bapak atau laki-laki. Sehingga sistem pewarisan pada masyarakat Bali

mengutamakan garis keturunan dari pihak laki-laki atau purusa. Jika

dilihat dari sisi kesetaraan gender, sistem kekeluargaan patrilinial yang


35

dianut oleh masyarakat Bali terkesan memberikan ketidakadilan pada anak

perempuan khususnya dalam hal pewarisan. Anak perempuan tidak diberi

kesempatan dalam masalah pewarisan, baik yang berbentuk materi

maupun non materi. Anak perempuan Bali hanya mempunyai hak untuk

ikut menikmati warisan atau harta orang tua ketika masih berada dalam

pengampuan orang tuanya dan belum kawin. Apabila sudah kawin dan

berkeluarga, maka anak perempuan keluar dari rumah orang tuanya dan

ikut suami tanpa diberikan warisan. Hanya diberikan kebijakan oleh orang

tua berupa sedikit materi sebagai bekal untuk mengarungi kehidupan

berumah tangga. Hal ini juga dengan catatan, bahwa orang tuanya

mempunyai harta yang lebih untuk diberikan kepada anak perempuannya.

Namun laki-laki menjadi prioritas utama dalam hal pewarisan tersebut

tanpa boleh dikesampingkan (Wintari, 2022:70).

Secara umum masyarakat Bali menganut sistem kekeluargaan

patrilineal dalam menentukan bentuk pewarisan. Konsekuensi dianutnya

sistem patrilineal ini yaitu anak laki-laki yang akan menjadi ahli waris dan

penerus keluarga. Masyarakat adat Bali menganut sistem kekeluargaan

patrilineal atau kebapaan yang lebih dikenal luas dalam masyarakat Bali

dengan istilah kapurusa atau purusa. Sehingga dalam masyarakat Bali,

seorang purusa yang akan meneruskan keturunan dan mempunyai

tanggung jawab terhadap keluarga, leluhur maupun masyarakat yang

bersifat skala dan niskala serta menjadi ahli waris. Artinya bahwa sistem

pewarisan yang terjadi pada masyarakat Bali disebabkan oleh sistem

kekeluargaan yang dianutnya yaitu sistem patrilineal. Jadi pada prinsipnya


36

anak perempuan dalam keluarga masyarakat Bali tidak bisa menjadi ahli

waris. Tetapi tidak menutup kemungkinan bisa diberikan harta warisan

yang berbentuk materi oleh orang tuanya sebagai bekal apabila anak

perempuannya memasuki kehidupan berumah tangga (Febriawanti,

2020:125).

Pada hukum waris adat Bali, posisi laki-laki adalah yang utama

sebagai ahli waris. Laki-laki sebagai ahli waris dalam keluarga, tidak

terlepas dari peran dan tanggung jawabnya. Sebab tanggung jawab laki-

laki sebagai generesai penerus keluarga, akan bertanggung jawab orang

tua dan leluhur. Berbeda halnya dengan anak perempuan, begitu

berkeluarga maka akan ikut dan masuk pada keluarga suaminya.

Kewajiban di keluarga asalnya sudah tidak ada. Tidak berarti tidak peduli

terhadap keluarga asal atau orang tuanya, hanya saja tidak mempunyai hak

atau kewajiban seperti anak laki-laki. Sehingga pada umumnya anak

perempuan tidak mempunyai hak untuk mewaris. Hal ini didasarkan pada

kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang tua terdahulu, sehingga

keturunannyapun mengikuti kebiasaan tersebut. Selain itu juga, bahwa

anak laki-laki yang akan bertanggung jawab penuh kepada orang tuanya,

baik di masa hidup sampai meninggal dunia. Karena masyarakat Bali

khususnya laki-laki, semua masalah ritual, baik untuk umum maupun

pribadi, baik kecil maupun besar yang bertanggung jawab adalah anak

laki-laki, misalnya upacara ngaben orang tuanya, upacara ritual di pura

desa, dan sebagainya.


37

b. Budaya Religio-Magis

Sebagian besar suku-suku di Indonesia menghadirkan budaya

primordial sebagai paham terhadap hukum sebelum hukum positif hadir.

Budaya primordial suku-suku di Indonesia adalah Religio-magis atau

magis religious. Unsur religio-magis disini memiliki tujuan untuk

menghadirkan daya atau kekuatan gaib ilahiah dalam dunia manusia yang

digunakan sebagai sumber dalam menentukan baik atau buruk demi

menyelesaikan permasalahan yang ada di di dunia. Hal ini memiliki arti

kebudayaan primordial religio magis merupakan salah satu sumber hukum

yang mengatur masyarakat tradisional pada jaman pasca berkembangnya

hukum modern.

Religio-magis didalam mempengaruhi berkembangnya hukum adat

memiliki beberapa sifat yang mempengaruhi masyarakat adatnya.

Sehubungan dengan sifat religio magis ini mempunyai unsur-unsur

sebagai berikut :

1. Kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus, rokh-rokh dan

hantu-hantu yang menempati seluruh alam semesta dan khusus

terhadap gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh

manusia, dan benda-benda lainnya.

2. Kepercayaan kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam

semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa luar biasa,

tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, benda-benda yang luar biasa,

dan suara-suara yang luar biasa.


38

3. Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan

sebagai “Magische Kracht” dalam berbagai perbuatan Ilmu Ghaib

untuk mencapai kemauan manusia untuk menolak bahaya ghaib.

4. Anggapan bahwa kelebihan kekuatan saksi dalam alam

menyebabkan keadaan krisis, menyebabkan timbulnya berbagai

macam bahaya ghaib yang hanya dapat dihindari atau dihindarkan

dengan berbagai macam pantangan.

Anggapan-anggapan yang telah disebutkan diatas telah mengatur

masyarakat tradisional hingga saat ini disebut masyarakat adat bahwa

segala sesuatu yang bersifat gaib dapat memiliki kekuatan mengatur.

Unsur paksaan, ketaatan, dan mengatur semua didasarkan atas suatu hal-

hal yang gaib sehingga tanggungjawab dari konsekuensi hukum adat

adalah tanggungjawab moral.

H. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode Penelitian merupakan teknik yang bertujuan memperoleh data

guna memenuhi kebenaran yang akan dipelajari secara sistematis dengan cara

menganalisa dan memahami keadaan atau isu yang akan diangkat menjadi

sebuah penelitian (Ali, 2013: 17). Penelitian “Kajian Hukum terhadap

Pewarisan harta Terhadap Anak Perempuan Yang Sudah Menikah dalam

Masyarakat Hukum Adat Bali” menggunakan penelitian normatif. Penelitian

hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji

hasil dalam studi kepustakaan serta peraturan perundang-undangan yang


39

berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu.

Penelitian hukum normatif juga biasa disebut sebagai penelitian doktrinal

karena yang menjadi objek pembahasan dari penelitian ini adalah

peraturanperaturan perundang-undangan dan dokumen atau studi pustaka.

Penelitian normatif ini, penulis gunakan untuk menganalisis bagaimana

perlindungan hukum yang dapat diberikan pada ahli waris dan harta

warisannya dalam kedudukan hukum adat. Resiko sengketa tentunya ada

dalam pewarisan yang melibatkan anak perempuan yang sudah menikah dalam

hukum adat yang menganut sistem patriarki, oleh sebab itu kajian hukum serta

perlindungan terhadap hak waris penting dalam mempertahankan hak-hak ahli

waris.

2. Jenis Pendekatan

Sesuai dengan jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum

normatif maka jenis pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan

perundang-undangan (statue approach). Pendekatan perundang-undangan

(statue approach) merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengkaji

serta menganalisis semua undang-undang dan peraturan yang berkaitan

dengan isu hukum yang dibahas (Ishaq, 2017: 98). Pendekatan ini bertujuan

menelaah segala undang-undang yang berkaitan dengan objek penelitian serta

mencari kaitan antara undang-undang satu dengan undang-undang lain

terhadap subjek maupun objek yang diteliti.


Di dalam penelitian ini akan menganalisa peraturan yang berkaitan dengan

pewarisan, hukum adat dan kesetaraan gender yang diatur dalam Undang-

Undang diantaranya, Pasal 18 B UUD 1945, KUHPerdata, dan penerapan

Hukum adat/hukum tak tertulis dalam masyarakat adat, Peraturan Daerah


40

Nomor 4 Tahun 2019 Tentang desa Adat dan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention On

The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women).

3. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian normatif jenis sumber bahan hukum yang digunakan ada

tiga sumber yang dijabarkan secara hierarkis. Adapun bahan hukum tersebut

diperoleh melalui sumber kepustakaan diantaranya:

1) Sumber Bahan Hukum Primer

Sumber hukum primer merupakan sumber hukum utama yang digunakan

serta bersifat autotatif yang berarti memiliki otoritas. Adapun sumber hukum

primer yang digunakan dalam penelitian ini ialah Hukum Adat Bali mengenai

kedudukan Pria dan Wanita dalam hak-hak pewarisan.

2) Sumber Bahan Hukum Sekunder

Sumber hukum sekunder merupakan sumber hukum yang memiliki fungsi

penambah atau penguat dan pemberi keterangan terhadap sumber hukum

primer. Sumber hukum sekunder yang penulis gunakan adalah Undang-

Undang yang terkait dengan penelitian yang dibahas diantaranya.

a. Undang-Undang Dasar 1945

b. KUHPerdata

c. UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

d. Peraturan daerah Nomor 4 tahun 2019 Tentang Desa Adat


41

3) Sumber Bahan Hukum Tersier

Sumber hukum tersier merupakan sumber hukum yang digunakan guna

memberi petunjuk dan memperjelas bahan dari sumber hukum primer dan

sekunder. Sumber hukum tersier yang digunakan penulis adalah Kamus Besar

Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan karya

ilmiah ini adalah teknik studi dokumen. Teknik studi dokumen merupakan

teknik yang dilakukan dengan cara menelaah bahan-bahan pustaka yang

relevan serta memiliki kaitan dengan bentuk penelitian berupa literatur-

literatur, hasil skripsi, peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah terdahulu

dari berbagai instansi yang berkaitan dengan Pewarisan

5. Teknik Analisis Data

Teknik Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

kualitatif. Data awal yang telah diperoleh secara alamiah akan disusun secara

sistematis, logis, dan jelas dalam bentuk kata-kata. Setelah disusun kemudian

data diolah secara kualitatif yaitu analisis yang dilakukan dengan melakukan

penjabaran serta penggambaran, lalu dilakukanlah pembandingan antara data

yang ada dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

doktrin maupun yurisprudensi.


42

DAFTAR RUJUKAN

BUKU
Ali, Zainudin. 2013. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Budhayanti, Cristiani Tri. 2014 . Mengenal Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika
Gulton, Elfrida. 2014. Hukum Waris Adat Di Indonesia. Jakarta: Literata
Haar, Ter. 2014. Beginselen en stelses van het adatrecht, JB. Wolters Groningen.
Cetakan ke-5. Jakarta: 4E Druk
Hadikusuma, Himan. 2014. Hukum Waris Adat. Bandung: PT Citra Aditya Bakti
Hadikusuma, Himan. 2014. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Cetakan Ke-
4. Bandung: Mandar Maju
Ishaq. 2017. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta.
Padjodikoro, Wirjono. 2013. Hukum Waris di Indonesia. Bandung: PT. Aditya
Bakti
Perangin, Efendi. 2018. Hukum Waris. Depok: Rajawali Pers
Pilto. 2014. Hukum Waris. Bandung: PT: Aditya Bhakti
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka
Satriyo, Juswito. 2014. Hukum Waris. Bandung: Alumni
Suparman, Erman. 2018. Hukum waris Indonesia : dalam perspektif islam, adat,
dan bw (edisi revisi). Bandung : Refika Aditama
Soepomo. 2014. Bab-Bab tentang hukum adat. Cetakan ke-3. Jakarta: Sinar Grafika
Suparman, Erman. 2014. Intisari Hukum Waris Indonesia. Bandung: Mandar Maju
Wicaksono, Satriyo. 2014. Hukum Waris, Cara Mudah dan Tepat Membagi Harta
Warisan. Jakarta: Visimedia

ARTIKEL DALAM JURNAL


Anggraini, Putu Maria Ratih, and I. Wayan Titra Gunawijaya. 2020. "Hukum Adat
Kekeluargaan Dan Kewarisan Di Bali." Pariksa: Jurnal Hukum Agama
Hindu Volume 2, Nomor 1, (hlm. 44-52)
Ariani, Ni Kadek Riska, and AA Kt Sudiana. 2022. "Kedudukan Ahli Waris Dalam
Hak Milik Atas Tanah Warisan Dari Perspektif Hukum Adat Bali." Jurnal
Hukum Mahasiswa Voluime 2, Nomor 2, (hlm. 521-534).
43

Arif, M. Syaikhul. 2022. "Mengenal Sistem Hukum Waris Adat." Siyasah: Jurnal
Hukum Tata Negara Volume 5, Nomor 1. (hlm. 84-92)
Baihaqi, Ahmad. 2019. "Sistem Kewarisan Mayorat Laki-Laki Dalam Perspektif
Hukum Islam Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Muslim (Studi Di
Kecamatan Karya Penggawa Kab. Pesisir Barat Provinsi Lampung)." Al
Qisthas Jurnal Hukum dan Politik . Volume 10, Nomor 1, (hlm. 17-32).
Cahyani, Firnanda Arifatul, and Dia Aisa Amelda. 2022. "Kedudukan Perempuan
Hindu dalam Sistem Pewarisan Menurut Hukum Waris Adat Bali." Jurnal
Hukum Lex Generalis Volume 3, Nomor 6, (hlm. 448-459)
Dian, Ridwan Arifin Karin Aulia Rahmadhanty. 2018. "Hak Anak Angkat Dalam
Mendapatkan Warisan Ditinjau Dari Hukum Waris Indonesia." Normative
Jurnal Ilmiah Hukum Volume 6, Nomor 2 (hlm. 66-78).
Eric. 2019. "Hubungan antara hukum Islam dan hukum adat dalam pembagian
warisan di dalam masyarakat Minangkabau." Jurnal Muara Ilmu Sosial,
Humaniora, dan Seni, Voume 3, Nomor 1, (hlm. 61-70).
Febriawanti, Dinta, and Intan Apriyanti Mansur. 2020. "Dinamika Hukum Waris
Adat di Masyarakat Bali Pada Masa Sekarang." Media Iuris, Voulme 3, Nomor
2, (hlm. 119-132).
Kaban, Maria. 2016"Penyelesaian Sengketa Waris Tanah Adat Pada Masyarakat
Adat Karo." Jurnal Hukum Waris. Volume 4, Nomor 2, (hlm. 41-52)
Nangka, Bravo. 2019. "Penyelesaian sengketa berdasarkan hukum waris adat
berdasarkan sistem kekerabatan." Lex Privatum Volume (hlm. 145-155)
Sudiatmaka K, Adnyani NK, Windari RA. Putusan MUDP Bali No. 01/Kep/PSM-
3MDP Bali/X/2010 Sebagai Legitimasi Formal Anak Perempuan Berhak
Mewaris di Kabupaten Buleleng. InSeminar Nasional Riset Inovatif. Sanur,
Bali: Undiksha Press 2016.
Sai Adnyani 2016. ”Bentuk Perkawinan Matriarki Pada Masyarakat Hindu Bali
Ditinjau Dari Perspektif Hukum Adat Dan Kesetaraan Gender”. Jurnal Ilmu
Sosial dan Humaniora. Vol. 5, No. 1, April 2016
Sari, Indah. 2018. "Pembagian Hak Waris Kepada Ahli Waris Ab Intestato dan
Testamentair Menurut Hukum Perdata Barat (BW)." Jurnal Ilmiah Hukum
Dirgantara Volume 5, Nomor 1, (hlm. 1-20).
Siddik, M. Farid As. 2022. “Sistem Kewarisan Mayorat Perempuan Dalam Adat
Semende Menurut Hukum Adat Dan Hukum Islam (Studi Kasus Di Desa
Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim
Provinsi Sumatera Selatan). Diss. Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta”, Jurnal
Hukum Adat, Volume 2, Nomor 4. (hlm. 55-65).
44

Siregar, Fatahuddin Aziz. 2019. "Sistem Kewarisan Adat Batak Di Tapanuli


Selatan." ADHKI: Journal of Islamic Family Law, Volume 1, Nomor 2 (hlm.
111-124).
Warsita, I. Putu Andre, I. Made Suwitra, and I. Ketut Sukadana. 2020. "Hak Wanita
Tunggal terhadap Warisan dalam Hukum Adat Bali." Jurnal Analogi
Hukum Volume 2, Nomor 1, (hlm. 83-87)
Wintari, Made Erna, and Gede Agus Suparta. 2022. "Sistem Kewarisan: Hak
Wanita dalam Hukum Adat Bali." Pariksa: Jurnal Hukum Agama Hindu,
Volume 6, Nomor 1 (hlm. 67-75).
Wulandari, Andi Sri Rezky. 2018. "Studi Komparatif Pembagian Harta Warisan
Terhadap Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan Hukum
Perdata." Jurnal Cahaya Keadilan Volume 5, Nomor 2. (hlm. 1-21).
Zein, Nurhayati. 2023. "Lokal Wisdom: Pelaksanaan dan Pergeseran Sistem Waris
Mayorat di Indonesia." Jurnal An-Nahl Volume 10, Nomor 1, (hlm. 45-52)

UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Dasar 1945
KUHPerdata
UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan daerah Nomor 4 tahun 2019 Tentang Desa Adat

Anda mungkin juga menyukai