BAGIAN E
APRESIASI DAN INOVASI
2. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya
buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
3. Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Secara ilustratif, tujuan penyelenggaraan penataan ruang diuraikan dalam gambar
berikut.
Gambar E.3 Klasifikasi Penataan Ruang Berdasarkan Sistem, Fungsi, dan Nilai Strategi Kawasan
Dalam setiap proses perumusannya, rencana tata ruang skala kabupaten/kota selalu
mengacu kepada kebijakan-kebijakan lain yang secara luas terkait dalam suatu struktur
kebijakan pembangunan, yang dimulai dari kebijakan skala nasional, regional hingga
kebijakan pembangunan wilayah itu sendiri.
Perencanaan tata ruang menurut Undang-undang No. 26 tahun 2007 dilakukan untuk
menghasilkan :
1. Rencana umum tata ruang, secara hirarki terdiri atas:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, dan Kota
2. Rencana rinci tata ruang, secara hirarki terdiri atas:
a. Rencana Tata Ruang Pulau, atau kepulauan dan rencana tata ruang kawasan
strategis nasional
b. Rencana Tata ruang kawasan strategis provinsi
c. Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/kota dan rencana tata ruang strategis
kabupaten/kota dijadikan dasar bagi penyusunan peraturan zonasi.
1. Pencegahan
Pembatasan wilayah yang dapat dibangun untuk mendirikan bangunan. Dalam usaha
pencegahan ini juga dilakukan pembatasan perkembangan penggunaan lahan pada
wilayah-wilayah yang rentan kemungkinan bencana alam seperti wilayah yang rawan
banjir, rentan kelongsoran rentan gempa bumi dan tsunami, wilayah-wilayah sesar,
maupun dari bagian wilayah yang sudah atau sedang dieksploitasi seperti wilayah
pasca penambangan, wilayah penambangan mineral atau galian C, tanah garapan,
atau pembukaan lahan pada wilayah lereng, pengembangan wilayah penyangga
(buffer area) pada industri pencemar.
Gambar E.5 Pengembangan Kawasan Industri dan Pusat Komersial pada Wilayah Pantai
6. Asuransi Kebencanaan
Sistem suatu jaminan asuransi dari pemerintah daerah untuk penduduk yang berada
didalam wilayah rentan bencana dapat diusahakan dengan sistem yang disesuaikan
dengan kemampuan ekonomi masyarakat.
Gambar E.6 Kedudukan Rencana Detail Tata Ruang Dalam Penataan Ruang Kabupaten
B. Persyaratan
Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten adalah rencana yang disusun dan ditetapkan
Pemerintah Daerah dengan prasyarat perencanaan sebagai berikut :
1. RDTR disusun menurut bagian wilayah kabupaten yang telah ditetapkan fungsi
kawasannya dalam struktur ruang RTRW.
2. RDTR dapat ditentukan menurut kawasan yang mempunyai nilai sebagai
kawasan yang perlu percepatan pembangunan, pengendalian pembangunan,
mitigasi bencana, dan lainya.
3. RDTR mempunyai wilayah perencanaan mencakup sebagian atau seluruh
kawasan tertentu yang terdiri dari beberapa unit lingkungan perencanaan, yang
telah terbangunan ataupun yang akan dibangun.
4. RDTR merupakan salah satu pedoman pembangunan daerah yang memiliki
kekuatan hukum berupa Peraturan Daerah (Perda)
5. RDTR ini dilakukan dengan memeriksa kesesuaian semua rencana dan ketentuan
sektoral baik horizontal, vertikal, diagonal seperti UU, PP, Kepres, Kepmen,
Perda, KepGub, KepWal atau KepBup, SKB, NSPM dan pedoman-pedoman yang
menunjang termasuk produk pra desain serta desain kegiatan sektoral tersebut.
6. RDTR merupakan pedoman berkekuatan hukum yang merupakan arahan
pembangunan daerah untuk :
a. Perijinan pemanfaatan ruang.
b. Perijinan letak bangunan dan bukan bangunan.
c. Kapasitas dan intensitas bangunan dan bukan bangunan.
d. Penyusunan zonasi.
e. Pelaksanaan program pembangunan.
Menetapkan dan mengoperasionalisasikan RDTR Kabupaten, perlu
mempertimbangkan beberapa aspek kebutuhan pembangunan daerah, baik untuk
kepentingan ekonomi, sosial, budaya, politik dan lingkungan. Oleh karena itu RDTR
merupakan perwujudan “Kegiatan” yang membentuk suatu kawasan fungsional
kedalam ruang, yang terukur baik memenuhi aspek ekonomi, sosial, budaya,
keamanan, kenyamanan, keserasian dan keterpaduan, serta berkesinambangan.
Dengan memperhatikan keterkaitan antar kegiatan, yaitu tercipta lingkungan yang
harmonis antara kegiatan utama, kegiatan penunjang serta pelengkapnya dalam
suatu kawasan fungsional.
C. Kriteria Tipologi Kawasan
Secara perwilayahan, tipelogi kawasan dapat dibagi 2 (dua), yaitu :
1. Kawasan perkotaan suatu kawasan fungsional yang akan atau telah menunjukan
intensitas pembangunan non pertanian yang tinggi, dan menjadi urgen/prioritas
bagi kegiatan yang ada di dalam ruang dengan mempertimbangkan ruang sebagai
wadahnya dan waktu sebagai jarak pencapaian perwujudannya. Rencana tata ruang
memainkan perannya sebagai pengarah dan pengendali kegiatan agar sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapainya. Dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang, yang dimaksud dengan tata ruang adalah wujud struktural dan pola
pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak.
Sehubungan dengan tingkat kepentingan dan lingkup strategi permasalahannya, maka
rencana tata ruang disusun secara bertahap dan dalam jenjang cakupan yang berurutan.
Secara sistematis jenjang cakupan rencana ini dimulai dari lingkup yang lebih luas dan
substansinya menyeluruh hingga ke jenjang cakupannya semakin terinci (detailed).
Semakin kecil cakupan wilayahnya, maka rencana tersebut semakin terinci dan semakin
tertuju kepada segi fisik yang lebih konkret. Mengingat rencana tata ruang merupakan
matra keruangan dari rencana pembangunan daerah dan bagian dari pembangunan
nasional, ketiga tingkatan (RTRW Nasional, RTRW Propinsi, dan RTRW Kabupaten)
mempunyai hubungan keterkaitan satu sama lain serta dijaga konsistensinya baik dari
segi substansi maupun operasionalisasinya.
Hirarki rencana tata ruang yang berlaku di Indonesia sesuai dengan Undang-undang No.
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Permendagri No. 8 Tahun 1998 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah adalah sebagaimana yang digambarkan pada
Gambar 3.5. Setiap tingkatan rencana tata ruang memiliki cakupan wilayah perencanaan
yang berbeda dengan maksud yang berbeda pula.
Gambar E.7 Hirarki Rencana Tata Ruang Menurut UU No. 26 Tahun 2007
Rencana tata ruang yang telah memiliki kekuatan hukum harus berfungsi sebagai arahan
bagi penyusunan dan pelaksanaan program-program pembangunan pada kota/wilayah
yang bersangkutan. Program-program tersebut kemudian dirumuskan dalam bentuk
proyek-proyek sektoral sebagai suatu kegiatan pembangunan. Penyusunan
Praktek Zoning regulation ditetapkan pada zona yang mempunyai dampak pencegahan
munculnya bangunan rumah bagi masyarakat berpendapatan rendah dan moderat.
Ketentuan ini dimotivasi oleh perhatian pada populasi masyarakat dibandingkan
kebutuhan perumahan keseluruhan pada wilayah dimana masyarakat tersebut menjadi
bagiannya.
Penetapan regulasi zonasi (Zoning Regulation) sebagai produk yang diturunkan dari RDTR
sebagi piranti perijinan yang disertai insentif dan disinsentif. Tujuan regulasi zona lebih
dimaksudkan agar pembanguanan sesuai dengan rencana tata ruang.
Penegasan adanya sanki bagi yang melakukan pelanggaran RTR, baik pelanggar maupun
pemberi ijin agar pengendalian efektif, maka ditegaskan pula kejelasan peran masyarakat
agar masyarakat berpartisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
1. Dasar pemanfaatan ruang ini adalah dokumen peraturan zoning detail yang
mengatur penggunaan lahan serta persyaratan teknis lainnya yang harus dipenuhi
untuk mengadakan pembangunan.
2. Sistem zoning berusaha memberikan panduan tertulis yang mengatur segala aspek
yang terjadi di masa mendatang dengan tujuan untuk memaksimalkan elemen
kepastian dari rencana, sehingga tidak perlu ditakutkan terjadinya ketidaksesuaian
pembangunan dengan rencana yang dapat menimbulkan persoalan baru
pembangunan.
3. Peraturan zoning tidak hanya mengatur pembangunan mengenai apa yang tidak
boleh di suatu area, tetapi juga secara tegas menyatakan dan menjadi dasar yang
sangat kuat untuk diadakannya pembangunan sesuai dengan rencana. Tahap
pemikiran mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dibangun, dibahas secara
mendetail jauh sebelum adanya pengajuan proposal pembangunan pada masa
penyusuan peraturan zoning.
4. Perubahan karena mekanisme pasar memungkinkan terjadinya perubahan
pemanfaatan lahan, dan dapat mendorong terjadinya re-zoning. Dalam sistem
regulatory diperbolehkan adanya peninjauan, bahkan amandemen terhadap
peraturan zoning yang telah disahkan dengan syarat proposal perubahan tersebut
diajukan mengikuti serangkaian prosedur yang berlaku.
5. Re-zoning hanya diberikan untuk kasus-kasus tertentu yang menyangkut
kesejahteraan banyak orang dan bukan hanya pemilik lahan.
6. Perubahan zoning merupakan perubahan dokumen hukum, sehingga berada pada
kewenangan badan legislatif. Oleh karena itu, keputusan re-zoning seringkali tidak
mempertimbangkan standar pembangunan yang berlaku, sehingga dapat mengarah
pada ketidakadilan.
7. Re-zoning merupakan suatu upaya yang dilakukan dalam sistem regulatory untuk
dapat mewujudkan pembangunan yang lebih fleksibel.
Berkaitan dengan dinamika penggunaan lahan dimana banyak ditemukan perubahan
pemanfaatan lahan khususnya pada kawasan perkotaan yang sedang tumbuh dengan
pesat, perumahan dan pertanian merupakan yang paling rentan terhadap perubahan
lahan menjadi bentuk yang lebih berfungsi ekonomis. Tahapan dan intensitas perubahan
yang perlu dicermati adalah:
1. Penetrasi, yaitu telah terjadi penerobosan fungsi-fungsi baru.
2. Invasi, yaitu telah terjadi serbuan fungsi-fungsi baru.
3. Dominasi, yaitu telah terjadi perubahan proporsi fungsi lahan ke dalam fungsi baru.
4. Suksesi, yaitu sudah terjadi penggantian sama sekali oleh fungsi baru.
E.5.4 Perangkat Zoning Regulation
Zoning ordinance/regulation dan prosedurnya merupakan salah satu faktor pengaturan
(regulatory factors) dalam pengendalian pembangunan selain the official city plat; land
value; property taxes; convenants; subdivision regulations; building, housing, and sanitary
codes; special site control, dan site plan control. Di beberapa negara, zoning dikenal
dalam berbagai istilah, seperti land development code, zoning code, zoning resolution,
urban code, planning act, dan lain sebagainya. Pada dasarnya semuanya mengatur
ketentuan-ketentuan teknis mengenai pembangunan kota. Ketentuan zoning seringkali
dianggap membuat rencana tata ruang menjadi rigid. Namun demikian, sebenarnya rigid
maupun fleksibelnya suatu rencana kota tidak tergantung dari ada atau tidaknya
peraturan, akan tetapi lebih ditentukan pada bagaimana kita membuat atau menyusun
aturan-aturannya.
Dasar penerapan zoning adalah kewenangan police power (kewenangan pemerintah
dalam membuat peraturan untuk melindungi kesehatan masyarakat, keselamatan dan
kesejahteraan umum); mengintervensi kehidupan private masyarakat bagi perlindungan
kesehatan masyarakat, keselamatan dan kesejahteraan; hak membangun masyarakat
dibatasi dengan ketentuan-ketentuan yang rasional, yang tidak mengandung niat buruk,
diskriminasi, tidak beralasan atau tidak pasti. Prinsip dasar zoning adalah sebagai berikut:
a. Wilayah kota dibagi menjadi beberapa kawasan/zona dengan luas yang tidak perlu
sama.
b. Setiap zona diatur penggunaannya, intensitas/kepadatannya, dan massa
bangunannya.
c. Penggunaan lahan/bangunan paling sedikit dibagi menjadi 4 kategori utama, yaitu
pertanian, perumahan, komersial, dan industri.
Prinsip penentuan kegiatan dapat dengan menetapkan kegiatan yang diperbolehkan atau
kegiatan yang dilarang. Kegiatan yang tidak disebutkan dalam daftar kegiatan yang boleh
artinya dilarang, sedangkan kegiatan yang tidak disebutkan dalam kegiatan yang dilarang
berarti diperbolehkan.
Dalam setiap kategori utama bisa terdapat satu atau lebih sub-kategori, yang
memungkinkan adanya penggunaan bentuk yang berbeda meskipun dengan penggunaan
lahan yang sama. Misalnya pada zona perumahan bisa terdapat sub-zona perumahan
tunggal, sub-zona perumahan deret, dan sebagainya.
Namun demikian, perlu ditetapkan sifat pada setiap kategori utama apakah akan bersifat
kumulatif ataukah bersifat eksklusif. Bersifat kumulatif artinya zona yang memiliki hirarki
“lebih rendah” (dampak terhadap lahan sekitarnya lebih kecil, seperti pertanian) dapat
masuk ke zona yang kedudukan hirarkinya “lebih tinggi” (misalnya industri). Sedangkan
bersifat eksklusif artinya tidak memperbolehkan adanya kegiatan lain di setiap kategori
selain yang telah ditetapkan.
Berhubung untuk mencapai keseragaman penggunaan lahan secara utuh yang
memerlukan pemindahan ke lokasi baru, maka perlu dipersiapkan:
• Ganti rugi
• Diperbolehkan tetap ada selama mengikuti aturan yang berlaku dimana kegiatan
yang tidak sesuai tersebut perlu dibatasi dengan cara melarang perluasan dan
pergantian fasilitas fisik.
Komponen yang diatur dalam zoning regulation antara lain :
1. Zona-zona dasar, sub-zona, jenis-jenis perpetakan (main land use), jenis-jenis
penggunaan (sub uses).
2. Penggunaan lahan dan bangunan (penggunaan utama, penggunaan pelengkap,
penggunaan sesuai pengecualian khusus).
3. Intensitas atau kepadatan (KDB, KLB, bangunan/ha).
4. Massa bangunan (tinggi, sempadan, luas minimum persil).
Di samping itu, terdapat ketentuan-ketentuan yang diatur secara terpisah, yang meliputi:
1. Pengaturan lebih lanjut mengenai penggunaan terbatas dan bersyarat.
2. Setback, kebun.
3. Pengaturan pedagang kaki lima.
4. Pengaturan mengenai fasilitas tunawisma, rumah jompo.
5. Pengaturan kawasan-kawasan khusus.
6. Off-street parking and loading.
7. Ukuran distrik, spot zoning dan floating zones.
8. Tata informasi, aksesoris bangunan, daya tampung rumah dan keindahan.
9. Hal-hal lain yang dianggap penting.
Zoning Regulation memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan zoning
diantaranya adalah adanya certainty (kepastian), predictability, legitimacy, accountability.
Sedangkan kekurangan zoning diantaranya adalah tidak dapat meramalkan keadaan di
masa depan secara rinci, sehingga banyak permintaan ReZoning.
Zoning regulation terdiri dari:
a. Zoning Text/Zoning Statement/Legal Text berisi aturan-aturan (regulation).
Menjelaskan tentang guna lahan dan kawasan, permitted and conditional uses,
minimum lot requirement, standar pengembangan administrasi pengembangan
zoning
b. Zoning Map berisi pembagian blok peruntukkan (zona). Menggambarkan peta guna
tata guna lahan dan lokasi tiap fungsi lahan dan kawasan
Materi penanggulangan dampak pembangunan pun dapat di atur dalam ketentuan
zoning, seperti:
1. Penanggulangan pencemaran lingkungan.
2. Development impact fees: merupakan pungutan yang dibebankan oleh pemerintah
kepada developer/pengelola kawasan sebagai prasyarat dikeluarkannya izin atau
Pembagian zona dengan pertimbangan batasan fisik sungai, lapis bangunan, rencana
jalan, gang, batas kapling, dan orientasi bangunan.