Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

AMM DAN KHASS

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an

Dosen Pengampu :

Abdul Qodir, M.Pd.I

Disusun Oleh:

Kelompok 8

Mizan Alhaq Alfaiz (231210133)

Faiz Azikro (231210124)

Khusairi (231210144)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SULTAN MAULANA HASANUDIN SERANG BANTEN

2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan Puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami. Shalawat beriring salam tidak lupa kami sampaikan kepada
Nabi besar Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur’an dan
sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Dengan hormat serta pertolongan-Nya, puji syukur pada akhirnya kami dapat
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Bapa Dosen Pembimbing Bapa Abdul Qodir,
M.Pd.I. dengan mata kuliah Ulumul Qur,an. Dalam isi makalah ini kami membahas tentang
“Amm dan Khass”.
Sekaligus pula kami menyampaikan rasa terimakasih yang sebanyak-banyaknya untuk
Bapa Abdul Qodir, M.Pd.I. selaku dosen mata kuliah Ulumul Qur’an yang telah
Menyerahkan kepercayaan kepada kami guna menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu.
Makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan karena keterbatasan
pengetahuan dan Pengalaman yang kami miliki. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
saran dan kritik dari semua pihak demi penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati kami memohon maaf kepada semua pihak
yang terkait dengan penulisan makalah ini apabila ada kesalahan, baik yang disengaja
maupun yang tidak disengaja, kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi semua
pihak. Aamiin Ya Rabbal Alamin

Serang, 24 Oktober 2023

Kelompok 8

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... 1
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 3
A. LATAR BELAKANG ............................................................................................ 3
B. RUMUSAN MASALAH ....................................................................................... 5
C. TUJUAN ................................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 6
A. PENGERTIAN TAUHID ....................................................................................... 6
B. PENGERTIAN SAINS............................................................................................ 6
C. HUBUNGAN ANTARA ILMU TAUHID DAN ILMU SAINS............................ 7
D. FENOMENA SAINS DALAM PANDANGAN ISLAM ...................................... 9
BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 12
A. KESIMPULAN ...................................................................................................... 12
B. SARAN ................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 13

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

B. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana pengertian Amm
B. Bagaimana pengertian khass
C. TUJUAN

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AMM
Sistem tasyri‘ (penetapan perundang-undangan) dan hukum agama
mempunyai sasaran tertentu, kepada siapa hukum itu ditujukan. Terkadang suatu
hukum perundang-undangan mengandung sejumlah karakteristik yang menjadikannya
bersifat umum dan meliputi setiap individu dan atau cocok bagi semua keadaan. Dan
terkadang pula Sasaran itu terbatas dan khusus. Maka diktum hukum kategori kedua
ini tetap bersifat umum namun kemudian diikuti diktum lain yang menjelaskan
keterbatasannya atau mempersempit cakupannya. Keindahan retorika bahasa Arab
dan kemampuannya dalam memvariasikan seruan serta menjelaskan sasaran dan
tujuan, merupakan salah satu manifestasi kekuatan bahasa tersebut dan kekayaan
khazanahnya. Apabila hal demikian dihubungkan dengan kalam Allah yang mukjizat,
maka pengaruhnya dalam jiwa merupakan tanda kemukjizatan tersendiri, yakni
kemukjizatan tasyri‘i di samping kemukjizatan dari segi bahasa. Pengertian ‘Amm
dan Sigat Umum ‘Amm adalah lafaz yang menghabiskan atau mencakup segala apa
yang pantas baginya tanpa ada pembatasan. Para ulama berbeda pendapat tentang
"makna umum”, apakah di dalam bahasa ia mempunyai sigat (bentuk lafaz) khusus
untuk menunjukkannya atau tidak? Sebagian besar ulama berpendapat, di dalam
bahasa terdapat sigat-sigat tertentu yang secara hakiki dibuat untuk menunjukkan
makna umum dan dipergunakan secara majaz pada selainnya. Untuk mendukung
pendapatnya ini mereka mengajukan sejumlah argumen dari dalil-dalil nassiyah,
ijma‘iyah dan ma‘nawiyah.

1. Di antara dalil-dalil nassiyah ialah firman Allah:


"Dan Nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkata: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya
anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan
Engkau adalah Hakim paling adil.’ Allah berfirman: 'Hai Nuh, sesungguhnya ia tidak
termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).’” (Hud [11]:45-46).

‫َو َنا ٰد ى ُنْو ٌح َّرَّبٗه َفَقا َل َر ِّب ِاَّن اْبِنْي ِم ْن َاْهِلْي َوِا َّن َو ْع َدَك اْلَح ـُّق َو َا ْنَت َاْح َك ُم اْلٰح ِكِم ْيَن‬

4
"Dan Nuh memohon kepada Tuhannya sambil berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya
anakku adalah termasuk keluargaku, dan janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah
hakim yang paling adil." (QS. Hud 11: Ayat 45).

‫َقا َل ٰي ـُنْو ُح ِاَّنٗه َلـْيَس ِم ْن َاْهِلَك ۚ  ِاَّنٗه َع َم ٌل َغْيُر َص ا ِلٍح َفاَل َتْسـَئــْلِن َم ا َلـْيَس َلـَك ِبٖه ِع ْلٌم ۗ  ِاِّنْۤي َاِع ُظَك َاْن َتُك ْو َن ِم َن‬
‫اْلٰج ِهِلْيَن‬
"Dia (Allah) berfirman, "Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk
keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik, sebab itu jangan engkau
memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Aku
menasihatimu agar (engkau) tidak termasuk orang yang bodoh.""(QS. Hud 11: Ayat
46)

Aspek yang dijadikan dalil dari ayat ini ialah bahwa Nuh menghadap kepada Allah
dengan permohonan tersebut karena ia berpegang pada firman-Nya: "Sesungguhnya
Kami akan menyelamatkan kamu dan keluargamu.” (al-‘Ankabut (29]:33).

‫َو َلَّم ۤا َاْن َج ٓاَء ْت ُرُس ُلـَنا ُلْو ًطا ِس ْٓي َء ِبِهْم َو َض ا َق ِبِه ْم َذ ْر ًعا َّو َقا ُلْو ا اَل َتَخْف َو اَل َتْح َزْن ۗ  ِاَّنا ُم َنُّج ْو َك َو َا ْهَلَك ِااَّل اْمَر َا‬
‫َتَك َك ا َنْت ِم َن اْلٰغ ِبِرْيَن‬

"Dan ketika para utusan Kami (para malaikat) datang kepada Luth, dia merasa
bersedih hati karena (kedatangan) mereka, dan (merasa) tidak mempunyai kekuatan
untuk melindungi mereka, dan mereka (para utusan) berkata, "Janganlah engkau takut
dan jangan (pula) bersedih hati. Sesungguhnya Kami akan menyelamatkanmu dan
pengikut-pengikutmu, kecuali istrimu, dia termasuk orang-orang yang tinggal
(dibinasakan)." (QS. Al-'Ankabut 29: Ayat 33)
Allah membenarkan apa yang dikatakan Nuh. Karena itu la menjawab dengan
pernyataan yang menunjukkan bahwa anaknya itu tidak termasuk keluarga.
Seandainya iddfah (penyandaran) kata "keluarga” kepada “Nuh” (keluargaku,
keluarga Nuh) tidak menunjukkan makna umum, maka jawaban Allah tersebut tidak
benar. Juga firman-Nya:
‫َو َلَّم ا َج ٓاَء ْت ُرُس ُلَنۤا ِاْبٰر ِهْيَم ِبا ْلُبْش ٰر ىۙ  َقا ُلـْۤو ا ِاَّنا ُم ْهِلُك ْۤو ا َاْهِل ٰه ِذِه اْلَقْر َيِةۚ  ِاَّن َاْهَلَها َك ا ُنْو ا ٰظ ِلِم ْيَن‬
‫َقا َل ِاَّن ِفْيَها ُلْو ًطاۗ  َقا ُلْو ا َنْح ُن َاْعَلُم ِبَم ْن ِفْيَهاۖ  َلـُنـَنِّج َيـَّنٗه َو َا ْهَلۤٗه ِااَّل اْمَر َا َتٗه َك ا َنْت ِم َن اْلٰغ ِبِر ْيَن‬
"Dan tatkala utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar
gembira, mereka mengatakan: ’Sesungguhnyag kami akan menghancurkan negeri

5
(Sodom) ini. Sungguh penduduknya adalah orang-orang zalim.’ Berkata Ibrahim:
'Sesungguhnya di kota itu ada Lut.’ Para malaikat itu berkata: ’Kami lebih
mengetahui siapa yang ada di kota itu. Kami sungguh akan menyelamatkan dia dan
keluarganya kecuali istrinya. la adalah termasuk orang-orang yang tertinggal
(dibinasakan).’” (al-‘Ankabut [29]:31-32).

Segi yang dijadikan dalil ialah bahwa Ibrahim memahami ucapan para
malaikat, ahlu hdzihilqgaryah (penduduk negeri ini), adalah umum, di mana ia
menyebutkan Lut. Para malaikat pun mengakui pemahaman demikian dan menjawab
bahwa mereka akan memperlakukan secara khusus Lut dan keluarganya, dengan
mengecualikannya dari golongan yang akan dihancurkan dan mengecualikan istri Lut
dari orang-orang yang diselamatkan. Ini semua menunjukkan makna umum.

2. Di antara dalil-dalil ijma‘iyah ialah ijma‘ (konsensus) sahabat bahwa firman Allah:
‫َالَّز ا ِنَيُة َو ا لَّز ا ِنْي َفا ْج ِلُد ْو ا ُك َّل َو ا ِحٍد ِّم ْنُهَم ا ِم اَئَة َج ْلَدٍةۖ  َّو اَل َتْأُخ ْذ ُك ْم ِبِهَم ا َر ْأَفٌة ِفْي ِد ْيِن ِهّٰللا ِاْن ُكْنُتْم ُتْؤ ِم ُنْو َن ِبا ِهّٰلل َو ا‬
‫ْلَيْو ِم اٰاْل ِخ ِرۚ  َو ْلَيْش َهْد َع َذ ا َبُهَم ا َطٓاِئَفٌة ِّم َن اْلُم ْؤ ِمِنْيَن‬
”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus kali dera.” (an-Nur [24]:2).
dan firman-Nya:

a) Kull, seperti firman Allah: (Ali ‘Imran [3]: 185) dan (al-An‘am (6]:102).
Searti dengan "kull” adalah jami‘.
b) Lafaz-lafaz yang di-ma‘rifah-kan dengan al yang bukan al ‘ahdiyah,
Misalnya: (al-"Asr [103]:1-2). Maksudnya, setiap manusia, berdasarkan ayat
selanjutnya: (al ‘Asr (103]:3). Juga seperti: (al-Bagarah [2}:275) dan (al-
Ma’idah (5]:38).
c) Isim nakirah dalam konteks nafy dan nahi, seperti: (al-Baqarah (2]:197), (al
Isra’ [17}:23). Atau dalam konteks syarat, seperti: (al-Bara’ah [9]:6).
d) Al-Lati ( ) dan al-lazi ( ) serta cabang-cabangnya. Misalnya: (al-Ahqaf
[46]:17).
Maksudnya, setiap orang yang mengatakan seperti itu, berdasarkan firman
sesudahnya dalam sigat jamak, yaitu: (al-Ahqaf [46]:18), (an-Nisa” [4]:16),
dan (at-Tala [65]:4).

6
e) Semua isim syarat. Misalnya: Ini untuk menunjukkan umum bagi semua yang
berakal. Dan (al-Baqarah [2]:197). Ini untuk menunjukkan umum bagi yang
tidak berakal. Juga firmanNya: (al-Baqarah [2]:150). Ini untuk menunjukkan
umum bagi tempat. Dan: (alIsra’ [17]:110).
f) Ismul-Jins (kata jenis) yang di-idafat-kan kepada isim ma‘rifah. Misalnya:
(an-Nur [24]:63). Maksudnya, segala perintah Allah. Dan: (an-Nisa’ [4]:11).

Macam-macam ‘Amm

Amm terbagi atas tiga macam:


1. ‘Amm yang tetap dalam keumumannya (al ‘Amm al-baqi ‘ald ‘umamih). Qadi
Jalaluddin al Balqini mengatakan, ‘Amin seperti ini jarang ditemukan, sebab tidak ada
satu pun lafaz ‘amm_ kecuali di dalamnya terdapat takhsis (pengkhususan). Tetapi
Zarkasyi dalam alBurhan mengemukakan, ‘Amm demikian banyak terdapat dalam
Qur'an. la mengajukan beberapa contoh, antara lain: (an-Nisa’ [4]:176), (al-Kahfi
[18]:49) dan (an-Nisa’ [4]:23). ‘Amm dalam ayat-ayat ini tidak mengandung
kekhususan.
2. ‘Amm yang dimaksud khusus (al-‘amm al-murad bihi al Khusus). Misalnya firman
Allah: (Ali ‘Imran [3]:173). Yang dimaksud dengan ”an-nas” yang pertama adalah
Nu‘aim bin Mas‘ud, sedang ”an-nas” kedua adalah Abu Sufyan. Kedua lafaz tersebut
tidak dimaksudkan untuk makna umum. Kesimpulan ini ditunjukkan lanjutan ayat
sesudahnya, sebab isyarah dengan Zalikum hanya menunjuk kepada satu orang
tertentu. Seandainya yang dimaksud adalah banyak, jamak, tentulah akan dikatakan
Demikian juga: (Ali ‘Imran [3]:39). Yang memanggil Maryam di sini adalah Jibril
sebagaimana terlihat dalam qira’ah Ibn Mas‘ud. Juga ayat: (alBaqarah [2]:199).
Sebab, yang dimaksud dengan "an-nas” adalah Ibrahim atau orang Arab selain
Quraisy.

3. ‘Amm yang dikhususkan (al-‘amm al-makhsas). ‘Amm macam ini banyak ditemukan
dalam Qur’an sebagaimana akan dikemukakan nanti. Di antaranya adalah: (al-
Bagarah [2]:187), dan (Ali ‘Imran [3]:97). Perbedaan antara al-‘Amm al-murdd bihil-
khustis dengan al‘Amm al-makhsiis Perbedaan antara al-‘dmm al-murdd bihil-khusus
dengan al-‘amm al-makhsiis dapat dilihat dari beberapa segi. Antara lain:

7
a) Yang pertama tidak dimaksudkan untuk mencakup semua satuan atau
individu yang dicakupnya sejak semula, baik dari segi cakupan makna lafaz
maupun dari hukumnya. Lafaz tersebut memang mempunyal individu-
individu namun ia digunakan hanya untuk satu atau lebih individu. Sedang
yang kedua dimaksudkan untuk menunjukkan makna umum, meliputi semua
individunya, dari segi cakupan makna lafaz, tidak dari segi hukumnya. Maka
lafaz ”annas” dalam firman Allah: , meskipun bermakna umum tetapi tidak
dimaksudkan, baik secara lafaz maupun secara hukum, kecuali hanya seorang
saja. Lain halnya dengan lafaz "an-nas” dalam ayat , maka ia adalah lafaz
umum yang dimaksudkan untuk mencakup satuan-satuan yang terjangkau
olehnya, meskipun kewajiban haji hanya meliputi orang yang mampu di
antara mereka secara khusus.
b) Yang pertama adalah majdz secara pasti, karena ia telah beralin dari makna
aslinya dan dipergunakan untuk sebagian satuan-satuannya saja. Sedang yang
kedua, menurut pendapat yang lebih sahih, adalah hakikat. Inilah pendapat
sebagian besar ulama Syafi‘l, mayoritas ulama Hanafi dan semua ulama
Hanbali. Pendapat ini dinukil pula oleh Imam Haramain dari semua Fuqaha’.
Menurut Abu Hamid al-Gazali, pendapat tersebut adalah pendapat mazhab
Syafi‘i dan murid-muridnya, dan dinilai sahih oleh as-Subki. Hal ini
dikarenakan Jangkauan lafaz kepada sebagian maknanya yang tersisa,
sesudah dikhususkan, sama dengan jangkauannya terhadap sebagian makna
tersebut tanpa pengkhususan. Oleh karena jangkauan Jafaz seperti ini bersifat
hakiki menurut konsensus ulama, maka jangkauan seperti itu pun hendaknya
dipandang hakiki pula.
c) Qarinah bagi yang pertama pada umumnya bersifat ‘aqliyah dan tidak pernah
terpisah, sedang qarinah bagi yang kedua bersifat lafziyah dan terkadang
terpisah.

B. Pengertian Khass dan Mukhassis


Khass adalah lawan kata ‘amm, karena ia tidak menghabiskan semua apa yang
pantas baginya tanpa pembatasan. Takhsis adalah mengeluarkan sebagian apa yang
dicakup lafaz ‘amm. Dan mukhassis (yang mengkhusiskan) adakalanya muttasil, yaitu

8
yang antara ‘amm dengan mukhassis tidak dipisah oleh sesuatu hal, dan adakalanya
munfasil, yaitu kebalikan dari muttasil.
Mukhassis muttasil ada lima macam:
a) Istisna’ (pengecualian), seperti firman Allah: (an-Nur (24]:4-5), dan (al-
Ma’idah [5]:33-34).
b) Sifat, misalnya: (an-Nisa’ [4]:23). Lafaz “al-lati dakhaltum bihinna” adalah
sifat bagi lafaz "nisa’ikum”. Maksudnya, anak perempuan istri yang telah
digauli itu haram dinikahi oleh suami, dan halal bila belum menggaulinya.
Dalam Sahihain diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Rasulullah melarang jual
beli kandungan binatang yang mengandung, jual beli yang biasa dilakukan
orang jahiliah. Biasanya seseorang membeli seekor unta sampai unta itu
melahirkan, kemudian anaknya itu beranak pula. (Redaksi hadis ini adalah
redaksi Bukhari). Dan hadis-hadis lainnya. Dan dari jenis riba (yang secara
umum diharamkan dalam ayat di atas - peny.) didispensasikanlah jual beli
‘ariyah, yakni menjual kurma basah yang masih di pohon dengan kurma
kering. Jual beli ini diperkenankan (mubah) oleh sunnah. "Dari Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah memberi keringanan untuk jual ‘ariyah dengan ukuran yang
sama jika kurang dari lima wasaq.”” (Muttafaq ‘alaih). Contoh ‘amm yang
ditakhsis oleh ijma‘ adalah ayat kewarisan, (an-Nisa’ [4]:11). Berdasarkan
ijma', budak tidak mendapat warisan karena sifat budak merupakan faktor
penghalang hak waris. Sedang yang ditakhsis oleh qiyas adalah ayat tentang
zina: (an-Nur [24]:2). Budak laki-laki ditakhsis (dikeluarkan dari ketentuan
umum ayat ini) karena diqiyaskan kepada budak perempuam yang
pentakhsisannya ditegaskan dalam ayat: (an-Nisa’ [4]:25).

Takhsis Sunnah dengan Qur’an


Terkadang ayat Qur’an mentakhsis, membatasi, keumuman sunnah. Para
ulama mengemukakan contoh dengan hadis riwayat Abu Wagid al-Laisi. Ia
menjelaskan: Nabi berkata: "Bagian apa saja yang dipotong dari hewan ternak hidup
maka ia adalah bangkai.” Hadis ini ditakhsis oleh ayat:
"Dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat
rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).” (an-Nahl
[16]:80).

9
Sah Berhujjah dengan ‘Amm Sesudah Ditakhsis terhadap Sisanya Para ulama
berbeda pendapat tentang sah-tidaknya berhujjah dengan lafaz ‘amm sesudah
ditakhsis, terhadap sisanya. Pendapat yang dipilih para ahli ilmu menyatakan, sah
berhujjah dengan ‘amm terhadap apa (makna yang termasuk dalam ruang lingkupnya)
yang di luar kategori yang dikhususkan. Mereka mengajukan argumentasi be. rupa
ijma‘ dan dalil ‘aqli.
1. Salah satu dalil ijma‘ ialah bahwa Fatimah r.a. menuntut ke. pada Abu Bakar
hak waris dari ayahnya berdasarkan keumuman (an-Nisa’ [4]:11). Makna ayat
inj telah ditakhsis dengan orang kafir dan orang yang membunuh. Namun
tidak seorang sahabat pun mengingkari keabsahan hujjah Fatimah, padahal apa
yang dilakukan Fatimah ini cukup jelas dan masyhur, karenanya hal demikian
dipandang sebagai ijma‘. Oleh karena itu dalam berhujah bagi
ketidakberolehnya Fatimah akan hak waris Aby Bakar beralih hujjah kepada
sabda Nabi s.a.w.: "Kami para nabi, tidak mewariskan. Apa yang kami
tinggalkan menjadi sedekah.”
2. Di antara dalil ‘aqli ialah bahwa lafaz ‘amm _ sebelum ditakhsis merupakan
hujjah bagi setiap satuan (makna yang tercakup dalam ruang lingkup)-nya
menurut ijma‘ ulama. Dan pada dasarnya, keadaan sebelum takhsis tetap
berlaku setelah ada takhsis, kecuali jika ada dalil yang menyatakan
kebalikannya. Dan dalam hal ini tidak ada dalil demikian. Kerena itu, ‘amm
sesudah ditakhsis tetap menjadi hujjah bagi sisanya. Cakupan Khitab Para
ulama berbeda pendapat tentang khitab (seruan) yang ditujukan secara khusus
kepada Nabi s.a.w., seperti: (al-Ahzab (33]:1) dan (al-Ma’idah [5]:41); apakah
khitab ini mencakup seluruh umat ataukah tidak?
1. Segolongan ulama berpendapat, mencakup seluruh umat karena Rasulullah adalah
panutan (qudwah) mereka.
2. Golongan lain berpendapat, tidak mencakup mereka, karena sigat-nya
menunjukkan kekhususannya bagi Rasulullah.
Di samping itu, mereka juga tidak sependapat mengenai khitab Allah dengan
"Ya ayyuhannas”, misalnya: (an-Nisa’ [4]:1);apakah ia mencakup Rasulullah atau
tidak? Menurut pendapat sahih, khitab tersebut mencakup Rasulullah juga mengingat
maknanya yang umum, meskipun khitab itu sendiri datang melalui lisannya untuk
disampaikan kepada orang lain (umat). Sementara itu ulama yang lain memberikan

10
garis pemisah; jika disertai kata "qul (katakanlah)” maka ia tidak mencakup Rasul,
karena secara lahir khitab tersebut untuk disampaikan.
Misalnya: (al-A‘raf [7]:158). Dan jika tidak disertai dengan "qul” maka ia mencakup
Rasulullah. Demikian juga terjadi silang pendapat tentang khitab yang ditujukan
kepada "manusia” atau kepada “orang-orang mukmin”. Misalnya: (al-Hujurat (49):
13) dan (al-Ma’idah [5]:90). Menurut pendapat terpilih, kitab jenis pertama mencakup
pula (di samping orang Mukmin) orang kafir, hamba sahaya dan perempuan, sedang
khitab jenis kedua hanya mencakup dua golongan terakhir di samping orang mukmin
laki-laki tentunya. Hal ini mengingat bahwa hukum (Islam itu dibebankan kepada
semua orang mukmin, sedang keluarnya hamba sahaya dari sebagian hukum seperti
kewajiban haji dan jihad disebabkan hal lain yang bersifat relatif, seperti kemiskinan
dan kesibukannya melayani majikan. Jika pada obyek khitab terkumpul laki-laki
(muzakkar) dan perempuan (mu’annas), maka pada biasanya khitab itu menggunakan
bentuk muzakkar. Dan kebanyakan khitab Allah dalam Qur’an memang dengan
bentuk lafaz muzakkar, namun demikian perempuan pun termasuk di dalamnya.
Selain itu, terkadang pula “perempuan” disebutkan secara khusus untuk maksud lebih
memperjelas dan terang, Namun hal ini tidak menghalangi masuknya perempuan
dalam cakupan lafaz umum yang pantas bagi mereka. Misalnya firman Allah: (an-
Nisa' (4):124)

11
BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN

B. SARAN

12
DAFTAR PUSTAKA

https://quran-id.com

13

Anda mungkin juga menyukai