Anda di halaman 1dari 3

Fenomena Kebakaran Hutan

Kalimantan dalam Kacamata Ekologi


Politik
oleh: Fitria Dewi Susanti (Junior Researcher di Sebijak Institute F.Kehutanan UGM) dan Sadam
Richwanudin (Asisten Peneliti PUKAT FH UGM)

https://sebijak.fkt.ugm.ac.id/2021/03/02/fenomena-kebakaran-hutan-kalimantan-dalam-
kacamata-ekologi-politik/#:~:text=Secara%20umum%2C%20penyebab%20langsung
%20kebakaran,yang%20lebih%20banyak%20dibandingkan%20metode

Fenomena kebakaran hutan di salah satu desa di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

Sumber foto: (Mardiana, 2020)

Mengutip data dari KLHK pada 2019, luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia adalah
94,1 juta ha atau 50,1% dari total daratan. Fakta ini seharusnya mendorong Pemerintah untuk
memiliki katup pengaman berupa hukum dan kebijakan yang memadai untuk mengantisipasi
kebakaran hutan di Indonesia sebab hutan memiliki andil besar dalam pemenuhan kebutuhan
subsisten bagi masyarakat lokal sekaligus memegang peranan penting menjaga kelestarian
ekosistem. Namun pada kenyataannya persoalan kebakaran hutan menjadi masalah yang
berulang tiap tahunnya. Kemenko Polhukam menyatakan bahwa pada awal 2021 saja terdapat
137 kejadian karhutla di 10 provinsi. Kejadian itu tersebar di berbagai wilayah di Indonesia
seperti 9 di Sumatera Utara, 29 di Riau, 52 di Kalimantan Barat, 12 di Kalimantan Tengah, 20 di
Sulawesi Tenggara, dan 1 di Papua (Kompas, 2021)[1]. Dari angka tersebut hampir 40 persen
kebakaran hutan dan lahan terjadi di Kalimantan, provinsi dengan salah satu luas hutan
terbesar di Indonesia, khususnya Kalimantan Tengah dengan luas hutan alam sejumlah 7,1 juta
hektare (ha). Berbagai pendekatan pun dilakukan untuk memahami fenomena ini, salah satu
yang dapat dilakukan adalah pendekatan masalah dengan teori ekologi politik.

Dalam konteks persoalan lingkungan, pada dasarnya konsep ekologi politik dapat memberikan
cara untuk melihat fenomena tidak hanya sebatas hal-hal terkait sektor lingkungan yang
menjadi penyebab langsung suatu persoalan, akan tetapi akar permasalahan utama dari luar
faktor-faktor ekologi yang turut andil dalam persoalan tersebut, baik dari tekanan politik
maupun ekonomi (Blaikie, 1985)[2]. Pendekatan ini menjadi penting sebab persoalan
lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi dimana
masalah itu muncul melibatkan aktor-aktor yang berkepentingan baik pada tingkat berbagai
level kepentingan (Satria, 2020)[3]. Blaikie (1985) dalam Forsyth (2003)[4] menjelaskan analisis
ekologi politik dapat dilihat dari beberapa ciri antara lain sebagai berikut: interpretasi
pemahaman penyebab suatu permasalahan dari aspek multiskala, baik tingkat lokal, regional
dan global; konstelasi politik formal dan informal di wilayah setempat, dan distribusi akses
serta penguasaan sumber daya. Dengan ciri tersebut, kacamata analisis ekologi politik
memberikan gambaran aspek-aspek sosial politik terhadap fenomena permasalahan
lingkungan, salah satunya dalam memahami fenomena kebakaran hutan.

Penggunaan teori ekologi politik dalam melihat fenomena kebakaran hutan Kalimantan
memberikan gambaran secara jelas mengenai penyebab langsung fenomena serta akar
permasalahan dari kebakaran hutan. Secara umum, penyebab langsung kebakaran hutan
Kalimantan terjadi karena pembakaran hutan secara sengaja oleh oknum perusahaan yang
memiliki izin konsesi (Yunianto,2020)[5]. Tindakan ini dilakukan karena dirasa sebagai jalan
pintas yang efektif, efisien dan tak memerlukan biaya yang lebih banyak dibandingkan metode
tanpa bakar (Putri, 2019)[6]. Pada level terbawah, hal ini diperparah dengan adanya oknum
masyarakat yang diiming-iming melakukan tindakan membakar dengan sengaja demi uang dari
oknum tertentu (Farisa, 2021[7].

Selain penyebab langsung, dari segi ekologi politik kebakaran hutan juga diakibatkan oleh
beberapa permasalahan. Pertama, problem regulasi yang mengatur permasalahan hutan.
Akses pembukaan lahan yang mudah dan tidak adanya batas maksimal kepemilikan luasan
lahan hutan oleh para pemodal yang memiliki kekuatan finansial yang besar membuat para
pemodal dengan leluasa membuka lahan demi kepentingan bisnis. Sampai kini belum ada
peraturan perundang-undangan yang mengatur batas maksimum penguasaan hak atas tanah
oleh badan hukum meski sudah diamanatkan oleh UUPA sejak 1960 (Sumardjono, 2021)
[8]. Kedua, terdapat tuntutan pasar dunia terhadap permintaan komoditas unggulan, salah
satunya adalah sawit. Tingginya permintaan terhadap sawit membuat tindakan pembukaan
lahan hutan untuk perkebunan sawit menjadi sangat besar. Terhitung sejak 2016-2020 areal
kebun sawit di Indonesia terus meningkat hingga angka 14 ribu juta hektar (Kementan,2020)[9].
Pembukaan kebun sawit secara besar juga merupakan masalah multidimensi tersendiri karena
melibatkan investor yang belum tentu memiliki perhatian terhadap dampak lingkungan,
pemangku kebijakan yang permisif, dan keadaan ekkonomi masyarakat yang membutuhkan
pencaharian. Disamping itu, pengawasan oleh aparat pemerintah baik di tingkat lokal dan
pusat terhadap tindakan pembukaan lahan hutan sangat lemah, hal ini berakibat pada tidak
jeranya para pelaku pembakaran hutan. Hingga hari ini penegakan hukum terhadap para
pelaku pembakaran hutan juga hanya menyentuh masyarakat di bawah tanpa menyentuh
aktor kuat di balik pembakaran hutan.

Dengan pemahaman melalui kacamata ekologi politik, kita dapat memahami bahwa persoalan
kebakaran hutan diakibatkan oleh faktor penyebab secara langsung dan faktor tidak langsung
yang menjadi akar permasalahan kebakaran hutan. Kacamata ekologi politik berkaitan erat
dengan pemangku kebijakan yang dapat mengendalikan faktor ekonomi dan politik di
masyarakat melalui berbagai kewenangan yang dimilikinya. Pemahaman ini menuntut
pemangku kebijakan untuk memiliki political will untuk dapat mengurai persoalan tersebut
sehingga dapat membentuk regulasi pengaman dan sistem yang canggih (resolvable) seperti
penataan peraturan perundang-undangan di sektor industri yang berkaitan dengan kehutanan
dan regulasi kehutanan itu sendiri serta membatasi kepemilikan hutan oleh suatu badan
hukum. Hal ini penting dilakukan untuk melindungi kondisi hutan di Kalimantan saat ini,
sekaligus mencegah kebakaran hutan terulang pada masa-masa selanjutnya.

Sumber:
[1] Kontributor. “Sinyal Kuat Potensi Kahutla”. 2021. Kompas. 23 Februari 2021.

[2] Blaikie, Piers M. 1985. The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries (Longman:
London).

[3] Satria, A. (2020). “Modernisasi Ekologi dan Ekologi Politik: Perspektif Baru Analisis Tata Kelola
Sumberdaya Alam”. Diakses dari https://icmi.or.id/opini-dan-tokoh/opini/modernisasi-ekologi-
dan-ekologi-politik-perspektif-baru-analisis-tata-kelola-sumberdaya-alam (1 Maret 2021)

[4] Forsyth, Tim.2003.Critical Political Ecology, The Politics of Environment. (Routledge: London and
New York).

[5] Yunianto, T.K.(2020). “157 Perusahaan di Kalbar Dikenakan Sanksi Terkait Pembakaran Hutan”.
Diakses dari

https://katadata.co.id/ekarina/berita/5f350c975dd06/157-perusahaan-di-kalbar-dikenakan-
sanksi-terkait-pembakaran-hutan (23 Februari 2021).

[6] Putri, A.W. (2019). “Pembakaran Hutan: Elite yang Untung, Peladang yang Disalahkan”

https://tirto.id/pembakaran-hutan-elite-yang-untung-peladang-yang-disalahkan-eikd

[7] Farisa, F.C. (2021). “Jokowi Sebut Kebakaran Hutan Disebabkan Ulah Korporasi dan Masyarakat”.
Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2021/02/22/16222471/jokowi-sebut-kebakaran-
hutan-disebabkan-ulah-korporasi-dan-masyarakat(23 Februari 2021).

[8] Sumardjono, Maria. 2021. “Konflik Agraria Tak Kunjung Usai”. Kompas. 23 Februari 2021

[9] Kementerian Pertanian.2020.”Data dan Fakta Sawit Indonesia: Luas, Sebaran dan
Tantangannya”. (24 Juni 2020) diakses dari https://auriga.or.id/

Anda mungkin juga menyukai