Anda di halaman 1dari 18

Teori Belajar Behavioristik Burrhusm Frederic Skinner (1904-

1990) dan Hal-Hal Mencakup Raudhatul Athfal


Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas UTS
mata kuliah Teori Pembelajaran AUD
Dosen Pengampu : Dr. Aam Kurnia, M.Pd

Disusun oleh :
Alfylda Febrianisany
12121000004

JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNANG GUNUNG DJATI BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya, kami berhasil menyelesaikan makalah dengan judul "Peran
Guru dalam Implementasi Bimbingan Konseling untuk Anak dengan Kesulitan Pendengaran
(AUD)" ini. Kami juga senantiasa mendoakan agar rahmat serta salam selalu tercurah kepada
junjungan kita, Nabi Muhammad SAW.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah "Teori Pembelajaran
Anak Usia Dini" dengan harapan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan yang berguna
kepada pembaca sekaligus bagi kami sebagai penulis.

Kami ingin menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Aam Kurnia, M.Pd selaku
dosen yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Semoga ilmu yang kami peroleh melalui
penulisan makalah ini dapat memberikan manfaat dan wawasan yang lebih luas kepada semua
pembaca. Dengan demikian, kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat sebagai
tambahan pengetahuan bagi semua yang membacanya.

Bandung, 22 Oktober 2023

Alfylda Febrianisany

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................................


B. Rumusan Masalah .............................................................................................
C. Tujuan ...............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................

A. M .......................................................................................................................
B. M .......................................................................................................................
C. M .......................................................................................................................
BAB III PENUTUP ...............................................................................................
A. Simpulan ...........................................................................................................
B. Saran .................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam UU Sisdiknas Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa pendidikan anak usia dini adalah
suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam
tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam
memasuki pendidikan lebih lanjut.
Salah satu bentuk pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal adalah
Raudlatul Athfal (RA). Raudhatul Athfal merupakan salah satu bentuk pendidikan
prasekolah yang turut membantu anak didik untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.Sebagai lembaga pendidikan prasekolah, Raudhatul Athfal dapat
diibaratkan suatu jembatan pengembangan diri untuk melangkah ke pendidikan formal
selanjutnya. Salah satu tujuan dari pendidikan Raudhatul Athfal adalah membantu anak
didik mengembangkan berbagai potensi baik psikis dan fisik yang meliputi moral dan nilai-
nilai agama, sosial, emosional, kognitif, bahasa, fisik atau motorik, kemandirian dan seni
untuk siap memasuki pendidikan dasar.
Berbicara tentang belajar dan pembelajaran, tentunya hal ini merupakan bagian yang
tidak bisa dipisahkan dari proses pendidikan, meskipun memang pendidikan bukan sebatas
hanya penerapan teori belajar dan pembelajaran di kelas. Namun, yang perlu dipertegas di
sini adalah bahwa belajar merupakan proses yang sangat penting dalam pendidikan. bahkan
tidak jarang keberhasilan dari pendidikan itu sendiri ditentukan oleh keberhasilan proses
belajar mengajar ini.
Belajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan dan
bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit. Belajar terdiri dari
kegiatan psikhis dan fisis yang saling bekerjasama dan komprehensif integral. Hakikat
belajar bertitik tolak dari suatu konsep bahwa belajar merupakan perubahan perbuatan
melalui aktivitas, praktik dan pengalaman (Hamalik, 2009: 55). Para ahli psikologi pada
umumnya memandang belajar sebagai kelakuan yang berubah. Gagasan tentang belajar
menyangkut perubahan ini tentunya membutuhkan waktu dan tempat. Perhatian utama
dalam belajar adalah perilaku verbal dari manusia, yaitu kemampuan manusia untuk
menangkap

1
Salah satu faktor yang mendasari perlunya perubahan praktek pembelajaran di kelas
yang masih sangat tradisional adalah faktor psikologis yang di tandai dengan munculnya
teori belajar yang dikenal dengan behavioristik. Teori belajar behavioristik menjelaskan
belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret.
Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku
reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah
lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab
belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap
stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-R
(stimulus-Respon). Teori Behavioristik mementingkan faktor lingkungan, menekankan
pada faktor bagian, menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan
metode obyektif, sifatnya mekanis dan mementingkan masa lalu.
“Gage dan Berliner menyatakan bahwa menurut teori behavioristik belajar adalah
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman” (Maziatul, 2009). Pada intinya,
teori behavioristik menekankan pada pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal
penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar. Seorang siswa dianggap telah belajar sesuatu jika siswa yang bersangkutan dapat
menunjukkan perubahan pada tingkah lakunya. Menurut teori ini kegiatan belajar yang
penting adalah input yang berupa stimulus atau apa saja yang diberikan guru kepada siswa
dan output yang berupa respon atau reaksi/tanggapan siswa terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru tersebut.
Teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran di aplikasikan dari beberapa hal
seperti tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas
pembelajaran yang ada di sekolah-sekolah pada umumnya. Pembelajaran yang berpedoman
pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, tidak
berubah. Pengetahuan telah tersusun dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang
belajar atau siswa. “Siswa di harapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap
pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang di pahami oleh pengajar atau guru itulah
yang harus di pahami oleh murid” (Degeng, 2006).
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang mencakup ke dalam Raudhatul Athfal
2. Apa yang dimaksud dengan Teori Belajar Behavioristik
3. Apa pendapat Behavioristik Menurut Burrhusm Frederic Skinner (1904-1990)
2
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa saja yang mencakup ke dalam Raudhatul Athfal
2. Untuk mengetahui apa itu teori Belajar Behavioristik
3. Untuk mengetahui Teori Belajar Behavioristik menurut Burrhusm Frederic Skinner
(1904-1990)

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hal – Hal Mencakup Raudhatul Athfal
Raudhatul Athfal berasal dari kata raudhahyang berarti taman dan athfal yang berarti
anak-anak. Secara bahasa Raudhatul Athfalberarti taman kanak-kanak. Sebagaimana telah
disinggung di atas, Muhammadiyah cenderung menggunakan kata “Bustanul Athfal” untuk
lembaga yang bermakna sama dengan Raudhatul Athfal. Raudhatul Athfal merupakan salah
satu lembaga pendidikan prasekolah (Masganti, 2016).
Raudhatul Athfal adalah bagian dari layanan pendidikan anak usia dini untuk usia 4
sampai dengan 6 tahun Raudhatul Athfal yang selanjutnya disingkat RA adalah satuan
pendidikan anak usia dini formal di bawah pembinaan kementerian agama republik
Indonesia RA dalam penyelenggaraannya dapat berupa Raudhatul Athfal, Bustanul Athfal
ba dan Tarbiyatul Athfal penamaan tersebut disesuaikan dengan karakteristik nomenklatur
lembaga pendidikan usia dini dari setiap organisasi keagamaan penyelenggara pendidikan
usia dini (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2018)
Ra sebagai satuan pendidikan anak usia dini berbasis Islam di bawah pembinaan
kementerian agama harus memiliki perbedaan dengan pendidikan anak usia dini secara
umum RA menitikberatkan pada aspek perkembangan anak transformasi dan internalisasi
nilai-nilai spiritual keislaman standar mutu RA terletak pada nilai-nilai keagamaan yang
melekat pada seluruh komponen RA antara lain pada pendidikan tenaga kependidikan
orang tua maupun lingkungan yang kondusif memperhatikan urgensi keberadaan RA pada
pembentukan karakter perkembangan anak maka satuan pendidikan RA perlu berkembang
dengan baik untuk itu RA tidak hanya sebagai lembaga pendidikan usia dini tapi juga
sebagai embrio pendidikan moral generasi muda dan pengenalan nilai Islam pada
anak sejak usia dini (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2018).
Prinsip Kurikulum RA
Berikut prinsip – prinsip kurikulum raudhatul athfal menurut Kementrian Agama Republik
Indonesia, (2018)
1. Pembentukan sikap spiritual dan sosial anak
Pengembangan kurikulum berpegang pada pembentukan sikap spiritual dan sosial yaitu
perilaku yang mencerminkan sikap beriman dan bertakwa, hidup sehat, rasa ingin tahu,
berpikir dan bersikap kreatif, percaya diri, disiplin, mandiri, peduli, mampu bekerja
sama, mampu menyesuaikan diri, santun dalam berinteraksi dengan keluarga, teman,
dan guru di lingkungan rumah, tempat bermain, dan satuan RA.
4
2. Mempertimbangkan fitrah, tahapan tumbuh kembang anak, potensi, bakat, minat, dan
karakteristik anak Pengembangan kurikulum RA mempertimbangkan fitrah anak yang
terdiri dari :
a. fitrah keimanan (nilai agama dan moral)
b. fitrah jasmani (fisik motorik)
c. fitrah belajar dan bernalar (kognitif)
d. fitrah berkomunikasi (bahasa)
e. fitrah seksualitas dan individualitas (nilai sosial emosional) ; dan
f. fitrah estetika (seni).

Selain itu, sesuai dengan konsep Developmentally Appropriate Practice (DAP),


pengembangan kurikulum RA berdasarkan :

a. pemenuhan kebutuhan pertumbuhan dan pert anak


b. tingkat usia anak (age appropriateness)
c. keunikan, potensi, minat, bakat, dan karakteristik anak sebagai kekhasan
perkembangan individu anak (individual appropriateness); dan
d. membangun pembelajaran yang bermakna berlandaskan pada konteks lingkungan
sosial budaya anak
3. Holistik - Integratif
Pengembangan kurikulum RA memiliki prinsip holistik yaitu memerhatikan
keseluruhan ranah perkembangan anak sesuai Kompetensi Dasar Panduan Kurikulum
2013 Pendidikan Anak Usia Dini.
Pengembangan kurikulum RA juga memiliki prinsip integratif yaitu segala upaya yang
dilakukan dalam pengembangan kurikulum RA menggunakan langkah terpadu, baik
pada upaya pemenuhan layanan pedagogis, kesehatan, gizi, bereksplorasi maupun
layanan perlindungan dari kekerasan fisik dan psikologis. Layanan pedagogis berfokus
pada stimulasi perkembangan anak terutama pada stimulasi perkembangan kognitif,
psik notorik, dan sosial - emosional. Layanan kesehatan dan gizi difokuskan pada upaya
membantu pertumbuhan anak dan kemampuan bereksplorasi. Layanan perlindungan
dilakukan dengan cara dukungan kondisi dan lingkungan yang nyaman (safety) serta
aman (security), atau terbebas dari kecemasan, tekanan, dan rasa takut sehingga tumbuh
kembang anak lebih optimal.

5
4. Proses belajar dilaksanakan melalui bermain
Pengembangan kurikulum RA berprinsip pada pemberian kesempatan belajar kepada
anak untuk membangun pengalamannya dalam proses transmisi, transaksi, dan
transformasi pengetahuan, keterampilan, nilai - nilai, dan akhlak di bawah bimbingan
pendidik. Proses penerapan Kurikulum RA bersifat aktif bermain yaitu anak terlibat
langsung dalam kegiatan permainan yang menyenangkan dan menggunakan ide ide
baru yang diperoleh dari pengalaman belajar mengambil keputusan dan memecahkan
masalah sederhana.
5. Mempertimbangkan hak anak yang berkebutuhan khusus
Pengembangan kurikulum RA bersifat inklusif inklusif dengan mengakomodir
kebutuhan dan perbedaan anak baik dari aspek jenis kelamin, sosial, budaya, agama,
fisik, maupun psikis. Dengan demikian semua anak dapat terfasilitasi sesuai dengan
fitrah dan potensi masing - masing tanpa ada diskriminasi aspek apapun. Pendidikan
inklusi merupakan respon dari kebutuhan belajar yang luas agar terdapat kesetaraan
dalam pemerolehan pendidikan yang berkualitas
6. Perkembangan anak berkesinambungan atau kontinum dari usia lahir hingga 6 tahun
Pengembangan kurikulum RA memerhatikan kesinambungan secara vertikal (antara
tujuan pendidikan nasional, tujuan lembaga, tujuan pembelajaran) dan kesinambungan
horizontal yaitu kesinambungan tahap perkembangan anak dari bayi, batita, balita, dan
prasekolah. Prinsip ini menekankan bahwa tahap pertumbuhan dan perkembangan anak
diperhatikan dalam mencapai tujuan pendidikan baik secara umum maupun khusus.
7. Memerhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Pengembangan kurikulum RA mengadopsi dan memanfaatkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dalam kegiatan pembelajaran, ilmu pengetahuan dan
teknologi selalu diselaraskan dengan nilai - nilai agama Islam, tahapan perkembangan
anak, nilai moral yang ingin dibangun serta kearifan lokal Indonesia. Ilmu pengetahuan
dan teknologi menjadi rangkaian media sekaligus konten yang mewarnai pendidikan
anak usia dini di RA.
8. Memperhatikan Sosial Budaya
Pengembangan kurikulum RA memasukkan lingkungan fisik dan budaya ke dalam
proses pembelajaran untuk membangun kesesuaian antara pengalaman yang sudah
dimiliki anak dengan pengalaman baru untuk membentuk konsep baru tentang
lingkungan dan norma - norma komunitas di dalamnya. Lingkungan sosial dan budaya

6
berperan tidak sebagai obyek dalam kurikulum tetapi sebagai sumber
pembelajaran bagi anak RA.
Karakteristik Kurikulum RA
1. Berlandaskan nilai – nilai Islami
2. Memperhatikan pada aspek perkembangan anak
3. Memperhatikan nilai dasar hidup berbangsa dan bernegara Indonesia
4. Membangun akidah dan akhlakul karimah
5. Memunculkan kekhasan lembanga (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2018).

B. Teori Belajar Behavioristik


Menurut pendekatan behavioristik, belajar dipahami sebagai proses perubahan
tingkah laku teramati yang relatif berlangsung lama sebagai hasil dari pengalaman dengan
lingkungan. Pendekatan behavioristik berkembang melalui eksperimeneksperimen, baik
pada manusia maupun pada hewan (Kusmintardjo, 2011). Terdapat empat prinsip filosofis
utama dalam pengembangan teori ini yaitu : Manusia adalah binatang yang sangat
berkembang dan manusia belajar dengan cara yang sama seperti yang telah dilakukan
binatang lainnya; pendidikan adalah proses perubahan perilaku; peran guru adalah
menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif; efisiensi, ekonomi, ketepatan dan
obyektivitas merupakan perhatian utama dalam pendidikan.
Belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang
relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan
proses tingkah laku yang timbul akibat proses kematangan fisik, keadaan mabuk, lelah, dan
jenuh tidak dapat dipandang sebagai proses belajar (Muhibbin, 2003). Belajar merupakan
akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2003). Seseorang dianggap
telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini
dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa
respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon
berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Dapat diamati adalah stimulus dan respon. Oleh
karena itu, apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa
(respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan
tingkah laku tersebut. Dalam proses pembelajaran input ini bisa berupa alat peraga,
7
gambargambar, atau cara-cara tertentu untuk membantu proses belajar (Budiningsih, n.d.).
Teori belajar Behavioristik memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi
respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku
mereka.
Menurut teori behavioristik, adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya
interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk
perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan
cara yang baru sebagai hasil interaksi stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah
belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah laku. Sebagai contoh, anak
belum dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat, dan gurunya sudah
mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat mempraktekkan
perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia belum dapat menunjukan
perubahan perilaku sebagai hasil belajar. Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan
atau Input yang berupa stimulus dan keluaran atau Output yang berupa respon. Dalam
contoh di atas, stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, misalnya daftar
perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu, untuk membantu belajar
siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Menurut teori behavioristik, apa
yang terjadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak
dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon.
oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus) dan apa yang dihasilkan siswa
(respon), semuanya harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran,
sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya
perubahan tingkah laku (Anam & Dwiyogo, 2019).
C. Teori Belajar Behavioristik Menurut Burrhusm Frederic Skinner (1904-1990)
Burrhus Frederic Skinner atau lebih dikenal dengan B.F. Skinner adalah salah satu tokoh
yang concern terhadap pendidikan anak. Skinner merupakan tokoh dibidang psikologi yang
pada awalnya mendalami analisis eksperimental atas tingkah laku yang ia tempuh di
Universitas Harvard. Skinner melakukan penyelidikan terutama pada organisme
infrahuman, biasanya tikus atau merpati. (Baharuddin & Wahyuni, 2015) Ia juga dikenal
sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa
perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning.(Sugihartono et al., 2007)
Gagasan pemikiran Skinner mulai fokus pada pendidikan anak, diawali ketika ia membuat
karya yang fenomenal berjudul “Walden Two”. “Walden Two” adalah sebuah novel karya
Skinner, “Walden Two” sendiri adalah nama sebuah komunitas fiktif di Amerika, yang
8
mewakili “masyarakat baru” yang lebih ketimbang masyarakat sekarang, Frazier adalah
pendiri dan tokoh utama dalam Walden Two tersebut. Klik atau ketuk di sini untuk
memasukkan teks.
Garis besar dari Walden Two sendiri adalah cara untuk memperbaiki hakikat manusia dan
masyarakat manusia ialah melakukan kontrol terhadap hal-hal yang mempengaruhi
perkembangan anak, sehingga anak menjadi suatu pribadi seperti yang diinginkan oleh
pendidik. Oleh karena itu, Wolden Two disebut suatu utopia, suatu gambaran mengenai
masyarakat yang direncanakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Anak dalam Wolden
Two tidak dibiarkan berkembang sendiri sesuai dengan hakikatnya. Mereka harus belajar
dan berkembang secara keseluruhan agar struktur kepribadiannya berkembang berdasarkan
prinsip-prinsip ilmiah (Ahmad Minan Zuhri, 2020).
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para
tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih
komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui
interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku,
tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Menurutnya respon
yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan
akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang
dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensikonsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin,
2000). Oleh karena itu, dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus
memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep
yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon
tersebut. Skinner juga mengmukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan
mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya
masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Prinsip-prinsip utama pandangan Skinner:
• Descriptive behaviorism, pendekatan eksperimental yang sistematis pada perilaku
yang spesifik untuk mendapatkan hubungan S-R. Pendekatannya induktif. Dalam hal
ini pengaruh Watson jelas terlihat.
• Empty organism, menolak adanya proses internal pada individu.

9
• Menolak menggunakan metode statistikal, mendasarkan pengetahuannya pada subyek
tunggal atau subyek yang sedikit namun dengan manipulasi eksperimental yang
terkontrol dan sistematis.
Konsep-konsep utama:
1. Proses operant conditioning:
• Memilah perilaku menjadi respondent behavior dan operant behavior. Respondent
terjadi pada kondisioning klasik, dimana reinforcement mendahului UCR/CR.
Dalam kondisi sehari-hari yang lebih sering terjadi adalah operant behavior dimana
reinforcement terjadi setelah respons.
• Positive dan negative reinforcers (kehadirannya PR menguatkan perilaku yang
muncul, sedangkan justru ketidakhadiran NR yang akan menguatkan perilaku).
• Extinction: hilangnya perilaku akibat dari dihilangkannya reinforcers
• Schedules of reinforcement, berbagai variasi dalam penjadwalan pemberian
reinforcement dapat meningkatkan perilaku namun dalam kadar peningkatan dan
intensitas yang berbeda-beda (Lundin, 1985)
• Discrimination : organisma dapat diajarkan untuk berespon hanya pada suatu
stimulus dan tidak pada stimulus lainnya.
• Secondary reinforcement, adalah stimulus yang sudah melalui proses
pemasangan/kondisioning dengan reinforcer asli sehingga akhirnya bisa
mendapatkan efek reinforcement sendiri.
• Aversive conditioning, proses kondisioning dengan melibatkan suasana tidak
menyenangkan. Hal ini dilakukan dengan punishment. Reaksi organisme adalah
escape atau avoidance.
2. Behavior Modification Adalah penerapan dari teori Skinner, sering juga disebut sebagai
behavior therapy. Merupakan penerapan dari shaping (pembentukan TL bertahap),
penggunaan positive reinforcement secara selektif, dan extinction. Pendekatan ini
banyak diterapkan untuk mengatasi gangguan perilaku. Kritik terhadap Skinner:
• Pendekatannya yang lebih bersifat deskriptif dan kurang analitis dianggap kurang
valid sebagai sebuah teori
• Validitas dari kesimpulan yang diambilnya yang merupakan generalisasi berlebihan
dari satu konteks perilaku kepada hampir seluruh perilaku umum

10
• Pandangan ‘empty organism’ mengundang kritik dari pendukung aspek biologis
dan psikologi kognitif yang percaya pada kondisi internal mansuia, entah itu berupa
proses biologis atau proses mental

Manajemen kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku
(behavior modification) antara lain dengan proses penguatan (reinforcement) yaitu
memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun
pada perilaku yang tidak tepat. Operant Conditioning atau pengkondisian operan adalah
suatu proses penguatan perilaku operan (penguatan positif atau negatif) yang dapat
mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan
keinginan (Asfar et al., 2019)

Perilaku operan adalah perilaku yang dipancarkan secara spontan dan bebas Skinner
membuat eksperiment sebagai berikut: dalam laboratorium. Skinner memasukkan tikus
yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut ”Skinner box” yang sudah dilengkapi
dengan berbagai peralatan, yaitu tombol, alat pembeli makanan, penampung makanan,
lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik. Karena dorongan
lapar (hunger drive), tikus berusaha keluar untuk mencari makanan. Selama tikus bergerak
kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar.
Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang
ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shaping (Asfar et al., 2019).

Unsur terpenting adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang


terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner
membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negatif.
Penguatan positif sebagai stimulus, dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah
laku itu sedangkan penguatan negatif dapat mengakibatkan perilaku berkurang atau
menghilang (Asfar et al., 2019).

Beberapa prinsip belajar Skinner antara lain (Kusmintardjo, 2011):

a. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar
diberi penguat.
b. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
c. Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
d. Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.

11
e. Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Untuk ini lingkungan perlu
diubah, untuk menghindari adanya hukuman.
f. Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan
dengan digunakannya jadwal variable rasio reinforcer.
g. Dalam pembelajaran, digunakan shaping. Beberapa kekeliruan dalam penerapan teori,
Skinner adalah penggunaan hukuman sebagai salah satu cara untuk mendiskripsikan
siswa menurut Skinner hukuman yang baik adalah anak merasakan sendiri
konsekuensi dari perbuatannya misalnya anak perlu mengalami sendiri kesalahan dan
merasakan akibat dari kesalahan. Penggunaan hukuman verba maupun fisik seperti :
kata-kata kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru berakibat buruk pada siswa.

Skinner setuju dengan rewad atau dalam bahasanya reinforcement, namun Skinner
berbeda dengan pendukung behavioristik lainnya, ia tidak setuju dengan hukuman, Skinner
lebih percaya dengan apa yang disebutnya dengan penguat negatif. Penguat negatif tidak sama
dengan hukuman. Ketidaksamaanya terletak bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus)
agar respon akan muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif
(sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Hukuman
terkadang menghalangi perilaku positif dari objek yang mendapat hukuman (Seifert, 2010).

Sebagaimana yang diungkapkan oleh C. Asri Budiningsih, ada beberapa alasan mengapa
Skinner tidak setuju dengan hukuman:

a. Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku bersifat sangat sementara.


b. Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si
terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
c. Hukuman mendorong si terhukum mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia
terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum
melakukan hal-hal lain yang kadang kala lebih buruk dari pada kesalahan yang
diperbuatnya (Budiningsih, 2005: 26) (Budiningsih, n.d.).
Menurut Skinner hukuman yang baik (operant negative) adalah anak merasakan sendiri
konsekuensi dari perbuatannya, misalnya anak perlu mengalami sendiri kesalahan dan
merasakan akibat dari kesalahan. Penggunaan hukuman verbal maupun fisik seperti: kata-kata
kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru akan berakibat buruk bagi siswa (Sugihartono dkk.,2007:
99) Satu hal yang perlu dicatat mengenai penguat, yang positif maupun yang negatif,
bahwasanya keduanya bisa dikondisikan (Hill, 2011).

12
Jadi bisa dikatakan dalam teori Skinner ini bahwasanya hal terpenting dalam belajar adalah
penguatan, pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus dengan respon akan semakin
kuat apabila diberi penguatan, Baik penguatan positif maupun negatif, dimana penguatan
positif dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu sedangkan penguatan
negatif dapat mengakibatkan perilaku berkurang atau menghilang .
Kelebihan dari teori yang diajukan oleh Skinner ini adalah pendidik diarahkan untuk
menghargai setiap anak didiknya. hal ini ditunjukkan dengan dihilangkannya sistem hukuman.
Hal itu didukung dengan adanya pembentukan lingkungan yang baik. Adapun kelemahan teori
skinner ini adalah: Pertama, proses belajar itu dipandang dapat diamati secara langsung,
padahal belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali
sebagian gejalanya. Kedua, proses belajar ini dipandang bersifat otomatis-mekanis, sehingga
terkesan seperti mesin dan robot. Padahal setiap siswa memiliki selfregulation (kemampuan
mengatur diri sendiri) dan self control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif, dan karenanya
ia bisa menolak merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan
dengan kata hati. Ketiga, proses belajar manusia dianalogikan dengan prilaku hewan itu sangat
sulit diterima, mengingat amat mencoloknya perbedaan antara karakter fisik dan psikis
manusia dengan karakter fisik dan psikis hewan.

13
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Raudhatul Athfal adalah lembaga pendidikan prasekolah yang berfokus pada pendidikan
anak usia 4 hingga 6 tahun dengan orientasi Islam. Prinsip-prinsip kurikulum Raudhatul
Athfal meliputi pembentukan sikap spiritual dan sosial anak, pertimbangan fitrah, tahapan
tumbuh kembang anak, holistik-integratif, proses belajar melalui bermain,
mempertimbangkan anak yang berkebutuhan khusus, perkembangan anak yang
berkesinambungan, dan perhatian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta aspek sosial budaya.
Teori Belajar Behavioristik menganggap belajar sebagai proses perubahan tingkah laku
yang dapat diamati sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan. Teori ini berfokus pada
stimulus dan respons, dengan penekanan pada penguatan (reinforcement) sebagai faktor
utama dalam pembentukan perilaku. B.F. Skinner adalah salah satu tokoh utama dalam teori
ini, dan ia mengembangkan konsep operant conditioning yang mencakup penguatan positif
dan negatif.
B.F. Skinner juga dikenal dengan konsep behavior modification, yang merupakan
penerapan teori behavioristik dalam mengelola perilaku. Ia menekankan pentingnya
penguatan positif dan shaping (pembentukan perilaku bertahap) dalam mengubah perilaku.
Skinner menentang penggunaan hukuman dan lebih mendukung penguatan (reinforcement)
positif dan negatif sebagai cara untuk mengubah perilaku. Ia berpendapat bahwa hukuman
memiliki efek yang kurang efektif dan dapat berdampak buruk pada individu.
Kelebihan teori Skinner adalah pendekatan yang menekankan penghargaan terhadap setiap
individu, sementara kelemahannya mencakup pandangan bahwa belajar adalah proses
otomatis-mekanis dan penekanan pada observasi perilaku, serta ketidaksetujuannya
terhadap penggunaan hukuman.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Minan Zuhri, S. P. I. M. S. I. (2020). HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN KONSEP


ABDULLAH NASIH ‘ULWAN DAN B.F. SKINNER. Ahlimedia Book.
https://books.google.co.id/books?id=68P_DwAAQBAJ
Anam, M. S., & Dwiyogo, W. D. (2019). Teori Belajar Behavioristik dan Implikasinya dalam
Pembelajaran. Universitas Negeri Malang, 2.
Asfar, A. M. I., Asfar, A. M., & Halamury, M. (2019). Teori Behaviorisme (Theory of
Behaviorism). Researchgate, No. February, 5–6.
Baharuddin, B., & Wahyuni, E. N. (2015). Teori belajar dan pembelajaran. Ar-Ruzz Media.
Budiningsih, C. (n.d.). Asri. 2005. Belajar Dan Pembelajaran.
Frederic Skinner, B. (2009). Pendidikan di Walden Two. Dalam Menggugat Pendidikan.
Hill, W. F. (2011). Theories of learning. Bandung: Nusa Media.
Kementrian Agama Republik Indonesia. (2018). KEPUTUSAN MENTERI AGAMA
REPUBLIK INDONESIA NO 792 TAHUN 2018 PEDOMAN IMPLEMENTASI
KURIKULUM RAUDHATUL ATHFAL. Kementerian Agama .
Kusmintardjo, M. W. (2011). Landasan-Landasan Pendidikan Dan Pembelajaran. Universitas
Negeri Malang.
Lundin, R. W. (1985). Theories and Systems of Psychology. D.C. Heath.
https://books.google.co.id/books?id=1nNznQAACAAJ
Masganti, S. (2016). Sejarah Perkembangan Raudhatul Athfal di Indonesia.
Muhibbin, S. (2003). Psikologi belajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.S
Seifert, K. (2010). Manajemen Peserta didik dan Instruksi Pendidikan (Manajemen Mutu
Psikologi Pendidikan Para Pendidik). Jakarta: IRCiSoD.
Slavin, R. E. (2003). Theory and Practice, 7/E. Beijing: Beijing University Press.
Sugihartono, D., Harahap, F., Setiawati, F. A., & Nurhayati, S. R. (2007). Psikologi
pendidikan. Yogyakarta: UNY press.

15

Anda mungkin juga menyukai