Anda di halaman 1dari 26

UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN PAPARAN PORNOGRAFI TERHADAP PERILAKU


SEKSUAL BERISIKO PADA ODHA LELAKI SEKS LELAKI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Determinan Sosial Kesehatan Reproduksi
Semester Ganjil Tahun Ajaran 2023/2024

Dosen Pengampu:

Dr. dra. Rita Damayanti, S.Psi., MSPH

Disusun Oleh:

Dewi Amalia Marina 2106762250

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM SARJANA EKSTENSI
DEPOK
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah studi kasus ini dengan judul
“Hubungan Paparan Pornografi Terhadap Perilaku Seksual Berisiko pada ODHA Lelaki Seks
Lelaki”. Tujuan dari penulisan makalah studi kasus ini untuk memenuhi tugas mata kuliah
Determinan Sosial Kesehatan Reproduksi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. dra. Rita Damayanti, S.Psi., MSPH
selaku dosen mata kuliah Determinan Sosial Kesehatan Reproduksi dan kepada semua pihak
yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
orang tua yang selalu memberi dukungan moral dalam menyelesaikan makalah studi kasus
ini. Semoga makalah studi kasus ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu.

Depok, Desember 2023

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iii
DAFTAR TABEL.....................................................................................................................v
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................................1

1.1 Latar Belakang....................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian................................................................................................3
1.3.1 Tujuan Umum...........................................................................................3
1.3.2 Tujuan Khusus..........................................................................................3

1.4 Manfaat Penelitian..............................................................................................3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................................4

2.1 HIV.......................................................................................................................4
2.1.1 Definisi HIV..............................................................................................4
2.1.2 Gejala HIV................................................................................................4
2.1.3 Penularan HIV...........................................................................................4
2.1.4 Faktor Risiko HIV.....................................................................................5

2.2 LSL.......................................................................................................................5
2.3 Pornografi............................................................................................................5
2.3.1 Definisi Pornografi....................................................................................5
2.3.2 Jenis Pornografi.........................................................................................6
2.3.3 Paparan Pornografi Kelompok LSL..........................................................6

2.4 Perilaku Seksual Berisiko...................................................................................6


2.4.1 Aktivitas Perilaku Seksual Berisiko..........................................................6
2.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Berisiko............................7
2.4.3 Perilaku Seksual Berisiko pada Kelompok LSL.......................................7

BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................................9

3.1 Hasil......................................................................................................................9
3.2 Pembahasan.......................................................................................................11

i
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................................13

4.1 Kesimpulan........................................................................................................13
4.2 Saran..................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA

i
DAFTAR TABEL

Tabel 3. 1 Karakteristik Responden Berdasarkan Paparan Media Pornografi, Frekuensi


Melihat Pornografi dalam Sebulan, Media Pornografi yang Sering Dilihat, Teman
Melihat Pornografi, dan Tempat Melihat Pornografi Pada ODHA LSL...................9
Tabel 3. 2 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Pertama Kali Melihat Pornografi,
frekuensi melihat Pornografi, dan Frekuensi Hubungan Seksual Tanpa Kondom (N
= 258) ......................................................................................................................10
Tabel 3. 3 Hubungan Paparan Media Pornografi Terhadap Perilaku Seksual Berisiko..........10

v
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang menginfeksi


sel darah putih dan melemahkan imunitas seseorang. Virus tersebut menginfeksi dan
mencegah pembentukan sel darah putih serta melemahkan pertahanan tubuh terhadap
infeksi karena jumlah sel darah putih yang menurun. Ketika seseorang kehilangan
imunitas tubuh, semua penyakit akan dengan mudah masuk ke dalam tubuh (infeksi
opportunistik) (Hemo et al., 2022). Kumpulan gejala akibat melemahnya sistem
kekebalan tubuh akibat infeksi HIV dapat menyebabkan terjadinya Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS). Agar tubuh tidak berlanjut ke stadium AIDS, ODHIV
(Orang dengan HIV) memerlukan pengobatan untuk mengurangi jumlah virus HIV
dalam tubuhnya (Kemenkes RI, 2020).

Berdasarkan data UNAIDS tahun 2022, terdapat 38,4 juta orang di dunia
hidup dengan HIV. Sebanyak 36,7 juta diantaranya berusia > 15 tahun dan 1,7 juta
diantaranya adalah anak – anak berusia > 15 tahun. 54% dari semua orang yang hidup
dengan HIV adalah wanita dan anak perempuan. Infeksi HIV baru menurun sebesar
32%, dari 2,2 juta menjadi 1,5 juta di tahun 2021. Meskipun secara global jumlah
kasus infeksi HIV yang dilaporkan menurun, namun masih banyak negara – negara
yang tertinggal dalam penanganan HIV dan AIDS (UNAIDS, 2022).

Di Indonesia, jumlah ODHIV yang mendapatkan tes HIV pada periode Juli –
September 2022 mencapai 1.154.257, angka ini naik dibandingkan capaian April –
Juni 2022 yang baru mencapai 986.288. Total ODHIV yang di temukan pada periode
Januari
– September 2022 sebanyak 36.665 orang dari 3.355.772 orang yang dites HIV dan
sebanyak 30.130 orang mendapatkan terapi ARV. Sebagian besar terdapat pada
kelompok umur 25 – 49 tahun (68%), diikuti kelompok umur 20 – 24 tahun (17,3%),
dan kelompok umur ≥ 50 tahun (9,1%). DKI Jakarta merupakan provinsi dengan
jumlah kasus HIV tertinggi berdasarkan data dan pelaporan dari tahun 2010 – Maret
2022 dengan jumlah kasus sebanyak 76.103 orang, diikuti Jawa Timur (71,909), Jawa
Barat (52,970), Jawa Tengah (44,649), dan Papua (41,286) (Kemenkes RI, 2022).

Penularan HIV terjadi melalui kontak dengan cairan tubuh orang yang
terinfeksi, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan anus, dan air susu ibu. Perlu

1
dicatat bahwa

2
HIV tidak ditularkan melalui udara, air, keringat, air mata, air liur, gigitan nyamuk,
atau kontak fisik (Agustina, 2022). Ada tiga cara utama penularan HIV selama
hubungan seksual, yaitu melalui vagina, anal, atau oral. Dalam hal kegiatan seksual
yang tidak sehat atau berbahaya, pria dan wanita sama – sama rentan dalam penularan
HIV. Risiko ini lebih tinggi saat melakukan hubungan seksual melalui anus, dan lebih
sering terjadi pada kelompok LSL (Lelaki Seks Lelaki) (Rahmayani, 2020).

Menurut Permenkes Nomor 4 tahun 2019, orang yang berisiko terinfeksi HIV
serta harus mendapatkan edukasi mengenai perilaku berisiko dan skrining perilaku
berisiko dibagi menjadi delapan kelompok, yaitu ibu hamil, penderita tuberkulosis
(TBC), penderita infeksi menular seksual (IMS), Wanita Pekerja Seks (WPS), Laki-
laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL), Waria, Pengguna narkoba suntik
(Penasun), dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP).

Di antara populasi kunci, prevalansi penularan HIV pada WPS (Wanita


Pekerja Seksual) dan Penasun di Indonesia menurun, sedangkan prevalensi HIV di
kalangan LSL meningkat tiga kali lipat dalam satu dekade terakhir, dari 5,3% pada
tahun 2007 menjadi 17,9% pada tahun 2019 (Kemenkes RI, 2020). Tingginya angka
kejadian HIV pada kelompok LSL disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya
adalah perilaku seksual berisiko. Perilaku seksual berisiko yang dilakukan oleh LSL
antara lain berganti
– ganti pasangan, melakukan seks oral dan anal tanpa menggunakan kondom
(Hernandez et al., 2017).

Hubungan seks anal sering kali dipilih oleh kelompok LSL dengan cara
melakukan aktivitas seksualnya tanpa menggunakan kondom karena dipengaruhi oleh
paparan media pornografi(Rahmayani 2020). Dimana Media pornografi memberikan
rangsangan dan dorongan terhadap hasrat seksual, sehingga mempengaruhi gaya LSL
dalam melakukan hubungan seksual. Apabila LSL menyaksikan adegan seks anal
tanpa penggunaan kondom, ia akan melakukan tindakan yang serupa, yaitu melakukan
seks anal tanpa penggunaan kondom (Xu, Zheng and Rahman, 2017). Berdasarkan
uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan paparan
pornografi terhadap perilaku seksual berisiko pada ODHA LSL.

1.2 Rumusan Masalah


Perilaku seksual berisiko, seperti berganti-ganti pasangan, seks anal tanpa
kondom, dan seks oral dengan ejakulasi dalam mulut, adalah penyebab tingginya

3
tingkat HIV pada LSL. Temuan menunjukkan bahwa paparan media pornografi yang
dimiliki LSL baik sendiri maupun dengan pasangannya berkorelasi dengan perilaku
seksual yang dilakukan oleh LSL dan akan mempengaruhi bagaimana mereka
melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Paparan pornografi pada
kelompok LSL mempengaruhi tindakan kekerasan seksual yang berdampak pada
perilaku seksual berisiko (Rahmayani, 2020).

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengidentifikasi hubungan paparan pornografi terhadap perilaku
seksual berisiko pada ODHA LSL.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi paparan pornografi pada ODHA LSL
b. Mengidentifikasi perilaku seksual berisiko pada ODHA LSL
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi tentang hubungan antara
paparan pornografi dan perilaku seksual berisiko pada ODHA LSL. Oleh karena itu,
diharapkan bahwa petugas kesehatan dapat merekomendasikan kegiatan positif seperti
seminar kesehatan, konseling, dan kegiatan lainnya yang dapat mengurangi paparan
ODHA LSL terhadap pornografi dan perilaku seksual berisiko.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV
2.1.1 Definisi HIV
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah infeksi yang menyerang
sistem kekebalan tubuh, khususnya sel darah putih yang disebut sel CD4. Ketika
seseorang kehilangan kekebalan tubuhnya, semua penyakit akan mudah masuk ke
dalam tubuh (infeksi oportunistik), seperti tuberkulosis dan infeksi jamur dan
bakteri serta beberapa jenis kanker (WHO, 2019).
Kumpulan gejala akibat melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat infeksi
HIV dapat menyebabkan terjadinya Acquired Immune Deficiency Syndrome
(AIDS). Agar tubuh tidak berlanjut ke stadium AIDS, ODHIV (Orang dengan
HIV) memerlukan pengobatan untuk mengurangi jumlah virus HIV dalam
tubuhnya (Kemenkes RI, 2020).
2.1.2 Gejala HIV
Gejala HIV setiap orang berbeda beda ketika awal terjangkit HIV.
Sebagian orang akan merasakan flu ringan, sariawan, kuit ruam ram merah,
merasa kelelahan dan sakit kepala. Sebagian orang lainnya mungkin tidak
bergejala. Oleh karena itu, tes HIV secara rutin merupakan salah satu jalan untuk
mengetahui apakah kita terjangkit HIV atau tidak. Orang yang mempunyai
riwayat HIV terlihat sehat, banyak yang tidak mengetahui bahwa dirinya
mempunyai riwayat HIV. Tanpa mengetahuinya, mereka dapat menularkan virus
tersebut ke pasangan mereka atau bahkan ke orang lain. Karena mereka tidak
mengetahui, maka sistem kekebalan tubuh terus diserang, semua virus masuk,
gejala penyakit HIV terus berkembang. Gejala ini dapat berlangsung lama. Ketika
sistem kekebalan rusak parah, infeksi lain dan kerusakan otak dapat terjadi. Ini
disebut AIDS (Healthy WA, 2020).

2.1.3 Penularan HIV


HIV dapat ditularkan melalui pertukaran berbagai cairan tubuh dari orang
yang terinfeksi, seperti darah, ASI (Air Susu Ibu), semen dan cairan vagina. HIV
juga dapat ditularkan dari seorang ibu ke anaknya selama kehamilan dan
persalinan. Orang tidak dapat terinfeksi melalui kontak sehari-hari seperti
mencium, berpelukan, berjabat tangan, atau berbagi benda pribadi, makanan, atau
air (Kemenkes RI, 2020).

5
2.1.4 Faktor Risiko HIV
Proses penularan HIV/AIDS dibagi menjadi dua jalur, yaitu melalui cairan
seksual dan darah. Oleh karena itu, faktor risiko HIV/AIDS tidak dapat
dilepaskan dari dua faktor tersebut, antara lain (WHO, 2023):
1. Perilaku seksual berisiko termasuk melakukan hubungan seksual tanpa
kondom dengan pasangan yang memiliki riwayat HIV, melakukan seks anal
tanpa menggunakan kondom (biasanya dilakukan oleh LSL), melakukan seks
oral baik dengan pasangan heteroseksual maupun gay/lesbian, dan berbagi
sex toys.
2. Pengguna narkoba, terutama mereka yang menggunakan narkoba suntik
secara bergantian.
3. Berganti – ganti pasangan atau memiliki banyak pasangan secara bersamaan
(multi partner)
4. Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV
5. Penerima transfusi darah berisiko tertular HIV jika darah yang digunakan
terinfeksi dan tidak dilakukan skrining/pemerikasaan.
6. Individu yang melakukan tindik, tato, dan sirkumsisi tanpa melakukan
sterilisasi pada alat yang digunakan dan memiliki luka pada tubuhnya.
2.2 LSL
Istilah "lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki" atau LSL, muncul pada
tahun 1980-an dalam konteks upaya kesehatan masyarakat untuk memahami
perilaku seksual laki-laki yang terkait dengan penularan dan pencegahan HIV (Loue,
2008). LSL adalah lelaki yang melakukan aktivitas seksual dengan sesama jenis
kelamin, terlepas dari bagaimana mereka mengidentifikasi diri mereka. Laki-laki ini
dapat mengidentifikasi dirinya sebagai gay, homoseksual, biseksual, heteroseksual,
atau tidak memiliki identitas seksual sama sekali (Pachauri, Pachauri and Mittal,
2022).

2.3 Pornografi
2.3.1 Definisi Pornografi
Pornografi telah ada selama ribuan tahun dan terus dapat diakses dengan
mudah melalui berbagai media seperti buku, majalah, dan rekaman audio.
Namun, pornografi paling sering ditemukan dan diperoleh secara online. Pada
tahun 2018, situs web pornografi terbesar melaporkan rata – rata jumlah penonton
harian sebanyak 92 juta orang, dengan mayoritasnya adalah laki – laki

6
(Psychology Today,

7
2023). Kata pornografi, yang berasal dari bahasa Yunani porni (pelacur) dan
graphein (menulis), pada awalnya didefinisikan sebagai karya seni atau sastra
yang menggambarkan kehidupan pelacur (Jenkins, 2023).

Menurut UU RI Nomor 44 Tahun 2008, pornografi adalah gambar, sketsa,


ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun,
percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk
media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan
atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat
(DPR RI, 2008).

2.3.2 Jenis Pornografi


Ada beberapa jenis media pornografi yang dapat dilihat dan didapatkan
secara langsung maupun melalui internet. Isi dari media pornografi antara lain:
gambar/foto alat kelamin telanjang, tulisan tentang cerita seksual di majalah
dewasa yang dapat menyebabkan pembacanya berfantasi, video seks tentang seks
oral, seks anal tanpa kondom, seks anal dengan menggunakan kondom, rimming
(seks oral-anal), onani solo, seks vaginal tanpa kondom, masturbasi bersama,
felching (masturbasi dengan menggunakan alat bantu), sadomasokisme (Downing
et al., 2017).

2.3.3 Paparan Pornografi Kelompok LSL


Internet telah membuka banyak ruang untuk konsumsi media seksual
eksplisit. Sebagai hasilnya, lebih banyak LSL dapat mengakses secara instan dan
anonim ke semua jenis media seksual eksplisit khusus LSL, yang mungkin telah
mengubah perilaku dan hubungan seksual mereka dari waktu ke waktu (Nelson et
al., 2014). Sejumlah kegiatan seksual yang berpotensi berbahaya, seperti
hubungan seks anal tanpa kondom, ejakulasi di mulut, dan ejakulasi di dalam/di
atas atau digosokkan ke dalam anus, sering kali ditampilkan dalam pornografi
yang menampilkan hubungan sesama jenis (Xu, Zheng and Rahman, 2017).

2.4 Perilaku Seksual Berisiko


2.4.1 Aktivitas Perilaku Seksual Berisiko
Perilaku seksual berisiko adalah segala aktivitas seksual yang
meningkatkan kemungkinan terjadinya konsekuensi kesehatan yang negatif
seperti kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, atau tertular infeksi menular
seksual (IMS), termasuk HIV (Gellman and Turner, 2013).

8
Aktivitas seksual seharusnya menyenangkan dan menggairahkan karena
merupakan aspek kehidupan yang normal dan sehat. Meskipun demikian, ada
bahaya yang terkait dengan berbagai kegiatan dan tindakan seksual, seperti
infeksi menular seksual dan kehamilan yang tidak direncanakan (Lawrenz, 2022).
Perilaku seksual yang dianggap berisiko jika melakukan hubungan seksual tanpa
kondom, melakukan kontak mulut ke alat kelamin tanpa kondom (seks oral),
memulai aktivitas seksual pada usia muda, memiliki banyak pasangan seks (multi
partner), memiliki pasangan yang memiliki faktor risiko tinggi, dan melakukan
seks anal tanpa kondom atau pasangan yang melakukannya tanpa kondom.

2.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Berisiko


Perilaku seksual berisiko dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
penggunaan obat-obatan terlarang dan alkohol, usia yang masih muda sehingga
mudah dipengaruhi atau dibujuk untuk melakukan perilaku seksual yang tidak
sehat, tingkat pendidikan yang rendah sehingga kurangnya pengetahuan tentang
dampak negatif dari perilaku seksual yang tidak sehat, serta faktor relasi, seperti
jenis pasangan dalam komunitas LSL, di mana terdapat kecenderungan untuk
setuju melakukan aktivitas seksual tanpa menggunakan proteksi atas dasar suka
sama suka atau atas dasar bayaran (transaksi seks atau seks komersial) (Martinez
et al., 2017). Selain unsur tersebut, terdapat aspek-aspek lain seperti harga diri,
hubungan orang tua dan anak, paparan pornografi, keberadaan teman sebaya yang
menyimpang, dan profesi pekerja seks komersial (PSK), baik laki-laki maupun
perempuan (Li et al., 2016).

2.4.3 Perilaku Seksual Berisiko pada Kelompok LSL


LSL adalah populasi minoritas yang sering berpartisipasi dalam aktivitas
seksual yang berisiko. Biasanya melakukan seks yang berisiko seperti seks oral,
hubungan seks anal tanpa menggunakan kondom, dan berganti-ganti pasangan di
antara perilaku seksual lainnya (Hernandez et al., 2017). Menurut beberapa
penelitian, LSL mendorong hubungan seks anal tanpa kondom dan sering
melakukan seks oral. Perilaku seksual berisiko seperti berganti – ganti pasangan
adalah hal yang sering dilakukan oleh LSL. Selain berhubungan seks dengan
pacar atau pasangan tetapnya, LSL sering kali melakukan interaksi seksual
dengan pekerja seks baik laki – laki ataupun perempuan (Dunkle et al., 2013).

9
a. Berganti – ganti Pasangan
LSL adalah kelompok minoritas yang mengidentifikasi dirinya sebagai
homoseksual, biseksual, atau bahkan straight, dan mereka sering kali memiliki
banyak pasangan (multiple sex relationship) (Martinez et al., 2017). Beberapa
LSL memiliki pasangan tetap, tetapi ada juga yang melakukan hubungan
seksual dengan pekerja seks laki-laki dan perempuan. LSL lebih rentan tertular
HIV dan IMS lainnya karena kecenderungannya untuk berganti-ganti
pasangan. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa salah satu perilaku
seksual LSL yang berbahaya adalah perilaku berganti-ganti pasangan
(Mimiaga et al., 2018).

b. Seks Oral
Seks oral adalah kegiatan seksual yang umum dilakukan oleh LSL
dengan melibatkan rangsangan alat kelamin pasangan menggunakan mulut.
Seks oral diklasifikasikan menjadi dua jenis: Fellatio dan Cunnilingus.
Cunnilingus adalah rangsangan seksual antara mulut dan penis, sedangkan
Fellatio adalah rangsangan seksual antara mulut dan vagina. Meskipun seks
oral tidak terlalu berbahaya dibandingkan dengan hubungan seks melalui
vagina atau anal secara langsung, namun masih ada kemungkinan untuk
tertular HIV dan penyakit menular seksual lainnya. Terutama jika tidak ada
pengaman yang gunakan saat melakukan hubungan seks. Penularan HIV
meningkat jika orang yang melakukan seks oral memiliki luka seperti sariawan
atau luka pada mulut dan ejakulasi di dalam mulut,. Secara umum, risiko
penularan seks lebih tinggi di antara orang – orang yang melakukan seks oral
(Rollo et al., 2017).

c. Seks Anal Tanpa Kondom


Seks anal merupakan kegiatan seksual yang melibatkan lubang anus.
LSL sering memilih perilaku seksual ini sebagai metode utama hubungan
seksual dengan pasangannya, meskipun banyak heteroseksual yang juga
melakukannya. Seks anal yang dilakukan LSL adalah seks anal tanpa kondom,
dan banyak LSL mengatakan bahwa mereka sering melakukan seks anal tanpa
kondom dengan pasangan yang HIV positif atau yang bahkan mengidap IMS
lainnya (Shrestha, Sansom and Purcell, 2016). Seks anal meningkatkan risiko
infeksi HIV karena mukosa rektum dan anus lebih tipis dan kurang elastis
dibandingkan dengan vagina sehingga mudah untuk terluka (Brunner and

1
Suddarth, 2013).

1
BAB 3
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
Studi kasus pada makalah ini mengambil penelitian dari Melly Rahmayani
tahun 2020 dengan judul “Hubungan Pengalaman Kekerasan Seksual dan Paparan
Media Pornografi Terhadap Perilaku Seksual Berisiko Pada ODHA LSL”.

Tabel 3. 1 Karakteristik Responden Berdasarkan Paparan Media Pornografi,


Frekuensi Melihat Pornografi dalam Sebulan, Media Pornografi yang
Sering Dilihat, Teman Melihat Pornografi, dan Tempat Melihat Pornografi
Pada ODHA LSL
Frekuensi Persentase
Karakteristik
(n) (%)
Pernah Melihat Pornografi
Tidak Pernah 0 0
Pernah 258 100
Jumlah 258 100
Media Pornografi yang Sering Dilihat/ditonton
Majalah 13 5,04
Pornografi internet dari HP/Tabl 185 71,71
Pornografi internet dari komputer 38 14,73
Video dari DVD 22 8,53
Jumlah 258 100
Teman Menonton Pornografi
Pasangan 44 17,05
Sendiri 186 72,09
Teman 28 10,85
Jumlah 258 100
Tempat Menonton Pornografi
Hotel 7 2,71
Rumah 174 67,44
Rumah Pasangan 23 8,91
Rumah Teman 18 6,98
Lain – lain 36 13,95
Jumlah 258 100
Frekuensi Melihat Pornografi dalam Sebulan
Setiap hari 77 29,84
>1x /hari 38 14,72
1x/minggu 54 20,93
2-3x/mingg 60 23,25
1x/bulan 29 11,24
Jumlah 258 100

Sumber: (Rahmayani, 2020)

1
Berdasarkan Tabel 3.1 diketahui bahwa Semua responden (100%) pernah
melihat media pornografi. Sebanyak 185 responden (71,71%) mengaku lebih sering
melihat pornografi melalui internet dari HP/Tablet. Mayoritas responden menonton
pornografi sendiri yaitu 186 responden (72,09%). Responden juga memiliki tempat
favorit untuk menonton pornografi, dimana 174 responden (67,44%) responden lebih
suka menonton pornografi di rumah. Responden juga mayoritas memiliki frekuensi
menonton paling sering setiap hari yaitu sebanyak 77 responden (29,84%).

Tabel 3. 2 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Pertama Kali Melihat


Pornografi, frekuensi melihat Pornografi, dan Frekuensi Hubungan
Seksual Tanpa Kondom (N = 258)

CI 95%
Variabel Mean±SD Min-Maks
Min Maks
Usia Pertama Kali Melihat Pornografi 16±3,35 8-35 15,68 16,51
Frekuensi Melihat Pornografi dalam sehari (jam) 2±1,5 0,5-8 1,97 2,36
Frekuensi Hubungan Seksual 15±17,37 1-120 13 17

Sumber: (Rahmayani, 2020)

Bersadarkan Tabel 3.2, rata – rata usia responden pertama kali melihat
pornografi yaitu 16 tahun, dengan usia termuda 8 tahun, dan usia paling tua 35
tahun, dengan tingkat kepercayaan 95% berada pada kisaran 15,68 – 16,51 tahun.
Sementara itu rata – rata responden menonton pornografi selama 2 jam dalam sehari,
paling lama menonton pornografi selama 8 jam dalam sehari dengan tingkat
kepercayaan 95% berada pada kisaran 1,97 – 2,36 jam. Jika dilihat berdasarkan
frekuensi hubungan seksual, responden memiliki rata-rata frekuensi hubungan
seksual dalam setahun terakhir sebanyak 15 kali, dengan frekuensi hubungan seksual
tanpa kondom terbanyak dalam 6 bulan terakhir sebanyak 120 kali dengan tingkat
kepercayaan 95% berada pada kisaran 13 – 17 kali.

Tabel 3. 3 Hubungan Paparan Media Pornografi Terhadap Perilaku Seksual Berisiko

Paparan Perilaku Seksual Berisiko Total


Pornografi Resiko Rendah Resiko Tinggi OR p-value
n
n % n %
Rendah 30 11,6 96 37,2 % 126 48,8 4,271 0,000*
Tinggi 9 3,5 123 47,7 132 51,2
Jumlah 39 15,1 219 84,9 258 100

1
* Bermakna pada α = 0,05

1
Berdasarkan Tabel 3.3, responden dengan paparan media pornografi rendah
cenderung mengakibatkan perilaku seksual berisiko rendah yaitu sebanyak 30
responden (11,6%) dan paparan media pornografi tinggi, cenderung memilik
perilaku seksual berisiko tinggi yaitu sebanyak 123 responden (47,7%). Berdasarkan
uji statistik chi square menunjukkan nilai p value sebesar 0,000, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara paparan media
pornografi terhadap perilaku seksual berisiko, dan dari nilai OR = 4,271
menunjukkan bahwa responden dengan paparan media pornografi tinggi berisiko
4,271 kali lebih besar memiliki perilaku seksual berisiko tinggi, dibandingkan
dengan responden yang memiliki paparan media pornografi rendah.

3.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian, semua responden (100%) merupakan pengguna
media pornografi, dan 71,71% dari mereka menggunakan smartphone atau tablet
untuk mengakses pornografi secara online. 51,2% responden mengatakan bahwa
mereka memiliki tingkat paparan yang tinggi terhadap media pornografi.

Responden yang memiliki paparan rendah terhadap media pornografi juga


memiliki perilaku seksual berisiko rendah (11,6%), sedangkan responden yang
memiliki paparan tinggi terhadap media pornografi memiliki perilaku seksual berisiko
tinggi (47,7%). Menurut hasil uji statistik, paparan media pornografi memiliki
hubungan yang bermakna dengan perilaku seksual berisiko. Seperti yang diketahui
secara umum, kelompok LSL sering melakukan perilaku seksual berisiko seperti
hubungan seks anal dan seks oral tanpa kondom, serta berganti-ganti pasangan.
Terkait hal ini, media pornografi sering kali menampilkan gambar hubungan seks anal
dan oral tanpa kondom, dan LSL menyukai skenario pornografi tersebut.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang mengatakan bahwa 43,7% LSL di
Norwegia lebih suka melihat penggambaran pornografi tentang seks anal tanpa
kondom, dan ada hubungan bermakna antara paparan LSL terhadap media pornografi
dengan perilaku seksual berisiko (Træen et al., 2015). Penelitian lain yang mengatakan
paparan media pornografi secara keseluruhan tidak terkait dengan perilaku seksual
berisiko, tetapi terdapat korelasi antara perilaku seks anal tanpa kondom secara
langsung dan sekuens pornografi yang menggambarkan perilaku tersebut (Rosser et
al., 2013). Suatu penelitian mengungkapkan bahwa semakin besar persentase seks anal
tanpa kondom yang dilihat, maka semakin tinggi perilaku seks anal tanpa kondom
yang dilakukan,

1
tetapi jika proporsi hubungan seks anal dengan kondom yang dilihat tinggi, maka
perilaku seks anal tanpa kondom akan rendah (Schrimshaw, Antebi-Gruszka and
Downing, 2016).
LSL cenderung meniru perilaku seksual sesuai dengan apa yang mereka lihat
di media pornografi, dengan alasan bahwa melihat dan meniru membuat mereka
merasa nyaman, tertarik untuk mencoba gaya baru, percaya bahwa meniru adegan
pornografi tidak salah, dan terbiasa melakukan hal tersebut dengan pasangannya
(Nelson et al., 2014). Adegan – adegan dalam media pornografi yang dapat ditiru oleh
LSL tidak hanya mencakup penggambaran seks anal dan oral tanpa kondom, tetapi
juga adegan aktivitas seksual yang dipaksakan dan penetrasi yang sangat intens,
seperti penggunaan sex toys berukuran besar untuk penetrasi anal atau double
penetrasi pada anus baik oleh penis maupun mainan seks (Downing et al., 2017).

1
BAB 4

KESIMPULAN DAN SARAN


4.1 Kesimpulan
Berdasarkan studi kasus mengenai hubungan paparan pornografi terhadap
perilaku seksual berisiko pada ODHA LSL, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara paparan media pornografi terhadap perilaku seksual
berisiko pada ODHA LSL dengan nilai p value sebesar 0,000. Mayoritas responden
memiliki paparan tinggi terhadap media pornografi sehingga perilaku seksual
berisikonya terhitung tinggi. Jika di lihat dari nilai OR, responden dengan paparan
media pornografi tinggi berisiko 4,271 kali lebih besar memiliki perilaku seksual
berisiko tinggi, dibandingkan dengan responden yang memiliki paparan media
pornografi rendah.

4.2 Saran
Tenaga kesehatan masyarakat perlu meningkatkan pengkajian yang
komprehensif untuk memperoleh informasi tentang paparan media pornografi sebagai
langkah awal untuk meningkatkan intervensi kesehatan reproduksi terutama konseling
dan edukasi melalui pendekatan yang lebih inovatif sehingga akan membantu dalam
menurunkan perilaku seksual yang berisiko menularkan HIV pada LSL. Selain itu,
kelompok LSL diharapkan memprioritaskan kesehatannya dengan secara aktif mencari
informasi tentang berbagai masalah kesehatan, termasuk infeksi menular seksual
(IMS).

1
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, N. (2022) Ayo Cari Tahu Apa Itu HIV, Kemenkes RI.
Brunner and Suddarth (2013) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah . 8th edn. Jakarta:
EGC. Downing, M.J. et al. (2017) ‘Sexually Explicit Media Use by Sexual Identity: A
Comparative Analysis of Gay, Bisexual, and Heterosexual Men in the United States’,
Archives of Sexual Behavior, 46(6), pp. 1763–1776. Available at:
https://doi.org/10.1007/s10508-
016-0837-9.
DPR RI (2008) ‘UU RI NO 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI’, DPR RI
[Preprint].
DKI Jakarta.
Dunkle, K.L. et al. (2013) ‘Prevalence of Consensual Male–Male Sex and Sexual Violence,
and Associations with HIV in South Africa: A Population-Based Cross-Sectional
Study’, PLoS Medicine, 10(6), p. e1001472.
Available at: https://doi.org/10.1371/journal.pmed.1001472.
Gellman, M.D. and Turner, J.R. (2013) Encyclopedia of Behavioral Medicine. Edited by
M.D. Gellman and J.R. Turner. New York, NY: Springer New York. Available at:
https://doi.org/10.1007/978-1-4419-1005-9.
Healthy WA (2020) HIV and AIDS. Australia.
Hemo, T.R.M., Utami, T.A. and Susilo, W.H. (2022) DUKUNGAN SEBAYA
BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU LOST TO FOLLOW UP PADA ODHA DI
RUANG CARLO,
Carolus Journal of Nursing.
Hernandez, I. et al. (2017) ‘Risk Factors Associated With HIV Among Men Who Have Sex
With Men (MSM) in Ecuador’, American Journal of Men’s Health, 11(5), pp. 1331–
1341. Available at: https://doi.org/10.1177/1557988316646757.
Jenkins, J.Philip. (2023) Pornography, Encyclopedia Britannica.
Kemenkes RI (2020) Infodatin 2020 HIV. Jakarta.
Kemenkes RI (2022) LAPORAN EKSEKUTIF PERKEMBANGAN HIV AIDS DAN
PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUAL (PIMS) TRIWULAN I TAHUN 2022.
Jakarta.
Lawrenz, L. (2022) What counts as high risk sexual behavior, and how to lower the risk,
Medical News Today.
Li, X. et al. (2016) ‘The Health Belief Model: A Qualitative Study to Understand High-risk
Sexual Behavior in Chinese Men Who Have Sex With Men’, Journal of the Association
of Nurses in AIDS Care, 27(1), pp. 66–76. Available at:
https://doi.org/10.1016/j.jana.2015.10.005.
Loue, S. (2008) Health Issues Confronting Minority Men Who Have Sex with Men. New
York, NY: Springer New York. Available at: https://doi.org/10.1007/978-0-387-74539-
8.
Martinez, O. et al. (2017) ‘Relationship Factors Associated with Sexual Risk Behavior and
High-Risk Alcohol Consumption Among Latino Men Who Have Sex with Men:
Challenges and Opportunities to Intervene on HIV Risk’, Archives of Sexual Behavior,
46(4), pp. 987–999. Available at: https://doi.org/10.1007/s10508-016-0835-y.
Mimiaga, M.J. et al. (2018) ‘A randomized controlled efficacy trial of behavioral activation
for concurrent stimulant use and sexual risk for HIV acquisition among MSM: project
IMPACT study protocol’, BMC Public Health, 18(1), p. 914. Available at:
https://doi.org/10.1186/s12889-018-5856-0.
Nelson, K.M. et al. (2014) ‘The influence of sexually explicit online media on sex: do men
who have sex with men believe they “do what they see”?’, AIDS Care, 26(7), pp. 931–
934. Available at: https://doi.org/10.1080/09540121.2013.871219.
Pachauri, S., Pachauri, A. and Mittal, K. (2022) Sexual and Reproductive Health and Rights
in India. Singapore: Springer Singapore. Available at: https://doi.org/10.1007/978-981-
16- 4578-5.
Psychology Today (2023) Pornography, Psychology Today.
Rahmayani, M. (2020) Hubungan Pengalaman Kekerasan Seksual dan Paparan Media
Pornografi Terhadap Perilaku Seksual Berisiko Pada ODHA LSL. Depok.
Rollo, F. et al. (2017) ‘Prevalence and determinants of oral infection by Human
Papillomavirus in HIV-infected and uninfected men who have sex with men’, PLOS
ONE, 12(9), p. e0184623. Available at: https://doi.org/10.1371/journal.pone.0184623.
Rosser, B.R.S. et al. (2013) ‘The Effects of Gay Sexually Explicit Media on the HIV Risk
Behavior of Men Who Have Sex with Men’, AIDS and Behavior, 17(4), pp. 1488–
1498. Available at: https://doi.org/10.1007/s10461-013-0454-8.
Schrimshaw, E.W., Antebi-Gruszka, N. and Downing, M.J. (2016) ‘Viewing of Internet-Based
Sexually Explicit Media as a Risk Factor for Condomless Anal Sex among Men Who
Have Sex with Men in Four U.S. Cities’, PLOS ONE, 11(4), p. e0154439. Available at:
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0154439.
Shrestha, R.K., Sansom, S.L. and Purcell, D.W. (2016) ‘Assessing HIV acquisition risks
among men who have sex with men in the United States of America.’, Revista
panamericana de salud publica = Pan American journal of public health, 40(6), pp.
474–478.
Træen, B. et al. (2015) ‘Examining the relationship between use of sexually explicit media
and sexual risk behavior in a sample of men who have sex with men in Norway’,
Scandinavian Journal of Psychology, 56(3), pp. 290–296. Available at:
https://doi.org/10.1111/sjop.12203.
UNAIDS (2022) Fact Sheet 2022.
WHO (2019) HIV, World Health Organisation. Available at: https://www.who.int/health-
topics/hiv-aids#tab=tab_1 (Accessed: 24 May 2023).
WHO (2023) HIV and AIDS, WHO.
Xu, Y., Zheng, Y. and Rahman, Q. (2017) ‘The Relationship Between Self-Reported
Sexually Explicit Media Consumption and Sexual Risk Behaviors Among Men Who
Have Sex with Men in China’, The Journal of Sexual Medicine, 14(3), pp. 357–365.
Available at: https://doi.org/10.1016/j.jsxm.2017.01.002.

Anda mungkin juga menyukai